INFESTASI CACING PARASITIK PADA INSANG IKAN TONGKOL (Euthynnus sp.)
SIONITA GLORIANA GUNAWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
ABSTRAK
SIONITA GLORIANA GUNAWAN. B04104180. Infestasi Cacing Parasitik pada Insang Ikan Tongkol (Euthynnus sp.). Dibimbing oleh RISA TIURIA dan ADHI RACHMAT HARIYADI. Jumlah penduduk yang semakin bertambah akan meningkatkan jumlah bahan pangan yang dibutuhkan, termasuk ikan laut. Ikan merupakan salah satu sumber bahan pangan yang mudah didapat dan jumlahnya relatif banyak di alam. Oleh karena itu, kesehatan ikan sangat penting untuk diperhatikan demi kesejahteraan dan kesehatan manusia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis cacing parasit yang terdapat pada insang ikan tongkol (Euthynnus sp.) yang diambil dari pelelangan ikan di daerah Jakarta. Di samping itu penelitian ini juga bermanfaat untuk memperkaya literatur tentang cacing parasit pada ikan di Indonesia. Empat jenis cacing parasit dan 1 jenis copepoda berhasil diisolasi dari insang 16 ekor ikan yang diperiksa. Dari data tersebut dapat diketahui nilai prevalensi kecacingan yaitu 25% dan prevalensi copepoda yaitu 6.25%. Spesimen cacing yang ditemukan diwarnai dengan menggunakan pewarnaan Semichon’s acetocarmine. Kelima parasit yang ditemukan terdiri dari Monogenea Capsala sp., Digenea Hysterolecitha sp., Copepoda Caligus sp., Digenea 2 (kemungkinan Hysterolecitha sp.) dan kemungkinan larva Cestoda. Digenea dan cestoda merupakan kelompok endoparasit yang lazimnya menempati tubuh (saluran cerna, rongga tubuh dan lain-lain). Kedua kelompok ini ternyata secara insidental dapat ditemukan pada insang sebagai kontaminan.
INFESTASI CACING PARASITIK PADA INSANG IKAN TONGKOL (Euthynnus sp.)
SIONITA GLORIANA GUNAWAN B04104180
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
LEMBAR PENGESAHAN
JUDUL
: INFESTASI CACING PARASITIK PADA INSANG IKAN TONGKOL (Euthynnus sp.)
NAMA MAHASISWA
: SIONITA GLORIANA GUNAWAN
NOMOR POKOK
: B04104180
PROGRAM STUDI
: KEDOKTERAN HEWAN
Disetujui : Pembimbing I
Dr. drh Risa Tiuria, MS
Pembimbing II
Adhi Rachmat Hariyadi, Bsc, MSi.
NIP : 131 690 352 Diketahui : Wakil Dekan FKH-IPB
Dr. Nastiti Kusumorini NIP : 131 669 942
Tanggal lulus :
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Allah Bapa yang telah setia memimpin, melindungi dan menyertai selama penulis menempuh pendidikan S1 di Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Rasa terima kasih juga penulis sampaikan pada keluarga yaitu Papa, Mama, Tina dan Lili yang tiada hentinya mendukung penulis selama mengerjakan skripsi ini. Penghargaan, penghormatan dan terima kasih penulis sampaikan pada dosen pembimbing skripsi yaitu Dr. drh. Risa Tiuria, MS, dan Adhi Rahmat Haryadi, Bsc, MSi, yang telah membantu dan memberikan masukan yang berharga bagi penulis. Selain itu kepada Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi MSi. sebagai dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing selama penulis menempa ilmu di IPB. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada temanteman tim “Ikan” yaitu Ina, Vonti, Nope, Lina, Arioz, Ari, Ivan, Dwi, Renny, Deby, Onald, Uya dan Asri serta pada Ibu Irawati dan Pak Eman. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman PF dan teman-teman “Asteroidea 41” yang telah memberikan semangat dan dukungan serta kepada teman-teman P44 Ai, Venven, Memey, Titin, Willin, Sherly, Tari, Dika, Bagus, dan Sius. Kepada Mr. Marty Deveney dan Mr. Ian Whittington penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya atas bantuan literatur yang diberikan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi masyarakat dan menambah kekayaan pengetahuan tentang parasit cacing di Indonesia.
Bogor, Juli 2008 Sionita Gloriana Gunawan
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Samarinda pada tanggal 24 April 1986 dari ayah Boyke Gunawan dan ibu Wenny Simon. Penulis merupakan anak sulung dari tiga bersaudara (Eva Christina Gunawan dan Novia Elisabeth Gunawan). Penulis masuk Sekolah Dasar Katholik II W.R Soepratman Samarinda dan lulus pada tahun 1998. Kemudian penulis melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Katholik W.R Soepratman, lulus pada tahun 2001, lalu melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Samarinda dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2004 penulis juga diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis memilih Program Studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan sebagai pilihan pertama. Selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Kedokteran Hewan, penulis pernah mengikuti beberapa kepanitiaan dan organisasi. Kepanitiaan yang pernah diikuti penulis adalah Natal FKH tahun 2006 dan 2007, Introvet tahun 2006 dan 2007. Organisasi yang pernah diikuti penulis adalah Himpunan Minat dan Profesi Ruminansia sebagai anggota tahun 2005-2007, Neko-neko Veterinary Japanese Club sebagai anggota tahun 2007-2008, serta Persekutuan Fakultas sebagai pengurus di bidang Persekutuan tahun 2006-2007.
