PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 814-818
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010425
Induksi pembentukan sporofit pada massa prothallus pakis simpei (Cibotium barometz) secara in vitro Induction of sporophyte formation on prothallus mass of the golden chicken fern (Cibotium barometz) in vitro EKA MARTHA DELLA RAHAYU, YUPI ISNAINI♥, TITIEN NGATINEM PRAPTOSUWIRYO Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jl. Ir. H. Juanda No. 13, Bogor 16003, Jawa Barat. Tel./Fax. +62-251-8322187. email:
[email protected] Manuskrip diterima: 20 Februari 2015. Revisi disetujui: 5 Mei 2015.
Rahayu EMD, Isnaini Y, Praptosuwiryo TNg. 2015. Induksi pembentukan sporofit pada massa prothallus pakis simpei (Cibotium barometz) secara in vitro. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 814-818. Pakis simpei, Cibotium barometz (L.) J. Sm. (Cibotiaceae), merupakan salah satu jenis paku pohon komoditas ekspor yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi karena bermanfaat sebagai bahan obat tradisional maupun modern. Rimpang dan bulunya bermanfaat untuk bahan obat penyakit hati dan ginjal, rematik, dan sebagai pembeku darah. Rimpang maupun bulu C. barometz yang diperdagangkan selama ini masih diambil dari alam dan upaya budi dayanya secara luas belum ada. Populasi jenis ini secara global mengalami penurunan. Oleh karena itu, perdagangannya diatur secara internasional dan termasuk dalam Apendiks II CITES sejak tahun 1976. Untuk mencegah kepunahan jenis ini dan juga untuk memenuhi keperluan bibit secara massal di kemudian hari, baik untuk keperluan domestikasi maupun reintroduksi, serta membantu konservasi jenis dan program-program manajemen lingkungan maka kajian-kajian ke arah budi dayanya sangat diperlukan. Kultur spora secara in vitro dapat menjadi salah satu pemecah masalah untuk memenuhi bibit paku pohon dalam skala massal. Massa prothallus yang sebagian besar merupakan gametofit dewasa, telah terbentuk alat kelamin jantan (antheridium) maupun alat kelamin betina (archegonium), diinduksi untuk membentuk sporofit dengan cara mensubkultur massa prothallus pada berbagai konsentrasi media Murashige-Skoog (MS). Massa prothallus dari 4 genotipe C. barometz (Cb, Cb1, Cb2, dan Cb3) disubkultur pada berbagai konsentrasi media MS, yaitu media 1/4 MS, 1/6 MS, 1/8 MS, 1/10 MS, dan 1/12 MS. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jumlah sporofit paling banyak terbentuk pada media 1/12 MS untuk semua genotipe yang diuji. Jika dibandingkan antargenotipe, kultur C. barometz genotipe Cb2 membentuk sporofit paling banyak dibandingkan dengan genotipe lainnya pada semua media perlakuan. Kata kunci: Cibotium barometz, gametofit, massa prothallus, sporofit
Rahayu EMD, Isnaini Y, Praptosuwiryo TNg. 2015. Induction of sporophyte formation on prothallus mass of the golden chicken fern (Cibotium barometz) in vitro. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 814-818. The golden chicken fern, Cibotium barometz (L.) J. Sm. (Cibotiaceae), is an Indonesian tree fern with a high value as an export commodity due to its uses both for modern and traditional medicine. Its rhizomes and hairs are used as ingredients for treating liver and kidney diseases, rheumatism and as a blood coagulant. Currently, the rhizomes and hairs of C. barometz are harvested from the wild due to a lack of agricultural propagation and culture. Along with habitat degradation, uncontrolled harvests have led this species toward extreme global population decline. In order to prevent further decline, this species has been included in the Appendix II of CITES since 1976. Therefore, agricultural research of this species is indispensable to meet the needs of sporelings on a mass scale for domestication and for reintroduction into nature, and assisting species conservation and for environment management programmes. In vitro spore culture can be a solution to produce sporelings of the tree fern on a mass scale. Prothallus masses which mostly consisted of mature gametophyte