INFEKSI RUBELA PADA IBU HAMIL TRIMESTER I : IMPLEMENTASI PP NO. 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI Ida Bagus Indrayoga Permana 1, A.A. Gede Raka Budayasa 1, I Wayan Megadhana 1, I Dewa Made Sukrama 2 1
Bagaian/SMF Obstetri Dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar-Bali 2 Bagaian/SMF Obstetri Dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSU Sanjiwani Gianyar-Bali ABSTRAK Rubela adalah penyakit virus yang disebabkan oleh togavirus dari genu rubivirus yang ditandai dengan timbulnya ruam makulopapular. Jika infeksi virus rubela terjadi pada kehamilan, khususnya trimester pertama, angka infeksi fetal mencapai 80% dengan risiko cacat bawaan hingga 90% yaitu dengan congenital rubela syndrome (CRS). Congenital rubela syndrome dapat mengakibatkan terjadinya abortus, bayi lahir mati, prematur dan cacat apabila bayi tetap hidup. Pasien wanita, 25 tahun, dengan riwayat gejala klinis menyerupai gejala infeksi rubela saat usia kehamilan 8 minggu. Pasien saat diperiksa sedang hamil kedua, anak pertama laki-laki berusia 2 tahun lahir spontan dibantu oleh tenaga kesehatan. Anak pertama pasien juga memiliki riwayat gejala klinis menyerupai infeksi rubela empat minggu sebelum timbul gejala yang sama pada pasien. Pemeriksaan serologi pertama pada pasien saat usia kehamilan 8-9 minggu didapatkan antibodi IgM rubela positif dan antibodi IgG rubela negatif. Pada pemeriksaaan serologi antibodi rubela kedua 3 minggu kemudian, ditemukan IgG dan IgM posotif. Berdasarkan hasil pemeriksaan, pasien didiagnosis hamil muda dengan infeksi rubela trimester pertama. Penatalaksanaan pada pasien ini dilakukan terminasi kehamilan setelah dilakukan rapat tim dokter untuk menilai kelayakan terminasi kehamilan serta konseling pada pasien dan keluarga pasien berlandaskan Peraturan Pemerintah (PP) no. 61 tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi. Kata kunci: infeksi; rubela; kehamilan; trimester pertama; kesehatan reproduksi ABSTRACT Rubella is a viral disease caused by togavirus of genus rubivirus characterized by a maculopapular rash. If the rubella virus infection in the first trimester of pregnancy, fetal infection rates reaching 80% in the risk of congenital defects by up to 90%, ie with congenital rubela syndrome (CRS). Congenital rubela syndrome may result in abortion, stillbirth, premature and flawed when the baby alive. A 25 years old women, has a history of clinical symptoms resemble rubella-like symptoms infection during her 8 weeks pregnancy. Patients was in her second pregnancy, the first male child was 2 years old, spontaneous birth, assisted by skilled health personnel. The first child also had a history of clinical symptoms resemble rubella-like infection, four weeks before symptoms similar to patients. The first serology in patients, 8-9 weeks of pregnancy rubella IgM antibodies obtained positive and negative rubella IgG antibodies. In the second rubella antibody serology examination, three weeks later, was found IgG and IgM positive. Based on the results of the examination, the patient diagnosed with young pregnancy and rubella infection first trimester. Management of these patients performed termination of pregnancy after the meeting of a team of doctors to assess the feasibility of termination of pregnancy as well as counseling to patients and their families based on legal regulation, GR no. 61 of 2014 on reproductive health. Keywords: infection; rubella; pregnancy; first trimester; reproductive health
