INDUKSI MUTASI DAN SELEKSI IN VITRO PURWOCENG (Pimpinella pruatjan Molk.) UNTUK KETAHANAN TERHADAP SUHU TINGGI
NUR AJIJAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Induksi Mutasi dan Seleksi In Vitro Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) untuk Ketahanan terhadap Suhu Tinggi adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2009
Nur Ajijah NRP A151060041
ABSTRACT NUR AJIJAH. Induction of Mutations and In Vitro Selection for High Temperature Resistance in Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.). Under the direction of YUDIWANTI W.E. KUSUMO and IRENG DARWATI. Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk., P. alpina KDS.) is one of Indonesian medicinal plants. It is a high altitude endemic species. Planting expansion through the development of low and medium land tolerant variety is needed to optimize the use of purwoceng as a medicinal plant. Those varieties are not available yet. The purpose of this research was to achieve high temperature resistant (insensitive) varians of purwoceng through induction of mutations using ethyl methanesulphonate (EMS) and in vitro selection. Four hundreds and thirty two somatic embryo explants (size 0.5 x 0.5 x 0.5 cm3) were treated with aquades (control) and 0, 0.1, 0.3, 0.5 and 0.7% (v/v) EMS solutions for 1 or 2 hours. EMS was dissolved in buffer sodium phosphate pH 7 0.M and DMSO (dimethyl sulfo-oxida) 4% (EMS 0%). Afterwards, those explants were selected at three room temperature levels i.e. 17.3 ± 0.5ºC, 23.3 ± 2.1ºC and 32.8 ± 1.7ºC for 3 months. The temperature of 17.3 ± 0.5ºC was used as control. Variables observed were explant fresh weight increment, percentage of explant forming shoot, number of shoot per explant, percentage of survive explant and phenotipic variations in shoots formed. The result showed that the average of explant fresh weight increment, percentage of explant forming shoot and number of shoot per explant were decreased with increasing of temperature and EMS doses. The growth of purwoceng somatic embryos was inhibited at the temperature of 32.8 ± 1.7ºC and EMS dose 0.7% for 2 hours. The percentage of survive explant was also decreased by the increase of temperature selection. The average of survive explant at the end of selection reached 100 and 75-100% at control temperature and 23.3 ± 2.1ºC respectively, while at 32.8 ± 1.7ºC was only 0 - 25%. The resistant (insensitive) varians at 32.8 ± 1.7ºC were obtained from both EMS treated and untreated explants. The result also showed the increase of phenotipic variation in EMS treated shoots. Keywords: induction of mutations, EMS, in vitro selection, high temperature, Pimpinella pruatjan
RINGKASAN NUR AJIJAH. Induksi Mutasi dan Seleksi In Vitro Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) untuk Ketahanan terhadap Suhu Tinggi. Dibimbing oleh YUDIWANTI W.E. KUSUMO dan IRENG DARWATI. Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk. atau P. alpina KDS.) merupakan salah satu jenis tanaman obat asli Indonesia endemik dataran tinggi yang keberadaannya telah langka. Tanaman ini memiliki khasiat afrodisiak dan digunakan juga sebagai tonik untuk meningkatkan stamina tubuh. Dengan khasiat yang dimilikinya purwoceng memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai tanaman obat pengganti ginseng yang pemakaiannya di Indonesia cukup tinggi. Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk mendukung pengembangan budidaya purwoceng adalah melalui pengembangan varietas purwoceng toleran dataran menengah atau rendah yang antara lain dapat diperoleh melalui pendekatan seleksi ketahanan terhadap suhu tinggi. Seleksi ketahanan terhadap suhu tinggi juga penting berkaitan dengan isu pemanasan global. Penelitian bertujuan mendapatkan varian embrio somatik/tunas purwoceng tahan (tidak sensitif) suhu tinggi melalui induksi mutasi dengan EMS dan seleksi secara in vitro. Empat ratus tiga puluh dua eksplan embrio somatik berukuran sekitar 0.5 x 0.5 x 0.5 cm3 direndam di dalam 0%, 0.1%, 0.3%, 0.5% dan 0.7% (v/v) larutan EMS selama 1 atau 2 jam. Sebagai pelarut EMS digunakan bufer natrium fosfat pH 7 0.1 M dan DMSO 4% (EMS 0%). Aquades dengan lama perendaman yang sama digunakan sebagai kontrol. Setelah itu eksplan diseleksi pada 3 taraf suhu ruang yaitu rata-rata suhu siang 17.3 ± 0.5ºC, 23.3 ± 2.1ºC dan 32.8 ± 1.7ºC selama 3 bulan. Suhu 17.3 ± 0.5ºC digunakan sebagai kontrol. Penempatan perlakuan EMS pada masing-masing suhu seleksi menggunakan rancangan lingkungan acak kelompok dengan 4 ulangan. Masing-masing ulangan terdiri dari 4 botol kultur dan masing-masing botol kultur terdiri dari 3 eksplan. Kriteria seleksi didasarkan pada kemampuan eksplan bertahan hidup pada kondisi suhu seleksi. Embrio somatik yang mampu bertahan hidup sampai akhir seleksi dan tunas yang terbentuk dan mampu bertahan hidup sampai akhir seleksi dikategorikan sebagai embrio somatik dan tunas yang tahan. Peubah yang diamati meliputi penambahan bobot segar eksplan, persentase eksplan membentuk tunas, jumlah tunas per eksplan dan persentase eksplan hidup yang diamati pada umur 1, 2 dan 3 bulan serta variasi fenotipe tunas yang diamati pada umur 3 bulan. Analisis ragam dilanjutkan dengan uji Jarak Berganda Duncan pada taraf α 0.05 menggunakan program SAS 9.1 dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan EMS terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan pada masing-masing suhu seleksi. Hasil penelitian menunjukkan EMS memberikan pengaruh yang nyata terhadap rata-rata penambahan bobot segar eksplan umur 2 bulan pada suhu kontrol dan 32.8 ± 1.7ºC, rata-rata persentase eksplan membentuk tunas umur 1 dan 2 bulan pada suhu 23.3 ± 2.1ºC dan rata-rata jumlah tunas per eksplan umur 1 bulan pada suhu 23.3 ± 2.1ºC. Rata-rata penambahan bobot segar eksplan, persentase eksplan membentuk tunas dan jumlah tunas per eksplan cenderung semakin menurun dengan meningkatnya dosis EMS yang digunakan. Rata-rata penambahan bobot segar eksplan, persentase eksplan membentuk tunas dan jumlah tunas per eksplan paling rendah terdapat pada perlakuan EMS 0.7% selama 2 jam. Hasil penelitian menunjukkan EMS tidak memberikan pengaruh
yang nyata terhadap rata-rata persentase eksplan hidup umur 1, 2 dan 3 bulan pada suhu kontrol, 23.3 ± 2.1ºC dan 32.8 ± 1.7ºC. Rata-rata penambahan bobot segar eksplan, persentase eksplan membentuk tunas, jumlah tunas per eksplan serta persentase eksplan hidup semakin menurun dengan meningkatnya suhu seleksi. Rata-rata penambahan bobot segar eksplan, persentase eksplan membentuk tunas, jumlah tunas per eksplan dan persentase eksplan hidup umur 1, 2 dan 3 bulan paling rendah terdapat pada perlakuan suhu 32.8 ± 1.7ºC. Rata-rata persentase eksplan hidup umur 3 bulan pada suhu kontrol dan 23.3 ± 2.1ºC berturut-turut mencapai 100 dan 75100%, sementara pada suhu 32.8 ± 1.7ºC hanya 0 - 25%. Suhu 23.3 ± 2.1ºC dengan lama periode seleksi selama 3 bulan tidak dapat digunakan untuk menyeleksi ketahanan terhadap suhu tinggi pada eksplan embrio somatik purwoceng karena pada kisaran suhu tersebut varian tahan dan tidak tahan tidak dapat dibedakan. Sebaliknya suhu 32.8 ± 1.7ºC dengan periode seleksi selama 3 bulan dapat digunakan untuk menyeleksi ketahanan terhadap suhu tinggi pada eksplan embrio somatik purwoceng karena telah mencapai heat killing temperature yaitu suhu tinggi yang menyebabkan kematian eksplan sebesar 50%, sehingga pada kisaran suhu tersebut varian tahan (tidak sensitif) dan tidak tahan (sensitif) dapat dibedakan. Eksplan yang bertahan hidup hingga umur 3 bulan pada suhu 32.8 ± 1.7ºC diperoleh baik pada perlakuan EMS maupun EMS 0% dan kontrol aquades yaitu pada perlakuan kontrol aquades selama 2 jam, EMS 0% selama 1 dan 2 jam, EMS 0.1% selama 1 dan 2 jam, EMS 0.3% selama 1 jam, EMS 0.5% selama 1 dan 2 jam serta EMS 0.7% selama 1 jam. Rata-rata persentase eksplan hidup paling tinggi diperoleh pada perlakuan EMS 0% selama 2 jam dan EMS 0.3% selama 1 jam yaitu 25%. Eksplan yang bertahan hidup ini diharapkan merupakan bentuk varian yang tahan terhadap suhu tinggi. Varian tahan yang terbentuk pada perlakuan kontrol aquades dan EMS 0% diduga merupakan bentuk variasi somaklonal yang terinduksi baik selama penelitian berlangsung maupun sebelumnya. Varian tahan yang terbentuk pada perlakuan EMS diduga merupakan hasil mutasi yang terinduksi oleh perlakuan EMS, namun tidak tertutup kemungkinan varian tersebut juga merupakan bentuk variasi somaklonal atau merupakan hasil dari keduanya yaitu variasi somaklonal dan mutasi yang terinduksi oleh perlakuan EMS. Eksplan yang bertahan hidup hingga umur 3 bulan pada suhu 32.8 ± 1.7ºC tidak diperoleh pada perlakuan kontrol aquades selama 1 jam serta EMS 0.3 dan 0.7% selama 2 jam, diduga tidak ada varian tahan yang terinduksi pada ketiga perlakuan tersebut. Eksplan yang bertahan hidup pada suhu 32.8 ± 1.7ºC umur 3 bulan sebagian besar telah membentuk tunas dan sebagian masih berupa embrio somatik. Sebagian besar tunas yang terbentuk pada suhu 32.8 ± 1.7ºC tidak dapat bertahan hidup sampai akhir seleksi (umur 3 bulan), hanya tunas yang tahan (tidak sensitif) yang dapat bertahan hidup sampai akhir seleksi. Eksplan yang membentuk tunas tahan umur 3 bulan diperoleh pada perlakuan kontrol aquades selama 2 jam, EMS 0% selama 1 dan 2 jam, EMS 0.1% selama 1 dan 2 jam, EMS 0.3% selama 1 jam, EMS 0.5% selama 2 jam serta EMS 0.7% selama 1 jam dengan jumlah tunas tahan berkisar antara 1 – 18 tunas per perlakuan. Jumlah tunas tahan paling banyak diperoleh pada perlakuan EMS 0% selama 2 jam dan EMS 0.3% selama 1 jam yaitu berturut-turut 18 dan 16 tunas. Tunas yang terbentuk pada suhu kontrol dan 23.3 ± 2.1ºC umur 3 bulan menunjukkan penampilan yang vigor, berwarna hijau dan sebagian telah berakar. Tunas umur 3 bulan yang bertahan hidup pada suhu 32.8 ± 1.7ºC menunjukkan pertumbuhan yang terhambat, tidak vigor, berwarna hijau pucat kekuningan dan
tidak membentuk akar. Cekaman suhu tinggi pada perlakuan suhu 32.8 ± 1.7ºC menyebabkan perkembangan tunas dan pembentukan akar terhambat. Embrio somatik dan tunas yang tahan pada suhu 32.8 ± 1.7ºC kemudian diisolasi dan di subkultur pada media DKW + IBA 5 mg/l untuk embrio somatik dan DKW tanpa zat pengatur tumbuh untuk tunas dan diinkubasi pada suhu 23.3 ± 2.1ºC untuk perbanyakan. Sifat tahan pada embrio somatik dan tunas ini diharapkan bukan epigenetik melainkan hasil mutasi, baik mutasi yang terinduksi oleh perlakuan EMS maupun variasi somaklonal, sehingga ketahanannya bersifat permanen dan dapat diwariskan. Hasil penelitian juga menunjukkan adanya peningkatan variasi fenotipe tunas pada perlakuan EMS dibandingkan kontrol aquades dan EMS 0%. Variasi yang ditemukan berupa tangkai daun besar, daun variegata dan albino. Varian tangkai daun besar ditemukan baik pada perlakuan EMS maupun kontrol aquades dan EMS 0%. Varian daun variegata dan albino hanya ditemukan pada perlakuan EMS. Varian tangkai daun besar kemungkinan merupakan bentuk variasi somaklonal, sedangkan varian daun variegata dan albino kemungkinan merupakan tipe variasi yang terinduksi oleh perlakuan EMS. Frekuensi variasi fenotipe tunas paling tinggi diperoleh pada perlakuan EMS 0.5% selama 1 jam yaitu 12% pada suhu kontrol dan 26.7% pada suhu 23.3 ± 2.1ºC yang terdiri dari varian tangkai daun besar, daun variegata dan albino. Adanya peningkatan variasi fenotipe tunas pada perlakuan EMS menunjukkan EMS mampu menginduksi keragaman yang lebih tinggi dibandingkan kontrol aquades dan EMS 0%. Variasi fenotipe tunas yang ditemukan pada suhu 32.8 ± 1.7ºC lebih sedikit dibandingkan pada suhu kontrol dan suhu 23.3 ± 2.1ºC. Hal ini disebabkan tunas yang berhasil hidup pada suhu 32.8 ± 1.7ºC hanya tunas yang tahan (tidak sensitif) terhadap suhu tersebut sedangkan sebagian besar varian kemungkinan tidak tahan. Kata kunci: induksi mutasi, EMS, seleksi in vitro, suhu tinggi, Pimpinella pruatjan
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumpulkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
INDUKSI MUTASI DAN SELEKSI IN VITRO PURWOCENG (Pimpinella pruatjan Molk.) UNTUK KETAHANAN TERHADAP SUHU TINGGI
NUR AJIJAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Megister Sains pada Departemen Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Nurul Khumaida, MS
Judul Tesis
:
Induksi Mutasi dan Seleksi In Vitro Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk) untuk Ketahanan terhadap Suhu Tinggi
Nama
:
Nur Ajijah
NIM
:
A151060041
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Yudiwanti W.E. Kusumo, MS
Dr. Ir. Ireng Darwati
Ketua
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Agronomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 19 Desember 2008
Tanggal Lulus : 22 Januari 2009
PRAKATA Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karuniaNya sehingga penelitian dan karya tulis ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah seleksi in vitro untuk ketahanan terhadap suhu tinggi, dengan judul Induksi Mutasi dan Seleksi In Vitro Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) untuk Ketahanan terhadap Suhu Tinggi. Penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Yudiwanti W.E. Kusumo, MS dan Ibu Dr. Ir. Ireng Darwati yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk terlibat di dalam penelitian ini serta telah memberikan dorongan, bimbingan dan arahan dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan karya ilmiah. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Nurul Khumaida, MS yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat berarti untuk perbaikan karya tulis. Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Susi, Ibu Rohmah serta seluruh staf laboratorium kultur jaringan Kelompok Peneliti Ekofisiologi Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) Bogor yang telah memberikan dukungan dan bantuan teknis dalam pelaksanaan penelitian, juga kepada teman-teman pascasarjana angkatan 2006 atas dukungan dan kerjasamanya selama menyelesaikan studi. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian RI yang telah memberikan kesempatan dan beasiswa kepada penulis untuk melanjutkan studi pada program Megister di Sekolah Pascasarjana IPB. Ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada suami dan anak-anakku Habil, Izza dan Maryam atas pengertian serta dukungannya yang begitu besar selama menyelesaikan studi, juga kepada Umi dan Abi yang senantiasa berdoa untuk kebaikan putra-putrinya. Semoga karya tulis ini bermanfaat untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam menghadapi isu pemanasan global.
Bogor, Januari 2009 Nur Ajijah
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Majalengka pada tanggal 9 April 1970 dari Ayahanda H. M. Ridwanullah dan Ibu Hj. Kusyati. Penulis merupakan putri ke tiga dari enam bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana di program studi Agronomi IPB pada tahun 1993. Tahun 2006 penulis mendapat beasiswa dari Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian RI untuk melanjutkan studi pada program Megister di program studi Agronomi Sekolah Pascasarjana IPB. Penulis bekerja sebagai peneliti di Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Bogor sejak tahun 1994 – 2006.
Mulai tahun 2007 sampai sekarang
penulis bekerja di Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri Sukabumi dengan jabatan terakhir sebagai Peneliti Muda.
Bidang
penelitian yang menjadi tanggung jawab penulis selama bekerja adalah plasma nutfah dan pemuliaan tanaman.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………..........
xii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………...........
xiii
PENDAHULUAN ………………………………………………………........... Latar Belakang …………………………………………………......... Tujuan Penelitian ………………………………………………......... Hipotesis………………………………………………………………. Manfaat Penelitian ……………………………………………………
1 1 2 3 3
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. Purwoceng ………………………………………………………........ Mutasi pada Pemuliaan Tanaman ……………………………........ Cekaman Suhu Tinggi padaTanaman …………………………...... Seleksi In Vitro untuk Ketahanan terhadap Suhu Tinggi ..............
4 4 6 12 14
BAHAN DAN METODE ............................................................................ Waktu dan Tempat ....................................................................... Bahan Penelitian .......................................................................... Metode .........................................................................................
15 15 15 15
HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................................... Keadaan Umum Penelitian ........................................................... Pengaruh Suhu Seleksi dan EMS terhadap Pertumbuhan dan perkembangan Eksplan ............................................................... Varian Tahan Suhu 32.8 ± 1.7ºC ………………………………...... Keragaman Fenotipe Tunas …………………………………….......
18 18
SIMPULAN DAN SARAN ………………………………………………........ Simpulan …………………………………………………………........ Saran …………………………………………………………………...
46 46 46
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………..
48
LAMPIRAN ……………………………………………………………….........
54
20 38 42
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kultur in vitro purwoceng yang digunakan sebagai sumber eksplan....
15
2 Kalus dan embrio somatik yang diinduksi dari eksplan daun ...............
18
3 Kultur yang mengalami kontaminasi bakteri pada suhu 32.8 ± 1.7ºC ..
20
4 Pengaruh suhu seleksi dan EMS terhadap rata-rata penambahan bobot segar eksplan umur 1, 2 dan 3 bulan.........................................
22
5 Pengaruh suhu seleksi dan EMS terhadap rata-rata persentase eksplan membentuk tunas umur 1, 2 dan 3 bulan................................
26
6 Eksplan membentuk tunas umur 1, 2 dan 3 bulan pada suhu kontrol, 23.3 ± 2.1ºC dan 32.8 ± 1.7ºC …………………………………………..
28
7 Pengaruh suhu seleksi dan EMS terhadap rata-rata jumlah tunas per eksplan umur 1, 2 dan 3 bulan ......................................................
30
8 Perbandingan jumlah tunas umur 3 bulan pada perlakuan kontrol aquades dan EMS 0.7% selama 2 jam pada suhu kontrol dan 23.3 ± 2.1ºC ....................................................................................................
32
9 Tunas umur 3 bulan yang telah berakar pada suhu kontrol dan 23.3 ± 2.1ºC ….........……………………………………………………………....
32
10 Pengaruh suhu seleksi dan EMS terhadap rata-rata persentase eksplan hidup umur 1, 2 dan 3 bulan ...................................................
33
11 Perkembangan eksplan umur 1, 2 dan 3 bulan pada suhu 32.8±1.7ºC
35
12 Tunas tidak tahan (sensitif ) pada suhu 32.8 ± 1.7ºC ..........................
39
13 Tunas dan embrio somatik yang bertahan hidup umur 3 bulan pada suhu 32.8 ± 1.7ºC ..........................................................................…..
40
14 Tunas dan embrio somatik tahan (tidak sensitif) suhu 32.8 ± 1.7ºC 3 bulan setelah perbanyakan pada suhu 23.3 ± 2.1ºC ………………..
42
15 Variasi fenotipe tunas ……………………………………………………..
43
16 Tipe dan frekuensi variasi fenotipe tunas pada masing-masing perlakuan EMS dan suhu seleksi ………………………………………
44
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Diagram alir penelitian ..……………………………………………….
55
2 Tabel komposisi media Murashige dan Skoog (MS) serta Driver, Kuniyuki dan Walnut (DKW) ...........................................................
56
3 Tabel rekapitulasi uji F pengaruh perlakuan EMS terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan umur 1, 2 dan 3 bulan pada suhu kontrol ..........................................................................
57
4 Tabel rekapitulasi uji F pengaruh perlakuan EMS terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan umur 1, 2 dan 3 bulan pada suhu 23.3 ± 2.1ºC ………………………………………………
58
5 Tabel rekapitulasi uji F pengaruh perlakuan EMS terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan umur 1, 2 dan 3 bulan pada suhu 32.8 ± 1.7ºC ………………………………………………
59
6 Tabel rata-rata penambahan bobot segar eksplan (g) pada masingmasing suhu seleksi dan perlakuan EMS umur 1, 2 dan 3 bulan ..
