INDUKSI VARIASI SOMAKLONAL DAN UJI IN VITRO UNTUK PERBAIKAN KETAHANAN PHALAENOPSIS TERHADAP PENYAKIT BUSUK LUNAK
SRI RIANAWATI
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
SURAT PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya berjudul ”Induksi Variasi Somaklonal Dan Uji In Vitro Untuk Perbaikan Ketahanan Phalaenopsis Terhadap Penyakit Busuk Lunak” adalah benar-benar asli karya saya dengan arahan komisi pembimbing, dan bukan hasil jiplakan atau tiruan dari tulisan siapapun serta belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tunggi manapun.
Bogor, Nopember 2010
Sri Rianawati NIM A161060101
ABSTRACT
SRI RIANAWATI. Somaclonal Variation Induction and In Vitro Testing for Phalaenopsis Resistance Improvement Againts Soft Rot Disease. Supervised by AGUS PURWITO, BUDI MARWOTO dan G.A. WATTIMENA.
Soft rot disease caused by Erwinia carotovora subsp. carotovora is an important disease of Phalaenopsis sp. Efforts have been made to control the disease, but the results are not sufficiently promising. The use of resistant varieties is commontly recommended to control the disease because of its save impact to the environment and human life. Therefore, development of new superior varieties that are highly resistant to the disease is very urgent at the moment. Somaclonal variation using mutagenic agents is proven to be one of feasible technique to provide promising resistant varieties. In this study, development new resistant varieties to soft rot disease was conducted by using physical mutagenesis gamma ray irradiation and chemical mutagenesis EMS that were induced somaclonal variation and combined with in vitro testing technique. Gamma ray and EMS were applied separately to the calli. The treated calli were regenerated on selected in vitro medium enriched with plant growth regulator. The results showed that somaclone variation occured on the three clones treated. Frequency of occurance of somaclone variation using gamma ray variation was 0.4- 6.85 while using EMS was 0.9 – 20.8%. The all variants were in vitro tested for their resistance to soft rot disease by using pathogen suspension agent Erwinia carotovora subsp. carotovora and it was obtained 162 potential mutant resistant to soft rot. After all potential mutant resistant being tested using the same agent in the field, it was proven that of the total available genetic materials, 14 mutants of SGN-PV2.11, 6 mutants of clone No. 642 and 4 mutants of clone No. 377 were resistant to Erwinia carotovora subsp. carotovora, the cause agent of soft rot disease.
Keywords : Somaclonal Variation, Phalaenopsis, Erwinia carotovora subsp. carotovora
RINGKASAN SRI RIANAWATI. Induksi Variasi somaklonal dan Uji In Vitro Untuk Perbaikan Ketahanan Phalaenopsis Terhadap Penyakit Busuk Lunak. Dibimbing oleh AGUS PURWITO, BUDI MARWOTO dan G.A. WATTIMENA. Penyakit busuk lunak yang disebabkan oleh bakteri Erwinia carotovora subsp. carotovora merupakan penyakit yang dapat menyebabkan kerugian bagi para petani anggrek Phalaenopsis. Salah satu metode untuk mengendalikan penyakit ini yaitu menggunakan kultivar tahan. Kultivar tahan penyakit busuk lunak dapat dirakit melalui berbagai cara di antaranya melalui hibridisasi dan seleksi. Sejatinya perakitan kultivar tahan Erwinia carotovora subsp. carotovora melalui hibridisasi tidak mudah dilakukan karena ketersediaan sumber genetik yang membawa sifat tahan sangat terbatas. Pendekatan untuk memperluas keragaman genetik dengan menggunakan kombinasi perlakuan mutagenesis radiasi sinar gamma dan EMS secara in vitro yang diikuti dengan pengujian in vitro merupakan metode yang efisien untuk memperolah kultivar Phalaenopsis tahan terhadap penyakit busuk lunak. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan materi genetik anggrek Phalaenopsis yang tahan terhadap penyakit busuk lunak yang disebabkan oleh Erwinia carotovora subsp. carotovora. Induksi ketahanan terhadap penyakit busuk lunak telah dilakukan melalui iradiasi sinar gamma dan EMS dalam beberapa tahap percobaan. Pertama, penyiapan kalus embriogenik klon SGN-PV2.11 , 642 dan klon 377. Kedua, kalus yang diperoleh, diradiasi dengan sinar gamma dan sebagian lainnya direndam dalam larutan EMS. Ketiga, kalus diregenerasikan pada media yang diberi zat pengatur tumbuh. Keempat, plantlet yang terbentuk (berukuran 5 cm atau memiliki 4 daun sejati) diuji ketahanannya terhadap Erwinia carotovora subsp. carotovora. Hasil pengujian tersebut diperoleh varian yang potensial tahan terhadap patogen busuk lunak. Kelima, varian potensial tahan hasil uji in vitro yang diperoleh, diaklimatisasi hingga tanaman berukuran 7-10 cm dan selanjutnya diuji kembali di lapangan menggunakan Erwinia carotovora subsp. carotovora. Hasil pengujian tersebut diperoleh mutan tahan terhadap penyakit busuk lunak. Pembentukan kalus embriogenik dilakukan pada eksplan daun Phalaenopsis yang diinduksi melalui tahapan inisiasi kalus, proliferasi kalus dan selanjutnya regenerasi plantlet dan pemeliharaan plantlet menjadi tanaman. Media yang mengandung thidiazuron 0.1 mg.l-1 dan 10 mg.l-1 2.4-D merupakan media yang paling baik untuk menginisiasi kalus. Kalus yang terbentuk merupakan kalus embriogenik sehingga mudah diproliferasikan dan diregenerasikan. Media yang berisi 1/2 MS + 0.2 mg.l-1 TDZ + 0.5 mg.l-1 2.4-D merupakan media untuk proliferasi kalus sedangkan media yang mengandung ½ MS + 0.4 mg.l-1 BAP + 0.2 mg.l-1 2.4-D merupakan media yang sesuai untuk regenerasi tanaman. Iradiasi sinar gamma pada kalus menggunakan beberapa dosis. Dosis iradiasi awal ini digunakan untuk menentukan LD50 yang akan dijadikan acuan untuk menentukan dosis utama untuk mendapatkan varian-varian dari klon Phalaenopsis. Besarnya LD50 menentukan radiosensitivitas klon Phalaenopsis. Klon 377 merupakan genotip yang memiliki radiosensitivitas terendah di antara ketiga klon yang digunakan yaitu sekitar 22 Gy, sedang klon 642 mempunyai radiosensitivitas tertinggi yang terlihat pada LD50 yang paling rendah yaitu 15.3 Gy. Klon SGNPV2.11 merupakan genotip yang memiliki radiosensitivitas di antara kedua klon tersebut. Variasi yang ditimbulkan dari perlakuan iradiasi sinar gamma sebesar 0.46.8 %, yaitu perubahan 5 karakter fenotip dibanding karakter asalnya. Konsentrasi mutagen EMS yang merupakan LC50 pada ketiga klon ialah 0.280.34% dan perendaman selama 19.34-38.66 menit. Varian-varian yang ditimbulkan
dari perlakuan perendaman kalus pada berbagai konsentrasi EMS ialah sebesar 0.620.9% yang berupa 4 karakter fenotip abnormal dari karakter asalnya. Pengujian varian hasil induksi mutasi dengan iradiasi sinar gamma dan perendaman dalam larutan EMS berdasarkan metode sebelumnya menghasilkan beberapa varian yang tahan terhadap Erwinia carotovora subsp. carotovora. Uji in vitro dapat dilakukan pada varian somaklon yang diperoleh dari perlakuan iradiasi sinar gamma dan perendaman dalam larutan EMS. Masa inkubasi penyakit dalam kultur in vitro terjadi dalam 24 jam pertama setelah inokulasi patogen. Tanaman mati pada varian iradiasi sinar gamma berkisar antara 68- 93.75% dan membutuhkan waktu selama 4.66 - 7.37 hari untuk menyebabkan kematian plantlet setelah inokulasi. Pada varian yang diperoleh dari perlakuan perendaman dalam larutan EMS, tanaman mati lebih tinggi dibandingkan tanaman mati pada varian iradiasi, yaitu berkisar antara 77.5 - 100% dengan lama waktu kematian plantlet selama 3.7 – 6.59 hari. Berdasarkan skor kebusukan daun (SKD) varian hasil iradiasi sinar gamma dan varian EMS, diperoleh 162 varian potensial tahan terhadap penyakit busuk lunak yang dapat dikategorikan agak tahan dan tahan. Pengujian di lapangan dari 162 varian yang berpotensi tahan menunjukkan kesamaan dengan pengujian ketahanan secara in vitro. Pola masa inkubasi, laju infeksi dan intensitas penyakit di lapangan menunjukkan kesesuaian dengan pola di dalam kultur in vitro. Beberapa varian potensial dapat dikategorikan sebagai varian Phalaenopsis tahan penyakit busuk lunak, yang berjumlah 14 varian dari klon SGNPV2.11, 6 varian dari klon 642 varian dari klon 377. Analisis jumlah stomata, tebal daun dan konsentrasi asam salisilat tidak menunjukkan korelasi positif terhadap ketahanan tanaman tetapi peroksidase dan esterase berkorelasi positif.
Kata kunci : keragaman somaklonal, Phalaenopsis, Erwinia carotovora subsp. carotovora.
©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan kaerya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB .
INDUKSI VARIASI SOMAKLONAL DAN UJI IN VITRO UNTUK PERBAIKAN KETAHANAN PHALAENOPSIS TERHADAP PENYAKIT BUSUK LUNAK
SRI RIANAWATI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Agronomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Dewi Sukma, SP.Msi 2. Dr. Sinto Wahyuning Ardie, Msi Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Suryo Wiyono, MSc. Agr 2. Prof. Dr. Ir. Soeranto Hoeman, MSc
Judul Disertasi Nama NRP
: Induksi Variasi Somaklonal dan Uji In Vitro Untuk Perbaikan Ketahanan Phalaenopsis Terhadap Penyakit Busuk Lunak. : Sri Rianawati : A161060101
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Agus Purwito, MSc.Agr Ketua
Dr. Ir. Budi Marwoto, MS. APU Anggota
Prof. Dr. Ir. G.A. Wattimena, MSc Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Agronomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS
Prof. Dr. Ir. Khairil. A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 27 Desember 2010
Tanggal Lulus:
PRAKATA Dengan senantiasa mengucapkan syukur Alhamdullillah kepada Allah SAW atas segala karuniaNya penelitian dan penulisan disertasi yang berjudul ” Induksi Variasi Somaklonal Dan Uji In Vitro Untuk Perbaikan Ketahanan Phalaenopsis Terhadap Penyakit Busuk Lunak” berhasil diselesaikan. Disertasi ini memuat tujuh bab yang merupakan pengembangan dari naskah artikel yang diajukan ke jurnal ilmiah. Bab 1 berjudul ”Embriogenesis Somatik Dari Eksplan Daun Anggrek Phalaenopsis sp”, telah diterbitkan [J. Agron. Indonesia 37 (3) : 240-248 (2009)]. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Bapak Dr. Ir. Agus Purwito MSc.Agr, Bapak Dr.Ir. Budi Marwoto, MS. APU. dan Bapak Prof. Dr. Ir. G. A. Wattimena, MSc sebagai komisi pembimbing yang telah memberikan banyak saran dan telah membantu dalam medapatkan dana penelitian melalui KKP3T selama tahun 2007-2008. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang telah menyediakan beasiswa dan memberikan kesempatan untuk mendapatkan dana penelitian melalui KKP3T. Selain itu juga kepada Kepala Pusat Penelitian Tanaman Hortikultura Bapak Dr. Ir.Yusdar Hilman, MS yang telah memberi kesempatan untuk melanjutkan studi S3 ini, kepada Bapak Kepala Balai Penelitian Tanaman Hias Dr. Ir. Muchdar Soedardjo, MSc yang selalu memberi kelancaran studi ini. Kepada rekan-rekan sesama mahasiswa pascasarjana IPB yang selalu saling berbagi semangat dalam bekerja: Reni Indrayanti, Dwi Wahyu Ganefianti, Ali Husni, Budi Winarto juga teman - teman laboratorium Juariah, Kholifah, dan Joko, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya. Tak terlupakan pula sahabat-sahabat lama di Balai Penelitian Tanaman Hias, Suskandari K, Ridho Kurniati yang telah merelakan materi penelitiannya untuk digunakan dalam disertasi ini, Minangsari dan juga Suryanah yang telah membantu kelancaran penelitian. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan IPTEK dan industri tanaman hias di Indonesia.
Bogor, Nopember 2010 Sri Rianawati
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Jepara Jawa Tengah pada tanggal 24 Agustus 1965 sebagai anak pertama dari pasangan Bapak Soelardi (alm) dan Ibu Sri Hartini. Penulis telah menikah dengan Drs Eddy Soesanto dan telah dikaruniai 3 orang putra laki-laki, Rakai Daksa Yudistira (15th), Rakyan Panji Langit (alm), dan Eros Ulung Ranuwukir (5th). Pendidikan sarjana ditempuh di perguruan tinggi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, jurusan Biologi lulus awal tahun 1990. Pada tahun 1999 penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan strata 2 bidang Bioteknologi di IPB dengan biaya ARMP II. Penulis pernah bekerja sebagai staf peneliti di Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan Bogor di bagian Kultur Jaringan Tanaman selama 7 tahun, selanjutnya, penulis mutasi tugas ke Balai Penelitian Tanaman Hias di Pasar Minggu Jakarta Selatan tepatnya pada tahun 1997 sampai sekarang. Jenjang fungsional Peneliti Muda bidang Bioteknologi telah diperoleh sebelum melakukan pendidikan strata 3 ini. Dalam kaitannya dengan tugas, penulis bergabung dalam Kelompok Peneliti Pemuliaan dan Sumberdaya Genetik Balai Tanaman Hias Segunung, Cianjur-Jawa Barat, dan melaksanakan penelitian pemuliaan tanaman hias melalui teknik in vitro.
DAFTAR ISI DAFTAR ISI……………………………………………………………… DAFTAR TABEL……….……….…….……….……………..………….. DAFTAR GAMBAR……………………………………………...……… DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………. PENDAHULUAN.…….…..….…………………….………..……….….. Latar Belakang…......………………….……………………………….. Kerangka Pemikiran….....…..…...……………….…………………….. Permasalahan Penelitian …......…...………………….………………… Tujuan Penelitian….…...………..…………………….………….…….. Hipotesis..……..……………...……………………………...………… Kegunaan Penelitian….………………………………………………… TINJAUAN PUSTAKA……...………….……………………..…………. Botani Tanaman Phalaenopsis…………………………......................... Pemuliaan Tanaman Anggrek……….….…………………………....… Pemuliaan tanaman melalui persilangan konvensional…………… Pemuliaan tanaman melalui induksi keragaman somaklonal…..….. Induksi mutasi menggunakan radiasi sinar Gamma………… Induksi mutasi menggunakan EMS…………………………… Efek fisiologi mutagen….……………………………..……… Penyakit Busuk Lunak pada Phalaenopsis…..……………………...…. Gejala Penyakit…………………………………………………….. Bakteri Pektolitik Erwinia carotovora subsp carotovora…….…… Jalur Pertahanan Tanaman terhadap Erwinia spp………..………… Pengujian Ketahanan Terhadap Patogen secara in vitro….……...… DAFTAR PUSTAKA…………………………………….……………. INDUKSI KALUS EMBRIOSOMATIK DARI EKSPLAN DAUN ANGGREK Phalaenopsis sp L..................................................................... ABSTRAK………………………………………..…………………… ABSTRACT………………………………...………..………………… PENDAHULUAN……………………………….………..…………… BAHAN DAN METODE.……………………….……..……………… Induksi Pembentukan kalus…………………………………………….. Proliferasi Kalus …………………………………....………………….. Perkembangan Kalus dan Regenerasi Tanaman………….…………..… HASIL DAN PEMBAHASAN.….……………………..….…………. Induksi Pembentukan kalus……………………………….……………. Proliferasi Kalus ……………………………………….………………. Perkembangan Kalus dan Regenerasi Tanaman……………….………. KESIMPULAN.………………………………………………..……… DAFTAR PUSTAKA.………………………………………….……… INDUKSI VARIAN SOMAKLON PADA KALUS PHALAENOPSIS MENGGUNAKAN RADIASI SINAR GAMMA....................................... ABSTRAK…………………………...………………………………... ABSTRACT…………………………………………………………… PENDAHULUAN……………………………...……………………… BAHAN DAN METODE.……………………………………………... Induksi varian dengan iradiasi sinar gamma............................................ Daya regenerasi tanaman pasca iradiasi sinar gamma............................. Pembentukan Generasi M1V4 Melalui Embriogenesis langsung...........
xii xv xvii xix 1 1 3 7 10 10 11 12 12 15 15 17 19 21 22 23 24 24 25 27 28 33 33 34 34 36 36 37 37 38 38 41 43 45 45 47 47 48 48 50 50 50 50
Keragaman fenotipik plantlet akibat radiasi sinar gamma....................... HASIL DAN PEMBAHASAN.………………………….……………. Induksi Variasi Somaklonal dengan radiasi Sinar Gamma pada pada Kalus Phalaenopsis......................................................................... Daya Regenerasi Kalus Phalaenopsis pasca iradiasi............................... Pembentukan Generasi M1V4 Melalui Embriogenesis langsung............ Keragaman fenotipik plantlet akibat radiasi sinar gamma....................... KESIMPULAN.……………………………………………………..… DAFTAR PUSTAKA.……………………………………….…………. INDUKSI VARIAN SOMAKLON PADA KALUS PHALAENOPSIS MENGGUNAKAN EMS……………………………………….………… ABSTRAK………………………………………………...…………… ABSTRACT……………………………………………………….…… PENDAHULUAN……………………………………..………….…… BAHAN DAN METODE.…………………………………..….……… Penyiapan kalus…………………………………………..…………….. Daya hambat EMS terhadap proliferasi kalus dan regenerasi tanaman…………………………………………………………..…….. Evaluasi keragaman varian EMS…………………….……….……….. HASIL DAN PEMBAHASAN.……………………………………….. Penghambatan pada induksi somaklonal variasi menggunakan EMS.... Evaluasi keragaman fenotip varian…………………………………….. KESIMPULAN.……………………………………………………...… DAFTAR PUSTAKA.…………………………………………………. UJI IN VITRO KETAHANAN TERHADAP Erwinia carotovora subsp. carotovora PADA VARIAN SOMAKLON PHALAE NOPSIS SECARA IN VITRO MENGGUNAKAN SUSPENSI BAKTERI…….. ABSTRAK………………………………………………………..…… ABSTRACT…………………………………………………..……..… PENDAHULUAN…………………………………………………….. BAHAN DAN METODE.………………………..………………….… Bahan Tanaman dan Inokulum................................................................ Uji In Vitro Menggunakan suspensi bakteri Erwinia carotovora Subsp. carotovora.................................................................................... Evaluasi Varian Hasil Pengujian In Vitro……………………….…….... HASIL DAN PEMBAHASAN………….…………………..………… Uji Ketahanan Varian secara In Vitro .................................................... Evaluasi ketahanan padaVarian terhadap infeksi Erwinia carotovora subsp carotovora................................................................... KESIMPULAN.……………………………………………….………. DAFTAR PUSTAKA.…………………………………….…………… PENGU JIAN DI LAPANG KETAHANAN VARIAN SOMAKLON PHALAENOPSIS TERHADAP PENYAKIT BUSUK LUNAK….…...... ABSTRAK…………………………………………………………….. ABSTRACT………………………………………………………….... PENDAHULUAN…………………………………………………...… BAHAN DAN METODE.……………………………………………... Bahan Tanaman........................................................................................ Pengujian Varian terhadap Erwinia carotovora subsp carotovora di Lapang……………....................................................................……. Pengujian karakter varian potensial......................................................... Analisis isoenzim menggunakan..elektrophoresis gel starch...................
51 52 52 54 55 57 61 61 65 64 65 65 66 66 67 67 68 68 70 73 74 74
75 76 76 78 78 78 80 81 81 86 88 89 91 91 92 92 93 93 94 95 95
Analisis kandungan peroksidase dan asam salisilat……………………. HASIL DAN PEMBAHASAN.…………………….…………….…… Uji Varian Somaklon Potensial terhadap Erwinia carotovora subsp carotovora di Lapanan…………...…………………..………………… Evaluasi Karakter Kualitatif Ketahanan Penyakit pada Varian Potensial……………………………………………………………...… KESIMPULAN.……………………………………………………..… DAFTAR PUSTAKA.…………………………………………….…… PEMBAHASAN UMUM………………………………………….…...… SIMPULAN DAN SARAN………………………………………….…… SIMPULAN………………………………………………………....……. SARAN…………………………………………………………………… DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….. LAMPIRAN………………………………………………………………
96 96 96 99 103 104 106 111 111 112 113 114
DAFTAR TABEL No Halaman 1 Beberapa nama intergenerik yang melibatkan tetua persilangan 16 Phalaenopsis dan Vanda 2
Beberapa uji biokimia dan fisiologi untuk karakterisasi Erwinia carotovora subsp carotovora setelah didapatkan koloni tunggal.
25
3
Komposisi media inisiasi tanaman yang digunakan dalam penelitian.
36
4
Pengaruh komposisi media inisiasi terhadap perubahan eksplan daun dari klon Phalaenopsis 377, 642 dan SGN-PV2.11 pada 12 MST (minggu setelah tanam).
39
5
Pengaruh komposisi media proliferasi terhadap perkembangan kalus klon Phalaenopsis 377, 642 dan SGN-PV2.11 pada 12 MST (minggu setelah tanam) .
41
6
Pengaruh komposisi media proliferasi kalus terhadap pembentukan kalus.
41
7
Daya pembentukan embriosomatik dan tunas klon SGN-PV2.11, 377 dan 642 pada media MR pada setiap gerombol kalus yang diamati setiap 4 minggu selama 12 MST.
43
8
LD50 pada kalus 3 klon Phalaenopsis akibat radiasi sinar gamma.
53
9
Pengaruh perlakuan dosis iradiasi pada kalus embriogenik klon SGN-PV2.11, 642 dan 377 terhadap persentase kalus yang bertunas dan jumlah tunas per kalus selama 12 minggu setelah tanam (MST).
54
10 Persentase pembentukan M1V4 melalui embriogenesis langsung menggunakan eksplan daun selama 12 MST
57
11 Rataan berbagai karakter kuantitiatif pada populasi varian Klon SGN-PV2.11, 642 dan 377 berumur 12 minggu setelah tanam (12 MST).
58
12 Tipe dan persentase keragaman karakter kualitatif diantara populasi varian klon SGN-PV2.11, 377 dan 642 yang diregenerasikan dari kalus embriogenik setelah diberi perlakuan radiasi sinar gamma 12 MST
59
13 LC50 pada klon SGN-PV2.11, 642 dan 377 berdasarkan persentase konsentrasi EMS dan waktu yang digunakan untuk perendaman. Pengamatan dilakukan pada 6 MST. Data diolah dengan persamaan Quadrqtic fit. 14 Pengaruh dua kelompok perlakuan konsentrasi dan waktu perendaman mutagen EMS pada kalus klon SGN-PV2.11, 377 dan 642 terhadap persentase eksplan hidup yang diamati selama 6
68
69
MST, jumlah tunas per eksplan dan penurunan jumlah total tunas yang diamati selama 16 MST 15 Tipe dan persentase keragaman karakter kualitatif abnormal diantara populasi varian klon 377, 642 dan SGN-PV2.11 yang diregenerasikan dari kalus embriogenik setelah diberi perlakuan EMS setelah 16 MST.
71
16 Jumlah kromosom dan kloroplas beberapa mutan normal maupun abnormal pada klon SGN-PV2.11, 642 dan 377 yang terjadi akibat perlakuan EMS.
73
17
80
Analisis ragam dan peragam.
18 Persentase plantlet mati dan lama waktu yang diperlukan plantlet dari awal inokulasi sampai plantlet mati pada plantlet yang diinokulasi dengan Erwinia carotovora subsp carotovora secara in-vitro.
82
19 Rata-rata skor kerusakan daun (SKD), intensitas penyakit (IP), dan ketahanan klon varian Phalaenopsis SGN-PV2.11, klon 377, dan klon 642 hasil seleksi in vitro
85
20 Hasil analisis ragam dan ragam genetik karakter ketahanan penyakit bususk lunak pada setiap genotip SGN-PV2.11, 377, 642 dan antara seluruh genotip.
87
21 Respon tanaman varian yang telah diuji secara in vitro terhadap infeksi Erwinia carotovora subsp carotovora di lapangan
99
22 Hubungan antara isoenzim peroksidase, esterase dan unit aktivitas enzim (UAE) peroksidase terkadap skor kebusukan daun (SKD) varian tanaman pada engamatan dilakukan 24 jam setelah diinokulasi dengan Erwinia carotovora subsp carotovora
100
23 Mutan tahan dan agak tahan dari klon SGN-PV2.11, 642 dan 377 hasil validasi dengan uji di lapangan menggunakan patogen Erwinia carotovora subsp. carotovora
103
DAFTAR GAMBAR No 1 Kerangka pemikiran untuk mendapatkan kultivar baru busuk lunak pada tanaman anggrek Phalaenopsis.
Halaman tahan 5
2
(a) Tetua klon SGN-PV2.11, (b) klon 377 dan (c) klon 642
6
3
Morfologi tanaman Phalaenopsis sp (a) akar substrat (b) daun (c) calon bunga
14
4
Anggrek hasil silangan intergenerik (a) Renanthopsis Mildred Jameson, (b) Phalaendopsis Arizona Star’Jim Turnbow’
16
5
Persentase perubahan eksplan irisan daun Phalaenopsis menjadi hitam beberapa minggu setelah tanam pada media MI-0, MI-1, MI-2, MI-3, MI-4.
38
6
(a) dan (b) Inisiasi kalus dari irisan eksplan daun yang mulai membengkak dan berkalus membentuk proembrio (c) plb (d) regenerasi tanaman dari plb.
40
7
Penambahan berat kalus dari subkultur (SK) I hingga ke III pada media MP (1/2MS + 0,5 mg/L 2,4-D + 0,2 mg thidiazuron) dan MR (1/2MS + 0,2 mg/l 2,4-D + 0,4 mg/l BAP).
42
8
Proses embriogenesis somatik pada kalus Phalaenopsis sp L.(a) globuler dan jaringan kalus sekitarnya (b) bentuk torpedo (c) calon kotiledon, primordial tunas dan akar (d) telah membentuk daun.
44
9
Penampilan plantlet hasil regenerasi tanaman pada klon 642, 377 dan SGN-PV2.11
44
10 Embriogenesis langsung pada pembentukan M1V4. Kalus –kalus bening muncul dari irisan daun pada media E1 (a), E2 (b), E3 (c) di ruang gelap. Perubahan kalus menjadi calon tunas setelah kalus dipindahkan ke ruang terang pada media E1 (d), E2 (e), E3 (f).
56
11 Fenotip varian yang dihasilkan dari iradiasi sinar gamma (a) plantlet dengan duduk daun roset, (b) daun plantelt merah, (c) daun terompet, (d) daun bergerigi, (e) daun terbelah
59
12 Pita isoenzim peroksidase (PER) dan aspartat aminotransferase (AAT) pada 26 sampel klon dan tetua
60
13 Fenotip yang terbentuk karena pengaruh mutagen EMS (a) plantlet SGN-PV2.11/88E/E1/2.2 dengan ciri normal, (b) plantlet 377/23F/E1/1.7 dengan pertumbuhan daun abnormal, (c) plantlet 642/13F/E2/1.4 dengan pertumbuhan daun abnormal, (d) plantlet SGN-PV2.11/71E/E5/2.2 dengan pertumbuhan duduk daun rapat (e) SGN-PV2.11/.K4/E0/1.1 bentuk terompet, (f) plantlet SGNPV2.11/54E/E5/3.1 berdaun bulat.
72
14 Jumlah kromosom pada tanaman fenotip normal (a) jumlah kromosom 2n=2x=38 pada SGN-PV2.11/41E/E1/3.1, (b) jumlah kromosom 2n=3x=56 pada klon 377/22F/E2/5.4, (c) jumlah kromosom 2n=3x=56 pada 642/13F/E2/4.4.
73
15 Skoring bercak gejala penyakit busuk lunak pada pengujian in vitro
79
16 (a) Korelasi antara masa infeksi dengan laju infeksi (b) korelasi antara masa infeksi dengan intensitas penyakit busuk lunak pada varian-varian hasil radiasi sinar gamma dan EMS yang diinokulasi secara in vitro.
82
17 Hasil inokulasi secara in vitro (a) plantlet mengalami hipersensitif respon, (b) tanaman mengalami kebusukan daun dengan skor 9, (c) seluruh plantlet busuk, d) cara memperkirakan luasan kebusukan daun.
83
18 Jumlah plantlet varian dalam kategori skor 1 dan 3 hasil perlakuan radiasi sinar gamma (Rad SGN, Rad 642, Rad 377) dan EMS (EMS SGN, EMS 642, EMS 377) yang telah diuji secara in vitro.
84
19 Konsentrasi peroksidase pada plantlet varian 24 jam setelah inokulasi dengan Erwinia carotovora subsp carotovora,
88
20 Inokulasi di lapang dengan Erwinia carotovora subsp carotovora pada varian tanaman tahan hasil seleksi in vitro : (a) diinkubasi tertutup dalam kumbung plastic, (b) dan (c) pelukaan setelah inokulasi ditutup dengan kapas basah dan selotip, (d) kebusukan yang terjadi setelah inokulasi 24 jam, (e) tanaman yang tetap sehat setelah inokulasi SKD 1, (f) tanaman dengan SKD 9
97
21 (a) Korelasi antara masa infeksi dengan laju infeksi penyakit (b) korelasi antara masa infeksi dengan intensitas penyakit busuk lunak varian potensial pada pengujian di lapangan
98
Diagram konsentrasi asam salisilat varian tanaman setelah 24 jam terinfeksi Erwinia carotovora subsp carotovora.
102
DAFTAR LAMPIRAN No 1
2
Halaman Daftar varian potensial klon SGN-PV2.11, 642 dan 377 yang 119 tahan (SKD 1) dan agak tahan (SKD 3) terhadap Erwinia carotovora subsp carotovora hasil uji in vitro yang dilanjutkan dengan uji di lapangan. Data mentah rata-rata jumlah plantlet per eksplant dari tiga klon SGN-PV2.11, 642 dan 377 yang diperoleh setelah 12 MST
123
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keragaman anggrek spesies alam yang sangat besar dan tersebar di seluruh wilayah nusantara. Di antara 5000 spesies anggrek yang ditemukan di wilayah Indonesia, Phalaenopsis merupakan salah satu genus yang terkenal akan keindahan dan keragaman coraknya (Djafaarer 2002). Hibrida-hibrida yang dihasilkan dan terkenal di dunia banyak ditemukan memiliki induk yang berasal dari Phalaenopsis spesies di Indonesia. Salah satu spesies
ialah
Phalaenopsis amabilis yang berwarna putih seperti kupu-kupu.
Phalaenopsis tersebut menjadi induk yang sangat penting karena menurunkan berbagai hibrida yang berpotensi komersial yang lebih indah, lebih seragam dan kuntum lebih lebar. Spesies Phalaenopsis yang lain seperti Phalaenopsis amboinensis dan Phalaenopsis venosa sangat potensial menurunkan warna kuning. Produksi Phalaenopsis di dunia semakin meningkat dan menjadi komoditi unggulan yang tetap prospektif di tengah kelesuan bisnis tanaman hias. Di Indonesia, produksi anggrek diharapkan dapat meningkat dari 16.166.628 pot pada tahun 2005 menjadi 19.284.219 pot tahun 2010 (Dirjen Horti 2005), sesuai standar mutu yang dipersyaratkan pasar domestik dan internasional. Sebagai salah satu negara yang memiliki sumber genetik anggrek bervariasi, Indonesia memiliki kesempatan yang cukup tinggi untuk lebih memberdayakan sumber daya genetik tersebut. Keberhasilan dalam pemberdayaan sumber genetik akan menjadi kekuatan yang berarti dalam pengembangan anggrek Indonesia khususnya Phalaenopsis. Sesuai kenyataan di lapangan, budidaya Phalaenopsis di Indonesia yang ada pada saat ini telah didominasi oleh hibrida - hibrida hasil dari mancanegara. Negara yang memiliki kemampuan teknologi yang cukup terkemuka seperti Taiwan, Thailand, Singapura, Hawaii dan Australia merupakan negara penghasil Phalaenopsis terbesar di dunia (Tang & Chen 2007). Pengembangan Phalaenopsis telah mencapai titik klimaks yang dibuktikan dari adanya kejenuhan produksi dan kejenuhan pasar. Persilangan konvensional yang dilakukan pada tetua-tetua yang berasal dari satu genus sudah tidak memberikan corak baru yang mampu mendongkrak perdagangan anggrek. Upaya berinovasi baru sangat dibutuhkan untuk mendapatkan hibridahibrida yang berbeda bentuk dan corak. Persilangan intergenerik perlu dikembangkan 1
2
untuk mendapatkan bentuk dan corak yang baru. Anggrek hasil persilangan intergenerik telah diperoleh di berbagai negara terutama Belanda yang kini merupakan penghasil anggrek intergenerik terbesar di dunia khususnya Phalaenopsis. Di Indonesia, hasil persilangan intergenerik masih sangat jarang dijumpai meskipun Indonesia memiliki ribuan jenis anggrek. Hal ini disebabkan karena terbatasnya informasi mengenai karakter spesies alam yang ada. Pengembangan anggrek di Indonesia seringkali terkendala oleh keterbatasan iklim tropis basah yang menyebabkan serangan patogen yang lebih banyak. Beberapa penyakit utama anggrek hingga saat ini sulit dikendalikan di antaranya ialah penyakit degenerasi virus, penyakit layu dan penyakit busuk. Salah satu penyakit busuk yang menyebabkan kerusakan pada semua jenis tanaman anggrek dengan kerugian yang besar ialah penyakit busuk lunak (soft rot). Penyakit ini disebabkan oleh Erwinia carotovora subsp. carotovora, bakteri yang menimbulkan pembusukan pada jaringan lunak tanaman (Snijder et al. 2004) atau pseudobulb pada anggrek dan disertai bau yang tidak enak dan mati hanya dalam beberapa hari. Meskipun kerugian yang disebabkan oleh penyakit busuk lunak pada anggrek di Indonesia belum pernah didata secara formal tetapi pada kenyataanya banyak petani terutama petani kecil kesulitan mengatasinya. Petani anggrek Phalaenopsis di Indonesia tidak semua mampu menyediakan kondisi lingkungan buatan dapat menekan perkembangan penyakit busuk lunak. Kerugian yang ditimbulkan oleh penyakit mampu mencapai 80-100%. (McMillan et al. 2007). Secara umum penyakit akibat serangan bakteri lebih sulit dikendalikan daripada penyakit lain. Tindakan tepat pengendalian kimia secara praktis dan efektif belum ditemukan. Salah satu cara yang efektif untuk mengendalikan penyakit tersebut ialah dengan menggunakan kultivar yang tahan (Snijder et al. 2004). Pengendalian dengan menanam kultivar yang tahan merupakan cara yang efektif, efisien dan aman bagi lingkungan (Sobiczewski 2008). Perakitan kultivar baru melalui pemuliaan untuk menghasilkan Phalenopsis yang berbunga indah dan tahan hama dan penyakit dapat dilakukan dengan penggabungan teknik persilangan konvensional dan teknik in vitro melalui induksi keragaman somaklonal. Sejak ditemukan teknik keragaman somaklonal banyak dilakukan penelitian-penelitian mengenai aplikasi teknik ini terutama pada tanaman hias. Teknik induksi keragaman somaklonal tersebut dapat digunakan untuk memperoleh karakter tertentu seperti morfologi tanaman, morfologi daun, bentuk dan
3
warna bunga (Chen & Chen 2007). Teknik induksi keragaman somaklonal merupakan salah satu teknik penting yang potensinya cukup tinggi dalam membantu pemulia tanaman mencapai tujuan perbaikan tanaman, pengembangan kultivar unggul dan mempelajari lebih jauh tentang keadaan karakter tertentu dari suatu spesies tanaman (Nasir 2002). Pengembangan Phalaenopsis yang mengarah pada karakter ketahanan terhadap
suatu penyakit belum banyak dilakukan khususnya di Indonesia.
Pengembangan yang dilakukan melalui hibridisasi masih terbatas pada pembentukan karakter fenotip bunga. Informasi mengenai sumber ketahanan terhadap suatu penyakit pada anggrek juga masih sangat jarang ditemukan, khususnya sumber ketahanan terhadap penyakit busuk lunak. Teknik induksi variasi somaklonal dapat digunakan untuk menginduksi munculnya satu atau dua karakter tertentu tanpa merubah sifat dasar tanaman. Peningkatan keragaman somaklonal dapat dilakukan dengan cara induksi mutasi melalui pemberian mutagen. Mutagen yang digunakan dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok yaitu mutagen fisik seperti iradiasi sinar gamma, sinar X ataupun neutron dan mutagen kimia dengan pemberian EMS, DES, dan NEU (Ahloowalia et al. 2004). Hingga saat ini metode keragaman somaklonal yang dikombinasikan dengan mutagenesis masih dapat diandalkan untuk tujuan pemuliaan tanaman dalam mendapatkan karakter tertentu yang diinginkan seperti
sifat
ketahanan terhadap cekaman biotik maupun abiotik. Keberhasilan penggunaan mutagen kimia sebagai agen induksi mutan telah banyak diketahui di antaranya pada ubijalar dengan skrining in vitro untuk toleran garam (Luan et al. 2007), pada krisan untuk mutasi warna (Rodrigo et al. 2004), pada Arabidopsis untuk toleran terhadap herbisida (Jender et al. 2003), dan juga pada paku-pakuan (Jeong et al. 2006). Tidak hanya di luar negeri, di Indonesia teknik ini juga telah dimanfaatkan pada tanaman panili dan telah didapatkan tanaman tahan penyakit layu bakteri (Lestari et al. 2006), tanaman pisang ambon tahan fusarium (Husni et al. 2005). Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran perakitan kultivar anggrek Phalaenopsis tahan penyakit busuk lunak Erwinia melalui teknik in vitro dapat dilihat pada Gambar 1. Sumber gen ketahanan terhadap penyakit pada anggrek belum diketahui. Penelitian awal pada
4
pengujian ketahanan terhadap penyakit busuk lunak pada beberapa spesies Phalaenopsis telah dilakukan oleh Balai Penelitian Tanaman Hias sebagai lembaga yang mengemban mandat melaksanakan penelitian dan pengembangan tanaman hias, memperoleh hasil bahwa Phalaenopsis cornucervi dan Phalaenopsis amboinensis bersifat tahan, sedangkan Phalaenopsis amabilis bersifat peka terhadap penyakit busuk lunak (Handayati et al. 2004). Hasil persilangan Phalaenopsis pada saat ini telah sangat berkembang luas, mengingat genus ini memiliki keragaman genetik yang cukup tinggi terutama pada keragaman bunga. Namun keragaman genus Phalaenopsis sangat sempit untuk sifat ketahanan terhadap penyakit. Persilangan Phalaenopsis yang masih merupakan persilangan spesies murni, seperti Phalaenopsis amboinensis dan Phalaenopsis cornu-cervi, sangat jarang ditemui. Salah satu cara untuk mendapatkan keturunan kultivar yang
tahan Erwinia pada penelitian ini, ialah dengan menelusuri tetua
tanaman komersial yang memiliki keturunan Phalaenopsis cornu-cervi atau Phalaenopsis amboinensis. Penelitian ini menggunakan tiga klon yaitu 1) klon SGN-PV2.11 (Phalaenopsis Taisuco Kochdian/Yukimai x Vanda Fuch DeLight x Vanda lombokensis) yang merupakan hasil persilangan intergenerik Phalaenopsis dengan Vanda, 2) klon 377 (Phalaenopsis Golden Poeker/Sogolisa x Phalalaenopsis Viogold), dan 3) klon 642 ([Phalaenopsis Chih Sang’s Stripe/ Alfonso Ibara/Matao Freed] x Phalaenopsis amboinensis) x Ever Spring Prince) (Gambar 2). Tetua betina persilangan intergenerik SGN-PV2.11 merupakan Phalaenopsis yang memiliki keturunan Phalaenopsis amabilis yang rentan, sedang Vanda sebagai tetua jantan diharapkan dapat menurunkan sifat fisiknya yang berdaun lebih keras dari daun Phalaenopsis. Dua klon yang lain yaitu klon 642 dan klon 377, salah satu tetuanya merupakan keturunan dari Phalaenopsis amboinensis yang bersifat tahan terhadap penyakit busuk lunak. Klon 642 memiliki keturunan Phalaenopsis amboinensis dari tetua betina yaitu Phalaenopsis Golden poeker sedang klon 377 mendapatkan dari kedua tetuanya. Klon SGN-PV2.11, klon 642 dan klon 377 ditingkatkan keragamannya dengan menggunakan iradiasi sinar gamma dan EMS. Varian yang dihasilkan diuji ketahanannya terhadap Erwinia carotovora subsp. carotovora secara in vitro. Pembentukan kalus pada Phalaenopsis Respon eksplan daun telah
diinisiasi menggunakan eksplan daun.
diuji kemampuan
pembentukan
kalusnya pada
5
beberapa media yang mengandung beberapa kombinasi zat pengatur tumbuh dalam media MS. Kalus yang muncul diproliferasikan dan diregenerasikan dalam media regenerasi.