with already formed antheridium and archegonium, were induced to form sporophytes by subculturing them on various mineral salt concentrations of Murashige-Skoog’s (MS) media. Prothallus masses of 4 genotypes of C. barometz (Cb, Cb1, Cb2 and Cb3) were subcultured on various MS media concentrations, which consisted of 1/4 MS, 1/6 MS, 1/8 MS, 1/10 MS and 1/12 MS. The results showed that the highest sporophyte formation occured on 1/12 MS medium for all genotypes tested. Genotype Cb2 formed sporophytes at the most compared to the other genotypes on all treatment media. Keywords: Cibotium barometz, gametophyte, prothallus mass, sporophyte
PENDAHULUAN Pakis simpei (Cibotium barometz (L.) J. Sm.) merupakan tumbuhan paku pohon yang termasuk dalam suku Cibotiaceae (Smith et al. 2006). Cibotium barometz tumbuh di tanah yang asam, di hutan primer dan sekunder,
di lereng-lereng bukit atau gunung pada ketinggian 600800 m dpl, dan di area hutan terbuka pada ketinggian sampai 1.600 m dpl (Holttum 1963; Praptosuwiryo 2003; Praptosuwiryo et al. 2011). Jenis ini tersebar di bagian selatan Cina, sebelah timur laut India, sebelah barat Semenanjung Malaya, Indonesia (dari Jawa ke Sumatera),
RAHAYU et al. – Pembentukan sporofit Cibotium barometz
Myanmar, Thailand, Vietnam, Jepang, Taiwan, Laos, dan Filipina (Holttum 1963). Cibotium barometz di Asia Tenggara dilaporkan digunakan untuk tujuan pengobatan, sebagai bahan makanan, dan sumber penghasil serat. Cibotium barometz termasuk salah satu tumbuhan obat komoditas ekspor bernilai tinggi. Cibotium barometz telah lama dikenal sebagai bahan obat tradisional dan telah dijadikan sebagai bahan obat modern di berbagai negara seperti Cina, Jepang, dan Perancis (Praptosuwiryo 2003). Uji fitokimia terhadap C. barometz akhir-akhir ini membuktikan bahwa C. barometz merupakan bahan obat modern yang potensial untuk masa depan. Daunnya memiliki kandungan fenol total dan antioksidan cukup tinggi (Lai dan Lim 2011). Ekstrak rimpangnya berpotensi untuk terapi antisindrom pernapasan akut yang parah atau severe acute respiratory syndrome (SARS) (Wen et al. 2011). Kandungan kimia dari rimpang C. barometz berpotensi untuk mengobati osteoporosis (Xu et al. 2014a) atau anti-osteoporosis (Xu et al. 2014b). Jenis ini juga memiliki kandungan Protocatechuic Acid (PCA) yang memiliki potensi sebagai antioksidan dan zat anti-pembengkakan (Li et al. 2011). Kecenderungan populasi global C. barometz diperkirakan akan menurun (UNEP-WCMC 2010). Perdagangan C. barometz diatur dalam Apendiks II CITES. Untuk mengantisipasi kepunahan spesies ini dan memenuhi kebutuhan bibit untuk keperluan domestikasi dan reintroduksi, diperlukan kajian budi dayanya. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya perbanyakan dari C. barometz. Salah satu teknik perbanyakan yang dapat menghasilkan bibit C. barometz dalam jumlah banyak dan dalam waktu yang cepat adalah dengan metode kultur jaringan melalui kultur spora. Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PKT KRLIPI) telah melakukan penelitian terkait dengan kultur in vitro spora dari 3 varian C. barometz, yaitu varian cokelat, kuning emas, dan putih atau bule (Isnaini dan Praptosuwiryo 2015). Hasil penelitian tersebut masih dominan berupa kumpulan massa prothallus dan belum banyak yang membentuk sporofit. Untuk menghasilkan bibit yang sempurna, spora C. barometz yang telah berkecambah perlu diinduksi untuk membentuk sporofit
815
sehingga dapat segera diaklimatisasi dan memenuhi kebutuhan bibit. Li et al. (2010) telah berhasil menginduksi pembentukan sporofit C. barometz dari eksplan spora pada media Murashige-Skoog 1/10 konsentrasi (1/10MS) tanpa penambahan zat pengatur tumbuh. Hasil penelitian tersebut menjadi dasar bagi penelitian induksi pembentukan sporofit dari empat genotipe C. barometz, yaitu Cb, Cb1, Cb2, dan Cb3. Penelitian ini bertujuan untuk menginduksi pembentukan sporofit pada empat genotype C. barometz (Cb, Cb1, Cb2, dan Cb3) pada berbagai konsentrasi media MS tanpa penambahan zat pengatur tumbuh.