60
7 Tabel rata-rata persentase eksplan membentuk tunas (%) pada masing-masing suhu seleksi dan perlakuan EMS umur 1, 2 dan 3 bulan ...............................................................................................
61
8 Tabel rata-rata jumlah tunas per eksplan umur 1, 2 dan 3 bulan pada masing-masing suhu seleksi dan perlakuan EMS ....................
62
9 Tabel rata-rata persentase eksplan hidup (%) umur 1, 2 dan 3 bulan pada masing-masing suhu seleksi dan perlakuan EMS .....................
63
10 Tabel frekuensi variasi fenotipe tunas (%) pada masing-masing perlakuan EMS dan suhu seleksi........................................................
64
PENDAHULUAN Latara Belakang Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk. atau P. alpina KDS.) merupakan tanaman obat asli Indonesia endemik dataran tinggi. Habitat alami purwoceng berada pada ketinggian 1 800 – 3 500 m dpl. (Heyne 1987), dan yang dikenal sebagai daerah pengembangan budidayanya pada saat ini hanya Dataran Tinggi Dieng dengan luasan terbatas.
Di Dataran Tinggi Dieng purwoceng tumbuh
pada ketinggian 1 850 – 2 050 m dpl. dengan suhu antara 15 – 21°C (Rahardjo et al. 2006). Purwoceng dikenal memiliki khasiat afrodisiak (meningkatkan kemampuan sexual) pada pria dan telah lama digunakan di dalam ramuan obat tradisional. Seduhan purwoceng juga digunakan sebagai tonik untuk meningkatkan stamina tubuh (Heyne 1987).
Dengan khasiat yang dimilikinya, purwoceng memiliki
potensi untuk dikembangkan sebagai
tanaman obat pengganti ginseng yang
pemakaiannya di Indonesia cukup tinggi. Impor ginseng Indonesia pada tahun 2005 mencapai 22 515 kg dengan nilai 1 801 599 US $ (BPS 2006). Purwoceng telah dinyatakan sebagai tanaman obat langka (Rifai 1990). Oleh karena itu pemerintah telah mengeluarkan larangan penggunaan simplisia (sediaan bahan obat) purwoceng yang bukan berasal dari tanaman yang dibudidayakan (DITJEN POM 2000). Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk
mendukung
pengembangan
budidaya
purwoceng
adalah
melalui
pengembangan varietas purwoceng toleran dataran menengah atau rendah. Dengan adanya varietas toleran dataran rendah atau menengah ini, alternatif daerah pengembangan menjadi lebih luas tidak terbatas di dataran tinggi. Varietas tersebut pada saat ini belum tersedia. Sifat toleransi terhadap dataran rendah atau menengah antara lain dapat diperoleh melalui pendekatan seleksi ketahanan terhadap suhu tinggi, karena dataran menengah atau rendah pada umumnya memiliki suhu yang lebih tinggi dibandingkan dataran tinggi.
Seleksi ketahanan terhadap suhu tinggi juga
penting berkaitan dengan isu pemanasan global. Akibat pemanasan global suhu di permukaan bumi diperkirakan akan naik sekitar 0.3°C per dekade (Jones et al. 1999 dalam Wahid et al. 2007) atau naik sekitar 1 dan 3°C dari keadaan suhu sekarang berturut-turut pada tahun 2025 dan 2100 (Wahid et al. 2007).
2
Peningkatan suhu bumi ini akan mengancam kelangsungan hidup spesies bahkan pada habitat alaminya sekalipun, termasuk puwoceng. Induksi mutasi yang dilanjutkan dengan seleksi ketahanan terhadap suhu tinggi secara in vitro antara lain telah dilakukan pada tanaman kentang dan bawang putih dan telah berhasil diperoleh mutan toleran suhu tinggi (Das et al. 2000; Gosal et al. 2001; Zhen 2001a).
Menurut Svetleva dan Crino (2005),
induksi mutasi yang digabungkan dengan kultur in vitro merupakan metode yang menguntungkan karena dapat meningkatkan frekuensi terbentuknya variasi baru. Secara teknis kultur in vitro dapat menghasilkan variasi somaklonal dan variasi ini dapat ditingkatkan dengan menggunakan mutagen. Salah satu jenis mutagen kimia yang paling banyak digunakan, paling efektif serta telah digunakan pada berbagai jenis organisma mulai dari virus sampai mamalia adalah EMS (ethyl methanesulphonate) (Sega 1984; Medina et al. 2005). EMS umumnya menghasilkan mutasi titik atau mutasi gen, sedikit mutasi yang terpaut dan sedikit kerusakan pada kromosom sehingga sangat menguntungkan bagi kegiatan pemuliaan. Beberapa sifat penting telah berhasil diperoleh melalui induksi mutasi secara in vitro menggunakan EMS antara lain toleran salinitas pada krisantemum (Hosain et al. 2006) dan ubi jalar (Luan et al. 2007) serta ketahanan terhadap Fusarium pada abaka (Purwati 2006). EMS juga telah digunakan secara in vitro untuk menginduksi keragaman pada tanaman apukat (Yenisbar 2005) dan perbaikan sifat agronomi pada tanaman anggur (Khawale et al. 2007). Secara in vivo, EMS antara lain telah berhasil digunakan untuk menginduksi sifat ketahanan terhadap Xanthomonas oryzae pv oryzae pada padi (Agrawal et al. 2005). Diharapkan EMS dapat menginduksi sifat ketahanan terhadap suhu tinggi pada purwoceng. Pada penelitian ini dilakukan induksi mutasi secara in vitro pada embrio somatik purwoceng menggunakan beberapa taraf dosis EMS dilanjutkan dengan seleksi in vitro pada beberapa taraf suhu.
Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan mendapatkan varian embrio somatik/tunas purwoceng tahan (tidak sensitif) suhu tinggi.
3
Hipotesis Perlakuan EMS pada dosis
tertentu
akan menginduksi terbentuknya
varian embrio somatik/tunas purwoceng tahan (tidak sensitif) suhu tinggi.
Manfaat Penelitian Varian embrio somatik/tunas purwoceng tahan (tidak sensitif) suhu tinggi diharapkan dapat diregenerasikan menjadi tanaman dan digunakan sebagai bahan perakitan varietas purwoceng toleran suhu tinggi atau toleran dataran menengah atau rendah.
TINJAUAN PUSTAKA Purwoceng Botani dan Karakteristik Purwoceng
merupakan
tanaman
terna
setahun,
habitus
tanaman
membentuk roset dengan tangkai daun berada di atas permukaan tanah. Tajuk tanaman menutupi permukaan tanah dengan diameter sekitar 37 cm. Tangkai daun rapat menutupi batang tanaman seolah batang tanaman tidak ada, jumlah tangkai daun sekitar 46 buah per tanaman. Pangkal tangkai daun umumnya berwarna merah kecoklatan, hanya sekitar 2% populasi yang memiliki tangkai daun kehijauan. Rata-rata panjang tangkai daun sekitar 18 cm (Rahardjo et al. 2006). Klasifikasi botani purwoceng adalah sebagai berikut : Divisi
: Spermatophyta
Anak divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Famili
: Apiaceae
Marga
: Pimpinella
Jenis
: Pimpinella pruatjan Molk. Sinonim P. alpina KDS.
Purwoceng memiliki daun majemuk berpasangan berhadapan.
Bentuk
anak daun membulat dengan tepi bergerigi. Warna permukaan atas daun hijau dan permukaan bawah hijau keputihan. Purwoceng memiliki akar tunggang yang membesar membentuk struktur seperti umbi pada tanaman ginseng tapi dengan ukuran yang lebih kecil (Rahardjo et al. 2006). Purwoceng merupakan tanaman berumah satu namun dapat menyerbuk silang.
Tanaman mulai berbunga pada umur 7 bulan dan mencapai 100%
berbunga pada umur 9 bulan. Bunga purwoceng merupakan bunga majemuk berbentuk payung. Biji yang telah masak berwarna hitam, berukuran sangat kecil sekitar 0.52 g per 1 000 butir biji (Rahardjo et al. 2006).
Daerah Asal dan Penyebaran Purwoceng merupakan tumbuhan obat asli Indonesia
endemik dataran
tinggi pada ketinggian 1 800 – 3 500 m dpl. Pada awalnya purwoceng terdapat di Gunung Pangrango, Papandayan dan Tangkuban Perahu (Jawa Barat), Pegunungan Dieng (Jawa Tengah) dan Gunung Bromo (Jawa Timur) (Burkill
5
1935, Heyne 1987).
Namun saat ini purwoceng hanya terdapat di Gunung
Gede (Jawa Barat) dan Pegunungan Dieng (Jawa Tengah) dan termasuk ke dalam dua puluh empat tumbuhan langka di Jawa (Pusat Konservasi Tumbuhan 2007). Rifai (1990) telah menggolongkan purwoceng sebagai salah satu tumbuhan obat langka dengan kategori genting (endangered species).
Tanaman ini
dikelompokkan sebagai jenis tumbuhan langka dalam kategori genting karena populasinya di alam menurun lebih dari 50% dalam 10 tahun terakhir, terjadi penurunan luas wilayah dan kualitas habitat, tingginya tingkat eksploitasi, luas wilayah keberadaan populasi kurang dari 5 000 m2 karena mengalami fragmentasi berat (Mogea et al. 2001 dalam Rostiana et al. 2006). Tumbuhan dalam kategori ini apabila tidak segera dilakukan perlindungan akan mengalami kepunahan. Daerah pengembangan budidaya purwoceng yang dikenal pada saat ini hanya Dataran Tinggi Dieng, dengan luas areal yang terbatas. Di Dataran Tinggi Dieng purwoceng hanya ditemukan di Desa Sikunang, yaitu di pekarangan rumah petani dengan luas areal pertanaman antara 4 - 200 m2 atau rata-rata 37 m2 per petani (Ermiati et al. 2006). Keberadaan spesies ini di negara lain tidak diketahui. Namun diketahui spesies kerabat dekatnya yaitu Pimpinella tirupatiensis Bal dan Subr terdapat di India, yang juga merupakan tanaman obat langka endemik dataran tinggi yang akarnya digunakan sebagai afrodisiak (Prakash et al. 2001).
Kandungan Bahan Aktif dan Khasiat Akar purwoceng diketahui mengandung turunan senyawa kumarin, sterol, alkaloid, saponin (Caropeboka & Lubis 1975, Rostiana et al. 2003), flavonoid, glikosida dan tanin (Rostiana et al. 2003), kelompok furanokumarin seperti bergapten, isobargapten dan sphondin (Sidik et al. 1975), turunan kumarin seperti xanthotoksin, mamersin, 6,8-dimetoksi umbelliferon (Hernani & Rostiana 2004), stigmasterol (Suzery et al 2004, Rahardjo et al. 2006, Rostiana et al. 2007), sitosterol (Rahardjo et al. 2006, Rostiana et al. 2007), dan vitamin E (Rahardjo et al. 2006).
Sementara ternanya mengandung stigmasterol dan
bergapten (Rahardjo et al. 2006, Rostiana et al. 2007), vitamin E (Rahardjo et al. 2006), saponin, alkaloid, glikosida, kumarin dan triterpenoid-steroid (Rostiana et al. 2003).
6
Bahan aktif sitosterol, stigmasterol, bergapten dan saponin dari tanaman purwoceng telah berhasil diproduksi secara in vitro melalui kultur kalus dan akar rambut dengan menggunakan skualena dan mevalonat sebagai prekursor (Darwati 2007). Turunan senyawa kumarin digunakan dalam industri obat moderen sebagai analgetika (penghilang rasa sakit ), anti fungi, anti bakteri dan anti kanker (Sidik et al., 1985 dalam Rostiana et al. 2006). Sedangkan senyawa yang diketahui memberi efek afrodisiak diantaranya adalah turunan steroid, saponin, alkaloid, tanin dan senyawa lain yang dapat melancarkan peredaran darah (Anwar 2001). Hasil uji farmaklogis
pada tikus menunjukkan pemberian ekstrak akar
purwoceng meningkatkan motilitas spermatozoa (Juniarto 2004) dan meningkatkan kadar LH (Luteinizing Hormone) dan testoteron (Taufiqqurrachman & Wibowo 2006). Peningkatan kadar testoteron ini disebabkan efek stimulasi ekstrak purwoceng terhadap LH dan konversi fitosterol yang ada pada ekstrak purwoceng menjadi testoteron pada jaringan hewan uji (Taufiqqurrachman & Wibowo 2006).
Testoteron merupakan hormon utama yang mempengaruhi
perilaku sexual pria. Hasil penelitian menunjukkan beberapa pria menjadi lebih agresif, sensitif
dan mampu untuk ereksi apabila kadar serum testoteronnya
cukup (Beck, 1993, Morales et al. 1997 dan Van Basten et al. 1997 dalam Taufiqqurrachman & Wibowo 2006). Testoteron dibentuk dari ester kolesterol di dalam sel Leydig testis, sisanya sekitar 5% dihasilkan oleh kortek adrenal di mana prekursor seperti sterol dari tanaman akan dikonversi menjadi testoteron di dalam jaringan pheripheral (Graner 1996 dalam Taufiqqurrachman & Wibowo 2006).
Mutasi pada Pemuliaan Tanaman Mutasi didefinisikan sebagai perubahan material genetik yang diwariskan (van Harten 1998; Montelone 1998; Hartl 1994). Sedangkan keseluruhan proses yang menyebabkan timbulnya berbagai macam mutasi
disebut mutagenesis.
Secara teori, seluruh perubahan yang terjadi pada sekuen DNA akan menimbulkan perubahan kode genetik sehingga disebut mutasi (van Harten 1998; Chahal & Gosal 2006). Berdasarkan proses terjadinya, mutasi terbagi menjadi dua yaitu mutasi alami/spontan dan mutasi yang diinduksi.
Mutasi spontan adalah mutasi yang
terjadi tanpa diketahui agen penyebabnya, terjadi secara acak tanpa diketahui
7
kapan akan terjadi (Hartl 1994). Mutasi spontan terjadi sebagai hasil proses alami di dalam sel seperti kesalahan pada saat replikasi DNA atau hasil interaksi dengan mutagen yang terdapat di lingkungan (Montelone 1998). Kesalahan dalam replikasi DNA mencapai 1 per 102 gen yang berreplikasi. Namun karena adanya mekanisme perbaikan, laju mutasi akibat kesalahan replikasi DNA menjadi sekitar 1 per 108 sampai 109 lokus (Micke 1991 dalam van Harten 1998). Mutasi spontan terjadi dengan laju yang sangat rendah dan bervariasi pada setiap organisme. Laju mutasi spontan pada E. coli berkisar antara 10-5 - 10-9 (Hartl 1994), sedangkan pada tanaman Arabidopsis berkisar antara 10-7 - 10-8 pasang basa per generasi (Kovalchuk et al. 2000 dalam Greene et al. 2003). Mutasi induksi adalah mutasi yang diketahui agen penyebabnya.
Bukti
pertama yang menunjukkan bahwa agen dari luar dapat meningkatkan laju mutasi diperlihatkan
oleh Hermano Muller pada tahun 1927 dengan meng-
gunakan sinar X pada Drosophila. Setelah itu berbagai jenis agen fisik dan kimia yang dapat meningkatkan laju terjadinya mutasi ditemukan (Hartl 1994). Mutasi induksi terjadi dengan laju yang lebih tinggi dibandingkan mutasi spontan. Mutagen fisik dan kimia diketahui dapat meningkatkan laju mutasi ratusan sampai ribuan kali dibandingkan mutasi spontan (Broertjes & van Harten 1988; van Harten 1998). Laju mutasi yang optimal untuk kegiatan pemuliaan adalah sekitar 1 per 104 lokus (van Harten 1998). Pada kegiatan pemuliaan tanaman, mutasi induksi digunakan untuk menginduksi terjadinya mutasi pada lokus yang mengontrol sifat yang penting secara ekonomi atau mengeliminasi gen-gen yang tidak diinginkan dari galurgalur elit (Lippert et al. 1964 dalam Jabeen & Mirza 2004). Mutasi induksi dapat memberikan tambahan keragaman genetik untuk melengkapi pemuliaan tanaman konvensional (Odeigah et al. 1998).
Pemanfaatan mutasi secara
langsung pada pemuliaan tanaman untuk menambahkan satu atau dua karakter yang mudah diidentifikasi dapat dilakukan tanpa mengubah genotipe dasar dari kultivar yang sudah adaptif.
Hal ini menguntungkan karena tidak diperlukan
backcross yang berulang untuk merekonstruksi genotipe dasar dari kultivar tersebut (Chahal & Gosal 2006). Menurut Chahal dan Gosal (2006), situasi ideal untuk melakukan mutasi adalah apabila gen atau alel
yang diinginkan tidak
terdapat pada plasma nutfah yang dimiliki atau gen tersebut terpaut dekat dengan gen yang tidak diinginkan sehingga rekombinasi melalui persilangan sulit
8
dilakukan. Mutasi juga dilakukan untuk menginduksi dan mengintroduksi alel yang tidak ada di dalam populasi alami. Mutasi dapat dibedakan berdasarkan beberapa kategori.
Yang paling
umum adalah pembagian mutasi berdasarkan besarnya sekuen DNA yang berubah yaitu pada tingkat genom, kromosom dan gen (Broertjes & van Harten 1988). Mutasi pada tingkat genom berupa perubahan pada tingkat ploidi atau jumlah kromosom, baik polilpoid maupun aneuploid. Sedangkan mutasi pada tingkat kromosom berupa perubahan pada struktur kromosom yang disebabkan oleh adanya delesi, inversi, duplikasi atau translokasi. Mutasi gen atau disebut juga mutasi titik atau narrow sense mutation atau intragenic mutation adalah perubahan yang terjadi di dalam gen yang diakibatkan oleh adanya perubahan pada sekuen DNA di dalam gen tersebut seperti penambahan atau pengurangan satu atau beberapa pasang basa atau penggantian satu pasang basa oleh yang lainnya (van Harten 1998). Pada kegiatan pemuliaan, mutasi yang diinginkan adalah mutasi
pada
tingkat gen dan alelnya atau mutasi titik atau perubahan pada sejumlah kecil segmen kromosom (van Harten 1998), sebab perubahan pada sejumlah besar segmen kromosom sering menimbulkan pengaruh negatif seperti berkurangnya fertilitas pada tanaman (Broertjes & van Harten 1988). Mutasi titik yang diakibatkan oleh penggantian atau substitusi pasangan basa akan menghasilkan silent mutation (mutasi diam atau mutasi yang tidak kelihatan) apabila penggantian pasangan basa tidak menimbulkan perubahan pada asam amino yang dikodekannya. Perubahan pada asam amino ini akan mengakibatkan perubahan pada struktur dan fungsi protein yang disusunnya. Substitusi basa juga dapat mengubah kodon penyandi asam amino menjadi stop kodon atau disebut nonsense mutation, menghasilkan prematurely shortened protein. Pengaruh dari nonsense mutation bervariasi tergantung seberapa banyak protein terpotong dan seberapa besar pengaruhnya terhadap fungsi protein tersebut.
Substitusi basa dapat juga terjadi pada promotor atau daerah
regulator dari gen yang mungkin akan mempengaruhi transkripsi dan translasi yang pada akhirnya akan mempengaruhi ekspresi gen (van Harten 1998; Montelone 1998). Substitusi pasangan basa dapat terjadi antara purin dengan purin atau pirimidin dengan pirimidin yang disebut transisi atau antara purin dengan pirimidin atau sebaliknya yang disebut transversi (Hartl 1994; van Harten 1998).
9
Mutasi titik berupa penambahan dan pengurangan satu atau lebih (tapi bukan tiga atau kelipatan tiga) nukletida pada daerah pengkode asam amino akan mengakibatkan perubahan pada reading frame atau disebut dengan frameshift mutation.
Mutasi tipe ini akan menghasilkan protein yang tidak
fungsional atau protein yang berbeda dengan protein semula atau terjadi pemendekan protein akibat terbentuknya stop kodon yang lebih awal (Montelone 1998). Perubahan fenotipe yang dihasilkan akibat mutasi bervariasi, mulai dari perubahan minor yang hanya terdeteksi dengan metode analisis biokimia sampai perubahan drastis yang terjadi di dalam proses metabolisme yang esensial sehingga menimbulkan kematian sel atau organsime (Hartl 1994).