Plasma Nutfah Phalaenopsis 1. 377 (Phal. Golden Poeker/Sogolisa x Phal. Viogold) 2. 642 ([Phal. Chih Sang’s Stripe/ Alfonso Ibara/Matao Freed] x Phal. amboinensis) x Ever Spring Prince) 3. SGN-PV2.11 (Phal. Taisuco Kochdian/Yukimai x Vanda Fuch delight / Vanda lombokensis) Induksi Kalus Embriogenik -kalus embriogenik
Penyinaran sinar gamma -varian somaklon
Aplikasi Larutan EMS -varian somaklon
Pengujian in vitro Varian pada ketahanan terhadap Erwinia carotovora subsp. carotovora terhadap : - Varian Somaklon Potensial tahan terhadap Erwinia carotovora subsp. carotovora
Pengujian ketahanan terhadap Erwinia carotovora subsp. carotovora di Lapangan
Klon Phalaenopsis Unggul Tahan Erwinia carotovora subsp. carotovora
Gambar 1 Kerangka pemikiran untuk mendapatkan kultivar baru tahan busuk lunak pada tanaman anggrek Phalaenopsis Kalus yang terinduksi media dapat diinduksi dengan mutagen fisik iradiasi sinar gamma dan mutagen kimia EMS untuk memperoleh varian somaklon. kalus yang telah diberi perlakuan iradiasi, ditumbuhkan pada media proliferasi kalus dan
6
diamati persentase kematiannya untuk menentukan LD50 untuk dosis iradiasi dan LC50 untuk konsentrasi EMS. LD50 dan LC50 digunakan untuk menentukan dosis dan konsentrasi yang optimum pada pembentukan varian somaklon. Varian somaklon yang diperoleh dari induksi mutasi, diuji secara in vitro untuk mendapatkan varian yang tahan terhadap bakteri Erwinia carotovora subsp. carotovora. Varian yang telah diuji secara in vitro diaklimatisasi dan diuji kembali di lapangan agar hasil yang diperoleh lebih akurat ketahanannya terhadap penyakit busuk lunak yang disebabkan oleh Erwinia carotovora subsp. carotovora. .
Phal. Golden Poeker
Gambar 2 (a) Tetua klon SGN-PV2.11, (b) tetua klon 377 dan (c) tetua klon 642. Permasalahan Tanaman anggrek khususnya Phalaenopsis merupakan komoditas bernilai ekonomi tinggi dan sangat prospektif untuk dibudidayakan sebagai sumber
7
pendapatan petani. Budidaya anggrek juga menjadi penyedia lapangan pekerjaan dan sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi di daerah. Adanya keberagaman manfaat bunga anggrek dalam kehidupan manusia menyebabkan permintaan terus meningkat. Hal ini menyebabkan minat masyarakat untuk memelihara tanaman anggrek dengan tujuan komersial semakin meningkat. Kondisi pasar yang cerah baik di dalam maupun di luar negeri memungkinkan ekspor anggrek dapat menjadi sumber devisa yang potensial bagi negara, di samping menjadi sumber penghasilan petani dan pendapatan asli daerah (Suryana et al. 2005). Kondisi pasar anggrek khususnya Phalaenopsis akan tetap cerah apabila didukung dengan pengembangan yang optimum untuk penyediaan pasokan Phalaenopsis yang berkualitas secara berkesinambungan. Sejalan dengan globalisasi ekonomi, maka usaha
peningkatan dan pengkayaan keanekaragaman dalam
penyediaan produk anggrek yang berkualitas menjadi lebih penting di tengah timbulnya kejenuhan pasar yang terjadi akhir-akhir ini. Keberhasilan dalam penyediaan bibit berkualitas di dalam negeri dapat mengatasi permasalahan ketergantungan penyediaan bibit impor dari luar negeri yang masih terjadi hingga saat ini. Terobosan baru pada pengembangan Phalaenopsis perlu dilakukan untuk mengatasi hal tersebut. Pemilihan teknik in vitro perlu dilakukan sebagai upaya terobosan untuk mendapatkan varietas unggul baru.
Di dalam teknik in vitro,
komposisi media merupakan hal penting untuk penyediaan nutrisi yang bermanfaat bagi pertumbuhan sel dan jaringan serta diferensiasi sel menjadi tanaman utuh kembali. Penggunaan berbagai zat pengatur tumbuh akan mempengaruhi arah diferensiasi sel maupun jaringan. Auksin dalam konsentrasi optimum akan medorong terbentuknya kalus, sedangkan sitokinin akan mendorong terbentuknya tunas. Inisiasi embrio somatik dapat dilakukan pada media yang mengandung kombinasi zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin seimbang (Chowdhury et al. 2003). Keseimbangan komposisi nutrisi dan zat pengatur tumbuh tambahan pada induksi embrio somatik setiap tanaman adalah berbeda, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai komposisi tersebut. Peningkatan keragaman genetik harus dilakukan apabila materi tanaman merupakan klon, karena suatu klon tidak memiliki keragaman genetik. Keragaman genetik dapat diperoleh selain melalui persilangan dapat dicapai melalui peningkatan
8
variasi somaklonal. Teknik ini merupakan teknik untuk mendapatkan variasi genetik tanaman yang dapat dilakukan melalui kultur jaringan secara in vitro (Karp 2004). Pada saat ini teknik in vitro dan mutagenesis merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk meningkatkan variabilitas pada tanaman yang diperbanyak secara vegetatif. Teknik mutasi yang dikombinasikan dengan kultur in vitro dan metode molekuler akan menyediakan metode-metode yang kuat untuk meningkatkan pemuliaan tanaman pada banyak tanaman hias. Selain itu dengan perlakuan mutagenesis dapat diinduksi perubahan ukuran tanaman, waktu mekar bunga, pemasakan buah, warna buah, self-compatibility, dan juga resistensi terhadap patogen (Predieri 2001). Teknik mutasi ini dapat dilakukan secara fisik dengan teknik nuklir iradiasi sinar gamma maupun kimia (Konstantinov & Driníc 2007). Dalam pemuliaan tanaman, penggunaan teknik nuklir paling berpengaruh secara langsung untuk menginduksi mutasi sel. Sejak penemuan sinar-X sekitar seratus tahun yang lalu, penggunaan iradiasi pengion seperti sinar-X, gamma dan neutron telah menjadi suatu teknologi yang telah terbukti secara luas (Ahloowalia & Maluszynski 2001). Bahan mutagen fisik ini dapat melepas energi (ionisasi), segera setelah melewati atau menembus materi. Proses ionisasi akan terjadi dalam jaringan dan selanjutnya dapat menyebabkan perubahan pada tingkat sel, genom, kromosom dan DNA atau gen. Perubahan yang terjadi secara mendadak pada tingkat genom, kromosom dan DNA atau gen sering bersifat permanen, dan diwariskan ke generasi berikutnya, dikenal sebagai mutasi (Soeranto 2005). Induksi mutasi dengan iradiasi ini paling banyak digunakan untuk pengembangan metode perolehan varietas-varietas mutan secara langsung, dengan frekuensi penggunaan yang paling tinggi yaitu 89%, sedangkan penggunaan mutagen kimia relatif rendah. Di antara iradiasi pengion yang ada, induksi iradiasi varietasvarietas mutan paling banyak dikembangkan dengan sinar-γ (65%), diikuti sinar-X (22%). Dari 2.252 nomor aksesi, 75% merupakan tanaman pangan dan 25% tanaman hias dan dekoratif (Ahloowalia et al. 2004). Teknik induksi variasi somaklonal juga dapat diaplikasikan bersama dengan teknik mutagenesis secara kimiawi. Mutagen kimia lebih mudah tersedia dan perbandingan terhadap modifikasi yang tidak diinginkan lebih baik pada mutagen kimia dibandingkan dengan iradiasi (Nasir 2002). EMS merupakan salah satu kelompok mutagen kimia yang paling menarik karena agensia ini membentuk
9
alkilasi. Senyawa ini memiliki satu atau lebih gugus alkil reaktif yang dapat ditransfer ke molekul lain pada posisi kepadatan cukup tinggi (Kodym & Afza 2003). Jenis mutagen kimia sangat banyak, tetapi paling populer dan handal di antaranya adalah jenis yang dikelompokkan dalam golongan senyawa ‘ethylating agent’ dan ‘methylating agent’. Ethilmethanesulfonat (EMS), dan diethilsulfonat (DES), merupakan mutagen kimia yang merupakan senyawa ‘ethylating agent’, sedangkan Methylmethanesulfonat (MMS), Dimethylsulphate (DMS) dan sebagainya (Kodym & Afza 2003). Keberhasilan penggunaan mutagen kimia sebagai agen induksi mutan telah banyak diketahui di antaranya pada ubijalar dengan skrining in vitro untuk toleran terhadap garam (Luan et al. 2007), pada tanaman arabidopsis yang resisten terhadap herbisida (Jender et al. 2003), pada krisan (Rodrigo et al. 2004), dan juga telah diaplikasikan pada kacang panjang (Svetleva & Crino 2005). Metode pengujian ketahanan tanaman melalui cara inokulasi di lapangan telah banyak dilakukan, tetapi metode ini sering mengalami disease escape. Di samping itu lahan yang digunakan untuk pengujian tersebut dapat menjadi sumber penyakit baru. Metode lain yang relatif
aman diaplikasikan adalah metode uji secara in vitro.
Teknik ini lebih efisien dan efektif karena selain dapat mengurangi terjadinya escape, hasil uji dapat diulang di rumah kaca, patogen yang digunakan tetap terbatas di laboratorium dan umumnya memberikan hasil yang relatif tidak berbeda dengan inokulasi di lapangan, tidak membutuhkan lahan yang luas dan lebih murah (Samanhudi 2000). Metode pengujian ketahanan tanaman secara in vitro terhadap penyakit busuk lunak yang disebabkan oleh Erwinia spp khususnya pada Phalaenopsis belum pernah dilakukan di Indonesia. Informasi mengenai masalah ketahanan Phalaenopsis terhadap penyakit busuk lunak juga tidak banyak dijumpai, oleh karena itu masih diperlukan penelitian mengenai baik penggunaan metode pengujian maupun sifat ketahanan Phalaenopsis terhadap penyakit busuk lunak tersebut. Dalam penelitian ini akan diaplikasikan penggunaan metode uji in vitro untuk ketahanan Phalaenopsis terhadap penyakit busuk lunak menggunakan agen penguji bakteri, pada varian somaklon hasil iradiasi dan perlakuan EMS. Beberapa analisis pendukung yang dapat dilakukan antara lain analisis isoenzim, analisis kandungan peroksidase, dan kandungan asam salisilat. Tujuan Penelitian
10
Secara umum penelitian ini bertujuan mendapatkan klon baru tahan penyakit busuk lunak yang disebabkan oleh Erwinia carotovora subsp. carotovora melalui pendekatan penelitian, yaitu melalui pengujian varian somaklon yang diinduksi menggunakan iradiasi sinar gamma dan perendaman larutan EMS. Secara spesifik penelitian ini bertujuan : 1.
Mendapatkan teknik induksi embriosomatik dari klon SGN-PV2.11, klon 377 dan klon 642.
2.
Mendapatkan varian somaklon melalui iradiasi sinar gamma.
3.
Mendapatkan varian somaklon melalui perlakuan perendaman larutan EMS.
4.
Mendapatkan varian-varian somaklon SGN-PV2.11, 377 dan 642 hasil iradiasi sinar gamma dan perendaman larutan EMS yang tahan terhadap Erwinia carotovora subsp. carotovora melalui uji ketahanan secara in vitro.
5.
Mengkonfirmasi hasil uji ketahanan terhadap Erwinia carotovora subsp. carotovora secara in vitro dan uji ketahanan terhadap penyakit di lapangan. Hipotesis Hipotesis yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini antara lain:
1.
Kemampuan pembentukan kalus setiap klon Phalaenopsis sangat ditentukan oleh komposisi media.
2.
Keragaman somaklonal dapat diinduksi dengan dosis iradiasi sinar gamma tertentu dan keberadaan mutan ditentukan oleh kemampuan regenerasi pada media yang sesuai dan seleksi diplontik yang dilakukan.
3.
Keragaman somaklonal dapat diinduksi oleh konsentrasi mutagen EMS dan keberadaan mutan ditentukan oleh kemampuan regenerasi pada media yang sesuai dan seleksi diplontik yang dilakukan.
4.
Uji ketahanan Erwinia carotovora subsp. carotovora secara in vitro dapat menentukan tingkat ketahanan varian somaklon terhadap Erwinia carotovora subsp. carotovora.
5.
Uji ketahanan terhadap Erwinia carotovora subsp. carotovora di lapangan memiliki tingkat akurasi yang sepadan dengan hasil uji ketahanan secara in vitro. Kegunaan Penelitian
11
Anggrek Phalaenopsis dengan sifat unggul tahan penyakit busuk lunak berpeluang meningkatkan bisnis peranggrekan di dalam negeri. Dengan diperolehnya klon unggul Phalaenopsis yang tahan penyakit busuk lunak pada penelitian ini diharapkan dapat mendorong penelitian lain yang berbasis keragaman somaklonal untuk mendapatkan klon-klon baru tahan penyakit yang lain, sehingga bermanfaat dalam pengembangan industri pemuliaan di dalam negeri dalam penyediaan bibit berkualitas. Dampak positif lain yang diharapkan dari keberhasilan penelitian ini ialah dapat meningkatkan minat petani anggrek dan luas areal bisnis anggrek Phalaenopsis, sehingga akan meningkatkan peluang lapangan kerja.
TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Phalaenopsis Indonesia sebagai salah satu negara tropis di kawasan Asia memiliki kekayaan flora yang tersebar di seluruh wilayah kepulauannya. Di antara ragam kekayaan flora tersebut, tanaman anggrek merupakan komoditas yang paling penting
12
dan bernilai ekonomi tinggi. Sebagian besar spesies anggrek belum termanfaatkan dan masih berada di hutan belantara dataran rendah maupun dataran tinggi sebagai habitat alamnya. Dari berbagai jenis anggrek yang tumbuh di alam Indonesia, Phalaenopsis merupakan salah satu yang paling populer di dunia. Sebagian besar spesies Phalaenopsis yang dikenal di dunia diketahui berasal dari Indonesia, sedang sebagian kecil berasal dari Semenanjung Malaya, Filipina, Thailand, dan Birma (Djaafarer 2002). Beberapa spesies yang sangat populer dan terus diburu yaitu Phalaenopsis gigantea (anggrek bulan raksasa) yang berasal dari Kalimantan, dan sangat potensial sebagai induk silangan. Phalaenopsis amboinensis yang juga terkenal sebagai cikal bakal lahirnya Phalaenopsis berbunga kuning. Salah satu yang berbunga kupu-kupu putih, Phalaenopsis amabilis dapat dijumpai hampir di seluruh kepulauan Indonesia, seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Ambon, Buru, Timor, Papua dan Jawa, mendapat julukan "Puspa Pesona". Phalaenopsis lain yang merupakan bahan induk silangan berpotensi yaitu Phalaenopsis cornucervi dikenal sebagai anggrek bulan loreng merupakan sumber genotip anggrek hibrida bercorak loreng (Djaafarer 2002). Semua tanaman Phalaenopsis memiliki batang yang pendek dan merupakan tanaman monopodial. Berbeda dengan anggrek monopodial berbatang panjang (seperti Arachnis, Renathera), batang anggrek Phalaenopsis dapat dikatakan hampir tidak ada. Jarak antara daun sangat pendek, dan apabila terjadi pemanjangan internode biasanya merupakan pengecualian pertumbuhan. Ciri batang yang pendek menandakan bahwa tanaman ini membutuhkan intensitas cahaya matahari cukup rendah. Siklus hidup Phalaenopsis secara alami terjadi selama 2-3 tahun dari fase vegetative hingga fase reproduktif (Christenson 2001). Phalaenopsis memiliki tiga jenis akar: akar udara, akar epifit dan akar substrat. Akar udara silindrik dan tidak bercabang, besar, memanjang pada ujungnya berpigmen ungu atau hijau seperti pigmentasi pada daun. Pigmentasi ini kemungkinan merupakan pola pewarisan alel tunggal. Akar epifit, atau akar yang berpangkal pada batang dan tidak menempel pada substrat atau tidak tertutupi oleh substrat, bentuknya tipikal pipih dan menyerupai pita. Akar substrat berbentuk silindrik berdiameter lebih besar dari pada akar udara dan biasanya ujung akarnya tidak berpigmen. Pada setiap tanaman memiliki satu atau dua jenis akar tersebut tergantung lingkungannya. Hormon yang terdapat di ujung akar mampu menginisiasi
13
mitosis sehingga jaringan ini cocok digunakan untuk pembentukan plb (protocorm like bodies) dan berpeluang untuk menginduksi mutasi (Christenson 2001). Ketebalan daun bervariasi dari spesies yang satu dengan spesies yang lain. Namun, tekstur dan morfologinya semua hampir sama dalam satu genus Phalaenopsis. Semua jenis daun ini sukulen dan mengkilap. Secara normal daun bersifat evergreen, beberapa kadang-kadang menunjukkan variasi pigmentasi. Pada Phalaenopsis daun kadang-kadang tampak keperakan kaya dengan spot-spot ungu. Pola pewarnaan daun tampaknya berhubungan erat dengan tanda-tanda khusus untuk pengenalan spesies. Pada spesies dengan daun yang tidak memiliki ciri, ada atau tidaknya warna ungu di bagian bawah permukaan daun adalah bervariasi dan dikontrol oleh satu sistem alel (Christenson 2001). Tangkai bunga Phalaenopsis umumnya pendek, jumlah bunga sedikit. Tetapi ada spesies yang tangkai bunganya bercabang sehingga hasil silangansilangannya hingga kini menghasilkan hibrid multiflora. Pangkal tangkai bunga Phalaenopsis biasanya beruas 3-5 ruas dan masing-masing ruas terdapat mata tunas yang diselubungi pelepah berukuran kecil. Setelah ruas-ruas tersebut, terdapat kuntum-kuntum bunga. Kadang-kadang pada ruas tangkai bunga muncul keiki atau tunas anakan (Djaafarer 2002). Selama ini masih banyak orang yang beranggapan bahwa anggrek Phalaenopsis spesies hanya dapat tumbuh di daerah dataran tinggi. Padahal sebenarnya anggrek dapat tumbuh di sembarang ketinggian, dataran rendah, menengah sampai tinggi, selama kondisi ekologinya optimum untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman, Phalaenopsis merupakan jenis anggrek epifit atau litofit. Di alam anggrek ini epifit pada batang kayu atau dinding bebatuan dengan akar menempel kuat. Di alam, Phalaenopsis hidup di tiga macam habitat antara lain daerah kering, daerah dingin dan dan daerah yang memiliki kelembaban udara tinggi secara terus-menerus. Di daerah yang mempunyai kondisi ekstrim akan memacu sistem adaptasi tanaman terhadap lingkungan tersebut. Salah satu sistim adaptasi ialah adaptasi terhadap kondisi xerofitik dengan cara meningkatkan kesukulenannya. Hal ini sering dijumpai pada Phalaenopsis cornucervi dan kerabatnya yang memiliki daun lebih tebal. Beberapa spesies seperti Phalaenopsis gigantea hidup di daerah berkanopi lebih tinggi dan agak lebih terbuka. Jenis seperti ini, memiliki daun yang amat keras untuk menghindari pengeringan dan lebih toleran terhadap level cahaya yang tinggi dari pada spesies lain.
14
Phalaenopsis mudah ditanam di bawah kondisi buatan selama masih sesuai dengan ekologi aslinya. Beberapa unsur ekologi yang berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan Phalaenopsis adalah, kelembaban, intensitas cahaya, suhu, air dan sirkulasi uadara. Suhu yang sesuai untuk pertumbuhan Phalaenopsis berkisar antara 26-30 °C dengan suhu ideal 28 °C. Pada siang hari merupakan saat kritis bagi Phalaenopsis karena pada saat itu membutuhkan lebih banyak air untuk mengurangi risiko dehidrasi.
c
b
a
Gambar 3 Morfologi tanaman Phalaenopsis sp (a) akar substrat (b) daun (c) calon bunga. Semua spesies Phalaenopsis memiliki 38 kromosom (2n = 2x=38) kecuali Phalaenopsis buyssoniana yang menjadi tetraploid secara alami memiliki kromosom 2n=4x=76 (Christenson 2001; Kao et al. 2007). Kromosom di dalam satu genus ini dapat berbeda ukuran maupun morfologi. Pada seksi Phalaenopsis memiliki kromosom terpendek dalam satu genus ini. Anggrek populer seperti Phalaenopsis spp memiliki ukuran genome yang besar yaitu berkisar antara 1 x 109 hingga 6 x 109 bp (Lin et al. 2001) dan beberapa kultivar komersial ini multiploid. Seperti genom tanaman lainnya, genom Phalaenopsis terdiri atas genom inti, chloroplas (cpDNA) dan mitokondria (mtDNA). Pada Phalaenopsis aphrodite Reichbf diketahui memiliki
15
genom chloroplas yang merupakan molekul sirkuler berukuran 148.964 bp (Chang et al. 2006). Pemuliaan Tanaman Phalaenopsis Pemuliaan anggrek terutama Phalaenopsis dapat dilakukan secara persilangan konvensional, mutasi dan transformasi gen. Persilangan konvensional mencakup persilangan intraspesies, interspesies maupun intergenerik antara genus berbeda misalnya persilangan antara Vanda dan Phalaenopsis yang disebut Vandopsis, Aranthera dan Vanda menjadi Aranda, Ascocentrum dan Vanda menjadi Ascosenda dan sebagainya (Tanaka & Kamemoto 1961). Metode pemuliaan anggrek yang diperbanyak secara vegetatif, antara lain dapat dilakukan melalui teknik rekayasa genetik (Semiarti et al. 2007) dan teknik induksi keragaman somaklonal atau mutasi induksi. Induksi mutasi telah digunakan dalam peningkatan kemampuan genetik pada beberapa tanaman, tetapi jumlah tanaman hasil induksi mutasi masih lebih kecil dibandingkan dengan hasil pemuliaan melalui hibridisasi dan seleksi. Aspek yang paling menjanjikan dari penerapan induksi mutasi pada tanaman yang diperbanyak secara vegetatif adalah adanya kemungkinan untuk memperbaiki sedikit karakter, tanpa mengubah secara mendasar susunan gen lain yang telah baik. Pada anggrek Phalaenopsis, metode pemuliaan vegetatif seperti transformasi genetik, ataupun melalui induksi variasi somaklonal belum banyak didapatkan, khususnya di Indonesia. Pada saat ini di Indonedia, belum ditemukan varitas atau kultivar Phalaenopsis yang merupakan hasil dari pengembangan metode transformasi ataupun variasi somaklonal.
Pemuliaan Melalui Persilangan Konvensional Persilangan anggrek telah dilakukan orang sejak tahun 1849 hingga saat ini telah didaftarkan ribuan jenis baru termasuk di antaranya multigenerik, intragenerik dan intergenerik. Dalam daftar persilangan intergenerik sendiri diketahui bahwa ada 589 macam yang bersifat intergenerik, 62 intergenerik di antaranya telah dihasilkan mengandung tetua Phalaenopsis dan atau Vanda (Anonim 2006). Beberapa contoh
16
disajikan dalam tabel 1. Hasil persilangan intergenerik antara Phalaenopsis dengan Renanthera disebut Renanthopsis memiliki penampilan tanaman berbatang pendek, berdaun dan berbunga menyerupai bunga Renanthera (Gambar 4a). Demikian juga hasil persilangan intergenerik Phalaenopsis dan Vandopsis menghasilkan turunan berbunga tidak menyerupai Phalaenopsis maupun Vandopsis (Gambar 4b).
Phalaenopsis x Renanthera
a
Phalaenopsis x Vandopsis
b
Sumber : (a) Florzinha de Estufa (2009) dan (b) Pineland Orchid Society (2006) Gambar 4. Anggrek hasil silangan intergenerik (a) Renanthopsis Mildred Jameson, (b) Phalaendopsis Arizona Star’Jim Turnbow’ Tabel 1 Beberapa nama intergenerik yang melibatkan tetua persilangan Phalaenopsis dan Vanda. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Nama Intergenerik Bogardara Bokchoonara Deveneauxara Himoniara Aeridopsis Arachnopsis Asconopsis Doriotaenopsis Moirara Lutherara Phalandopsis Renanthopsis Rhynchonopsis Vandopsis Yapara
Tetua asal intergenerik Bgd Bkch Dvra Hmra Aerps Arnps Ascps Dtps Moir Luth Phdps Renps Rhynps Vdps Yapr
Ascocentrum x Phalaenopsis xVanda x Vandopsis Arachnis x Ascocentrum x Phalaenopsis x Vanda Ascocentrum x Phalaenopsis x Vanda Ascocentrum x Phalaenopsis x Rhynchosyllus x Vanda Aerides x Phalaenopsis Arachnis x Phalaenopsis Ascocentrum x Phalaenopsis Doritis x Phalaenopsis Phalaenopsis x Renanthera x Vanda Phalaenopsis x Renanthera x Rhynchostilis Phalaenopsis x Vandopsis Phalaenopsis x Renanthera Pha laenopsis x Rhynchostilis Phalaenopsis x Vanda Phalaenopsis x Rhynchostilis x Vanda
Sumber : Royal Horticultural Society (2006). Persilangan dari kelompok Sarcanthine termasuk di antaranya vandaceous telah dikembangkan oleh Thailand, Singapura, Malaysia dan Hawaii pada akhir
17
dasawarsa. Poliploid pada vandaceous cenderung memberikan pengaruh pada bunga yang menjadi lebih besar, sepal dan petal lebih lebar. Kelemahan dan sekaligus keuntungan bagi produsen ialah karena pada vandaceous tersebut memiliki keabnormalan meiosis dan fertilitasnya rendah dengan terjadinya afinitas kromosom pada saat meiosis (Tanaka & Kamemoto. 1961). Pemuliaan Melalui Induksi Keragaman Somaklonal Keragaman somaklonal adalah keragaman genetik yang diinduksi melalui kultur sel somatik, kultur sel tunggal, atau kultur protoplas. Keragaman somaklonal telah sangat dikenal pemanfaatannya di dunia industri florikulturauntuk menginduksi varietas unggul baru. Berbagai kondisi selama proses kultur mempengaruhi fenotipik hasil. Penurunan dan kehilangan total kemampuan regenerasi merupakan fenomena umum selama kultur sel, karena pembentukan sel dengan DNA abnormal pada saat pertumbuhan sel yang tak terorganisir. Peningkatan kejadian keragaman somaklonal juga terjadi ketika kultur somatik embriogenik dilakukan dalam jangka waktu lama di dalam kultur in vitro atau
akibat subkultur yang terus menerus menggunakan
tambahan zat pengatur tumbuh (Kaeppler et al. 2000). Perubahan genetik yang berhubungan dengan keragaman somaklonal adalah mutasi titik, perubahan karyotipe (jumlah kromosom dan struktur), perubahan jumlah kopi, pindah silang sel somatik, amplifikasi DNA dan delesi (Rego & deFaria 2001). Timbulnya keragaman genetik selama proses in vitro dipengaruhi juga oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal terdiri atas pengaruh genotip, sumber eksplan yang digunakan dan tingkat ploidi (Karp 2004). Semakin rendah tingkat ploidi, semakin stabil suatu genotip tanamn selama proses kultur in vitro. Sedangkan faktor eksternal terdiri atas pengaruh komposisi media buatan, zat pengatur tumbuh serta proses regenerasi dari kalus menjadi tanaman yang membutuhkan beberapa kali subkultur (Akin-Idowu et al. 2009). Penggunaan teknik keragaman somaklonal dalam pemuliaan meliputi beberapa tahap (1) induksi kalus atau kultur suspensi sel (2) regenerasi dari sejumlah besar tanaman dari kultur (3) skrining untuk perlakuan yang diinginkan pada tanaman yang diregenerasikan (4) pengujian varian terseleksi (5) perbanyakan varian stabil atau menggunakannya pada program pemuliaan (Jain et al. 1997). Pada tanaman hias, keragaman yang ditimbulkan meliputi morfologi tanaman, morfologi daun, warna dan bentuk bunga (Schepper et al. 2002;
18
Seneviratne & Wijesundara 2007)). Selama ini warna bunga merupakan target utama dalam pemuliaan konvensional. Pigmen utama yang terlibat dalam pewarnaan bunga ialah flavanoid yang merupakan pembentuk warna kuning, merah, ungu dan biru. sedangkan carotenoid menyebabkan terbentuknya warna kuning hingga orange. Pigmen warna sangat kuat tergantung pada pH dalam sel (Tsuda et al. 2004). Selain karakter kualitatif seperti warna, sifat kuantitatif yang dapat berubah karena teknik keragaman somaklonal pada tanaman hias antara lain perubahan durasi vase-life, jumlah bunga, kerajinan berbunga. Keragaman somaklonal dapat diinduksi untuk memperoleh mutan-mutan yang diharapkan membawa sifat yang menguntungkan tanaman, dan telah dilakukan oleh beberapa orang peneliti. Induksi mutasi dapat dilakukan dengan pemberian mutagen. Mutagen terdiri atas dua tipe yaitu fisik dan kimia (Kodym & Afza 2003). Mutagen tersebut bervariasi dalam spektrum penyebab mutasi. Induksi secara fisik yang dapat digunakan antara lain iradiasi gelombang elektromagnetik dengan sinar ultraviolet (UV), sinar-x (X), neutron dan sinar gamma (Co60) (Kovacs & Karesztes 2002). Secara kimiawi dapat digunakan senyawa kimia penyebab metilasi, antara lain ENU, EI, IPMS, EMS (etilmetan sulfonat), MMS (metilmetan sulfonat), dan colchicin (Konstantinov & Driníc 2007). Penggunaan induksi mutasi tampaknya merupakan salah satu alternatif terbaik bagi program pemuliaan tanaman membiak vegetatif. Melalui perbanyakan vegetatif, individu mutan hasil pemuliaan mutasi dapat secara langsung membentuk klon komersial. Database FAO/IAEA menyatakan bahwa dari 552 mutan yang dilepas di antara tanaman yang diperbanyak secara vegetatif, sebagian besar adalah tanaman hias dan beberapa tanaman buah, termasuk Chrysanthemum, Dahlia, Bougainvillea, Rosa, Begonia, Carnation, dan Azalea (Ahloowalia & Maluszynski 2001). Efek dari mutasi pada tanaman hias dapat terlihat secara jelas dengan kasat mata. Seleksi untuk perubahan warna bunga, bentuk dan ukuran sangat mudah dilakukan, dan hampir seluruh mutan yang dijumpai bernilai ekonomis tinggi. Berdasarkan efek yang ditimbulkan tersebut, penggunaan teknik mutasi menjadi sarana utama untuk pemuliaan tanaman hias (Rego & deFaria 2001). Jumlah pasti kultivar-kultivar tanaman hias hasil mutasi induksi yang telah dilepas dan berapa besar nilai ekonomisnya sulit untuk diprediksi. Perusahaan komersial seringkali tidak melaporkan asal dari kultivar-kultivar mutan tanaman hias yang diinduksi, dan nilai tanaman mutan tersebut menjadi rahasia suatu perusahaan.
19
Pada berbagai negara berkembang, kultivar-kultivar mutan yang dilepas dan didaftar, dimanfaatkan oleh pihak lain, karena kultivar-kultivar tersebut dapat diperbanyak secara bebas tanpa izin dari pemulia. Sebagai contoh, National Botanic Research Institute (NBRI), Lucknow, India, selama 17 tahun terakhir telah melepas 70 kultivar hasil induksi mutasi tanaman hias antara lain, Chrysanthemum, Mawar, Bougenvillia, Lantana, Hibiscus, dan Portulaca (Ahloowalia et al. 2004). Demikian pula di negara Thailand, Department of Applied Radiation and Isotopes, Kasetsart University, telah melepas 6 mutan kultivar bunga Kana, 15 Chrysanthemum dan 2 mutan Portulaca. Masalah-masalah yang dihadapi dalam pengembangan tanaman hias di India dan Thailand, tampaknya juga dihadapi di Indonesia. Pelepasan varietas hasil induksi mutasi banyak yang belum tercatat di kantor perlindungan varitas tanaman (PVT), demikian pula kelanjutan penyebarannya. Induksi Mutasi Menggunakan Iradiasi Sinar Gamma Penggunaan sinar gamma untuk menginduksi keragaman pada tanaman hias telah digunakan oleh banyak peneliti antara lain pada tanaman lotus (Arunyanart & Soontronyatara 2002), dan chrysanthemum (Mandal et al. 2000). Pengujian berbagai dosis iradiasi dilakukan untuk mengetahui radiosensitivitas suatu jaringan perlu dilakukan untuk mengetahui seberapa besar sensitivitas jaringan tanaman yang diuji terhadap dosis iradiasi yang diberikan. Penentuan dosis iradiasi yang tepat perlu dilakukan untuk mendapatkan varian yang lebih banyak. Pada beberapa studi mutagenesis, faktor kunci di dalam melakukan iradiasi ialah dosis, yang merupakan jumlah energi iradiasi yang diabsorbsi oleh materi. Unit pengukuran dosis iradiasi ialah Gray (Gy). 1 Gy setara dengan absorbsi 1 Joule energi per kilogram produk yang diradiasi, yang setara dengan 100 rad. Dosis iradiasi dibagi dalam tiga cakupan kategori: tinggi (> 10 kGy), medium (1-10 kGy), dan rendah (< 1 kGy). Dosis yang tinggi digunakan untuk sterilisasi produk makanan, dan untuk biji sebesar 60-700 Gy. Pada kultur in vitro kalus digunakan dosis 2-5 Gy dan apabila dosis ditingkatkan menjadi 15-20 Gy menyebabkan nekrosis dan kapasitas regenerasinya menjadi hilang. Pada tanaman kentang yang diperbanyak secara mikro, dosis optimal untuk bertahan hidup ialah 20 Gy (Ahloowalia & Maluszynski 2001). Secara visual tingkat sensitivitas ini dapat diamati dari respon yang diberikan tanaman, baik dari morfologi tanaman, sterilitas, maupun dosis letal 50 (LD50). LD50 ialah dosis yang menyebabkan kematian 50% dari populasi yang
20
diradiasi (Omar et al. 2008). Dari banyak penelitian mutasi induksi, telah diketahui bahwa umumnya mutasi yang diinginkan terletak pada kisaran LD50 atau sedikit di bawahnya. Pada kasus tertentu, misalnya pada perlakuan kalus digunakan dosis yang besarnya sekitar LD30. Faktor yang mempengaruhi tingkat sensitivitas tanaman terhadap iradiasi, secara fisik bentuk morfologi tanaman, kesukulenan material dapat mempengaruhi ketahanan fisik sel saat menerima iradiasi sinar gamma. Hal ini berhubungan dengan faktor biologis lainnya seperti faktor genetika, dan juga faktor lingkungan seperti oksigen, kadar air, penyimpanan pasca iradiasi dan suhu (Ashraf et al. 2003). Pada plantlet lotus (Nelumbo nucifera Gaertn.), mutasi yang diinduksi dengan dosis 20 Gy, menghasilkan laju pertahanan hidup sebesar 50%. Dosis 10 dan 20 Gy menghasilkan pemanjangan akar sekunder dan pembentukan sejumlah akar adventif. Mutan-mutan ini juga terhambat pertumbuhan pucuk dan perkembangan rhizoma. Sebagian besar tanaman yang diberi perlaknan 20-50 Gy memperlihatkan karakteristik yang abnormal, termasuk vitrifikasi, klorosis, dan penampilan petiole dan penghambatan pertumbuhan tunas lateral, akar-akar sekunder dan rhizoma. Seluruh tanaman yang diberi perlakuan 60 Gy mati dalam 4 minggu (Arunyanart & Soontronyatara 2002). Hasil penelitian Mandal et al. (2000) pada tanaman Krisan (Chrysanthemum morifolium cv. Maghi), iradiasi dapat diberikan pada nodus batang, internodus batang, pucuk, dan bunga (ray floret) dengan dosis 15, 20 dan 25 Gy. Perlakuan sinar gamma 2 krad (20 Gy) menimbulkan daun-daun klorofil variegata, 2.5 krad (25 Gy) bunga kimera (mutan putih, wild-type ungu tua/mauve). Mutan solid dengan daun variegata klorofil, dihasilkan dari eksplan nodus batang. Pada dosis tersebut tidak dilaporkan adanya letalitas. Efek iradiasi terhadap perubahan warna bunga tanaman tergantung pada warna tetua sumber eksplan. Warna tetua biru yang mengandung antosianin, malvidin, peonidin, petunidin dan cyanidin pada bunga torenia yang diradiasi memberikan
tambahan
pelargonium
malvinidin, menyebabkan
dan
delphinidin.