BAHAN DAN METODE Bahan tanaman Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah massa prothallus hasil semai spora pada penelitian sebelumnya (Isnaini dan Praptosuwiryo 2015). Kumpulan massa prothallus yang digunakan terdiri atas 4 genotipe yang mewakili varian kuning emas dan cokelat (Tabel 1). Induksi pembentukan sporofit Massa prothallus C. barometz dari empat genotipe (Cb, Cb1, Cb2, dan Cb3) yang sebagian besar merupakan gametofit dewasa, telah membentuk alat kelamin jantan (antheridium) atau alat kelamin betina (archegonium) atau keduanya (antheridium dan archegonium, biseksual), disubkultur pada media perlakuan induksi sporofit. Media perlakuan yang digunakan adalah media dasar MS dengan modifikasi konsentrasi hara makro, hara mikro, dan vitaminnya menjadi 1/4 MS, 1/6 MS, 1/8 MS, 1/10 MS, dan 1/12 MS. Semua media ditambahkan gula 30 gram/L dan tingkat keasaman media diatur pada pH 5,7. Selanjutnya, media dipadatkan dengan agar gelrite 3 g/L. Media yang telah diracik selanjutnya dimasak sampai mendidih lalu dituangkan ke dalam botol kultur masingmasing sebanyak sekitar 30 ml. Media selanjutnya disterilisasi dengan menggunakan autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit lalu diinkubasi sampai 3 hari sampai siap digunakan.
Tabel 1. Spora Cibotium barometz yang digunakan untuk kultur spora in vitro Kode sampel Cb
Nomor koleksi TNgP 2509
Nama varian Kuning emas
Cb1
TNgP 3353
Kuning emas
Cb2
TNgP 2780 H
Cokelat emas
Cb3
TNgP 2792
Kuning emas
Asal koleksi Desa Sungai Medang, Kecamatan Air Hangat Timur, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi Bukit Soriak, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat Bukit Barisan, Jorong Seberang Air, Negari Seberang Air, Kecamatan Lareh Sago Halaban, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat Bukit Sitaba, Jorong Sungai Ipuh, Negari Sitanang, Kecamatan Lareh Sago Halaban, Sumatera Barat
Lokasi tanam Kebun Raya Bogor
Waktu panen spora Juni 2012
Ecopark, Cibinong Sciences Center Kebun Raya Cibodas
7 Januari 2013
Kebun Raya Cibodas
20 Juni 2013
20 Juni 2013
816
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 814-818, Juli 2015
Massa prothallus dari setiap genotipe C. barometz yang masih bergerombol dipisahkan masing-masing sekitar 0,5 cm2, selanjutnya disubkultur ke media perlakuan yang telah disiapkan sebelumnya. Semua eksplan yang telah ditanam selanjutnya disimpan di rak kultur dengan penyinaran lampu neon dengan pencahayaan 16 jam/hari. Penelitian dilakukan dengan rancangan acak lengkap (RAL). Setiap perlakuan diulang 3 kali dan setiap ulangan terdiri atas 5 botol kultur (volume 250 ml). Pengamatan dilakukan setiap bulan untuk mengetahui jumlah sporofit yang terbentuk dan perawakan kultur pada setiap media perlakuan. Analisis data Data jumlah sporofit yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam. Apabila dari hasil analisis ragam terdapat pengaruh nyata dari perlakuan maka dilakukan uji lanjut dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf nyata 5% untuk mengetahui pengaruh beda antarperlakuan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan terhadap induksi pembentukan sporofit menunjukkan bahwa sporofit mulai terbentuk satu bulan setelah subkultur. Lima bulan setelah subkultur, jumlah sporofit terbanyak terdapat pada media 1/12 MS untuk semua genotipe (Tabel 2), tetapi warna dan perawakan kultur umumnya kecokelatan (Tabel 3 dan Gambar 1). Tabel 2. Pembentukan sporofit 4 genotipe Cibotium barometz pada media perlakuan yang diujikan 5 bulan setelah subkultur Media perlakuan 1/4 MS 1/6 MS 1/8 MS 1/10 MS 1/12 MS