Induksi Mutasi Secara In Vitro Mutasi dapat dilakukan secara in vivo maupun in vitro (van Harten 1998). Mutasi yang dikombinasikan dengan teknik kultur in vitro disebut in vitro mutagenesis. Secara teknis, kultur in vitro
dapat menghasilkan variasi soma-
klonal, variasi ini dapat ditingkatkan dengan menggunakan mutagen (van Harten 1998; Svetleva & Crino 2005; Chahal & Gosal 2006). Pada mutasi in vitro, sebuah sel atau agregat sel dapat diberi perlakuan dengan mutagen kimia atau fisik (Chahal & Gosal 2006). Terdapat beberapa kelebihan metode induksi mutasi secara in vitro dibandingkan metode konvensional (in vivo) antara lain 1) mutasi dapat dilakukan pada tingkat sel sehingga peluang untuk terjadinya kimera lebih kecil karena mutan yang dihasilkan berasal dari satu sel, 2) laju mutasi lebih tinggi karena masing-masing sel mengalami kontak langsung dengan mutagen, 3) dapat dilanjutkan dengan seleksi secara in vitro dimana ribuan sel yang merupakan calon tanaman dapat diseleksi pada sekala laboratorium sehingga seleksi terhadap mutan menjadi lebih efesien (Chahal & Gosal 2006). Selain pada kultur sel, mutasi secara in vitro juga dapat dilakukan pada eksplan multiseluler yang berukuran kecil terutama untuk menghindari kimera (van Harten 1998). Induksi mutasi secara in vitro telah dilakukan pada banyak tanaman untuk mendapatkan berbagai sifat yang diinginkan, baik menggunakan mutagen fisik maupun kimia serta dilanjutkan dengan seleksi secara in vitro maupun tidak. Induksi mutasi secara in vitro antara lain telah dilakukan pada tanaman kentang untuk mendapatkan sifat ketahanan terhadap kadar garam tinggi, suhu tinggi
10
dan Phytophthora infestans (Das et al. 2000; Gosal et al. 2001; Sharabash 2001; Rashed et al. 2001), tanaman tebu untuk mendapatkan sifat ketahanan terhadap kadar garam tinggi, penyakit red rot, genangan dan sifat tidak berbunga (Rashed et al. 2001; Samad et al. 2001), tanaman bawang putih untuk mendapatkan sifat ketahanan terhadap suhu tinggi (Zhen 2001a), ubi jalar untuk berbagai sifat morfologi (Zhen 2001b), bitter potato untuk perbaikan sifat agronomis (Murillo & Mendoza 2004), apokat untuk peningkatan keragaman genetik (Yenisbar 2005), abaka untuk perbaikan produksi, kualitas serat dan ketahanan terhadap Fusarium (Purwati 2006) serta anggur untuk perbaikan sifat agronomis dan kualitas buah (Khawale et al. 2007).
EMS sebagai Mutagen Mutagen adalah agen alami atau buatan manusia yang dapat mengubah struktur atau sekuen DNA. Dikenal tiga jenis mutagen yaitu mutagen fisik, kimia dan biologi.
Mutagen kimia mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan
mutagen lainnya antara lain 1) sebagian besar mutasi yang terjadi adalah mutasi titik, 2) kerusakan kromosom lebih kecil, dan 3) mutasi terjadi dengan laju yang lebih tinggi (meningkatkan laju mutasi 5 – 10 kali lebih tinggi dibandingkan radiasi) (Broertjes & van Harten 1988; van Harten 1998).
Namun demikian
mutagen kimia juga mempunyai beberapa kekurangannya di antaranya 1) penetrasi pada jaringan multiseluler seringkali sulit, 2) rendahnya reproducibility dan 3) mutagen kimia perlu penanganan sangat hati-hati karena bersifat karsinogenik (van Harten 1998). Pada mutagenesis secara in vitro, sulitnya penetrasi mutagen kimia pada jaringan multiseluler dapat diatasi dengan menggunakan kultur sel atau eksplan multiseluler yang berukuran kecil. EMS (CH3SO2OC2H5) merupakan jenis mutagen kimia yang paling potensial (Chopra 2005), banyak digunakan dan paling efektif (Medina et al. 2005) serta telah digunakan sebagai mutagen pada berbagai jenis organisma mulai dari virus sampai mamalia (Sega 1984). Menurut von Arnim (2005), EMS banyak digunakan sebab toksisitasnya tidak terlalu tinggi (moderate toxicity), memiliki efektivitas yang tinggi untuk menginduksi banyak mutasi (multiple mutations) per genom dan biasanya mutasinya berupa substitusi satu basa. EMS merupakan senyawa pengalkil. Gugus alkil bereaksi dengan DNA dengan cara mengalkilasi basa purin dan pirimidin. Alkilasi atau etilasi dapat terjadi pada atom O-6 dari basa guanin sehingga berakibat guanin yang
11
seharusnya berpasangan dengan sitosin menjadi berpasangan dengan timin mengakibatkan perubahan kode genetik pada generasi sel berikutnya dari GC menjadi AT (Sega 1984). Hasil penelitian Greene et al. (2003) pada tanaman Arabidopsis menunjukkan 99% mutasi yang terjadi akibat EMS (20 – 40 mM selama 10-20 jam pada biji) adalah perubahan dari GC ke AT dengan 53% perubahan pada G dan 47% perubahan pada C. Intensitas mutasi cukup tinggi yaitu terjadi pada 1/300 kilo basa atau 10 mutasi per gen. Pada tanaman, EMS umumnya menyebabkan terjadinya mutasi titik, namun dapat juga menyebabkan kehilangan sedikit segmen kromosom atau delesi (Okagaki et al. 1991 dalam Saba & Mirza 2002).
Bhat et al. (2007)
menemukan beberapa ketidaknormalan perilaku kromosom saat meiosis pada tanaman Vicia faba yang mendapat perlakuan EMS 0.1 – 0.4% (v/v) selama 6 jam pada biji. Menurut Sega (1984), pada organisme tinggkat tinggi, EMS dapat menimbulkan kerusakan pada kromosom meskipun mekanismenya belum jelas, kemungkinan disebabkan terjadinya etilasi pada beberapa protein kromosom. Gaulden (1987) dalam Bhat et al. (2007) menyebutkan bahwa pengaruh langsung mutagen terhadap protein histon mengakibatkan ketidaksempurnaan atau kesalahan pada pelipatan DNA. Namun demikian, secara umum EMS mengakibatkan mutasi titik dan hanya sedikit kerusakan yang ditimbulkan pada kromosom (Greene et al. 2003).
Dengan demikian penggunaan EMS pada
pemuliaan tanaman sangat menguntungkan karena dapat mengubah lokus tertentu tanpa menginduksi sejumlah besar mutasi yang terpaut dekat dengan lokus tersebut (Saba & Mirza 2002). Beberapa sifat
penting telah berhasil diperoleh melalui mutasi induksi
menggunakan EMS antara lain pembungaan awal pada springrape (Thurling & Depittayanan 1992), peningkatan hasil dan kandungan vitamin C pada cabe (Pillai & Abraham 1996), toleran salinitas pada krisantemum (Hosain et al. 2006) dan ubi jalar (Luan et al. 2007), toleran herbisida pada tanaman kedelai (Sebastian et al. 1989) dan ketahanan terhadap Xanthomonas oryzae pv oryzae pada padi (Agrawal et al. 2005). Penggunaan eksplan embrio somatik fase globuler dan hati pada mutagenesis in vitro menggunakan EMS antara lain telah dilakukan Purwati (2006) pada tanaman abaka dan berhasil mendapatkan mutan tahan terhadap penyakit layu Fusarium.
12
Cekaman Suhu Tinggi pada Tanaman Di antara berbagai cekaman lingkungan, cekaman yang diakibatkan oleh suhu merupakan yang paling banyak dihadapi oleh tanaman (Iba 2002). Suhu berubah lebih cepat dibandingkan penyebab cekaman lainnya. Suhu juga bervariasi secara spasial dan temporal.
Setiap jenis tanaman mempunyai suhu
optimum masing-masing untuk tumbuh, dan pola penyebarannya di alam ditentukan oleh zone suhu di mana ia bisa hidup. Pada masa yang akan datang, cekaman suhu tinggi akibat pemanasan global akan menjadi ancaman bagi kehidupan hampir seluruh mahluk hidup di bumi termasuk tanaman. Menurut Levitt (1980) tidak ada batasan kuantitatif untuk cekaman suhu tinggi pada tanaman. Setiap jenis tanaman mempunyai batas toleransi yang spesifik terhadap cekaman suhu. Namun demikian, Levitt (1980) mengemukakan bahwa suhu 15°C di atas suhu optimum untuk pertumbuhan umumnya telah mengakibatkan cekaman suhu tinggi pada tanaman yang mempunyai toleransi paling rendah terhadap suhu tinggi (psychrophiles), pada jenis tanaman lain cekaman suhu tinggi mungkin terjadi pada suhu kurang dari 15°C di atas suhu optimum untuk pertumbuhan. Wahid et al. (2007) juga mengemukakan bahwa cekaman suhu tinggi pada tanaman umumnya terjadi pada suhu 10-15°C di atas suhu optimum untuk pertumbuhan. Menurut Wahid et al. (2007), akibat langsung dari cekaman suhu tinggi pada tanaman adalah terdenaturasinya protein dan peningkatan fluiditas membran sel. Akibat tidak langsungnya adalah enzim-enzim menjadi tidak aktif, sintesa protein terhambat dan kehilangan integritas membran. Disintegrasi membran dapat menyebabkan terjadinya kebocoran ion dan solut (Levitt 1980). Levitt (1980) juga mengemukakan bahwa pengaruh utama dari cekaman suhu tinggi adalah berkurangnya kandungan ADP dan ATP. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya penghambatan pada pertumbuhan atau kematian pada tanaman. Menurut Wahid et al. (2007) pada tingkat cekaman suhu yang sangat tinggi kerusakan atau bahkan kematian sel dapat terjadi dalam waktu beberapa menit, sedangkan pada cekaman suhu yang tidak terlalu tinggi (sedang), kerusakan atau kematian sel terjadi setelah periode waktu yang cukup lama. Menurut Zhang et al. (2005), cekaman suhu tinggi dapat mengakibatkan kerusakan yang tidak dapat balik pada PSII dan Rubisco. Hasil penelitian Zhang et al. (2005) menunjukkan lebih banyak gen-gen yang berasosiasi dengan
13
Kloroplas dan fotosintesa yang terekspresi pada tanaman yang
toleran,
dibandingkan pada tanaman yang sensitif terhadap suhu tinggi. Toleransi tanaman terhadap suhu tinggi tampaknya ditentukan oleh tingkat sensitifitas reaksi fotokimia yang berlangsung pada membran tilakoid. Membran tilakoid merupakan membran sel yang paling sensitif terhadap cekaman suhu tinggi.
Membran tilakoid lebih sensitif terhadap kerusakan akibat suhu tinggi
dibandingkan membran kloroplas (chloroplast envelope), dan membran kloroplas lebih sensitif dibandingkan membran plasma (Levitt 1980). Pusat reaksi, kompleks pigmen antena-protein dan sebagian besar enzim-enzim yang terlibat di dalam transfer elektron merupakan integral membrane protein yang terintegrasi pada membran tilakoid (Taiz & Zeiger 2002).
Transfer elektron
adalah bagian dari tahapan reaksi terang pada fotosintesis, elektron yang diperoleh dari hasil pemecahan molekul H2O ini diperlukan untuk mereduksi NADP+ menjadi NADPH dan mendorong terjadinya fosforilasi ADP menjadi ATP. Kapasitas transfer elektron oleh PSII lebih sensitif terhadap kerusakan akibat suhu tinggi dibandingkan aktifitas lainnya. Perlakuan suhu tinggi sampai 44°C tidak mempengaruhi transfer elektron oleh PSI, akan tetapi menurunkan transfer elektron oleh PSII sebesar 25% (Levitt 1980). Penyebab perbedaan sensitifitas antara PSI dan PSII terhadap kerusakan akibat suhu tinggi masih belum jelas, namun diduga berkaitan dengan perbedaan tempat berlangsungnya kedua reaksi tersebut dan perbedaan komposisi protein penyusun PSI dan PSII. PSI dan PSII merupakan kompleks multisubunit klorofil-protein yang terintegrasi pada membran tilakoid. PSII berlangsung di dalam lamela grana, sedangkan PSI berlangsung di dalam lamela stroma dan pada tepi lamela grana (Taiz & Zeiger 2002). Menurut Dekker dan Boekema (2005) dalam Mullineaux (2005), komposisi protein antara lamela grana dan lamela stroma sangat berbeda. Menurut Zhang et al. (2005), respon tanaman terhadap suhu tinggi di antaranya adalah penurunan sintesa protein normal dan percepatan transkripsi dan translasi heat shock protein (HSP). Respon ini dapat teramati pada level suhu 5°C di atas suhu optimum untuk pertumbuhan. Hasil penelitian Zhang et al. (2005) menunjukkan pada saat mendapat cekaman suhu tinggi, tanaman yang rentan lebih sering mengekspresikan gen-gen yang berhubungan dengan metabolisme stres seperti gen yang mengontrol sintesa protein yang berhubungan dengan senesen.
Hal ini menunjukkan tanaman yang
rentan
14
berusaha bertahan dengan lebih banyak menggunakan metabolit
melalui
glikolisis serta perombakan protein dan lipid. Terdapat perbedaan anatomi dan morfologi antara tanaman Festuca yang toleran dan yang sensitif terhadap suhu tinggi. Tanaman yang toleran mempunyai ukuran sel yang lebih besar, lebih banyak sel skelenkima dan kolenkima (sel pendukung) di antara jaringan vaskuler dan epidermis dibandingkan varietas yang rentan atau sensitif (Zhang et al. 2005).
Seleksi In Vitro untuk Ketahanan terhadap Suhu Tinggi Mutagenesis in vitro yang dilanjutkan dengan seleksi secara in vitro untuk katahanan terhadap suhu tinggi telah dilakukan antara lain pada tanaman kentang (Das et al. 2000; Gosal et al. 2001) dan bawang putih (Zhen 2001a). Penelitian-penelitian ini menunjukkan keberhasilan dalam memperoleh mutan toleran suhu tinggi. Induksi mutasi secara in vitro untuk mendapatkan mutan toleran suhu tinggi yang tidak dilanjutkan dengan seleksi secara in vitro melainkan secara in vivo telah dilakukan pada tanamam nenas (Lokko & Amoatey 2001). Pada tanaman kentang, induksi mutasi dilakukan pada setek satu buku.
Seleksi ketahanan terhadap suhu tinggi dilakukan pada populasi
M1V3 berdasarkan kemampuan mutan untuk membentuk umbi mikro pada suhu 28ºC, 8ºC lebih tinggi dari suhu optimum untuk pembentukkan umbi mikro yaitu 20ºC. Seleksi juga dilakukan berdasarkan kemampuan daun mempertahankan persistensi klorofil secara in vitro. Mutan yang mampu membentuk umbi mikro dan mempertahankan persistensi klorofil kemudian dievaluasi di lapang yang beriklim panas dan diperoleh beberapa mutan yang toleran.
Pada tanamam
bawang putih induksi mutasi dilakukan pada struktur globular kalus embriogenik dan seleksi dilakukan berdasarkan kemampuan mutan untuk membentuk umbi (bulb) secara in vitro pada suhu 32ºC. Pada tanaman nenas, induksi mutasi dilakukan pada tunas pucuk dan diperoleh mutan yang mampu tumbuh pada suhu 45ºC di lapang.
Menurut Lokko dan Amoatey (2001), suhu 10ºC lebih
tinggi dari suhu optimum untuk pertumbuhan telah cukup untuk menginduksi ketahanan terhadap suhu tinggi pada tanaman.
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli 2007 sampai Juni 2008 di laboratorium Kultur Jaringan Kelompok Peneliti Ekofisiolagi Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) Bogor.
Bahan Penelitian Bahan tanaman yang digunakan adalah eksplan daun dari tanaman purwoceng aseptik yang telah mengalami periode kultur selama 2 tahun dengan sub kultur setiap 2-3 bulan sekali (Gambar 1).
Gambar 1 Kultur in vitro purwoceng yang digunakan sebagai sumber eksplan.
Metode Penelitian diawali dengan persiapan bahan tanaman berupa induksi embriogenesis somatik dilanjutkan dengan aplikasi EMS dan seleksi in vitro pada beberapa taraf suhu ruang.
Induksi Embriogenesis Somatik Induksi embriogeneisis somatik dilakukan menggunakan metode yang dikembangakan oleh Rostika et al. 2005. Induksi embriogenesis somatik diawali dengan induksi kalus dari eksplan potongan daun purwoceng berukuran sekitar 0.5 – 1 cm x 0.5 – 1 cm. Kalus diinduksi pada media Murashige dan Skoog (MS) dengan penambahan zat pengatur tumbuh 2,4-D 2 mg/l dan pikloram 0.5 mg/l, gula 30 g/l dan pemadat phytagel 2 g/l dengan pH media 5.8. Setiap botol kultur diisi 25 ml media dengan 4 – 5 potong eksplan per botol. Kultur diinkubasi pada
16
suhu 16-18ºC dalam kondisi gelap sampai terbentuk kalus. Kalus yang telah terbentuk kemudian disubkultur pada media embriogenesis somatik yaitu media Driver, Kuniyuki dan Walnut (DKW) dengan penambahan zat pengatur tumbuh IBA 5 mg/l, gula 30 g/l dan pemadat phytagel 2 g/l dengan pH media 5.8. Setiap botol diisi 4 potong kalus berukuran panjang dan lebar sekitar 1 cm x 1 cm. Kultur kemudian diinkubasi pada suhu 16 - 18ºC dengan pencahayaan 2 buah lampu TL masing-masing 40 watt selama 16 jam sampai terbentuk embrio somatik.
Aplikasi EMS Perlakuan EMS dimaksudkan untuk meningkatkan keragaman genetik embrio somatik purwoceng. Sekitar 432 potong eksplan embrio somatik berukuran sekitar 0.5 x 0.5 x 0.5 cm3 yang sebagian besar berada pada fase globular dan hati direndam di dalam larutan EMS 0, 0.1, 0.3, 0.5 dan 0.7% (v/v) dengan lama perendaman 1 atau 2 jam. Larutan bufer natrium fosfat pH 7 0.1M dan DMSO (dimethyl sulfo-oxida) 4% dipergunakan sebagai pelarut EMS (EMS 0%). Sebagai kontrol digunakan aquades dengan lama perendaman yang sama. Masing-masing perlakuan terdiri dari 36 eksplan. Setelah diberi perlakuan EMS, eksplan dibilas 3 kali dengan aquades steril (kecuali kontrol aquades), kemudian diletakkan di dalam cawan petri yang telah diberi lapisan kertas saring steril. Setelah itu eksplan ditanam pada media DKW dengan penambahan zat pengatur tumbuh IBA 5 mg/l, gula 30 g/l dan pemadat phytagel 2 g/l dengan pH media 5.8 sebanyak 3 eksplan per botol. Dengan demikian setiap perlakuan terdiri dari 12 botol.
Seleksi In Vitro Seleksi in vitro dilakukan di dalam 3 buah ruangan yang berbeda yaitu ruang inkubasi kontrol dengan rata-rata suhu siang 17.3 ± 0.5ºC, ruang seleksi I dengan rata-rata suhu siang 23.3 ± 2.1ºC dan ruang seleksi II dengan rata-rata suhu siang 32.8 ± 1.7ºC. Suhu 17.3 ± 0.5ºC pada ruang inkubasi kontrol dan suhu 23.3 ± 2.1ºC pada ruang seleksi I dikontrol dengan menggunakan AC, sedangkan suhu 32.8 ± 1.7ºC pada ruang seleksi II diperoleh dengan menggunakan bantuan lampu pijar yang dicat hitam sebagai sumber panas. Lampu pijar diletakkan pada bagian atas rak kultur bersebelahan dengan lampu TL. Eksplan embrio somatik yang telah mendapat perlakuan EMS dan telah
17
ditanam pada media DKW + IBA 5 mg/l diinkubasi pada masing-masing suhu seleksi dengan pencahayaan dua buah lampu TL masing-masing 40 watt selama 16 jam.
Penempatan perlakuan EMS di dalam masing-masing suhu seleksi
menggunakan rancangan lingkungan acak kelompok dengan 4 ulangan. Masingmasing ulangan terdiri dari 1 botol kultur dan masing-masing botol kultur terdiri dari 3 eksplan. Seleksi dilakukan selama 3 bulan dengan subkultur setiap bulan. Subkultur dilakukan pada media yang sama kecuali apabila telah terbentuk tunas atau kecambah fase kotiledon akhir dan akar subkultur dilakukan pada media DKW tanpa zat pengatur tumbuh. Untuk mengetahui kondisi suhu seleksi dilakukan pengukuran suhu harian pada pukul 09.00, 12.00 dan 15.00 WIB. Pertukaran posisi botol kultur di dalam ulangan dilakukan setiap 2 kali seminggu untuk lebih memeratakan suhu di antara botol kultur yang diinkubasi pada suhu 32.8 ± 1.7ºC. Peubah yang diamati meliputi penambahan bobot segar eksplan (diamati setiap bulan pada umur 1, 2 dan 3 bulan), persentase eksplan membentuk tunas (diamati setiap bulan pada umur 1, 2 dan 3 bulan), jumlah tunas per eksplan (diamati setiap bulan pada umur 1, 2 dan 3 bulan) dan persentase eksplan hidup (diamati setiap bulan pada umur 1, 2 dan 3 bulan). Di samping itu dilakukan juga pengamatan terhadap tipe dan frekuensi variasi fenotipe tunas umur 3 bulan pada masing-masing perlakuan EMS dan suhu seleksi. Frekuensi variasi tunas dihitung dengan cara berikut : Jumlah tunas dengan tipe variasi fenotipe tertentu Frekuensi variasi = ------------------------------------------------------------------ X 100% Jumlah tunas yang diamati Kriteria seleksi didasarkan pada kemampuan eksplan bertahan hidup pada kondisi suhu seleksi. Embrio somatik yang mampu bertahan hidup atau tunas yang terbentuk dan mampu bertahan hidup selama periode seleksi dikategorikan sebagai embrio somatik dan tunas yang tahan atau tidak sensitif terhadap suhu seleksi. Sebaliknya embrio somatik atau tunas yang tidak dapat bertahan hidup atau mati selama periode seleksi
dianggap sebagai embrio
somatik atau tunas yang tidak tahan atau sensitif terhadap suhu seleksi. Analisis ragam dilanjutkan dengan uji Jarak Berganda Duncan pada taraf α 0.05 menggunakan program SAS 9.1 dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan EMS terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan pada masing-masing suhu seleksi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Induksi Kalus dan Embriogenesis Somatik Kalus purwoceng berhasil diinduksi dari eksplan daun
pada media MS
dengan penambahan zat pengatur tumbuh 2,4-D 2 mg/l + pikloram 0.5 mg/l. Inisiaisi kalus mulai terbentuk pada umur 1 minggu. Pada umur 4 minggu hampir seluruh permukaan eksplan telah ditutupi oleh kalus.