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ............................................................................................vii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................viii PENDAHULUAN Latar Belakang ......................................................................................1 Tujuan...................................................................................................2 Manfaat.................................................................................................2 TINJAUAN PUSTAKA A. Lingkungan Perairan.........................................................................3 B. Kehidupan Ikan ................................................................................3 a. Ikan Tongkol..........................................................................5 C. Cacing-cacing pada Ikan...................................................................6 a. Monogenea ............................................................................8 b. Trematoda Digenea................................................................9 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian................................................................13 Rancangan Penelitian ............................................................................13 Bahan dan Alat Penelitian .....................................................................13 Teknik Parasitologi ...............................................................................13 Teknik Penghitungan Prevanlesi............................................................14 HASIL DAN PEMBAHASAN A. Monogenea Capsala sp.....................................................................18 B. Digenea Hysterolecitha sp ................................................................20 C. Digenea 2 .........................................................................................21 D. Cestoda.............................................................................................21 E. Temuan Non-Helminth (Copepoda) ..................................................22 Prevalensi.........................................................................................23 KESIMPULAN ................................................................................................24 SARAN. ...........................................................................................................24 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................25
DAFTAR TABEL No
Teks
Hal
1 Berbagai Jenis Spesies Monogenea Capsalidae (Dari Williams dan Williams 1996)............................................................................................10 2 Jenis Cacing Parasit yang Ditemukan pada Insang Ikan Tongkol (Euthynnus sp.)............................................................................................15
DAFTAR GAMBAR No
Teks
Hal
1. Euthynnus sp.................................................................................................6 2. Tristoma (Hyman 1951) ................................................................................16 3. Capsala sp. dari penelitian (4x).....................................................................16 4. Capsala sp. dari penelitian (10x)...................................................................16 5. Capsala sp. dari penelitian (40x)...................................................................16 6. Capsala sp. dari penelitian (40x)...................................................................16 7. Capsala sp. dari penelitian (40x)...................................................................16 8. Organ tubuh Hysterolecitha (4x) ...................................................................17 9. Skema organ tubuh Hysterolecitha (Yamaguti 1958) ....................................17 10. Hysterolecitha pada penelitian(10x) ............................................................17 11. Hysterolecitha pada penelitian (10x) ...........................................................17 12. Digenea 2 (10x) ..........................................................................................17 13. Cestoda .......................................................................................................17 14. Cestoda .......................................................................................................17 15. Caligus sp. pada penelitian..........................................................................22 16. Caligus sp. (Williams & Williams 1996).....................................................22
PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagian besar wilayah Indonesia terdiri dari perairan yang memiliki sumber daya beragam. Bila dikelola dengan baik hasil perairan akan menjadi salah satu sumber pendapatan negara yang sangat menjanjikan. Secara umum perairan dapat dibedakan menjadi dua yaitu perairan darat (tawar) dan perairan laut (asin) di mana perikanan merupakan salah satu hasil perairan Indonesia dengan prospek yang cukup bagus. Perikanan Indonesia semakin berkembang dengan adanya peningkatan ekspor ke negara lain. Selain itu konsumsi ikan dalam negeri pun tidak sedikit seiring dengan peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Oleh karena itu, peningkatan mutu harus diperhatikan, terutama dari segi kesehatan dan kualitas ikan. Salah satu kendala yang dihadapi dalam menjaga kesehatan ikan adalah faktor populasi ikan yang sangat besar. Kesehatan ikan akan bisa dijaga dan diawasi bila dilakukan pada sektor perikanan intensif di mana jumlah ikan terbatas dengan wilayah perairan yang kecil. Kesehatan ikan di perairan luas seperti laut akan jauh lebih sulit dijaga karena jumlah ikan yang lebih besar. Dipandang dari aspek kesehatan, kebutuhan minimal rakyat Indonesia terhadap ikan lebih dari 20 kg/jiwa/tahun (Jangkaru 2002). Produksi perikanan yang bermutu baik akan menunjang kesehatan masyarakat. Penyakit dan malnutrisi / kekurangan gizi dapat menyerang masyarakat jika kualitas produksi perikanan tidak diperhatikan. Selain itu, ikan dengan kualitas rendah dapat mengandung toksin atau parasit yang bersifat zoonosis. Parasit akan merugikan kesehatan dan kualitas ikan maupun bagi manusia yang mengkonsumsinya. Menurut Buchmann & Bresciani (2001) parasit bagi ikan dapat menyebabkan anemia, hemoragi, inflamasi, anoreksia dan letargi. Contoh cacing parasit ikan yang tidak bersifat zoonosis yaitu Capsala sp. (Williams & Williams 1996, Crisholm & Whittington 2006) dan Hysterolecitha sp. (Yamaguti 1958). Parasit yang bersifat zoonosis dapat menggangu kesehatan manusia berupa anemia, inflamasi dan hemoragi. Parasit yang bersifat zoonosis mendapat perhatian yang lebih. Contoh parasit ikan yang bersifat zoonosis dari golongan cestoda adalah Diphyllobothrium latum, D. dendriticum dan D. ditremum. Contoh
parasit zoonosis dari golongan digenea adalah Clonorchis sinensis, Opistorchis felineus, Metagonimus spp., Heterophyes spp. dan parasit nematoda adalah Anisakis sp (Buchmann & Bresciani 2001).
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis cacing parasit yang terdapat pada insang ikan tongkol.
Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat dalam penelusuran lebih jauh mengenai kecacingan pada ikan dan memperkaya pustaka cacing parasitik pada ikan di Indonesia.
TINJAUAN PUSTAKA A. Lingkungan Perairan Lingkungan perairan merupakan habitat dari berbagai jenis biota akuatik, salah satunya adalah ikan. Lingkungan ini memiliki parameter-parameter yang mempengaruhi homeostatis yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan reproduksi ikan. Bila lingkungan berubah dari batas normal akan dapat menimbulkan penyakit. Parameter yang penting adalah suhu, intensitas dan waktu mendapat sinar, susunan kimia air, kandungan benda-benda biologis, tersedianya ruangan dan makanan, serta hal-hal yang dapat membuat ikan stres (Nabib & Pasaribu 1989). Perairan terdiri dari perairan tawar, payau dan laut. Menurut Jangkaru (2002), habitat ikan di perairan tawar adalah sungai, rawa, danau, waduk, sawah, kolam irigasi dan kolam tadah hujan. Perairan payau biasanya terdapat pada perbatasan antara perairan tawar dan laut, yaitu di sekitar sungai pinggiran pantai yang bermuara ke laut. Perairan laut merupakan wilayah perairan paling luas yang memiliki biota laut yang paling beragam.