PENDAHULUAN Rubela adalah penyakit virus yang disebabkan oleh togavirus dari genu Rubivirus yang ditandai dengan timbulnya ruam makulopapular.1 Infeksi biasanya hanya menimbulkan sedikit keluhan atau tanpa gejala pada anak-anak. Infeksi pada orang dewasa dapat menimbulkan keluhan demam, sakit kepala, lemas dan konjungtivitis. Tujuh puluh persen kasus infeksi rubela pada orang dewasa menyebabkan terjadinya atralgia atau artritis.1,2 Jika infeksi virus rubela terjadi pada kehamilan, khususnya trimester pertama sering menyebabkan congenital rubela syndrome (CRS). Congenital rubela syndrome dapat mengakibatkan terjadinya abortus, bayi lahir mati, prematur dan cacat apabila bayi tetap hidup. Congenital rubela syndrome merupakan gabungan beberapa keabnormalan fisik yang berkembang di bayi sebagai akibat infeksi virus rubela maternal yang berlanjut dalam fetus.1,2 Berdasarkan data WHO, di Amerika Serikat pada tahun 1964–1965 terdapat 12,5 juta kasus rubela, 2.000 kasus dilaporkan dengan encephalitis, 11.250 dengan terapi atau abortus spontan, 2.100 kematian neonatal dan 20.000 kasus CRS dengan gangguan pendengaran berjumlah 11.600, kebutaan 3.580 dan retardasi mental 1.800.1,2 Data terakhir pada tahun 2004-2011, dilaporkan terdapat 4 kasus CRS dari 293.655.405 total penduduk pada saat itu. Untuk negara-negara di Asia Tenggara sendiri, tercatat pada tahun 1999 terdapat 13 kasus CRS dengan angka insiden tertinggi yaitu Indonesia dengan 7 kasus CSR yang tercatat.2,3 Diagnosis dari infeksi rubela primer akut pada kehamilan sangat penting dan membutuhkan pemeriksaan serologi. Pemeriksaan serologi dengan ELISA merupakan alat diagnosis rubela yang paling banyak digunakan untuk menegakkan diagnosis rubela terutama pada ibu hamil. Pemeriksaan serologi
dengan ELISA untuk mengukur IgG dan IgM rubela-spesifik memberikan hasil pemeriksaan yang sensitif dan akurat.4,5 Ketika infeksi maternal oleh rubela terjadi pada trimester pertama, angka infeksi fetal mencapai 80% dengan risiko cacat bawaan hingga 90%.3,4 Infeksi rubela yang terjadi pada ibu hamil trimester pertama memberikan dampak buruk untuk terjadinya kelainan bawaan yang dapat menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan. Oleh karena itu, infeksi pada trimester pertama memberi pilihan untuk dilakukannya terminasi kehamilan.6 Indonesia sebagai negara yang berlandaskan hukum, mengatur tindakan aborsi dalam undang-undang dan peraturan pemerintah. Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi menjelaskan bahwa tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan indikasi kedaruratan medis atau hamil akibat pemerkosaan. Indikasi kedaruratan medis yang dimaksud meliputi kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu; dan/atau kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan yang dilaksanakan sesuai dengan standar.7 Pada infeksi rubela maternal terutama infeksi yang terjadi pada trimester pertama memiliki kemungkinan besar terjadi infeksi janin dengan cacat bawaan, sehingga berdasarkan peraturan tersebut terdapat indikasi untuk dilakukan terminasi kehamilan. Namun kemungkinan kecil bayi lahir normal juga harus dipertimbangkan, oleh karena hal tersebut perlu pemahaman lebih baik terhadap infeksi rubela pada maternal sehingga pasien mendapatkan pelayanan kesehatan yang tepat dan sesuai standar.
ILUSTRASI KASUS Pasien wanita berusia 25 tahun, datang untuk memeriksakan kondisi kehamilan. Pasien memiliki riwayat infeksi rubela. Pasien mengatakan timbul gejala seperti ruam kemerahan yang diikuti bintik-bintik berisi cairan dengan kemerahan disekitarnya pada seluruh tubuh saat usia kehamilan 8 minggu. Pasien mengatakan anak pertamanya menderita keluhan yang sama kurang lebih 4 minggu sebelum timbul gejala pada pasien. Pasien memeriksakan diri ke dokter dan disarankan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium dan didapatkan hasil positif infeksi rubela akut. Pasien sudah memiliki seorang anak laki-laki berumur 2 tahun, riwayat lahir spontan dibantu oleh tenaga kesehatan. Pasien saat ini sedang hamil kedua, hari pertama haid terakhir (HPHT) yaitu pada tanggal 21/07/2015 dengan tafsiran persalinan (TP) yaitu tanggal 28/04/2016. Selama kehamilan ini, pasien kontrol ke spesialis kandungan sebanyak lebih dari 3 kali. Selama kontrol, tekanan darah pasien dan denyut jantung janin dikatakan normal. Saat kontrol pasien juga melakukan pemeriksaan USG. Pasien belum diberikan