Kalus yang terbentuk
berwarna krem keputihan atau krem muda dengan struktur yang kompak (Gambar 2A dan B). Setelah berumur 6 minggu kalus dipindahkan ke dalam media induksi embriogenesis somatik yaitu media DKW dengan penambahan zat pengatur tumbuh IBA 5 mg/l.
Pada umur 6 minggu mulai terbentuk embrio
somatik fase globuler dan hati berwarna krem kehijauan (Gambar 2C dan D). Embrio somatik pada fase ini kemudian digunakan sebagai bahan untuk induksi mutasi dengan EMS dilanjutkan dengan seleksi in vitro pada suhu tinggi.
A
C
B
C
D
D
Gambar 2 Kalus yang diinduksi dari eksplan daun pada media MS + 2,4-D 2 mg/l + pikloram 0.5 mg/l umur 4 minggu (A) dan 6 minggu (B) serta embrio somatik fase globuler (C) dan fase hati (D) yang diinduksi pada media DKW + IBA 5 mg/l
19
Keadaan Suhu Ruang Seleksi Hasil pengukuran suhu harian pada masing-masing ruang seleksi menunjukkan rata-rata suhu siang hari di dalam ruang inkubasi kontrol adalah 17.3 ± 0.5ºC, ruang seleksi I 23.3 ± 2.1ºC dan ruang seleksi II 32.8 ± 1.7ºC. Rata-rata suhu siang pada ruang inkubasi kontrol relatif stabil, sedangkan di dalam ruang seleksi I dan II berfluktuasi seiring dengan perubahan suhu lingkungan. Pada ruang seleksi I rata-rata suhu pukul 12.00 dan 15.00 lebih tinggi sekitar 0.2ºC dan 1.3ºC dibandingkan rata-rata suhu pukul 09.00. Demikian juga pada ruang seleksi II, rata-rata suhu pukul 12.00 dan 15.00 lebih tinggi sekitar 0.9ºC dan 1ºC dibandingkan rata-rata suhu pada pukul 09.00 (Tabel 1). Penggunaan AC yang intensif pada ruang inkubasi kontrol menyebabkan suhu pada ruang tersebut lebih stabil dibandingkan suhu pada ruang seleksi I dan II. Pada ruang seleksi I AC digunakan secara terbatas, sedangkan pada ruang seleksi II tidak dipergunakan AC. Suhu pada ruang inkubasi kontrol merupakan suhu yang selama ini digunakan untuk kultur in vitro purwoceng. Tabel 1 Rata-rata suhu harian pada masing-masing ruang seleksi Ruang seleksi Kontrol
Ruang I
Ruang II
Waktu pengukuran (WIB) 09.00
Rata-rata suhu (ºC)
12.00
17.3 ± 0.5
15.00
17.3 ± 0.6
Rata-rata
17.3 ± 0.5
09.00
22.9 ± 2.0
12.00
23.1 ± 1.7
15.00
24.2 ± 2.2
Rata-rata
23.3 ± 2.1
09.00
32.2 ± 1.4
12.00
33.1 ± 1.6
15.00
33.2 ± 1.8
Rata-rata
32.8 ± 1.7
17.3 ± 0.5
20
Keadaan Kultur Sekitar 80% kultur yang diinkubasi pada suhu 32.8 ± 1.7ºC mengalami kontaminasi.
Sebagian besar kontaminan berupa bakteri (Gambar 3), hanya
sekitar 10% kontaminan berupa cendawan. Kontaminasi yang terjadi pada suhu kontrol dan suhu 23.3 ± 2.1ºC sekitar 10% yang terdiri dari kontaminan bakteri dan cendawan. Meskipun terkontaminasi, kultur pada suhu 32.8 ± 1.7ºC dapat dipertahankan dan diamati sampai akhir seleksi karena perkembangan bakteri relatif lambat, dan setiap bulan selalu dilakukan sub kultur ke dalam media baru.
Gambar 3 Kultur yang mengalami kontaminasi bakteri pada suhu 32.8 ± 1.7ºC
Pengaruh Suhu Seleksi dan EMS terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Eksplan Indikasi pengaruh fisiologis dari mutagen pada mutagenesis secara in vitro, dapat dilihat berdasarkan pengaruh penghambatannya terhadap pertumbuhan, kemampuan hidup dan kemampuan regenerasi eksplan setelah aplikasi mutagen dibandingkan kontrol tanpa perlakuan mutagen (van Harten 1998; Roux 2004). Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan eksplan cenderung semakin menurun dengan meningkatnya suhu seleksi dan dosis EMS yang digunakan. Pertumbuhan dan perkembangan eksplan cenderung terhambat pada suhu 32.8 ± 1.7ºC dan dosis EMS 0.7% selama 2 jam.
Penambahan Bobot Segar Eksplan Peubah bobot segar eksplan digunakan untuk mengukur pertumbuhan tanaman baik secara in vitro maupun in vivo (van Harten 1998; Roux 2004; Medina et al. 2005). Rata-rata penambahan bobot segar eksplan semakin menurun dengan meningkatnya suhu seleksi.
Rata-rata penambahan bobot
21
segar eksplan umur 1, 2 dan 3 bulan pada suhu kontrol berturut-turut berkisar antara 0.1890 - 0.4892 g, 0.3659 - 1.6139 g dan 2.2859 - 6.1972 g. Pada suhu 23.3 ± 2.1ºC berkisar antara 0.1710 - 0.4429 g, 0.4497 - 1.9279 g dan 1.2287 3.5572 g dan pada suhu 32.8 ± 1.7 ºC berkisar antara 0.1393 - 0.4223 g, 0.1420 - 1.9263 g dan 0 - 0.3062 g. Suhu 32.8 ± 1.7ºC menunjukkan rata-rata penambahan bobot segar eksplan paling rendah pada umur 1, 2 dan 3 bulan (Gambar 4). Rata-rata penambahan bobot segar eksplan pada suhu kontrol dan suhu 23.3 ± 2.1ºC cenderung meningkat dengan semakin meningkatnya umur eksplan, sedangkan rata-rata penambahan bobot segar eksplan pada suhu 32.8 ± 1.7ºC cenderung menurun dengan meningkatnya umur eksplan atau bertambah lamanya periode seleksi (Gambar 4). Hal ini menunjukkan suhu 32.8 ± 1.7ºC cenderung memberikan penghambatan terhadap pertumbuhan eksplan, dan penghambatannya semakin besar dengan bertambah lamanya periode seleksi. Menurut Sung et al. (2003), besarnya cekaman yang ditimbulkan oleh suhu berbeda-beda tergantung dari intensitas derajat suhu, laju perubahan suhu dan lamanya periode cekaman. Hasil penelitian Chalupa dan Durzan (1973) dalam Chalupa (1987) dan Chalupa (1987) menunjukkan suhu memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan kalus tanaman Picea abies dan Pinus banksiana. Suhu optimum untuk pertumbuhan kalus diperoleh pada suhu 25°C. Suhu di bawah dan di atas suhu optimum menghambat pertumbuhan kalus yang ditandai oleh rata-rata bobot segar dan bobot kering kalus yang lebih rendah dibandingkan pada suhu 25°C. Pengaruh EMS terhadap rata-rata penambahan bobot segar eksplan pada suhu kontrol nyata pada umur 2 bulan. Rata-rata penambahan bobot segar eksplan cenderung semakin menurun dengan meningkatnya dosis EMS yang digunakan. Rata-rata penambahan bobot segar eksplan umur 2 bulan paling tinggi diperoleh pada perlakuan EMS 0.1% selama 2 jam yaitu 1.6139 g, namun hanya berbeda nyata dengan kontrol aquades selama 2 jam serta EMS 0.3 dan 0.7% selama 2 jam yang berturut-turut menunjukkan penambahan bobot segar 0.5835 g, 0.6383 g dan 0.3659 g. Perlakuan EMS 0.1% selama 2 jam juga cenderung menunjukkan rata-rata penambahan bobot segar eksplan paling tinggi pada umur 1 bulan yaitu 0.4892 g, sedangkan rata-rata penambahan bobot segar eksplan paling tinggi umur 3 bulan ditunjukkan oleh perlakuan EMS 0% selama 1 jam yaitu 6.1972 g, namun pengaruh EMS pada umur 1 dan 3 bulan secara
22
0.5 0.4 0.3 (g) 0.2 0.1
17.3±0.5°C 23.3±2.1°C 32.8±1.7°C
0 Ka-1
Ka-2
E0-1
E0-2
E1-1
E1-2
E3-1
E3-2
E5-1
E5-2
E7-1
E7-2
1 bulan
a
2
abc
abc
1.5 (g)
abcd
abcd
bcd
cd
1 0.5
a
ab
abcd abcd
abcd d
b
b
b
b
b
b
b
b
b
b
b
0 Ka-1
Ka-2
E0-1
E0-2
E1-1
E1-2
E3-1
E3-2
E5-1
E5-2
E7-1
17.3±0.5°C 23.3±2.1°C 32.8±1.7°C
E7-2
2 bulan
7 6 5 4
(g) 3 2
17.3±0.5°C 23.3±2.1°C 32.8±1.7°C
1 0
Ka-1
Ka-2
E0-1
E0-2
E1-1
E1-2
E3-1
E3-2
E5-1
E5-2
E7-1
E7-2
3 bulan Keterangan : Ka-1 dan Ka-2 = E0-1 dan E0-2 = E1-1 dan E1-2 = E3-1 dan E3-2 = E5-1 dan E5-2 = E7-1 dan E7-2 =
Kontrol aquades selama 1 dan 2 jam EMS 0% selama 1 dan 2 jam EMS 0.1% selama 1 dan 2 jam EMS 0.3% selama 1 dan 2 jam EMS 0.5% selama 1 dan 2 jam EMS 0.7% selama 1 dan 2 jam
Gambar 4 Pengaruh suhu seleksi dan EMS terhadap rata-rata penambahan bobot segar eksplan umur 1, 2 dan 3 bulan. Huruf yang sama pada umur dan suhu seleksi yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Jarak Berganda Duncan pada taraf α = 0.05.
23
statistik tidak nyata. Perlakuan EMS 0.7% selama 2 jam cenderung menunjukkan rata-rata penambahan bobot segar eksplan paling rendah pada umur 1, 2 dan 3 bulan, yaitu berturut-turut 0.1890 g, 0.3659 g, dan 2.3751 g (Gambar 4). Hal ini menunjukkan EMS 0.7% selama 2 jam cenderung memberikan penghambatan terhadap pertumbuhan eksplan yang diinkubasi pada suhu kontrol. Pada suhu kontrol, pengaruh tekanan dari suhu seleksi dianggap tidak ada, sehingga pengaruh penghambatan terhadap pertumbuhan eksplan dapat dianggap sebagai pengaruh penghambatan dari EMS secara tunggal. Rata-rata penambahan bobot segar eksplan pada suhu 23.3 ± 2.1ºC juga cenderung semakin menurun dengan meningkatnya dosis EMS, namun demikian pengaruhnya secara statistik tidak nyata pada umur 1, 2 dan 3 bulan. Perlakuan kontrol aquades, EMS 0 dan 0.1% selama 2 jam cenderung menunjukkan ratarata penambahan bobot segar eksplan umur 1 bulan lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Demikian juga perlakuan EMS 0% selama 2 jam pada umur 2 bulan dan EMS 0.1% selama 1 dan 2 jam pada umur 3 bulan. Perlakuan EMS 0.7% selama 2 jam cenderung menunjukkan rata-rata penambahan bobot segar eksplan paling rendah pada umur 1, 2 dan 3 bulan yaitu berturut-turut 0.1710 g, 0.4497 g dan 1.2287 g (Gambar 4). EMS memberikan pengaruh nyata terhadap rata-rata penambahan bobot segar eksplan umur 2 bulan pada suhu 32.8 ± 1.7ºC. Rata-rata penambahan bobot segar eksplan umur 2 bulan paling tinggi ditunjukkan oleh perlakuan EMS 0% selama 2 jam yaitu 1.9263 g, berbeda nyata dengan kontrol aquades dan perlakuan EMS lainnya yang berkisar antara 0.1420 – 0.4239 g. Tidak terdapat perbedaan rata-rata penambahan bobot segar yang nyata di antara kontrol aqudes dan perlakuan EMS lainnya (Gambar 4). Pengaruh perlakuan EMS pada umur 1 dan 3 bulan secara statistik tidak nyata, namun demikian perlakuan EMS 0.1 dan 0.3% selama 1 jam cenderung menunjukkan rata-rata penambahan bobot segar eksplan yang lebih tinggi berturut-turut pada umur 1 dan 3 bulan (Gambar 4). Adanya pengaruh penghambatan dari EMS terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan embrio somatik telah dikemukakan oleh peneliti sebelumnya di antaranya Yenisbar (2005) dan Purwati (2006), sedangkan pengaruh dorongan EMS pada dosis rendah terhadap pertumbuhan eksplan embrio somatik apokat antara lain dikemukakan oleh Yenisbar (2005) dan terhadap kemampuan embriogenesis somatik kedelai oleh Van et al. (2008). EMS pada
24
dosis rendah juga dilaporkan mendorong pertumbuhan kalus tanaman buncis (Svetleva & Crino 2005). Menurut van Harten (1998) dosis mutagen merupakan hasil perkalian antara konsentrasi dan lama periode perlakuan. Semakin tinggi konsentrasi dan lama periode perlakuan maka semakin besar dosis mutagen yang diterima oleh tanaman. Semakin tinggi dosis mutagen semakin tinggi efek penghambatannya terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan. Namun demikian sensitifitas setiap material tanaman terhadap mutagen berbeda-beda tergantung faktor genetik, fisiologis dan kondisi lingkungan pada saat dan setelah aplikasi mutagen.
Penghambatan ini diduga disebabkan oleh terjadinya
kerusakan DNA pada sel yang diberi perlakuan mutagen (Gichner 2003 dalam Purwati 2006). Dorongan EMS pada dosis rendah terhadap pertumbuhan eksplan diduga berkaitan dengan pengaruh stres yang ditimbulkan akibat penggunaan EMS (Van et al. 2008). Menurut Pius et al. (1994) dalam Van et al. (2008), EMS merupakan salah satu elemen stres, dan pengaruh dorongannya terhadap daya regenerasi pada kultur jaringan somatik telah dilaporkan sebelumnya. Gaj (2002) dalam Van et al. (2008) juga mengemukakan bahwa pengaruh dorongan EMS pada dosis rendah terhadap pertumbuhan eksplan bukan disebabkan oleh pengaruh EMS secara langsung, melainkan diakibatkan oleh pengaruh stres yang ditimbulkan akibat perlakuan EMS. Penggunaan pelarut bufer natrium fosfat pH 7 0.1M dan DMSO 4% (EMS 0%) cenderung meningkatkan penambahan bobot segar eksplan. Bagaimana larutan bufer natrium fosfat dapat meningkatkan penambahan bobot segar eksplan masih belum jelas, apakah disebabkan NaH2PO4 dan Na2HPO4 yang digunakan sebagai bahan pembuatan bufer menjadi sumber nutrisi tambahan bagi eksplan, atau ada pengaruh lain. Hasil ini berbeda dengan yang diperoleh Wang et al. (2007), di mana kontrol bufer fosfat pH 3 0.1M memberikan penghambatan terhadap kemampuan hidup eksplan kalus jagung. Diduga pH yang rendah pada penelitian Wang et al. bersifat toksik terhadap eksplan. Bufer natrium fosfat digunakan sebagai pelarut untuk mencegah terjadinya hidrolisis pada mutagen. EMS mudah terhidrolisis di dalam air sehingga kehilangan sifat mutagennya, sedangkan DMSO berfungsi sebagai agen pembawa yang membantu meningkatkan penetrasi mutagen ke dalam jaringan multiseluler (van Harten 1998). Penghambatan terhadap pertumbuhan atau penambahan bobot segar eksplan pada suhu 23.3 ± 2.1ºC dan 32.8 ± 1.7ºC tidak dapat dilihat sebagai
25
hasil dari pengaruh penghambatan EMS secara tunggal, melainkan ada pengaruh tekanan dari suhu seleksi. Oleh karena itu eksplan yang menunjukkan ratarata penambahan bobot segar yang tinggi pada suhu 23.3 ± 2.1ºC dan 32.8 ± 1.7ºC menunjukkan adanya kemampuan dari eksplan untuk mengatasi tekanan suhu seleksi sehingga mampu tumbuh lebih baik.
Persentase Eksplan Membentuk Tunas Menurut Roux (2004), peubah persentase eksplan membentuk tunas digunakan
untuk
mengukur
kemampuan
regenerasi
eksplan.
Rata-rata
persentase eksplan membentuk tunas semakin menurun dengan meningkatnya suhu seleksi. Rata-rata persentase eksplan membentuk tunas umur 1, 2 dan 3 bulan pada suhu kontrol berturut-turut berkisar antara 0 – 66.7%, 33.3 – 83.3% dan 91.7 – 100%. Pada suhu 23.3 ± 2.1ºC berkisar antara 0 – 66.7%, 33.3 – 100% dan 50 – 100% dan pada suhu 32.8 ± 1.7ºC berkisar antara 0 – 33.3% pada umur 1 bulan serta 0 – 50% pada umur 2 dan 3 bulan. Suhu 32.8 ± 1.7ºC cenderung memberikan penghambatan terhadap pembentukan tunas dengan rata-rata persentase eksplan membentuk tunas umur 1, 2 dan 3 bulan lebih rendah dibandingkan pada suhu kontrol dan suhu 23.3 ± 2.1ºC.
Rata-rata
persentase eksplan membentuk tunas pada suhu kontrol dan suhu 23.3 ± 2.1ºC cenderung meningkat dengan semakin meningkatnya umur eksplan, sedangkan pada suhu 32.8 ± 1.7ºC cenderung meningkat pada umur 2 bulan dan tidak terjadi peningkatan pada umur 3 bulan (Gambar 5). Hasil penelitian Arnold dan Erikson dalam Chalupa (1987) menunjukkan induksi tunas adventif pada embrio tanaman Picea abies dipengaruhi oleh suhu. Pembentukan tunas terhambat pada suhu 15°C dan pada suhu 30°C embrio mati. Persentase embrio membentuk tunas paling tinggi diperoleh pada perlakuan suhu 20 dan 25°C. Pengaruh EMS terhadap persentase eksplan membentuk tunas umur 1, 2 dan 3 bulan pada suhu kontrol tidak nyata, namun demikian rata-rata persentase eksplan membentuk tunas umur 1 dan 2 bulan cenderung menurun dengan meningkatnya dosis EMS. Rata-rata persentase eksplan membentuk tunas paling tinggi umur 1 bulan ditunjukkan oleh kontrol aquades selama 1 jam yaitu 66.7%, dan pada umur 2 bulan ditunjukkan oleh kontrol aquades serta EMS 0 dan 0.1% selama 1 jam sebesar 83.3%. Perlakuan EMS 0.7% selama 2 jam cenderung menunjukkan rata-rata persentase eksplan membentuk tunas paling rendah pada umur 1 dan 2 bulan yaitu 0 dan 33.3%. Pengaruh penghambatan
26
a
a
80
ab
ab
abc
60
abcd
(%) 40
bcd
cd
20
abcd
abcd
cd
d
0 Ka-1
Ka-2
E0-1
E0-2
E1-1
E1-2
E3-1
E3-2
E5-1
E5-2
E7-1
17.3±0.5°C 23.3±2.1°C 32.8±1.7°C
E7-2
1 bulan
a ab
100
ab
ab
abc
80
abc
60 (%)
bc
abc
abc
abc
c
c
40 17.3±0.5°C 23.3±2.1°C 32.8±1.7°C
20 0
Ka-1
Ka-2
E0-1
E0-2
E1-1
E1-2
E3-1
E3-2
E5-1
E5-2
E7-1
E7-2
2 bulan
100 80 60 (%)
40 20
17.3±0.5°C 23.3±2.1°C 32.8±1.7°C
0 Ka-1
Ka-2
E0-1
E0-2
E1-1
E1-2
E3-1
E3-2
E5-1
E5-2
E7-1
E7-2
3 bulan Keterangan : Ka-1 dan Ka-2 = E0-1 dan E0-2 = E1-1 dan E1-2 = E3-1 dan E3-2 = E5-1 dan E5-2 = E7-1 dan E7-2 =
Kontrol aquades selama 1 dan 2 jam EMS 0% selama 1 dan 2 jam EMS 0.1% selama 1 dan 2 jam EMS 0.3% selama 1 dan 2 jam EMS 0.5% selama 1 dan 2 jam EMS 0.7% selama 1 dan 2 jam
Gambar 5 Pengaruh suhu seleksi dan EMS terhadap rata-rata persentase eksplan membentuk tunas umur 1, 2 dan 3 bulan. Huruf yang sama pada umur dan suhu seleksi yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Jarak Berganda Duncan pada taraf α = 0.05.