B. Kehidupan Ikan Tiap wilayah perairan memiliki jenis ikan yang berbeda. Perairan laut memiliki jenis ikan seperti tongkol, kembung, kakap, tuna dan lain-lain. Perikanan tawar memiliki jenis ikan seperti mujaer, mas, gurame, nila, lele dan lain-lain. Ikan merupakan hewan poikilothermik atau hewan berdarah dingin yang suhu tubuhnya mengikuti suhu lingkungan sekitarnya. Ikan memiliki batas-batas toleransi suhu tinggi dan rendah. Selain itu ikan juga memerlukan suhu optimum bagi pertumbuhan, inkubasi telur dan resistensi terhadap penyakit-penyakit tertentu. Batas-batas suhu ini dapat berbeda pada tiap jenis ikan dan dapat berubah sesuai dengan keadaan parameter lain, seperti tekanan oksigen dan pH air. Suhu air penting bagi kesehatan ikan karena mempengaruhi sifat-sifat dari lingkungan air. Suhu air di perairan darat sangat mudah berubah hingga mencapai 40oC. Hal ini sangat tergantung pada ketinggian, cuaca, garis lintang, perbedaan waktu siang dan malam serta kedalaman. Perubahan suhu pada air laut lebih kecil karena sirkulasi dan jumlah air lebih banyak di laut dan samudra. Umumnya daya larut
gas-gas berkurang bila suhu naik, sedangkan daya larut zat-zat beracun seperti minyak dan pestisida akan naik dengan kenaikan suhu. Toksisitas logam berat juga bertambah seiring kenaikan suhu (Nabib & Pasaribu 1989). Sebagai pengganti paru-paru pada hewan darat, ikan dilengkapi dengan insang. Luas permukaan epitel insang dapat menyerupai luas dari total permukaan kulit, bahkan pada sebagian besar spesies ikan luas permukaan epitel insang ini jauh melebihi kulit. Struktur insang ini merupakan hal yang penting dalam menyelenggarakan homeostatis ikan. Lapisan epitelnya tipis untuk mempermudah pertukaran gas, namun hal ini menyebabkan insang rawan terhadap invasi agen penyakit. Selain berfungsi dalam pertukaran gas, insang juga berfungsi sebagai pengatur pertukaran garam dan air, serta berperan penting dalam pengeluaran limbah-limbah yang mengandung nitrogen. Kerusakan struktur yang ringan pun dapat sangat mengganggu pengaturan osmosis dan pernafasan. Ikan dapat pula mengalami stres seperti makhluk hidup lain. Hal-hal yang dapat menyebabkannya adalah anoksia, infeksi, ketakutan serta gerakan-gerakan yang dipaksakan. Stres dapat mempengaruhi reaksi tanggap kebal pada hewan termasuk ikan. Kekebalan tubuh akan menurun jika ikan mengalami stres, sehingga ikan akan mudah terinfeksi agen penyakit. Menurut Nabib & Pasaribu (1989) kelainan-kelainan yang dapat terjadi pada ikan terutama pada organ insang adalah sebagai berikut : 1. Pembendungan hebat dari pembuluh darah insang. Hal ini dapat disebabkan oleh pencemaran lingkungan, infeksi kuman, iritasi oleh parasit ikan, avitaminosis dan jamur ikan. 2. Pengeluaran lendir berlebihan yang dapat disebabkan oleh zat kimia dan parasit. 3. Insang rusak tercabik-cabik yang disebabkan oleh zat kimia dan jarang oleh parasit. 4. Pembengkakan filamen-filamen insang yang disebabkan oleh kuman-kuman, avitaminosis dan iritasi oleh parasit. 5. Adanya cacing-cacing (monogenea, Diplozoon, Phylometra) yang terdapat pada insang ikan.
Ikan dapat menjadi inang bagi parasit. Menurut Buchmann & Bresciani (2001), terdapat beberapa jenis inang, yaitu inang antara, inang paratenik dan inang definitif. Cacing mencapai stadium dewasa pada inang definitif. Inang antara merupakan tempat perkembangan stadium-stadium larva cacing, biasanya satu stadium larva hidup pada satu jenis inang antara. Inang paratenik adalah inang yang membawa larva cacing dalam jangka waktu tertentu tanpa terjadi perkembangan larva tersebut. Ikan pelagis adalah ikan yang berenang bebas. Ikan ini biasanya mendatangi karang-karang walaupun sebagian besar bukan merupakan ikan yang berhabitat di sekitar karang. Hanya sedikit ikan pelagis yang berhabitat di sekitar karang. Ikan yang termasuk pelagis adalah famili Scombroidae, famili Carangidae dan famili Sphyraenidae (Kuiter 1992).
a. Ikan Tongkol Ikan tongkol termasuk dalam kelompok ikan tuna yang biasanya disebut Scombroid fish. Ada yang hidup di perairan tertentu, namun sebagian besar mengadakan migrasi sepanjang tahun. Telur-telurnya dapat mencapai 300.000 sampai 1.000.000 butir, yang biasanya ditetaskan di karang-karang. Tubuhnya berbentuk stream line dengan kondisi tubuh yang kuat dan mampu bergerak cepat. Ikan tuna memiliki sifat dan kebiasaan yaitu senang berenang cepat dan memburu mangsanya di lapisan permukaan ataupun di laut dalam. Ikan tuna di perairan biasanya membentuk suatu gerombolan. Tongkol atau Euthynnus sp. merupakan ikan yang juga dikenal dengan nama komo di Indonesia. Tongkol banyak terdapat pada Samudra Pasifik dan Samudra Hindia sepanjang khatulistiwa dan hampir tidak pernah berpindah ke daerah sub tropis. Ikan tongkol ini dapat hidup pada suhu air 16o sampai 31o C di daerah dekat pantai dengan kadar garam 34 ‰. Ikan tongkol sering dicampurbaurkan dengan tongkol pisang (Auxis thazard). Ikan tongkol memiliki bentuk kepala yang tajam dan bermata besar, sedangkan tongkol pisang memiliki mata yang kecil. Ikan tongkol memiliki badan padat dan linea lateralis yang berbentuk hampir lurus. Selain itu tongkol memiliki garis-garis hitam yang melengkung pada bagian punggung mulai di depan sirip
punggung pertama. Ciri terakhir ini dapat digunakan untuk membedakan tongkol dari tongkol pisang. Tongkol pisang memiliki garis yang dimulai di belakang sirip punggung pertama. Tanda paling khas yang terdapat pada tongkol adalah adanya enam atau lebih bintik-bintik hitam di antara sirip dada dan perut. Bintik-bintik ini tidak ditemukan pada ikan tongkol pisang. Hal lain yang membedakan tongkol dan tongkol pisang adalah jarak sirip punggung pertama dan sirip punggung kedua, di mana jarak sirip-sirip tongkol lebih dekat dibandingkan dengan tongkol pisang (Tampubolon 1983).
Gambar 1. Euthynnus sp. [http://www.pick5.pick.uga.edu] Tongkol maupun tongkol pisang memiliki warna hijau tua dan hijau muda pada bagian dorsal tubuhnya mulai dari linea lateralis sampai punggung. Bagian ventral ikan ini berwarna keperak-perakan. Rasa dagingnya kurang lezat dibandingkan dengan tuna lainnya sehingga kurang begitu terkenal dalam perdagangan tuna dunia. Tongkol ini termasuk dalam kingdom Animalia, filum Chordata, subfilum Vertebrata, superkelas Osteichthyes, kelas Actinopterygii, subkelas Neopterygii, infrakelas Teleostei, superordo Acanthopterygii, ordo Perciformes, subordo Scombroidei, famili Scombridae, subfamili Scombrinae, genus Euthynnus dan spesies Euthynnus sp. (Saanin 1984).