Rata-rata jumlah sporofit yang terbentuk pada setiap genotipe Cb Cb1 Cb2 Cb3 0,33b 0,17b 4,33ab 0,83ab 0,55b 0,50b 2,14c 0,67b b b bc 0,67 0,71 2,43 0,00c b b c 0,67 0,86 1,58 0,63b 4,79a 4,29a 5,15a 1,36a
Hasil yang diperoleh pada penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Li et al. (2010) yang telah berhasil menginduksi pembentukan sporofit C. barometz dari eksplan spora pada media 1/10 MS. Pertumbuhan sporofit yang lebih banyak pada media 1/12 MS diduga berkaitan dengan kondisi fisik media kultur. Kondisi fisik media 1/12 MS tidak memadat meskipun telah ditambahkan agar sehingga seperti media cair. Pembentukan sporofit dapat terjadi melalui amfimiksis atau apogami. Menurut Goller dan Rybczyński (2007) serta Soare (2008), keberadaan air berperan penting dalam pembentukan sporofit tumbuhan paku. Produksi sporofit secara seksual mengimplikasikan terjadinya fusi gamet pada prothallus yang sama atau prothallus yang berbeda (Klekowski dan Lloyd 1968). Keberadaan air dibutuhkan untuk pelepasan gamet jantan. Air juga merupakan sarana vital bagi antherozoid untuk berenang mencapai oospheres yang tersimpan dalam archegonium pada prothallus yang sama atau prothallus yang berbeda (Soare 2008). Berdasarkan hal tersebut maka kondisi fisik media 1/12 MS yang cair pun secara spontan membantu proses pembentukan sporofit C. barometz. Pertumbuhan sporofit tertinggi pada penelitian ini terdapat pada media dengan konsentrasi mineral yang paling rendah yaitu media 1/12 MS, tetapi perawakannya kurang subur. Pada media 1/12 MS, kultur terlihat berwarna hijau kecokelatan sampai cokelat pucat. Hal ini diduga terkait dengan gejala kekurangan nutrisi tertentu yang menyebabkan daun mengalami klorosis atau menguning. Menurut Cox et al. (2003), pertumbuhan spora paku Schizae adichotoma terbaik adalah pada media kultur dengan konsentrasi mineral yang minimal. Selain itu, Khoo dan Thomas (1980) menyebutkan bahwa konsentrasi mineral yang tinggi justru menghambat pembentukan sporofit Adiantum raddianum. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pembentukan sporofit C. barometz dipengaruhi oleh kondisi fisik media kultur serta konsentrasi makronutrien dan mikronutrien dalam media kultur. Pembentukan sporofit C. barometz tertinggi terdapat pada media 1/12 MS dengan kondisi fisik media cair, tetapi perawakannya terlihat kurang subur dengan gejala klorosis. Untuk menghasilkan sporofit yang sehat diperlukan kajian lebih lanjut.
Tabel 3. Warna kultur 4 genotipe Cibotium barometz pada media perlakuan yang diujikan 5 bulan setelah subkultur Penampilan kultur pada setiap genotipe Media perlakuan Cb Cb1 Cb2 Cb3 1/4 MS Hijau Hijau Hijau Hijau kecokelatan 1/6 MS Hijau Hijau Hijau Hijau kecokelatan kecokelatan 1/8 MS Hijau Hijau Kuning Tidak ada kecokelatan kecokelatan kecokelatan pertumbuhan sporofit 1/10 MS Hijau Hijau Kuning Kuning pucat kecokelatan kecokelatan pucat 1/12 MS Hijau Hijau Cokelat Cokelat pucat kecokelatan kecokelatan pucat
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini merupakan bagian dari Kegiatan Kompetitif LIPI 2013-2014 yang berjudul ”Valuasi Varian Pakis Simpei (Cibotium barometz) sebagai Tumbuhan Penghasil Bahan Obat”. Terima kasih disampaikan kepada staf Laboratorium Kultur Jaringan, Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya-LIPI, Bogor yang telah membantu penelitian ini.