27
dari EMS tidak tampak pada umur 3 bulan, di mana rata-rata persentase eksplan membentuk tunas pada semua perlakuan mencapai 91.7 atau 100% (Gambar 5). Adanya pengaruh penghambatan dari EMS terhadap kemampuan eksplan embrio somatik membentuk tunas antara lain dikemukakan oleh Purwati (2006), sedangkan Khawale et al. (2007) melaporkan adanya penghambatan EMS terhadap pembentukan tunas pada setek mikro anggur, di mana persentase eksplan membentuk tunas semakin menurun dengan meningkatnya dosis EMS yang digunakan. Pengaruh EMS terhadap rata-rata persentase eksplan membentuk tunas umur 1 dan 2 bulan pada suhu 23.3 ± 2.1ºC secara statistik nyata. Rata-rata persentase eksplan membentuk tunas umur 1 bulan paling tinggi ditunjukkan oleh perlakuan kontrol aquades selama 1 jam dan EMS 0.5% selama 2 jam yaitu 66.7%, namun perbedaanya hanya nyata dengan perlakuan EMS 0, 0.1 dan 0.3% selama 1 jam serta EMS 0.7% selama 2 jam yang menunjukkan rata-rata persentase eksplan membentuk tunas antara 0 – 16.7%. Rata-rata persentase eksplan membentuk tunas umur 2 bulan paling tinggi juga ditunjukkan oleh perlakuan EMS 0.5% selama 2 jam yaitu 100% yang berbeda nyata dengan perlakuan EMS 0 dan 0.1% selama 1 jam serta EMS 0.7% selama 2 jam, namun tidak berbeda nyata dengan kontrol aquades dan sebagian besar perlakuan EMS lainnya. Rata-rata persentase eksplan membentuk tunas paling rendah umur 1 dan 2 bulan ditunjukkan oleh perlakuan EMS 0.7% selama 2 jam yaitu 0 dan 33.3%. Perlakuan EMS 0.7% selama 2 jam juga cenderung menunjukkan ratarata persentase eksplan membentuk tunas paling rendah pada umur 3 bulan yaitu 50%, namun pengaruh EMS pada umur 3 bulan secara statistik tidak nyata (Gambar 5). Pengaruh EMS terhadap rata-rata persentase eksplan membentuk tunas umur 1, 2 dan 3 bulan pada suhu 32.8 ± 1.7ºC secara statistik tidak nyata. Namun demikian perlakuan EMS 0, 0.3 dan 0.7% selama 1 jam cenderung menunjukkan rata-rata persentase eksplan membentuk tunas umur 1 bulan lebih tinggi yaitu 33.3%, dibandingkan perlakuan lainnya yang berkisar antara 0 – 16.7%. Perlakuan EMS 0.3 dan 0.7% selama 1 jam juga cenderung menunjukkan rata-rata persentase eksplan membentuk tunas lebih tinggi pada umur 2 dan 3 bulan yaitu 50%. Tidak ada tunas yang terbentuk pada perlakuan EMS 0.7% selama 2 jam yang diinkubasi pada suhu 32.8 ± 1.7ºC, baik pada umur 1, 2 maupun 3 bulan (Gambar 5).
Cekaman dari suhu seleksi ditambah dengan
28
pengaruh penghambatan yang besar dari tingginya dosis EMS yang digunakan diduga menjadi penyebab tidak adanya eksplan yang membentuk tunas pada perlakuan EMS 0.7% selama 2 jam yang diinkubasi pada suhu 32.8 ± 1.7ºC. Gambar 6 memperlihatkan eksplan yang telah membentuk tunas umur 1, 2 dan 3 bulan pada suhu kontrol, 23.3 ± 2.1ºC dan 32.8 ± 1.7ºC. Tunas yang terbentuk umur 1, 2 dan 3 bulan pada suhu kontrol dan suhu 23.3 ± 2.1ºC menunjukkan penampilan yang vigor dan berwarna hijau. Tunas umur 2 dan 3 bulan yang terbentuk pada suhu 32.8 ± 1.7ºC menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan yang terhambat dengan penampilan tunas yang tidak vigor dan berwarna hijau pucat. Hal ini disebabkan cekaman suhu tinggi pada perlakuan suhu 32.8 ± 1.7ºC memberikan penghambatan terhadap pertumbuhan dan perkembangan tunas.
A
1 bulan
B
2 bulan
C
3 bulan
Gambar 6 Eksplan membentuk tunas umur 1, 2 dan 3 bulan pada suhu kontrol (atas), 23.3 ± 2.1ºC (tengah) dan 32.8 ± 1.7ºC (bawah).
29
Jumlah Tunas Per Eksplan Peubah jumlah tunas per eksplan digunakan untuk mengukur laju multiplikasi eksplan (Roux 2004).
Rata-rata jumlah tunas per eksplan cenderung
menurun dengan meningkatnya suhu seleksi. Rata-rata jumlah tunas per eksplan umur 1, 2 dan 3 bulan pada suhu kontrol berturut-turut berkisar antara 0 – 1.8, 0.6 – 5.3 dan 6.2 – 16.0.
Pada suhu 23.3 ± 2.1ºC berkisar antara 0 – 1.5,
0.8 – 6.5 dan 2.2 – 12.9 dan pada suhu 32.8 ± 1.7ºC berkisar antara 0 – 1.2, 0 – 1.8 dan 0 – 2.0. Suhu 32.8 ± 1.7ºC cenderung memberikan penghambatan terhadap pembentukan tunas yang ditunjukkan oleh rata-rata jumlah tunas per eksplan yang lebih rendah dibandingkan pada suhu kontrol dan suhu 23.3 ± 2.1ºC, baik pada umur 1, 2 maupun 3 bulan. Rata-rata jumlah tunas per eksplan semakin meningkat dengan meningkatnya umur eksplan baik pada suhu kontrol, suhu 23.3 ± 2.1ºC maupun suhu 32.8 ± 1.7ºC, namun peningkatan yang terjadi pada suhu 32.8 ± 1.7ºC lebih sedikit dibandingkan pada suhu kontrol dan suhu 23.3 ± 2.1ºC (Gambar 7). Pengaruh EMS terhadap rata-rata jumlah tunas per eksplan umur 1, 2 dan 3 bulan pada suhu kontrol secara statistik tidak nyata, namun demikian rata-rata jumlah tunas per eksplan cenderung menurun dengan meningkatnya dosis EMS. Rata-rata jumlah tunas paling tinggi umur 1 bulan ditunjukkan oleh perlakuan kontrol aquades selama 1 jam yaitu 1.8 tunas. Rata-rata jumlah tunas paling tinggi umur 2 dan 3 bulan ditunjukkan oleh perlakuan EMS 0.1% selama 2 jam dan 0.3% selama 1 jam yaitu berturut-turut 5.3 dan 5.2 tunas pada umur 2 bulan serta 16 dan 15.9 tunas pada umur 3 bulan. Perlakuan EMS 0.7% selama 2 jam cenderung menunjukkan rata-rata jumlah tunas yang paling rendah pada umur 1, 2 dan 3 bulan yaitu 0.0, 0.6 dan 6.2 (Gambar 7). Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Purwati (2006) pada eksplan embrio somatik dua klon abaka yang menunjukkan rata-rata jumlah tunas per eksplan pada perlakuan EMS lebih rendah dibandingkan kontrol, dan rata-rata jumlah tunas per eksplan semakin menurun dengan semakin meningkatnya dosis EMS. Pengaruh EMS terhadap rata-rata jumlah tunas per eksplan umur 1 bulan pada suhu 23.3 ± 2.1ºC secara statistik nyata. Rata-rata jumlah tunas pada perlakuan EMS cenderung lebih sedikit dibandingkan pada perlakuan kontrol aquades. Rata-rata jumlah tunas paling tinggi umur 1 bulan ditunjukkan oleh perlakuan kontrol aquades selama 2 jam yaitu 1.5, namun hanya berbeda nyata dengan perlakuan EMS 0, 0.1 dan 0.3% selama 1 jam serta EMS 0.7% selama
30
2
a abcd
ab
1.5
abc
abcd
1
abcd bcd
cd
0.5
abc
abcd
bcd
d
0
Ka-1
Ka-2
E0-1
E0-2
E1-1
E1-2
E3-1
E3-2
E5-1
E5-2
E7-1
17.3±0.5°C 23.3±2.1°C 32.8±1.7°C
E7-2
1 bulan
8 6 4 2
17.3±0.5°C 23.3±2.1°C 32.8±1.7°C
0
Ka-1
Ka-2
E0-1 E0-2
E1-1
E1-2 E3-1
E3-2
E5-1 E5-2
E7-1
E7-2
2 bulan
20 15 10 5
17.3±0.5°C 23.3±2.1°C 32.8±1.7°C
0
Ka-1
Ka-2
E0-1
E0-2
E1-1
E1-2
E3-1
E3-2
E5-1
E5-2
E7-1
E7-2
3 bulan Keterangan : Ka-1 dan Ka-2 = E0-1 dan E0-2 = E1-1 dan E1-2 = E3-1 dan E3-2 = E5-1 dan E5-2 = E7-1 dan E7-2 =
Kontrol aquades selama 1 dan 2 jam EMS 0% selama 1 dan 2 jam EMS 0.1% selama 1 dan 2 jam EMS 0.3% selama 1 dan 2 jam EMS 0.5% selama 1 dan 2 jam EMS 0.7% selama 1 dan 2 jam
Gambar 7 Pengaruh suhu seleksi dan EMS terhadap rata-rata jumlah tunas per eksplan umur 1, 2 dan 3 bulan. Huruf yang sama pada umur dan suhu seleksi yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Jarak Berganda Duncan pada taraf α = 0.05.
31
2 jam yang menunjukkan rata-rata jumlah tunas per eksplan antara 0 – 0.2 (Gambar 7).
Perlakuan EMS juga cenderung menunjukkan rata-rata jumlah
tunas per eksplan yang lebih sedikit pada umur 2 dan 3 bulan dibandingkan kontrol aquades, namun pengaruhnya secara statistik tidak nyata. Perlakuan EMS 0.7% selama 2 jam secara konsisten menunjukkan rata-rata jumlah tunas per eksplan yang paling sedikit pada umur 1, 2 dan 3 bulan, yaitu berturut-turut 0, 0.8 dan 2.2 tunas (Gambar 7). Pengaruh EMS terhadap rata-rata jumlah tunas per eksplan umur 1, 2 dan 3 bulan pada suhu 32.8 ± 1.7ºC tidak nyata, namun perlakuan EMS 0.7% selama 1 jam cenderung menunjukkan rata-rata jumlah tunas umur 1 dan 2 bulan lebih banyak dibandingkan perlakuan lainnya yaitu 1.2 dan 1.8 tunas, sedangkan perlakuan EMS 0% selama 2 jam cenderung menunjukkan rata-rata jumlah tunas lebih banyak pada umur 3 bulan yaitu 2.0 tunas. Tidak ada tunas yang terbentuk pada perlakuan EMS 0.7% selama 2 jam yang diinkubasi pada suhu 32.8 ± 1.7ºC, baik pada umur 1, 2 maupun 3 bulan (Gambar 7). Cekaman dari suhu seleksi ditambah dengan pengaruh penghambatan yang besar dari tingginya dosis EMS yang digunakan diduga menjadi penyebab tidak adanya eksplan yang membentuk tunas pada perlakuan EMS 0.7% selama 2 jam yang diinkubasi pada suhu 32.8 ± 1.7ºC. Gambar 8 memperlihatkan perbandingan jumlah tunas umur 3 bulan yang terbentuk pada perlakuan kontrol aquades dan EMS 0.7% selama 2 jam yang diinkubasi pada suhu kontrol dan 23.3 ± 2.1ºC. Perlakuan EMS 0.7% selama 2 jam menunjukkan jumlah tunas yang lebih sedikit dibandingkan kontrol aquades baik pada suhu kontrol maupun 23.3 ± 2.1ºC. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh penghambatan dari perlakuan EMS 0.7% selama 2 terhadap kemampuan eksplan membentuk tunas dibandingkan kontrol aquades. Sebagian tunas umur 3 bulan yang terbentuk pada suhu kontrol dan suhu 23.3 ± 2.1ºC telah membentuk akar (Gambar 9), sedangkan tunas umur 3 bulan yang terbentuk pada suhu 32.8 ± 1.7ºC tidak berakar. Pengaruh cekaman suhu tinggi pada perlakuan suhu 32.8 ± 1.7ºC diduga memberikan penghambatan terhadap pembentukan akar. Menurut Chalupa (1987), induksi akar secara in vitro sangat dipengaruhi oleh suhu. Persentase pembentukan akar yang tinggi hanya akan diperoleh pada kondisi suhu yang sesuai, pada kondisi suhu yang tidak sesuai pembentukan akar akan terhambat.
32
Aquades
EMS 0.7% 2 jam
Gambar 8 Perbandingan jumlah tunas umur 3 bulan pada perlakuan kontrol aquades dan EMS 0.7% selama 2 jam pada suhu kontrol (atas) dan suhu 23.3 ± 2.1ºC (bawah).
Gambar 9 Tunas umur 3 bulan yang telah membentuk akar pada suhu kontrol (kiri) dan 23.3 ± 2.1ºC (kanan).
Persentase Eksplan Hidup Rata-rata persentase eksplan hidup semakin menurun dengan semakin meningkatnya suhu seleksi (Gambar 10). Rata-rata persentase eksplan hidup umur 1, 2 dan 3 bulan pada suhu kontrol mencapai 100%, baik pada perlakuan aquades maupun EMS. Rata-rata persentase eksplan hidup umur 1 bulan pada semua perlakuan yang diinkubasi pada suhu 23.3 ± 2.1ºC juga mencapai 100%, dan menjadi 75 – 100% pada umur 2 dan 3 bulan. Rata-rata persentase eksplan hidup sebesar 75% diperoleh pada perlakuan EMS 0.7% selama 2 jam,
33
100 80 (%)
60 40 17.3±0.5°C 23.3±2.1°C 32.8±1.7°C
20 0
Ka-1 Ka-2 E0-1 E0-2 E1-1 E1-2 E3-1 E3-2 E5-1 E5-2 E7-1 E7-2
1 bulan
100 80 (%)
60 40 17.3±0.5°C 23.3±2.1°C 32.8±1.7°C
20 0
Ka-1 Ka-2 E0-1 E0-2 E1-1 E1-2 E3-1 E3-2 E5-1 E5-2 E7-1 E7-2
2 bulan
100 80 (%)
60 40 17.3±0.5°C 23.3±2.1°C 32.8±1.7°C
20 0
Ka-1 Ka-2 E0-1 E0-2 E1-1 E1-2 E3-1 E3-2 E5-1 E5-2 E7-1 E7-2
3 bulan
Keterangan : Ka-1 dan Ka-2 = E0-1 dan E0-2 = E1-1 dan E1-2 = E3-1 dan E3-2 = E5-1 dan E5-2 = E7-1 dan E7-2 =
Kontrol aquades selama 1 dan 2 jam EMS 0% selama 1 dan 2 jam EMS 0.1% selama 1 dan 2 jam EMS 0.3% selama 1 dan 2 jam EMS 0.5% selama 1 dan 2 jam EMS 0.7% selama 1 dan 2 jam
Gambar 10 Pengaruh suhu seleksi dan EMS terhadap rata-rata persentase eksplan hidup umur 1, 2 dan 3 bulan.
34
sedangkan pada perlakuan lainnya persentase eksplan hidup umur 2 dan 3 bulan mencapai 100%. Pada suhu 32.8 ± 1.7ºC rata-rata persentase eksplan hidup semakin menurun dengan bertambah lamanya periode seleksi. Rata-rata persentase eksplan hidup umur 1 bulan berkisar antara 50 - 100% dengan ratarata persentase eksplan hidup paling rendah terdapat pada perlakuan EMS 0.7% selama 2 jam yaitu 50%, sedangkan pada perlakuan lainnya berkisar antara 75 – 100%. Pada umur 2 bulan, persentase eksplan hidup pada semua perlakuan menurun menjadi 0 – 50%. Rata-rata persentase eksplan hidup umur 2 bulan paling rendah terdapat pada perlakuan kontrol aquades selama 1 jam serta EMS 0.3 dan 0.7% selama 2 jam sebesar 0% atau seluruh eksplan mati.
Rata-rata
persentase eksplan hidup umur 2 bulan paling tinggi terdapat pada perlakuan EMS 0% selama 2 jam yaitu 50%. Pada umur 3 bulan, persentase eksplan hidup pada semua perlakuan semakin menurun menjadi antara 0 – 25%.
Rata-rata
persentase eksplan hidup umur 3 bulan yang paling tinggi diperoleh pada perlakuan EMS 0% selama 2 jam dan 0.3% selama 1 jam sebesar 25% (Gambar 10). Hasil analisis ragam menunjukkan EMS tidak memberikan pengaruh nyata terhadap rata-rata persentase eksplan hidup umur 2 dan 3 bulan pada suhu 23.3 ± 2.1ºC serta umur 1, 2 dan 3 bulan pada suhu 32.8 ± 1.7ºC. Analisis ragam pengaruh EMS terhadap rata-rata persentase eksplan hidup pada suhu kontrol umur 1, 2 dan 3 bulan dan suhu 23.3 ± 2.1ºC umur 1 bulan tidak dilakukan, karena rata-rata persentase eksplan hidup pada seluruh perlakuan mencapai 100%. Gambar 11 memperlihatkan tahap perkembangan eksplan umur 1, 2 dan 3 bulan pada suhu 32.8 ± 1.7ºC.
Pada umur 1 bulan sebagian eksplan telah
membentuk tunas (Gambar 11A) dan sebagian belum (Gambar 11B). Sebagian besar eksplan mengalami kematian pada umur 2 dan 3 bulan, baik eksplan tersebut telah membentuk tunas maupun belum (Gambar 11C dan F), hanya sebagian kecil eksplan yang dapat bertahan hidup sampai akhir seleksi (Gambar 11G dan H). Eksplan hidup ditandai dengan adanya bagian eksplan yang berwarna hijau atau menunjukkan perkembangan berupa embrio somatik atau tunas berwarna hijau (Gambar 11A, B, D, E, G dan H), sedangkan eksplan yang mati ditandai dengan perubahan warna keseluruhan bagian eksplan menjadi coklat, baik eksplan tersebut telah berkembang membentuk tunas maupun belum (Gambar 11C dan F). Menurut Roux (2004) eksplan yang tidak dapat bertahan hidup menunjukkan keseluruhan bagian eksplan berwarna coklat.