C. Cacing-cacing pada Ikan Parasit pada ikan dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit menyerang bagian luar tubuh inang seperti insang, sirip, lubang hidung, kornea dan permukaan kulit. Endoparasit menyerang bagian dalam
tubuh inang seperti esofagus, usus, kantung renang, otot, darah, jantung, hati, ginjal, saluran urinarius, limpa dan gonad (Nabib & Pasaribu 1989). Parasit ikan menjadi penting dalam kesehatan manusia bila dapat menular ke manusia atau yang disebut zoonosis. Zoonosis dapat terjadi bila manusia berkontak
dengan
hewan
atau
memakan
daging
yang
terkontaminasi.
Permasalahan penyakit cacing ikan biasanya dihubungkan dengan adanya larva cacing pada produk ikan. Demi keamanan dan kelayakan sebagai pangan manusia, produk ikan dipanaskan/dimasak atau dibekukan agar larva atau cacing dapat dimatikan (Buchmann & Bresciani 2001). Grabda (1991) membagi parasit pada ikan menjadi beberapa filum yaitu filum
Cnidaria,
Arthropoda,
Plathelminthes,
Nemathelminthes
dan
Acanthocephala. Filum Cnidaria adalah jenis parasit yang menyerang dan hidup pada oosit ikan. Filum Arthropoda merupakan jenis parasit yang bentuknya berbuku-buku. Filum Platyhelminthes memiliki karakteristik simetris bilateral, pipih dorsoventral, tidak ada segmen yang sesungguhnya, sistem pencernaan tidak lengkap, serta memiliki batil isap atau kait atau keduanya untuk menempel pada inang. Selain itu karakteristik lain cacing filum ini adalah memiliki lapisan otot yang berkembang baik dan tidak memiliki rongga tubuh. Ruangan antara organ dalam tubuh diisi oleh massa sel parenkim. Filum ini tidak memiliki sistem rangka, sirkulasi dan respiratori. Cacing filum ini biasanya bersifat hermaprodit sehingga dapat melakukan fertilisasi sendiri. Cacing yang termasuk dalam filum Platyhelminthes adalah kelas Monogenea, kelas Trematoda, kelas Cestodaria dan kelas Cestoidea. Karakteristik filum Nemathelminthes adalah simetris bilateral, tidak memiliki segmen yang sesungguhnya, tubuh silindris, alat pencernaan yang lengkap, serabut otot yang hanya longitudinal dan pseudocoel. Selain itu cacing ini tidak memiliki organ sirkulasi atau respiratori, dan kelamin biasanya terpisah, ada
hewan
jantan
dan
betina.
Cacing
yang
termasuk
dalam
filum
Nemathelminthes adalah kelas Nematoda atau yang biasa disebut cacing gilig (Storer et al 1968).
a. Monogenea Hampir semua spesies dari kelas Monogenea berperan sebagai ektoparasit ikan, hanya sebagian kecil yang hidup sebagai endoparasit. Kelas Monogenea terbanyak terdapat pada ikan yaitu sekurang-kurangnya 95%, dan sisanya terdapat pada amfibi dan reptil. Pada ikan biasanya cacing menempel di insang atau di permukaan tubuh. Pada sedikit kasus, monogenea telah ditemukan pada kloaka, ureter atau dalam rongga tubuh. Monogenea adalah cacing pipih yang tidak bersegmen dengan organ perlekatan berbentuk sucker (batil isap) atau cakram perlekatan. Terdapat dua jenis batil isap, batil isap oral (prohaptor) yang mengelilingi mulut, dan batil isap ventral yang tidak memiliki hubungan dengan saluran pencernaan melainkan hanya sebagai media perlekatan pada inang. Baer (1952) menyebutkan batil isap ventral sebagai opisthaptor. Opisthaptor terletak posterior berbentuk cakram kompleks dilengkapi dengan kait dan alat pengisap yang memungkinkan parasit menempel pada inang. Bentuk opisthaptor bermacam-macam tergantung klasifikasi filogeninya. Batil isap berbentuk seperti mangkuk, memiliki otot, dan merupakan organ kontraktil yang kuat. Mulut merupakan tempat masuknya makanan, kemudian dilanjutkan faring muskular yang kuat dan saluran pencernaan buntu yang biasanya bercabang (Nabib & Pasaribu 1989). Perkembangan monogenea berawal dari telur menetas menjadi larva yang secara bertahap berkembang menjadi dewasa. Larva berenang bebas kemudian menemukan inang, menghilangkan silianya dan merayap pada kulit untuk selanjutnya menuju insang, mulut atau anus dan menjadi dewasa. Transformasi larva menjadi dewasa selalu terjadi pada inang definitif dan tidak melibatkan inang antara, oleh karena itu siklus hidupnya disebut siklus hidup langsung. Monogenea yang ditemukan dalam jumlah besar pada ikan akan menyebabkan kondisi patologis seperti kerusakan epitel insang dan anemia. Contoh monogenea yang telah ditemukan pada ikan laut adalah Entobdella, Ancyrocotyle dan Encotyllabe (Baer 1952). Menurut Nabib & Pasaribu (1989), monogenea parasit ikan yang terpenting secara ekonomis di perairan tawar antara adalah famili Dactylogyridae dan Gyrodactylidae.
Dogiel dan Lutta (1937) di dalam Grabda (1991) menyebutkan bahwa seekor parasit monogenea dapat mengisap darah inangnya sebanyak 0.5 cm3 dalam sehari. Parasit dapat ditemukan mencapai 1000 ekor dalam satu spesimen inang. Semakin kecil ukuran inang semakin sedikit pula volume darah yang dimilikinya, sehingga keberadaan parasit dapat berdampak buruk sampai pada kematian. Sebaliknya, semakin besar ukuran tubuh seekor inang semakin besar pula volume darah yang dimilikinya sehingga keberadaan parasit masih dapat ditolerir walau inang juga dirugikan. Salah satu jenis monogenea yang banyak ditemukan pada ikan tongkol adalah dari famili Capsalida dan subfamili Capsalinae. Subfamili Capsalinae memiliki beberapa genus yaitu Tristoma, Capsaloides dan Capsala. Williams dan Williams (1996) menulis beberapa spesies Capsalinae seperti terangkum dalam Tabel 1.
b. Trematoda Digenea Trematoda
digenea
memiliki
tiga
subkelas
yaitu
Aspidogastrea,
Didymozoida dan Digenea (Grabda 1991). Aspidogastrea merupakan parasit yang ditemukan terutama pada ikan laut, terdapat dalam rongga tubuh (usus, esophagus, kantong empedu dan saluran empedu). Digenea merupakan parasit yang memiliki satu atau sepasang alat pengisap. Perkembangannya selalu melalui satu atau dua jenis induk semang antara. Induk semang definitif umumnya mengandung berbagai stadium larva yang berkembang biak secara aseksual. Digenea ditemukan pada ikan dalam bentuk larva atau dewasa seksual. Pada stadium larva ia berbentuk kista sebagai metaserkaria dalam jaringan bawah kulit atau di dalam alat tubuh internal (saluran gastro-intestinal) dan jarang pada insang atau darah (Nabib & Pasaribu 1989).
Tabel 1. Berbagai Jenis Spesies Monogenea Capsalidae (Dari Williams dan Williams 1996) Monogenea
Nama lain
Capsalidae
Panjang
Letak
tubuh
opisthaptor
Inang
(mm) Capsaloides cornutus
-
5.3-8.0 4.3-5.5
Dalam garis tepi tubuh
Capsaloides magnaspinosus
-
5.4-6.6 4.3-5.5
Dalam garis tepi tubuh
Caballerocotyla manteri Nasicola klawei
Capsala sp.
2.1-2.6
Caballerocotyla sp. Tristoma sp.(Rossignol & Repelin) Capsala thynni (Guiart) Tristoma aculeatum (Grube) T. papillosum (Diesing)
7.5-11.9
Luar garis tepi tubuh Dalam garis tepi tubuh
Tristoma coccineum
Tristomella lintoni Tristomella onchidiocotyle
Yellowfin tuna Blackfin tuna
10.0-16.4
Dalam garis tepi tubuh
Swordfish
5.8-12.0
Dalam garis tepi tubuh
Swordfish
Capsala sp. Tristoma sp. Tristomum poeyi (Vigueras) -
7.75-11.5
Luar garis tepi tubuh
Ikan bill
-
skipjack tuna
-
2.6
bluefin tuna
Tristoma integrum Tristomella laevis
8.2-10.9
White marlin Longbill spearfish White marlin Longbill spearfish Tuna kecil
Dydimozoida adalah digenea yang tubuhnya terbagi menjadi dua bagian yaitu bagian utama yang lebih besar, serta bagian kedua yang lebih kecil dan berbentuk menyerupai pita atau filamen. Digenea dalam sistem peredaran darah dapat menimbulkan kerusakan hebat terutama pada anak ikan bila terdapat dalam jumlah yang besar. Parasit ini hidup dalam pembuluh darah, terutama dalam bulbus arteriosus, pembuluh darah insang dan ginjal. Genus utamanya adalah Sanguinicola, yang spesies utamanya S. inermis pada ikan mas. Cacing dewasa yang terdapat dalam jumlah besar dapat menyumbat pembuluh darah insang, gumpalan-gumpalan besar telurnya dapat terbawa ke ginjal yang kemudian membentuk kista-kista. Cara pemberantasannya ialah dengan membasmi siputsiput induk semang antara dengan menggunakan kapur yang ditaburkan dalam kolam, juga dapat menggunakan baylucid (0.5 mg/liter air) dalam kolam yang belum berisi ikan (Nabib & Pasaribu 1989). Digenea merupakan parasit yang bersifat hermaprodit, yaitu memiliki dua jenis kelamin jantan dan betina dalam satu individu. Kelamin betina terdiri dari ovarium tunggal, oviduk, ootipe, vitelaria, uterus, dan lubang kelamin. Kelamin jantan terdiri dari testes yang kebanyakan sepasang, vas deferens, saluran ejakulasi, dan penis. Siklus hidup digenea sangat kompleks dan biasanya melibatkan dua inang antara dan satu inang definitif. Menurut Grabda (1991) stadium perkembangan digenea adalah telur, mirasidium, sporokista, redia, serkaria, metaserkaria dan dewasa. Larva mirasidium yang keluar dari telur berbentuk oval dan panjang, memiliki silia yang berguna untuk berenang dalam air. Mirasidium ini berumur tidak lebih dari 24 jam dan akan mati bila tidak menemukan inang antara pertama (biasanya moluska). Pada beberapa spesies digenea, telur mengendap ke dasar perairan dan dimakan oleh siput. Dalam usus siput telur pecah menghasilkan mirasidium tidak bersilia yang terus berada dalam usus siput yang kemudian akan mengalami perkembangan lebih lanjut. Larva memiliki kelenjar yang dapat mensekresi bahan pelisis bagian dinding tubuh inang sehingga ia dapat berpenetrasi ke tubuh inang antara. Pada mirasidium dapat ditemukan tahap awal dari sistem pencernaan, ekskretori dan saraf.
Sporokista dan redia berbentuk seperti kantung. Perkembangan redia lebih maju dibandingkan dengan sporokista karena sel-sel germinalnya berkembang lebih baik daripada sel germinal sporokista. Sel germinal inilah yang menjadi dasar untuk berkembang ke stadium selanjutnya. Ada beberapa spesies yang tidak mengalami stadium sporokista atau redia; bahkan ada serkaria yang langsung dapat menjadi dewasa tanpa melalui stadium metaserkaria. Serkaria memiliki saluran pencernaan yang berkembang dengan baik. Pada tahap ini juga sudah terlihat perkembangan awal dari organ-organ dewasa. Serkaria memiliki sesuatu yang akan hilang pada stadium dewasa yaitu bintik mata berbentuk X dan dua grup kelenjar penetrasi yang terletak pada kedua sisi mulut. Kelenjar ini mensekresikan enzim pelisis yang menghancurkan jaringan inang. Serkaria dilengkapi dengan organ lokomotor yaitu ekor, yang berbeda bentuk dan ukuran tergantung spesiesnya. Ekor ini memungkinkan serkaria berenang bebas di air setelah meninggalkan inang antara pertama menuju inang antara kedua yang biasanya ikan. Serkaria berpenetrasi melalui kulit masuk ke dalam otot ikan, lalu kehilangan ekornya dan kemudian membentuk kista untuk menuju tahap selanjutnya yaitu metaserkaria. Beberapa serkaria masuk ke dalam tubuh ikan karena tertelan bersama makanan. Metaserkaria tinggal dalam berbagai organ dalam tubuh inang antara kedua dan menunggu sampai ada inang definitif muncul. Inang definitif dapat berupa ikan, amfibi, reptil, unggas dan mamalia. Pada inang definitif meteserkaria kehilangan kistanya dan mengembangkan gonad untuk menjadi bentuk dewasa yang mampu menghasilkan telur.