Akibat
ketidakadaan
bunga mutan menjadi biru pucat. Warna pink
mengandung peonidin, cyanidin dan pelargonium dan tidak mengandung malvinidin dan petunidin (Miyazaki et al. 2006). Induksi Mutasi Menggunakan EMS Penggunaan mutagen kimia dinilai lebih efektif untuk menimbulkan mutasi dari pada mutagen lain. Di antara sekian banyak mutagen kimia, beberapa merupakan
21
mutagen yang cukup berguna dan handal antara lain etilmetanasulfonat (EMS), dietilsulfat (DES), etilenimin (El),
N-nitro-N-etil urea (NEU) (Konstantinov &
Driníc 2007). Mutagen kimia khususnya EMS lebih mudah tersedia dan rasio mutasionalnya terhadap modifikasi yang tidak diinginkan lebih baik dibandingkan dengan iradiasi (Nasir 2002). Sebagai sarana pemuliaan praktis, kelompok mutagen kimia yang paling menarik ialah agensia yang membentuk alkilasi. Kelompok ini memiliki satu atau lebih kelompok alkil reaktif yang dapat ditransfer ke molekul lain pada posisi di mana kepadatannya tinggi. Agensia yang mengalkilasi dapat bereaksi dengan DNA. Pada awalnya terbentuk triester yang tidak stabil karena fosfat triester dihidrolisa antara gula dan fosfat yang menghasilkan pecahnya tulang punggung DNA. Alkilasi dari nitrogen basa terjadi dan bereaksi dengan guanine pada posisi N-7. Kejadian ini biasanya diikuti oleh adenine pada posisi N-3 dan citosin pada posisi N-1 (Kodym & Afza 2003). Alkilasi guanine membentuk O6-ethyl guanine yang dapat berpasangan dengan timin tetapi tidak dengan citosin (Kim et al. 2006). EMS menginduksi C ke T menghasilkan C/G ke T/A yang bersifat substitusi, sedang methyl methansulfonate menghasilkan transversi T/A ke G/C dan transisi A/T ke G/C (1,3,4). Pada frequensi rendah EMS membentuk G/C ke CG atau transversi G/C ke T/A oleh hidrolisa 7ethylguanin atau transisi A/T ke G/C oleh 3-ethyladenin (Kim et al. 2006). Mutagen kimia dapat diintroduksi ke dalam jaringan tanaman dan bahkan sel dapat menyebabkan jumlah mutasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan cara lain tetapi hasil yang memuaskan bergantung pada konsentrasi bahan kimia, lama masa perlakuan, suhu, pH larutan mutagenik dan kadar air bahan yang diberi perlakuan (Kovacs & Karesztes 2002). Penggunaan EMS telah banyak digunakan pada berbagai tanaman, selain pada tanaman hias seperti krisan berwarna pink tua dengan perlakuan EMS 0.77% selama 45 menit yang menghasilkan mutan 5.2% yang berwarna pinksalmon, pink terang, putih , kuning, warna sahnon dan bronze (Rodrigo et al. 2004), juga tanaman kacang-kacangan (Svetleva & Crino 2005). Pada tanaman ubijalar, EMS diaplikasikan untuk mendapatkan tanaman toleran kadar garam tinggi dengan konsentrasi 0.5% selama 2-2.5 jam pada eksplan kalus (Luan et al. 2007). Efek Fisiologi Mutagen Pemuliaan mutasi melalui mutagenesis memberikan dampak secara sitologis maupun fisiologis karena mutasi dapat terjadi pada tingkat sel maupun tingkat jaringan (Ashraf et al. 2003). Kerusakan fisiologi yang disebabkan oleh mutagen,
22
dapat bersifat kromosomal atau ekstrakromosomal. Apabila setelah perlakuan mutagenik menyebabkan tingkat kematian organisme yang rendah, biasanya frekuensi mutasinya tinggi, kerusakan yang ditimbulkan merupakan kerusakan ekstrakromosomal. Sebaliknya, bila tingkat lethalitas tinggi, frekuensi mutasinya rendah dapat dikategorikan kerusakan kromosomal (Wi et al. 2007). Kerusakan fisiologis pada sejumlah sel di jaringan meristem apikal dapat terjadi pada lapisan terluar, yaitu epidermis (LI) yang menutupi semua jaringan misalnya daun, batang, petal bunga dan sebagainya. Jaringan di bawahnya yang terdiri atas beberapa lapis sel di dalam batang dan sebagian besar sel-sel yang berada pada daun disebut lapisan sub-epidermis (L2), selanjutnya L3 merupakan sebagian besar jaringan internal batang dan sejumlah sel di sekitar jaringan pembuluh daun (Lineberger 2007). Apabila mutasi non-lethal terjadi pada sel yang aktif membelah, seperti sel meristem tersebut, maka biasanya akan diperoleh keturunan sel-sel yang bermutasi dan sel sel yang tidak bermutasi tergantung pada dimensi mutasi. Dimensi mutasi yang terjadi pada jaringan ini tergantung pada posisi sel yang bermutasi. Melalui mutasi induksi, genotip yang diinginkan tidak dapat segera dikenali karena terbentuknya kimera pada meristem yang multiseluler. Fenomena pada tanaman termutasi ini dikatakan kimera apabila sel sel yang tumbuh tersebut menunjukkan lebih dari satu genotip dalam satu jaringan tanaman. Seperti misalnya tanaman variegata, sel-sel ini berasal dari jaringan meristem apikal yang beberapa selnya tidak mampu mensintesis khlorofil sehingga daun tidak berwarna hijau (Cammareri et al. 2002). Kimera tanaman dapat dikategorikan berdasarkan lokasi dan seberapa besar proporsi sel-sel yang termutasi dan tidak termutasi di dalam meristem apikal (Lineberger. 2007). Kimera periklinal merupakan kategori terpenting karena kimera ini relatif stabil dan dapat diperbanyak secara vegetatif. Mutasi ini dihasilkan dari selsel yang terletak di dekat apikal meristen, sehingga sel-sel yang diproduksikan selalu berasal dari pembelahan sel-sel yang termutasi. Hasil pembelahan meristem ini berisi satu lapis sel yang secara genetik berbeda dari sel meristem yang tidak termutasi. Contoh kimera periklinal adalah blackberry tanpa duri. Lapisan epidermis ini membentuk duri. Lapisan epidermis tanpa duri menutupi batang yang berisi informasi genotip berduri.
23
Kimera yang lain, ialah kimera meriklinal dan sektoral. Kimera meriklinal dihasilkan ketika sel termutasi tidak sampai memasuki kubah apikal. Lapisan sel termutasi mungkin dipelihara hanya sebagian dari meristem. Kimera meriklinal yang meliputi sejumlah sel yang hanya sebagian kecil yang terpengaruh. Kimera ini merupakan tipe yang tidak stabil. Selanjutnya ialah kimera sektoral, dihasilkan dari mutasi yang terjadi pada sebidang meristem apikal, perluasannya meliputi seluruh lapisan. Tipe kimera ini tidak stabil dan dapat memunculkan tunas atau daun yang bukan kimera. Sel termutasi maupun sel normal dapat diproduksi tergantung pada bagian mana yang paling berkembang (Lineberger 2007). Pada tanaman yang diperbanyak secara in vitro yang diikuti dengan mutagenesis, beberapa siklus propagasi dibutuhkan untuk menghilangkan kimera, dan mendapatkan mutan yang solid, karena diduga bahwa banyak mutan yang diregenerasikan merupakan kimera sektoral. Sub-kultur secara in vitro material yang diradiasi melalui V0 sampai V4 dapat diperoleh secara cepat dan tanpa kehilangkan setiap genotip di bawah kondisi bebas penyakit (Ahloowalia & Maluszynski 2001). Pada kasus umum, aplikasi mutagen menghasilkan kimera meriklinal atau sektoral. Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya kompetisi pada jaringan meristem di antara sel-sel yang tidak bermutasi yang dikenal sebagai seleksi diplontik. Fenomena ini dapat mempengaruhi besarnya frekuensi mutan yang teramati pada generasi M1V2 (Datta et al. 2005). Penyakit Busuk Lunak Pada Phalaenopsis Penyakit busuk lunak dapat menyerang semua jenis anggrek terutama yang memiliki jaringan yang lunak. Bakteri penyebab busuk lunak yang dijumpai pada beberapa jenis anggrek biasanya adalah Erwinia carotovora subsp. carotovora dan Erwinia chrysanthemi (Cating and Hong 2008). Pada Phalaenopsis, penyakit ini biasanya disebabkan oleh serangan bakteri Erwinia carotovora subsp. carotovora (Syahril et al. 2006). Bakteri busuk lunak ini mampu tumbuh dan aktif pada suhu 2435 °C. Bakteri dapat terbunuh bila suhu mencapai 50 °C (Charkowsky 2006). Secara umum bakteri
Erwinia carotovora
dapat bertahan hidup dan
menginfeksi organ-organ tanaman yang disimpan, di lahan, di serasah tanaman ataupun di akar tanaman inang, di irigasi air, bahkan di dalam pupa serangga. Penyakit ini pertama kali muncul di dalam media tanam yang sebelumnya telah terinfeksi. Infeksi dapat terjadi melalui pelukaan jaringan tanaman oleh serangga.
24
Ketika bakteri busuk lunak memasuki luka, bakteri menginfeksi dan memperbanyak diri dengan bantuan enzim. Salah satu enzim yang dihasilkan ialah enzim pektolitik. Bakteri meningkatkan jumlah enzim pektolitik dan mampu memecahkan senyawa pektik pada lamella tengah. Oleh karena tekanan osmotik jaringan berada pada porsi tinggi, maka sel-sel sangat mudah dipisahkan, air berdifusi ke ruang antar sel. Hasilnya sel-sel mengalami plasmolisis, collapse dan mati. Bakteri melanjutkan pergerakannya dan memperbanyak diri di ruang antar sel selanjutnya (Janse 2006). Gejala Penyakit Keadaan lingkungan yang disukai penyakit busuk lunak ialah pada saat suhu hangat hingga panas dengan kelembaban tinggi. Bakteri ini biasanya bersifat epifit pada permukaan daun dan agresif menyerang jaringan bila ada pelukaan. Bakteri dapat berpindah dari satu tanaman ke tanaman lain dengan mengikuti aliran air. Infeksi terlihat sebagai bulatan berwarna gelap, hijau keabu-abuan yang sangat cepat meluas. Bagian daun yang terserang menjadi lembek, berwarna coklat dan seringkali berbau. Daya perusakannya sangat tinggi, sangat cepat menyebar di daun dan akar tetapi lebih lambat perusakannya pada rizoma dan pseudobulb (Simone & Barnett 1995). Bakteri Pektolitik Erwinia carotovora subsp. carotovora Bakteri Erwinia merupakan bakteri fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, termasuk enterobakteri gram negatif (Charkowski 2006) yang menyebabkan penyakit pada beragam tanaman, di antaranya tanaman-tanaman yang bernilai ekonomi tinggi. Hingga kini diketahui kurang lebih telah dilaporkan sebanyak 16 famili (Yap et al. 2004; Agrios 2005). Bakteri ini memproduksi sejumlah besar enzim pektik ekstraseluler yang keberadaannya dapat menyebabkan penyakit busuk lunak karena aktivitas degradasi yang dilakukannya (Perombelon 2002). Isolat dapat diperoleh dari sampel yang terinfeksi, yang selanjutnya dapat dikultur pada media semi selektif crystal violet pectate (CVP) (Hyman et al. 2006). Medium ini mengandung kalsium pektat yang merupakan bahan khusus yang disukai oleh Erwinia. Untuk mengidentifikasi dan mengkarakterisasi Erwinia carotovora subsp. carotovora lebih lanjut dapat dilakukan uji biokimia dan fisiologi (Tabel 2). Erwinia carotovora mampu memproduksi enzim ekstraseluler pendegradasi dinding sel tanaman (Plant Cell Wall Degrading Enzyme = PCWDE) termasuk di
25
antaranya beberapa pektinase, selulase, dan protease yang mengontrol virulensi Erwinia carotovora. Setiap strain Erwinia carotovora subsp. carotovora memiliki enzim pektolitik berbeda-beda. Beberapa strain bisa hanya memiliki satu, dua atau tiga jenis enzim pektolitik sekaligus (Toth et al. 2003).. Erwinia carotovora subsp. carotovora dijumpai lebih sering pada lingkungan beriklim hangat. Pengaruh suhu lebih dari 33 °C menyebabkan bakteri ini tidak mampu tumbuh. Pengaruh suhu ini pula akan mempengaruhi produksi protein virulensi bakteri. Protein yang diproduksi bakteri tersebut termasuk pectatelyase, pectinlyase, polygalacturonase tergantung jenis strain (Yap et al. 2005; Hasegawa et al. 2005). Tabel 2. Beberapa uji biokimia dan fisiologi untuk karakterisasi Erwinia carotovora subsp. carotovora setelah didapatkan koloni tunggal Jenis Pengujian Pertumbuhan 37°C Reduksi gula dari sukrosa Aktifitas phosphate Sensitiovitas terhadap erythromicin Produksi indol Produksi asam dari : Sorbitol Melibiosa Sitrat Raffinosa Arabitol Laktosa Penggunaan keto-methyl glukosida Sumber: De Boer & Kelman. 2001.
Hasil reaksi + + + + + + -
Erwinia carotovora juga dapat memproduksi berbagai bentuk carotovoricin, suatu bacteriocin phage tail-lake yang mampu membunuh strain lain yang berkerabat dekat maupun spesies, ekspresi carotovoricin ini diinduksi kerusakan DNA seperti juga pectinlyase yang juga diregulasi oleh suhu, dengan kadar tertinggi pada saat suhu 23-26 °C (Nguyen et al. 2002). Jalur Pertahanan Tanaman Terhadap Erwinia Sistim ketahanan tanaman Phalaenopsis terhadap suatu patogen penyebab penyakit busuk lunak secara khusus dan pasti belum diketahui. Penelitian mengenai hal yang menyangkut patogen busuk lunak pada tanaman Phalaenopsis juga sangat jarang dijumpai, oleh karena itu, beberapa jalur pertahanan secara umum terhadap
26
bakteri penyebab penyakit busuk lunak pada tanaman lain dapat digunakan sebagai dasar untuk memahami sistim pertahanan tersebut. Pada umumnya, tanaman yang terserang patogen akan terinduksi untuk mempertahankan diri. Tanaman menjadi tahan terhadap penyakit dapat dilakukan secara aktif atau pasif. Ketahanan pasif tergantung pada pertahanan yang telah terekspresikan pada tanaman, sedang ketahanan aktif merupakan pertahanan yang diinduksi setelah ada penyerangan. Ketahanan terinduksi dapat berupa pertahanan local atau sistemik. Mekanisme penghentian perkembangan patogen secara lokal dilakukan dengan cara memproduksi pathogenesis - related protein (PR protein) dan mengembangkan
dinding
sel untuk
menghambat
perkembangan
inokulum.
Mekanisme pertahanan secara sistemik diawali adanya induksi primer untuk membentuk PR protein. Mekanisme tersebut merupakan mekanisme ketahanan terinduksi yang dibedakan menjadi dua yaitu systemic acquired resistance (SAR) dan induced systemic resistance (ISR). Keduanya dibedakan berdasarkan tipe agen penginduksi dan jalur penghantaran signal pada inang yang menghasilkan ekspresi ketahanan (Hammerschmidt 2007). Secara umum, awal suatu interaksi inang-patogen sampai terjadi gejala penyakit ialah melalui beberapa tahapan. Tahapan awal yaitu prekolonisasi dimulai dengan adanya kontak dan pelekatan bakteri pada permukaan inang, pengenalan antara bakteri dan sel inang dan penetrasi bakteri ke dalam jaringan. (Hallmann 2001).
Pada saat bakteri
mulai berhasil menembus jaringan, terjadilah infeksi
penyakit. Untuk menginfeksi tanaman, patogen harus menginvasi sistim pertahanan tanaman yang dapat berupa penghalang fisik tanaman seperti kutikula dan dinding sel. Tanaman mengetahui adanya patogen yang menyerang melalui pengenalan molekul yang disebut elisitor yang berasal dari patogen ataupun dari tanaman dan dapat memacu sistim pertahanan. Dalam berbagai kasus, pengenalan patogen oleh tanaman yang spesifik, mengikuti konsep Flor interaksi gene-for-gene (Flor 1971; Pozo et al. 2005). Interaksi gene-for-gene antara inang-patogen meliputi pengenalan spesifik dari protein avirulensi yang disandi oleh gen avr dari patogen melalui komplementari protein yang disandi oleh gen R (Agrios 2005). Bakteri tidak dapat berkembang pada suatu tanaman apabila terjadi pengenalan elisitor patogen oleh reseptor tanaman yang merupakan produk dari gen R dalam keadaan nonkompatibel. Sebaliknya, apabila pengenalan elisitor oleh reseptor kompatibel, bakteri akan terjadi penyakit (Keller et
27
al. 2000). Hipersensitif Respon (HR) adalah respon pertahanan tanaman yang berhubungan dengan resistensi dalam interaksi nonkompatibel inang-patogen dan ini dicirikan oleh adanya local cell death di sekitar infeksi (Montesinos 2000; Strange 2003). Setelah terjadi pengenalan elisitor, serentetan perubahan sitologis dan respon fisiologis terjadi pada sel tanaman. Perubahan sitologi termasuk di antaranya pembentukan papilla, peningkatan aliran sitoplasmik dan migrasi nuklear, yang akan berhubungan dengan depolimerisasi mikrotubula dan mikrofilamen. Respon biologis yang terjadi adalah perubahan konsentrasi ion yang akan menyeberangi membran plasma, dan pembentukan Reactive Oxygen Species (ROS) yang terjadi dalam 2-5 menit setelah pengenalan elisitor. Beberapa reaksi biokimia ini dihubungkan dengan signal tranduksi yang akan mengawali respon pertahanan. Defosforilasi protein merupakan peristiwa yang berbeda yang mengikuti pengenalan patogen dan terlibat dalam penghantaran signal bertahap yang memacu pertahanan.. Identifikasi beberapa Mitogen Activated Protein (MAP) kinase dan reseptor kinase dihubungkan dengan respon pertahanan yang digaris bawahi relevan terhadap proses defosforilasi selama penghantaran signal pertahanan tanaman (Boller & Keen 2000). Respon pertahanan terhadap patogen bisa merupakan pertahanan lokal atau sistemik yang meliputi sejak perubahan yang terjadi dari awal persepsi hingga perubahan sitoplasmik yang merubah permiabilitas membrane plasma sehingga memicu perubahan lain yang mengarah kepada ekspresi gen pertahanan. Pelukaan juga memacu respon pertahanan
termasuk Reactive Oxygen Species (ROS) dan
induksi signal seperti ethylene dan Jasmonic Acid (JA) dan derivatnya (Jabs & Slurenko 2000). Pengujian Ketahanan Terhadap Patogen Secara In Vitro Pengujian ketahanan tanaman terhadap suatu patogen melalui cara inokulasi secara in vitro merupakan suatu metode yang memberikan harapan, karena memiliki beberapa keuntungan antara lain dapat mengurangi kemungkinan terjadinya desease escape yang sering terjadi pada metode pengujian di lapangan, hasil pengujian dapat diulang di rumah kaca atau di lapangan, sedangkan patogen yang digunakan tetap terbatas di laboratorium. Metode pengujian in vitro ini dapat menghemat biaya dan waktu
pengujian tetapi hasil yang diperoleh relatif sama dengan pengujian di
28
lapangan. Metode ini juga efisien karena hanya klon-klon yang tahan dalam pengujian in vitro yang dilanjutkan pengujiannnya di lapangan (Samanhudi 2000). Seleksi untuk ketahanan penyakit dapat dilakukan menggunakan beberapa agen penyeleksi seperti toksin, toksin analog, filtrat maupun patogen itu sendiri. Penggunaan toksin murni sebagai agen penyeleksi dalam kultur cukup efisien ketika gejala penyakit dapat ditimbulkan oleh toksin yang diproduksi oleh patogen dan ketika toksin dapat berperan pada level eksplan yang dikultur misalnya level sel. Penggunaan patogen sebagai agen penyeleksi langsung pada ketahanan tanaman terhadap penyakit dapat dilaksanakan apabila dapat dipenuhi syarat lingkungan tumbuh patogen sehingga kesulitan pertumbuhan dapat ditiadakan (Chandra et al. 2010) . Beberapa penelitian di antaranya uji ketahanan pada plantlet kentang menggunakan ko-kultur dengan Phytophtora infestan berkorelasi dengan resistensi kultivar di lapangan (Daayf et al. 2003). Microcutting tanaman poplar ko-kultur dengan Xanthomonas menghasilkan resistensi sebanding dengan resistensi terhadap fireblight di lapangan. DAFTAR PUSTAKA Agrios GN. 2005. Plant Phatology. (fifth edition). Elsevier Academic Press. Amsterdam. Boston. London. New York. San Diego. Singapore. Sydney. Tokyo. 922p Ahloowalia BS, Maluszynski M, Nichterlein K. 2004. Global impact of mutationderived varieties. Rev. Euphytica 135: 187–204. Ahloowalia BS, Maluszynski M. 2001. Induced mutations-A new paradigm in plant breeding. Euphytica 118: 167–173, 2001. Akin-Idowu PE, Ibitoye DO, Ademoyegun OT. 2009. Tissue culture as a plant production technique for horticultural crop. Afr J Biotech 8(16): 3782-3788 Arunyanart S. Soontronyatara S. 2002. Mutation induction by γ and X-ray irradiation in tissue cultured lotus. Plant Cell Tissue Organ Cult 70: 119– 122, 2002. Ashraf M, Cheema AA, Rhasid M, Qamar Z. 2003. Effects of gamma rays on M1 generation in Basmati Rice. Pak J Bot 35 (5): 791-795 Boller T, Keen NT. 2000. Resistance genes and the perception and transduction of elicitor signals in host-pathogen interactions. Di dalam: Slurenko AJ, Fraser RSS, van Loon LC, editor. Mechanism of Resistance to Plant Diseases. Kluwer Academic Publisher . Netherlands. p 189-229 Cammareri et al. 2002. Induction of variability in chimeric Aster cordifolius ‘White Elegans’ through somaclonal variation. Euphytica 128: 19-25 Cating RA, Hong JC. 2008. First report of bacterial soft rot on Vanda Orchids caused by Dickey chrysanthemi (Erwinia chrysantemi) in the limited stark. Plant Dis 92 (6) : 977
29
Chandra R, Kamle M, Bajpai A, Mathukumar R, Kalim S. 2010. In vitro selection : A candidate approach for disease resistance breeding in fruit crops. Asian J Plant Sci 9 (8): 437-446. Chang et al. 2006. The chloroplast genome of Phalaenopsis Aphrodite (Orchidaceae): Comparative analysis of evolutionary rate with that of grasses and its phylogenetic implication. Mol Biol Evol. 23 (2): 279-291 Charkowsky AO. 2006. The Soft rot Erwinia. Plant Associated Bacteria. Springer. Netherland. p 423-505 Chen FC, Chen WH. 2007. Somaclonal variation in orchids. Di dalam: Chen WH, Chen HH, editor : Orchids Biotechnology. Singapore. p. 65-76 Chowdhury I, Abu Reza MD, Rahman M, Islam O, Matsui S. 2003. Effect of plant growth regulation on callus proliferation plantlet regeneration and Growth of plantlets of Doritaenopsis Orchid. Biotechnology. Vol 2.no 3: 214-221. Christenson EA. 2001. Phalaenopsis. A monograph. Timber Press. Portland Oregon. p. 19-62. Djaafarer R. 2002. Phalaenopsis Spesies. Jenis dan potensi untuk silangan. Penebar Swadaya. Jakarta. hal.1-12 Daayf F, Adam L, Fernando WGD. 2003. Comparative screening of bacteria from biological control of potato late blight (Strain US-8) using in vitro, detected leaves and whole plant testing systems. Can j Plant Pathol 25: 276-284. Datta SK, Mesra P, Mandal AKA. 2005. In vitro mutagenesis-a quick method for establishment of solid mutant in Chrysantmemum. Curr Sci 88 (1); 155-158. De Boer SH, Kelman A. 2001. Gram negative bacteria. Erwinia soft rot group. Di dalam: Schaad NW, Jones JB, Chun W, Editor. Laboratory Guide for Identification of Plant Pathogenic. Third ed. APS Press. Minnesota. p 56. Dirjen Horti. 2005. Roadmap: Pascapanen dan pemasaran anggrek 2005-2010. Direktorat Jendral Hortikultura. Pengolahan dan Pemasaran hasil pertanian. Juli. 2005. Flor HH. 1971. Current Status of gene for gene Concept. Ann Rev Phytopath 9: 276278. Florzinha De Estufa. 2009. Renanthopsis Mildred Jameson. http://www. renanthopsis-mildred-jameson html. 15/11/2010 Hallmann J. 2001. Plant interactions with endophytic bacteria. Di dalam: Jeger MJ, Spence NJ, editor. Biotic Interactions in Plant-pathogen Associations. CABI Publishing UK. USA. p 87-120. Hammerschmidt R. 2007. Introduction: definition and some history. Di dalam: Walters D, Newton A, Lyon G, editor. Induced Resistance for plant Defence. A Sustainable Approach to Crop Protection. Blackwell Publshing Ltd. Singapura. p. 1-11. Handayati W, Hanudin , Soedjono S. 2004. Resistensi genotip Anggrek Phalaenopsis terhadap penyakit busuk lunak. J Hort 14 (Edisi Khusus) : 398-402. Hasegawa H, Chatterjee A, Cui Y, Chatterjee AK. 2005. Elevated temperature enhances virulence of Erwinia carotovora subsp carotovora strain EC153 to plants and stimulates production of the quorum sensing signal N-acyl homoserine lactone and extracelluler proteins. Appl Environ Microbiol. 71: 4655-4663 Husni A, Hutami S, Kosmiatin M, Mariska I. 2004. Seleksi in vitro tanaman kedelai untuk meningkatkan sifat toleran kekerangan. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 23(2) : 93-100
30
Hyman LJ, Sullivan L, Toth IK, Perombelon CM. 2007. Modified crystal violet pectate medium (CVP) based on a new polypectate source (Slendid) for the detection and isolation of soft rot erwinias. Potato Res 44(3) : 265-270. Jain SM, Buiatti M, Gimelli F Saccardo F. 1997. Somaclonal variation in improving ornamentals plants. Di dalam: Jain SM, Brar DS, Ahloowalia BS, editor. Somaclonal Variation and Induced Mutation in Crop Improvement. Kluwer Academic Press. The Netherland. p 35-58 Janse, J. D. 2006. Phytobacteriology. Principles and Practice. CABI Publishing. Uk. Singapore. p. 360 Jender et al. 2003. Ethylmethanesulfonate saturation mutagenesis in Arabidopsis to determine frequency of herbicide resistance. Plant Physiol 131: 139- 146. Jeong JA, Ryu BY, Lee CH. 2006. In vitro culture of variants induced by chemical mutagenesis in Phyllitis scolopendrium (L) Newn. Flower Res J 14 (2): 121127 Jabs T, Slurenko AJ. The hypersensitiv response. In Slurenko AJ, Fraser RSS, van Loon LC (eds). Mechanism of Resistance to Plant Diseases. Kluwer Academic Publisher . Netherlands. p 279-323 Kao YY, Lin CC, Huang CH, Li YH. 2007. The Cytogenetics of Phalaenopsis Orchids. Di dalam: Chen WH, Chen HH, editor. Orchids Biotechnology. Singapore. p. 115-128 Karp A. 2004. Somaclonal variation as a tool for crop improvement. Euphytica 85 (1): 295-302 Kaeppler SM, Kaeppler HT, Rhee Y. Epigenetic aspect of somaclonal variation in plants. Plant Mol Biol 43 (3): 179-188. Keller B, Feuillet C, Messmer M. 2000. Genetics of disease resistance. Basic concepts and application in resistance breeding. Di dalam: Slurenko AJ, Fraser RSS, van Loon LC, editor. Mechanism of Resistance to Plant Diseases. Kluwer Academic Publisher . Netherlands. p 101-160 Kim YS, Schumaker KS, Zhu JK. 2006. EMS mutagenesis of Arabidopsis. http://www.faculty.ucr.edu/--jkzhu/articles/2006/yskim.pdf.15/11/2010 Kodym A, Afza R. 2003. Physical and Chemical mutagenesis. Method Mol Biol 236: 189-204. Kontantinov K, Driníc SM. 2007. Molecular genetics-step by step implementation in maize breeding. Genetika 39 (2): 139-154 Kovacs E, Keresztes. 2002. Effects of gamma and UV-B/C radiation on plant cell. Micron 39: 199-210 Lestari EG, Sukmadjaja D, Mariska I. 2006. Perbaikan ketahanan tanaman panili terhadap penyakit layu melalui kultur in vitro. Jurnal Litbang Pertanian 25(4) : 149-153 Lin CC, Chen YH, Chen WH, Chen CC, Kao YY. 2005. Genome organization and relationships of Phalaenopsis orchids infered from genomic in situ hybridization. Bot Bull Acad Sci 46: 339-345 Linberger RD. 2007. Origin, Developmental propagation of chimeras. http://www.aggie-horticulture.tamu.edu/tisscult/chimeras/s.html. 28/03-/2008 Luan YS, Juan Z, Rong GX, Jia AL. 2007. Mutation induced by ethylmethanesulphonate (EMS), in vitro screening for salt tolerance and plant regeneration of sweet potato (Ipomoea batatas L). Plant Cell Tissue Organ Cult 88 (1): 77-81 Mandal AK, Chakrabarty AD, Datta SK. 2000. Application of in vitro techniques in mutation breeding of chrysanthemum. Plant Cell Tissue Organ Cult 60: 33– 38.
31
McMillan RT, Palmateer A, Vendrame W. 2007. Effect rouging on Erwinia soft rot in commercial production with two Phalaenopsis per pot. Jr. Kerry’s Bromeliad Nursery, Inc. http://www.fsfs.org/-meetimg2007/AllAbs-tractsFSHS-2007-ForWebsite-April27.html#Ornamental. 24/05/08 Miyazaki et al. 2006. Flower pigment mutations induced by heavy ion beam irradiation in an interspecific hybrid of torenia. Plant Biotech 23 : 163-167 Montesinos E. 2000. Pathigenic plant-microbe interactions. Internatl Microbial 3: 6970. Nasir M. 2002. Bioteknologi Molekuler. Teknik rekayasa genetik tanaman. PT.Citra Aditya Bakti. Bandung. hal 59-78 Nguyen et al. 2001. DNA inversion in the tail fiber gene alters the host range specificity of Erwinia carotovora. A phage-tail-like bacteriocin of phytopatogenic Erwinia carotovora subsp. carotovora. J. Bacteriol 183: 6274-6281 Odjakova M, Hadjiivanova C. 2001. The complexity of pathogen defense in plant. Bulg J Plant Physiol 27 (1-2): 101-109 Omar SR, Ahmed OH, Saamin S, Majid NMA. 2008. Gamma radiosensitivity study on Chili (Capsicum annum). Am J Appl Sci 5 (2): 67-70 Perombelon MCM. 2002. Potato diseases caused by soft rot erwinias: an overview of patogenesis. Plant Pathol 51: 1-12 Predieri S. 2001. Mutation induction and tissue culture in improving fruits. Plant Cell Tissue Organ Cult 64: 185-210. Pineland Orchid Society. 2006. Just a few of our Awarded Plants from the SEPOS 2006 Show. http://www.pinelandsorchidsociety.org.15/11/2010. Pozo MJ, van Loon LC, Pieterse CMJ. 2005. Jasmonates-signals in plant microbe interactions. J Plant Growth Regul 23: 211-222 Rego LV, deFaria RT. 2001. Tissue culture in ornamental plant breeding: A review. Crop Breed Appl Biotech 1 (3): 283-300 Rodrigo RL, Alvis HA, Augusto TN. 2004. In vitro mutation of Chrysanthemum (Dendranthema grandiflora Tzvelev) with Ethylmethanesulfphonate (EMS) in immature floral pedicels. Plant Cell Tissue Organ Cult 77 (1): 103-106. Royal Horticultural Society.2006. Quarterly supplement to the international register of orchid hybrids (Sander’s List). Orchid J Royal Hort Soc. Vol 114 (1272). Nopember-December 2006. Samanhudi. 2001. Identifikasi ketahanan klon kentang hasil fusi protoplas BF15 dengan Solanum stenotomum terhadap penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum). Thesis Pascasarjana IPB, Bogor. 88 hal. Seneviratne KACN, Wijesundara DSA. 2007. First Afreican violets (Saintpaulia ionantha H. Wendl) with changing colour pattern induced by mutation. Am J Plant Physiol 2 (3): 233-236 Semiarti et al. 2007. Agrobacterium-mediated transformation of the wild Orchid spesies Phalaenopsis amabilis. Plant Biotech 24 : 265-272. Schepper S, Deberg P, van Bookstaele E, Delouse M, Gerats A, Depicker A. 2002. Genetic and epigenetic aspects of somaclonal variation : flower colour bud sports in azalea, a case study. African J Bot 69 (2): 117-128 Simone GW, Bernett HC. 1995. Diseases caused by bacteria and fungi . Orchid Pests and Disease. p. 50-73. Snijder RC, Cho HR, Hendriks MMWB, Lindhout P, van Tuyl JM. 2004. Genetic variation in Zantedechia spp (Araceae) for resistance to soft rot caused by Erwinia carotovora subsp. carotovora. Euphytica 135 : 119-128
32
Sobiczewski P. 2008. Bacterial diseases of plants : Epidemology. diagnostics & control. Zembirbyrte-Agric 95 (3) : 151-157. Suryana et al. 2005. Prospek dan arah pengembangan agribisnis anggrek. Badan penelitian dan Pengambangan Pertanaian. Departemen Pertanian. Hal 18-28. Soeranto H. 2005. Pemuliaan Tanaman dengan Teknik Mutasi. Puslitbang Teknologi Isotop dan Iradiasi. Badan Tenaga Nuklir Nasional. 20 hal Stange RN. 2003. Introduction to Plant Pathology. John Wiley & Sons Ltd. England.. p. 293-331. Svetleva DL, Crino P. 2005. Effect of ethyl methanesulfonate (EMS) and N-nitroseN-ethyl urea (ENU) on callus growth of common bean. J Cent Eur Agric. 6(1): 59-64 Syahril et al. 2006. Transgenic Phalaenopsis plants with resistance to Erwinia carotovora produced by introducing wasabi defensin gene using Agrobacterium method. Plant Biotech 23 : 191-194 Tanaka R, Kamemoto H. 1961. Meiotic chromosome behaviour in some intergeneric hybrids of the vandal alliance. Am J Bot. 48: 573-582 Tang CY, Chen WH. 2007. Breeding and development of new varieties in Phalaenopsis. Di dalam: Chen WH, Chen HH, editor. Orchids Biotechnology. Singapore. p. 1-44 Toth IK, Bell KS, Holeva,MC, Birch, PRJ. 2003. Patogen profile. Soft rot erwiniae : from genes to genomes. Mol Plant Pathol 4 (1): 17-30 Wi et al. 2007. Effects of gamma irradiation on morphological changes and biological responses in plant. Micron 38: 553-564 Yap MN, Barak JD, Charkowski AO. 2004. Genomic diversity of Erwinia carotovora subsp carotovora and its correlation with virulence. Appl Environ Microbiol. 70 : 3013-302.
INDUKSI EMBRIOSOMATIK DARI EKSPLAN DAUN ANGGREK Phalaenopsis sp L. ABSTRAK Embryogenesis somatik merupakan salah satu proses yang terjadi melalui regenerasi pembentukan embrio dan melalui fase kalus. Penelitian ini dilakukan melalui fase
33
kalus yang diinisiasi dari eksplan daun pada lima macam media MS yang dimodifikasi yaitu: ½ MS tanpa hormon ( MI-0); 1/2 MS yang berisi 1 mg.l-1 BA+ 0.5 mg.l-1 2,4-D+ 1mg.l-1 NAA (MI-1); 1/3 MS berisi 2 mg.l-1 2,4-D (MI-2); 1/2 MS diberi tambahan zat pengatur tumbuh 0.5 mg.l-1 2,4-D + 0.5 mg.l-1 BAP + 0.2 mg.l-1 thidiazuron ( MI-3); 1/2 MS berisi 2 mg.l-1 thidiazuron dan 1 mg.l-1 BAP (MI-4). Setelah jaringan eksplan membengkak, eksplan ditempatkan pada medium 1/2 MS ditambah dengan 0.2 mg.l-1 thidiazuron dan 0.5 mg.l-1 2,4-D (MP). Setelah dua bulan, kalus dipindahkan pada media regenerasi 1/2 MS ditambah dengan 0.4 mg.l-1 BAP dan 0.2 mg.l-1 2,4-D (MR). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa MI-1 dan MI-3 merupakan media yang terbaik untuk pembengkakan jaringan sebelum kalus dipindahkan ke media MP dan MR. Kalus yang diprodiksi meningkat di setiap subkultur, namun tingkat produksi kalus menurun pada subkultur berikutnya. Plantlet dapat diregenerasikan dari embrio somatik yang berasal dari kalus yang dihasilkan pada media MR. Kata kunci: Induksi kalus, in vitro, Phalaenopsis, embriogenesis
EMBRYOSOMATIC INDUCTION FROM LEAF EXPLANT OF PHALAENOPSIS sp. L ABSTRACT
34
Somatic embryogenesis has been recoqnized as one of the process which occured through regeneration by direct embryo formation and through an intermediary callus phase. This research was conducted by an intermediary callus phase. The experiment was inisiated with callus induction from leaf explant on five mediums MS modification i.e :1/2MS without plant hormone (MI-0); 1/2 MS containing 1mg.l-1 BA + 0.5 mg.l-1 2,4-D + 1mg.l-1 NAA (MI-1);1/3 MS containing 2 mg.l-1 2,4-D (MI-2); 1/2 MS supplemented with 0.5 mg.l-1 2,4-D + 0.5 mg.l-1 BAP +0.2 mg.l-1 thidiazuron (MI-3) ; 1/2 MS containing 2 mg.l-1 thidiazuron and 1 mg.l-1 BAP (MI-4). After the tissues were swollen, the explants were placed on callus proliferation medium ½ MS supplemented with 0.2 mg.l-1 thidiazuron and 0.5 mg.l-1 2,4-D (MP). After two months, calli were regenerated in regeneration medium 1/2 MS supplemented with 0.4 mg.l-1 BAP and 0.2 mg.l-1 2,4-D (MR). The results showed that MI-1 and MI-3 are the best swelting explant mediums before the callus produced in both MP and MR medium. Callus produced was increased in every subculture. However, the level of calli production decrease on the following subculture. Plantlets were regenerated from somatic embryos derived from calli on MR medium. Keywords : Calli induction, in vitro, Phalaenopsis, embryogenesis
PENDAHULUAN Perbanyakan Phalaenopsis sp. L dapat dilakukan dengan cara perkecambahan biji secara in vitro (Young et al. 2001), tetapi hasil yang diperoleh tidak seragam dan menghasilkan warna bunga yang beragam. Untuk mengatasi masalah ini, produsen Phalaenopsis memanfaatkan teknik kultur in vitro pada kultivar yang telah terpilih dengan cara membentuk plb (protocorm like body) atau embrio somatik melalui proses embriogenesis. Proses ini terkenal dengan sebutan ilmiah embriogenesis somatik (Smith 2000). Beberapa teknik kultur jaringan yang telah dikembangkan untuk pembentukan embrio somatik Phalaenopsis di antaranya termasuk kultur mata tunas tangkai bunga (Kozir et al. 2004) maupun irisan daun (Sinha et al. 2007). Meskipun telah banyak dilakukan penelitian mengenai pembentukan embrio somatik, tetapi masih banyak dijumpai kesulitan. Beberapa metode dapat menghasilkan kalus embrio somatik dalam volume besar, tetapi mengalami hambatan dalam regenerasi tanamannya, sehingga pada kenyataannya penerapan teknik perbanyakan tersebut belum mencapai efisiensi yang cukup tinggi (Young et al. 2001; Park et al. 2002). Embriogenesis somatik pada beberapa eksplan tanaman dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung atau dapat terjadi keduanya pada eksplan yang sama. Naz et al. (2008) melakukan penelitian embriogenesis somatik pada kotiledon
35
muda dan kalus yang berasal dari daun kacang-kacangan. Pada penelitian ini embriogenesis somatik terjadi secara bersama-sama, secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa peneliti lebih menyukai cara langsung pada tanaman Vinca (Hashemloian et al. 2008), pada kopi arabika (Gatica et al. 2008), sereal (Eudes et al. 2003). Kecepatan proses embriogenesis somatik dipengaruhi oleh dua faktor pembatas yaitu inisiasi embrio somatik dan regenerasi tanaman. Keduanya membutuhkan kondisi yang tepat termasuk komposisi media dan zat pengatur tumbuh. Di era tahun 2000, protokol regenerasi tanaman Phalaenopsis direalisasikan menggunakan medium ½ nutrisi Murashige and Skoog (MS) yang ditambahkan thidiazuron 0-1 mg.l-1 dan 2,4-dichloropenoxyacetic acid (2,4-D) 0-10 mg.l-1, sedangkan plb dapat dibentuk dari kalus tersebut pada medium 1/2 MS yang ditambah thidiaruron saja sebanyak 0,1-1 mg.l-1 (Ying-Chun et al. 2000). Park et al. (2002a) dan Chowdhury et al. (2003) juga melakukan
perbanyakan cepat pada
Phalaenopsis menggunakan eksplan daun dari mata tunas tangkai bunga, tetapi media yang digunakan lebih sederhana yaitu menggunakan ½ MS dan diberi tambahan BAP dan NAA untuk inisiasi. Eksplan ujung akar juga dapat digunakan sebagai eksplan pembentuk plb Phalaenopsis dengan media yang diberikan tambahan thidiazuron (Chang 2007). Pada penelitian ini, dipelajari beberapa media untuk menguji respon terhadap inisiasi kalus, proliferasi kalus maupun regenerasi tanaman pada eksplan daun Phalaenopsis yang diperoleh dari mata tunas tangkai bunga. Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh media inisiasi, proliferasi dan regenerasi yang optimal untuk pengembangan Phalaenopsis, terkait dengan media yang digunakan. Selain itu juga diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam pengembangan teknik lain yang berhubungan dengan pengembangan Phalaenopsis pada masa mendatang khususnya di Indonesia. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Kebun Percobaan Instalasi Penelitian Tanaman Hias Pasar Minggu Jakarta Selatan, Laboratorium Biologi Sel Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB, Laboratorium Kultur Jaringan Kebun Percobaan Instalasi Penelitian Tanaman Hias Cipanas, Cianjur-Jawa Barat dari bulan Januari 2007-Januari 2008.
36
Materi penelitian menggunakan daun plantlet yang berasal dari mata tunas tangkai beberapa klon hasil silangan
Phalaenopsis yaitu, 377 (Phal. Golden
Poeker/Sogolisa x Phal. Viogold), 642 ([Phal. Chih Sang’s Stripe/ Alfonso Ibara/Matao Freed] x Phal. amboinensis) x Ever Spring Prince) dan SGN-PV2.11 (Phal. Taisuco Kochdian/Yukimai x Vanda Fuch delight x Vanda lombokensis). Materi didapatkan dari Balai Penelitian Tanaman Hias Segunung - Cianjur Jawa Barat. Induksi Pembentukan kalus Induksi embriosomatik dengan eksplan irisan daun dari ketiga macam klon Phalaenopsis diuji pada lima macam media inisiasi yaitu MI-0 hingga MI-4. Komposisi media ditampilkan secara rinci pada Tabel 3.
Media tersebut
menggunakan unsur makro dan mikro 1/3, 1/2 maupun penuh, vitamin penuh dari media dasar MS, dan beberapa konsentrasi dan kombinasi zat pengatur tumbuh. Tabel 3 Komposisi media inisiasi tanaman yang digunakan dalam penelitian. Komponen media MS MI-0 makro elemen penuh Mikro elemen penuh Na-FeEDTA penuh Vitamin penuh -1 Myoinositol (mg.l ) 100 2,4-D (mg.l-1) NAA (mg.l-1) BAP (mg.l-1) -1 TDZ (mg.l ) Pepton (g.l-1) Air kelapa (ml.l-1) 20 Sukrosa (g.l-1) Gelrite (g.l-1) 2.52 Charcoal (g.l-1) pH 5.7 Induksi kalus dilakukan di ruang
MI-1 MI-2 MI-3 MI-4 1/2 1/3 1/2 1/2 1/2 penuh 1/2 penuh penuh penuh penuh penuh penuh penuh penuh penuh 100 100 100 100 0.5 2 0.5 1 1 0.5 1 0.2 2 75 75 75 75 20 20 20 20 2.52 2.52 2.52 2.52 5.7 5.7 5.7 5.7 gelap dengan suhu 25 °C. Mengingat
keterbatasan persediaan bahan eksplan, dalam percobaan ini setiap perlakuan berisi 5 botol (setiap botol = ulangan) dan setiap botol berisi 3 eksplan. Percobaan disusun menggunakan Rancangan Acak Kelompok Faktorial dengan faktor pertama ialah klon dan kedua ialah jenis media inisiasi.
37
Peubah yang diamati dalam percobaan ini meliputi (1) persentase perubahan warna eksplan (2) persentase eksplan hidup (3) persentase eksplan yang mampu membentuk kalus. Pengamatan dilakukan setiap minggu hingga minggu ke enam. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan SAS Release Window 6.2. Jika ditemukan perbedaan nyata antar perlakuan, maka perbedaan nyata antar nilai rerata perlakuan diuji lanjut menggunakan uji wilayah
berganda Duncan pada taraf
kepercayaan α 5%. Proliferasi Kalus Kalus pertama yang diperoleh dari proses induksi kalus dipindahkan ke media MP dan MR agar dapat berproliferasi. Media MP mengandung 1/2 MS + 0.5 mg.l-1 2,4-D + 0.2 mg.l-1 thidiazuron + 2 g.l-1 pepton + 75 ml.l-1 air kelapa, sedangkan media MR mengandung 1/2 MS + 0.2 mg.l-1 2,4-D + 0.4 mg.l-1 BAP + 2 g.l-1 pepton + 75 ml.l-1 air kelapa. Kedua media tersebut diberi tambahan arang aktif 1 g.l-1. Media MI- 0 digunakan sebagai media kontrol. Kalus-kalus yang diperoleh selanjutnya disubkultur 3 kali pada media yang sama dengan interval waktu 4 minggu dan diinkubasikan di ruang terang dengan suhu 25 °C. Percobaan disusun dalam Rancangan Acak Lengkap dengan 3 ulangan. Tiap perlakuan berisi 5 botol, masingmasing botol berisi sekelompok kalus yang telah ditimbang terlebih dahulu. Pengamatan dilakukan
terhadap (1) persentase eksplan berkalus yang
berproliferasi (2) adanya kalus globuler (3) berat kalus setiap subkultur (4) persentase perubahan berat kalus pada setiap subkultur. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA). Perlakuan yang pengaruhnya nyata dianalisis lanjut dengan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan α 5%. Perkembangan Kalus dan Regenerasi Tanaman Plb-plb yang telah terbentuk selama proses embriogenesis diuji secara histologi untuk membuktikan perkembangan yang terjadi selama proses pembentukan embrio. Uji histologi dilakukan pada jaringan kalus yang mengalami proses embriogenesis. Jaringan didehidrasi menggunakan alkohol, pra parafinasi dan parafinasi menggunakan alkohol-xylol dan xylol-parafin. Pewarnaan menggunakan safranin dan alcian blue.
38
Plb yang g telah dihaasilkan dari kketiga kali subkultur s diuuji daya reg generasinya men nggunakan media m MR hingga terbbentuk planttlet. Pada ppercobaan in ni masingmassing klon diiregenerasi sebanyak s 100 gerombol plb p dalam 110 botol kulltur dengan ulan ngan 3 kali, dalam d rancaangan acak leengkap. Peubah yang diamaati adalah (1) jumlah callon tunas tiaap geromboll kalus dan (2) jumlah tun nas tiap gero ombol kaluss. Pengamattan dilakukaan setelah 16 1 minggu dalaam media reegenerasi. Data D yang dipperoleh diannalisis mengggunakan an nalisis sidik ragaam (ANOVA A). Perlaku uan yang peengaruhnya nyata n dianallisis lanjut dengan uji wilaayah bergand da Duncan pada p taraf keepercayaan α 5%. H HASIL DAN N PEMBAH HASAN Ind duksi Pembeentukan Kaalus Seperti pada p tanamaan lainnya, pproses embriiosomatik paada Phalaenoopsis dapat dilaakukan secaara tidak langsung melalui tahhapan pem mbentukan kalus k dan mem mbutuhkan zat pengattur tumbuhh spesifik (Arnold ( et al. 2002). Tahapan pem mbentukan kalus k diawalii dengan iniisiasi kalus dari eksplann. Dalam pennelitian ini inisiasi dilakukaan menggunnakan eksplann daun Phallaenopsis yanng berasal dari d biji.
Gam mbar 5 Perseentase perubbahan eksplan dari irisan n daun Phalaaenopsis mennjadi hitam beberapa minggu seetelah tanam m pada mediaa MI-0, MI-1, MI-2, MI-3 dan MI4. Keberhaasilan inisiassi awal padaa kalus Phallaenopsis yaang ditunjukkkan dalam gam mbar 5 sanggat rendah. Hal H ini dipeengaruhi komposisi media. Pengam matan pada keliima media innisiasi MI-00 hingga MI--4 pada irissan daun terrnyata diketaahui bahwa ekspplan tidak langsung meembentuk kaalus, tetapi di dahului ddengan pem mbengkakan jarinngan daun meskipun m tidak semua ekksplan meng galami hal terrsebut. Menuurut Gill et al. (2004), pem mbengkakann eksplan m merupakan pemanjangann sel yang disebabkan d
39
adanya 2,4-D. Meskipun beberapa media yang digunakan mengandung 2,4-D, tidak semua media memberikan dampak yang sama pada irisan daun. Media yang memberikan respon pembengkakan hanya media yang mengandung 0.5 mg.l-1 2,4-D. Pada umumnya daun yang diiris masih berwarna hijau hingga 6 minggu setelah tanam dan inkubasi di ruang gelap. Lambat laun eksplan berubah warna menjadi kuning kecoklatan dan kemudian menghitam. Gambar 5 menunjukkan persentase eksplan yang berubah hitam semakin besar pada semua media yang digunakan dengan bertambahnya waktu. Media MI-3, pada 6 MST menunjukkan persentase eksplan yang masih hijau paling tinggi yaitu lebih dari 20%. Tabel 4 Pengaruh komposisi media inisiasi terhadap perubahan eksplan daun dari klon 377, klon 642 dan klon SGN-PV2.11 pada 12 MST (minggu setelah tanam) Medium
Jumlah Eksplan
MI-0 MI-1 MI-2 MI-3 MI-4
15 15 15 15 15
% Eksplan Hidup
% Eksplan Membentuk Kalus
Klon 377 00.0 53.3 26.7 40.0 33.33
00.0 b 33.3 a 13.3 b 33.3 a 13.3 b
Klon 642 MI-0 MI-1 MI-2 MI-3 MI-4
15 15 15 15 15
00.0 00.0 b 33.3 00.0 b 13.3 00.0 b 53.3 40.0 a 26.7 00.0 b Klon SGN-PV2.11 MI-0 15 00.0 00.0 b MI-1 15 40.0 40.0 a MI-2 15 33.3 6.7 b MI-3 15 46.7 40.0 a MI-4 15 33.3 6.7 b Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada lajur yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf α 5%. Persentase pembentukan kalus tertinggi sebesar 40% terbentuk dari media Perubahan warna atau kesegaran eksplan tidak menjadi tanda bahwa eksplan yang kecoklatan tidak mampu membentuk kalus. Pada kenyataannya eksplan yang berubah coklat muda beberapa masih mampu membentuk kalus seperti terlihat pada Gambar 6a. Kalus-kalus globular yang berwarna transparan tumbuh di sela-sela irisan eksplan
40
(Gb 6b). Eksplan yang berubah warna dari hijau menjadi coklat tidak mengalami pencoklatan karena komponen fenolik yang timbul pada bekas pelukaan. Tabel 4 menunjukkan bahwa respon ketiga genotip yang digunakan dalam pembentukan kalus berbeda-beda. Persentase pembentukan kalus tertinggi sebesar 40% terbentuk pada media MI-3 pada klon 642, media MI-1dan MI-3 pada SGNPV2.11. Setelah itu diikuti oleh klon 377 pada media yang sama sebesar 33.3%. Media tersebut merupakan media yang sesuai untuk pembentukan kalus. Hal ini karena media MI-1 dan MI-3 mengandung kombinasi zat pengatur tumbuh yang sesuai antara auksin dan sitokinin. Kesesuaian ini mampu mendorong terbentuknya kalus. Media MI-2 yang mengandung auksin saja dan MI-4 yang mengandung kombinasi sitokinin saja tidak mampu menstimulasi terbentuknya kalus. Berdasarkan penelitian terdahulu, pengaruh thidiazuron sangat penting untuk proses morfogenesis in vitro ataupun embriogenesis somatik karena potensinya sebagai bioregulan. Thidiazuron yang digunakan tanpa kombinasi zat pengatur tumbuh yang lain, pengaruhnya akan berbeda (Jiang et al. 2005).
a
b
c
d
Gambar 6 (a) dan (b) Inisiasi kalus dari irisan eksplan daun yang membengkak dan berkalus membentuk proembrio (c) plb (d) regenerasi tanaman dari plb. Proliferasi kalus Hasil
pengamatan
perkembangan kalus
pada
percobaan
proliferasi
menunjukkan
bahwa
yang diperoleh dari proses inisiasi memiliki respon yang
41
beragam terhadap medium proliferasi. Dalam proses proliferasi kalus, kalus membentuk kalus globuler yaitu kalus yang permukaannya membentuk bulatanbulatan mengkilap, atau kalus non globuler yaitu kalus yang permukaannya rata atau bergerigi halus. Tabel 5 Pengaruh komposisi media terhadap pembentukan kalus klon Phalaenopsis 377, 642 dan SGN-PV2.11 pada 12 MST (minggu setelah tanam) Medium
Jumlah Total Eksplan Kalus Berproliferasi
Jenis Kalus Globuler Hijau
Non Globuler Pucat
Rata-rata Berat Kalus (mg)
Klon 377 MI-0 5 0/5/157.6 d MP 16 2/++ 14/+ 371.3 c MR 5 2/++ 3/+ 365.8 c Klon 642 MI-0 5 0/0/00.0 e MP 9 2/+ 7/+ 223.6 d MR 17 4/++ 13/+++ 1012.9 a Klon SGNPV2.11 MI-0 4 0/4/148.9 d MP 37 12/++ 25/+++ 939.1 b MR 14 4/++ 10/+++ 1001.5a 3 Keterangan : Setiap satu tanda (+) merupakan volume kalus ± 1 cm . Setiap satu tanda (-) mewakili volume 0.5 cm3. Angka di depan garis miring menyatakan jumlah total kalus. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada lajur yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf α 5%. Tabel 6 Pengaruh komposisi media MP dan MR terhadap proliferasi kalus Berat Kalus (gr) Media Subkultur I Subkultur II Subkultur III MP 2.5a 5.1a 9.1a MR 3.3a 5.4a 7.4a Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada lajur yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf α 5%. MP (1/2MS + 0,5 mg.l-1 2,4-D + 0,2 mg.l-1 thidiazuron) dan MR (1/2MS + 0,2 mg.l-1 2,4-D + 0,4 mg.l-1 BAP). Tabel 5 menunjukkan hasil percobaan proliferasi kalus pada 3 klon Phalaenopsis. Ketiga klon 377, 642 dan SGN-PV2.11 menghasilkan volume kalus globuler yang sama pada media MR yaitu yang dinyatakan sebagai ++ yang artinya volume sebesar 2 cm2. Klon SGN-PV2.11 menghasilkan volume kalus non globuler terbanyak
baik pada media MP maupun MR.
Media MR juga mendukung
terbentuknya kalus dengan rata-rata berat lebih dari 1 gram pada klon 642 dan SGN-
42
2.11, semenntara pada klon 377 pembentuk kan kalus lebih terhaambat bila PV2 dibaandingkan dengan d klon 642 6 dan SGN N-PV2.11. Rata-ratta produksi kalus k dalam m tiga kali suubkultur denngan intervall 4 minggu men ncapai 9.1 g pada mediaa MP dan 7.4 g pada meedia MR. Appabila dilihaat dari berat kalu us, media MP M untuk prooliferasi lebihh baik dari pada p media untuk regennerasi kalus yaittu MR. Hal ini terlihat dari analisiis ragam terrnyata tidakk ada beda nyata n pada ked dua media teersebut (Tab bel 6). Jadi untuk u prolifferasi kalus, kedua meddia tersebut dapat digunakaan.
Ditinjauu dari peninngkatan prooduksi kaluss pada masiing-masing
subkkultur (Gb 7), 7 peningkaatan produkssi kalus padaa subkultur I ke subkulttur II lebih besaar dari padaa subkultur ke II ke suubkultur IIII. Hal ini dapat d dikatakkan bahwa kem mampuan pro oduksi kalus semakin meenurun padaa subkultur berikutnya. b Pengaruuh media MP M dan MR R terhadap pembentukan p n kalus terjjadi akibat konntribusi komb binasi zat peengatur tumbbuh TDZ deengan 2.4-D atau BAP dengan d 2.4D yang seim mbang
unttuk
pembeelahan sel. Akibat aakumulasi zaat pengatur
mbuh tersebuut akan menuurunkan atauu menghambbat pembelahhan sel olehh karena itu tum sem makin sering disubkultur semakin renndah kemam mpuan sel unntuk membelah. Chang & Chang C (2000 0) menyatak kan bahwa T TDZ yang teerakumulasi menjadi san ngat tinggi konnsentrasinya mampu meenghambat ppembelahan sel. Tidhiazzuron yang merupakan m deriivat phenylu urea diketahu ui lebih aktiif menstimuulasi pembenntukan tunass dari pada kalu us (Park et al. a 2002b; Jiang et al. 20005).
Gam mbar 7 Penaambahan berrat kalus daari subkulturr (SK)I hinggga ke III pada p media -1 -1 MP (1/2 2MS + 0,5 mg.l m 2,4-D + 0,2 mg.l thidiazuron) t ) dan MR (1//2MS + 0,2 mg.l-1 2,,4-D + 0,4 mg.l m -1 BAP). Perrkembangan n Kalus dan n Regenerassi tanaman Pada penelitian ini, proses embriosomatik telah t tercapaai menggunaakan media R yang meng gandung BA AP 0.4 mg.l-1 dan 2.4-D 0.2 mg.l-1. BAP pada konsentrasi k MR
43
tersebut mampu menginduksi sel-sel untuk melewati proses embriosomatik seperti bentuk globuler, torpedo dan bentuk hati yang akhirnya membentuk kotiledon calon tunas dan akar (Gambar 9a-d). Auksin 2.4-D umumnya digunakan untuk menginduksi kalus, tetapi dalam bentuk kombinasi dengan BAP
mampu
menginduksi embriosomatik. Pada penelitian semacam yang dilakukan oleh Ishii et al. (1998) kombinasi BAP dan 2.4-D telah digunakan untuk menginduksi embriosomatik pada Phalaenopsis dengan konsentrasi 0.1-1 mg.l-1. Hasil percobaan regenerasi tanaman yang dipaparkan pada Tabel 7 memperlihatkan bahwa selama proses regenerasi, kecepatan pembentukan organ di antara ketiga klon berbeda, pada saat yang sama sudah terbentuk tunas juga masih terdapat kalus globuler atau embriosomatik (Gambar 9d dan 9e).
Kemampuan
membentuk embrisomatik maupun tunas pada media yang diberi tambahan dengan BAP dan 2.4-D juga berbeda. Pada umur 4 MST hingga 12 MST, pembentukan embrio semakin banyak dan pembentukan tunas semakin banyak pula. Tabel 7 Daya pembentukan embriosomatik dan tunas klon SGN-PV2.11, klon 377 dan klon 642 pada media MR pada setiap gerombol kalus yang diamati setiap 4 minggu selama 12 MST Klon
Jumlah Kalus
SGN-PV2.11 377 642
30 30 30
4 MST Jumlah Jumlah Embrio Tunas somatik 17 a 12 bc 16 ab
3c 7b 10 a
8 MST Jumlah Jumlah Embrio Tunas somatik 20 a 17 b 19 a
8c 15 a 12 b
12 MST Jumlah Jumlah Embrio Tunas somatik 25 a 19 b 22 ab
18 b 22 a 15 bc
Keterangan: MST (minggu setelah tanam); Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada lajur yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf α 5%. Jumlah embriosomatik yang berdiferensiasi menjadi tunas semakin banyak, tetapi jumlah embriosomatik tetap meningkat. Hal ini disebabkan karena sebagian kalus embriogenik masih dapat membentuk kalus embriogenik kembali dan berdiferensiasi menjadi tunas. Pada 12 MST pembentukan embriosomatik terbanyak didapatkan pada klon SGN-PV2.11 sebanyak 25 embriosomatik setiap kalus. Pembentukan tunas terbanyak diperoleh pada klon 377 sebanyak 22 tunas, disusul oleh SGN-PV2.11 kemudian 642. Secara visual ketiga klon memiliki penampilan dan karakter berbeda (Gambar 10). Klon 377 memiliki lembar daun paling runcing bila dibandingkan dengan
44
n lebih lambbat respon rregenerasinyya dibandinggkan dengann SGNyanng lain dan PV V2.11 yang merespon leebih cepat. Perbedaan postur p tanam man seperti terlihat padda gambar 9 tersebut buukan merupaakan pengaru uh dari mediia tetapi merrupakan penngaruh hasill persilangann.
a
b
c
d
Gam mbar 8 Prosses embriogeenesis somaatik pada kaalus Phalaennopsis sp L..(a) bentuk globulerr dan jaringaan kalus sekiitarnya (b) bentuk b torpedo (c) calonn kotiledon, primord dial tunas dann akar (d) teelah memben ntuk daun.
Gambarr 9 Penampillan plantlet hasil h regenerrasi tanamann pada klon 642. 6 Klon 377 dan klon S SGN-PV2.111. t didduga berkaittan dengan Pengaruuh media MR terhadap regenerasi tanaman kan ndungan dan konsentrasii benzylamiinopurin (BA AP) dan 2.4--dichloropennoxy-acetic acidd (2.4-D) yaang cukup sesuai s untukk ketiga klonn tersebut. K Konsentrasi 0.4 mg.l-1 BAP P dan 0.2 mg.l-1 2.4-D D merupakaan kombinaasi yang teppat dan efeektif untuk
45
menginduksi regenerasi tunas pada Phalaenopsis seperti yang dinyatakan oleh Chowdhury et al. (2003). KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan sbb: 1. Embrio somatik dapat diinduksi dari ekisplan daun melalui tahapan inisiasi kalus dan proliferasi kalus. 2. Media MI-3 yang mengandung thidiazuron 0.1 mg.l-1 dan 10 mg.l-1 2.4-D merupakan media yang paling baik untuk menginisiasi kalus. 3. Media MP yang mengandung 1/2 MS + 0.2 mg.l-1 Thidiazuron + 0.5 mg.l-1 2.4-D merupakan media untuk proliferasi kalus. 4. Media MR yang mengandung 1/2 MS + 0.4 mg.l-1 BAP + 0.2 mg.l-1 2.4-D) sesuai untuk meregenerasikan kalus menjadi tanaman utuh.
DAFTAR PUSTAKA Arnold SV, Sabali I, Bozhlov P, Dyachok J, Filonova L. 2004. Developmental pathways of somatic embryogenesis. Plant Cell Tissue Organ Cult 69: 233249 Chang WC. 2007. In vitro morphogenesis and micropropagation of orchids. Di dalam Chen WH, Chen HH. Editor. Orchids Biotechnology. New Jersey. London. Singapore. p. 45-64 Chang C, Chang W. 2000. Effect thidiazuron on bud development of Cymbidium sinensis Wild in vitro. Plant Growth Reg. 30: 171-175 Chowdhury I, Abu Reza MD, Rahman M, Islam O, Matsui S. 2003. Effect of plant growhregulation on callus proliferation . plantlet regeneration and Growth of plantlets of Doritaenopsis Orchid. Biotechnology. Vol 2.no 3: 214-221. Eudes F, Acharya S, Laroche A, Selinger LB, Cheng KJ. 2003. A novel method to induce direct somatic embryogenesis. secondary embryogenesis and regeneration of fertile green cereal plants. Plant Cell. Tissue Organ Cult 73: 147-157. Gatica AM, Arrieta G, Espinoza AM. 2008. Direct somatic embryogenesis in Coffea Arabica L cvs Caturra & Catuai : Effect of triacontanol. light condition and medium consistency. Agronomia Costaricense 32 (1): 139-147 Gill NK, Gill R, Gisal SS. 2004. Factors enhancing somatic embryogenesis and plant regeneration in sugaecane (Saccharum officinarum L). Indian J. Biochem. Vol 3 : 119-123 Hashemloian BD, Azimi AA, Majid A, Ebrahimzadeh H. 2008. Abnormal plantlets regeneration through direct somatic embryogenesis on immature seeds of Vinca herbacea Waldst & Kit. African J. Biotech. Vol 7(11): 179-183
46
Ishii Y, Takamura T, Goi M, Tanaka M. 1998. Callus induction and somatic embryogenesis of Phalaenopsis. Plant Cell Rep 17: 446-450 Jiang B, Yang Y, Guo M, Guo Z, Chen Y. 2005. Thidiazuron-induced in vitro shoot organogenesis of the medicinal plant Arnebia eichroma (Royle) Johnst. In vitro Cell & Dev. Biol-Plant 41: 677-681 Kozir P, Skof S, Luthan Z. 2004. Direct shoot regeneration from nodes of Phalaenopsis Orchids. Acta Agric Slovenica 82: 233-242 Naz S, Ali A, Siddique FA, Iqbal J. 2008. Somatic embryogenesis from immature cotyledone & leaf calli of chicpea (Cicer arietinum L). Pak. J. Bot. 40 (2): 523-531 Park SY, Yeung EC, Chakrabarty D, Paek KY. 2002a. An efficient direct induction of protocorm like bodies from leaf subepidermal cells of Doritaenopsis hybrid using thin-section culture. Plant Cell Rep 21: 46-51 Park SY, Murthy HN, Paek YK. 2002b. Rapid propagation of Phalaenopsis from floral stalk.-derived leaves. In vitro Cell Dev Biol Plant 38: 168-172 Sinha P, Hakim ML, Alam MF. 2007. Efficient micropropagation of Phalaenopsis amabilis (L) BL cv Cool Breeze using inflorescence axis thin sections as explants. Propagation of Ornamentals plants Vol 7 (1) : 9-15 Smith RH. 2000. Plant Tissue Culture: Techniques and Experiments. Second Edition. Academic Press. Diego. San Fransisco. New York. Boston Sydney. Tokyo.p.111 Chang YC, Chen C, Chang WC. 2000. A reliable culture of protocol for plant regeration from callus Phalaenopsis. In Vitro Cell Dev Biol Plant. Vol 36 (5): 420-423 Young PS, Murthy HN, Yeuep PK. 2001. Mass multiplication of protocorm-like bodies using bioreactor system and subsequent plant regeneration in Phalaenopsis. Plant Cell Tisue Organ Cult 63: 67-72.
INDUKSI VARIAN SOMAKLON PADA KALUS PHALAENOPSIS MENGGUNAKAN IRADIASI SINAR GAMMA ABSTRAK
47
Penelitian ini bertujuan (1) menginduksi variasi somaklonal dari kalus melalui teknik mutagenesis dengan menggunakan iradiasi sinar gamma, (2) meregenerasikan generasi M1V4, dan (3) mengevaluasi tipe dan frekuensi fenotip di antara varian teregenerasi. Kalus diinisiasi menggunakan media 1/2 MS yang diberi tambahan 0.2 mg.l-1 tidhiazuron dan 0.5 mg.l-1 2,4-D (MI) dan diregnerasikan dengan media 1/2 MS dengan zat pengatur tumbuh with 0.4 mg.l-1 BAP and 0.2 mg.l-1 2,4-D (MR). Kalus diradiasi dengan sinar gamma dengan dosis 0, 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70 Gy untuk menentukan dosis besarnya LD50. Berdasarkan LD50 tersebut, dosis iradiasi yang digunakan untuk merangsang terbentuknya varian ialah 2.5; 5; 10; 15; 20 Gy. Perkiraan LD50 ditentukan menggunakan CurveFit 1.3. LD50 dari Klon SGN-PV2.11 sebesar 16.2 Gy, selanjutnya 377 adalah sekitar 22 Gy dan klon 642 ialah sekitar 15.3 Gy. Dosis iradiasi yang dapat meningkatkan kecepatan regenerasi tunas pada klon 377 ialah 20 Gy, klon 642 adalah 15 Gy dan klon SGN-PV2.11 ialah 2.5 dan 5 Gy. Variasi fenotip dari 3 klon terdiri atas 6 macam morfologi termasuk fenotip normal. Frekuensi variasi fenotip dari ketiga klon tersebut sebesar 0.4-6.8%. Kata Kunci: Phalaenopsis, kalus, induksi varian somaklon, sinar gamma, LD50
VARIANT SOMACLONE INDUCTION OF PHALAENOPSIS USING GAMMA RAY RADIATION ABSTRACT
48
The objectives of this research were to (1) induced somaclonal variation of callus through mutagenesis technique using gamma ray irradiation, (2) regenerated M1V1 plantlets variant, (3) evaluate type and frequencies of fenotypic variance among regenerated plantlets. Callus was induced on medium 1/2 MS supplemented with 0.2 mg.l-1 tidhiazuron and 0.5 mg.l-1 2,4-D (MI) and regenerated with 1/2 MS supplemented with 0.4 mg.l-1 BAP and 0.2 mg.l-1 2,4-D (MR). Calli were irradiated with 0, 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70 Gy to determinate LD50 of clones. Based on the recommended LD50, the dosage to obtain variants was 2.5; 5; 10; 15; 20 GY. The approximate LD50 of SGN-PV2.11 as determined by CurveFit 1.3 is 16.2 Gy, clone 377 is 22 Gy and 642 was 15.3 Gy. Certain irradiation doses were caused increasing rate of shoot number ie clones 377 was 20 Gy, clones 642 was 15 Gy, SGN-PV2.11 was 2,5 and 5 Gy. Optimum quantitative characters rates could be detect on 5 Gy. Fenotipe variation of 3 clones were aproven from 6 morphologies characters included normal character. Fenotype variation frequency of three clones were around 0.4- 6.8%. Key words : Phalaenopsis, callus, variant somaclonal induction, gamma ray, LD50 PENDAHULUAN Dalam industri florikultura, selalu ada permintaan varietas baru dan novelty. Pemuliaan mutasi merupakan metode yang dapat diandalkan untuk memperoleh varitas-varitas mutan dengan bentuk, corak, dan warna baru (Datta et al. 2005). Secara konvensional, mutasi dapat diinduksi dari bagian tanaman yang diberi mutagen. Mutan akan dihasilkan dari kimera yang terbentuk setelah diberikan mutagen tersebut, dan dilakukan seleksi diplontik dalam beberapa generasi (Çağirgan 2009).
Metode mutagenesis in vitro merupakan metode cepat yang dapat
menghasilkan mutan-mutan berkarakter tertentu. Salah satu mutagen yang dapat digunakan ialah mutagen fisik iradiasi sinar gamma (Seneviratne & Wijesundara 2007; Sheela et al. 2006). Sinar gamma memiliki kemampuan lebih baik dari pada sinar yang lain seperti proton, neutron, sinar alfa, sinar beta, atau sinar X (Predieri & Vrigillio 2007). Kemampuan mengion dari sinar gamma lebih berenergi di antara radiasi elektromagnetik yang lain (Kovacs & Keresztes 2002). Iradiasi pengion terutama sinar gamma telah terbukti keberhasilannya secara luas untuk menginduksi keragaman genetik (Ahloowalia & Maluszynski 2001). Bahan mutagen fisik ini dapat melepas energi (ionisasi), segera setelah melewati atau menembus materi. Proses ionisasi akan terjadi dalam jaringan sehingga menyebabkan perubahan pada tingkat sel, genom, kromosom dan DNA atau gen. Perubahan yang terjadi secara
49
mendadak pada tingkat genom, kromosom dan DNA atau gen seringkali bersifat permanen dan diwariskan ke generasi berikutnya (Soeranto 2005). Sifat-sifat iradiasi pengion inilah yang dimanfaatkan dalam pengembangan tanaman. Perubahan hasil muatgenesis ini biasanya hanya pada beberapa sifat saja. Efek biologikal sinar gamma berdasarkan interaksi atom atau molekul dalam sel, khususnya air, mnghasilkan radikal bebas (Kovacs & Keresztes 2002), radikal ini memodifikasi komponen penting dalam sel tanaman sehingga mempengaruhi morfologi, anatomi, biokimia dan fisiologi tanaman tergantung dosis iradiasi yang digunakan (Ashraf et al. 2003). Efek ini termasuk perubahan struktur seluler tanaman dan metabolisme seperti hilangnya membran thylakoid, perubahan fotosintesis, akumulasi komponen fenolik (Kim et al. 2004; Ashraf 2009). Metode iradiasi dapat dikombinasikan dengan teknik in vitro yaitu teknik keragaman somaklonal melalui pembentukan kalus, proliferasi dan regenerasi tanaman. Teknik ini banyak diaplikasikan untuk memperoleh sifat-sifat unggul tanaman. Beberapa penelitian induksi mutasi menggunakan penyinaran dengan sinar gamma yang telah dilakukan antara lain yaitu pada tanaman pangan seperti tanaman tebu tahan penyakit (Somad et al. 2001), kentang tahan penyakit (Gossal et al. 2001), jagung (Viccini & Carvalho 2002) dan tanaman hortikultura seperti apokat (Witjaksono & Litz 2004), pisang (Rayes-Borja et al. 2007) dan juga tanaman hias Helianthus (Encheva et al. 2004), Torenia (Miyazaki et al. 2006), Krisan (Datta et al. 2005) dan juga tanaman angrek Dendrobium (Piluek and Lamseejan 2005). Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengamati radiosensitivitas pada kalus klon SGN-PV2.11, klon 642 dan klon 377 setelah pemberian berbagai dosis iradiasi sinar gamma, (2) menentukan LD50 kalus Phalaenopsis ketiga klon terhadap iradiasi sinar gamma, untuk menetukan dosis yang tepat, (3) melakukan regenerasi tanaman dari kalus hasil iradiasi untuk menghasilkan varian dan membentuk generasi mutan solid M1V4 (4) melakukan evaluasi fenotip mutan hasil iradiasi secara morfologi dan secara kualitas dengan analisis isoenzim. BAHAN DAN METODE Induksi varian dengan iradiasi sinar gamma Kalus klon SGN–PV2.11, 377 dan 642 hasil inisiasi in vitro masing-masing sebanyak 80 berukuran kira-kira satu sentimeter, diletakkan di dalam 80 botol kultur
50
jaringan. Iradiasi dilakukan di Pusat Pelelitian dan Pengembangan Teknologi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional, Pasar Jum’at Jakarta, dengan menggunakan sinar Gamma dari ionisasi Cobalt60 melalui alat irradiator gamma chamber 4000A tipe Irpasena, dengan satu seri dosis akut yaitu 0, 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70 Gy. Iradiasi dilakukan setiap dosis masing-masing 10 botol. Setelah diradiasi, kalus segera dikeluarkan dan dipindahkan pada media regenerasi yang mengandung zat pengatur tumbuh serta diinkubasikan di ruang terang bersuhu 25 °C. Pengamatan pada kalus dilakukan mulai satu minggu setelah iradiasi. Pengamatan dilakukan pada jumlah kematian kalus yang telah diradiasi tersebut untuk menentukan LD50. LD50 ditentukan dengan cara menghitung dosis yang menyebabkan 50% kalus mati dengan menggunakan program CurveFit 1.3. Setelah diperoleh LD50 dari percobaan tersebut di atas, dilakukan kembali iradiasi dengan dosis sesuai LD50 tersebut. Untuk mendapatkan varian somaklonal diradiasi kalus dengan dosis 0; 2,5; 5; 10; 15 dan 20 Gy. Pengamatan dilakukan terhadap persentase kalus yang bertahan hidup, jumlah kalus yang mampu beregenerasi menjadi tanaman Daya regenerasi tanaman pasca iradiasi sinar gamma Kalus klon SGN-PV2, 642 dan 377 yang hidup setelah iradiasi sinar gamma dosis 0, 2.5G ; 5G; 10 G; 15 G (SGN-PV2.11), 15 G (642) dan 20 G (377) diregenerasikan pada media regenerasi MR yaitu ½ MS yang diberi tambahan BAP 0,4 mg.l-1, 2,4-D 0,2 mg.l-1 serta 75 ml.l-1 air kelapa dan pepton 2 g.l-1. Selanjutnya plantlet diperbesar pada media MR1 yang mengandung BAP 0.5 mg.l-1 dan 2 g.l-1 pepton. Perlakuan diaplikasikan pada setiap klon berjumlah 15 botol, masing-masing botol berisi 1 gerombol kalus. Pengamatan dilakukan terhadap persentase kalus mampu membentuk plantlet, dan jumlah plantlet. Pembentukan generasi M1V4 melalui embriogenesis langsung Varian-varian klon SGN-PV2.11, 642 dan 377 yang diperoleh dari induksi variasi somaklonal menggunakan iradiasi dimultiplikasikan dengan cara menanam irisan daun masing-masing varian pada media organogenesis. Irisan daun plantlet tersebut ditanam pada beberapa media antara lain ELl (1/2 MS + 0,2 mg.l-1 TDZ + 1 mg.l-1 IAA), EL2 (1/2 MS + 0,2 mg.1-1 TDZ + 0,2 mg.l-1 IAA), EL3 (1/2 MS + 3,5 mg.1-1 TDZ + 1 mg.l-1 IAA). Plb yang diperoleh dari eksplan daun, diperbanyak dalam 3 kali subkultur sebelum akhirnya diregenerasikan menjadi plantlet.
51
Multiplikasi dilakukan sebanyak paling sedikit 4 kali atau hingga diperoleh M1V4 bertujuan agar diperoleh mutan yang benar-benar solid, karena dengan proses multiplikasi tersebut akan terjadi proses seleksi diplontik. Media MR digunakan untuk meregenerasikan plb menjadi plantlet. Keragaman fenotipik plantlet akibat iradiasi sinar gamma Plantlet hasil regenerasi M1V4 diamati berdasarkan perbedaan morfologi dengan tanaman standar mengenai karakter kualitatif seperti warna dan bentuk daun serta analisis pita isoenzim. Selain itu karakter kuantitatif secara agronomi mengenai pertumbuhan plantlet seperti jumlah daun, panjang dan lebar daun, jumlah akar, panjang akar dan diameter akar yang diamati setelah 16 MST. Analisis isoenzim diawali dahulu dengan identifikasi enzim-enzim spesifik yang dapat terdeteksi pada varian somaklonal. Kemudian setelah diketahui beberapa enzim spesifik tanaman tersebut, varian tahan dideteksi menggunakan enzim spesifik tersebut, untuk mencirikan mutan yang diperoleh. Analisis isoenzim dilakukan menggunakan elektrophoresis gel starch dengan metode Solties (1992). Beberapa tahapan yang harus dilakukan adalah pembuatan larutan buffer pengekstrak yang dilakukan dengan mencampur larutan l0 mM L-ascorbat 0,07 gram, 40 mM L-sistein 0.1939 gram, Triton X-100 0.12 ml, PVP-40 sebanyak 0,25 gram dan 0.1M Na2HPO4. 2H20 dan ditambahkan akuades sampai 100 ml pada pH 7,0. Pembuatan larutan buffer gel yang terdiri dari 5mM L-Histidin monohidrat 1,040 gram yang dilarutkan dalam akuades sampai volume dengan pH 6.0. Pembuatan larutan buffer elektroda, 50 mM asam sitrat monohidrat 10.55 gram dan 150 mM tris hidroksimetil aminometan 18.16 gram dilarutkan dalam akuades sampai dengan pH 6.0. Selanjutnya pembuatan gel pati, pati dicampur dengan sepertiga bagian buffer gel dan dua pertiga bagian lagi dimasak lebih dahulu hingga mendidih. Setelah matang diangkat lalu dicampurkan dengan campuran pati, kemudian dimasak lagi hingga kelihatan bening. Selanjutnya divakum hingga gelembung udara dalam gel habis. Gel secepatnya dituang pada cetakan yang sebelumnya telah diolesi parafin cair dan lubang pada kaki cetakan ditutup dengan perekat. Setelah gel dingin, ditutup dengan plastik yang telah diolesi dengan parafin. Gel bisa disimpan pada suhu 5-10 °C. Pelaksanaan analisis isoenzim dilakukan pada daun segar dari sampel yang digunakan sebanyak 100-200 mg, dihaluskan dengan terlebih dahulu memberikan buffer ekstrak sebanyak 0.5 ml, lalu digerus hingga halus. Cairan daun gerusan
52
diserap dengan kertas saring yang telah dipotong secukupnya, Selanjutnya kertas yang telah menyerap sel daun tersebut disisipkan pada gel yang telah dilubangi. Cetakan yang telah disisipkan kertas saring yang berisi contoh cairan daun dimasukkan dalam kotak plastik yang berisi buffer elektroda. Kaki cetakan hams terendam dalam buffer elektroda lalu diletakkan dalam ruangan es pada suhu 5-10 °C. Selanjutnya dialiri listrik 100 Volt 30 menit dan dilanjutkan 3-4 jam pada 150 Volt. Untuk mengontrol karak migrasi molekul, disalah satu sisinya diberi penanda Bromofenol blue. Setelah selesai pengaliran listrik, gel dibelah menjadi dua atau tiga (sesuai ketebalannya) pada posisi horisontal di atas alat pemotong. Sebelumnya kertas saring dikeluarkan dari lubang-lubangnya. Lembaran gel dimasukkan ke dalam nampan kemudian diberi pewarna yang masing-masing telah disiapkan. Setelah itu kotak plastik ditutup dengan aluminium foil dan diinkubasi pada suhu ruang sampai muncul pita-pita pada gel. Perendaman ini dilakukan 1-2 jam tergantung jenis enzim. Gel dicuci dengan air mengalir sampai bersih, kemudian potongan gel yang telah terlihat pita-pitanya dapat difiksasi dengan 50% etanol yaitu etanol: akuades: asam asetat:gliserol = 5:4:2:1. Pengamatan segera dilakukan setelah pencucian dan hasilnya dapat diabadikan dengan kamera.
HASIL DAN PEMBAHASAN Induksi Variasi Somaklonal dengan Iradiasi Sinar Gamma pada Kalus Phalaenopsis Langkah utama dalam pemberian perlakuan mutagenik adalah estimasi dosis yang cocok untuk induksi mutasi. Metode yang tepat untuk penentuan dosis iradiasi pada suatu tanaman telah dilakukan oleh banyak peneliti dengan cara menentukan radiosensitivitas (Predieri 2001). Radiosensitivitas dapat diestimasikan melalui respon fisiologis bahan tanaman yang diiradiasi. Determinasi dosis dapat ditentukan berdasarkan reduksi pertumbuhan vegetatif dari bahan yang diradiasi (LD50) jika dibandingkan dengan tanaman kontrol pada siklus vegetatif yang pertama (M1V1). Setelah dilakukan iradiasi pada kalus, kalus langsung dipindahkan pada media agar yang baru, selanjutnya diamati tingkat lethalitas kalus selama beberapa minggu hingga lethalitas maksimum. Data yang diperoleh, diolah menggunakan program CurveExpert 1.3 dan menunjukkan nilai LD50 pada ketiga klon berkisar antara 15-22 Gy (Tabel 8). Hasil menunjukkan bahwa secara genetik tingkat radiosensitivitas kalus
53
masing-masing klon berbeda. Genotipe klon 377 merupakan genotipe yang radiosensitivitasnya paling rendah (LD50 22 Gy), sedangkan genotipe klon 642 merupakan genotipe yang paling sensitif di antara ketiganya (15.3 Gy). Radiosensitivitas genotipe SGN-PV2.11 berada di antara kedua klon tersebut (16.2 Gy). Tabel 8 LD50 pada kalus 3 klon Phalaenopsis akibat iradiasi sinar gamma. Klon
Persamaan
LD 20 (Gy)
LD 50 (Gy)
377
Y= 92.72-2.36x + 0.02x2 + 0.0001x3
5.7
22.0
642
Y=89.58 - 2.958 x + 0.024x2
3.3
15.3
SGN-PV2.11
Y= 101.2 - 4.07x + 0.062x2 + 0.0003x3
5.7
16.2
Pada penelitian lain yang dilakukan pada mutasi Phalaenopsis dengan menggunakan bahan plantlet diperoleh bahwa LD
50
diperoleh pada dosis 32.5 Gy
(Khamla et al. 2007) dan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Kurniati (2004) dosis lethal yang diperoleh untuk iradiasi plantlet Phalaenopsis silangan Phal. Hinamatsuri x Dtps. Modern Beauty adalah sebesar 27.8 Gy, sedangkan pada kalus Phal. amabilis ’formosa x Phal. Taipei Gold’GS membutuhkan dosis optimum 10 Gy. LD50 biasanya digunakan sebagai tolok acuan dosis untuk meradiasi material yang akan
dimutasikan,
tetapi
Shirong (2008)
menyatakan
bahwa
untuk
menentukan dosis optimum yang dapat menimbulkan mutan tetapi tidak melukai jaringan somatik pada tanaman yang diperbanyak secara vegetatif adalah dosis yang menyebabkan 60-70% tanaman yang hidup (LD30-40). Hussin et al (2008) juga menyatakan dosis optimum yang diterapkan untuk menginduksi mutan adalah 20% di atas dan 20 % di bawah dosis optimumnya. Berdasarkan hal ini perlakuan dosis diambil interval lebih kecil untuk dengan tujuan diperoleh mutan yang lebih banyak. Daya Regenerasi Kalus Phalaenopsis pasca iradiasi Iradiasi kalus menyebabkan daya regenerasi tanaman setiap klon berbeda. Secara keseluruhan persentase kalus yang mampu bertunas berkisar antara 27-87% dan memiliki daya regenerasi dalam setiap gerombol kalus berkisar antara 3-8 plantlet setiap gerombol kalus dalam pengamatan selama 12 MST.
54
Tabel 9 Pengaruh perlakuan dosis iradiasi pada kalus embriogenik klon SGNPV2.11, 642 dan 377 terhadap persentase kalus yang bertunas dan jumlah tunas per kalus selama 12 minggu setelah tanam (MST). Klon dan Dosis iradiasi
Kalus bertunas (%)
Rata-rata Jumlah tunas per kalus
Klon 377 0 47.0 4.2c 20 53.3 7.4ab Klon 642 0 33.3 3.0cd 5 40.0 5.5b 15 27.0 6.0b Klon SGN-PV2.11 0 47.0 6.2b 2,5 80.0 7.6ab 5 75.0 8.4a 10 87.0 3.6c 15 27.0 4.25c Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada lajur yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf α 5%. Dosis tertentu menyebabkan kalus berdeferensiasi lebih banyak. Pada klon 377 dosis 20 Gy yang sesuai LD50 menyebabkan deferensiasi kalus menjadi plantlet lebih banyak dibandingkan dengan diferensiasi
kalus yang tidak diradiasi.
Sebaliknya pada klon SGN-PV2.11 dan 642 diferensiasi kalus yang diiradiasi dengan dosis LD50 yaitu 15 Gy menyebabkan kemampuan difrensiasi kalus menjadi plantlet masing-masing lebih rendah.bila dibandingkan dengan diferensiasi kalus menjadi plantlet yang tidak diradiasi (Tabel 9). Apabila dosis diturunkan kurang dari 15 Gy, diferensiasi kalus menjadi lebih tinggi pada kedua klon yaitu SGN-PV2.11 dan 642. Hal tersebut dapat dijelaskan dari sifat radiosensitivitas klon 377 yang rendah sehingga dengan dosis iradiasi yang tinggi masih mampu berdeferensiasi, sedang klon SGN-PV2.11 dan 642 yang memiliki radiosensitivitas lebih tinggi dari klon 377 kemampuan deferensiasi kalus lebih rendah dari pada klon 377. Dosis iradiasi juga menyebabkan kemampuan berdeferensiasi meningkat dari pada tanpa iradiasi. Kemampuan regenerasi tanaman pada kalus yang diradiasi juga meningkat daripada regenerasi tanaman pada kalus tanpa iradiasi. Kemampuan setiap klon untuk beregenerasi juga berbeda. Pada klon 377, pemberian iradiasi 20 Gy meningkatkan jumlah plantlet per kalus dari 4 menjadi 7 plantlet. Iradiasi 5 Gy dan 15 Gy pada klon 642 meningkatkan jumlah palntlet dari 3 menjadi 5-6 plantlet,
55
sedang pada klon SGN-PV2.11, dosis iradiasi 2.5 Gy dan 5 Gy mampu beregenerasi lebih banyak dari pada dosis 10 dan 15 Gy. Hal ini dapat dikatakan bahwa dosis iradiasi tertentu dapat menyebabkan meningkatnya kemampuan berdeferensiasi dan beregenerasi suatu tanaman secara in vitro. Borzonei et al. (2010) mendapatkan hasil penelitian yang menyatakan bahwa dosis iradiasi 100 Gy meningkatkan 25% berat kering tanaman gandum, sedang penelitian Melki and Salami (2008) mendapatkan peningkatan hasil yang meningkat pada 15 Gy daripada 0 Gy. Pembentukan generasi M1V4 melalui embriogenesis langsung Irradiasi menyebabkan sebagian sel menjadi tidak normal dan berada di antara sel-sel normal. Selama proses pembelahan, sel termutasi berkompetisi dengan sel-sel normal untuk bertahan hidup. Proses ini dinamakan seleksi diplontik. Sel termutasi yang mampu bertahan hidup apabila sel tersebut berasal dari materi yang diperlakukan dengan mutagen secara in vitro, akan terekspresi menjadi tanaman mutan solid (Datta et al. 2005). Proses pembentukan mutan solid pada materi kultur in vitro ditempuh dalam pembentukan beberapa turunan generasi. Berdasarkan protokol IAEA (2001), untuk mendapatkan mutan solid diperlukan generasi paling sedikit 4 generasi. Pada materi yang didapatkan secara in vitro disebut M1V4, oleh karena itu dalam penelitian ini diperlukan pembentukan generasi M1V4. Pembentukan generasi M1V4 dilakukan sesuai dengan cara perbanyakan materi yang digunakan. Materi yang berupa tunas adventif atau tunas aksilar dan memiliki batang dapat dibentuk M1V4 dengan cara menanam kembali ruas-ruas batang yang memiliki mata tunas dan diulang hingga 34 kali penanaman. Materi yang diperbanyak melalui pembentukan kalus dapat dilakukan perbanyakan dengan cara organogenesis atau embriogenesis langsung dan diulang 3-4 kali pembentukan plantlet secara organogenesis atau embriogenesis langsung.
56
a
b
c
d
e
f
Gambar 10 Embriogenesis langsung pada pembentukan M1V4. Kalus –kalus bening muncul dari irisan daun pada media E1 (a), E2 (b), E3 (c) di ruang gelap. Perubahan kalus menjadi calon tunas setelah kalus dipindahkan ke ruang terang pada media E1 (d), E2 (e), E3 (f). Proses pembentukan
generasi M1V4 pada Phalaenopsis dapat dilakukan
melalui pembentukan kembali kalus yang berasal dari daun generasi sebelumnya, tetapi membutuhkan waktu lebih lama. Oleh karena itu, dibutuhkan metode yang lebih cepat yaitu melalui embriogenesis langsung. Pada embriogenesis langsung, mula-mula terbentuk kalus bening (Gambar 10a-c) dalam ruang gelap selama 8 minggu. Selanjutnya inkubasi dipindahkan pada ruang terang, dan menyebabkan proliferasi kalus tidak terjadi, tetapi langsung berubah menjadi calon plantlet. Pengaruh media EL1, EL2 dan EL3 terlihat pada gambar 12 serta tabel di bawah. Secara visual kalus yang menyerupai calon embrio atau biasa disebut protocorm-like bodies (plb’s) terbentuk paling banyak pada EL3. Pada tabel 10 terlihat bahwa media EL1 tidak mampu merangsang terbentuknya embrio karena tidak adanya hormon. Media EL2 dan EL3 mampu mendorong terjadinya diferensiasi pada ketiga macam klon. Eksplan
daun klon SGN-PV2.11 mampu
membentuk plb sebesar 13.3- 57.8%, pada klon 642 mampu membentuk embrio sebanyak 13.3 - 48.9% sedangkan 377 hanya 13.3 - 17.8%. Pengaruh dosis iradiasi juga terlihat jelas pada tabel 10 tersebut. Dosis 2.5 Gy lebih responsif dibandingkan dengan 5 Gy.
57
Tabel 10 Persentase pembentukan tunas M1V4 melalui embriogenesis langsung menggunakan eksplan daun selama 12MST Media & Klon
Perubahan eksplan (%) 12 MST
Dosis (Gy)
Coklat Klon SGN-PV2.11 EL1 EL2 EL3 Klon 642 EL1 EL2 EL3
Hijau
Berkalus
% Eksplan terbentuk plb
Rata-rata jumlah tunas per eksplan
0 2.5 5 0 2.5 5 0 2.5 5
80.0 31.1 33.3 75.6 31.1 24.4 73.3 26.7 26.7
22.2 66.7 66.7 24.4 66.7 75.6 28.9 71.1 72.2
0.0 17.8 48.9 0.0 44.4 53.3 0.0 66.7 53.3
0.0 13.3 40.0 0.0 31.1 48.9 0.0 42.2 57.8
0.0 d 1.3 c 5.5 ab 0.0 d 1.9 c 6.6 a 0.0 d 4.6 b 6.9 a
0 5 15 0 5 15 0 5 15
82.2 37.8 40.0 77.8 31.1 24.4 80.0 42.2 42.2
20.0 60.0 60.0 22.2 35.6 75.6 20.0 55.6 62.2
0.0 22.2 46.7 0.0 35.6 53.3 0.0 44.4 42.2
0.0 15.6 40.0 0.0 13.3 48.9 0.0 35.6 33.3
0.0 c 3.9 ab 3.6 b 0.0 c 4.8 ab 5.0 a 0.0 c 5.1 a 4.7a
Klon 377 EL1
0 84.5 15.5 0.0 0.0 0.0 b 20 71.1 28.9 13.3 13.3 4.5 a 0 75.6 24.4 0.0 0.0 0.0 b EL2 20 44.4 55.6 22.2 15.6 3.9 b 0 73.3 28.9 0.0 0.0 0.0 b EL3 20 26.7 71.1 17.8 17.8 4.6 a Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf α 5%. El (1/2 MS + 0,2 mg.l-1 TDZ + 1 mg.l-1 IAA), E2 (1/2 MS + 0,2 mg.l-1 TDZ + 0,2 mg.l-1 IAA), E3 (1/2 MS + 3,5 mg.l-1 TDZ + 1 mg.l-1 IAA), plb (protocorm-like bodi’s). Olah data rata-rata jumlah tunas telah dilakukan transformasi logaritma.
Keragaman fenotipik plantlet akibat iradiasi sinar gamma Rataan karakter kuantitatif jumlah daun yang tumbuh setelah 12MST (Tabel 11) terlihat bahwa baik yang berasal dari kalus yang tidak diberi perlakuan maupun dengan yang diberi perlakuan iradiasi sinar gamma tidak terjadi perbedaan yang menyolok. Rataan jumlah daun kontrol sebanyak 2.2 sama dengan jumlah daun pada perlakuan 2.5 Gy. Jumlah tertinggi dapat diperoleh pada 5 Gy. Gambaran umum pada dosis 5 Gy tampak memiliki penampilan yang lebih besar dibanding tanaman yang berasal dari perlakuan yang lain.
58
Pada percobaan ini populasi plantlet yang didapat dari berbagai dosis iradiasi pada 12 minggu setelah regenerasi diamati secara morfologi adanya abnormalitas pada daun yang ditimbulkan akibat iradiasi. Abnormalitas ini tidak terjadi sematamata diakibatkan karena iradiasi saja, tetapi mungkin juga karena selama proses embriosomatik. Hal ini terlihat pada Tabel 12, bahwa pada plantlet hasil regenerasi kalus yang tidak diperlakukan dengan sinar gamma 0 Gy masih terjadi perubahan morfologi seperti tanaman menjadi roset. Tabel 11 Rataan berbagai karakter kuantitiatif pada populasi varian Klon SGNPV2.11, 642 dan 377 berumur 12 minggu setelah tanam (12 MST). Karakter kuantitatif 0 tanaman Gy Klon SGN-PV2.11 Jumlah daun 2.2 Jumlah akar 1.8 Panjang Daun (cm) 1.6 Lebar Daun (cm) 0.9 Klon 642 Jumlah daun 2.4 Jumlah akar 2.2 Panjang Daun (cm) 1.7 Lebar Daun (cm) 0.9 Klon 377 Jumlah daun 3.5 Jumlah akar 1.4 Panjang Daun (cm) 2.3 Lebar Daun (cm) 0.7 Keterangan : (-) tidak dilakukan.
2.5 Gy
5 Gy
10 Gy
15 Gy
20 Gy
2.2 2.0 1.7 1.2
3.2 2.4 2.8 1.4
-
-
-
-
-
-
5.5 3.8 2.9 1.1
-
-
-
-
-
4.2 1.9 2.4 0.7
Varian-varian yang berbeda morfologi terlihat banyak terjadi pada kalus yang mendapat dosis iradiasi antara 2,5 Gy dan 5 Gy. Pada 5 Gy ini juga didapatkan paling banyak tipe fenotip varian abnormal yaitu terdapat 5 macam keabnormalan daun seperti ujung daun terbelah, roset, tepi daun warna merah, daun atau seluruh tanaman berwarna terbelah, roset, tepi daun warna merah, daun atau seluruh tanaman berwarna merah serta lembaran daun yang seharusnya melebar, hal ini tidak terjadi tetapi menggulung sehingga menyerupai terompet (Gambar 11). Data juga menunjukkan bahwa klon 642 paling sedikit abnormalitasnya. Hal ini menunjukkan bahwa klon ini cukup kuat karakternya sehingga dengan dosis yang lebih tinggi, abnormalitas yang ditemui hanya sedikit. Demikian juga pada klon 377 dari 380 plantlet hanya 21 plantlet yang mengalami abnormalitas.
59
Tabel 12 Tipe dan persentase keragaman karakter kualitatif diantara populasi varian klon SGN-PV2.11, 377 dan 642 yang diregenerasikan dari kalus embriogenik setelah diberi perlakuan iradiasi sinar gamma 12 MST Jumlah dan persentase varian diantara populasi plantlet yang diregenerasikan dari kalus dengan berbagai dosis iradiasi 20Gy 0 Gy 2.5Gy 5Gy 10Gy 15Gy (102) * (216) (980) (45) (32) Klon SGN-PV2.11 Tepi daun bergerigi 0 0 9(0.9) 0 0 Ujung daun terbelah 1(0.9) ** 5(2.3) 4(0.4) 0 0 Daun roset 7(6.8) 12(5.6) 8(0.8) 0 0 Daun warna merah 0 14(6.5) 22(2.2) 0 0 Daun terompet 0 5(2.3) 3(0.3) 0 0 Klon 377 (56) (380) 0 0 Tepi daun bergerigi Ujung daun terbelah 0 8(2.1) 0 10(2.6) Daun roset 0 0 Daun warna merah Daun terompet 0 0 Klon 642 (155) (89) Tepi daun bergerigi 0 0 Ujung daun terbelah 0 0 Daun roset 0 2(2.2) Daun warna merah 0 0 Daun terompet 0 0 Keterangan : (b) * : angka yang b=jumlah planlet yang dievaluasi. p(q) ** : angka yang yang ditunjukkan oleh p = jumlah plantlet dengan fenotip varian dan q = persentase plantlet varian. (-) penelitian tidak dilakukan. Klon Phalaenopsis dan karakter varian
Gambar 11 Fenotip varian yang dihasilkan dari iradiasi sinar gamma (a) plantlet dengan duduk daun roset, (b) daun plantlet merah, (c) daun terompet, (d) daun bergerigi, (e) daun terbelah. Plantlet berumur 4 bulan.
60
Untuk menunjukkan variabilitas somaklonal dapat dievaluasi secara morfologi (Podwyszynski 2005), sitologi, biokimia dan molekuler (Zhao et al. 2005). Peroksidase merupakan isoenzym yang dapat ditemui di setiap fase tanaman (Kiarostami & Ebrahimzadeh. 2004), oleh karena itu peroksidase sering digunakan untuk mendeteksi varian dengan melihat variasi pita yang dapat dimunculkan pada gel isoenzim. Pada penelitian ini diuji analisis isoenzim dengan dua macam enzim antara lain peroksidase (PER), dan Aspartat aminotransferase (AAT).
Keterangan : 1.tetua betina Phal, 2. tetua jantan Vanda, 3. SGN-PV2.11/89E/5G/5.1 daun berombak,4.SGN-PV2.11/10E/5G/3.7 merah, 5.SGN-PV2.11/37E/2.5G/5.3 merah, 6. SGN-PV2.11/51E/2.5G/2.6 roset. 7.SGN-PV2.11/36B/2.5G/4.1 merah, 8.SGN-PV2.11/35D/2.5G/3.3 merah bercabang, 9. SGNPV2.11/55E/2.5G/4.3 coklat muda, 10. SGN-PV2.11/38E/5G/6.5 daun terbelah, 11-14 SGN-PV2.11/BC8/0G, 15. tetua betina 642, 16. tetua jantan 642, 17-20 . klon 642 /14F/15G/1-5 normal, 21-24 klon 377/23F/20G/21-5, 25. tetua betina 377, 26. tetua jantan 377. Gambar 12 Pita isoenzim peroksidase (PER) pada 26 sampel varian iradiasi sinar gamma dan tetua klon.
Terlihat pada gambar 12, analisis beberapa wakil varian yang terdiri dari 26 sampel klon varian hasil iradiasi sinar gamma SGN-PV2.11. Dari kelima jenis isoenzim yang dianalisis yaitu malat dehidrogenase (MDH), esterase (EST), aspartat aminotransferase (AAT), superoxid dismutase (SOD) dan peroksidase (PER), diketahui hanya ada 1 jenis enzim yang memberikan bentuk pita yang dapat dibaca yaitu peroksidase (PER). Pola pita isoenzim pada peroksidase tampak cukup jelas baik pada sampel plantlet varian maupun sampel tanaman tetuanya. Pita terjelas terlihat pada sampel - sampel varian klon 642 dan 377, sedangkan pada varian SGNPV2.11 no 10 dan 11 saja yang memiliki pita cukup jelas. Muncul atau tidaknya pita isoenzim pada varian-varian hasil iradiasi sinar gamma menyatakan bahwa iradiasi sinar gamma dapat menyebabkan terjadinya mutan. KESIMPULAN
61
Berdasarkan hasil pengujian dapat diambil kesimpulan : 1. Radiosensitivitas
kalus
ketiga
klon
berbeda.
Klon
377
memiliki
radiosensitivitas paling rendah diantara ketiga klon dengan LD50 sebesar 22 Gy. Klon 642 memiliki radiosensitivitas tertinggi dengan LD50 sebesar 15.3 Gy, sedangkan klon SGN-PV2.11 menunjukkan radiosensitivitas diantaranya yaitu 16.2 Gy. 2. Kemampuan deferensiasi dan regenerasi kalus Phalaenopsis meningkat dengan perlakuan iradiasi dosis rendah yaitu 2.5 – 5 Gy. 3. Dosis iradiasi 2.5 Gy dan 5 Gy merupakan dosis yang menyebabkan terjadinya varian hasil mutasi terbanyak berdasarkan karakter morfologi. 4. Beberapa abnormalitas fenotip daun muncul pada varian-varian yang dihasilkan dari ketiga klon antara lain daun yang ujungnya terbelah, daun roset, daun tidak beraturan, daun terompet, daun berwarna merah. 5. Isoenzim peroksidase (PER) dapat digunakan untuk membedakan adanya varian dari hasil iradiasi. DAFTAR PUSTAKA Ahloowalia BS, Maluszynski M. 2001. Induced mutations- a new paradigm in plant breeding. Euphytica 119: 167-173. Ashraf M, Cheema AA, Rhasid M, Qamar Z. 2003. Effects of gamma rays on M1 generation in Basmati Rice. Pak J Bot 35 (5): 791-795. Ashraf M. 2009. Biotechnolocal approach of improving plant salt tolerance using antioxidant as marker. Bioechnol Adv 27: 84-93. Borzonei A, Kafi M, Khazei H, Naseriyan B, Majdabedi A. 2010. Effects radiaton oo germination and physiological aspects of wheat (Triticum aestivum L). Pak J Bot 92(4): 2281-2290. Çağirgan MI. 2009. Chlorophyl mutation-like chimeric cases induced by fast neutrons in M1 generation of a durum wheat. Turkish J Field Crops 14 (2): 159-161. Datta SK, Mesra P, Mandal AKA. 2005. In vitro mutagenesis-a quick method for establishment of solid mutant in Chrysantmemum. Current Sci 88 (1); 155158. Encheva J, Tsvetkova F, Ivanova P. 2003. A comparison between somaclonal variation and induced mutagenesis in tissue culture of sunflower line Z-8-A (Helianthus annuus L). Helia 26 (38): 91-98. Gossal SS, Das S, Gopal J, Minocha JL, Chopra HR, Dhaliwal HS. 2001. In vitro induction of variability through radiation for late blight resistance and heat tolerance in potato. Di dalam. IAEA. In vitro techniques for selection of
62
radiation induced mutations adapted to adverse environmental conditions. Austria. Hussien G, Harun AR, Shamsudin S. 2008. Study on mutagenesis of signals grass (Brachiaria decumbens) by gamma irradiation. http://www-.google.w.id/search?q=radiosensits/+plant&hl=id&stored=60850=N Kiarostami KH, Ebrahimzadeh. 2004. Study on changes of proteins, enzymes and chromosome number in regenerated plants of wheat (Triticum aestivum L.). J Sci. Islamic Rep Iran. http://sciences.ut.,ac.,ir/archive/Autumn2000/kiarostami_1142.pdf. Mei 2008. Khamla CS, Anguravirutt S, Samuppito, Lamseejan S. 2007. Effect of gamma rays on in vitro cultures of fancy leaved Caladium (Caladium bicolor Vent). http://www.scicoc.or.th/stt/32/sec_f/paper/stt32_FF0059 Kim JH, Baek MH, Chung BY, WiSG, Kim JS. 2004. Alteration in the photosinthesis pigments and antioxidant machineries of red pepper (Capsicum annum L) seedlings from gamma irradiated seeds. J Plant Biotechnol 47 : 314-321. Kovacs E, Keresztes. 2002. Effects of gamma and UV-B?C radiation on plant cell. Micron 39: 199-210. Kurniati, R. 2004. Induksi keragaman genetik Phalaenopsis Hinamatsuri x Doritaenopsis modern Beauty dan Phalaenopsis Taipei Gold’ GS’ Dengan menggunakan Iriradiasi sinar gamma. Sekolah Pasca Sarjana . IPB hal. 30-31. Melki M, Salami D. 2008. Studies the effect of low dose of gamma rays on the behavior of Chickpea under various conditions. Pak J Biol Sci 11(19): 23262330. Miyazaki et al. 2006. Flower pigment mutations induced by heavy ion beam irradiation in an interspecific hybrid of torenia. Plant Biotech 23 : 163-167 Piluek C, Lamseejan S. 2005. Orchid improvement through mutation induction by gamma rays. http://www.fnca.jp/english/eold/2 totuzenheni/3/2002ws/04/06thailand/main.html. 1/7/2005. Podwyszynska M. 2005. Somaclonal variation in micropropagated Tulips based on phenotype observation. J Fruit Ornamental Plant Res 13: 109-122. Predieri S. 2001. Mutation induction and tissue culture in improving fruits. Plant Cell Tissue Organ Cult 64: 185-210. Reyes-Borja et al. 2007. Alteration of resistance to black sigatoka (Mycosphaerella fijiensis Morelet) in banana by in vitro irradiation using carbon ion-beam. Plant Biotech 24: 349-353. Samad MA, Begun S, Majid MA. 2001 Somaclonal variation and irradiation in sugarcane calli for selection against red rot, water-logged condition and delayed or non-flowering character. Di dalam. IAEA. In vitro techniques for selection of radiation induced mutations adapted to adverse environmental conditions. Austria. Seneviratne KACN, Wijesundara DSA. 2007. First African violets (Saintpaulia ionantha H. Wendl) with changing colour pattern induced by mutation. Am J Plant Physiol 2 (3): 233-236. Sheela VL, Sarada S, Anita S. 2006. Development of protocorm-like bodies and shoot Dendrobium cv Sonia following gamma radiation. J Tropical Agric 44(1): 86-87. Shirong Z, Luxiang L, Wang J. 2008. Induced Mutations for improvement of fruit Trees and Ornamental Plants China http://www.fnca.next.go.jp/englishhold/2totuzeni/3/20ciws/04/01china/main_html.10/8/2008.
63
Soeranto, H. 2005. Pemuliaan Tanaman dengan Teknik Mutasi. Puslitbang Teknologi Isotop dan Radiasi. Badan Tenaga Nuklir Nasional. 20 hal. Viccini LF, de Carvalho CR. 2002. Meiotic chromosomal variation resulting from irradiation of pollen in maize. J Appl Genet 43 (4): 463-469. Witjaksono, Litz RE. 2004. Effect of gamma irradiation on embryogenic avocado cultures and somatic embryo development. Plant Cell Tissue Organ Cult 77 : 139-147. Zhao Y, Grout BWW, Crisp P. 2005. Variation in morphology and disease susceptibility of micropropagated rhubarb (Rheum rhaponticum) PC49, compared to conventional plants. Plant Cell Tissue Organ Cult 82: 357-361.
INDUKSI VARIAN SOMAKLON DARI KALUS PHALAENOPSIS MENGGUNAKAN EMS
64
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan (1) mengetahui konsentrasi EMS yang tepat untuk menginduksi variasi somaklonal dari klon Phalaenopsis SGN-PV2.11, 377 dan 642, (2) meregenerasikan populasi plantlet dari kalus (3) mengevaluasi keragaman fenotipe di antara plantlet yang diregenerasikan tersebut. Toksisitas EMS diukur berdasarkan daya hambatnya terhadap proliferasi kalus dan regenerasi tanamannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi 0.28-0.35% dengan perendaman 19.4-38.7 menit merupakan LC50. Konsentrasi 0.3% dengan perendaman 30 menit mampu menghasilkan tunas paling banyak pada klon SGN-PV2.11 sebesar 12.6 tunas per kelompok kalus. Pembentukan tunas pada klon 642 dan 377 terturut-turut 5.9 dan 4.4 tunas per kelompok kalus. Perlakuan dengan EMS mampu meningkatkan keragaman genetik, terbukti dengan adanya beberapa fenotip yang terbentuk berdasarkan karakter morfologi jumlah kromosom maupun jumlah kloroplas. Keragaman somaklonal yang terjadi paling banyak 4 macam morfologi pada SGNPV2.11 dan 642 yaitu selain tanaman normal, ciri morfologi yang lain adalah kerdil, duduk daun tidak beraturan dan ujung daun terbelah. Berdasarkan jumlah kromosom dan atau kloroplas, tanaman normal berjumlah kromosom berkisar antara 38 -76, tanaman kerdil berjumlah kromosom dan atau klororoplas 30 - 37, tanaman dengan daun berduduk daun taidak beraturan berjumlah kromosomdan atau kloroplas 38 - 44, dan tanaman dengan daun ujung terbelah berjumlah kromosom dan atau kloroplas berkisar antara 38 - 47. Kata kunci : variasi somaklonal, EMS, in vitro, Phalaenopsis
SOMACLONAL VARIATION OF PHALAEOPSIS CALLUS USING EMS
65
ABSTRACT The objectives of this study were (1) to determinate suitable concentration of EMS to induce somaclonal variation, (2) to regenerate population of plantlet derived from callus of Phalaenopsis clones of SGN-PV2, 377 and 642, (3) to evaluate fenotypic variance among regenerated plantlets. The toxicity of EMS was measured based on its inhibition effects on callus proliferation and plant regeneration. The result indicated that the concentration of EMS 0.28 – 0.35% with immersed for 19.4-38.7 minute capable to caused 50% of callus were not developed. The concentration of EMS 0.3% with 30 minute immersed were formed 12.6 plantlets of SGN-PV2.11, 5.9 and 4.4 plantlets formed from clone 377 and 642 respectively.Treatment by EMS could have improved the genetic variation, proved by existence of some fenotip formed pursuant to morphology character of number chromosome and also number of chloroplast. Four kinds of abnormal morphology were founded from SGN-PV2.11 and 642 ie: cretin, roset leaf and leaf with tip apart. Based on number of chromosome and chloroplast, normal plant ranged from 38-76, the cretinous plant chromosome number around 30-37, plant with roset leaf has 38-44 chromosome and plant with channel shape leaf possessed 38-47 chromosome. Key words: somaclonal variation, EMS, in vitro, Phalaenopsis
PENDAHULUAN Hasil pengembangan pemuliaan konvensional Phalaenopsis di dalam negeri hingga saat ini masih sangat terbatas. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih banyak beredarnya Phalaenopsis-Phalaenopsis yang berasal dari luar negeri (Suryana 2005). Agar Phalaenopsis dalam negeri mampu bersaing dengan Phalaenopsis impor saat ini, diperlukan suatu upaya tepat untuk mendapatkan kultivar ataupun varietas Phalaenopsis baru dalam waktu yang tidak lama. Salah satu upaya tersebut dapat ditempuh melalui peningkatan keragaman genetik dengan cara induksi keragaman somaklonal. Pada tanaman Phalaenopsis yang perbanyakannya dilakukan secara vegetatif, tidak memiliki
keragaman genetik karena hasil perbanyakan tanaman ini sama
dengan induknya. Keragaman genetik tanaman dapat ditingkatkan melalui proses mutagenesis buatan. Peranan mutagenesis dalam menginduksi sifat yang diinginkan dalam plasma nutfah alami telah banyak diketahui (Svetleva & Crino 2005). Penggunaan mutagen kimia dinilai lebih efektif untuk menimbulkan mutasi daripada
mutagen lain. Di antara sekian banyak mutagen kimia, beberapa di
antaranya merupakan mutagen yang cukup bermanfaat dan handal antara lain
66
etilmetansulfonat (EMS), dietilsulfat (DES), etilenimin (EI), N-nitro-N-etil urea (NEU) (Konstantinov & Driníc 2007). EMS, selain mudah didapatkan, EMS bersifat non karsinogenik karena setelah dihidrolisis tidak bersifat mutagenik dan terbukti merupakan mutagen yang efektif (Nassar et al. 2009). Sifat EMS yang demikian, menyebabkan EMS banyak digunakan untuk menginduksi mutasi secara somaklonal. Mutagen kimia dapat diintroduksi ke dalam jaringan tanaman dan bahkan sel sehingga dapat menyebabkan jumlah mutasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan cara lain tetapi hasil yang memuaskan bergantung pada konsentrasi bahan kimia, lama masa perlakuan, suhu, pH larutan mutagenik dan kadar air bahan yang diberi perlakuan (Nasir 2002). Penggunaan EMS telah banyak digunakan pada berbagai tanaman, selain pada tanaman pangan seperti kacang-kacangan (Svetleva & Crino 2005), tanaman ubijalar toleran kadar garam tinggi (Luan et al. 2007), tanaman padi (Till et al. 2007), juga tanaman hias krisan (Rodrigo et al. 2004) Efek morfologi dan fisiologi dari ploidi bervariasi sekali pada berbagai material (Soniya et al. 2001). Akan tetapi, pada umumnya kekurangan atau penambahan kromosom khusus menghasilkan ketidakseimbangan dalam genotipe yang menyebabkan bermacam-macam aneuploid yang berbeda secara morfologis dari diploid atau euploid (Yuffa et al. 2000; Rego & deFaria 2001; Minnot & Warren 2001), namun fenotip aneuploid biasanya kurang kuat dibanding dengan tetuanya. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi efektvitas EMS untuk meningkatkan keragaman somaklonal plantlet Phalaenopsis yang diregenerasikan dari kalus. Secara khusus penelitian ini bertujuan (1) mengetahui konsentrasi EMS yang tepat untuk menginduksi variasi somaklonal klon Phalaenopsis SGN-PV2.11, 377 dan 642, (2) meregenerasikan populasi plantlets dari kalus, (3) mengevaluasi keragaman fenotipe di antara plantlet. BAHAN DAN METODE Penyiapan kalus Kalus klon SGN-PV2.11, 642 dan 377 hasil inisiasi diperbanyak dengan cara disubkultur pada media proliferasi kalus yaitu 1/2 MS yang diberi tambahan zat pengatur tumbuh 0,2 mg.l-1 thidiazuron dan 0,5 mg.l-1 2,4-D, dipindahkan pada media 1/2 MS tanpa zat pengatur tumbuh selama 1 minggu untuk mengurangi pengaruh
67
ZPT pada kalus. Tahap ini membutuhkan beberapa subkultur untuk mencapai jumlah kalus yang memadai untuk perlakuan. Daya hambat EMS terhadap proliferasi kalus dan regenerasi tanaman Kalus masing-masing klon yang telah diperoleh, sebagian diberi perlakuan peredaman EMS selama 30, 60 90, 120 menit dengan konsentrasi masing-masing 0,3% dan 0,6%. Kalus yang telah direndam tersebut, diinkubasikan di ruang terang dengan suhu 25 °C hingga diperoleh tunas varian. EMS dilarutkan dalam buffer fosfat dengan cara mencampurkan 39 ml 0,2M KH2PO4 dan 61 ml K2HPO4 yang dilarutkan dengan 4% DMSO dalam 100 ml akuades, pH 7. Kalus yang telah direndam dicuci dan dikulturkan kembali pada media regenerasi 1/2 MS yang ditambahkan 0,4 mg.l-1 BAP dan 0,2 mg.l-1 2,4-D. Pengamatan dilakukan pada persentase kalus yang mampu hidup untuk menentukan
LC50 pada 6 MST.
Selanjutnya salah satu konsentrasi yang ditemukan menyebabkan 50% eksplan mati, dijadikan acuan untuk menentukan kembali konsentrasi dan perendamannya. Konsentrasi yang digunakan untuk memperbanyak mutan adalah E0, E1-E5 berturutturut sebesar 0; 0.2; 0.25; 0.3; 0.35; 0.4% dengan lama perendaman yang sama yaitu 30 menit. Pengamatan dilakukan pada 16 MST pada eksplan beregenerasi, jumlah plantlet yang dihasilkan. Daya hambat perlakuan EMS
diamati
berdasarkan
penurunan persentase pembentukan plantlet. Evaluasi keragaman varian EMS Ploidi kromosom planlet varian hasil mutasi induksi dianalisis dengan cara sederhana yaitu dengan merendam ujung akar muda yang sebelumnya telah dikupas tudung akarnya yaitu beberapa lapis sel bagian paling ujung, dengan larutan maserasi HCl 1N dan dipanaskan selama 2 menit pada suhu 60 °C. Irisan ujung akar tesebut diurendam dengan 2 % aceto-orcein selama 20 menit. Ujung akar tersebut dikeringkan dan di letakkan di atas gelas preparat dan ditetesi kembali dengan acetoorcein dan ditutup dengan gelas penutup selanjutnya ditekan atau di squase. Kromosom dihitung di bawah mikroskop. HASIL DAN PEMBAHASAN Penghambatan Pada Induksi Somaklonal Variasi Menggunakan EMS
68
Pengaruh konsentrasi EMS pada kalus dapat diketahui dari tabel 13, yang menunjukkan bahwa persentase kalus yang hidup dan kemampuan kalus beregenerasi semakin menurun dengan semakin tinggi konsentrasi dan semakin lama perendaman kalus di dalam larutan EMS. Tabel 13 LC50 pada klon SGN-PV2.11, 642 dan 377 berdasarkan persentase konsentrasi EMS dan waktu yang digunakan untuk perendaman. Pengamatan dilakukan pada 6 MST, data diolah dengan persamaan Quadratic Fit. Klon
LC50
Konsentrasi EMS (%) Waktu Perendaman (menit) SGN‐PV2.11 0.28 38.70 642 0.35 22.50 377 0.32 19.40 Keterangan: LC (konsentrasi yang menyebabkan lethalitas eksplan). Persentase kalus yang hidup menentukan LC50, yang apabila dihitung menggunakan CurveExpert 1.3 pada persamaan Quadratic Fit, LC50 dapat diketahui pada klon SGN-PV2.11 adalah pada konsentrasi EMS sebesar 0.28% dengan perendaman selama 38.7 menit. LC50 klon 642
adalah konsentrasi 0.35%
perendaman selama 22.5 menit sedangkan klon 377 mencapai LC50 pada konsentrasi 0.32% perendaman selama 19.4 menit (Tabel 12). Secara umum dapat dikatakan bahwa konsentrasi LC50 berkisar antara 0.28-0.34% dengan perendaman 19.4 – 38.7 menit. Berdasarkan LC50 tersebut, untuk mendapatkan varian dibuat perlakuan dengan lama perendaman EMS selama 30 menit dengan konsentrasi 0; 0.2; 0.25; 0.3; 0.35 dan 0.4% yang diaplikasikan pada ketiga klon di atas. Kalus yang telah berumur 4 bulan tanpa diberi perlakuan (EMS 0%) mendeferensiasikan tunas sebesar 22 per eksplan kalus, sedangkan kalus embriogenik Phalaenopsis 642 dengan perlakuan standar (EMS 0%) menghasilkan 14.5 tunas per eksplan dan 15 tunas pada klon 377. Hal ini menunjukkan penghambatan pembentukan tunas, dan ini terjadi pada ketiga klon yang ditandai dengan penurunan persentase jumlah eksplan yang bertunas, dengan semakin tinggi konsentrasi EMS dan semakin lama perendamannya (Tabel 14). Penghambatan dibuktikan juga dalam penelitian mutasi tanaman pisang (Roux 2007) dan kedelai (Pavadai et al. 2004). Tabel 14 Pengaruh konsentrasi dan waktu perendaman mutagen EMS pada kalus klon SGN-PV2.11, 377 dan 642 terhadap persentase eksplan hidup yang diamati selama 6 MST, jumlah tunas per eksplan dan penurunan jumlah total tunas yang diamati selama 16 MST
69
Klon dan Perlakuan EMS
Eksplan hidup Jumlah tunas per Penurunan Jumlah (%) eksplan tunas per eksplan (%) Klon SGN-PV2.11 0 95.0 22.5** 00.0 0,3% 30 menit 57.5 12.6 * 66.0 0,3% 60 menit 45.0 9.0 81.0 0,3% 90 menit 22.5 3.5 96.0 0,3% 120 menit 00.0 0.0 100.0 0,6% 30 menit 35.0 4.9 92.0 0,6% 60 menit 57.5 5.6 89.0 0,6% 90 menit 20.0 6.0 94.0 0,6% 120 menit 12.0 5.3 97.0 Klon 642 0 80.0 14.5* 0.0 0,3% 30 menit 76.3 5.9 61.0 0,3% 60 menit 16.3 5.1 92.0 0,3% 90 menit 30.0 4.1 89.0 0,3% 120 menit 37.0 5.3 83.0 0,6% 30 menit 0.0 5.1 93.0 0,6% 60 menit 0.0 0.0 100.0 0,6% 90 menit 0.0 0.0 100.0 0,6% 120 menit 0.0 0.0 100.0 Klon 377 0 85.0 15.0* 00.0 0,3% 30 menit 92.5 4.4 68.0 0,3% 60 menit 13.8 5.0 94.0 0,3% 90 menit 30.0 4.1 90.0 0,3% 120 menit 43.0 4.1 86.0 0,6% 30 menit 2.5 1.8 99.0 0,6% 60 menit 0.0 0.0 100.0 0,6% 90 menit 0.0 0.0 100.0. 0,6% 120 menit 0.0 0.0 100.0 Keterangan : Penurunan jumlah total tunas dihitung dengan rumus : [(x0*y0-x1*y1)/ (x0*y0)]*100% ; dimana x0 dan y0 berturutan adalah persentase eksplan bertunas dan jumlah tunas per eksplan pada perlakuan standar (larutan EMS 0%), sedangkan x1 dan y1 adalah persentase eksplan bertunas dan jumlah tunas per eksplan pada masing-masing perlakuan EMS. Pada perlakuan 0.3% selama 30 hingga 120 menit, klon SGN-PV2.11 menghasilkan persentase kemampuan bertunas semakin kecil. Pada klon 642 tidak mampu bertahan dalam konsentrasi EMS 0.6%. Kalus langsung mati dalam waktu 24 MST sehingga tidak didapatkan tunas atau persentasenya menjadi 0%. Konsentrasi 0.3% pada perendaman 30 menit merupakan konsentrasi terendah yang hanya mampu menyebabkan 57.5% eksplan klon SGN-PV2.11 yang hidup. Eksplan klon 642 hidup sebesar 76.3%, sedang eksplan klon 377 hidup sebanyak 92.5%. Persentase kematian meningkat sangat tinggi pada konsentrasi yang lebih tinggi dan lama perendaman
70
yang lebih lama. Konsentrasi 0.3% menyebabkan kematian eksplan kalus mencapai 88% pada SGN-PV2.11, 100% pada klon 642 dan klon 377 pada lama perendaman 60-90 menit. Pengaruh EMS terhadap kalus tersebut menandakan bahwa EMS secara mudah terabsorbsi oleh kalus. Penyerapan EMS oleh kalus dibantu dengan adanya DMSO yang diaplikasikan sebagai pelarut EMS. DMSO berperan penting dalam membantu peningkatan absorbsi dan penetrasi ke dalam jaringan (Khalatkar 1976).
Evaluasi keragaman fenotip varian Konsentrasi EMS yang digunakan untuk mendapatkan varian yaitu E1 sampai dengan E5 yang merupakan konsentrasi baru untuk mendapatkan varian pada ketiga klon dengan lama perendaman yang sama yaitu 30 menit. Konsentrasi E1 yaitu konsentrasi 0.2% menunjukkan bahwa jumlah tunas yang dihasilkan relatif lebih banyak dibandingkan dengan konsentrasi yang lain yang semakin tinggi. Jumlah tunas yang terbentuk pada konsentrasi tersebut mencapai 108-218 plantlet, dan pada konsentrasi lebih dari 0.2% tunas yang terbentuk umumnya semakin sedikit. Macam fenotip yang terjadi akibat pengaruh EMS terdiri atas 5 karakter abnormal yaitu daun bulat kerdil, ujung daun terbelah, daun tak beraturan, daun warna merah, daun terompet (Gambar 13a-f). Fenotip abnormal terbentuk hingga mencapai 20.9% pada konsentrasi 3.5% dari klon 377 dalam bentuk daun tidak beraturan. Persentase terkecil dari abnormalitas varian terdapat pada klon 642 yang terjadi pada perlakuan EMS E1 atau EMS 0.2% yaitu sebesar 0.9% (Tabel 14). Keragaman fenotip pada genotip SGN-PV2.11 meningkat antara 0.6- 16.5%, pada genotip 642 meningkat sebesar 0.9-6.2%, sedangkan genotip 377 meningkat antara 7.6-20.9%. Perubahan fenotip ke arah abnormal pada ketiga klon berbeda. Pada klon 377 hanya terjadi 2 macam fenotip abnormal, klon 642 terdapat 4 macam fenotip abnormal, sedangkan SGN-PV2.11 terjadi 5 macam fenotip abnormal. Berdasarkan hal tersebut, berarti bahwa SGN-PV2.11 merupakan genotip yang paling mudah terpengaruh oleh perlakuan EMS. Klon 642 merupakan klon yang lebih tahan terhadap EMS karena selain jumlah fenotip yang lebih sedikit juga persentasenya lebih rendah dari pada persentase fenotip abnormal klon yang lain.
71
Tabel 15 Tipe dan persentase keragaman karakter kualitatif abnormal diantara populasi varian klon 377, 642 dan SGN-PV2.11 yang diregenerasikan dari kalus embriogenik setelah diberi perlakuan EMS setelah 16 MST. Klon Phalaenopsis dan karakter varian
Jumlah dan persentase varian diantara populasi plantlet yang diregenerasikan dari kalus dengan berbagai perlakuan EMS
E0 E1 E2 E3 E4 E5 315* 278 115 0 0 109 Klon SGN-PV2.11 Daun bulat, kerdil 0 0 4(3.4) 0 0 6(5.5) 0 3(1.07)) 0 0 0 0 Ujung daun terbelah Daun tak beraturan 0 5(1.7) 5(4.3) 0 0 18(16.5) 0 0 14(12.1) 0 0 7(6.4) Daun warna merah 2(0.6) ** 0 0 0 0 0 Daun terompet 174 108 89 68 32 44 Klon 642 Daun bulat, kerdil 0 3(2.7) 4(4.4) 0 0 0 Ujung daun terbelah 0 1(0.9) 0 0 0 0 Daun tak beraturan 0 6(5.5) 5(5.6) 2(2.9) 2(6.2) 2(4.5) 0 0 0 0 0 0 Daun warna merah Daun terompet 2(1.1) 0 2(2.2) 0 0 0 186 118 117 138 43 85 Klon 377 Daun bulat, kerdil 0 0 0 0 0 0 Ujung daun terbelah 0 9(7.6) 15(12.8) 11(7.9) 0 0 Daun tak beraturan 0 19(16.1) 17(14.5) 12(8.6) 9(20.9) 16(18.8) 0 0 0 0 0 0 Daun warna merah Daun terompet 0 0 0 0 0 0 Keterangan : a* : angka yang ditunjukkan a = total plantlet yang dievaluasi. p(q)** : angka yang ditunjukkan oleh p = jumlah plantlet dengan fenotip varian dan q = persentase plantlet varian. E0 (EMS 0%), E1 (EMS 0.2%), E2 (EMS 0.25%), E3 (EMS 0.3%), E4 (EMS 0.35%), E5 (0.4%).
Varian akibat perlakuan EMS dengan fenotip normal memiliki jumlah kromosom yang bervariasi. Jumlah kromosom plantlet normal Phalaenopsis umumnya adalah 2n=2x=38. Pada varian klon SGN-PV2.11, 642 dan 377 tanpa perlakuan EMS memiliki jumlah kromosom normal, tetapi pada plantlet yang berasal dari kalus yang diberi perlakuan EMS memiliki jumlah kromosom bervariasi. Beberapa contoh tanaman yang dianalisis jumlah kromosomnya terlihat pada gambar 14a-b, klon 377 dan 642
memiliki kromosom berjumlah 56. Perubahan jumlah
kromosom banyak terjadi pada saat kalus mengalami pembelahan mitosis abnormal sehingga berbagai proses terjadi seperti poliploid, aneuploid, kromosom lengket dan sebagainya (Yuffa et al. 2000; Jander et al. 2003; Zhao et al. 2005). Pada tanaman varian berdaun tidak beraturan dan ujung daun terbelah juga memiliki jumlah kromosom antara 38-50, tetapi pada varian kerdil jumlah kromosom
72
bisa lebih rendah dari jumlah kromosom normal yaitu 38. Hal berarti ada kemungkinan terjadi keabnormalan pada saat proses mitosis.
a
b
c
d
e
f
Gambar 13 Fenotip yang terbentuk karena pengaruh mutagen EMS (a) plantlet SGNPV2.11/88E/E1/2.2 dengan ciri normal, (b) plantlet 377/23F/E1/1.7 dengan pertumbuhan daun abnormal, (c) plantlet 642/13F/E2/1.4 dengan pertumbuhan daun abnormal, (d) plantlet SGN-PV2.11/71E/E5/2.2 dengan pertumbuhan duduk daun rapat (e) SGN-PV2.11/.K4/E0/1.1 bentuk terompet, (f) plantlet SGN-PV2.11/54E/E5/3.1 berdaun bulat.
73
a
b
c
Gambar 14 Jumlah kromosom pada tanaman fenotip normal (a) jumlah kromosom 2n=2x=38 pada SGN-PV2.11/41E/E1/3.1, (b) jumlah kromosom 2n=3x=56 pada klon 377/22F/E2/5.4, (c) jumlah kromosom 2n=3x=56 pada 642/13F/E2/4.4. Tabel 16 Jumlah kromosom beberapa mutan normal maupun abnormal pada klon SGN-PV2.11, 642 dan 377 yang terjadi akibat perlakuan EMS Klon Mutan dan Ciri Penampilan Plantlet Klon SGN-PV2.11 SGN-PV2.11/41E//E/3.1, normal SGN-PV2.11/54E/E5/3.1, kerdil SGN-PV2.11/44E/E5/5.1, daun tak beraturan SGN-PV2.11/ 2E/E1/6.3, ujung daun terbelah Klon 642 642/15F/E1/1.6, normal 642/19F/ E5/8.4, daun tak beraturan 642/15F/E2/1.4, kerdil Klon 377 377/22F/E2/2.2, normal 377/23F/E1/1.7, daun tak beraturan 377/23F/E1/2.7, daun terbelah
Kisaran Rata-rata Jumlah Kromosom 38 - 56 30 - 36 36 - 44 37 - 46 38 - 55 38 - 47 32 - 39 38 - 76 38 - 50 38 - 47
KESIMPULAN 1. Mutagen kimia EMS dapat menyebabkan penghambatan pembentukan tunas ketiga klon SGN-PV2.11, 642 dan 377 sebesar 60 - 100% dengan perlakuan
74
konsentrasi 0.3 - 0.6% dan lama perendaman 30, 60, 90,120 menit. 2. LC50 perlakuan perendaman EMS pada kalus Phalaenopsis diketahui sebesar 0.28 - 0.32% dengan perendaman selama 19.4-38.7 menit. 3. Keragaman genetik pada SGN-PV2.11 dapat ditingkatkan sebesar 1.07% 16.5%, pada 642 meningkat sebesar 0.9% - 6.2% dan pada klon 377 meningkat sebesar 7.6 - 20.9%. 4. Keragaman genetik yang timbul berupa ciri morfologi tanaman yang terdiri dari 5 macam yaitu normal, kerdil ujung daun terbelah dan duduk daun tidak beraturan.
DAFTAR PUSTAKA Jander et al. 2003. Ethylmethanesulfonate saturation mutagenesis in Arabidopsis to determine frequency of herbicide resistance. Plant Physiol 131: 139-146. Khalatkar AS. 1976. Influence of DMSO on the mutagenicity of EMS in barley. Bot Gazette 137 (4): 348-350. Luan YS, Juan Z, Rong GX, Jia AL. 2007. Mutation induced by ethylmethanesulphonate (EMS), in vitro screening for salt tolerance and plant regeneration of sweet potato (Ipomoea batatas L). Plant Cell Tissue Organ Cult 88 (1): 77-81 Minnot MJP, Warren JH. 2001. Meiotic and mitotic instability of two EMS-produced centric fragmentt in the haplodiploid wasp Nasonia vitropennis. J Heredity 87 (1) : 8-16 Nassar MN, Cucolo M, Miller SA. 2009. Ethyl methanesulphonate in a parenteral formulation of BMS-214662 mesylate, a selective fernasyltransferase inhibitor: formation and rate of hydrolisis. Pharm Dev Technol 14(6): 672677 Nasir M. 2002. Bioteknologi Molekuler. T eknik rekayasa genetik tanaman. PT.Citra Aditya Bakti. Bandung. hal 59-78 Pavadai P, Dhanavai D. 2004. Effect of EMS, DES and colchicines treatment in soybean. Crop Res-Hisar. Vol 28:118-120. Rego VL, de Faria RT. 2001. Tissue culture in Ornamental plant breeding : Rev Crop Breed Appl Biotech. 1(3) : 283-300. Roux NS. 2007. Banana Improvement. Plant Breeding Unit. FAO/IAEA Agriculture and Biotechnology Improveent. IAEA . Austria. http://localhost/F:/lit%201maret%2007/Bana%20Improvement html. Soniya EV, Banerjee NS, Das MR. 2001. Genetic analysis of somaclonal variation among callus-derived plant of tomato. Current Sci 80 (9): 1213-1215. Svetleva DL, Crino P. 2005. Effect of ethyl methanesulfonate (EMS) and N-nitroseN-ethyl urea (ENU) on callus growth of common bean. J Cent Eur Agric. 6(1): 59-64 Yuffa AM, Da Silva RF, Rios L, de Enrech NX. 2000. Mitotic Aberrations in coffee (Coffea Arabica cv Catimor) leaf explantes and their derived embryogenic callii. EJB Electronic J Biotech 3(2):1-6.
75
Zhao Y, Grout BWW, Crisp P. 2005. Variation in morphology and disease susceptibility of micropropagated rhubarb (Rheum rhaponticum) OC49, compared to conventional plants. Plant Cell Tisues Organ Cult 82: 357-361.
UJI IN VITRO KETAHANAN TERHADAP Erwinia carotovora subsp carotovora PADA VARIAN SOMAKLON PHALAENOPSIS M ENGGUNAKAN SUSPENSI BAKTERI ABSTRAK Teknik pengujian ketahanan tanaman secara in vitro merupakan teknik sederhana yang dapat dikombinasikan dengan teknik induksi keragaman somaklonal. Penelitian ini bertujuan untuk (1) melakukan uji ketahanan varian Phalaenopsis terhadap penyakit busuk lunak yang disebabkan oleh Erwinia carotovota subsp carotovora menggunakan suspensi bakteri, (2) mengevaluasi respon varian tiga klon Phalaenopsis SGN-PV2.11, 377 dan 642 hasil mutasi sinar gamma dan EMS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan suspensi bakteri 107cfu/ml, inokulasi dengan pelukaan mampu menyebabkan infeksi pada daun Phalaenopsis secara in vitro. Tanaman mati pada varian iradiasi sinar gamma berkisar antara 68- 93.75% dan membutuhkan waktu selama 4.7 – 7.4 hari untuk menyebabkan kematian plantlet setelah inokulasi. Pada varian EMS tanaman mati lebih tinggi dibandingkan tanaman mati pada varian iradiasi yaitu berkisar antara 77.5- 100% dengan lama waktu kematian plantlet selama 3.7 – 6.6 hari. Skor kebusukan daun (SKD) pada varian iradiasi sinar gamma 6.6 -7.8 dan pada varian EMS 4.4-9. Dengan SKD tersebut mengindikasikan bahwa intensitas penyakit pada plantlet varian memiliki fenotipe yang dapat dikategorikan sangat rentan. Kata kunci : Uji in vitro, Erwinia carotovora subsp carovora, varian somaklon.
76
IN VITRO TESTING OF RESISTANCE PHALAENOPSIS VARIANT SOMACLONE AGAINST Erwinia carotovora subsp carotovora USING BACTERIUM SUSPENSION ABSTRACT In vitro testing technique crop is a technique to establishe disease resistant cultivare combined with somaclonal variation technique. The objectives of This research were (1) conducted resistance testing of Phalaenopsis variant for soft rot disease caused by Erwinia carotovota subsp carotovora using bacterium suspense (2) evaluated respon variant three clone of Phalaenopsis SGN-PV2.11, 377 and 642 result of gamma ray and EMS mutation. Research indicate that bacterium suspense 107cfu/ml, inoculation with wounding leaf could caused the infection of leaf Phalaenopsis by in vitro condition. Persentage gamma ray radiation variant unsurvive were around 6893.75% and required 4.66 – 7.37 day to cause whole plant infected. Whole plant infection on EMS variant higher than gamma ray radiation variant, its around 77.5100% required 3.7 – 6.7 days. Score of leaf rot (SKD) of gamma ray radiation variant were around 6.6 – 7.8 and EMS variant were 4.4-9. The score of leaf rot indicated that disease intensity of plantlet variant have the fenotipe able to be categorized was very susceptible. Keywords : in vitro testing, Erwinia carotovora subsp carovora, varian Somaclone PENDAHULUAN Secara alami setiap
tanaman berpeluang mendapat serangan hama dan
penyakit, tak terkecuali anggrek. Tidak kurang dari 130 jenis penyakit dapat terjadi pada genera anggrek, baik disebabkan oleh patogen bakteri, cendawan atau virus dan nematode (Simon & Barnet 1995). Penyakit anggrek ini umumnya dapat menyerang dan
merusak semua bagaian tanaman. Data mengenai ketahanan
Phalaenopsis terhadap hama dan penyakit terutama terhadap penyakit busuk lunak yang disebabkan oleh Erwinia carotovora subsp. carotovora belum pernah diketahui secara pasti (Syahril et al. 2006).
77
Untuk mencegah serangan penyakit tersebut, umumnya para pelaku usaha tani Phalaenopsis menggandalkan penyemprotan bakterisida yang diaplikasikan secara intensif. Tindakan tersebut selain membutuhkan biaya yang mahal, juga akan menyebabkan penurunan kualitas secara keseluruhan. Sisa-sisa dari penyemprotan bakterisida akan menempel pada permukaan daun maupun bunga, sehingga penampilan bunga menjadi kurang menarik. Alternatif pengendalian yang efektif, murah, efisien, ramah lingkungan serta tidak mengganggu penampilan tanaman sangat dibutuhkan dalam hal ini.. Pengendalian penyakit dengan menanam varietas yang tahan merupakan cara yang efektif, efisien dan aman bagi lingkungan (Snijder et al. 2004). Strategi perakitan berbagai tanaman tahan dapat dilakukan melalui pembentukan keragaman somaklonal yang dikombinasikan dengan metode seleksi in vitro (Mohamed et al. 2000; Bajji et al. 2004). Beberapa pendapat menyatakan bahwa keragaman somaklonal dapat diinduksi (Hutami et al. 2006), untuk mendapatkan ketahanan suatu tanaman terhadap penyakit tertentu (Švábová & Lebeda 2005). Pengujian pada varian somaklon terhadap suatu penyakit dapat dilakukan secara in vitro karena metode ini memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan pengujian di lapangan. Pengujian ketahanan tanaman melalui cara inokulasi di lapangan telah banyak dilakukan, tetapi metode ini sering mengalami desease escape. Di samping itu lahan yang digunakan untuk pengujian tersebut dapat menjadi sumber penyakit baru. Metode lain yang relatif aman diaplikasikan adalah metode pengujian in vitro ini lebih efisien dan efektif karena selain dapat mengurangi terjadinya escape, hasil pengujian dapat diulang di rumah kaca, patogen yang digunakan tetap terbatas di laboratorium dan umumnya memberikan hasil yang relatif tidak berbeda dengan inokulasi di lapangan (Samanhudi 2000). Beberapa keberhasilan pengujian secara in vitro untuk tujuan mendapatkan kultivar baru antara lain pada tanaman barley tahan suhu ekstrim rendah (Tantau et al. 2004), gandum tahan kekeringan (Bajji et al. 2004), strawberi toleran kadar garam tinggi (Dziadczyk et al. 2003). Al-Safadi & Arabi (2003) telah mendapatkan mutan yang tahan terhadap penyakit layu pada kentang. Švábová & Lebeda. (2005) telah menelusuri bahwa sejak tahun 1980-2003 diketahui bahwa tidak kurang dari 80 penelitian memanfaatkan metode pengujian in vitro. Metode
tersebut umumnya
dilakukan pada kalus, protoplas, suspensi sel, maupun klon dan lebih dari 60% dilakukan untuk mendapatkan tanaman yang tahan terhadap Fusarium seperti
78
tanaman anyelir (Thakur et al. 2002), kacang kapri (Singh et al. 2003), pisang (Hoss et al. 2000). Dari sebagian besar penelitian tersebut, penelitian untuk ketahanan terhadap Erwinia carotovora sangat jarang ditemukan pada tanaman anggrek khususnya Phalaenopsis. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengevaluasi efektifitas metode pengujian in vitro pada varian somaklonal menggunakan suspensi bakteri, (2) mengevaluasi respon varian somaklonal terhadap infeksi Erwinia carotovora subsp carotovora. BAHAN DAN METODE Bahan Tanaman dan Inokulum Materi penelitian menggunakan plantlet varian somaklon dari tiga klon yaitu SGN-PV2.11. (Phal. Taisuco Kochdian/Yukimai x Vanda Fuchdelight x Vanda lombokensis), 377 (Phal. Golden Poeker/Sogolisa x Phal. Viogold), dan 642 ([Phal. Chih Sang’s Stripe/ Alfonso Ibara/Matao Freed] x Phal. amboinensis) x Ever Spring Prince) yang merupakan generasi M1V4 hasil iradiasi sinar gamma perlakuan perendaman larutan EMS. diperoleh dari perlakuan yaitu
dan hasil
Masing – masing varian somaklon yang
dosis iradiasi (0; 2.5; 5; 15; 20 Gy), dan dari
perlakuan perendaman larutan EMS (E0 = 0%, E1 = 0.2%, E2 = 0.25%, E3 = 0.3%, E4 = 0.35%, E5 = 0.4%) digunakan sebanyak 25 varian dengan ulangan 3 kali. Plantlet varian turunan klon SGN-PV2.11 yang diuji seluruhnya berjumlah 75 varian dalam 11 perlakuan sehingga total plantlet yang diuji sebanyak 825 plantlet. Plantlet varian turunan klon 377 yang diuji sebanyak 75 plantlet dalam 8 jenis perlakuan sehingga total adalah 600 plantlet. Sedang plantlet varian turunan klon 642 yang diuji sebanyak 75 dalam 8 perlakuan sehingga total adalah 600 plantlet. Seluruh plantlet diuji berjumlah 2025 plantlet. Bakteri Erwinia carotovora subsp. carotovora yang berasal dari Phalaenopsis terserang dipersiapkan dan disegarkan pada media NA untuk mendapatkan koloni tunggal. Selanjutnya koloni tunggal disegarkan dalam media LB cair selama 24 jam pada ruang bersuhu 28-30 °C. Selanjutnya dibuat larutan bakteri dengan konsentrasi 107 cfu/ ml.dalam media LB cair. Larutan bakteri tersebut siap digunakan untuk inokulasi plantlet di dalam laminar air flow. Uji In Vitro Menggunakan suspensi bakteri Erwinia carotovora subsp. carotovora.
79
Dua puluh lima planlet M1V4 yang dihasilkan dari proses somaklonal variasi dari masing-masing perlakuan, diinokulasi dengan Erwinia carotovora subsp carotovora pada daun plantlet di dalam botol in vitro yaitu dengan cara menusukkan atau melukai daun dengan alat yang telah dicelup bakteri dengan konsentrasi 107 cfu/ ml. Pelukaan dilakukan pada helaian daun pada salah satu daun plantlet yang berada dalam botol kultur. Perlakuan inokulasi dilakukan dengan ulangan 3 kali. Setelah itu diamati gejalanya selama 1-10 hari setelah inokulasi. Pengamatan terhadap tingkat kebusukan daun dilakukan dengan cara memberikan skor. Skoring tersebut ditentukan sebagaimana dilakukan oleh Norman et al. (1997) yaitu skor 0
= daun tidak mengalami kebusukan, skor 1 – daun
mengalami bercak kecil pada luasan 1 % dari daun, skor 3 – daun mengalami kebusukan dengan luasan 2-10%, skor 5- bercak daun agak meluas 11-25% dari luasan daun, skor 7 - bercak meluas 26 – 50 % dari luasan daun, skor 9 bercak melebar > 50 % atau daun rontok (Gambar 15).
Gambar 15 Skoring bercak gejala penyakit busuk lunak pada pengujian in vitro.
Persentase daun bergejala busuk dan skor gejala kebusukan digunakan untuk menghitung intensitas penyakit. Intensitas penyakit (IP) dihitung dengan rumus IP = [Σ(ni x si)/(N x Z)] x 100%; N = jumlah tanaman yang diamati,
Z = nilai skor
tertinggi, si = jumlah daun terserang dengan skor ke-I, ni = nilai skor penyakit dari i = 0, 1, 2 sampai i t-skor tertinggi. Respon plantlet terhadap Erwinia carotovora ditentukan berdasarkan kriteria persentase intensitas serangan sebagai berikut : tahan (T) jika IP antara 0 % - 20 % ; agak tahan (AT) jika IP antara
21 % - 40 %; agak
rentan (AR) jika IP antara 41`% - 60 %; rentan (R) jika IP antara 61 % - 80 % ; sangat rentan (SR) jika IP lebih dari 80 %. Cara menentukan persentase luasan daun adalah dengan menggunakan ukuran pola daun yang dibuat pada plastik transparan sesuai ukuran daun. Pola tersebut dibagi dalam 10 bagian (Gambar 23d) dan digunakan
80
sebagai alat bantu mengukur luasan bercak busuk. Selain pengamatan skor kerusakan daun, ditentukan juga pada hari keberapa plantlet mati. Laju infeksi (r) dihitung menggunakan rumus (Van Der Plank 1963) sbb : 2.3 1 1 r = ( log log ) t2-t1 1 - X2 1 - X1 r = laju infeksi t = waktu pengamatan ( misalnya hari ke 1,...,5) X = skor kebusukan daun Evaluasi Varian Hasil Pengujian In Vitro Evaluasi dilakukan baik selama masih mengalami infeksi Erwinia carotovora subsp. carotovora maupun setelah plantlet bertahan hidup. Evaluasi tersebut meliputi penentuan besarnya respon genotip digunakan analisis data dengan beberapa parameter genetik, berdasarkan metode yang digunakan oleh Singh & Chaudhary (1979) : Tabel 17 Analisis ragam dan peragam Sumber Keragaman Genotipe Galat
db (g-1)
Kuadrat Tengah M2
Nilai Harapan σ e2 + 3 σ g2
( (r-1)(g-1)
M1
σ e2
σ e2 =lingkungan; σ g2 = ragam genetik, σ 2p = ragam fenotipe σ g2 = M2-M1 ,
σ e2 = M1,
σ 2p = σ g2 + σ e2
r Standar deviasi ragam genetik menggunakan rumus : σσ2g = √[2/r][(M2 2g /dbg+2)+(M12/dbe+2)] M2=kuadrat tengah genotipe M1=Kuadrat tengah galat r = ulangan dbg = derajat bebas genotipe dbe = derajat bebas galat Keragaman genetik dapat diduga dari ragam genetik (σ2g) dan standar deviasi ragam genetik (σσ2g). Suatu karakter mempunyai keragaman genetik yang luas jika σ2g >2 σσ2g (Pinaria et al. 1995). Koefisien Keragaman Genotipe (KKG):
81
KKG =
σ g2 X
x 100 %,
dimana X = rata-rata populasi yang diamati. Kriteria KKG menurut Qosim et al (2000), jika 0
(agak
sempit);
21.89
(agak
luas);
32.84
82
d ppetiole secarra in vitro, massa inkubasi selama 2-3 hari, sedanngkan bila digunakan inkuubasi memb butuhkan waaktu selama 2 hari, beerbeda dengan daun Ph halaenopsis yan ng hanya mem mbutuhkan masa m inkubaasi selama 1 hari. (aa)
(b b)
Gam mbar 16 (a) Korelasi an ntara masa innfeksi dengaan laju infekssi (b) korelaasi antara gan intensitaas penyakit busuk b lunak pada varian somaklon masa infeksi deng yang diinokulasi secara in vittro. ntase plantleet mati dan llama waktu yang diperluukan plantleet dari awal Tabbel 18 Persen inokulassi sampai plaantlet mati pada p plantlett yang diinookulasi dengaan Erwinia carotovo ora subsp. ca arotovora seecara in vitroo Perlak kuan Assal Varrian
0G G 2.55G 5G G 15G 20G 0 E0 E1 E2 2 E3 3 E4 4 E5 5
L Lama kemattian plantlet setelah inokkulasi (hari) SG GNSGN377 642 377 642 PV2 2.11 PV2.11 Popu ulasi varian hhasil perlakuuan iradiasi 922.5 76.1 93.6 6.0 bcd 7.4 a 5.0 cd 822.5 6.2 abc 688.0 5.9 bcd 77.3 6.7 ab 89 4.7 d Poppulasi varian hasil perlak kuan EMS 91.33 abc 888.8 abc 93.8 ab 5.0 a-e 4.2 cde 6.1 ab 91.33 abc 900.0 abc 83.3 bc 5.8 abc 6.3 a 6.6 a 86.7 abc 5.5 a-d 6.2 a 5.4 a-e 91.33 abc 95 5.0 ab 100.0 a 3.7 e 4.2 cde 4.0 de 1000.0 a 10 00.0 a 100.0 a 4.4 b-e 5.2 a-e 1000.0 a 10 00.0 a 5.3 a-e 77.5 c 9 98.8 a 84.0 bc 5.0 a-e 6.4 a 5.8 abc Plantlet mati (%)
83
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf α 5%. E0 (EMS 0%), E1 (EMS 0.2%), E2 (EMS 0.25%), E3 (EMS 0.3%), E4 (EMS 0.35%), E5 (0.4%).
Pada populasi varian ketiga klon iradiasi sinar gamma setelah dilakukan pengujian secara in vitro menunjukkan hasil bahwa perlakuan dosis iradiasi tidak mempengaruhi
persentase
plantlet
yang
mati,
sedangkan
perlakuan
EMS
mempengaruhi persentase kematian plantlet. Kisaran persentase plantlet mati pada plantlet varian iradiasi mencapai sebesar 68%-93.8%. Persentase kematian plantlet hasil perlakuan EMS lebih bervariasi pengaruhnya terhadap hasil inokulasi tetapi cukup tinggi, yang berkisar antara 77.5% hingga 100%.
a
b
c
d
Gambar 17 Hasil inokulasi secara in vitro (a) plantlet mengalami hipersensitif respon, (b) tanaman mengalami kebusukan daun dengan skor 9, (c) seluruh plantlet busuk, d) cara memperkirakan luasan kebusukan daun. Di antara varian EMS ketiga klon SGN-PV2.11, 377 dan 642, persentase kematian plantlet dari perlakuan E5 pada SGN-PV2.11 paling rendah. Perbedaan persentase kematian plantlet antara plantlet yang berasal dari perlakuan tanpa EMS dengan plantlet yang dihasilkan dari perlakuan EMS adalah sangat kecil, bahkan dapat diartikan bahwa perlakuan EMS tidak memberikan pengaruh yang sangat nyata
84
mpuan varian n untuk bertahan dari serangan bakteeri Erwinia carotovora c terhhadap kemam subsp. carotovoora. Waktu yang y diperluukan plantleet hingga mengalami m k kematian yaaitu hingga seluuruh plantleet menjadi busuk, mennunjukkan waktu w yang berbeda (T Tabel 18). Perbbedaan terseebut disebab bkan oleh peerbedaan ko onsentrasi E EMS dalam perlakuan, mau upun dosis iradiasi. i Keddua mutagenn menyebabbkan perbeddaan pertahaanan varian terhhadap Erwiniia carotovorra subsp. carrotovora.
Gam mbar 18 Jum mlah plantleet varian daalam kategoori skor 1 ddan 3 hasil perlakuan iradiasi sinar gamm ma (Rad SGN N, Rad 642, Rad 377) dan EMS (E EMS SGN, EMS 64 42, EMS 3777) yang telahh diuji secaraa in vitro. Pada varrian iradiasi,, diantara keetiga klon, kllon 642 tamppak paling reendah daya d berdaasarkan palinng cepatnya kematian plaantlet. Semeentara klon perttahanannya dilihat SGN N-PV2.11 dan d 377 lebiih lama berttahan. Berbeeda dengan varian iradiiasi, varian EM MS lebih berv variasi waktuu yang dibuutuhkan untuuk membusuukkan seluruh h daunnya. Secara keseluruuhan varian klon 642 tampak t lebiih mampu bertahan b dibbandingkan den ngan varian klon k SGN-PV2.11, klonn 377 paling cepat menggalami kemaatian. Lama wakktu yang dibbutuhkan oleeh varian kllon 642 berk kisar antara 4.2 - 6.4 hari, SGNPV2 2.11 berkisarr anrtara 4-66.6 hari dan 377 3 berkisar antara 3.7 - 5.8. Plantlet yang tahann biasanya tidak terjaddi infeksi saama sekali, sedangkan plan ntlet yang aggak tahan ak kan mengalaami hipersennsitif responn dengan ciri di sekitar pelu ukaan menjaadi mengeriing dan inffeksi tidak berkembang b g (Gambar 17a). Pada plan ntlet yang rentan r dan sangat s rentaan, pembusuukan segera terjadi setelah infeksi pad da hari pertam ma kemudiann seluruh daaun membussuk karena teerdegradasi oleh o enzim
85
yang berasal dari patogen (Gambar 17b-c). Dalam keadaan terserang seluruh daun menjadi berwarna coklat basah (Gambar 17c). Tabel 19 Rata-rata skor kerusakan daun (SKD), intensitas penyakit (IP), dan ketahanan beberapa contoh varian Phalaenopsis SGN-PV2.11, klon 377, dan klon 642 hasil uji in vitro Klon Phalaenopsis dan Varian IP SKD Ketahanan Hasil Pengujian (%) Klon SGN-PV2.11 35C/2,5G/4.21 1 11.1 T 63E/2,5G/3.6 3 33.3 AT BC8/0G/2.3 7 77.8 R 98E/5G/3.1 0 00.0 T 109E/5G/2.4 7 77.8 R 82E/5G/2.3 1 11.1 T 94E/5G/1.5 5 55.6 AR E2/45E/3.4 1 11.1 T E5/45E /5/2.3 0 00.0 T Klon 642 15F/0G/2.2 5 55.6 AR 14F/15G/1.6 1 11.1 T 11F/15G/2.7 3 33.3 AT 15F/E2/6.1 7 77.8 R Klon 377 377/21F/0G/1.6 3 33.3 AT 377/22F/20G/3.4 1 11.1 T 377/24F/20G/4.2 3 33.3 AT 377/22F/E1/5.3 3 33.3 AT 377/23F/E2/3.5 1 11.1 T Keterangan : T: tahan, AT:agak tahan, AR: agak rentan dan R: rentan. Hasil pengujian pada berbagai varian ini diperoleh beberapa plantlet yang tahan dan agak tahan dalam kisaran jumlah yang berbeda-beda di setiap perlakuan mutasi (Gambar 18). Jumlah seluruh tanaman
agak tahan dan tahan tersebut
sebanyak 162 (Lampiran 1). Jumlah plantlet tahan terbanyak terdapat pada perlakuan iradiasi sinar gamma dengan dosis 5 Gy yaitu sebanyak 34 plantlet dari SGNPV2.11. Pada klon 642 dengan dosis 15 Gy menghasilkan plantlet potensial sebanyak 14 plantlet, sedangkan klon 377 menghasilkan 12 plantlet potensial pada dosis 20 Gy. Perlakuan iradiasi memberikan kontribusi lebih besar dari pada perlakuan EMS apabila ditinjau dari jumlah plantlet yang tahan hasil dari pengujian terhadap patogen Erwinia carotovora subsp carotovora. Perlakuan iradiasi sinar gamma menghasilkan 104 plantlet tahan sedangkan dari perlakuan EMS terdapat 58 planlet yang berasal dari 3 genotip yaitu SGN-PV2.11, 377 dan 642.