35
C
F
D
G
E
H
A
B
1 bulan
2 bulan
3 bulan
Gambar 11 Perkembangan eksplan umur 1, 2 dan 3 bulan pada suhu 32.8 ± 1.7ºC. Eksplan umur 1 bulan telah membentuk tunas (A) dan belum membentuk tunas (B), eksplan mati umur 2 bulan setelah dan sebelum membentuk tunas (C), eksplan umur 2 bulan telah membentuk tunas (D) dan belum membentuk tunas (E), eksplan mati umur 3 bulan setelah dan sebelum membentuk tunas (F), eksplan umur 3 bulan telah membentuk tunas (G) dan belum membentuk tunas (H). Tanda panah putih menunjukkan tunas yang telah terbentuk dan tanda panah hitam menunjukkan tunas dan embrio somatik yang tahan (tidak sensitif) di antara jaringan yang mengalami nekrotik (mati). Hasil penelitian ini menunjukkan pertumbuhan, perkembangan dan kemampuan hidup eksplan semakin menurun dengan meningkatnya suhu seleksi. Pertumbuhan dan perkembangan eksplan terhambat pada suhu 32.8 ± 1.7ºC. Suhu mempengaruhi komponen dan metabolisme sel dalam spektrum yang luas, besarnya cekaman yang ditimbulkan oleh suhu berbeda-beda tergantung dari laju perubahan suhu, intensitas dan lamanya periode cekaman (Sung et al. 2003; Wahid et al. 2007). Suhu yang tinggi mempengaruhi fluiditas membran sel
36
sehingga fungsi membran dan seluruh aktifitas metabolisme yang tergantung kepada fungsi membran menjadi terganggu (Maestri et al. 2002). Suhu yang tinggi juga dapat menyebabkan enzim-enzim terdenaturasi dan kehilangan fungsinya (Taiz & Zeiger 2002). Keadaan ini dapat mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan atau kematian pada sel. Semakin tinggi suhu dan semakin lama periode seleksi semakin besar cekaman yang diterima oleh eksplan dan semakin tinggi tingkat kerusakan pada sel yang pada akhirnya meningkatkan persentase kematian eksplan. Menurut Levitt (1980), jika cekaman suhu tinggi dipertahankan dalam waktu yang cukup lama, penghambatan terhadap pertumbuhan akan digantikan oleh kerusakan dan kematian sel. Hasil penelitian Wu et al. (1984) pada kultur sel tanaman pir menunjukkan tingkat kerusakan sel akibat suhu tinggi semakin meningkat dengan meningkatnya suhu dan bertambah lamanya periode cekaman. Menurut Levitt (1980) kebocoran ion merupakan ciri pertama terjadinya kerusakan sel akibat suhu tinggi. Hasil penelitian Ismail dan Hall (1999) pada tanaman Vigna unguiculata menunjukkan persentase kebocoran ion pada daun yang mendapat perlakuan suhu tinggi semakin meningkat dengan meningkatnya suhu dan bertambah lamanya periode perlakuan. Persentase kebocoran ion pada galur toleran lebih sedikit dibandingkan pada galur rentan. Suhu optimum untuk kultur jaringan tanaman berbeda-beda untuk setiap spesies.
Suhu untuk kultur jaringan spesies tanaman yang biasa tumbuh di
daerah panas berkisar antara 25 - 27ºC, sedangkan untuk spesies tanaman dari daerah dingin lebih rendah (Chalupa 1987). Suhu yang selama ini digunakan untuk kultur jaringan purwoceng berkisar antara 16 - 18ºC. Pada penelitian ini suhu kontrol berada pada kisaran suhu tersebut, sedangkan suhu 23.3 ± 2.1ºC dan 32.8 ± 1.7ºC berada di atas kisaran suhu tersebut, sehingga memberikan pengaruh cekaman terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan dengan tingkat cekaman yang berbeda. Suhu 32.8 ± 1.7ºC memberikan cekaman yang lebih tinggi terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan dibandingkan suhu 23.3 ± 2.1ºC. Rata-rata suhu siang 23.3 ± 2.1ºC dengan lama periode seleksi selama 3 bulan tidak dapat digunakan untuk menyeleksi ketahanan terhadap suhu tinggi pada eksplan embrio somatik purwoceng, karena pada kisaran suhu tersebut rata-rata persentase eksplan hidup umur 3 bulan mencapai 97.9% atau mendekati rata-rata persentase hidup pada suhu kontrol yang mencapai 100%. Keadaan seperti ini menyebabkan varian tahan (tidak sensitif) dan tidak tahan
37
(sensitif) tidak dapat dibedakan. Sebaliknya, suhu 32.8 ± 1.7ºC dengan lama periode seleksi selama 3 bulan telah mencapai suhu yang mematikan (heat killing temperature ) bagi eksplan embrio somatik purwoceng dengan rata-rata persentase eksplan hidup pada umur 3 bulan berkisar antara 0 – 25% atau ratarata persentase kematian eksplan mencapai 75 - 100%. Menurut Levitt (1980) heat killing temperature adalah suhu tinggi yang menyebabkan kematian tanaman sebesar 50%.
Oleh karena itu rata-rata suhu siang 32.8 ± 1.7ºC
dengan periode seleksi selama 3 bulan dapat digunakan untuk menyeleksi ketahanan terhadap suhu tinggi pada eksplan embrio somatik purwoceng karena pada kisaran suhu tersebut varian tahan (tidak sensitif) dan tidak tahan (sensitif) dapat dibedakan.
Varian tahan menunjukkan kemampuan bertahan hidup
sampai akhir seleksi, sedangkan varian tidak tahan tidak dapat bertahan hidup sampai akhir seleksi. Hasil penelitian ini juga menunjukkan pengaruh EMS secara tunggal pada dosis yang digunakan tidak menimbulkan kematian pada keseluruhan bagian eksplan. Hal ini ditunjukkan oleh rata-rata persentase eksplan hidup pada semua perlakuan EMS yang diinkubasi pada suhu kontrol yang mencapai 100%. Menurut von Arnim (2005) EMS termasuk mutagen yang toksisitasnya tidak terlalu tinggi (moderate toxicity).
Menurut Hofmann et al. (2002) EMS dapat
menginduksi mutasi pada level dosis yang masih memungkinkan kultur kalus embrionik tetap hidup. Dosis yang tinggi atau toksisitas yang tinggi dari mutagen akan menghasilkan tingkat kerusakan fisiologis yang tinggi pada tanaman dan menghasilkan daya hidup yang rendah (van Harten 1998). Meskipun tidak menimbulkan kematian pada keseluruhan bagian eksplan, perlakuan EMS 0.7% selama 2 jam cenderung memberikan penghambatan terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan embrio somatik purwoceng. Besar penghambatan dibandingkan kontrol aquades umur 1 bulan pada suhu kontrol mencapai 50% pada peubah penambahan bobot segar eksplan, dan masing-masing 100% pada peubah persentase eksplan membentuk tunas dan jumlah tunas per eksplan. Sensitifitas setiap peubah terhadap mutagen berbeda-beda, besar penghambatan berdasarkan peubah bobot segar/kering eksplan lebih dipilih karena memiliki tingkat akurasi yang lebih tinggi (Roux 2004). Menurut van Harten (1998) dan Medina et al. (2005) dosis mutagen yang memberikan hasil yang baik adalah dosis yang mampu menginduksi mutasi namun tidak mengakibatkan kerusakan (sterilitas dan kematian) yang terlalu tinggi pada sel atau individu tanaman.
38
Dosis ini umumnya diperoleh pada penghambatan sebesar 20% dibandingkan kontrol. Pada penelitian ini penghambatan dari perlakuan EMS menurun pada umur 2 dan 3 bulan setelah eksplan mengalami sub kultur 1 dan 2 kali. Penghambatan EMS 0.7% selama 2 jam dibandingkan kontrol aquades pada umur 2 dan 3 bulan menjadi sekitar 40% pada peubah penambahan bobot segar eksplan, berturut-turut 60 dan 10% pada peubah persentase eksplan membentuk tunas serta 80 dan 60% pada peubah jumlah tunas per eksplan. Rekapitulasi hasil uji F pengaruh EMS terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan umur 1, 2 dan 3 bulan pada masing-masing suhu seleksi dapat dilihat pada lampiran 3, 4 dan 5.
Varian Tahan Suhu 32.8 ± 1.7ºC Sebagian besar embrio somatik yang diinkubasi pada suhu 32.8 ± 1.7ºC dan tunas yang terbentuk pada suhu 32.8 ± 1.7ºC tidak dapat bertahan hidup sampai akhir seleksi.
Hanya embrio somatik dan tunas yang tahan (tidak
sensitif) yang dapat bertahan hidup sampai akhir seleksi.
Tunas yang tidak
tahan pada umumnya mengalami klorosis kemudian mati (Gambar 12). Klorosis dan senesen dini merupakan respon utama tanaman gandum terhadap suhu tinggi (Al-khatib dan Paulsen, 1984 dalam Reynold et al. 1998). Hasil penelitian Zhang et al. (2005) menunjukkan pada saat mendapat cekaman suhu tinggi, tanaman yang rentan lebih sering mengekspresikan gen-gen yang berhubungan dengan metabolisme stres seperti gen yang mengontrol sintesa protein yang berhubungan dengan senesen. Pada tanaman kedelai dan Elodeu perlakuan suhu subletal menyebabkan daun kehilangan klorofil dan terjadi pembengkakan pada kloroplas, pada beberapa tanaman lain daun berubah warna dari hijau menjadi kuning yang kemungkinan disebabkan oleh kerusakan yang terjadi pada kloroplas (Levitt 1980). Pada tanaman rye akumulasi klorofil dan karotenoid sangat terhambat pada suhu 28-34ºC dibandingkan pada suhu 22ºC, klorosis terjadi pada suhu 32-34ºC. Terjadinya klorosis ini kemungkinan disebabkan oleh fotooksidasi dan penghambatan terhadap enzim D-aminolevulinate synthase (Feierabend 1977 dan Feierabend & Mikus 1977 dalam Levitt 1980). Seleksi in vitro untuk ketahanan terhadap suhu tinggi yang didasarkan pada kemampuan daun mempertahankan persistensi klorofil
telah dilakukan pada
tanaman kentang, dan telah diperoleh varian yang toleran terhadap suhu tinggi (Gosal et al. 2001; Das et al. 2000).
39
A
B
C
Gambar 12 Tunas tidak tahan (sensitif) pada suhu 32.8 ± 1.7ºC. Tunas yang baru terbentuk berwarna hijau (A), tunas mengalami klorosis (B) dan tunas mati berwarna coklat (C). Pada penelitian ini diperoleh 57 tunas yang bertahan hidup hingga umur 3 bulan pada suhu 32.8 ± 1.7ºC. Tunas-tunas tersebut memiliki penampilan yang tidak vigor dan berwarna hijau pucat kekuningan (Gambar 13) seperti telah diuraikan sebelumnya pada pembahasan persentase eksplan membentuk tunas. Tunas yang tahan ini diperoleh pada perlakuan kontrol aquades selama 2 jam sebanyak 8 tunas, perlakuan bufer natrium fosfat pH 7 0.1M dan DMSO 4% (EMS 0%) selama 1 dan 2 jam sebanyak 18 dan 1 tunas serta pada perlakuan EMS sebanyak 30 tunas. Tunas yang bertahan hidup pada perlakuan EMS diperoleh pada perlakuan EMS 0.1% selama 1 dan 2 jam (7 dan 1 tunas), EMS 0.3% selama 1 jam (16 tunas), EMS 0.5% selama 2 jam (1 tunas) dan EMS 0.7% selama 1 jam (5 tunas). Jumlah tunas tahan paling banyak diperoleh pada perlakuan EMS 0% selama 2 jam dan EMS 0.3% selama 1 jam yaitu berturutturut 18 dan 16 tunas (Tabel 2). Embrio somatik yang bertahan hidup diperoleh pada perlakuan kontrol aquades selama 2 jam, EMS 0% selama 2 jam, EMS 0.1% selama 2 jam, EMS 0.5% selama 1 dan 2 jam serta EMS 0.7% selama 1 jam (Tabel 2). Tunas dan embrio somatik yang bertahan hidup pada penelitian ini diharapkan merupakan tunas dan embrio somatik yang tahan atau tidak sensitif terhadap suhu tinggi.
Varian tahan ini diharapkan bukan disebabkan oleh
epigenetik melainkan terbentuk sebagai hasil mutasi sehingga ketahanannya bersifat permanen dan dapat diwariskan. Menurut van Harten (1998) varian yang disebabkan oleh epigenetik tidak bersifat permanen dan tidak dapat diwariskan. Cekaman pada seleksi in vitro tidak hanya berfungsi sebagai agen penyeleksi tetapi juga dapat menginduksi terjadinya mutasi selektif atau sehingga dihasilkan varian yang diinginkan (van Harten 1998).
mutasi terarah
40
A
B
C
D
E
F
Gambar 13 Tunas dan embrio somatik umur 3 bulan yang bertahan hidup pada suhu 32.8 ± 1.7ºC: kontrol aquades 2 jam (A), EMS 0% 2 jam (B), EMS 0.1% 1 jam (C), EMS 0.3% 1 jam (D), EMS 0.7% 1 jam (E) dan EMS 0.1% 2 jam (F). Tanda panah hitam menunjukkan tunas dan embrio somatik yang tahan di antara jaringan yang mengalami nekrotik (mati). Tabel 2 Jumlah eksplan dan tunas yang bertahan hidup umur 3 bulan pada suhu 32.8 ± 1.7ºC Perlakuan Kontrol aquades EMS 0% EMS 0.1 % EMS 0.3 % EMS 0.5 % EMS 0.7 % Total
Lama Perendaman 1 jam 2 jam 1 jam 2 jam 1 jam 2 jam 1 jam 2 jam 1 jam 2 jam 1 jam 2 jam
Jumlah Eksplan 0 2 1 3 1 2 3 0 2 2 2 0 18
Jumlah tunas 0 8 1 18 7 1 16 0 0 1 5 0 57
Keterangan Eksplan mati Tunas dan ES Tunas Tunas dan ES Tunas Tunas dan ES Tunas Eksplan mati Embrio somatik (ES) Tunas dan ES Tunas dan ES Eksplan mati
Keterangan : Jumlah eksplan awal 12 Varian tahan yang diperoleh pada perlakuan kontrol aquades dan EMS 0% diduga disebabkan oleh adanya variasi somaklonal.
Planlet yang digunakan
sebagai sumber eksplan pada penelitian ini merupakan hasil perbanyakan dari kalus melalui embriogenesis somatik dan telah mengalami periode kultur sekitar 2 tahun sehingga kemungkinan terjadinya variasi somaklonal cukup besar. Sacristan (1982) dalam van Harten 1998 juga memperoleh hasil yang sama yaitu
41
tanaman Brassica napus yang memperlihatkan peningkatan ketahanan terhadap patogen Phoma lingam secara in vitro dan di lapangan diperoleh pada perlakuan kontrol, bukan pada perlakuan EMS. Menurut van Harten (1998) variasi somaklonal yang bersifat permanen pada prinsipnya merupakan hasil mutasi yang terjadi selama proses kultur jaringan berlangsung. Mutasi ini dapat disebabkan oleh komposisi bahan kimia di dalam media kultur seperti penggunaan zat pengatur tumbuh tertentu, atau sebagai respon genom tanaman terhadap cekaman yang disebabkan oleh kondisi selama kultur in vitro. Variasi somaklonal juga dapat disebabkan oleh variasi genetik yang telah ada sebelumnya pada eksplan yang dipergunakan (Ahuja 1987; van Harten 1998). Varian tahan yang terbentuk pada perlakuan EMS kemungkinan merupakan varian hasil mutasi yang terinduksi oleh perlakuan EMS, namun tidak tertutup kemungkinan varian tersebut juga merupakan variasi somaklonal atau merupakan hasil dari keduanya yaitu variasi somaklonal dan mutasi yang terinduksi oleh perlakuan EMS. EMS merupakan mutagen yang sangat efektif untuk menginduksi mutasi gen atau mutasi titik. EMS memberikan gugus etil pada basa DNA sehingga menyebabkan perubahan pada struktur basa DNA dari guanin menjadi etilguanin atau dari timin menjadi etiltimin. Perubahan struktur ini mengakibatkan terjadinya perubahan pada pola pasangan basa, guanin yang seharusnya berpasangan dengan sitosin menjadi berpasangan dengan timin dan sebaliknya timin yang seharusnya berpasangan dengan adenin menjadi berpasangan dengan guanin sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan kode genetik pada generasi sel berikutnya dari GC menjadi AT dan dari TA menjadi CG.
Apabila perubahan kode genetik ini terjadi pada sekuen DNA yang
mengkodekan asam amino, maka akan mengakibatkan terjadinya perubahan pada urutan kodon yang mengkodekan asam amino sehingga asam amino dan protein yang dihasilkan menjadi berubah, yang pada akhirnya akan mengakibatkan perubahan pada fenotipe tanaman (Sega 1984; Hartl 1994). Tunas dan embrio somatik tahan tidak diperoleh pada perlakuan kontrol aquades selama 1 jam serta EMS 0.3 dan 0.7% selama 2 jam. Kematian eksplan yang mencapai 100% pada ketiga perlakuan disebabkan oleh tekanan suhu seleksi, karena pada suhu kontrol ketiga perlakuan tidak menyebabkan kematian pada keseluruhan bagian eksplan atau persentase eksplan hidup mencapai 100% sama dengan perlakuan lainnya. Tidak adanya embrio somatik dan tunas
42
yang bertahan hidup pada ketiga perlakuan menunjukkan tidak ada varian tahan yang terinduksi pada perlakuan tersebut. Tunas dan embrio somatik yang tahan pada suhu 32.8 ± 1.7ºC kemudian diisolasi dan disubkultur pada media DKW + IBA 5 mg/l untuk embrio somatik dan DKW tanpa zat pengatur tumbuh untuk tunas. Kultur kemudian diinkubasi pada suhu 23.3 ± 2.1ºC untuk perbanyakan. Gambar 14 memperlihatkan embrio somatik dan tunas tahan, 3 bulan setelah perbanyakan pada suhu 23.3 ± 2.1ºC.
A
B
Gambar 14 Tunas dan embrio somatik tahan (tidak sensitif) suhu 32.8 ± 1.7ºC, 3 bulan setelah perbanyakan pada suhu 23.3 ± 2.1ºC : EMS 0.1% 1 jam asal tunas (A) dan EMS 0.1% 2 jam asal embrio somatik (B).
Keragaman Fenotipe Tunas Pengamatan frekuensi terjadinya mutasi pada mutagenesis secara in vitro dapat dilakukan berdasarkan
variasi yang terdeteksi pada tanaman yang
dihasilkan. Frekuensi ini dapat dinyatakan dalam bentuk persentase tanaman atau regeneran mutan per total tanaman yang dihasilkan, persentase kalus atau eksplan yang menghasilkan tanaman mutan atau persentase tanaman mutan per 1000 kultur sel (van Harten 1998). Pada penelitian ini pengamatan frekuensi terjadinya mutasi dilakukan dengan mengamati tipe dan jumlah variasi fenotipe yang ditemukan pada tunas yang terbentuk pada masing-masing perlakuan EMS dan suhu seleksi yang dinyatakan dalam persentase terhadap total tunas yang diamati. Hasil pengamatan menunjukkan adanya variasi fenotipe pada tunas baik yang mendapat perlakuan EMS maupun tidak. Variasi yang ditemukan berupa tunas albino, tangkai daun besar dan daun variegata (Gambar 15A, B dan C). Varian tangkai daun besar merupakan tipe variasi yang paling banyak ditemukan baik pada perlakuan kontrol aquades, bufer (EMS 0%) maupun EMS, sedangkan varian albino dan daun variegata hanya ditemukan pada perlakuan EMS dengan
43
A
B
C
Gambar 15 Tipe variasi fenotipe tunas : albino (A), tangkai daun besar (B) dan daun variegata (C). frekuensi yang lebih kecil (Gambar 16). Tipe variasi tangkai daun besar kemungkinan merupakan bentuk variasi somaklonal, karena varian ini ditemukan juga pada kultur in vitro purwoceng lainnya yang berasal dari kalus, sedangkan varian albino dan daun variegata kemungkinan merupakan tipe variasi yang terinduksi oleh perlakuan EMS. Adanya varian defisien klorofil setelah perlakuan EMS secara in vitro juga dilaporkan oleh beberapa peneliti sebelumnya antara lain Purwati (2006), Khawale et al. (2007) dan Van et al. (2008). Menurut Chopra (2005), mutasi klorofil sering ditemukan setelah perlakuan EMS namun jarang ditemukan setelah perlakuan mutagen fisik.