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama bulan Juli 2007 hingga Juli 2008. Pengambilan ikan tongkol dilakukan di tempat pelelangan ikan Jakarta dan pengamatan dilakukan pada Laboratorium Helminthologi Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan insang ikan laut yaitu tongkol yang didapat dari pelelangan ikan Muara Angke Jakarta Utara. Cara memilih ikan segar yaitu dengan melihat insang dan matanya di mana insang ikan segar berwarna merah dan matanya terlihat jernih. Ikan tongkol yang diambil sejumlah 16 ekor cukup sebagai bahan untuk penelitian eksploratif kecacingan pada insang ikan tongkol. Metode yang dilakukan pertama-tama adalah ikan yang sudah mati diambil insangnya dan dimasukkan ke dalam cawan petri yang berisi NaCl fisiologis. Setelah itu dengan menggunakan mikroskop, cacing dikoleksi dengan cara menyisir setiap filamen insang. Cacing yang ditemukan disimpan dalam botol plastik kecil berisi alkohol 70 % sebelum dilakukan pewarnaan. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah : NaCl fisiologis, alkohol 70%, bahan pewarnaan Semichon’s acetocarmine, asam alkohol, alkohol bertingkat (70%, 85%, 95% dan absolut) dan xylol. Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah mikroskop cahaya, gelas objek, gelas penutup, video mikrometer, kulkas, cawan petri, botol plastik kecil, gunting, pinset dan pipet. Teknik Parasitologi Platyhelminthes diwarnai menggunakan teknik pewarnaan permanen. Teknik yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan Semichon’s acetocarmine. Pewarnaan ini dilakukan dengan cara merendam sampel cacing dalam zat warna Semichon’s acetocarmine selama 5-7 menit sampai menjadi berwarna merah. Kemudian sampel dimasukkan ke dalam asam alkohol (alkohol
70% yang mengandung 2-45 tetes HCl) selama 3-5 menit. Asam alkohol berfungsi untuk menghilangkan warna yang berlebihan. Lalu sampel tersebut didehidratasi dengan alkohol secara bertingkat (70%, 85%, 95% dan absolut). Selanjutnya dilakukan clearing, yaitu teknik untuk membuat sampel tembus terang menggunakan xylol kemudian sampel dimounting dengan Entelan. Teknik Penghitungan Prevalensi Metode penghitungan prevalensi yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan membagi jumlah ikan terinfeksi parasit dengan jumlah total sampel ikan tongkol dan dikalikan dengan 100 %, seperti berikut : Jumlah ikan yang terinfeksi parasit Prevalensi =
X 100 % Jumlah total sampel ikan
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian dari ikan tongkol (Euthynnus sp.) menunjukkan adanya parasit, yaitu cacing monogenea, cacing digenea, cacing cestoda dan copepoda yang menginfestasi bagian insang ikan. Cacing parasit yang yang ditemukan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Jenis Cacing Parasit yang Ditemukan pada Insang Ikan Tongkol (Euthynnus sp.) Cacing
Jenis
1
Monogenea Capsala sp.
2
Digenea Hysterolecitha sp.
2.45
3
Digenea 2 Larva Cestoda
1.04
4
Ukuran (mm) 2.97 x 2.10
0.60
Morfologi Terdapat lobus sephalik yang memiliki sepasang bintik mata & sepasang prohaptor; opisthaptor memiliki tanduk kitin dan berada sedikit di luar garis tepi tubuh serta memiliki 1 depresi sentral dan 7 depresi perifer; mulut; pharyng; uterus; ovarium; saluran sperma; testes; vitelaria yang menyebar; dan intestin yang bercabang. (Gambar 2-7) Terdapat acetabulum lebih besar dari batil hisap oral; batil hisap oral terletak subterminal; pharyng globular; uterus yang desenden lalu asenden; sepasang testes diagonal post acetabulum; ovarium post testes; vitelaria berbentuk seperti bunga; lubang genital di dekat percabangan usus; usus yang bercabang sampai ke posterior; saluran ekskretori berbentuk huruf Y (Gambar 8-11) Terdapat batil hisap oral & acetabulum (Gambar 12) Terdapat skoleks & bentukan leher (Gambar 13-14)
Keterangan : 1. Prohaptor 2. Mulut 3. Faring 4. Usus/intestin 5. Vitelin 6. Opisthaptor 7. Saluran sperma 8. Uterus 9. Saluran vitelin 10. Ovarium 11. Testes Gambar 2. Tristoma (Hyman 1951)
Gambar 3. Capsala sp. dari penelitian
(4x)
Gambar 4. Capsala sp. dari penelitian (10x)
Gambar 6. Capsala sp. dari penelitian (40x)
Gambar 5. Capsala sp. dari penelitian (40x)
Gambar 7. Capsala sp. dari penelitian (40x)
Keterangan : 1. Batil isap oral 2. Faring 3. Acetabulum 4. Uterus 5. Testes saling diagonal 6. Ovarium 7. Vitelin 8. Usus/sekum
Gambar 8. Organ tubuh Hysterolecitha (4x)
Gambar 10. Hysterolecitha pada penelitian(10x)
Gambar 9. Skema organ tubuh Hysterolecitha (Yamaguti 1958)
Gambar 11. Hysterolecitha pada penelitian (10x)
Gambar 12. Digenea 2 (10x)
Gambar 13. Larva Cestoda
Gambar 14. Larva Cestoda
A. Monogenea Capsala sp. Cacing yang ditemukan menurut Bychowsky (1962) termasuk dalam filum Platyhelminthes,
kelas
Monogenea,
subkelas
Polyonchoinea,
ordo
Dactylogyridea, subordo Monophisthocotylinea, famili Capsalidae dan subfamili Capsalinae. Subfamili Capsalinae merupakan parasit yang banyak ditemukan pada ikan laut famili Scombridae. Tubuh monogenea dapat memendek dan memanjang secara luar biasa. Bentuk tubuh monogenea biasanya bilateral simetris dorsoventral. Monogenea subfamili Capsalinae (Tristoma coccineum) memiliki panjang dan lebar tubuh yang hampir sama ukurannya. Batil hisap anterior (prohaptor) muskulatoris berkembang dengan baik. Batil hisap posterior (opisthaptor) seluruhnya dapat berada di dalam garis tepi tubuh atau sedikit di luar garis tepi tubuh. Bagian ventral tubuh biasanya konkaf dan bagian dorsal biasanya konvek. Monogenea bergerak seperti lintah yaitu dengan mengkontraksikan tubuhnya hingga dapat memendek atau memanjang. Ketika ingin berpindah parasit ini mengencangkan prohaptornya pada tubuh inang, lalu melepaskan opisthaptornya dan menempelkannya kembali pada daerah lain. Kemudian prohaptor dilepaskan dan dilekatkan kembali pada daerah baru di mana ia akan makan. Makanan cacing monogenea adalah mukus, sel epitel atau darah (Williams & Williams 1996). Pada bagian anterior terdapat lobus sephalik yang berkembang dengan sangat baik dan sepasang prohaptor. Pada bagian posterior terdapat opisthaptor yang memiliki depresi sentral, dan dari sentral tersebut terbagi-bagi menjadi 7 depresi perifer di mana setiap bagian dibatasi oleh septa muskular. Pada 2 septa paling posterior terdapat 2 tanduk kitin (kait) yang berfungsi sebagai alat pencengkram agar parasit melekat lebih kuat (Bychowsky 1962). Menurut Hyman (1951) tubuh monogenea genus Trisoma dan Capsala memiliki sepasang prohaptor, opisthaptor, mulut, pharyng, saluran sperma, uterus, ovarium, testes, kelenjar vitelin dan intestin yang bercabang. Dari spesimen cacing yang ada dapat ditemukan sepasang prohaptor, opisthaptor, mulut, pharyng, intestin, saluran sperma, uterus, ovarium, testes dan kelenjar vitelin. Anatomi organ tubuh cacing monogenea Tristoma dapat dilihat pada Gambar 2.