imunisasi TT. Pasien tidak pernah menggunakan alat kontrasepsi sebelumnya. Pasien menyangkal memiliki riwayat penyakit sistemik yang berhubungan dengan kehamilannya saat ini, seperti penyakit asma, penyakit jantung, kencing manis, dan tekanan darah tinggi. Pasien mengatakan tidak memiliki riwayat alergi terhadap makanan ataupun obat-obatan tertentu. Pasien mengatakan bahwa tidak ada keluarga pasien yang memiliki riwayat penyakit sistemik, seperti penyakit jantung, kencing manis, dan tekanan darah tinggi. Namun ayah pasien memiliki riwayat asma. Pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah pasien 110/70 mmHg, nadi 88 kali/menit, laju pernafasan 20 kali/menit, suhu tubuh aksila 36,5°C, berat badan 60 kg, tinggi badan 163 cm, dengan status
umum pasien dalam batas normal. Pemeriksaan obstetri tidak ditemukan luka bekas operasi atau kelainan pada abdomen, tinggi fundus uteri teraba setinggi simfisis, dengan denyut jantung janin dalam batas normal, tidak ditemukan kelainan pada vulva/vagina. Pemeriksaan dalam tidak dilakukan. Pemeriksaan ultrasonografi (USG) ditemukan kantong kehamilan isi cukup, dengan crown rump length (CRL) 50,2 mm ~ 11 minggu 5 hari dengan tafsiran persalinan yaitu tanggal 4/5/2016, tidak tampak massa pada adneksa, dan tidak tampak cairan bebas. Pemeriksaan laboratorium darah lengkap ditemukan leukosit 9,6 K/uL (normal: 4,5-11 K/uL), hemoglobin 11,3 g/dL (normal: 12-16 g/dL), hematokrit 33,7% (normal: 36-46%), MCV 88,6 fl (normal: 80-94 fl), MCH 27,5 pg (normal: 27-32 pg), platelet 213 K/uL (normal: 150440 K/uL). Bleeding time (Duke) 2 menit 30 detik (normal: 1-3 menit), clotting time (Lee & White) 10 menit (normal: 5-15 menit). Pada pemeriksaan urin lengkap ditemukan warna jernih, berat jenis 1,010, pH 7,0, protein negatif, glukosa negatif, bilirubin negatif, urobilinogen normal, keton negatif, nitrit negatif, eritrosit negatif, leukosit +1. Pada pemeriksaan swab vagina ditemukan bakteri gram positif dengan tes Human Immunodeficiency Virus (HIV) antibodi negatif. Pemeriksaan serologi pertama, 3 minggu sebelum datang ke rumah sakit, ditemukan anti-Toxoplasma IgG positif, anti-Toxoplasma IgM negatif, anti-Rubela IgG negatif, anti-Rubela IgM positif, antiCMV IgG positif, anti-CMV IgM negatif, anti-HSV IgG negatif, anti-HSV IgM negatif. Pemeriksaan serologi kedua, 5 hari sebelum datang ke rumah sakit, ditemukan anti-Toxoplasma IgG positif, antiToxoplasma IgM negatif, anti-Rubela IgG positif, anti-Rubela IgM positif, anti-CMV IgG positif, anti-CMV IgM negatif, antiHSV IgG negatif, anti-HSV IgM negatif.
Pasien didiagnosis dengan G2P1001 umur kehamilan 12 minggu, tunggal/hidup dengan riwayat infeksi rubela trimester I. Penatalaksanaan pada pasien ini dilakukan terminasi kehamilan. Rapat Tim Medis menghasilkam keputusan sebagai berikut : 1) Setuju dilakukan terminasi kehamilan berdasarkan indikasi kedaruratan medis dengan pertimbangan risiko kelainan bayi berat ~ 90% yaitu CRS; 2) Dibuat tim kelayakan aborsi/terminasi kehamilan oleh direktur rumah sakit, terdiri atas seorang dokter spesialis kandungan, dokter spesialis patologi klinik dan dokter spesialis kejiwaan; 3) Terminasi kehamilan dilakukan sesudah syarat administrasi terpenuhi. Terminasi kehamilan dilakukan sebelas hari setelah pasien dirawat di rumah sakit. Evaluasi sebelum insersi misoprostol intravaginal I ditemukan keluhan keluar darah pervagina, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 82 kali/menit, laju pernafasan 20 kali/menit, suhu aksila 36oC, dengan status umum dalam batas normal, status ginekologi ditemukan tinggi fundus uteri 1 jari di atas simfisis, tidak terdapat kontraksi uterus, fleksus negatif, fluor negatif, bukaan porsio negatif. Pasien didiagnosis dengan G2P1001 umur kehamilan 14-15 minggu, tunggah/hidup dengan infeksi rubela. Tindakan terminasi kehamilan dengan pemberian misoprostol 400 mg, rencana monitoring keluhan dan tanda vital. Evaluasi sebelum insersi misoprostol intravaginal II dilakukan empat jam kemudian, ditemukan keluhan keluar flek-flek darah tanpa disertai keluar gumpalan daging, tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 84 kali/menit, laju pernafasan 20 kali/menit, suhu aksila 36,8oC, status umum dalam batas normal, status ginekologi ditemukan tinggi fundus uteri 1 jari di atas simfisis, tidak terdapat kontraksi uterus, fleksus negatif, fluor negatif, bukaan porsio negatif. Pasien didiagnosis dengan G2P1001 umur kehamilan 14-15 minggu, tunggah/hidup