86
Pada perlakuan EMS baik pada konsentrasi 0%; 0.2%; 0.25%; 0.3%; 0.35%; 0.4%, menghasilkan plantlet potensial yang bervariasi. Pada klon SGN-PV2.11 konsentrasi 0.2% menghasilkan plantlet varian potensial terbanyak sebanyak 8, pada klon 642 konsentrasi 0.4% menghasilkan plantlet varian potensial sebanyak 8, sedangkan klon 377 menghasilkan plantlet varian potensial terbanyak dari perlakuan konsentrasi EMS 0.4% yaitu sebanyak 6 varian. Beberapa konsentrasi memunculkan seluruh varian yang tidak tahan terhadap penyakit busuk lunak. Beberapa varian potensial disajikan mewakili dari 162 varian potensial hasil uji (Lampiran 1). Beberapa varian tersebut disajikan dalam Tabel 18. Varian yang tahan memiliki skor kebusukan daun dan intensitas penyakit sebesar 0-1 dengan intensitas penyakit 11.1%, varian agak tahan memiliki skor kebusukan daun 3 dan intensitas penyakit 33.3%. Varian yang tahan biasanya mengalami hipersensitif respon yang dicirikan dengan adanya pengeringan di sekitar pelukaan daun yang diinokulasi patogen. Di antara varian-varian tersebut tidak ditemukan varian yang benar-benar imun. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan iradiasi maupun EMS dalam penelitian ini mampu merubah klon hanya hingga ke taraf tahan yang artinya dapat menyebabkan klon yang sebenarnya sangat rentan menjadi
memiliki
kemampuan dalam ketahanan terhadap penyakit busuk lunak. Evaluasi ketahanan pada Varian terhadap infeksi Erwinia carotovora subsp. carotovora Keragaman suatu klon pada umumnya adalah nol. Seperti halnya keragaman klon, ketahanan pada suatu klon terhadap suatu jenis penyakit pada umumnya adalah sangat sempit atau sangat rendah bahkan dapat dikatakan tidak memiliki keragaman. Tanaman yang diregenerasikan secara vegetatif akan mempunyai konsekuensi diperolehnya karakteristik keturunan yang identik dengan tetuanya artinya tidak memunculkan fenomena segregasi gen sebagai faktor yang bertanggungjawab terhadap peningkatan variabilitas genetik (Rachmadi 1999). Tiga klon yang digunakan pada penelitian ini yaitu SGN-PV2.11, 642 dan 377 memiliki keragaman genetik yang sangat sempit berdasarkan analisis ragam yang dinyatakan dengan koefisien keragaman genetik (KKG) yang rendah berdasarkan kriteria Qosim et al (2000), jika 0
87
yang agak sempit, sedangkan klon 377 dan 642 memiliki keragaman genetik yang sempit. Keragaman genetik klon-klon tersebut di atas sangat selaras dan berkaitan dengan jumlah hasil uji ketahanan terhadap penyakit busuk lunak yang telah disajikan pada Gambar 18. Klon SGN-PV2.11 yang memiliki keragaman genetik agak sempit, diperoleh plantlet yang agak tahan hingga tahan lebih banyak daripada klon 377 dan 642 yang memiliki keragaman genetik lebih sempit (Tabel 20). Berdasarkan keadaan keragaman genetik yang sempit di atas, sifat ketahanan terhadap penyakit pada varian yang dimunculkan sebagai dampak adanya keragaman somaklonal yang disebabkan oleh induksi mutasi adalah sangat sedikitnya jumlah varian yang tahan. Meskipun persentase tanaman yang tahan sangat kecil tetapi hasil keragaman somaklonal masih dapat diandalkan untuk membantu pemuliaan tanaman. Beberapa penelitian melibatkan hasil keragaman somaklonal untuk mendapatkan tanaman tahan penyakit di antaranya adalah tanaman abaka, stevia, pisang dan tanaman hias. Tabel 20 Hasil analisis ragam dan ragam genetik karakter ketahanan penyakit busuk lunak pada setiap genotip klon SGN-PV2.11, 377, 642 dan antara seluruh genotip. Sumber Ragam KKG (%) SGN-PV2.11 42.573 11.2 377 36.529 10.188 642 9.489 5.085 Seluruh genotip 41.455 11.055 Keterangan : KKG (koefisien keragaman genetik).
Kriteria Agak sempit Sempit Sempit Agak sempit
Beberapa varian yang telah diinokulasi patogen Erwinia diuji kandungan peroksidasenya setelah 24 jam. Menurut Agrios (2005) setiap tanaman memiliki cara yang khusus untuk mempertahankan diri dari serangan patogen. Peroksidase adalah protein yang terinduksi yang merupakan komponen mekanisme pertahanan tanaman yang terlibat dalam proses lignifikasi pada dinding sel epidermis (Martin et al. 2003; Almagro et al 2008). Gambar 19 menunjukkan bahwa salah satu contoh varian no 4 yang berasal dari mutasi EMS memiliki kandungan peroksidase yang tinggi dibandingkan dengan yang lain. Varian no 4 (SGN-PV2.11/45E/E5/2.3) ini berdasarkan Tabel 18 memiliki karakter tahan. Beberapa varian lain yaitu 2(SGN-PV2.11/63E/2.5G/3.6), dan 8 (377/22F/0G/3.4), merupakan varian yang memiliki kandungan peroksidase sangat
88
a tahan.. Varian no n 1(SGNrenddah tetapi berdasarkann Tabel 188 bersifat agak PV2 2.11/BC8/0G G/2.3),
3((SGN-PV2.111/109E/5G//2.4)
dann
7(642/115F/E2/6.1)
kan ndungan pero oksidasenyaa lebih tingggi malah memiliki m sifatt rentan dibbandingkan variian no 2, dan d 8, yang memiliki sifat s agak tahan. t Variaan no 9 dann 10 tidak diinnokulasi diteemukan tidaak adanya peroksidase.
Hal ini menimbulkkan dugaan
bahwa pada saaat tanaman Phalaenoppsis terserang patogen penyakit p bu usuk lunak, perooksidase did duga tidak terlibat t dalaam sistim pertahanan p taanaman Pha alaenopsis. Bebberapa tanam man yang tahhan dan agakk tahan mem miliki kandunngan perokssidase yang tingggi, tetapi teerlihat pula adanya kanndungan peroksidase yyang lebih tinggi pada tanaaman agak reentan diband dingkan denggan tanamann yang agak tahan.
mbar 19 Koonsentrasi peeroksidase ppada plantleet varian 24 jam setelah h inokulasi Gam dengaan Erwinia carotovora c s subsp carotoovora,
KES SIMPULAN N 1. Uji in vitro v dapat dilakukan ppada varian somaklonall yang dipeeroleh dari perlakuaan iradiasi siinar gamma dan EMS. 2. Tanamaan mati padaa varian iraddiasi sinar gamma g berkkisar antara 68- 93.8% dan mem mbutuhkan waktu w selam ma 4.7-7.4 hari h untuk m menyebabkann kematian plantlet setelah inokkulasi. 3. Pada varrian EMS taanaman matii lebih tinggi dibandingkkan tanamann mati pada
89
varian iradiasi yaitu berkisar antara 88- 100% dengan lama waktu kematian plantlet selama 3.7 – 6.6 hari. 4. Skor kebusukan daun (SKD) pada varian iradiasi sinar gamma 6.6 -7.8 dan pada varian EMS 4.4-9, SKD tersebut mengindikasikan bahwa intensitas penyakit pada plantlet varian memiliki fenotipe yang dapat dikategorikan sangat rentan. 5. Kandungan peroksidase diduga tidak terlibat sistim pertahanan tanaman Phalaenopsis dalam menghadapi serangan patogen penyebab penyakit busuk lunak. 6. Varian tahan (SKD 1) dan agak tahan (SKD 3) secara in vitro, merupakan varian potensial tahan penyakit busuk lunak. Jumlah keseluruhan sebanyak 162 varian. DAFTAR PUSTAKA Agrios GN. 2005. Plant Phatology. (fifth edition). Elsevier Academic Press. Amsterdam. Boston. London. New York. San Diego. Singapore. Sydney. Tokyo. p. 414-425. Almagro et al 2008. Class III peroxidases in Plant Defence Reactions. J.Exp Bot 16 (5). Al-Safadi B, Arabi MIE. 2003. In vitro induction. isolation. and selection of potato mutant resistant to late blight. J. Genet & Breed 57: 359-364. Bajji M, Bertin P, Lutts S, Kinet JM. 2004. Evaluation of drought resistance-related traits in durum wheat somaclonal lines selected in vitro. Aust J Exp Agric 44: 27-35. Charkowsky AO. 2006. The Soft rot Erwinia. Plant Associated Bacteria. Springer. Netherland. p 423-505. Dziadczyk P Balibok H, Tyrka M. Hortyński JA. 2003. In vitro selection of strawberry (Fragaria x ananassa Duch) clones toleranct to salt stress. Euphytica 132 : 49-55. Hutami S, Mariska I, Supriati Y. 2006. Peningkatan keragaman genetic tanaman melalui keragaman somaklonal. J. Agrobiogen 2 (2) : 81-88. Hoss R, Helbig J, Bochow H. 2000. Function of host and fungal metabolites in resistant response of banana and plantain in the black sigatoka disease pathosystem (Musa spp – Mycosphaerella fijinensis). J. Pythopathol 148: 387-394. Norman DJ, Henny RJ, Yuen JMF. 1997. Disease resistance in twenty in Dieffenbachia cultivars. Hort SCi 32 (4) : 709-710. Martin GB, Bogdanove AJ, Sessa G. 2003. Understanding the functions of plant disease resistance proteins. Ann Rev Plant Biol 54: 23-61. Mohamed MAH, Harris PJC, Handerson J. 2002. In vitro selection and characterization of a drought tolerant clone of Tagetes minuta. Plant Sci 159 : 213-222
90
Pinaria A, Baihaki A, Setiamiharja R, Daradjat AA.1995. Variabilitas genetic dan heritabilitas karakter-karakter biomassa 53 genotipe kedelai. Zuriat 6 (2) : 8892. Qosim WA, Kurniawan A, Marwoto B. 2000. Stabilitas parameter genetik mutanmutan krisan generasi MV3. Laporan Hasil Penelitian Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran. Jatinangor. Rachmadi M. 1999. Diktat Kuliah Pemuliaan Tanaman Membiak Vegetatif. Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. 116pp. Samanhudi. 2001. Identifikasi ketahanan klon kentang hasil fusi protoplas BF15 dengan Solanum stenotomum terhadap penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum). Thesis Pascasarjana IPB, Bogor. 88 hal. Simone, G. W and H.C. Bernett. 1995. Diseases caused by bacteria and fungi. In : Orchid Pests and Disease, p. 50-73. Sinaga MS. 2002. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Penebar Swadaya. Jakarta. h. 134. Singh RK, Chaudhary BD. 1979. BiometricalMethods in Quantitative Genetics Analysis. Kalyani Publ. New Delhi. 304 p. Snijder RC, Cho HR, Hendriks MMWB, Lindhout P, van Tuyl JM. 2004. Genetic variation in Zantedechia spp (Araceae) for resistance to soft rot caused by Erwinia carotovora subsp. carotovora. Euphytica 135 : 119-128. Syahril et al. 2006. Transgenic Phalaenopsis plants with resistance to Erwinia carotovora produced by introducing wasabi defensin gene using Agrobacterium methods. Plant Biotech 88: 191-194. Svabova L, Lebeda A. 2005. In vitro selection for improved Plant resistance to toksin-producing pathogen. J. Phytopathology 153: 52-64. Singh R, Sindhu A, Singal HR, Singh R. 2003. Biochemical basis of resistance in chickpea (Cicer arietinum L) against Fusarium wilt. Acta Phytopathol Entomol Hungaria 38: 13-19. Thakur M, Sharma DR, Sharma SK. 2002. In vitro selection and regeneration of carnation (Dianthus caryophyllus L) plants resistant to culture filtrate Fusarium oxysporum f. sp. Dianthi. Plant Cell Rep 20: 825-828. Tantau H, Balko C, Brettschneider B, Melz G, DÖrffling K. 2004. Improved frost tolerance and winter survival in winter barley (Hordeum vulgare L) by in vitro selection of proline overaccumulating lines. Euphytica 139: 19-32. Yap MN, Barak JD, Charkowski AO. 2004. Genomic diversity of Erwinia carotovora subsp carotovora and its correlation with virulence. Appl Environ Microbiol. 70 : 3013-3023.
91
PENGUJIAN DI LAPANGAN KETAHANAN VARIAN SOMAKLON PHALAENOPSIS POTENSIAL TERHADAP PENYAKIT BUSUK LUNAK ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan (1) mengkonfirmasi di lapangan respon populasi varian Phalaenopsis yang tahan terhadap Erwinia carotovora subsp. carotovora secara uji in vitro (2) mengevaluasi ketahanan varian terhadap Erwinia carotovora subsp. carotovora hasil pengujian di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sejumlah varian yang telah berhasil dalam uji ketahanan terhadap Erwinia carotovora subsp. carotovora secara in vitro berkurang pada uji di lapangan. Persentase menurun hingga mencapai 12.5- 22.9% baik varian yang berasal dari mutasi iradiasi maupun EMS. Masa inkubasi terjadi 24 jam pertama setelah inokulasi patogen. Jumlah stomata adaxial atau abaxial dan ketebalan daun tidak berkorelasi dengan skor kerusakan daun. Kandungan peroksidase diketahui lebih tinggi pada varian yang agak tahan bukan varian yang paling tahan. Pada tanaman yang tahan memunculkan pita esterase atau peroksidase lebih banyak dari pada tanaman yang lebih rentan. Adapun kandungan asam salisilat ternyata tidak berkorelasi dengan ketahanan Phalaenopsis terhadap Erwinia carotovora subsp. carotovora. Kata kunci : Ketahanan, penyakit busuk lunak, uji di lapangan
92
FIELD TESTING OF PHALAENOPSIS VARIANT RESISTANCE AGAINST SOFT ROT DISEASE ABSTRACT The objectives of this research is (1) testing field response of variant population direved calli gamma ray radiated and EMS treatmented resistant to Erwinia carotovora subsp carotovora through in vitro testing, (2) evaluating qualitative characters of potential variants based on effect of stomata number, leaf thickness, isoenzyme peroxidase and esterase also activity unit enzyme of peroxidase and salycilic acid contain. Result of research indicate that some of variants which have succeeded on in vitro testing to Erwinia carotovora subsp carotovora have decreased. Percentage of the decrease till reached 12.5- 22.9% from radiated and EMS treated. Incubation period was took place 24 first hour after patogen inokulated. Number of stomata adaxial or abaxial and tleaf thickness also salisilic acid contain was not correlated with the score of leaf damage. The contain of peroxidase has been known higher at moderate than resistant. Resistance plants showed bands esterase or peroxidase more than band on more susceptible plants. Keyword : Resistance, soft rot, field testing PENDAHULUAN Penyakit busuk lunak (soft rot) yang menyerang Phalaenopsis merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh Erwinia carotovora subsp. carotovora. Patogen ini
memasuki tanaman secara alami melalui stomata dan lentisel atau
melalui pelukaan yang disebabkan oleh insekta, herbivora, angin, hujan dan sebagainya (Agrios 2005). Di dalam tanaman, populasi bakteri memperbanyak diri dan mensekresikan berbagai enzim ekstraseluler yang dapat mendegradasi dinding sel tanaman dan substansi pektik dari lamella tengah yang dapat menyebabkan maserasi jaringan (Toth et al. 2003). Erwinia carotovora subsp. carotovora
lebih sering
dijumpai pada lingkungan beriklim hangat. Pengaruh suhu lebih dari 33 ºC menyebabkan bakteri ini tidak mampu tumbuh. Pengaruh suhu ini pula akan mempengaruhi produksi protein virulensi bakteri termasuk produksi pectatelyase, pectinlyase, polygalacturonase, dan sebagainya tergantung strain (Yap et al. 2005; Hasegawa et al. 2005). Menurut Amusa and Odunbaku (2007), secara umum penyakit akibat serangan bakteri sangat sulit dikendalikan dan sering terjadi tiba-tiba dan umumnya
93
menyebabkan penurunan hasil. Tindakan tepat pengendalian kimia secara praktis dan efektif terhadap busuk lunak relatif belum ada. Salah satu metode untuk mengendalikan penyakit yang efektif, efisien dan aman bagi lingkungan tersebut adalah dengan menggunakan kultivar yang tahan (Sobiczewski 2008). Strategi perakitan tanaman tahan penyakit merupakan strategi yang ekonomis bagi sejumlah tanaman (Triphati & Triphati 2009) dan diharapkan akan ekonomis pula pada tanaman Phalaenopsis. Sejumlah kendala dijumpai dalam perakitan Phalaenopsis tahan penyakit busuk lunak karena studi penyakit busuk lunak yang disebabkan oleh Erwinia carotovora pada Phalaenopsis sangat terbatas dilaporkan, terutama mengenai hal-hal yang menyangkut mekanisme pertahanan tanaman Phalaenopsis terhadap penyakit tersebut di lapangan. Studi perakitan kultivar tahan banyak dilakukan menggunakan varian somaklon. Menurut Rossa (2009), varian hasil keragaman somaklonal merupakan salah satu sumber yang dapat digunakan untuk memperoleh karakter tertentu yang dikaitkan dengan sifat ketahanan terhadap suatu cekaman tertentu. Di Indonesia teknik ini telah dimanfaatkan pada tanaman panili dan telah didapatkan tanaman tahan penyakit layu bakteri (Lestari et al. 2006), tanaman pisang ambon tahan fusarium (Husni et al. 2005), tanaman nilam tahan penyakit layu bakteri (Nasrun & Nuryani 2007). Teknik pengujian untuk mendapatkan tanaman tahan penyakit ini sebagian juga dilakukan dalam evaluasi di lapangan dengan cara menginokulasikan langsung pada tanaman. Dewi et al. (2007) mengevaluasi ketahanan tanaman padi haploid ganda yang akan digunakan sebagai tetua pembentukan padi tahan hawar daun bakteri dengan metode pengguntingan. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengevaluasi respon di lapangan pada populasi varian Phalaenopsis yang berasal dari kalus yang diberi perlakuan iradiasi sinar gamma dan EMS yang telah tahan terhadap Erwinia carotovora subsp. carotovora melalui uji secara in vitro, (2) mengevaluasi karakter kualitatif varian potensial terhadap Erwinia carotovora subsp. carotovora pada pengujian di lapangan berdasarkan pada tebal daun, isoenzim, kandungan peroksidase dan asam salisilat. BAHAN DAN METODA Bahan Tanaman Varian potensial tahan sebanyak 162 dari klon SGN-PV2.11 silangan intergenerik Phal. Taisuco Kochdian/Yukimai x Vanda Fuch delight
x Vanda
94
lombokensis, klon 377 (Phal. Golden Poeker/Sogolisa x Phal. Viogold), dan 642 ([Phal. Chih Sang’s Stripe/ Alfonso Ibara/Matao Freed] x Phal. Amboinensis) x Ever Spring Prince) yang telah diuji ketahanan secara in vitro (Lampiran 1). Pengujian Varian terhadap Erwinia carotovora subsp. carotovora di Lapangan Varian potensial klon SGN-PV2.11, 377 dan 642 digunakan sebagai materi yang diinokulasi dengan Erwinia carotovora subsp. carotovora di lapangan. Inokulan Erwinia carotovora subsp. carotovora berkonsentrasi 108 cfu/ml. Pada tanaman varian, daun dilukai dengan jarum yang telah dicelup inokulan, kemudian luka ditutup dengan kapas basah dan diselotip agar kapas tetap menempel (Gambar 22c). Setelah diinokulasi, inkubasi dilakukan pada ruang ruang tertutup plastik (Gambar 22a). Pengamatan dilakukan selama 4 hari berturut-turut pada luas kebusukan yang ditimbulkan Erwinia carotovora subsp. carotovora pada daun, untuk menentukan skor gejala kerusakan daun. Peubah yang diamati meliputi masa inkubasi, diameter/lebar serangan dan persentase tanaman anggrek yang terserang Erwinia. Intensitas serangan penyakit busuk lunak dihitung dengan rumus yang dikemukakan oleh Norman et al. (1997) : I=
∑ (nxv) ZxN
dimana : I = intensitas serangan; N = jumlah daun total ; n = jumlah daun terserang pada tiap nilai skala; n = nilai skala untuk tiap daun ; Z = nilai skala tertinggi. Penentuan nilai skala dilakukan sebagai berikut : nilai 0 = tanpa gejala; 1 = bercak kecil pada luasan 1 % dari daun; 3 = bercak 2 – 10 % dari luasan daun; 5 = bercak agak meluas 11 – 25 % dari luasan daun; 7 =bercak meluas 26 – 50 % dari luasan daun ; dan 9 = bercak melebar > 50 % atau daun rontok. Selanjutnya berdasarkan intensitas serangan tersebut, tingkat ketahanan Phalaenopsis terhadap penyakit busuk lunak ditentukan berdasarkan kriteria sebagai berikut : intensitas serangan 0 = imun, 0 % < x ≤ 20 % = resisten, 21 % < x ≤ 40 % = agak resisten, 41 < x ≤ 60 % = agak rentan, 61 % < x ≤ 80 % = rentan dan 81 % < x = sangat rentan. Laju infeksi (r) dihitung menggunakan rumus (Van der Plank1963) sbb : 2.3 1 1 r = ( log log ) t2-t1 1 - X2 1 - X1
95
r = laju infeksi t = waktu pengamatan ( misalnya hari ke 1,...,5) X = skor kebusukan daun Pengujian karakter varian potensial Evaluasi karakter kualitatif ditentukan berdasarkan hasil analisis isoenzim, kandungan peroksidase yang dilakukan di laboratorium bioproses PAU, IPB dan analisis kandungan asam salisilat yang dilakukan oleh laboratorium Balai Besar Pascapanen Bogor. Analisis isoenzim menggunakan elektrophoresis gel starch. Analisis isoenzim dilakukan dahulu dengan mengidentifikasi enzim-enzim spesifik yang dapat terdeteksi pada varian somaklonal. Kemudian setelah diketahui beberapa enzim spesifik tanaman tersebut, varian tahan dideteksi menggunakan enzim spesifik tersebut, untuk mencirikan mutan yang diperoleh. Beberapa tahapan yang harus dilakukan adalah pembuatan larutan buffer pengekstrak yang dilakukan dengan mencampur larutan 10 mM L-ascorbat 0.07 g, 40mM L-sistein 0.1939 g, Triton X-100 0.12 ml,
PVP-40 sebanyak 0.25 g dan 0,1M Na2HPO4.2H20 dan
ditambahkan akuades sampai 100 ml pada pH 7.0. Pembuatan larutan buffer gel yang terdiri dari 5 mM L-Histidin monohidrat 1,04 g yang dilarutkan dalam akuades sampai volume 100 ml dengan pH 6.0. Pembuatan larutan buffer elektroda, 50 mM asam sitrat monohidrat 10.55 gram dan 150 mM tris hidroksimetil aminometan 18.16 g dilarutkan dalam akuades sampai dengan pH 6.0. Selanjutnya pembuatan gel pati, pati dicampur dengan sepertiga bagian buffer gel dan dua pertiga bagian lagi dimasak lebih dahulu hingga mendidih. Setelah matang diangkat lalu dicampurkan dengan campuran pati, kemudian dimasak lagi hingga kelihatan bening. Selanjutnya divakum hingga gelembung udara dalam gel habis. Gel secepatnya dituang pada cetakan yang sebelumnya telah diolesi parafin cair dan lubang pada kaki cetakan ditutup dengan perekat. Setelah gel dingin, ditutup dengan plastik yang telah diolesi dengan parafin. Gel bisa disimpan pada suhu 5-10 °C. Pelaksanaan analisis isoenzim dilakukan pada daun segar dari sampel yang digunakan sebanyak 100-200 mg, dihaluskan dengan terlebih dahulu memberikan buffer ekstrak sebanyak 0,5 ml, lalu digerus hingga halus. Cairan daun gerusan diserap dengan kertas saring yang telah dipotong secukupnya, selanjutnya kertas yang telah menyerap sel daun tersebut disisipkan pada gel yang telah dilubangi. Cetakan yang telah disisipkan kertas saring yang berisi
96
contoh cairan daun dimasukkan dalam kotak plastik yang berisi buffer elektroda. Kaki cetakan harus terendam dalam buffer elektroda lalu diletakkan dalam ruangan es pada suhu 5-10 °C. Selanjutnya dialiri listrik 100 Volt 30 menit dan dilanjutkan 3-4 jam pada 150 Volt. Untuk mengontrol karak migrasi molekul, disalah satu sisinya diberi penanda Bromofenol blue. Setelah selesai pengaliran listrik, gel dibelah menjadi dua atau tiga (sesuai ketebalannya) pada posisi horisontal di atas alat pemotong. Sebelumnya kertas saring dikeluarkan dari lubang-lubangnya. Lembaran gel dimasukkan ke dalam nampan kemudian diberi pewarna yang masing-masing telah disiapkan. Setelah itu kotak plastik ditutup dengan aluminium foil
dan
diinkubasi pada suhu ruang sampai muncul pita-pita pada gel. Perendaman ini dilakukan 1-2 jam tergantung jenis enzim. Gel dicuci dengan air mengalir sampai bersih, kemudian potongan gel yang telah terlihat pita-pitanya dapat difiksasi dengan 50% etansol yaitu etanol : akuades : asam asetat : gliserol = 5:4:2:1. Pengamatan segera dilakukan setelah pencucian dan hasilnya dapat diabadikan dengan kamera. Analisis kandungan peroksidase dan asam salisilat Beberapa tanaman varian hasil uji in vitro yang telah diinokulasi di lapangan, 24 jam setelah diinokulasi diambil sebagian daunnya untuk dianalisis kandungan peroksidase dan asam salisilatnya. Analisis kandungan peroksidase dilakukan di Laboratorium Bioproses PAU IPB Bogor, sedangkan kandungan asam salisilat dilakukan di Laboratorium Balai Besar Pasca Panen Bogor. Sampel yang digunakan adalah sampel tunggal karena tanaman yang digunakan merupakan hasil akhir yang telah terseleksi di lapangan. HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Varian Somaklon Potensial terhadap Erwinia carotvora subsp. carotovora di Lapangan Gejala awal penyakit busuk lunak yang muncul pertama kali pada uji penyakit di lapangan adalah berupa bercak basah pada permukaan daun yang diinokulasi (Gambar 19d), kemudian berkembang secara cepat ke seluruh daun. Peristiwa tersebut merupakan dampak degradasi dinding sel maristematik dan parenkim yang terdiri dari dinding sel primer dan lamella tengah (Agrios 2005). Dinding sel dan lamela tengah terbuat dari senyawa-senyawa yang memiliki berat molekul tinggi dan kompleks, sehingga patogen harus memecah menjadi unit yang lebih sederhana agar
97
dapat diabsorbsi. Proses terjadinya kontak patogen dengan permukaan daun hingga terjadi penetrasi patogen memasuki jaringan serta degradasi dinding sel dan lamella tengah hingga tampak gejala pembusukan merupakan masa inkubasi penyakit (Sinaga 2002).
Gambar 20 Uji di lapangan dengan Erwinia carotovora subsp. carotovora pada varian tanaman tahan hasil uji in vitro : (a) dalam kumbung plastik, (b) dan (c) inokulasi ditutup dengan kapas basah dan selotip, (d) kebusukan yang terjadi setelah inokulasi 24 jam, (e) tanaman yang tetap sehat setelah inokulasi SKD 1, (f) tanaman busuk dengan SKD 9. Pada penelitian ini, proses munculnya gejala penyakit busuk lunak di lapangan pada varian Phalaenopsis potensial tahan terjadi selama 24 jam pertama setelah inokulasi. Masa inkubasi penyakit di lapangan dan di dalam kultur in vitro adalah sama yaitu terjadi selama 24 jam pertama setelah inokulasi dengan patogen. Masa inkubasi penyakit yang disebabkan oleh Erwinia carotovora subsp. carotovora
98
berddasarkan pennelitian Huaang et al. 20004 pada tannaman tembaakau terjadi selama 24 jam m setelah inokkulasi. Laju infeksi penyyakit di lapaangan juga m menunjukkann pola yang sam ma dengan laaju penyakit di dalam kuultur in vitro pada peneelitian bab sebelumnya (Gaambar 15) yaitu y dengann pola yang menurun dan d sebaliknnya intensitaas penyakit sem makin meninggkat. Gambaar 20a menuunjukkan lajuu infeksi yanng terjadi sellama 4 hari pen ngamatan, deengan intervaal pengamattan satu harii. Proses terjadinya peny yakit busuk lunaak di lapangan sama denngan yang terrjadi di dalam kultur in vvitro. otensial yangg diinfeksi di d lapangan Respon yang terlihaat dari indiviidu varian po ini, ternyata jum mlah tanamaan tahan mennurun. Variaan yang tahan secara in vitro v belum y belum tenttu akan tahann di lapangaan. Varian koontrol dari ketiga klon yaaitu varian yang pernnah diinoku ulasi patogenn secara in vitro, setelaah mengalam mi infeksi di d lapangan ham mpir semua mati. m
r=0.9998
(a)
(b) r=0.9534
Gam mbar 21 (aa) Korelasii antara maasa infeksi dengan d laju infeksi pennyakit (b) koorelasi antaraa masa infeeksi dengann intensitas penyakit bu usuk lunak varian potensiaal pada penggujian di lapaangan.
99
Persentase varian potensial dari hasil mutasi iradiasi dan EMS yang telah diuji secara in vitro yang masih dapat bertahan sekitar 5 – 17.7 % (Tabel 21), tergantung genotipnya. Genotip klon SGN-PV2.11 lebih tahan dari pada genotip klon 377 dan klon 642. Varian potensial tahan dari klon SGN-PV2.11 hasil inokulasi in vitro hanya bertahan sebanyak 17.7 % berasal dari mutasi dengan iradiasi sinar gamma, genotip 642 tertinggi 16.6% berasal dari mutasi iradiasi sinar gamma dan 377 tertinggi 13.3% berasal dari mutasi EMS. Berdasarkan jumlah tanaman yang tahan, SGN-PV2.11 diperoleh tanaman yang tahan lebih banyak dibandingkan dengan genotip 642 dan 377. Ketahanan plantlet di dalam kultur in vitro berbeda dengan ketahanan tanaman di lapangan. Hal ini mungkin disebabkan karena di dalam kultur in vitro. Plantlet dalam kondisi optimum dengan adanya nutrisi yang lengkap dan terus menerus tersedia, lingkungan yang sesuai dan terkontrol. Kondisi di lapangan sebaliknya, nutrisi tidak terus menerus ada dan lingkungan dapat berubah setiap saat termasuk adanya serangan patogen lain yang tiba-tiba (Amusa & Odunbaku 2007). Tabel 21 Respon tanaman varian dan silangan yang telah diuji secara in vitro terhadap infeksi Erwinia carotovora subsp. carotovora di lapangan KLon Kontrol SGN-PV2.11 642 377 Populasi iradiasi SGN-PV2.11 642 377 Populasi EMS SGN-PV2.11 642 377
Jumlah bibit hasil uji In vitro Diinokulasi % Hidup
Fenotip Tahan
Fenotip Agak Tahan
13 8 14
7.69 0.00 0.00
0 0 0
1 0 0
62 18 16
17.74 16.60 12.50
4 1 1
7 2 1
19 20 15
5.26 5.00 13.3
1 1 0
2 2 2
Evaluasi Karakter Kualitatif Ketahanan Penyakit pada Varian Potensial Semua varian potensial yang diuji di lapangan terhadap Erwinia carotovora subsp. carotovora tidak ada yang memiliki SKD 0 hingga akhir pengamatan. Varian yang memiliki SKD 1 dan 3 biasanya mampu bertahan hidup hingga lebih dari 10 hsi dan mutan ini terpilih menjadi mutan yang tahan terhadap penyakit busuk lunak.
100
Beberapa uji di antaranya, kandungan peroksidase, adanya isoenzim esterase dan peroksidase maupun kandungan asam salisilat dilakukan pada beberapa sampel varian potensial secara acak. Peroksidase dan esterase merupakan isoenzim yang mudah dideteksi dari berbagai tanaman. Keterlibatan komponen protein dan aktivitas peroksidase pada ketahanan penyakit dan sebagai salah satu enzim pertama yang merespon dan melakukan pertahanan cepat melawan patogen (Aboshosha 2008). Hubungan peroksidase dan esterase terhadap induksi makanisme pertahanan adalah dalam keterlibatannya dalam proses lignifikasi (Boszo et al. 2002; Golubenko et al. 2008). Oleh karena itu pengujian peroksidase dan esterase merupakan suatu cara untuk mengetahui apakah ada peranan enzim tersebut di dalam pertahanan Phalaenopsis terhadap serangan Erwinia carotovora subsp .carotovora. Tabel 22 Hubungan antara jumlah pita isoenzim peroksidase, esterase dan unit aktivitas enzim (UAE) peroksidase terkadap skor kebusukan daun (SKD) varian tanaman pada engamatan dilakukan 24 jam setelah diinokulasi dengan Erwinia carotovora subsp carotovora. Kode Klon SGN-PV2.11/10E/2.5G/2.3 SGN-PV2.11/ 45E/E5/2.3 SGN-PV2.11/17D/5G/1.7 SGN-PV2.11/63E/2.5G/3.6 SGN-PV2.11/94E/5G/1.5 SGN-PV2.11/109E/5G/2.4 SGN-PV2.11/38E/2.5G/ 4.9 642/14F/15G/2.9 377/22F/E2/1.5 SGN-PV2.11/98E/5G/2.2
UAE Peroxidase (µl/mg) 0.0000403 0.0000348 0.0000325 0.0000147 0.0000468 0.0000940 0.0000650 0.0000205 0.0000369 0.0000083
Σ Pita Isoenzim Peroksidase
Σ Pita Isoenzim Esterase
SKD
1 1 1 1 1 1 1 3 2 0
1 3 2 0 1 2 2 2 2 2
5 0 3 3 3 3 3 1 3 -
Besarnya konsentrasi peroksidase, pada saat setelah terjadi infeksi patogen, dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel 22. Satu sampel yang diambil secara acak dan diuji, berdasarkan unit aktivitas enzim, sampel no 10 yang tidak diinokulasi dengan patogen, aktivitasnya paling kecil apabila dibandingkan dengan sembilan sampel yang diinokulasi dengan patogen. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas peroksidase meningkat setelah terjadi serangan penyakit, meskipun tidak dapat dibedakan apakah respon tanaman yang paling tahan yang memiliki aktivitas paling tinggi atau rendah. Tanaman yang memiliki SKD 0 atau 1 relatif lebih rendah
101
aktivitasnya dari pada tanaman yang memiliki SKD lebih dari 1. SKD yang lebih dari 1 biasanya berubah setelah diamati 4 hsi menjadi 7 atau 9 (data tidak ditunjukkan) tetapi tanaman yang menunjukkan SKD 1 biasanya lebih mampu bertahan. Berdasarkan hal tersebut diduga bahwa pada tanaman yang lebih tahan memang memiliki gen ketahanan yang mengendalikan sifat tahan tersebut selain melibatkan peroksidase itu sendiri. Akan tetapi tanaman yang agak tahan berusaha memberikan perlawanan yang kuat sehingga meningkat aktivitas peroksidasenya. Aktivitas peroksidase diperkuat dengan isoenzim peroksidase yang disajikan dalam bentuk tabel mengenai jumlah pita yang muncul dalam gel pati elektrophoresis.
Pada tanaman yang tidak diinokulasi tidak memunculkan pita
peroksidase sedangkan tanaman yang diinokulasi memunculkan pita paling sedikit satu pita peroksidase. Jumlah pita esterase lebih banyak dari pada pita peroksidase. Tanaman yang memiliki SKD 0 atau 1 memiliki salah satu jenis pita yang jumlahnya lebih banyak dari pada yang lain. Misalnya sampel no 2 yang memiliki SKD 0, memunculkan pita esterase 3 buah sedangkan sampel no 8 dengan SKD 1 memunculkan pita peroksidase yang berjumlah 3 buah yang merupakan jumlah pita terbanyak. Hal ini diduga bahwa masing-masing tanaman memiliki peroksidase yang berbeda-beda jenisnya. Dalam penelitian ini dapat dikatakan bahwa tanaman yang tahan dapat ditandai dengan adanya jumlah pita peroksidase atau esterase yang lebih banyak dari pada tanaman yang bersifat rentan atau moderat. Aboshosha (2008) dalam penelitiannya menyatakan bahwa tanaman bunga matahari yang tahan terhadap Macrophomia phaseolina memunculkan pita isozim peroksidase berjumlah 4 sedangkan tanaman yang peka memunculkan pita 2 buah dan tanaman yang intermediate memunculkan pita 3-4. Hal yang dapat diambil dalam penelitian tersebut adalah bahwa jumlah pita semakin banyak mengindikasikan bahwa tanaman semakin tahan terhadap penyakit. Analisis lain yang dilakukan untuk mempelajari sifat ketahanan pada Phalaenopsis terhadap penyakit busuk lunak adalah asam salisilat. Tanaman yang diserang oleh patogen, menjalankan mekanisme pertahanan secara aktif
yang
membutuhkan sintesis protein yang diatur melalui jalur signal kompleks dan saling berhubungan, terutama melalui jalur asam salisilat, asam jasmonat atau ethylene yang dihasilkan dalam sintesis protein PR (Almagro et al. 2009).
102
Pada pen nelitian ini, analisis kanndungan asam m salisilat yyang dilakuk kan 24 jam seteelah tanamann diinokulassi menunjukkkan bahwa semua s tanam man yang mengandung m asam m salisilat baik tanam man yang ddiinokulasi maupun yaang tidak diinokulasi. d Konnsentrasi assam salisilatt sembilan tanaman yang diinokuulasi tidak adda korelasi den ngan SKD masing-masin m ng tanaman. Tanaman yang y memiliiki SKD 0 atau a 1 pada sam mpel no 2 dan d 8, mennunjukkan kkonsentrasi asam a salisillat yang lebbih rendah dariipada tanam man yang meemiliki SKD D 3 yaitu sam mpel no 5 dan 9 dan baahkan lebih renddah dari tannaman yang g tidak diinnokulasi yaittu sampel nno 10. Hasiil
analisis
salisilat tersebu ut menunjukk kan bahwa asam a salisilatt diduga tidaak terlibat daalam sistim d menghadapi patthogen perttahanan Phaalaenopsis dalam
peenyakit busuusk lunak,
messkipun banyaak penelitiann menyebutkkan bahwa asam a salisilaat biasanya teerinduksi 6 jam m setelah teerinokulasi dan d ditandaii adanya reaksi r hiperssensitif padaa tanaman. Dalam hal ini bukan b berartii pertahanann tanaman diilakukan olehh asam salissilat sendiri
Konsentrasi asam Salisilat (%/g)
tetaapi asam salisilat mengin nduksi pertahhanan tersebut. (Agrios 22005).