Pada spesimen dapat ditemukan prohaptor yang terletak di lateral lobus sephalik. Pada lobus sephalik juga terdapat sepasang bintik mata yang terletak di anterior prohaptor (Gambar 4). Menurut Grabda (1991) bintik mata ini dilengkapi juga dengan lensa dan berfungsi sebagai sensor. Opisthaptor yang terletak di bagian posterior memiliki depresi sentral dan 7 depresi perifer di mana setiap bagian dibatasi oleh septa muskular. Seperti terlihat pada Gambar 7, pada 2 septa paling posterior terdapat 2 tanduk atau kait kitin. Opisthaptor tersebut terletak sedikit di luar garis tubuh monogenea dan dapat dilihat pada Gambar 3 & 7. Di posterior lobus sephalik dan prohaptor terdapat mulut berbentuk bulat seperti lubang dan pharyng muskularis yang mengelilinginya (Gambar 3 & 4). Pharyng ini berfungsi sebagai pompa untuk menyerap makanan dari inangnya. Ovarium berbentuk lobus dan terletak di posterior pharyng. Testes yang jumlahnya banyak terletak di bagian posterior ovarium. Ovarium dan testes terletak di bagian medial tubuh mulai dari posterior pharyng sampai ke anterior opisthaptor. Kedua sisi lateral tubuh cacing dipenuhi oleh kelenjar vitelin berlobus-lobus yang menyebar. Ovarium, testes dan vitelin dapat dilihat pada Gambar 5. Uterus dan saluran sperma terletak berdekatan dan sejajar berada di salah satu sisi pharyng. Pada daerah ini terlihat bentuk uterus berupa saluran lurus dan saluran sperma berbentuk melingkar-lingkar dan ujungnya menyerupai payung (Gambar 6). Monogenea Capsalidae ini memiliki panjang 2.9 mm dan opishaptornya terletak sedikit di luar garis tepi tubuh. Menurut Tabel 1 dapat disimpulkan bahwa spesies yang paling cocok dengan spesimen monogenea yang ditemukan adalah Caballerocotylla sp. atau dapat digolongkan dalam Capsala sp. Crisholm & Whittington (2006) mengatakan bahwa Capsaloides sp. lebih banyak menyerang ikan kelompok famili Isthioporidae, oleh karena itu spesimen cacing yang ditemukan dapat dikatakan tidak termasuk golongan Capsaloides sp. Di samping itu, Capsala sp. memiliki inang spesifik pada ikan tuna kecil seperti tongkol (Euthynnus sp. atau Auxis sp.).
B. Digenea Hysterolecitha sp. Subkelas Digenea memiliki acetabulum, batil hisap oral, testes, vas deferens, ovarium, vitelaria, uterus, pharyng, sekum, alat ekskresi dan lain-lain. Spesimen cacing yang ditemukan adalah berasal dari filum Platyhelminthes, kelas Trematoda, subkelas Digenea, subordo Prosostomata, famili Hemiuridae, subfamili Hysterolecithinae dan genus Hysterolecitha (Yamaguti 1958). Subordo Prosostomata diidentifikasi dari letak mulut di terminal atau subterminal. Famili Hemiuridae diidentifikasi dari letak acetabulum di ventral, intestin bercabang, ekskretori vesikel berbentuk huruf Y (Gambar 10), adanya duktus hermaproditikus, ovarium yang kompak dan sepasang testes. Subfamili Hysterolecithinae diidentifikasi dari testes dan vitelaria yang terletak di tubuh bagian belakang, di mana vitelaria terletak di posterior testes. Vitelaria ini berbentuk kompak dan terbagi menjadi 7 lobus berbentuk seperti bunga. Selain itu subfamili Hysterolecithinae tidak memiliki kantong cirrus, tidak memiliki ekor dan seminal vesikel terletak di bagian depan tubuh. Genus Hysterolecitha memiliki ciri-ciri badan silindris tanpa ekor, batil hisap oral subterminal, pharyng globular, esophagus pendek dan sekum yang mencapai posterior. Acetabulum sangat menonjol dan berukuran lebih besar dari batil hisap oral, terletak sekitar sepertiga anterior tubuh. Sepasang testes yang letaknya diagonal tidak langsung terletak di posterior acetabulum, melainkan ada sedikit jarak. Duktus hermaproditikus dikelilingi oleh kantong muskular hermaproditik. Lubang genital terletak tepat setelah percabangan usus. Ovarium terletak di bagian belakang tubuh dan vitelaria berbentuk lobus menyerupai bunga. Uterus berjalan desenden di belakang vitelaria lalu asenden ke bagian anterior tubuh. Spesimen digenea yang ditemukan memiliki ciri-ciri menyerupai genus Hysterolecitha, oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa spesimen termasuk dalam genus Hysterolecitha. Menurut Williams dan Williams (1996) cacing digenea dewasa dapat ditemukan pada usus, lambung, mulut dan kadang pada paru-paru serta organ lainnya. Yamaguti (1958) menyebutkan bahwa spesies Hysterolecitha microrchis dapat ditemukan pada esofagus ikan Girella punctata (ikan pedang). Cacing digenea yang ditemukan pada insang ikan tongkol diduga disebabkan faktor
insidental atau tidak sengaja berada pada insang. Selain itu, jika melihat siklus hidup digenea yang kompleks, serkaria yang berenang bebas dapat tertelan langsung oleh ikan setelah keluar dari inang siput (Grabda 1991). Tidak tertutup kemungkinan serkaria ini berada di insang dan berkembang menjadi dewasa di insang tersebut.
C. Digenea 2 Digenea lain juga ditemukan pada preparat insang ikan tongkol. Spesimen cacing digenea yang kedua ini tidak mudah diidentifikasi karena kondisi spesimen yang sudah mengkerut (Gambar 12). Spesimen ini rusak diduga disebabkan karena proses fiksasi dan pewarnaan yang kurang sempurna. Untuk memudahkan dalam analisis, jenis cacing parasitik ini diberi sandi digenea 2. Spesimen ini diduga berasal dari famili yang sama dengan digenea sebelumnya yaitu famili Hemiuridae. Pendugaan ini didasarkan pada letak batil hisap dan acetabulum yang berdekatan merupakan karakteristik famili Hemiuridae. Ukuran digenea kedua ini lebih kecil sekitar setengah kali dibandingkan dengan digenea pertama yaitu 1.04 mm.