RAHAYU et al. – Pembentukan sporofit Cibotium barometz
Media perlakuan
817
Rata-rata jumlah sporofit yang terbentuk pada setiap genotipe Cb
Cb1
Cb2
Cb3
1/4 MS
1/6 MS
1/8 MS
1/10 MS
1/12 MS
Gambar 1. Perawakan kultur 4 genotipe Cibotium barometz pada media perlakuan yang diujikan 5 bulan setelah subkultur.
DAFTAR PUSTAKA Cox J, Bhatia P, Ashwath N. 2003. In vitro spore germination of the fern Schizae adichotoma. Scientia Horticulturae 97: 369-378. Goller K, Rybczyński JJ. 2007. Gametophyte and sporophyte of tree ferns in vitro culture. Acta Societatis Botanicorum Poloniae 76(3): 193199. Holttum RE. 1963. Cyatheaceae. Flora Malesiana Ser. II. 1 (2): 165. Isnaini Y, Praptosuwiryo TN. 2015. Kultur spora in vitro tiga varian pakis simpei (Cibotium barometz). Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia, Yogyakarta, 21 Maret 2015. Khoo SI, Thomas MB. 1980. Studies on the germination of fern spores. Plant Propag 26: 11-15.
Klekowski EJJr, Lloyd RM. 1968. Reproductive biology of the Pteridophyta I. Geneal Considerations and Study of Onoclea sensibilis L. J Linn Soc (Bot) 60: 315-325. Li X,Ye Q-M, Zhan QC et al. 2010. In vitro culture and plant regeneration of Cibotium barometz (L.) J. Sm. Northern Horticulture 2010 (6): 152-155. Li X, Wang X, Chen D, Chen S. 2011. Antioxidant activity and mechanism of protochatechuic acid in vitro. Funct Foods Health Dis 7: 232-244. Praptosuwiryo TNg, Pribadi DO, Puspitaningtyas DM, Hartini S. 2011. Inventorying of the tree fern genus Cibotium of Sumatra: Ecology, population size and distribution in North Sumatra. Biodiversitas 12 (4): 204-211.
818
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 814-818, Juli 2015
Praptosuwiryo TNg. 2003. Cibotium barometz. (L.) J. Smith. In: de Winter WP, Amoroso VB (eds.). Plant Resources of South-East Asia 15 (2) Cryptogams: Ferns and Ferns Allies, Backhuys Publishers, Leiden, Netherlands. Smith AR, Pryer KM, Schuettpelz E et al. 2006. A classification for extant fern. Taxon 55: 705-731. Soare LC. 2008. In vitro development of gametophyte and sporophyte in several fern species. Not Bot Hort Agrobot Cluj 36(1): 13-19. UNEP-WCMC. 2010. Review of Cibotium barometz and Flickingeria fimbriata from Viet Nam. UNEP-WCMC, Cambridge.
Wen CC, Shyur LF, Jan JT et al. 2011. Traditional Chinese medicine herbal extracts of Cibotium barometz, Gentiana scabra, Dioscorea batatas, Cassia tora, and Taxillus chinensis inhibit SARS-CoV replication. J Trad Compl Med 1 (1): 44-50. Xu G, Sun N, Zhao M-J et al. 2014b. Study on decoction’s effect of different processed rhizome of Cibotium barometz on retinoic acid induced male rats osteoporosis. China J Chin Mat Med 39 (6): 10111015. Xu G, Zhao M-J, Sun N et al. 2014a. Effect of the RW-Cb and its active ingregient like P-acid and P-aldehyde on primary rat osteoblast. J Ethnopharmacol 151 (10): 237-241.