3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
Varrian man setelah 24 jam Gambar 22 Diagram koonsentrasi assam salisilat varian tanam terinnfeksi Erwinnia carotovoora subsp carrotovora. Hasil pengujian p paada akhirnyaa memperoleeh beberapa mutan yangg memiliki kriteeria tahan yaitu y dengaan SKD 1 dan SKD 3 yang seluuruhnya berrjumlah 24 tanaaman. Darii klon SG GN-PV2.11 diperoleh 5 mutan tahan yaaitu SGN-
103
PV2.11/R6/2.5G/1.8 , SGN-PV2.11/98E/5G/3.1, SGN-PV2.11/82E/5G/2.3, SGNPV2.11/99E/5G/6.2 , SGN-PV2.11/45E/E5/2.3. Dari klon 642 diperoleh 2 mutan tahan yaitu 642/15G/14F/2.9, 642/13F/E1/2.4 dan dari klon 377 diperoleh 1 mutan tahan yaitu 377/19F/20G/1.5 (Tabel 23). Tabel 23 Mutan tahan dan agak tahan dari klon SGN-PV2.11, 642 dan 377 hasil validasi dengan uji di lapangan menggunakan patogen Erwinia carotovora subsp. carotovora No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Nama Mutan SGN‐PV2.11/63E/2.5G/3.4 SGN‐PV2.11/R6/2.5G/1.8 SGN‐PV2.11/98E/5G/3.1 SGN‐PV2.11/107E/5G/1.8 SGN‐PV2.11/17D/5G/1.9 SGN‐PV2.11/36C/5G/3.1 SGN‐PV2.11/109E/5G/2.4 SGN‐PV2.11/82E/5G/2.3 SGN‐PV2.11/99E/5G/6.2 SGN‐PV2.11/82/5G/2.3 SGN‐PV2.11/82E/5G/2.3 642/15G/14F/2.9 642/15G/14F/1.9 642/15G/12F/3.4 377/23F/20G/1.8 377/19F/20G/1.5 SGN‐PV2.11/30E/E2/5.5 SGN‐PV2.11/45E/E5/2.3 SGN‐PV2.11/34E/E5/2.6 642/13F/E1/2.4 642/13F/E2/5.4 642/11F//E5/7.6 377/23F/E2/1.9 377/21F/E2/1.4
SKD In Vitro 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 3 1 0 0 0 1 1 3 1 3 3
SKD Akhir 3 1 1 3 3 3 3 1 1 3 3 0 3 3 3 1 3 1 3 1 3 3 3 3
Kategori AT T T AT AT AT AT T T AT AT T AT AT AT T AT T AT T AT AT AT AT
Keterangan : T (tahan), AT (Agak tahan), SKD (Skor Kebusukan Daun). KESIMPULAN 1. Proses pengujian ketahanan tanaman terhadap penyakit busuk lunak yang disebabkan oleh Erwinia carotovora subsp carotovora di lapangan menunjukkan kesamaan dengan pengujian ketahanan secara in vitro. Pola masa inkubasi, laju infeksi dan intensitas penyakit di lapangan terjadi sesuai dengan pola di dalam kultur in vitro.
104
2. Kandungan asam salisilat, peroksidase dan esterase tidak terdapat pada semua tanaman yang tahan. 3. Beberapa mutan diperoleh dari validasi di lapangan antara lain dari klon SGN-PV2.11 sebanyak 14 mutan terdiri atas 5 mutan tahan dan 9 mutan agak tahan, klon 642 sebanyak 6 mutan terdiri atas 2 mutan tahan dan 4 mutan agak tahan, sedang klon 377 sebanyak 4 mutan terdiri atas 1 mutan tahan dan 3 mutan agak tahan. 4. Dari
klon
SGN-PV2.11
diperoleh
5
mutan
tahan
yaitu
SGN-
PV2.11/R6/2.5G/1.8, SGN-PV2.11/98E/5G/3.1, SGN-PV2.11/82E/5G/2.3, SGN-PV2.11/99E/5G/6.2, SGN-PV2.11/45E/E5/2.3. Dari klon 642 diperoleh 2 mutan tahan yaitu 642/15G/14F/2.9, 642/13F/E1/2.4 dan dari klon 377 diperoleh 1 mutan tahan yaitu 377/19F/20G/1.
DAFTAR PUSTAKA Aboshosha SS, Attaalla SI, El-Karomy AE, El-Argawi E. 2008. Protein analysis and peroxidase isoenzymes as molecular markers for resistance and susceptibility of Sun flower to Macrophomia phaseolina. J Agric Biol 10: 28-34. Agrios GN. 2005. Plant Phatology. (fifth edition). Elsevier Academic Press. Amsterdam. Boston. London. New York. San Diego. Singapore. Sydney. Tokyo. p. 414-425. Almagro et al 2009. Class III peroxidases in Plant Defence Reactions. J.Exp Bot 60 (2): 377-390. Amusa NA. Odunbaku OA. 2007. Biological control of bacterial of plants in Nigeria : Prolem and prospects research . J. Agric Biol Sci. 3 (6): 979-982. Bozso Z, Besenyei E, Ott PG, Czelleny A, Klement Z. 2002. Cloning and characterization of peroxidase associated with generalized defence reactions of plants against bacterial patogens. Plant Physiol 46 (3-4): 139-141. Dewi IS, Apriana A, Sisharmini A, Somantri IH. 2007. Evaluasi Ketahanan Tanaman Padi Haploid Ganda Calon Tetua Padi Hibrida terhadap Wereng Batang Coklat dan Hawar Daun Bakteri. J Bul Agron. 35 (1): 15 – 21. Golubenko et al. 2008. Induction of peroxides as a disease resistance response in resistant (Hibiscus trioma) and susceptible (Althen ameriaca) spesies in the family Malvaceae. J Phytoparasitica 35 (4): 401- 413. Hasegawa H, Chatterjee A, Cui Y, Chatterjee AK. 2005. Elevated temperature enhances virulence of Erwinia carotovora subsp carotovora strain EC153 to plants and stimulates production of the quorum sensing signal N-acyl homoserine lactone and extracelluler proteins. Appl Environ Microbiol. 71: 4655-4663. Husni A, Hutami S, Kosmiatin M, Mariska I. 2004. Seleksi in vitro tanaman kedelai untuk meningkatkan sifat toleran kekerangan. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 23 (2) : 93-100.
105
Huang HE, Ger MJ, Yip MK, Chen CY, Pandey AK, Feng TY. 2004. A hypersensitive response was induced by virulent bacteria in transgenic tobacco plants overexpressing a plant ferredoxin-like protein (PFLP). Physiol Mol Plant Pathol 64 : 103–110. Lestari EG, Sukmadjaja D, Mariska I. 2006. Perbaikan ketahanan tanaman panili terhadap p[enyakit layu melalui kultur in vitro. Jurnal Litbang Pertanian 25 (4) : 149-153. Nasrun, Nuryani Y. 2007. Penyakit layu bakteri pada nilam dan strategi pengendaliannya. Jurnal Litbang Pertanian 26 (1) : 9-14. Norman DJ, Henny RJ, Yuen JMF.1997. Disease resistance in twenty in Dieffenbachia cultivars. Hort SCi 32 (4) : 709-710 Rossa Y. 2009. Pemanfaatan variasi somaklonal dan seleksi in vitro dalam perakitan tanaman toleran cekaman abiotik.J Litbang Pertanian 28 (4): 142-148. Sinaga MS. 2002. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Penebar Swadaya. Jakarta. h. 134. Sobiczewski P. 2008. Bacterial diseases of plants : Epidemology. diagnostics & control. Zembirbyrte-Agric 95 (3) : 151-157. Toth IK, Bell KS, Holeva,MC, Birch, PRJ. 2003. Patogen profile. Soft rot erwiniae : from genes to genomes. Mol Plant Pathol 4 (1): 17-30. Triphati L, Triphati JN. 2009. Relative susceptibility of banana cultivars to Xanthomonas campestris cv musaceano. Afr J Biotech 8 (2) : 5343-5350. Van der Plank JE. 1963. Plant Diseases: epidemics and control. Academic Press. New York. London. 349p. Yap MN, Barak JD, Charkowski AO. 2004. Genomic diversity of Erwinia carotovora subsp carotovora and its correlation with virulence. Appl Environ Microbiol. 70 : 3013-3023.
PEMBAHASAN UMUM
106
Di dalam pemuliaan anggrek Phalaenopsis, hingga saat ini, pengembangan masih mengarah pada perbaikan bunga saja. Perbaikan mutu dan kualitas dalam bidang ketahanan terhadap penyakit belum dijadikan tujuan penting, meskipun permintaan pasar terhadap bibit sehat dan bermutu sangat dibutuhkan. Hal ini terbukti dengan minimnya data-data yang mendukung pengembangan Phalaenopsis tahan penyakit. Budidaya Phalaenopsis di Indonesia juga belum mengenal penggunaan bibit berkualitas tinggi dan tahan penyakit hasil pemulia Indonesia sendiri. Kenyataan ini mendorong untuk terus melakukan penelitian mengenai Phalaenopsis tahan penyakit. Strategi penggunaan kultivar tahan penyakit merupakan strategi efisien untuk mendukung biokontrol penyakit (Sobiczewski 2008), mengingat lingkungan Indonesia yang beriklim tropis. Pada pemuliaan konvensional, perbaikan tanaman melalui pembentukan kultivar tahan penyakit dapat terlaksana apabila tersedia sumber genetik dari sifat yang diinginkan. Sifat ketahanan terhadap penyakit busuk lunak pada anggrek belum diketahui secara pasti terdapat pada salah satu jenis anggrek terutama Phalaenopsis. Salah satu penelitian awal mengenai skrining terhadap Erwinia carotovora telah dilakukan oleh salah seorang peneliti tanaman hias, dan diketahui bahwa Phalaenopsis cornu-cervi dan
Phalaenopsis amboinensis memiliki ketahanan
terhadap penyakit busuk lunak (Handayati et al. 2004). Berdasarkan informasi adanya Phalaenopsis yang diduga memiliki ketahanan terhadap penyakit busuk lunak, dikembangkan penelitian menggunakan materi klon yang memiliki keturunan Phalaenopsis spesies yang tahan yaitu Phalaenopsis amboinensis. Metode kombinasi keragaman somaklonal menggunakan mutagen fisik dan kimia serta pengujian terhadap infeksi Erwinia carotovora subsp. carotovora merupakan metode yang efektif, murah dan efisien dilaksanakan. Langkah pertama yang dilakukan adalah inisiasi pembentukan kalus embriogenik 3 buah klon yaitu SGN-PV2.11, 377 dan 642 yang merupakan klon hasil silangan Phalaenopsis komersial, pada media terpilih yaitu MI-3 yang mengandung 1/2 MS yang ditambah 0.5 mg.l-1 2,4-D + 0.5 mg.l-1 BAP + 0.2 mg.l-1 thidiazuron, adalah berbeda beda. Faktor yang menentukan keberhasilan induksi kalus antara lain kandungan nutrisi media tanam, lingkungan, sumber eksplan yang digunakan, umur sumber eksplan dan genotip (Akin-Idowu 2009). Dalam studi ini, faktor yang dilihat adalah faktor nutrisi dan genotip. Nutrisi dalam media yang digunakan terdiri atas unsur makro dan mikro serta vitamin dan zat
107
pengatur tumbuh. Komposisi media tersebut belum mampu mendorong pembentukan kalus 100%. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa hal antara lain komposisi media itu sendiri yang belum tepat, kesalahan teknis pada saat pengirisan eksplan sehingga misalnya menyebabkan eksplan
agak kering, dan sebagainya.
Faktor
penyebab lain adalah genotip. Klon SGN-PV2.11 cenderung lebih mudah diinduksi dan diproliferasikan kalusnya bila dibandingkan dengan klon 642 dan 377. Klon SGN-PV2.11 lebih mudah diinduksi kalusnya karena kemungkinan tetua-tetuanya masih memiliki keturunan Phalaenopsis spesies yang masih memiliki ploidi yang lebih sederhana dari pada klon komersial yang lain. Klon komersial biasanya merupakan hasil beberapa kali silangan, oleh karena itu biasanya bersifat heterozygous dan juga mungkin ploidinya lebih tinggi. Klon merupakan bagian dari suatu tanaman tunggal yang berdeferensiasi secara mitosis sehingga tidak memungkinkan terjadinya perubahan susunan genetik seperti halnya yang terjadi pada proses meiosis. Secara mendasar dalam suatu klon tidak ditemukan variasi, tetapi pengembangan variasi genetik suatu klon dapat diinduksi (Kodym & Afza 2003; Hutami et al. 2006). Pada penelitian ini, dalam hal induksi variasi somaklonal melalui iradiasi, ada beberapa yang dapat dilihat antara lain: radiosensitivitas, perkembangan materi pasca iradiasi, dan persentase keragaman yang ditimbulkan. Ketiga hal tersebut saling berkaitan. Perlakuan iradiasi sinar gamma diketahui menyebabkan radiosensitivitas kalus ketiga klon berbeda. Klon 377 memiliki radiosensitivitas paling rendah dan klon 642 memiliki radiosensitivitas tertinggi, sedang klon SGN-PV2.11 menunjukkan radiosensitivitas di antara kedua klon tersebut di atas. Radiosensitivitas merupakan ukuran sensitivitas materi terhadap iradiasi (Ashraf et al. 2003), seharusnya dapat dihubungkan dengan seberapa besar perubahan materi yang mampu ditimbulkan baik secara morfologi maupun genetik. Klon 377 yang memiliki radiosensitivitas rendah (tidak sensitive terhadap iradiasi), ternyata persentase perubahan morfologi yang ditimbulkan lebih besar daripada klon 642 yang teruji memiliki radiosensitivitas tinggi. Klon SGN-PV2.11 yang memiliki radiosensitivitas yang besarnya di antara klon 642 dan 377, ternyata persentase perubahan yang ditimbulkan lebih banyak. Dari ketiga klon, daya regenerasi SGN-PV2.11 lebih besar dari pada 377 dan 642. Pada klon SGN-PV2.11 ini pula dapat dilihat bahwa dosis iradiasi 2.5 Gy dan 5Gy menyebabkan daya regenerasi lebih tinggi dari pada daya regenerasi pada dosis
108
lebih rendah atau tinggi. Menurut beberapa peneliti, dosis iradiasi rendah umumnya dapat
meningkatkan daya regenerasi kalus menjadi tanaman (Ahloowalia &
Maluszynski 2001; Datta et al. 2005). Berdasarkan data kemampuan regenerasi, dosis iradiasi
yang berada di sekitar LD20 –LD50 merupakan dosis yang dapat
digunakan untuk meningkatkan variasi somaklonal. Mampu. Shirong (2008) dan Hussin et al. (2008) juga berpendapat sama yaitu bahwa dosis dibawah LD50 mampu meningkatkan munculnya varian lebih banyak. Mutagen fisik iradiasi maupun mutagen kimia EMS, memiliki pengaruh yang sama pada penelitian ini. Keduanya dapat memunculkan varian-varian yang berbeda secara morfologi maupun sitologi, meskipun mekanisme mutagenesis keduanya berbeda. Menurut Kodym & Afza (2003),
mutagen fisik iradiasi sinar gamma
bersifat acak, menyebabkan banyak terjadi rekombinasi gen dan mutasi kromosom. Mutagen kimia bersifat lebih spesifik lokasi, banyak terbentuk heterokromatin, banyak fragmen kromosom dan lebih sedikit perubahan struktural. Pada studi ini, varian iradiasi sinar gamma yang berfenotip abnormal terdiri atas daun bergerigi, daun terbelah, roset, merah dan berbentuk terompet, sedang varian EMS terdiri atas tanaman kerdil, daun terbelah ujungnya, duduk daun tak beraturan, warna daun merah dan daun berbentuk terompet. Secara sitologi, perubahan jumlah kromosom muncul dari beberapa varian
hasil mutasi
menggunakan EMS. Jumlah kromosom varian ada yang lebih tinggi dari jumlah kromosom yang normal yaitu 2n=2x=38. Beberapa varian ada yang memiliki kurang atau lebih dari jumlah kromosom normal. Perubahan jumlah kromosom menjadi lebih sedikit akibat mutagen EMS ini dapat dijelaskan dengan adanya proses yang disebabkan oleh alkilasi membentuk N-7 guanin di dalam asam nukleat atau nukleotida (Kim et al. 2004). Jumlah kromosom yang meningkat yang diakibatkan karena mutagen EMS seharusnya tidak terjadi, namun kenyataannya ditemukan pada satu varian. Hal ini dapat diduga bahwa ada kemungkinan proses penggandaan kromosom pada saat pembelahan cepat dan berulang pada proses proliferasi kalus sebelumnya, mengingat materi yang digunakan adalah kalus dan media yang digunakan mengandung zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin. Berdasarkan alasan kemampuan terbentuknya varian, mutagen fisik iradiasi sinar gamma maupun mutagen kimia EMS dapat dijadikan pilihan. Fenotip abnormal yang timbul tidak semua bertahan sejak generasi ke 2, keabnormalan kembali normal pada seleksi diplontik. Pada generasi M1V4 hanya
109
beberapa plantlet yang tetap menjadi plantlet abnormal, di antaranya yang berbentuk kerdil. Hal ini menunjukkan bahwa variasi somaklonal yang ditimbulkan merupakan variasi epigenetik. Variasi epigenetik sangat sering terjadi melalui teknik kultur in vitro (Kaeppler et al. 2000). Ketersediaan metode uji in vitro yang efektif dan mudah dilakukan merupakan langkah awal yang diperlukan bagi pemuliaan tanaman Phalaenopsis tahan penyakit. Metode uji yang dikembangkan harus mempertimbangkan aspek teknis pelaksaannya, yaitu mudah dilakukan, tetapi dapat menduga dengan akurat ketahanan tanaman yang diuji. Metode pelukaan dan penetesan suspensi bakteri merupakan metode yang sederhana dan mudah dilaksanakan secara in vitro. Inokulum sebanyak 10µl mampu menyebabkan infeksi pada plantlet. Metode ini juga harus didukung dengan lingkungan yang sesuai dengan lingkungan tumbuh bakteri yaitu pada suhu 28-30 °C (Charkowski 2006). Secara umum, pengujian ketahanan varian somaklon yang dilakukan pada penelitian ini, suspensi bakteri dengan kerapatan sel 107cfu.-ml yang digunakan dapat menginfeksi plantlet-plantlet yang diinokulasi secara in vitro. Gejala awal infeksi erwinia pada daun plantlet mulai terjadi diketahui pada pengamatan 24 jam pertama setelah inokulasi. Intensitas penyakit meningkat selama 10 hari pengamatan. Laju infeksi penyakit busuk lunak ini sangat tinggi pada hari pertama, skor kebusukan daun mencapai 3-5 tergantung varian dari jenis klon yang digunakan. Masa inkubasi penyakit busuk lunak pada semua varian, baik yang berasal dari mutagenesis dengan iradiasi sinar gamma maupun mutagenesis dengan perlakuan perendaman EMS, adalah sama yaitu selama 24 jam pertama setelah inokulasi. Varian dari mutagenesis dengan EMS lebih banyak dan lebih cepat mati bila dibandingkan dengan varian hasil iradiasi sinar gamma. Keragaman genetik yang dihitung berdasarkan intensitas penyakit, dapat diketahui bahwa klon SGN-PV2.11 merupakan klon yang memiliki keragaman genetik yang agak sempit, sedangkan klon 377 dan 642 memiliki keragaman genetik yang sempit, dengan demikian mutasi meningkatkan keragaman sifat ketahanan terhadap busuk lunak terutama pada SGN-PV2.11 yang seharusnya sempit menjadi agak sempit, sedangkan dua klon lain induksi mutasi tidak begitu berpengaruh pada keragaman sifat ketahanan yang sempit. Pengujian in vitro merupakan metode untuk mengefisienkan pengujian tanaman di lapangan sehingga hanya tanaman-tanaman yang telah terseleksi yang
110
menjadi materi pengujian sebenarnya. Pengujian sesungguhnya di lapangan akan menambah keakuratan hasil pengujian in vitro tersebut. Proses pengujian ketahanan tanaman terhadap penyakit busuk lunak yang disebabkan oleh Erwinia carotovora subsp. carotovora di lapangan menunjukkan kesamaan dengan pengujian ketahanan secara in vitro. Reaksi yang terjadi akibat dari inokulasi tersebut seperti proses yang terjadi secara alami pada tanaman. Pola masa inkubasi, laju infeksi dan intensitas penyakit di lapangan terjadi sesuai dengan pola di dalam kultur in vitro. Beberapa varian potensial dapat dikategorikan menjadi mutan Phalaenopsis tahan dan agak tahan terhadap penyakit busuk lunak, yang berjumlah 14 mutan dari klon SGNPV2.11, 6 mutan dari klon 642 dan 4 mutan dari klon 377. Mutan pilihan yang benar-benar dapat diandalkan adalah tanaman yang tidak terserang sama sekali yaitu yang berjumlah 4 mutan dari klon SGN-PV2.11, 2 mutan dari klon642 dan 1 mutan dari klon377. Untuk menerangkan sifat ketahanan tanaman, telah dianalisis beberapa uji yaitu analisis konsentrasi peroksidase dan asam salisilat, serta isoenzim, karena komponenkomponen tersebut biasanya terlibat dalam mekanisme pertahanan tanaman pada fase awal.
Secara alami tanaman akan bereaksi melawan serangan patogen dalam
berbagai cara seperti membentuk hipersensitif cell death, memproduksi fitoalexin dan mengekspresikan protein PR termasuk sejumlah peptide antimikrobia (Kiba et al. 2003). Hasil uji menunjukkan bahwa kandungan asam salisilat, peroksidase dan esterase tidak berkorelasi positif terhadap ketahanan tanaman yang ditunjukkan berdasakan SKD. Hal ini menunjukkan dugaan bahwa ketiganya tidak terlibat dalam sistim pertahanan tanaman Phalaenopis pada saat terserang penyakit busuk lunak. Beberapa kemungkinan yang dapat menjelaskan adalah bahwa bakteri Erwinia carotovora subsp carotovora adalah bakteri nekrotik. Bakteri nekrotik biasanya menginduksi alkaloid asam jasmonate atau ethylene dan bukan asam salisilat, meskipun beberapa penelitian menunjukkan adanya asam salisilat. Isoenzim peroksidase dan esterase maupun kandungan peroksidase juga tidak terlibat dalam sistim pertahanan Phalaenopsis terhadap penyakit busuk lunak. Hal ini terjadi karena pada proses inokulasi patogen ke tanaman, penetrasi dilakukan dengan sengaja yaitu melalui pelukaan, sehingga tidak ada proses pre-existing penyakit atau adanya proses pengenalan elisitor patogen dengan reseptor yang ada di tanaman. Dalam proses tersebut, tanaman sudah tentu tidak akan membentuk pertahanan yang berhubungan dengan pembentukan lignifikasi yaitu yang berhubungan dengan adanya peroksidase
111
dan esterase. Hal inilah yang menyebabkan ketiga senyawa tidak berkorelasi dengan sistim pertahanan tanaman.
SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN 1. Media optimum untuk pembentukan kalus embriogenik atau embriosomatik ketiga klon SGN-PV2.11, 377 dan 642 adalah media 1/2 MS yang diberi tambahan zat pengatur tumbuh 0.1 mg.l-1 BAP dan 10 mg.l-1 2,4-D. Proses embriosomatik Phalaenopsis pada media tersebut melalui fase globuler, torpedo dan calon tunas. Kalus berhasil diregenerasikan menjadi plantlet menggunakan zat pengatur tumbuh 0.4 mg.l-1 BAP dan 0.2 mg.l-1 2,4-D. 2. Keragaman somaklonal hasil mutagenesis fisik iradiasi sinar gamma meningkat hingga 6.8% pada klon SGN-PV2.11, 2.2% pada klon 642 dan 2.6% pada klon 377. LD50 klon SGN-PV2.11 diketahui sebesar 16.2 Gy, klon 642 15.3 Gy dan klon 377 sebesar 22 Gy. Hasil perubahannya berupa variasi morfologi pada varian dan variasi jumlah pita isoenzim peroksidase. 3. Keragaman somaklonal yang ditimbulkan oleh mutagen EMS mencapai sebesar 16.5% pada klon SGN-PV2.11, 6.2% pada klon 642 dan 20.9% pada klon 377. LC50 perlakuan perendaman EMS pada kalus Phalaenopsis adalah sebesar 0.28%-0.32% dengan lama perendaman 19.4 - 38.7 menit. 4. Fenotip yang ditimbulkan tidak jauh berbeda dengan fenotip yang ditimbulkan oleh mutagen fisik sinar gamma. Selain fenotip normal, fenotip ujung daun terbelah, tak beraturan, daun berbentuk terompet, daun berwarna merah, dan kerdil. 5. Berdasarkan persentase varian yang dihasilkan, dinyatakan bahwa genotipe klon 642 lebih stabil dibandingkan dengan klon 377, sedang keduanya lebih stabil daripada klon SGN-PV2.11. 6. Pengujian in vitro pada ketiga klon Phalaenopsis yaitu klon SGN-PV2.11, 377 dan 642 berhasil diperoleh varian potensial sebanyak 162 plantlet yang memiliki SKD 1 dan 3 yang dikategorikan agak tahan dan tahan. 7. Hasil pengujian akhir menghasilkan mutan yang berjumlah 24 tanaman yang terdiri dari 8 tanaman tahan dan 16 tanaman agak tahan.
112
8. Isoenzim peroksidase dan esterase, kandungan peroksidase dan asam salisilat diduga tidak terlibat dalam sistim pertahanan Phalaenopsis ketika mendapat serangan patogen Erwinia carotovora subsp. carotovora. 9. Berdasarkan alasan kemampuan terbentuknya varian, mutagen fisik iradiasi sinar gamma maupun mutagen kimia EMS dapat dijadikan pilihan untuk membentuk populasi varian untuk tujuan peningkatan ketahanan terhadap penyakit. SARAN 1. Penggunaan plantlet yang akan diuji dengan patogen sebaiknya menggunakan plantlet yang teregenerasi di awal-awal subkultur yaitu 2-3 subkultur pertama karena semakin banyak subkultur, hasil plantlet kurang optimum sehingga hasil yang diperoleh lebih akurat. 2. Apabila akan melakukan penelitian dengan memanfaatkan isolat Erwinia, sebaiknya erwinia disimpan dalam media cair. Media padat menyebabkan koloni cepat kering dan menjadi kurang virulen. Pemilihan koloni harus setepat mungkin yaitu koloni tunggal putih kekreman dan kelihatan kompak, tidak melebar dan datar, karena yang demikian kemungkinan tercampur dengan Psudomonas sp. 3. Sebelum dan pada saat iradiasi kalus, sebaiknya kalus telah dipindahkan pada media tanpa zat pengatur tumbuh. 4. Tanaman yang akan diuji di lapangan sebaiknya tidak dipupuk dengan pupuk yang mengandung Ca tinggi, karena Ca merupakan unsure yang dibutuhkan untuk pembentukan dinding sel, sehingga hasil uji dapat diperoleh secara akurat. Tanaman yang tahan bukan disebabkan oleh adanya didnding sel yang sudah tebal. 5.
Penelitian untuk mendapatkan klon-klon tahan Erwinia carotovora subsp carotovora harus tetap dilakukan, untuk
menangkal ras-ras baru yang
disebabkan oleh perubahan alami pada patogen Erwinia carotovora subsp carotovora tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Ahloowalia BS, Maluszynski M. 2001. Induced mutations-A new paradigm in plant breeding. Euphytica 118: 167–173, 2001.
113
Akin-Idowu PE, Ibitoye DO, Ademoyegun OT. 2009. Tissue culture as a plant production technique for horticultural crop. Afr J Biotech 8(16): 3782-3788 Ashraf M, Cheema AA, Rhasid M, Qamar Z. 2003. Effects of gamma rays on M1 generation in Basmati Rice. Pak J Bot 35 (5): 791-795 Charkowsky AO. 2006. The Soft rot Erwinia. Plant Associated Bacteria. Springer. Netherland. p 423-505. Datta SK, Mesra P, Mandal AKA. 2005. In vitro mutagenesis-a quick method for establishment of solid mutant in Chrysantmemum. Curr Sci 88 (1); 155-158. Handayati W, Hanudin, Miharja S. 2003. Teknik inokulasi bakteri busuk lunak Erwinia spp pada anggrek Phalaenopsis untuk tujuan skrining varietas resisten. Pros. Sem Nasional dan kongg PFI XVII,. Bandung 6-8 Agustus 2003. Hutami S, Marisk I, Supriyai Y. 2006. Peningkatan keragaman genetic tanaman melalui keragaman somaklonal. J Agrobiogen 2(2): 81-88. Hussien G, Harun AR, Shamsudin S. 2008. Study on mutagenesis of signals grass (Brachiaria decumbens) by gamma irradiation. http://www-.google.w.id/search?q=radiosensits/+plant&hl=id&stored=60850=N Kiba A, Saitoh H, Nishihara M, Omiya K, Yamamura S. 2003. C-Terminal domain of a hevein-like protein from wasabi japonica has poten antimicrobial activity. Plant Cell Physiol 44 : 296-303. Kaeppler SM, Kaeppler HT, Rhee Y. Epigenetic aspect of somaclonal variation in plants. Plant Mol Biol 43 (3): 179-188. Kim YS, Schumaker KS, Zhu JK. 2006. EMS mutagenesis of Arabidopsis. http://www.faculty.ucr.edu/--jkzhu/articles/2006/yskim.pdf.15/11/2010 Kodym A, Afza R. 2003. Physical and Chemical mutagenesis. Method Mol Biol 236: 189-204. Shirong Z, Luxiang L, Wang J. 2008. Induced Mutations for improvement of fruit Trees and Ornamental Plants China http://www.fnca.next.go.jp/englishhold/2totuzeni/3/20ciws/04/01china/main_html Sobiczewski P. 2008. Bacterial diseases of plants : Epidemology. diagnostics & control. Zembirbyrte-Agric 95(3) : 151-157.
114
LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar varian potensial klon SGN-PV2.11, 642 dan 377 yang tahan (SKD 1) dan agak tahan (SKD 3) terhadap Erwinia carotovora subsp carotovora hasil uji in vitro yang dilanjutkan dengan uji di lapangan No
Nama Mutan
SKD In
SKD hari
SKD Akhir
Keterangan
115
1 SGN-PV2.11/OG/.B3.1.1 2 SGN-PV2.11/OG/.B8.2.2 3 SGN-PV2.11/OG/.BC.3.4 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
SGN-PV2.11/OG/.K4.5.6 SGN-PV2.11/OG/.B8.5.3 SGN-PV2.11/OG/.BC.8.4 SGN-PV2.11/R6/2.5G/1.3 SGN-PV2.11/63E/2.5G/3.6 SGN-PV2.11/101E/2.5G/2.16 SGN-PV2.11/63E/2.5G/3.6 SGN-PV2.11/63E/2.5G/3.4 SGN-PV2.11/101E/2.5G/2.5 SGN-PV2.11/R6/2.5G/1.3 SGN-PV2.11/35C/5G/4.21 SGN-PV2.11/59F/2.5G/3.8
Vitro
ke‐1
Lapang
3 3 3
3 3 3
9 9 9
3 3 3 3 3 3 3 1 1 3 1
terserang jamur 3 3 3 3 3 3 1 1 3 3
9 9 9 9 9 9 3 5 9 9
terserang jamur terserang jamur
3
15 SGN-PV2.11/105E/25G/ 4.2 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
SGN-PV2.11/54E/2.5G/1.17 SGN-PV2.11/35C/2.5G/4.5 SGN-PV2.11/35C/2.5G/4.9 SGN-PV2.11/38E/2.5G/ 4.9 SGN-PV2.11/36C/2.5G/3.2 SGN-PV2.11/36C/2.5G/3.8 SGN-PV2.11/38E/2.5G/ 4.9 SGN-PV2.11/R6/2.5G/1.8 SGN-PV2.11/56E/2.5G/5.4 SGN-PV2.11/56E/2.5G/3.4 SGN-PV2.11/35C/2.5G/4.4 SGN-PV2.11/10E/2.5G/6.5 SGN-PV2.11/10E/2.5G/2.3 SGN-PV2.11/58E/2.5G/ 2.2 SGN-PV2.11/60E/2.5G/ 5.4 SGN-PV2.11/106E/2.5G/2.5 SGN-PV2.11/54E/2.5G/1.11 SGN-PV2.11/57E/2.5/1.1 SGN-PV2.11/36C/5G/3-8 SGN-PV2.11/36C/5G/3-14 SGN-PV2.11/36C/5G/3-1 SGN-PV2.11/94E/5G/1.5 SGN-PV2.11/109E/5G/2.4
3 3 1 1 1 3 3 3 1
3 3 3 1 3 3 3 1
9 9 9 7 9 9 7 1
3 3 1 1 3 3 3 1 1
no 7 terserang jamur terserang jamur
3 3 3 3 3 1
sampel no 4
3 3 3 3
9 9 9 9
no 1 terserang jamur
3 3 3 3 3 3 3 3
9 9 9 9 7 9 9 9
no 5 no 6
116
40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84
SGN-PV2.11/109E/5G/3.4 SGN-PV2.11/109E/5G/2.24 SGN-PV2.11/110E/5G/2.6 SGN-PV2.11/98E/5G/3.1 SGN-PV2.11/107E/5G/1.8 SGN-PV2.11/107E/5G/1.9 SGN-PV2.11/17D/5G/1.9 SGN-PV2.11/29D/5G/1.6 SGN-PV2.11/22D/5G/1.4 SGN-PV2.11/36B/5G/12.5 SGN-PV2.11/10E/5G/7.3 SGN-PV2.11/36C/5G/3.1 SGN-PV2.11/35C/5G/5.20 SGN-PV2.11/36B/5G/12.5 SGN-PV2.11/36C/5G/3.1 SGN-PV2.11/35C/5G/5.20 SGN-PV2.11/35C/5G/5.3 SGN-PV2.11/95E/5G/5.7 SGN-PV2.11/82E/5G/2.3 SGN-PV2.11/82E/5G/2.3 SGN-PV2.11/109E/5G/2.4 SGN-PV2.11/68E/5G/3.4 SGN-PV2.11/17D/5G/1.7 SGN-PV2.11/82E/5G/2.3 SGN-PV2.11/99E/5G/6.2 SGN-PV2.11/82/5G/2.3 SGN-PV2.11/82E/5G/2.5 SGN-PV2.11/82E/5G/2.3 SGN-PV2.11/10E/5G/4.4 642/0G/14F/2.2 642/0G/13F/ 2.5 642/0G/14F/ 2.7 642/0G/15F/ 2.11 642/15G/24F/2.5 642/15G/14F/1.6 642/15G19F/2.7 642/15G/14F/2.9 642/15G/14F/2.9 642/15G/14F/2.5 642/15G/11F/2.7 642/15G/15F/1.6 642/15G/14F/6.9 642/15G/14F/1.9 642/15G/11F/ 2.5 642/11F/15G/2.7
3 1 3 0 1 3 1 1 1 3 3 1 3 3 1 3 3 3 3 1 1 3 3 1 1 1 3 1 3 1 3 3 1 3 3 3 3 0 1 3 3 3 0 3 3
3 3 3 0 1 3 1 3 1 3 3 1 3 3 1 3 3 3 3 3 3 3 3 3 1 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 0 3 3 3 3 3 3 3
9 9 9 1 3 9 3 7 5 9 9 3 9 9 3 9 5 9 9 9 3 9 9 1 1 3 9 3 9 7 9 9 9 9 7 9 9 0 9 7 9 9 3 9 7
no 3
no 8
117
85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129
642/12F/15G/3.4 642/10F/15G/4.6 377/21F/0G/ 1.6 377/22F/0G/ 1.10 377/19F/0G/1.16 377/19F/0G/3.8 377/22F/0G/4.3 377/22F/0G/6.2 377/23F/20G/1.13 377/23F/20G/1.6 377/23F/20G/1.8 377/19F/20G/1.5 377/19F/20G/1.4 377/19F/20G/1.9 377/19F/20G/1.5 377/22F/20G/3.4 377/23F/20G/2.5 377/22F/20G/3.1 377/24F/20G/4.2 377/20F/20G/2.2 SGN-PV2.11/24E/E0/1.7 SGN-PV2.11/9E/E0/1.6 SGN-PV2.11/15E/E0/1.6 SGN-PV2.11/.BC8/E1/2.4 SGN-PV2.11/.BC8/E1/2.7 SGN-PV2.11/ 11E/E1/2.3 SGN-PV2.11/90E/E1/4.3 SGN-PV2.11/90E/E1/5.2 SGN-PV2.11/90E/E1/1.1 SGN-PV2.11/90E/E1/2.6 SGN-PV2.11/89E/E1/1.2 SGN-PV2.11/30E/E2/5.5 SGN-PV2.11/ 34E//E2/3.4 SGN-PV2.11/30E/E23.4 SGN-PV2.11/45E/E2/3.4 SGN-PV2.11/30E/E2/3.7 SGN-PV2.11/.BC8/E5/2.7 SGN-PV2.11/.BC8/E5/2.4 SGN-PV2.11/45E/E5/2.3 SGN-PV2.11/34E/E5/2.6 642/PA3/E0/2.2 642/53E/E0/5.5 642/13F/E1/7.3 642/12F/E1/5.3 642/13F/E1/2.4
3 3 3 3 3 1 3 3 3 3 1 3 3 3 0 1 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 0 3 1 1 3 3 1 0 1 3 3 3 3 1
3 3 3 3 3
3 5 9 9 9 terserang jamur terserang jamur
3 3 1 3 3 3 1 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 1 3 3 3 3 3 3 0 1 3 3 3 3 1
9 9 3 9 9 9 1 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 3 9 9 9 9 9 9 1 3 9 9 7 9 1
terserang jamur
no 2
118
130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162
642/95E/E1/1.3 642/95E/E1/11.5 642/95E/E1/2.3 642/12F/E2/7.4 642/13F/E2/5.4 642/13F/E2/3-5 642/14F/E2/5.2 642/13F/E2/ 13.2 642/13F/E4/1.7 642/11F/E5/1.2 64211F//E5/7.6 642/11F/E5/2.2 642/12F/E5/ 4.3 642/12F/E5/7.8 642/12F/E5/8.9 642/13F/E5/8.3 642/13F/E5/4.6 377/23F/E0/1.2 377/24F/E0/4.2 377/24F/E1/3.3 377/23F/E1/1.2 377/22F/E1/5.3 377/23F/E2/1-9 377/22F/E2/3.5 377/22F/E2/ 4.6 377/21F/E2/1.4 377/29F/E5/2.2 377/21F/E5/3.8 377/24F/E5/1.6 377/25F/E5/2.7 377/23F/E5/8.1 377/23F/E5/7.5 377/23F/E5/3.4
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 1 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 1 3 3 3 3 3 3 3 3 3
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
9 9 9 7 3 9 9 9 9 9 3 5 9 terserang jamur terserang jamur
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
9 9 9 9 9 9 5 3 7 9 3 9 9 9 9 9 9 9
no 9
terserang jamur
Lampiran 2 Rata-rata jumlah plantlet per eksplant dari tiga klon SGN-PV2.11, klon 642 dan klon 377 yang diperoleh setelah 12 MST V
E
D
No
119
SGN EL1
EL2
EL3
642 EL1
EL2
EL3
377 EL1 EL2 EL3
0 2.5 5 0 2.5 5 0 2.5 5 0 5 15 0 5 15 0 5 15 0 20 0 20 0 20
1 0 2 4 0 2 6 0 4 4 0 3 3 0 5 7 0 6 4 0 4 0 2 0 4
2 0 1 6 0 3 7 0 4 6 0 4 5 0 6 8 0 6 2 0 5 0 3 0 5
3 0 3 6 0 5 9 0 6 4 0 6 5 0 3 5 0 4 6 0 6 0 5 0 7
4 0 1 7 0 1 4 0 5 8 0 7 5 0 3 5 0 3 8 0 7 0 8 0 6
5 0 0 5 0 2 7 0 5 9 0 4 2 0 3 5 0 5 9 0 5 0 5 0 3
6 0 2 5 0 0 6 0 2 9 0 3 2 0 6 4 0 7 7 0 5 0 3 0 2
Keterangan : V (genotip), E (jenis media), D (dosis radiasi)
7 0 0 7 0 1 4 0 3 6 0 2 3 0 6 4 0 7 2 0 3 0 4 0 3
8 0 1 4 0 1 7 0 4 5 0 4 1 0 6 3 0 7 2 0 3 0 4 0 5
9 0 1 5 0 2 8 0 8 10 0 4 5 0 5 6 0 3 3 0 4 0 2 0 6
10 0 2 6 0 2 8 0 5 8 0 2 5 0 5 3 0 3 4 0 3 0 3 0 5