dengan infeksi rubela. Pemberian tindakan terminasi kehamilan dengan misoprostol 400 mg, rencana monitoring keluhan dan tanda vital. Dua jam kemudian pasien mengeluh nyeri perut, keluar darah dari kemaluan berupa gumpalan darah berwarna merah kehitaman dan jaringan, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 82 kali/menit, laju pernafasan 22 kali/menit, suhu aksila 36,6oC, status umum pasien dalam batas normal, status ginekologi ditemukan tinggi fundus uteri 1 jari di atas simfisis, kontraksi uterus positif, inspeksi vulva/vagina ditemukan fleksus positif, fluor positif, bukaan porsio positif, licin, lividae positif, tampak keluar jaringan dari ostium uteri eksterna (OUE). Pasien didiagnosis dengan abortus inkomplit + infeksi rubela. Tindakan kuretase diberikan tanpa anantesi umum. Sondase 13 cm, perdarahan ± 150 cc, uterus antefleksi, dengan jaringan ± 150 mg. Drip RL+oksitosin 20 IU~20 tetes per menit. Monitoring keluhan dan tanda vital serta edukasi pasien dan keluarga mengenai rencana tindakan dan risiko. Hasil evaluasi tidak menemukan tanda-tanda perdarahan aktif. DISKUSI Virus rubela ditransmisikan melalui pernapasan dan mengalami replikasi di nasofaring dan di daerah kelenjar getah bening. Viremia terjadi antara hari ke-5 sampai hari ke-7 setelah terpajan virus rubela. Dalam ruangan tertutup, virus rubela dapat menular ke setiap orang yang berada di ruangan yang sama dengan penderita. Masa inkubasi virus rubela berkisar antara 14–21 hari. Masa penularan 1 minggu sebelum dan empat hari setelah onset timbulnya ruam. Pada episode ini, virus rubela sangat menular.1,4 Anamnesis didapatkan pasien timbul gejala seperti ruam kemerahan yang diikuti bintik-bintik berisi cairan dengan kemerahan disekitarnya pada seluruh tubuh. Ruam dikatakan mulai muncul pada umur
kehamilan 8-9 minggu yang diikuti dengan munculnya bintik-bintik berisi cairan. Pasien mengatakan anak pertamanya menderita keluhan yang sama kurang lebih 4 minggu sebelum timbul gejala pada pasien. Hal tersebut sesuai dengan teori dimana virus rubela dapat ditransmisi melalui pernapasan dimana pasien mendapat pajanan dari anaknya yang mengalami infeksi kemudian mengalami replikasi dengan periode inkubasi 14-21 hari hingga timbulnya gejala klinis infeksi rubela berupa ruam disertai makulopapular. Ketika infeksi maternal terjadi pada trimester pertama, angka infeksi fetal mencapai 80% dengan resiko cacat bawaan hingga 90%.4 Infeksi transplasenta janin dalam kandungan terjadi saat viremia berlangsung. Infeksi rubela menyebabkan kerusakan janin karena proses pembelahan terhambat. Dalam rembihan (secret) tekak (faring) dan urin bayi dengan CRS, terdapat virus rubela dalam jumlah banyak yang dapat menginfeksi bila bersentuhan langsung. Virus dalam tubuh bayi dengan CRS dapat bertahan hingga beberapa bulan atau kurang dari 1 tahun setelah kelahiran.1 Kerusakan janin disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya oleh kerusakan sel akibat virus rubela dan akibat pembelahan sel oleh virus. Infeksi plasenta terjadi selama viremia ibu, menyebabkan daerah nekrosis yang tersebar secara fokal di epitel vili korealis dan sel endotel kapiler. Sel ini mengalami deskuamasi ke dalam lumen pembuluh darah, mengindikasikan bahwa virus rubela ditransfer ke dalam sirkulasi janin sebagai emboli sel endotel yang terinfeksi. Hal ini selanjutnya mengakibatkan infeksi dan kerusakan organ janin. Selama kehamilan muda mekanisme pertahanan janin belum matang dan gambaran khas embriopati pada awal kehamilan adalah terjadinya nekrosis seluler tanpa disertai tanda peradangan.1 Sel yang terinfeksi virus rubela memiliki umur yang pendek. Organ