EMS merupakan mutagen yang
paling efisien di dalam menginduksi varian defisien klorofil, sektor-sektor defisien klorofil pada tanaman M1 setelah perlakuan EMS merupakan indikator frekuensi mutasi (Carroll et al. 1986 dalam Van et al. 2008). Menurut Miller et al. 1984 dalam Jabeen dan Mirza (2004), daun variegata merupakan mutasi yang umum terjadi dan dapat disebabkan oleh mutasi yang terjadi pada genom inti maupun sitoplasmik, EMS kemungkinan mempunyai spesifikasi yang tinggi untuk genom mitokondria dan plastid. Adanya keragaman genetik dan variasi fenotipe pada tunas juga diperoleh Darwati (2007) pada planlet purwoceng hasil regenerasi dari akar rambut yang ditransformasi dengan Agrobacterium rhizogenes. Pada penelitian ini EMS mampu menginduksi keragaman fenotipe yang lebih tinggi pada tunas dibandingkan kontrol aquades dan perlakuan bufer fosfat (EMS 0%) (Gambar 16). Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang bervariasi. Gavazzi et al. (1987) dalam Encheva et al. (2003) mendapatkan adanya perbedaan spektrum dan frekuensi mutasi pada tanaman hasil variasi somaklonal dengan tanaman hasil mutasi secara in vitro dengan EMS, jumlah mutan hasil variasi somaklonal lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan EMS. Sebaliknya Van den Bulk (1990) dalam van Harten (1998) mendapatkan
44
12 10
17.3 ± 0.5ºC
8 (%)
6 4 2 0
Ka-1
Ka-2
E0-1
E0-2
E1-1
E1-2
E3-1
E3-2
E5-1
E5-2
E7-1
E7-2
30 25
23.3 ± 2.1ºC
20 (%) 15 10 5 0
14 12 10 8 (%) 6 4 2 0
Ka-1
Ka-2
E0-1
E0-2
E1-1
E1-2
E3-1
E3-2
E5-1
E5-2
E7-1
E7-2
32.8 ± 1.7ºC
Ka-1
Ka-2
E0-1
Albino
E0-2
E1-1
Variegata
E1-2
E3-1
E3-2
Tangkai daun besar
Keterangan : Ka-1 dan Ka-2 = E0-1 dan E0-2 = E1-1 dan E1-2 = E3-1 dan E3-2 = E5-1 dan E5-2 = E7-1 dan E7-2 =
E5-1
E5-2
E7-1
E7-2
Total varian
Kontrol aquades selama 1 dan 2 jam EMS 0% selama 1 dan 2 jam EMS 0.1% selama 1 dan 2 jam EMS 0.3% selama 1 dan 2 jam EMS 0.5% selama 1 dan 2 jam EMS 0.7% selama 1 dan 2 jam
Gambar 16 Tipe dan frekuensi variasi fenotipe tunas pada masing-masing perlakuan EMS dan suhu seleksi. frekuensi mutasi setelah perlakuan EMS lebih tinggi dibandingkan melalui variasi somaklonal. Encheva et al. (2003) mendapatkan adanya persamaan spektrum perubahan morfologi dan biokimia pada tanaman yang dihasilkan dari variasi somaklonal dengan yang diinduksi menggunakan radiasi. Wang et al. (2007) mendapatkan varian yang sama banyak pada tanaman yang berasal dari kalus
45
yang mendapat perlakuan mutagen kimia (sodium azide) dengan yang diperoleh pada perlakuan bufer fosfat, varian yang diperoleh pada perlakuan mutagen dan bufer fosfat lebih tinggi dibandingkan pada kontrol. Perbedaan hasil ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan jenis tanaman, genotipe dan metode kultur jaringan yang digunakan (van Harten 1998). Pada penelitian ini frekuensi variasi fenotipe tunas paling tinggi terdapat pada perlakuan EMS 0.5% selama 1 jam yaitu 12% pada suhu kontrol dan 26.7% pada suhu 23.3 ± 2.1ºC, yang terdiri dari varian tangkai daun besar, daun variegata dan albino (Gambar 16).
Perlakuan yang menunjukkan variasi fenotipe
lebih banyak pada umumnya menunjukkan jumlah mutan yang lebih banyak (Saba & Mirza 2002). Tidak ditemukan adanya variasi fenotipe pada populasi tunas yang mendapat perlakuan EMS 0 dan 0.7% selama 2 jam, baik yang diinkubasi pada suhu kontrol, suhu 23.3 ± 2.1ºC maupun suhu 32.8 ± 1.7ºC (Gambar 16). Varian-varian tersebut kemungkinan tidak terinduksi pada kedua perlakuan tersebut. Hasil penelitian Saba dan Mirza (2002) menunjukkan konsentrasi EMS yang tinggi (1%) bersifat toksik bagi tanaman tomat dan menghambat perkecambahan biji sehingga menghasilkan tanaman hidup yang lebih sedikit, akibatnya jumlah varian yang dihasilkan juga lebih sedikit. Pada penelitian ini, dosis EMS 0.7% selama 2 jam cenderung bersifat toksik dan menghambat pembentukan tunas pada eksplan embrio somatik purwoceng sehingga tunas yang dihasilkan lebih sedikit, akibatnya varian yang dihasilkan juga kemungkinan lebih sedikit sehingga tidak ada variasi fenotipe tunas yang teramati. Variasi fenotipe tunas yang ditemukan pada suhu 32.8 ± 1.7ºC lebih sedikit dibandingkan pada suhu kontrol dan suhu 23.3 ± 2.1ºC.
Hal ini disebabkan
tunas yang berhasil hidup pada suhu 32.8 ± 1.7ºC hanya tunas yang tahan (tidak sensitif) terhadap suhu tersebut sedangkan sebagian besar varian kemungkinan tidak tahan. Varian albino dan kimera kemungkinan tidak dapat hidup pada suhu tinggi, baik pada suhu 23.3 ± 2.1ºC maupun 32.8 ± 1.7ºC. Hal ini ditunjukkkan oleh tidak adanya varian kimera yang teramati pada suhu 23.3 ± 2.1ºC dan 32.8 ± 1.7ºC, dan hanya satu varian albino yang teramati pada suhu 23.3 ± 2.1ºC.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Pertumbuhan dan perkembangan eksplan embrio somatik purwoceng semakin menurun dengan meningkatnya suhu seleksi dan dosis EMS yang digunakan. Rata-rata penambahan bobot segar eksplan, persentase eksplan membentuk tunas dan jumlah tunas per eksplan paling rendah terdapat pada perlakuan suhu 32.8 ± 1.7ºC dan dosis EMS 0.7% selama 2 jam. Suhu 32.8 ± 1.7ºC dan dosis EMS 0.7% selama 2 jam cenderung memberikan penghambatan terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan embrio somatik purwoceng. Rata-rata
persentase
eksplan
hidup
semakin
menurun
dengan
meningkatnya suhu seleksi. Rata-rata persentase eksplan hidup umur 3 bulan pada suhu kontrol dan 23.3 ± 2.1ºC berturut-turut mencapai 100 dan 75 - 100%, sementara pada suhu 32.8 ± 1.7ºC hanya 0 - 25%. Tunas dan embrio somatik tahan suhu 32.8 ± 1.7ºC diperoleh baik pada perlakuan EMS maupun kontrol aquades serta bufer natrium fosfat dan DMSO 4% (EMS 0%), yaitu pada perlakuan kontrol aquades selama 2 jam, EMS 0% selama 1 dan 2 jam, EMS 0.1% selama 1 dan 2 jam, EMS 0.3% selama 1 jam, EMS 0.5% selama 1 dan 2 jam serta EMS 0.7% selama 1 jam. Persentase eksplan hidup paling tinggi dan jumlah tunas tahan paling banyak diperoleh pada perlakuan EMS 0% selama 2 jam dan EMS 0.3% selama 1 jam yaitu masing-masing 25% eksplan hidup serta berturut-turut 18 dan 16 tunas tahan. Perlakuan EMS mampu menginduksi variasi fenotipe lebih tinggi pada tunas dibandingkan kontrol aquades serta bufer natrium fosfat dan DMSO 4%. Frekuensi variasi fenotipe tunas paling tinggi diperoleh pada perlakuan EMS 0.5% selama 1 jam.
Saran Disarankan untuk dilakukan seleksi ketahanan berdasarkan karakter lain seperti kemampuan daun mempertahankan persistensi klorofil secara in vitro yang antara lain dapat dilihat dari warna daun. Tunas dan embrio somatik yang tahan pada suhu 32.8 ± 1.7ºC perlu dipertahankan dan diperbanyak dilanjutkan dengan aklimatisasi sebelum dilakukan evaluasi lebih lanjut.
47
Evaluasi lanjutan pada tingkat tanaman di rumah kaca dan lapang diperlukan untuk mengetahui apakah ketahanan
embrio somatik dan tunas
secara in vitro berkorelasi positif dengan ketahanan pada tingkat tanaman di rumah kaca atau lapang.
Evaluasi juga perlu dilakukan pada keturunannya
untuk mengetahui apakah varian tahan yang terbentuk merupakan variasi genetik atau hanya epigenetik akibat habituasi.
DAFTAR PUSTAKA Agrawal PK, Sidu GS, Gosal SS. 2005. Induction of bacterial blight resistance in elite Indian rice (Oryza sativa L.) cultivars using gamma irradiation and ethyl methan sulfonate. Mutat Breed Newslett Rev (1) : 17 -18. Anwar NS. 2001. Manfaat obat tradisional sebagai afrodisiak serta dampak positifnya untuk menjaga stamina. Makalah pada Seminar Sehari Menguak Manfaat Herbal bagi Vitalitas Seksual. Jakarta 13 Oktober 2001. 8 hlm. Bhat TA, Parveen S, Khan AH. 2007. Meiotic studies in two varieties of Vicia faba L. (Fabaceae) after EMS treatment. Asian J Plant Sci 6 (1) : 51 – 55. [BPS] Biro Pusat Statistik. 2006. Statistik Perdagangan Indonesia : Impor. Jilid ke-1. Jakarta : Biro Pusat Statistik. Broertjes C, van Harten AM. 1988. Applied Mutation Breeding for Vegetatively Propagated Crops. Amsterdam : Elsevier Science Publishers B.V. Burkill IH. 1935. A Dictionary of the Economic Product of the Malay Peninsula. Volume ke-2. London. Caropeboka AM, Lubis I. 1975. Pemeriksaan pendahuluan kandungan kimia akar Pimpinella alpina (Purwoceng). Di dalam : Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Obat I; Bogor, 8 – 9 Desember 1975. Bogor: Bag. FarmakologiDept. Fisiologi dan Farmakologi, Fak. Kedokteran Hewan, IPB. hlm 153 – 158. Chahal GS, Gosal SS. 2006. Principles and Procedures of Plant Breeding, Biotechnological and Conventional Approaches. Pangbaurne : Alpha Science International Ltd. Chalupa. 1987. Temperature. Di dalam: Bonga JM, Durzan DJ, editor. Cell and Tissue Culture in Forestry. Volume ke-1, General Principles and Biotechnology. Dordrecht: Martinus Nijhoff Pub. hlm142 – 151. Chopra VL. 2005. Mutagenesis : Investigating the process and processing the outcome for crop improvement [special section : chromosomes to food security]. Curr Sci 89 (2) : 353 – 359. Darwati I. 2007. Kultur akar rambut purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) untuk menghasilkan metabolit sekunder [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Das A, Gosal SS, Sidhu JS, Dhaliwal HS. 2000. Induction of mutations for heat tolerance in potato by using in vitro culture and radiation. Euphytica 114 (3) : 205 – 209.
49
[DITJEN POM] Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan. 2000. Kebijakan Nasional Pengembangan Obat Tradisional. Jakarta : Departemen Kesehatan RI. Encheva J, Tsvetkova F, Ivanov P. 2003. A comparison between somaclonal variation and induced mutagenesis in tissue culture of sunflower line Z-8-A (Helianthus annuus L.). Helia 26 : 91 – 98. Ermiati, Indrawanto C, Rostiana O. 2006. Kelayakan usaha tani purwoceng sebagai tanaman pekarangan dan kontribusinya terhadap pendapatan petani. Di dalam : Supriadi, Januwati M, Balfas R, Bermawie N, Rahardjo M, editor. Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXVIII ; Bogor, 15 – 16 September 2005. Bogor : Balittro-POKJANAS TOIDir.Tanaman Sayuran dan Biofarmaka. hlm 91 - 100. Gosal SS, Das A, Gopal J, Minocha JL, Chopra HR, Dhaliwal HS. 2001. In vitro induction of variability through radiation for late blight resistance and heat tolerance in potato. Di dalam : In vitro techniques for selection of radiation induced mutation adapted to adverse environmental conditions. Proceeding of a final Research Co-ordination Meeting; Shanghai, 17–21 Agustus 1998. Vienna : FAO/IAEA Division of Nuclear Techniques in Food and Agriculture. hlm 7 – 13. Greene EA, Codomo CA, Taylor NE, Henikoff JG, Till BJ, Reynolds SH, Enns LC, Burtner C, Johnson JE, Odden AR, Comai L, Henikoff S. 2003. Spectrum of chemically induced mutations from a large-scale reverse-genetics screen in Arabidopsis. Genetics 164 : 731 – 740. Hartl DL. 1994. Genetics. Boston : Jones and Bartlett Publishers. Hernani, Rostiana O. 2004. Analisis kimia akar purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.). Makalah pada Seminar IBEC. Yogyakarta, 14 -15 Juli 2004. 10 hlm. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Volume ke-3. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Hoffman NE, Raja R, Nelson RL, Korban SS. 2002. Response of embriogenic cultures of soybean to chemical mutagenesis [ peer reviewed jurnal]. Plant Breed Agustus. hlm 513. Hosain Z, Mandal AKA, Datta SK, Biswas AK. 2006. Development of NaCltolerant strain in Chrysanthemum morifolium Ramat through in vitro mutagenesis. Plant Biol (Stuttg) 8 : 450 – 461. Iba K. 2002. Aclimative response to temperature stress in higher plants : approaches of gene engineering for temperature tolerance. Annu Rev Plant Biol 53 : 225 – 245. Ismail AM, Hall AE. 1999. Reproductive stage heat tolerance, leaf membrane thermostability and plant morphology in cowpea. Crop Sci 39: 1762-1768.
50
Jabeen N, Mirza B. 2004. Ethyl methane sulphonate induces morphological mutation in Capsicum annum. Int J Agric Biol 6 (2): 340 - 345. Juniarto AZ. 2004. Perbedaan pengaruh pemberian ekstrak Eurycoma longifolia dan Pimpinella alpina pada spermatogenesis tikus Spragul Dawley [tesis]. Semarang : Pascasarjana, Universitas Diponegoro. Khawale RN, Yerramili V, Singh SK. 2007. Molekular marker-assisted selection of in vitro chemical mutagen-induced grapevine mutants. Curr Sci 92 (8) : 1056 – 1060. Levitt J. 1980. Responses of Plants to Environmental Stress. Volume ke-1, Chilling, Freezing and High Temperature Stress. New York: Academic Press. Lokko Y, Amoatey H. 2001. Improvement of pineapple using in vitro and mutation breeding techniques. Di dalam : In vitro techniques for selection of radiation induced mutation adapted to adverse environmental conditions. Proceeding of a final Research Co-ordination Meeting ; Shanghai, 17–21 Agustus 1998. Vienna : FAO/IAEA Division of Nuclear Techniques in Food and Agriculture. hlm 25 – 30. Luan
YS, Juan Z, Gao RX, An LJ. 2007. Mutation induced by ethylmethanesulphonate (EMS), in vitro screening for salt tolerance and plant regeneration of sweet potato (Ipomea batatas L.). Plant Cell Tissue Organ Cult 88 (1) : 77 - 81.
Maestri E, Klueva N, Perrota C, Gulli M, Nguyen HT, Marmiroli N. 2002. Molecular genetics of heat tolerance and heat shock proteins in cereals. Plant Molec Biol 48 : 667 – 681. Medina FIS, Amano E, Tano S. 2005. Mutation Breeding Manual. Forum for Nuclear Cooperation in Asia (FNCA).
Japan:
Montelone BA. 1998. Mutation, Mutagens, and DNA Repair. Division of Biology, Kansas State University. http://www-personal.ksu.edu/~bethmont/ mutdes. html#mutagens. [ 30 Oktober 2007]. Mullineaux CW. 2005. Function and evolution of grana. Trends Plant Sci, in press. Murillo RA, Mendoza V. 2004. Breeding of bitter potato (Solanum juzepczukii) through mutation induction and tissue culture techniques. Di dalam: Genetic improvement of under-utilized and neglected crops in low income food deficit countries through irradiation and related techniques. Proceedings of a Final Research Coordination Meeting ; Pretoria, South Africa, 19–23 Mei 2003. Vienna : IAEA. hlm 113 – 126. Odeigah PGC, Sanyinpeju AOO, Myers GO. 1998. Induced mutation in cowpea, Vigna unguiculata. http://www.ots.ac.cr./tropiweb/read/revistas/46-3/ odegah. html. [13 Oktober 2007].
51
Pillai PS, Abraham B, 1996. Improvement of fruit character and yield in sweet pepper by mutation induction. Mutat Breed–News lett 42: 17–8 Prakash E, Khan SV, Meru E, Rao KR. 2001. Somatic embrigenesis in Pimpinella tirupatiensis Bal. and Subr., an endangered medicinal plant of Tirumala hills [research communications]. Curr Sci 81 (9) : 1239 – 1241. Purwati RD. 2006. Induksi keragaman somaklonal dan seleksi in vitro abaka (Musa textilis Nee.) untuk ketahanan terhadap penyakit layu Fusarium [disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pusat Konservasi Tumbuhan. 2007. Tumbuhan langka di Jawa [poster]. Bogor : Kebun Raya-LIPI. Rahardjo M, Wahyuni S, Trisilawati O, Djauhariya E. 2006. Ciri agronomis, mutu dan lingkungan tumbuh tanaman obat langka purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.). Di dalam : Supriadi, Januwati M, Balfas R, Bermawie N, Rahardjo M, editor. Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXVIII ; Bogor, 15 – 16 September 2005. Bogor : Balittro-POKJANAS TOIDir.Tanaman Sayuran dan Biofarmaka. hlm 62 – 71. Rasheed MS, Asad S, Zafar Y, Waheed RA. 2001. Use of radiation and in vitro techniques for development of salt tolerant mutants in sugarcane and potato. Di dalam : In vitro techniques for selection of radiation induced mutation adapted to adverse environmental conditions. Proceeding of a final Research Co-ordination Meeting ; Shanghai, 17–21 Agustus 1998. Vienna : FAO/IAEA Division of Nuclear Techniques in Food and Agriculture. hlm 61 – 74. Reynolds MP, Singh RP, Ibrahim A, Ageeb OAA, Larque-Saavedra A, Quick JS. 1998. Evaluating physiological traits to complement empirical selection for wheat in warm environments. Euphytica 100 (1-3) : 85-94. Rifai MA. 1990. 30 tumbuhan obat langka Indonesia. Floribunda No. 10. 15 hlm. Rostiana O, Rosita SM, Muhammad H, Hernani, Syahid SF, Haryudin W, Miftakhurohmah, Seswita D, Surahman, Nasrun. 2003. Ekplorasi potensi purwoceng dan cabe jawa serta perbaikan potenis genetik menunjang industri obat tradisional afrodisiak. Laporan Teknis Penelitian Penguasaan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat Tahun 2003. Bogor: Balittro. __________, Rahardjo M, Rizal M. 2006. Pengembangan teknologi budidaya purwoceng dan mimba mendukung penyiapan bahan obat alami secara berkelanjutan. Di dalam : Supriadi, Januwati M, Balfas R, Bermawie M, Rahardjo M, editor. Prosiding Seminar Nasional dan Pameran Tumbuhan Obat Indonesia XXVII. Bogor, 15-16 September 2005. Bogor : BalittroPOKJANAS TOI-Dir.Tanaman Sayuran dan Biofarmaka. hlm 7 – 17. ___________, Haryudin W, Ma’mun. 2007. Karakteristik morfologi, komponen hasil dan mutu nomor koleksi purwoceng di Gunung Putri [abstrak]. Di dalam: Seminar Nasional dan Pameran Perkembangan Teknologi Tanaman Obat dan Aromatik; Bogor, 6 September 2007. Bogor: Balittro. hlm 48. Abstr no MPB-7.
52
Roostika I, Darwati I, Mariska I. 2005. Micripropagation of purwoceng (Pimpinella alpina KDS) through organogenesis and somatic embryogenesis. Disampaikan pada Seminar on Asean Science and Technology Week ; Jakarta, 5-7 Augustus 2005. Roux NS. 2004. Mutation induction in musa – a review. Di dalam: Jain SM, Swennen R, editor. Banana Improvement : Cellular, Molecular Biology, and Induced Mutations. Enfield: Sci Pub Inc. hlm. 21-29. Saba N, Mirza B. 2002. Ethyl methane sulphonate induced genetic variability in Lycopersicon esculentum. Int J Agric Biol 4 (1): 89-92. Samad MA, Begum S, Majid MA. 2001. Somaclonal variation and irradiation in sugarcane calli for selection against red rot, water-logged conditions and delayed or non-flowering characters. Di dalam : In vitro techniques for selection of radiation induced mutation adapted to adverse environmental conditions. Proceeding of a final Research Co-ordination Meeting; Shanghai, 17–21 Agustus 1998. Vienna : FAO/IAEA Division of Nuclear Techniques in Food and Agriculture. hlm 45 – 50. Sebastian SA, Fader GM, Unlrich JF, Forney DR, Chaleff RS. 1989. Semidominant Soybean mutations for resistance to Sulfonyl Urea herbicides. Crop Sci 24: 851–2 Sega GA. 1984. A review of the genetic effects of ethyl methanesulfonate. Mutat Res 134 (2-3) : 113-42. Sharabash MT 2001. Radiation induced variation in potato for tolerance to salinity using tissue culture technique. Di dalam : In vitro techniques for selection of radiation induced mutation adapted to adverse environmental conditions. Proceeding of a final Research Co-ordination Meeting ; Shanghai, 17–21 Agustus 1998. Vienna : FAO/IAEA Division of Nuclear Techniques in Food and Agriculture. hlm 83 – 86. Sidik, Sasongko E, Kurnia, Ursula. 1975. Usaha isolasi turunan kumarin dari akar purwoceng (Pimpinella alpina Molk.) asal dataran tinggi Dieng. Di dalam : Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Obat I; Bogor, 8-9 Desember 1975. Bogor : Bag. Farmakologi-Dept. Fisiologi dan farmakologi, Fak. Kedokteran Hewan, IPB. hlm 135 – 138d. Sung DY, Kaplan F, Lee KJ, Guy CL. 2003. Acquired tolerance to temperature extremes. Trends Plant Sci 8(4) : 179 – 187 Suzery MB, Cahyono, Ngadiwiyana H, Nurhasnawati. 2004. Senyawa stigmasterol dari Pimpinella alpina Molk (purwoceng). Suplemen 39 (1) : 39 – 41. Svetleva DL, Crino P. 2005. Effect of ethyl methanesulfonate (EMS) and NNitros-N ethyl urea (ENU) on callus growth of common bean. J Cent Europ Agric 6 (1) : 59 -64. Taiz L, Zeiger E. 2002. Plant Physiology. Sunderland: Sinauer Associates,Inc.