D. Cestoda Spesimen cacing lain yang ditemukan diduga adalah berasal dari kelompok cestoda dalam stadium larva. Cacing ini memiliki bentukan yang menyerupai skoleks di bagian anterior. Spesimen ini tidak dapat diidentifikasi dengan baik karena kondisi preparat yang kurang baik. Cestoda bukan merupakan parasit yang terdapat pada insang. Cacing dewasa cestoda dapat ditemukan di saluran pencernaan vertebrata. Cacing ini ditemukan pada insang dikarenakan kontaminasi dari perairan atau dari dalam saluran cerna ikan.
E. Temuan Non-Helminth (Copepoda) Parasit copepoda juga ditemukan pada spesimen insang ikan tongkol. Parasit tersebut termasuk kelas Crustacea, ordo Siphonostomatoida, famili Caligidae, genus Caligus dan spesies Caligus sp. Menurut Williams & Williams (1996) parasit copepoda ini merupakan parasit yang umum menyerang ikan laut seperti famili Rachycentridae, Carangidae, Coryphaenidae, Sphyraenidae, Scombridae, Xiphiidae dan Istiophoridae. Parasit ini ditemukan di daerah permukaan tubuh, ruang mulut, ruang insang, filamen insang dan sirip ikan. Bentuk parasit ini dapat dilihat pada Gambar 15 &16. Copepoda merupakan salah satu inang antara dari cestoda. Copepoda menelan telur cacing cestoda yang kemudian akan berkembang menjadi procerkoid di dalam tubuhnya.
Gambar 15. Caligus sp. pada penelitian
Gambar 16. Caligus sp. (Williams & Williams 1996)
Prevalensi Prevalensi kecacingan yang didapat pada penelitian ini adalah 25 % yang berarti dari sampel ikan sebanyak 16 ekor, didapat 4 ekor ikan terinvestasi parasit cacing. Berdasarkan kategori yang ditulis Williams & Williams (1996) prevalensi tersebut termasuk dalam kategori “often” (sering kali). Bila dihitung berdasarkan kelompok cacing, maka prevalensi kecacingan monogenea didapat sebesar 6.25% dan prevalensi kecacingan cestoda sebesar 6.25% termasuk dalam kategori “occasionally” (kadang-kadang). Selain itu didapat pula prevalensi kecacingan digenea sebesar 12.5% dan termasuk dalam kategori “often”. Prevalensi copepoda yang didapat yaitu 6.25% dan termasuk dalam kategori “occasionally”.
Kategori Prevalensi menurut Williams & Williams (1996) Frequency of Infection : always = 100-99% almost always = 98-90% usually = 89-70% frequently = 69-50% commonly = 49-30% often = 29-10% occasionally = 9-1% rarely = <1-0.1% very rarely = <0.1-0.01% almost never = <0.01%
KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Parasit yang ditemukan pada insang ikan tongkol adalah cacing monogenea genus Capsala, cacing digenea genus Hysterolecitha, larva cestoda dan copepoda Caligus sp. Cacing digenea dan cestoda yang bersifat endoparasit ditemukan pada insang diduga disebabkan karena faktor insidental. Dari kelima jenis parasit yang ditemukan tidak ada parasit yang bersifat zoonotik, kecuali larva cestoda karena belum dapat diidentifikasi.
SARAN Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah ikan yang lebih banyak dan berbeda musim serta lokasi yang bervariasi untuk lebih mendalami cacing parasit pada ikan. Sebaiknya cacing yang ditemukan direlaksasi dalam NaCl Fisiologis terlebih dahulu untuk menghindari kondisi cacing yang mengkerut. Selain itu diperlukan ketelitian dalam pewarnaan terutama setelah perendaman dalam alkohol absolut sebaiknya sesegera mungkin direndam dalam cairan berikutnya agar kondisi preparat tidak rusak.
DAFTAR PUSTAKA Baer JG. 1952. Ecology of Animal Parasites. The University of Illinois Press : Urbana. Bychowski. 1962. Monogenetic Trematodes 9Ed. Graphic Arts Press, Inc : Washington. Buchmann K & J Bresciani. 2001. Parasitic Diseases of Freshwater Trout. DSR Publisher : Denmark. Crisholm LA & ID Whittington. 2006. Revision of Capsaloides (Monogenea: Capsalidae) with a redescription of C. magnaspinosus Price, 1939 from the nasal tissue of Tetrapterus audax (Istiophoridae) collected off Nelson Bay, New South Wales, Australia. Zootaxa 1160: 1–20, 27 Maret. Grabda J. 1991. Marine Fish Parasitology. Polish Scientific Publisher : Warszawa. Hyman LH. 1951. The Invertebrates : Platyhelminthes and Rhinchocoela the Acoelomata Bilateria Vol. II. McGraw-Hill Bool Company : USA. Jangkaru Z. 2002. Pembesaran Ikan Air Tawar di Berbagai Lingkungan Pemeliharaan. Penebar Swadaya : Jakarta. Klinke HR & E Elkan. 1965. The Principal Diseases of Lower Vertebrates Book I Diseases of Fishes. Academic Press Inc. Ltd : London. Kuiter RH. 1992. Tropical Reef-Fishes of the Western Pasific Indonesia and Adjacent Water. PT Gramedia Pustaka Utama : Jakarta. Nabib R & FH Pasaribu. 1989. Patalogi dan Penyakit Ikan. Lembaga Sumberdaya Informasi : Bogor. Noga EJ. 1996. Fish Disease Diagnosis and Treatment. Mosby-Year Book, Inc. : North Carolina. Robertson R. 2006. Discover life - Euthynnus http://www.pick5.pick.uga.edu [25Agustus 2008]
image.
[website]
Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Vol. 1&2. Bina Cipta : Jakarta. Storer TI et al. 1968. Elements of Zoology 3rd Edition. McGraw Hill Book Company : New York. Tampubolon SM. 1983. Ikan Tuna dan Perdagangannya. Gaya Baru : Jakarta. Williams EH Jr & LB Williams. 1996. Parasites of Offshore Big Game Fishes of Puerto Rico and The Western Atlantic. Departement of Natural and Environmental Resources dan University of Puerto Rico : Puerto Rico. Yamaguti S. 1958. Systema Helminthum Vol.1 The Digenetic Trematodes of Vertebrates Part I&II. Interscience publisher, Inc : New York.