janin dan bayi yang terinfeksi memiliki jumlah sel yang lebih rendah daripada bayi yang sehat. Virus rubela juga dapat memacu terjadinya kerusakan dengan cara apoptosis. Jika infeksi maternal terjadi setelah trimester pertama kehamilan, frekuensi dan beratnya derajat kerusakan janin menurun secara drastis. Perbedaan ini terjadi karena janin terlindung oleh perkembangan yang progresif respon imun janin, baik yang bersifat humoral maupun seluler, dan adanya antibodi maternal yang dialihkan secara pasif.1
Gambar 1. Defects dan manifestasi klinis CRS sesuai dengan umur kehamilan.1 Diagnosis akut dari infeksi rubela primer akut pada kehamilan sangat penting dan membutuhkan pemeriksaan serologi. Pemeriksaan serologi dengan ELISA untuk mengukur IgG dan IgM Rubelaspesifik mudah dilakukan, sensitif dan akurat. Diagnosis infeksi rubela tegak apabila : terdapat peningkatan 4 kali lipat titer antibodi IgG antara akut dan spesimen serum konvalesen; atau hasil positif pada pemeriksaan serologi antibodi IgM rubelaspesifik; atau hasil positif kultur rubela (isolasi virus rubela pada spesimen klinis dari pasien).4,5 Pemeriksaan serologi memberikan hasil terbaik antara 7 hingga 10 hari setelah onset timbunya ruam dan harus diulang dua atau tiga minggu kemudian. Kultur virus diambil dari sekret hidung, darah, tenggorokan, urine atau cairan serebrospinal mungkin memberikan hasil positif dari satu minggu sebelum atau
dua minggu setelah onset munculnya ruam.4,5 Tabel 1. Penafsiran hasil IgM dan IgG ELISA untuk rubela1 IgM IgG Penafsiran Tak ada perlindungan; perlu pemantauan lebih lanjut ≤ 15 Infeksi akut dini (<1 + IU/ml minggu) ≥ 15 Baru mengalami infeksi + IU/ml (1-2 minggu) + Imun, tidak perlu pemantauan lebih lanjut Pada kasus ini, dari anamnesis didapatkan adanya riwayat rubela dengan gejala klinis yang menyerupai infeksi rubela. Dari hasil pemeriksaan serologi antibodi IgM dan IgG rubela-spesifik pertama saat umur kehamilan 8-9 minggu, ditemukan hasil antibodi IgM rubela positif dengan antibodi IgG negatif. Hal tersebut menunjukan adanya infeksi akut rubela pada pasien, tanpa adanya riwayat infeksi sebelumnya atau riwayat vaksinasi. Pemeriksaan serologi kedua, tiga minggu kemudian didapatkan hasil antibodi IgM dan IgG positif. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan pasien tersebut mengalami infeksi rubela akut yang terjadi pada kehamilan trimeseter pertama. Infeksi rubela yang terjadi pada ibu hamil trimester pertama memberikan dampak buruk untuk terjadinya kelainan bawaan yang dapat menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan. Infeksi rubela maternal yang terjadi pada trimester pertama memiliki risiko infeksi janin mencapai 80-90% dengan risiko cacat bawaan mencapai 90%.3,4 Oleh karena itu, infeksi pada trimester pertama memberi pilihan dilakukannya konseling untuk terminasi kehamilan.4
Gambar 2. Alur penatalaksanaan ibu hamil yang terpapar4 Tindakan terminasi kehamilan/aborsi sendiri diatur dalam Peraturan Pemerintah no. 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.7 Pada kasus ini telah dibentuk sebuah tim dokter untuk menilai kelayakan aborsi/terminasi kehamilan oleh Direktur RSUD Sanjiwani yang terdiri seorang dokter spesialis obstetri dan ginekologi, seorang dokter spesialis patologi klinik dan seorang dokter spesialis kejiwaan, dimana hal tersebut sesuai dengan pasal 33 bahwa harus dilakukan oleh tim kelayakan aborsi, yang terdiri paling sedikit terdiri dari 2 (dua) orang tenaga kesehatan yang diketuai oleh dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan. Berdasarkan hasil penilaian, tim tersebut memutuskan dalam surat keputusan terlampir bahwa setuju untuk dilakukan terminasi kehamilan pada pasien tersebut dengan indikasi kemungkinan yang mencapai 90% terjadinya infeksi janin dengan cacat bawaan yang menyulitkan bayi hidup di luar kandungan, hal tersebut sesuai dengan pasal 31 ayat 1 (satu) bahwa tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan indikasi kedaruratan medis, yang diperkuat pada pasal 32 ayat 1 (satu) huruf b