53
Taufiqurrachman, Wibowo S. 2006. Effect of purwoceng (Pimpinella alpina) extract in stimulating testosterone, luteinizing hormone (LH) and follicle stimulating homone (FSH) in Sprague Dawley male rats. Di dalam : Supriadi, Januwati M, Balfas R, Bermawie N, Rahardjo M, editor. Prosiding Seminar Nasional dan Pameran Tumbuhan Obat Indonesia XXVII. Bogor, 15-16 September 2005. hlm 45 – 54. Thurling N, Depittayanan V. 1992. EMS induction of early flowering mutants in springrape (Brassica napus). Plant Breed 108: 177–84. van Harten AM 1998. Mutation Breeding, theory and Practical Applications. Cambridge: Cambridge University Press. Van K, Jang HJ, Jang YE, Lee SH. 2008. Regeneration of plants from EMStreated immature embryo cultures in soybean (Glycine max (L.) Merr.). J Crop Sci Biotech 11(2):119-126. von Arnim AG. 2005. Molecular Approaches to the Study of Plant Development. Di dalam : Trigiano RN, Gray DJ, editor. Plant Development and Biotechnology. Danvers : CRC Press. hlm 119 – 141. Wahid A, Gelani S, Ashraf M, Foolad MR. 2007. Heat tolerance in plants: an overview. Environ Exp Bot 61: 199 – 223. Wang AS, Hollingworth MD, Milcic JB. 2007. Mutagenesis of tissue cultures. http:/www.agron.missouri.edu/mnl/61/138wang. html. [7 September 2007]. Wu M, Wallner SJ, Waddel JW. 1984. Heat stress responses in cultured plant cell. Plant Physiol 74 : 944 – 946. Yenisbar. 2005. Induksi mutasi dengan EMS pada biak embriogenik meningkatkan keragaman genetik apokat (Persea americana MILL.) [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Zhang Y, Mian MAR, Chekhovskiy K, So S, Kupfer D, Lai H, Roe BA. 2005. Differential gene expression in Festuca under heat stress conditions. J Exp Bot 56(413): 897 – 907. Zhen HR. 2001a. In vitro technique for selection of radiation induced mutants of garlic. Di dalam : In vitro techniques for selection of radiation induced mutation adapted to adverse environmental conditions. Proceeding of a final Research Co-ordination Meeting ; Shanghai, 17–21 Agustus 1998. Vienna : FAO/IAEA Division of Nuclear Techniques in Food and Agriculture. hlm 75 – 78. Zhen HR. 2001b. In vitro technique for selection of radiation induced mutants of sweet potato. Di dalam : In vitro techniques for selection of radiation induced mutation adapted to adverse environmental conditions. Proceeding of a final Research Co-ordination Meeting ; Shanghai, 17–21 Agustus 1998. Vienna : FAO/IAEA Division of Nuclear Techniques in Food and Agriculture. hlm 79 – 82.
LAMPIRAN
55
Lampiran 1. Diagram alir penelitian
Kultur in vitro purwoceng
Induksi embriogenesis somatik dari eksplan daun
Induksi mutasi dengan beberapa taraf dosis EMS pada eksplan embrio somatik
Seleksi in vitro pada suhu 17.3 ± 0.5ºC (kontrol), 23.3 ± 2.1ºC dan 32.8 ± 1.7ºC selama 3 bulan
Embrio somatik atau tunas purwoceng tahan (tidak sensitif) suhu tinggi
56
Lampiran 2 Tabel komposisi media Murashige dan Skoog (MS) serta Driver, Kuniyuki dan Walnut (DKW) Stok Hara Makro
Hara Mikro
Vitamin
Asam amino
Garam Mineral
MS (mg/l)
DKW (mg/l)
NH4NO3 KNO3 KH2PO4 CaCl2.2H2O MgSO4.7H2O Ca (NO3)2.4H2O K2SO4 MnSO4.4H2O MnSO4. H2O ZnSO4.7H2O CuSO4.5H2O H3BO3 KI Na2MoO4.2H2O Na EDTA.2H2O FeSO4.7H2O CoCl2. 6H2O Zn(NO3)2. 6H2O
1 650 1 900 170 440 370 22.3 8.6 0.025 6.2 0.83 0.25 37.25 27.85 0.025 -
1 417 258.4 147 740 1 960 1 559.5 33.8 0.25 4.8 0.39 45 33.4 17
Myo-inositol Thiamin HCl Piridoksin HCl Asam Nicotin Glycin
100 0.1 0.5 0.5 `
1 000 2 1 2
57
Lampiran 3 Tabel rekapitulasi uji F pengaruh perlakuan EMS terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan umur 1, 2 dan 3 bulan pada suhu 17.3 ± 0.5ºC (kontrol) Peubah Penambahan bobot segar eksplan umur 1 bulan*
F-hitung 0.99
P>F 0.4764
Persentase eksplan membentuk tunas umur 1 bulan** Jumlah tunas per eksplan umur 1 bulan***
1.84
0.0880
1.59
0.1490
Penambahan bobot segar eksplan umur 2 bulan*
2.33
0.0358
Persentase eksplan membentuk tunas umur 2 bulan** Jumlah tunas per eksplan umur 2 bulan***
1.54
0.1673
1.60
0.1539
Penambahan bobot segar eksplan umur 3 bulan*
1.91
0.1211
Persentase eksplan membentuk tunas umur 3 bulan** Jumlah tunas per eksplan umur 3 bulan***
0.68
0.7470
2.18
0.0861
Keterangan :* Analisis ragam dilakukan setelah data ditransformasi dengan √x ** Analisis ragam dilakukan setelah data ditransformasi dengan Arcsin *** Analisis ragam dilakukan setelah data ditransformasi dengan √x + 0.5
58
Lampiran 4 Tabel rekapitulasi uji F pengaruh perlakuan EMS terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan umur 1, 2 dan 3 bulan pada suhu 23.3 ± 2.1ºC Peubah Penambahan bobot segar eksplan umur 1 bulan*
F-hitung 1.98
P>F 0.0671
Persentase eksplan membentuk tunas umur 1 bulan*** Jumlah tunas per eksplan umur 1 bulan****
2.45
0.0265
2.53
0.0223
Penambahan bobot segar eksplan umur 2 bulan*
1.42
0.2182
Persentase eksplan hidup umur 2 bulan**
0.94
0.5192
Persentase eksplan membentuk tunas umur 2 bulan*** Jumlah tunas per eksplan umur 2 bulan****
2.27
0.0381
1.92
0.0784
Penambahan bobot segar eksplan umur 3 bulan*
1.47
0.2312
Persentase eksplan hidup umur 3 bulan**
0.97
0.4929
Persentase eksplan membentuk tunas umur 3 bulan*** Jumlah tunas per eksplan umur 3 bulan****
1.85
0.0867
2.22
0.0648
Keterangan :* Analisis ragam dilakukan setelah data ditransformasi dengan √x ** Analisis ragam dilakukan pada data asli *** Analisis ragam dilakukan setelah data ditransformasi dengan Arcsin **** Analisis ragam dilakukan setelah data ditransformasi dengan √x + 0.5
59
Lampiran 5 Tabel rekapitulasi uji F pengaruh perlakuan EMS terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan umur 1, 2 dan 3 bulan pada suhu 32.8 ± 1.7ºC Peubah Penambahan bobot segar eksplan umur 1 bulan*
F-hitung 1.08
P>F 0.4063
Persentase eksplan hidup umur 1 bulan**
1.59
0.1464
Persentase eksplan membentuk tunas umur 1 bulan*** Jumlah tunas per eksplan umur 1 bulan****
1.08
0.4058
1.57
0.1537
Penambahan bobot segar eksplan umur 2 bulan*
2.81
0.0202
Persentase eksplan hidup umur 2 bulan***
1.17
0.3410
Persentase eksplan membentuk tunas umur 2 bulan*** Jumlah tunas per eksplan umur 2 bulan****
0.82
0.6181
1.58
0.1587
Penambahan bobot segar eksplan umur 3 bulan****
0.18
0.9742
Persentase eksplan hidup umur 3 bulan***
0.69
0.7424
Persentase eksplan membentuk tunas umur 3 bulan*** Jumlah tunas per eksplan umur 3 bulan****
0.84
0.6014
1.57
0.1622
Keterangan :* Analisis ragam dilakukan setelah data ditransformasi dengan √x ** Analisis ragam dilakukan pada data asli *** Analisis ragam dilakukan setelah data ditransformasi dengan Arcsin **** Analisis ragam dilakukan setelah data ditransformasi dengan √x + 0.5
60
Lampiran 6 Tabel rata-rata penambahan bobot segar eksplan (g) pada masingmasing suhu seleksi dan perlakuan EMS umur 1, 2 dan 3 bulan Perlakuan Kontrol aquades EMS 0% EMS 0.1 % EMS 0.3 % EMS 0.5 % EMS 0.7 % Kontrol aquades EMS 0% EMS 0.1 % EMS 0.3 % EMS 0.5 % EMS 0.7 % Kontrol aquades EMS 0% EMS 0.1 % EMS 0.3 % EMS 0.5 % EMS 0.7 %
Lama 1 bulan perendaman Suhu 17.3 ± 0.5ºC (kontrol) 1 jam 0.3450 2 jam 0.3656 1 jam 0.3679 2 jam 0.4530 1 jam 0.3268 2 jam 0.4892 1 jam 0.3650 2 jam 0.3634 1 jam 0.3070 2 jam 0.2562 1 jam 0.3664 2 jam 0.1890 Suhu 23.3 ± 2.1ºC 1 jam 0.3800 2 jam 0.4473 1 jam 0.3411 2 jam 0.4287 1 jam 0.3667 2 jam 0.4479 1 jam 0.3332 2 jam 0.3034 1 jam 0.3514 2 jam 0.2866 1 jam 0.2704 2 jam 0.1710 Suhu 32.8 ± 1.7ºC 1 jam 0.2616 2 jam 0.2639 1 jam 0.3836 2 jam 0.3854 1 jam 0.4223 2 jam 0.2871 1 jam 0.3460 2 jam 0.2494 1 jam 0.1393 2 jam 0.2816 1 jam 0.2782 2 jam 0.1686
2 bulan
3 bulan
0.8238 0.5835 1.4131 1.5474 1.1216 1.6139 0.9847 0.6383 0.8127 0.8281 0.7595 0.3659
4.2674 3.9944 6.1972 4.8281 3.9429 4.1227 3.0668 2.2859 3.3408 2.8908 2.9850 2.3751
0.9998 1.2431 0.6769 1.9279 1.0505 0.7561 0.9436 0.9104 0.7268 0.5643 0.7220 0.4497
1.5727 2.2051 2.1788 2.6599 3.5572 3.1681 2.5653 2.8531 1.2338 2.5324 2.4572 1.2287
0.1822 0.4239 0.3092 1.9263 0.3184 0.1826 0.3537 0.2105 0.1420 0.1935 0.2555 0.1438
0.0000 0.1532 0.1631 0.1295 0.1151 0.1031 0.3062 0.0000 0.1492 0.2577 0.2684 0.0000
61
Lampiran 7 Tabel rata-rata persentase eksplan membentuk tunas (%) pada masing-masing suhu seleksi dan perlakuan EMS umur 1, 2 dan 3 bulan Perlakuan Kontrol aquades EMS 0% EMS 0.1 % EMS 0.3 % EMS 0.5 % EMS 0.7 % Kontrol aquades EMS 0% EMS 0.1 % EMS 0.3 % EMS 0.5 % EMS 0.7 % Kontrol aquades EMS 0% EMS 0.1 % EMS 0.3 % EMS 0.5 % EMS 0.7 %
Lama 1 bulan perendaman Suhu 17.3 ± 0.5ºC (kontrol) 1 jam 66.7 2 jam 41.7 1 jam 41.7 2 jam 25.0 1 jam 41.7 2 jam 33.3 1 jam 58.3 2 jam 25.0 1 jam 16.7 2 jam 33.3 1 jam 33.3 2 jam 0.0 Suhu 23.3±2.1°C 1 jam 66.7 2 jam 58.3 1 jam 8.3 2 jam 50.0 1 jam 16.7 2 jam 41.7 1 jam 8.3 2 jam 41.7 1 jam 41.7 2 jam 66.7 1 jam 58.3 2 jam 0.0 Suhu 32.8±1.7°C 1 jam 8.3 2 jam 8.3 1 jam 33.3 2 jam 8.3 1 jam 16.7 2 jam 16.7 1 jam 33.3 2 jam 0.0 1 jam 8.3 2 jam 16.7 1 jam 33.3 2 jam 0.0
2 bulan
3 bulan
83.3 75.0 83.3 58.3 83.3 75.0 66.7 66.7 50.0 66.7 58.3 33.3
100.0 100.0 100.0 91.7 100.0 100.0 91.7 100.0 91.7 100.0 100.0 91.7
83.3 83.3 41.7 75.0 33.3 58.3 83.3 58.3 58.3 100.0 66.7 33.3
100.0 100.0 83.3 100.0 66.7 100.0 100.0 83.3 66.7 100.0 75.0 50.0
33.3 33.3 33.3 16.7 33.3 16.7 50.0 16.7 41.7 33.3 50.0 0.0
33.3 41.7 33.3 33.3 33.3 16.7 50.0 16.7 41.7 33.3 50.0 0.0
62
Lampiran 8 Tabel rata-rata jumlah tunas per eksplan umur 1, 2 dan 3 bulan pada masing-masing suhu seleksi dan perlakuan EMS Perlakuan Kontrol aquades EMS 0% EMS 0.1 % EMS 0.3 % EMS 0.5 % EMS 0.7 % Kontrol aquades Ems 0% EMS 0.1 % EMS 0.3 % EMS 0.5 % EMS 0.7 % Kontrol aquades EMS 0% EMS 0.1 % EMS 0.3 % EMS 0.5 % EMS 0.7 %
Lama 1 bulan 2 bulan perendaman Suhu 17.3 ± 0.5ºC (kontrol) 1 jam 1.8 3.5 2 jam 1.0 2.5 1 jam 1.0 4.1 2 jam 0.8 4.4 1 jam 1.1 4.5 2 jam 0.9 5.3 1 jam 1.5 5.2 2 jam 0.7 3.5 1 jam 0.6 3.2 2 jam 0.5 2.6 1 jam 0.7 3.0 2 jam 0.0 0.6 Suhu 23.3±2.1°C 1 jam 1.1 4.8 2 jam 1.5 6.5 1 jam 0.1 1.5 2 jam 0.8 3.5 1 jam 0.2 2.3 2 jam 1.1 2.8 1 jam 0.2 3.2 2 jam 0.5 3.8 1 jam 0.5 2.0 2 jam 1.0 4.7 1 jam 0.9 4.4 2 jam 0.0 0.8 Suhu 32.8±1.7°C 1 jam 0.1 0.3 2 jam 0.1 0.4 1 jam 0.6 0.6 2 jam 0.5 0.9 1 jam 0.2 0.9 2 jam 0.2 0.2 1 jam 0.5 1.4 2 jam 0.0 0.3 1 jam 0.1 0.6 2 jam 0.2 0.3 1 jam 1.2 1.8 2 jam 0.0 0.0
3 bulan 11.8 13.7 15.0 12.3 13.2 16.0 15.9 10.2 10.2 10.9 13.1 6.2 10.6 12.9 3.5 11.3 9.9 12.3 9.3 4.8 3.1 10.0 8.6 2.2 0.3 1.2 0.6 2.0 1.9 0.2 1.4 0.3 0.6 0.3 1.8 0.0
63
Lampiran 9 Tabel rata-rata persentase eksplan hidup (%) umur 1, 2 dan 3 bulan pada masing-masing suhu seleksi dan perlakuan EMS Perlakuan Kontrol aquades EMS 0% EMS 0.1 % EMS 0.3 % EMS 0.5 % EMS 0.7 % Kontrol aquades EMS 0% EMS 0.1 % EMS 0.3 % EMS 0.5 % EMS 0.7 % Kontrol aquades EMS 0% EMS 0.1 % EMS 0.3 % EMS 0.5 % EMS 0.7 %
Lama 1 bulan 2 bulan perendaman Suhu 17.3 ± 0.5ºC (kontrol) 1 jam 100.0 100.0 2 jam 100.0 100.0 1 jam 100.0 100.0 2 jam 100.0 100.0 1 jam 100.0 100.0 2 jam 100.0 100.0 1 jam 100.0 100.0 2 jam 100.0 100.0 1 jam 100.0 100.0 2 jam 100.0 100.0 1 jam 100.0 100.0 2 jam 100.0 100.0 Suhu 23.3±2.1°C 1 jam 100.0 100.0 2 jam 100.0 100.0 1 jam 100.0 100.0 2 jam 100.0 100.0 1 jam 100.0 100.0 2 jam 100.0 100.0 1 jam 100.0 100.0 2 jam 100.0 100.0 1 jam 100.0 100.0 2 jam 100.0 100.0 1 jam 100.0 100.0 2 jam 100.0 75.0 Suhu 32.8±1.7°C 1 jam 100.0 0.0 2 jam 100.0 33.3 1 jam 75.0 16.7 2 jam 100.0 50.0 1 jam 100.0 16.7 2 jam 100.0 16.7 1 jam 83.3 25.0 2 jam 75.0 0.0 1 jam 91.7 25.0 2 jam 100.0 16.7 1 jam 91.7 25.0 2 jam 50.0 0.0
3 bulan 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 75.0 0.0 16.7 8.3 25.0 8.3 16.7 25.0 0.0 16.7 16.7 16.7 0.0
64
Lampiran 10 Tabel frekuensi variasi fenotipe tunas (%) pada masing-masing perlakuan EMS dan suhu seleksi Perlakuan
Lama perendaman
Kontrol aquades
1 jam
EMS 0% EMS 0.1 % EMS 0.3 % EMS 0.5 % EMS 0.7 % Kontrol aquades EMS 0% EMS 0.1 % EMS 0.3 % EMS 0.5 % EMS 0.7 % Kontrol aquades EMS 0% EMS 0.1 % EMS 0.3 % EMS 0.5 % EMS 0.7 %
2 jam 1 jam 2 jam 1 jam 2 jam 1 jam 2 jam 1 jam 2 jam 1 jam 2 jam
Albino
Daun Tangkai daun variegata besar Suhu 17.3 ± 0.5ºC (Kontrol) 0.0 0.0 0.0
Total varian 0.0 (0/71)*
0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 1.0 (1/96) 0.7 (1/143) 0.0 0.0 2.9 (2/69) 0.0 1.1 (1/92) 5.1 (5/98) 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 Suhu 23.3±2.1°C 0.0 0.0
4.9 (2/41) 6.7 (2/30) 0.0 2.9 (3/102) 3.1 (3/96) 7.7 (11/143) 0.0 10.9 (10/92) 4.1 (4/98) 3.4 (4/118) 0.0
4.9 (2/41) 6.7 (2/30) 0.0 (0/30) 2.9 (3/102) 4.1 (4/96) 8.4 (12/143) 2.9 (2/69) 12.0 (11/92) 9.2 (9/98) 3.4 (4/118) 0.0 (0/56)
10.5 (10/95)
10.5 (10/95)
10.8 (7/65) 0.0 0.0 16.3 (7/43) 8.1 (9/111) 6.0 (5/84) 7.0 (3/43) 20.0 (3/15) 10.4 (8/77) 2.9 (2/70) 0.0
10.8 (7/65) 0.0 (0/33) 0.0 (0/62) 16.3 (7/43) 8.1 (9/111) 6.0 (5/84) 7.0 (3/43) 26.7 (4/15) 10.4 (8/77) 2.9 (2/70) 0.0 (0/17)
1 jam
0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 6.7 (1/15) 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 Suhu 32.8±1.7°C 0.0 0.0
2 jam 1 jam 2 jam 1 jam 2 jam 1 jam 2 jam 1 jam 2 jam 1 jam 2 jam
0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
12.5 (1/8) 0.0 0.0 0.0 0.0 6.3 (1/16) 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
1 jam 2 jam 1 jam 2 jam 1 jam 2 jam 1 jam 2 jam 1 jam 2 jam 1 jam 2 jam
0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
0.0
0.0 12.5 (1/8) 0.0 (0/1) 0.0 (0/18) 0.0 (0/7) 0.0 (0/1) 6.3 (1/16) 0.0 0.0 0.0 (0/1) 0.0 (0/5) 0.0
Keterangan : * a (m/n) = angka menunjukkan a – frekuensi variasi fenotipe tunas yang dinyatakan dalam persentase terhadap total tunas yang diamati, m – jumlah tunas dengan variasi fenotipe tertentu dan n - jumlah tunas yang diamati.