menjelaskan yang dimaksud dengan indikasi kedaruratan medis adalah kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan. Kemudian dilakukan koseling terhadap pasien dan keluarga mengenai kondisi serta kemungkinan terjadinya infeksi pada janin serta kemungkinan komplikasi yang terjadi pada janin saat dalam kandungan atau jika dilahirkan, hal tersebut diatur pada pasal 37 yang menjelaskan bahwa tindakan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling, konseling sebagaimana dimaksud meliputi konseling pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor. Setelah dilakukan konseling, pasien dan kelaurga pasien yang bertanggung jawab, dalam hal ini suami pasien, menyetujui untuk dilakukan aborsi/terminasi kehamilan dengan bukti tertulis yang disertai dengan surat keterangan persetujuan MUI terkait hukum agama dari pasien untuk dilakukan aborsi/terminasi kehamilan dengan indikasi cacat bawaan pada janin, hal tersebut sesuai dengan pasal 35 ayat 2 (dua) huruf c dan d yang menjelaskan tindakan aborsi adalah atas permintaan atau persetujuan perempuan hamil yang bersangkutan dan dengan izin suami. Tindakan aborsi kemudian dikerjakan oleh dokter spesialis obstetri dan ginekologi yang bukan bagian dari tim dokter yang diatur pada pasal 35 ayat 2 huruf a bahwa tindakan aborsi dilakukan oleh dokter sesuai dengan standar. SIMPULAN Pasien wanita, 25 tahun, didiagnosis dengan infeksi rubela, ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan penunjang. Pada kasus ini, dari anamnesis didapatkan
adanya riwayat rubela dengan gejala klinis yang menyerupai infeksi rubela. Hasil pemeriksaan serologi antibodi IgM dan IgG rubela-spesifik pertama saat umur kehamilan 8-9, ditemukan hasil infeksi akut rubela pada pasien, tanpa adanya riwayat infeksi sebelumnya atau vaksinasi. Pemeriksaan serologi kedua, 3 minggu kemudian, dengan hasil antibodi IgM dan IgG positif. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan pasien tersebut mengalami infeksi rubela akut yang terjadi pada kehamilan trimester pertama. Oleh karena Infeksi rubela yang terjadi pada ibu hamil trimester pertama memberikan dampak buruk untuk terjadinya kelainan bawaan yang dapat menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan, dilakukan tindakan terminasi kehamilan berdasarkan hasil rapat tim medis serta konseling yang sesuai dengan pasien dan keluarga pasien. Tindakan terminasi yang dilakukan pada kasus tersebut sesuai dengan hukum yang mengatur tindakan aborsi di Indonesia sebagai implementasi dari Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2004 Tentang Kesehatan Reproduksi. DAFTAR PUSTAKA 1. Huong McLean, Susan Redd, Emely Abernathy, Joseph Icenogle, Gregory Wallace. Rubela, Dalam : VPD Suveillance Manual Edisi 5. New York. 2012. h. 14:1-11. 2. Darmadi S. Gejala Rubela Bawaan (Kongenital) Berdasarkan Pemeriksaan Serologis dan RNA Virus. Bagian Patologi Klinik FK UNAIR/RSU Soetomo Surabaya. Surabaya. 2007. 3. Efrén Martínez-Quintana, Carlos Castillo-Solórzano, Nuria Torner, and Fayna Rodríguez-González. Congenital rubela syndrome: a matter of concern. Rev Panam Salud Publica. Panama. 2015. 4. Lorraine D., Marc-Yvon A., Marie JM. Rubela in Pregnancy. SOGC Clinical Practice Guideline. Canada. 2008.
5. Deka Deepika, Rustgi Rachna, Singh Sarman, Roy KK., Malhotra Neena. Diagnosis of acute rubela infection during pregnancy. Obsetri and Ginecology of India. New Delhi. 2006. h. 44-66. 6. Saifuddin AB., Rachimhadhi T., Wiknjosastro GH. Ilmu Kebidanan edisi 4. PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. 2010. 7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 61 tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi.