INDUKSI KERAGAMAN GENETIK LILI UNTUK MERAKIT VARIETAS RESISTEN TERHADAP Fusarium oxysporum f.sp. lilii SECARA IN VITRO
RIDHO KURNIATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Induksi Keragaman Genetik Lili untuk Merakit Varietas Resisten terhadap Fusarium oxysporum f.sp. lilii secara In vitro adalah benar karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014
Ridho Kurniati NIM. A263090091
__________________________ *Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama terkait.
RINGKASAN RIDHO KURNIATI. Induksi Keragaman Genetik Lili untuk Merakit Varietas Resisten terhadap Fusarium oxysporum f.sp. lilii secara In vitro. Dibimbing oleh AGUS PURWITO sebagai ketua, GUSTAAF ADOLF WATTIMENA dan BUDI MARWOTO sebagai anggota komisi pembimbing. Lili merupakan tanaman hias penting dalam industri florikultura. Saat ini, umbi lili untuk materi perbanyakan di Indonesia masih impor. Dengan demikian diperlukan metode perbanyakan lili secara massal. Metode perbanyakan yang dilakukan diantaranya pemanfaatan tangkai sari bunga sebagai eksplan. Perbanyakan lili juga dilakukan dengan optimalisasi kondisi kultur melalui modifikasi media yang mengandung gula, kondisi kultur dengan cahaya dan kondisi gelap. Di sisi lain, induksi keragaman genetik juga penting dilakukan untuk menyediakan bunga lili tipe baru sesuai kebutuhan pasar. Peningkatan keragaman lili dilakukan melalui induksi mutasi dengan sinar Gamma dan mutagen kimia EMS. Seleksi in vitro planlet hasil induksi mutasi dilakukan dengan menggunakan media yang mengandung fusaric acid (FA). Optimalisasi konsentrasi FA digunakan untuk mendapatkan konsentrasi yang sesuai untuk mendapatkan planlet tahan FA. Analisis kandungan saponin pada akar dan umbi lili hasil induks i mutasi digunakan sebagai indikator ketahanan tanaman terhadap Fusarium oxysporum. Tujuan penelitian ialah mendapatkan tanaman lili yang tahan terhadap Fusarium oxysporum f.sp. lilii melalui induksi mutasi. Seleksi awal dilakukan melalui seleksi in vitro menggunakan media yang mengandung fusaric acid. Dalam penelitian ini digunakan dua tipe lili yaitu lili Asiatik dan lili Oriental. Planlet lili diperoleh dari eksplan tangkai sari bunga, melalui tahapan induksi kalus. Media induksi kalus yang mengandung zat pengatur tumbuh TDZ 0.1 mgl-1 dan Kinetin 0.1 mgl-1 merupakan media yang mampu menginduksi kalus dalam waktu 14 hari setelah kultur. Media yang mengandung TDZ (thidiazuron) 0.2 mgl-1 dan Kinetin 0.3 mgl-1 menghasilkan bobot kalus tertinggi. Pembentukan umbi optimum diperoleh pada media yang mengandung gula pasir 45 g/l dalam kondisi gelap. Media regenerasi yang mengandung NAA (Naphthalene acetic acid) mendorong pembentukan akar lili. Zat pengatur tumbuh NAA 2 mgl-1 menghasilkan rerata jumlah akar terbanyak. Keragaman genetik lili dapat ditingkatkan melalui induksi mutasi dengan sinar Gamma dan mutagen EMS (Ethyl methanosulfonat). Radiosensitivitas lili terhadap sinar Gamma tergantung jenis lili yang digunakan. Lili Asiatik cv. Purple Maroon lebih sensitif terhadap sinar Gamma daripada lili Oriental cv. Sorbon. Dosis letal 50% lili Asiatik cv. Purple Maroon diperoleh pada dosis 33.49 Gy, sedangkan lili Oriental cv. Sorbon pada dosis 46.68 Gy. Semakin tinggi dosis iradiasi sinar Gamma, persentase kalus hidup semakin sedikit. Induksi mutasi kalus lili dengan mutagen kimia EMS belum menyebabkan letal konsentrasi, tetapi EMS berpengaruh terhadap pembentukan tunas. Semakin tinggi konsentrasi EMS, persentase kalus yang membentuk tunas semakin sedikit. Planlet lili tahan fusaric acid (FA) dapat diperoleh melalui seleksi in vitro, diperoleh 36 klon lili tahan FA. Hasil seleksi in vitro juga menunjukkan bahwa lili
Oriental cv. Frutty Pink lebih tahan terhadap FA dibandingkan lili Asiatik cv. Purple Maroon, pada konsentrasi fusaric acid yang sama. Kandungan saponin lili dapat ditingkatkan melalui induksi mutasi, terjadi peningkatan kandungan saponin 0.02% pada lili Asiatik cv. Purple Maroon dan 0.22% pada lili Oriental cv. Frutty Pink. Kandungan saponin lili Oriental cv. Frutty Pink lebih tinggi dibandingkan lili Asiatik cv. Purple Maroon. Kandungan saponin ini dapat digunakan sebagai indikator ketahanan terhadap Fusarium oxysporum. Kata kunci: Lili, fusaric acid, Fusarium oxysporum, Saponin, Seleksi in vitro.
SUMMARY RIDHO KURNIATI. Induce Genetic Variability of Lily for resistance of Fusarium oxysporum f.sp. lilii by in vitro culture. Supervised by AGUS PURWITO, GUSTAAF ADOLF WATTIMENA and BUDI MARWOTO. Lily is an important flower for floriculture industries. Up till now planting materials of lily are obtained from import. Therefore, development of mass propagation method of lily is needed. Optimalization culture condition through modification of media containing sugar, light and darkness culture are also important. In other side, inducing genetic variability is urgently done to provide new types of flower that are always needed by market. Induce variability through Gamma irradiation and EMS, in vitro selection using selection media containing fusaric acid (FA) and measure total of saponin contents were conducted in this study. The objectives of the research were to develop in vitro propagation technology of lily and induce their variabilities through Gamma irradiation and EMS mutagen. One of lily variance that are expected to be appeared is the ones that resistant to Fusarium oxysporum. They will be obtained from in vitro selection of lily variance to fusaric acid and analysis of saponin contents. Two types of lily, Asiatic and Orientals lily were used in this study. Planlets lily could be produced using filaments. MS medium containing TDZ 0.1 mgl-1 and Kinetin 0.1 mgl-1 could induced callus on 14 days after culture. MS medium containing TDZ (thidiazuron) 0.2 mgl-1 and Kinetin 0.3 mgl-1 was produce the highest fresh weight of callus. The optimum bulbs formation were achieved on dark culture condition and media containing 45 gl-1 of sugar. MS medium using NAA 2 mgl-1 was induced the highest rooting in lily. The variability of lily increased by application of Gamma irradiation and EMS mutagen. Radiosensitivity of Gamma irradiation depended on the type of lily. Asiatik lily cv. Purple Maroon was more sensitives than Oriental lily cv. Sorbon. Lethal dose (50%) of Asiatic lily cv. Purple Maroon was achieved on 33.49 Gy and 46.68 Gy for Oriental lily cv. Sorbon. The precentage of survival callus was decreased on higher dose of Gamma irradiation. Mutation induction using EMS was not caused lethal concentration yet, but it was influenced for shoots production. The highest concentration of EMS was decreased total number of shoots. Resistance plantlets of fusaric acid (FA) were achieved on in vitro selection, about 36 clones were resistance to FA. In vitro selection was showed that Oriental lily cv. Frutty Pink was more resistant on selected media than Asiatic lily cv. Purple Maroon on the same concentration of FA. Saponin contents of lily which induced by mutagen could be increased and it was could be as indicator for resistance to Fusarium oxysporum. Saponin contents of Asiatic lily cv. Purple Maroon was increased 0.02% and 0.22% for Oriental lily cv. Frutty Pink. Key words : Lily, fusaric acid, Fusarium oxysporum, Saponin, In vitro selection.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang- Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
INDUKSI KERAGAMAN GENETIK LILI UNTUK MERAKIT VARIETAS RESISTEN TERHADAP Fusarium oxysporum f.sp. lilii SECARA IN VITRO
RIDHO KURNIATI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Syarifah Iis Asyiah, MSc. 2. Dr. Dewi Sukma, SP. MSi
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Muhammad Prama Yufdy, MSc. 2. Dr. Ir. Ni Made Armini Wiendi, MS
Judul Disertasi : Induksi Keragaman Genetik Lili untuk Merakit Varietas Resisten Fusarium oxysporum f.sp. lilii secara In vitro. Nama : Ridho Kurniati NRP : A.263090091
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr.Ir.Agus Purwito, MSc.Agr Ketua
Prof. Dr.Ir.G.A. Wattimena. MSc Anggota
Prof. Dr. Ir. Budi Marwoto, MS.APU Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
Dekan Sekolah Pasca Sarjana
Dr.Ir. Yudiwanti Wahyu EK, MS
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian : 30 Januari 2014
Tanggal lulus :
PRAKATA Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memberikan hidayah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi yang berjudul “Induksi Keragaman Genetik Lili untuk Merakit Varietas Resisten Fusarium oxysporum f.sp. lilii secara In vitro”. Penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan setinggi - tingginya kepada Dr.Ir. Agus Purwito MSc.Agr, Prof.Dr. GA.Wattimena, Prof.Dr. Ir.Budi Marwoto,MS.APU sebagai komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran dan masukan yang sangat berharga sejak awal penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian hingga selesainya penulisan disertasi ini. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Prof. Dr. Nurhayati Ansori Matjik, Dr. Dewi Sukma, SP. MSi, Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas MSc, Dr. Ir. Syarifah Iis Asyiah, MSc, Dr. Ir. Muhammad Prama Yufdy MSc, Dr. Ir.Ni Made Armini Wiendi, MS yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi pada ujian pra kualifikasi program Doktor, Ujian Tertutup dan Ujian Terbuka serta memberikan masukan dan saran perbaikan untuk kesempurnaan disertasi ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Hortikultura, Kepala Balai Tanaman Hias Segunung dan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian atas kesempatan belajar dan beasiswa pendidikan program doktor yang telah diberikan kepada penulis. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada teman- teman di Laboratorium Kultur Jaringan Kebun Percobaan Cipanas dan teman- teman di Balai Penelitian Tanaman Hias yang banyak membantu dan memudahkan penggunaan fasilitas laboratorium dan rumah kaca untuk penelitian. Terimakasih kepada Dr. Suskandari Kartikaningrum, Dr. Sri Rianawati, Ir. Minangsari Dewanti MP, Ir. Dedeh Badriah MSi, Ir. Darliah MS, Dr. Lia Sanjaya dan Fitri Rachmawati, MSi atas bantuannya. Kepada Supenti, Yana Mulyana, Fauzi, Prayit (BATAN), Iwan (Lab. Histologi FKH IPB), Joko (Laboratorium Mikroteknik IPB) terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya selama penelitian. Kepada teman- teman PBT tahun 2009, terimakasih atas kerjasama, persahabatan dan dukungannya selama belajar di IPB. Disertasi ini juga tersusun dan terselesaikan atas bantuan dan dukungan orang tua, keluarga, suami dan kedua putri tercinta Fildza Maulida Fairuz dan Faiza Naufalia Ghaisani. Terimakasih atas perhatian, motivasi dan dorongan semangat yang telah diberikan. Akhir kata, semoga semua bantuan baik moril maupun material Bapak dan Ibu menjadi amalan yang tiada terputus dan sebagai amal jariyah yang bermanfaat dunia dan akhirat. Harapan penulis, semoga disertasi ini memberi banyak manfaat bagi semua pihak.
Penulis
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
x
DAFTAR LAMPIRAN
xii
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan Penelitian 1.3 Hipotesis 1.4 Kerangka Pemikiran 1.5 Manfaat 1.6 Kebaruan 2 TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Lili Nilai Ekonomi Lili Perbanyakan Lili secara In vitro Pemuliaan Mutasi Lili Fusarium oxysporum Fusaric acid (FA) Saponin 3 TEKNOLOGI PERBANYAKAN LILI SECARA IN VITRO 3.1 Produksi kalus lili dan regenerasi planlet lili pada beberapa jenis media Abstrak Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan 1. Induksi kalus lili dari tangkai sari bunga 2. Regenerasi kalus membentuk umbi dan daun lili Simpulan 3.1 Optimasi media regenerasi kalus lili untuk menghasilkan tunas dan umbi Abstrak Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan 3.2 Pembesaran umbi pada beberapa media serta aklimatisasi lili Abstrak Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan
1 1 3 3 3 4 4 7 7 8 9 10 11 12 12 14 14 14 14 15 16 16 18 20 21 21 21 22 23 25 26 26 26 27 27 30
4 PENINGKATAN KERAGAMAN IN VITRO LILI DENGAN INDUKSI MUTASI 4.1 Peningkatan keragaman genetik in vitro lili dengan sinar Gamma Abstrak Pendahuluan Bahan dan Metode Prosedur Pelaksanaan Hasil dan Pembahasan 1. Iradiasi sinar Gamma lili Oriental cv. Sorbon 2. Iradiasi sinar Gamma lili Asiatik cv. Purple Maroon 3. Analisis keragaman planlet lili hasil induksi mutasi berdasarkan karakter morfologi Simpulan 4.2 Peningkatan keragaman genetik in vitro lili dengan mutagen kimia (Ethyl methanosulfonat/EMS) Abstrak Pendahuluan Bahan dan Metode Prosedur Pelaksanaan Hasil dan Pembahasan 1. Induksi mutagen EMS pada lili Asiatik cv. Purple Maroon (PM) 2. Induksi mutagen EMS pada lili Oriental cv. Frutty Pink (FP) 3. Analisis keragaman planlet lili hasil induksi mutasi berdasarkan karakter morfologi 4. Pembentukan Populasi Planlet Hasil Induksi Mutasi Simpulan 5 SELEKSI IN VITRO PLANLET LILI HASIL INDUKSI MUTASI DENGAN FUSARIC ACID Abstrak Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan 1. Seleksi in vitro planlet lili Asiatik cv. Purple Maroon (PM) 2. Seleksi in vitro planlet lili Oriental cv. Frutty Pink (FP) Simpulan 6 KANDUNGAN SAPONIN LILI HASIL INDUKSI MUTASI Abstrak Pendahuluan Bahan dan Metode Simpulan 7 DETEKSI KERAGAMAN IN VITRO PLANLET LILI (Lilium, L) HASIL MUTASI DENGAN ISOZIM Abstrak Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan
31 31 31 31 33 33 34 34 35 37 38 39 39 39 40 40 40 40 42 43 44 47 48 48 48 50 50 51 52 54 55 55 55 56 58 59 59 59 60 60 66
8 PEMBAHASAN UMUM 9 SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
67 70 71 77
DAFTAR TABEL 2.1 Klasifikasi spesies lili 2.2 Tingkat ketahanan species lili terhadap Fol 3.1 Rerata waktu inisiasi kalus dan bobot basah kalus 3.2 Rerata jumlah tunas, panjang tunas, jumlah daun dan jumlah akar lili ada beberapa media 2 minggu setelah kultur. 3.3 Rerata jumlah umbi dan diameter umbi lili pada beberapa media 2 minggu setelah kultur. 3.4 Pengaruh jenis media dan kondisi kultur pada kalus lili 4.1 Persentase kalus hidup, jumlah tunas, jumlah daun, tinggi planlet dan jumlah planlet hidup lili Oriental cv.Sorbon pada berbagai dosis sinar Gamma 4.2 Persentase kalus hidup, jumlah tunas, tinggi planlet, jumlah daun dan jumlah planlet lili Asiatik cvPM pada berbagai dosis sinar Gamma 4.3 Keragaman planlet lili hasil induksi mutasi sinar Gamma berdasarkan karakter morfologi (8 bulan setelah kultur). 4.4 Persentase kalus hidup dan persentase kalus membentuk tunas planlet lili Asiatik cv.PM hasil induksi mutasi kimia EMS (20 HSK) 4.5 Persentase kalus hidup dan persentase kalus membentuk tunas lili Oriental cv.FP hasil induk si mutasi kimia EMS (20 HSK) 4.6 Keragaman planlet lili Asiatik cvPM dan lili Oriental cvFP hasil induksi mutasi berdasarkan karakter morfologi 4.7 Tahapan pembentukan populasi planlet hasil mutasi. 5.1 Seleksi in vitro planlet lili Asiatik cv.PM hasil induksi mutasi dengan 5.2 Seleksi in vitro planlet lili Oriental cvFP hasil iradiasi sinar Gamma 5.3 Klon-klon lili tahan hasil seleksi in vitro pada media yang mengandung FA.
7 12 17 23 24 29
35 36 38 41 42 44 46 51 52 53
DAFTAR GAMBAR 1.1 Bagan alur tahapan penelitian 2.1 Struktur bunga lili dan reproduksinya. 2.2 Penampilan umbi dan tanaman lili yang terinfeksi cendawan Fusarium oxysporum.
6 8 11
3.1 Tahapan percobaan pembentukan kalus lili 3.2 Pembentukan kalus lili pada beberapa media 3.3 Jumlah umbi yang terbentuk pada beberapa media 4 bulan setelah kultur 3.4 Jumlah daun yang terbentuk pada beberapa media 4 bulan setelah kultur 3.5 Perkembangan kalus membentuk daun dan umbi lili 3.6 Perkembangan kalus lili pada media regenerasi (4 bulan setelah kultur) 3.7 Respon kalus lili dan regenerasinya pada beberapa media (8 bulan setelah kultur) 3.8 Jumlah umbi lili yang terbentuk pada beberapa konsentrasi gula 3.9 Pembentukan umbi pada beberapa media dalam kondisi gelap. 3.10 Aklimatisasi planlet lili 4.1 Tahapan induksi mutasi kalus lili dengan sinar Gamma dan pembentukan populasi hasil mutasi. 4.2 Grafik persentase kalus hidup dan letal dosis 50% (LD50) lili Oriental cv.Sorbon 4.3 Grafik persentase kalus hidup dan dosis letal dosis 50% (LD50) lili Asiatik cv Purple Maroon. 4.4 Respon kalus 4.5 Perubahan morfologi planlet lili hasil iradiasi sinar Gamma. 4.6 Pengaruh konsentrasi EMS terhadap tinggi planlet lili Asiatik cv. PM (20 HSK) 4.7 Pengaruh konsentrasi EMS terhadap jumlah daun lili Asiatik cv PM 4.8 Pengaruh konsentrasi EMS terhadap tinggi planlet lili Oriental cv. FP (20 HSK) 4.9 Pengaruh konsentrasi EMS terhadap jumlah daun lili Oriental cv. FP 4.10 Keragaman morfologi planlet lili hasil induksi mutasi dengan EMS. 4.11 Tahapan pembentukan populasi planlet hasil induksi mutasi. 4.12 Perubahan morfologi planlet hasil mutasi selama pembentukan populasi dari MV0 sampai dengan MV3. 5.1 Planlet lili hasil induksi mutasi pada media seleksi yang mengandung FA 5.2 Planlet lili hasil induksi mutasi MV3 pada media seleksi in vitro. 6.1 Bahan tanaman yang digunakan dalam uji kandungan saponin lili. 6.2 Kandungan saponin lili Oriental cv FP dengan menggunakan TLC 6.3 Kadar saponin lili Asiatik cv.PM dengan menggunakan TLC 7.1 Profil pola pita planlet lili hasil induksi mutasi dengan analisis isozim menggunakan enzim AAT. 7.2 Profil pola pita planlet lili hasil mutasi induksi dengan analisis isozim menggunakan enzim ACP
16 18 19 19 20 24 25 28 29 30 33 34 36 37 38 41 41 42 43 44 45 46 52 53 57 57 57 62 63
7.3 Profil pola pita planlet lili hasil mutasi induksi dengan analisis isozim menggunakan enzim EST . 7.4 Profil pola pita planlet lili hasil mutasi induksi dengan analisis isozim menggunakan enzim PRX 7.5 Dendogram planlet lili hasil induksi mutasi.
64 65 66
DAFTAR LAMPIRAN 1. Morfologi bunga lili Bunga lili cv.Frutty Pink Eksplan lili cv.Purple Maroon Lili Oriental cv. Sorbon Lili Asiatik cv. Purple Maroon
77 77 77 77
2. Karakteristik lili Oriental cv. Sorbon
78
3. Komposisi Media MS (Murashige and Skoog) untuk induksi kalus lili dan regenerasinya
79
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lili (Lilium L.) merupakan tanaman hias yang dibudidayakan untuk produksi umbi, bunga potong, tanaman pot dan taman (Straathof 1994). Tanaman ini memiliki nilai ekonomi tinggi dengan berbagai keunggulan, di antaranya aroma, warna maupun corak bunga. Corak dan warna bunga yang bervariasi serta aroma bunga yang wangi menjadikan bunga lili menjadi salah satu bunga yang banyak digemari masyarakat. Bunga lili putih digunakan sebagai lambang kesucian, keabadian serta kelimpahan rejeki, sehingga bunga ini banyak digunakan untuk acara keagamaan dan pernikahan. Di Cina, umbi lili (Lilium speciosum var. gloriosoides ) dimanfaatkan sebagai obat (Chang et al. 2000). Kebutuhan bunga potong lili di Indonesia cukup tinggi, namun ketersediaan benih masih terbatas. Indonesia mengalami peningkatan impor lili dari tahun ke tahun. Direktorat Perbenihan dan Sarana Produksi Direktorat Jenderal Hortikultura tahun 2010 menyatakan bahwa impor benih lili pada tahun 2008 sebanyak 1.273.550 umbi, tahun 2009 sebanyak 2.201.500 umbi dan tahun 2010 sebanyak 2.992.390 umbi. Benih lili secara keseluruhan masih impor dari negara lain. Di sisi lain, umbi impor ini memiliki beberapa kelemahan, diantaranya pembudidayaannya harus memiliki ijin dari negara pengekspor, tanaman lili kurang adaptif serta hambatan hama dan penyakit tanaman. Hambatan ini akan mempengaruhi biaya produksi yang akan berdampak pada nilai jual bunga. Harga jual bunga dan umbi menjadi lebih mahal sehingga kalah bersaing dalam industri florikultura di Indonesia. Hambatan lain dalam budidaya lili ialah penyakit layu dan busuk umbi yang disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum f.sp. lilii (fol). Cendawan ini termasuk cendawan tular tanah dan berpengaruh terhadap produksi umbi serta bunga lili yang terserang (Lim et al. 2003). Usaha untuk mencegah kerusakan akibat patogen ini umumnya dilakukan dengan cara kimia melalui disinfektan pada umbi lili dan media tanam. Namun, cara ini kurang efektif dan kurang ramah lingkungan karena dapat menyebabkan polusi , kerusakan lingkungan dan peningkatan biaya produksi (Straathof 1994). Peluang usaha florikultura yang cukup bagus, terutama tanaman lili di Indonesia menjadi alasan perlunya usaha untuk mengatasi hambatan dalam pembudidayaannya. Upaya yang dapat dilakukan antara lain perbaikan teknologi perbanyakan lili dan penggunaan varietas lili yang tahan terhadap penyakit. Pendekatan yang dilakukan yaitu melalui teknik kultur jaringan dan pemuliaan mutasi. Perbanyakan lili secara in vitro ini diharapkan dapat meningkatkan multiplikasi, mendapatkan tanaman dalam jumlah banyak, bebas virus serta patogen. Teknologi kultur in vitro telah banyak dilakukan antara lain kultur menggunakan eksplan sisik umbi (Pekkapelkonen 2005; Kumar et al. 2008) , umbi (Tan Nhut et al. 2010; Rice et al. 2011), bagian mata tunas, ujung tunas, bunga, batang, embrio, petal, akar dan daun (Kumar et al. 2008; Lingfei et al. 2009). Perbanyakan lili juga dikembangkan melalui embrio somatik dari daun (Lan et al. 2009; Bakshaie et al. 2010). Sisik umbi merupakan eksplan yang
2
paling produktif diantara eksplan lain yang digunakan (Kumar et al. 2008). Namun hasil - hasil penelitian tersebut belum sepenuhnya mencapai produk yang maksimal, sehingga masih perlu dilakukan pengembangan metode yang efektif. Keragaman tanaman lili umumnya diperoleh melalui hibridisasi interspesifik. Metode ini memerlukan waktu yang cukup lama, dari awal persilangan hingga seleksi. Kelemahan lain metode ini yaitu adanya hambatan sebelum dan sesudah fertilisasi (Lim et al.2003). Pendekatan yang telah dilakukan untuk mengatasi hambatan sebelum fertilisasi antara lain metode pemotongan putik (cut style technique), grafted style methode, perlakuan zat pengatur tumbuh, dan polinasi secara in vitro. Hambatan setelah fertilisasi dilakukan dengan embrio rescue, kultur embrio, kultur ovul dan ovary slice culture ( van Tuyl et al. 2002; Wang et al. 2009). Pengembangan poliploidisasi lili, kultur mikrospora, transformasi gen serta penggunaan colchisin dan oryzalin untuk mendapatkan tanaman lili tetraploid (van Tuyl et al. 1996). Namun demikian pendekatan yang dilakukan tersebut masih terbatas pada jenis lili tertentu. Dengan demikian perlu pendekatan dan pengembangan metode dalam pemuliaan lili, salah satunya melalui pemuliaan mutasi. Pemuliaan mutasi dilakukan untuk memperbaiki salah satu karakter tanaman dan meningkatkan keragaman genetik tanaman lili, sehingga dapat memberikan manfaat dan hasil yang lebih baik. Pemuliaan mutasi juga memegang peranan penting dalam pengembangan tanaman hias, khususnya menghasilkan mutan dengan warna dan bentuk bunga yang baru serta mendapatkan tanaman tahan terhadap penyakit. Varietas yang telah dilepas melalui mutagenesis hingga tahun 2005 sebanyak 2.335 dan 552 diantaranya tanaman hias (Barakat et al. 2010). Hasil penelitian melalui induksi mutasi pada tanaman hias antara lain perubahan morfologi dan warna bunga pada Chrysanthemum morifolium (Lamseejan et al. 2000), (Datta et al. 2005, Barakat et al. 2010), mutan novelty pada petunia (Berenschot et al. 2008), bunga matahari tahan terhadap imidazolinone ( Sala et al. 2008), perubahan warna dan ukuran petal pada anyelir (Aisyah et al. 2009), perubahan morfologi bunga dan mutasi klorofil pada curcuma alismatifolia (Abdullah et al. 2009). Upaya untuk mendapatkan kultivar tahan dapat diperoleh melalui pemuliaan mutasi dan seleksi in vitro planlet lili dengan menggunakan agen seleksi yang tepat. Agen seleksi untuk ketahanan lili terhadap Fusarium oxysporum f.sp lilii (Fol) adalah fusaric acid (FA). FA merupakan salah satu senyawa toksik yang dihasilkan oleh cendawan Fusarium oxysporum. FA ini memiliki peran dalam patogenesis, ketidak sensitifan tanaman terhadap toksin ini akan meningkatkan ketahanan terhadap patogen. Löffler dan Morris (1992) telah berhasil mengembangkan dan menghasilkan tanaman jagung tahan terhadap Helminthosporium, dan beberapa tanaman tahan Fusarium dengan menggunakan FA sebagai agen seleksi secara in vitro. Dalam penelitian ini, dilakukan kombinasi teknik kultur jaringan dan induksi mutasi untuk mendapatkan tanaman lili tahan terhadap Fusarium oxysporum.
3
1.2 Tujuan Penelitian Mendapatkan tanaman lili yang tahan terhadap Fusarium oxysporum f.sp. lilii (Fol) melalui induksi mutasi secara in vitro. Tujuan khusus penelitian ini adalah : 1. Mendapatkan teknologi perbanyakan lili secara in vitro melalui induksi kalus lili dari tangkai sari bunga dan regenerasinya. 2. Mendapatkan dosis iradiasi sinar Gamma dan konsentrasi mutagen kimia yang optimum serta putatif mutan. 3. Mendapatkan keragaman morfologi tanaman hasil iradiasi sinar Gamma dan induksi mutagen kimia serta mendapatkan populasi planlet hasil mutasi. 4. Mendapatkan planlet lili tahan fusaric acid hasil seleksi in vitro menggunakan media seleksi yang mengandung fusaric acid. 5. Mendapatkan kandungan saponin umbi lili hasil induksi mutasi dengan TLC (Thin Layer Chromatography). 1.3 Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Teknologi perbanyakan lili secara in vitro melalui induksi kalus dari tangkai sari bunga dan regenerasinya dapat diperoleh pada media dasar MS dengan penambahan zat pengatur tumbuh 2,4-D, TDZ dan NAA. 2. Dosis iradiasi sinar Gamma dan konsentrasi mutagen kimia EMS yang optimum dapat diperoleh untuk menginduksi keragaman genetik lili. 3. Keragaman morfologi dapat diperoleh pada planlet lili hasil induksi mutasi. 4. Mutan lili hasil induksi mutasi dapat diperoleh dengan seleksi in vitro pada media seleksi yang mengandung fusaric acid. 5. Kandungan saponin lili dapat diperoleh dengan menggunakan TLC scanner. 1.4 Kerangka Pemikiran Pembudidayaan lili di Indonesia masih mengalami kendala diantaranya ketergantungan benih lili dari negara lain serta adanya penyakit utama lili yang disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum f.sp. lilii. Permasalahan tersebut berpengaruh terhadap tingginya biaya produksi terutama untuk penyediaan benih dan pengendalian penyakit tanaman. Penyakit tanaman akan berdampak terhadap produksi umbi dan kualitas bunga yang dihasilkan. Pengendalian penyakit secara kimia yang umum dilakukan pada tanaman lili juga berdampak buruk terhadap kesehatan dan lingkungan. Perbaikan teknologi perbanyakan lili secara in vitro dan peningkatan keragaman melalui induksi mutasi diharapkan dapat mengatasi masalah tersebut. Dengan teknologi perbanyakan lili secara in vitro, dapat mengatasi permasalahan benih impor. Teknik ini dapat menghasilkan benih lili dalam jumlah yang banyak baik berbentuk umbi maupun planlet. Waktu yang diperlukan untuk menghasilkan benih juga lebih cepat dibandingkan dengan cara perbanyakan vegetatif pada umumnya. Benih yang dihasilkan seragam dan dapat diproduksi secara masal. Dengan demikian kebutuhan lili yang meningkat hingga saat ini dapat dipenuhi dari dalam negeri dan mengurangi jumlah benih yang harus diimpor.
4
Pemuliaan mutasi yang dilakukan diharapkan dapat meningkatkan keragaman genetik lili serta dapat memperbaiki karakter ketahanan terhadap penyakit. Tanaman lili tahan terhadap cendawan Fusarium yang dihasilkan akan dapat menekan biaya produksi terutama untuk fungisida. Tanaman lili yang tahan penyakit juga akan meningkatkan produksi umbi dan kualitas bunga yang dihasilkan. Keragaman genetik lili hasil induksi mutasi dapat dimanfaatkan dalam program pemuliaan untuk menghasilkan lili yang berkualitas, unggul dan sesuai keinginan konsumen dan pasar. 1.5 Manfaat
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Manfaat dari penelitian ini ialah Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan teknologi. Mendapatkan materi genetik yang dapat digunakan langsung untuk perakitan varietas unggul. Mendapatkan teknologi perbanyakan lili terutama untuk pengadaan benih. Mendapatkan teknologi mengendalikan Fusarium secara ramah lingkungan. Memperkuat industri lili berbasis sumber daya nasional. Mengurangi impor dan membuka peluang ekspor.
1.6 Kebaruan Penelitian tentang perbanyakan lili telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti secara intensif. Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yaitu perbanyakan lili secara konvensional dengan umbi, perbanyakan secara in vitro dengan menggunakan berbagai macam eksplan diantaranya jaringan reseptakel bunga (Tan Nhut et al. 2001), sisik umbi (Lian et al. 2002; Han et al. 2004; Chen et al. 2011, anter bunga lili (Tzeng et al. 2009), dan bulblet (Lian et al. 2003; Tan Nhut et al. 2006). Perbanyakan juga dilakukan melalui somatik embriogenesis menggunakan eksplan daun (Lan et al. 2009). Penelitian - penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, belum memanfaatkan tangkai sari bunga sebagai eksplan untuk perbanyakan lili. Pada penelitian ini dilakukan perbanyakan lili secara in vitro menggunakan tangkai sari bunga sebagai eksplan. Penelitian ini dilakukan untuk menambah kajian terutama pemanfaatan bagian- bagian tanaman lili yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai materi perbanyakan guna mendukung penyediaan benih secara masal dan seragam. Aspek kebaruan lain dalam penelitian ini ialah penggunaan gula pasir pada media pembentukan umbi dan regenerasinya. Sumber karbon yang umum digunakan dalam perbanyakan lili secara in vitro pada penelitian - penelitian sebelumnya yaitu sukrosa (Rice et al. 2011; Bakhshaie et al. 2010; Ishimori et al. 2009; Lingfei et al. 2009; Kumar et al. 2008). Penggunaan gula pasir pada media perbanyakan lili ini diharapkan dapat berkontribusi dalam penghematan biaya produksi. Manfaat lain ialah kemudahan masyarakat dalam memperoleh gula pasir sebagai bahan untuk media perbanyakan lili, bila dibandingkan sukrosa yang harus diimpor dan perlu waktu dalam pengirimannya. Dengan demikian memudahkan masyarakat dalam ikut serta membudidayakan lili.
5
Kebaruan lainnya dalam penelitian ini ialah peningkatan keragaman lili melalui pemuliaan mutasi. Penelitian pemuliaan lili yang umum dilakukan sebelumnya yaitu pemuliaan interspesifik (Lim et al. 2008; Gonzales et al. 2008; Zhou et al. 2008; van Tuyl 2009; Chung et al. 2009 ; van Tuyl dan Arens 2011; van Tuyl 2012), dan ploidisasi (Xie et al. 2010; Khan et al. 2010; Khan et al. 2009). Pemuliaan mutasi dengan sinar Gamma dan EMS ini dilakukan agar dapat memberikan alternatif cara untuk meningkatkan keragaman lili. Klon - klon lili hasil induksi mutasi diharapkan dapat menambah keragaman serta dapat digunakan sebagai tetua persilangan maupun plasma nutfah. Dalam penelitian ini juga dilakukan seleksi in vitro dan pengujian kandungan saponin untuk mendapatkan waktu seleksi yang lebih cepat dan hubungan kandungan saponin dengan ketahanan terhadap penyakit. Seleksi in vitro dengan media yang mengandung fusaric acid menghasilkan 36 klon tahan. Penelitian seleksi in vitro dengan fusaric acid sebelumnya (Lim 2003; Straathof 1994; Loffler dan Mouris 1992) dilakukan secara terpisah, tetapi dalam penelitian ini dilakukan secara berkesinambungan dari awal persiapan materi pemuliaan hingga seleksi in vitro untuk mendapatkan metode yang mudah, cepat dan bermanfaat.
6
Keluaran Umum
Tahap 1. Produksi kalus dan planlet lili melalui optimasi media kultur a. Induksi kalus dan multiplikasi kalus. Induksi Keragaman Planlet lili dan Seleksi in vitro b. Regenerasi kalus menjadi planlet.
a.Media optimum pembentukan kalus. b.Media regenerasi kalus menjadi planlet.
Tahap 2. Induksi Mutasi dengan sinar Gamma dan mutagen kimia pada kalus. a.Aplikasi iradiasi sinar Gamma b.Aplikasi mutagen kimia (EMS). c.Regenerasi mutan putatif .
a.Dosis iradiasi sinar Gamma. b.Konsentrasi mutagen kimia EMS. c.Tanaman regeneran mutan putatif
Tahap 3. Pembentukan populasi tanaman mutan putatif generasi MV1, MV2 dan MV3. Pembentukan generasi MV1, MV2, dan MV3 pada media perbanyakan bulblet.
Tahap 4. Seleksi in vitro planlet hasil iradiasi. Seleksi mutan secara in vitro dengan menggunakan fusaric acid
Tahap 5. Pengujian kadar saponin planlet hasil induksi mutasi Pengujian kadar saponin planlet lili hasil induksi EMS dan sinar Gamma.
Tahap 6. Analisis Isoenzim mutan Analisis mutan dengan empat macam enzim Esterase, Peroksidase, Acid phosphatase dan Aspartate aminotransferase
Gambar 1.1 Bagan alur tahapan penelitian
a.Planlet lili hasil mutasi generasi MV1, MV2 dan MV3. b.Bulblet lili
Planlet lili mutan tahan fusaric acid.
Kadar saponin planlet lili
Keragaman berbasis isoenzim
7
2 TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Lili Lili (Lilium L) termasuk dalam kelompok tanaman monokotil, divisi Magnoliophyta, kelas Liliopsida, ordo Liliales, famili Liliaceae, dan genus Lilium. Genus lili terdiri atas 100 spesies. Spesies asli berasal dari Amerika utara, Eropa, dan Asia (Jepang, Korea dan Cina) (Timmermann 2004). Genus lili diklasifikasikan dalam 7 kelompok/seksi (Tabel 2.1) antara lain kelompok Martagon, Sinomartagon, Archelirion, Leucolirion, Pseudolirion, Lilium dan Oxypetalum (Nadeem Khan 2009, Wang et al. 2009). Lili dalam kelompok tersebut mudah disilangkan dan menghasilkan individu fertil, kecuali tiga kelompok yaitu Sinomartagon, Archelirion dan Leucolirion. Namun, Sinomartagon, Archelirion dan Leucolirion merupakan kelompok penting untuk dibudidayakan karena menghasilkan hibrid unggulan dan paling diminati yaitu hibrid Longiflorum, Asiatik dan Oriental. Hibrid Longiflorum merupakan hasil intra dan interspesifik persilangan dalam seksi Leucolirion, berbentuk terompet, berbunga putih, aroma bunga jelas dan mampu berbunga sepanjang tahun. Tabel 2.1 Klasifikasi spesies lili Seksi Spesies 1. Martagon L. distichum, hansonii, martagon, medeoloides, tsingtauense 2. American/ a) L. bolander, columbianum, kelloggii, humboldtii, Pseudolirium rubescens, washingtonianum b) L. maritimum, nevadense, occidentale, pardalinum, parryi, parvum, roezlii c) L. canadense, grayi, iridollae, michauxii, michiganense, superbum d) L. catesbaei, philadelphicum 3. Candidum L.bulbiferum ,candidum, carniolicum, chalcedonicum, monadelphum, polyphyllum, pomponium, pyrenaicum 4. Oriental/ L.auratum, brownii, japonicum, nobilissimum, rubellum, Archelirion speciosum 5. Asiatik / a) L. davidii, duchartrei, henryi, lancifolium, lankongense, Sinomartagon leichtlinii, papilliferum b) L. amabile, callosum, cernuum, concolor, pumilum c) L. bakerianum, mackliniae, nepalense, ochraceum, sempervivoideum, taliense, wardii 6. Trumpet/ L. leucanthum, regale, sargentiae, sulphureum Leucolirion 7. Dauricum/ L. dauricum, maculatum Sinomartagon Sumber : Pekkapelkonen, 2005. Hibrid Asiatik merupakan hasil persilangan 12 spesies Sinomartagon, memiliki warna bunga yang bervariasi luas yaitu orange, putih, kuning, merah muda, merah dan ungu. Mudah berbunga dan beberapa spesies tahan Fusarium. Hibrid Oriental merupakan hasil persilangan 5 spesies Archelirion, berbunga
8
lambat, bunga berukuran besar dan harum serta tahan Botrytis elliptica (Nadeem Khan 2009). Lili Asiatik dan Oriental, memerlukan cahaya matahari sekitar lima sampai enam jam, namun lili Oriental lebih memerlukan lingkungan teduh. Organ utama tanaman lili terdiri atas akar, umbi, daun dan bunga (Gambar 2.1) dengan ukuran serta bentuk organ bervariasi. Umbi lili memiliki tipe pertumbuhan simpodial.
Gambar 2.1 Struktur bunga lili dan reproduksinya. (a) Bagian irisan melintang dan longitudinal polong buah yang mengandung biji. (b) Bagian bunga dan tangkai bunga lili, tunas adventif dan axilair/bulbil (tanda panah), (c). Perkecambahan biji epigeal, (d) Perkecambahan umbi hipogeal lili. Sumber: Pekkapelkonen (2005). Spesies lili berdasarkan tipe perkecambahannya dikelompokkan menjadi dua yaitu epigeal dan hipogeal. Biji epigeal berkecambah segera setelah di sebar tanpa melalui dormansi. Biji hipogeal, perkecambahannya dikendalikan oleh dormansi, yang hanya dapat dipatahkan dengan perlakuan dingin. Dormansi sering di induksi ulang setelah bulblet utama terbentuk dan periode dingin yang lain diperlukan untuk perkembangan tanaman selanjutnya (Pekkapelkonen 2005). Nilai Ekonomi Lili Lili memiliki arti penting secara ekonomi, tanaman ini dibudidayakan untuk produksi umbi, bunga potong, tanaman taman dan saat ini dikembangkan dalam industri farmasi dan kosmetik. Dibeberapa negara seperti Belanda, Jepang dan Amerika Serikat, lili menjadi komoditas ekspor yang dapat menyumbang devisa negara. Ketiga negara tersebut menjadi negara produsen umbi lili dunia. Di Belanda, lili menjadi komoditas utama kedua setelah tulip. Negara- negara yang menjadi pengimpor umbi lili antara lain Italia, Perancis dan Inggris, sedangkan negara pengimpor dalam bentuk bunga yaitu Jerman dan Perancis. Indonesia juga menjadi negara pengimpor umbi lili, utamanya dari Jepang dan Belanda.
9
Dalam industri farmasi, saponin yang terkandung dalam umbi lili memiliki potensi untuk dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai obat kanker. Di Cina dan beberapa negara Eropa telah memanfaatkan umbi lili sebagai obat. Beberapa jenis lili yang dimanfaatkan dalam industri farmasi antara lain Lilium speciosum var. gloriosoides (Chang et al. 2000), Lilium brownii var.viridulum (Hong et al. 2012), Lilium speciosum x L. nobilissimum ‘Star Gazer” (Nakamura et al. 1994), Lilium longiflorum (Mimaki et al. 1994), candidum (Mimaki et al. 1998), Lilium regale dan L.henryi (Mimaki et al. 1993). Perbanyakan Lili secara In vitro Perbanyakan lili umumnya dilakukan secara vegetatif dengan menggunakan umbi. Metode lain yang dilakukan ialah perbanyakan secara in vitro. Beberapa keuntungan yang diperoleh dengan teknik ini antara lain tingkat multiplikasinya lebih banyak, mendapatkan tanaman seragam dan bebas virus (Chang et al. 2000). Perbanyakan in vitro lili dipengaruhi beberapa faktor diantaranya jenis media, fotoperiode, zat pengatur tumbuh, jenis gula dan jenis eksplan (Rice et al. 2011; Tribulato et al. 1997; Lan et al. 2009; Chang et al. 2000; Tan Nhut et al. 2001). Media yang umum digunakan yaitu media MS yang dikombinasikan dengan beberapa jenis zat pengatur tumbuh. Diantaranya somatik embriogenesis Lilium longiflorum Thunb pada media MS yang mengandung zat pengatur tumbuh dicamba dan picloram (Tribulato et al. 1997) dan lili Drimiopsis kirkii Baker pada media MS yang mengandung kinetin dan 2,4-D (Lan et al. 2009). Perbanyakan lilium speciosum Thunb. var. gloriosoides Baker menggunakan media MS yang dikombinasikan dengan NAA, BA dan 2,4-D (Chang et al. 2000). Modifikasi media ½ MS dengan zat pengatur tumbuh NAA, IBA dan BAP digunakan pada induksi tunas Lilium longiflorum dari jaringan reseptakel (Tan Nhut et al. 2001). Beberapa species lili dengan eksplan biji, sisik umbi, dan daun diregenerasikan pada media MS yang mengandung picloram ( Mori et al. 2005). Jenis eksplan juga berpengaruh dalam perbanyakan lili secara in vitro. Beberapa jenis eksplan yang digunakan dalam perbanyakan lili diantaranya jaringan reseptakel bunga (Tan Nhut et al. 2001), ovul (Obata et al. 2000), sisik umbi (Han et al. 2004; Chen et al. 2011), anter bunga lili (Tzeng et al. 2009), bulblet (Lian et al. 2003; Tan Nhut et al. 2006), dan umbi (Lian et al. 2002). Perbanyakan melalui somatik embriogenesis juga dilakukan dengan menggunakan eksplan daun (Mori et al. 2005; Lan et al. 2009; Lingfei. 2009). Perbanyakan lili secara in vitro juga dipengaruhi oleh jenis gula. Kombinasi sukrosa dan manosa memacu pertumbuhan umbi lili (Pekkapelkonen 2005). Sukrosa merupakan gula yang sering digunakan dalam kultur in vitro lili (Tan Nhut et al. 2001; Tribulato et al. 1997; Lan et al. 2009; Chang et al. 2000; Obata et al. 2000). Konsentrasi sukrosa 30 gl-1 diperlukan dalam perbanyakan Lilium longiflorum (Tribulato et al. 1997; Tan Nhut et al. 2001) dan lili Drimiopsis kirkii Baker (Lan et al. 2009). Media yang mengandung sukrosa 50 gl-1 digunakan dalam kultur ovul Lilium nobilissimum dan L.regale (Obata et al. 2000). Kultur in vitro lili dilakukan dalam kondisi gelap dan ada cahaya, tergantung tujuan kultur. Cahaya berperan penting dalam memacu diferensiasi. Diferensiasi tunas memerlukan cahaya, sedangkan pembentukan akar memerlukan
10
kondisi gelap. Kultur in vitro lili pada umumnya memerlukan 16 jam cahaya (Pekkapelkonen 2005). Pemuliaan Mutasi Lili Beberapa metode pemuliaan lili yang dilakukan antara lain hibridisasi interspesifik, transformasi genetik melalui particle bombardment, pengembangan metode pemuliaan pada tingkat tetraploid dengan poliploidisasi, hibridisasi somatik serta pemuliaan mutasi. Tujuan pemuliaan lili diantaranya perbaikan sifat/ karakter lili seperti vase life bunga yang lebih lama, bunga dengan kualitas unggul, aroma wangi serta ketahanan terhadap Fusarium oxysporum, pythium dan virus (van Tyul and Holsteijn 1996). Persilangan interspesifik lili masih memiliki beberapa hambatan diantaranya memerlukan waktu yang cukup lama sekitar 2- 3 tahun dari tebar benih hingga bunga pertama, perbanyakan vegetatif memerlukan waktu sekitar 3-5 tahun. Kelemahan lain ialah adanya hambatan sebelum dan sesudah fertilisasi ( pre and post fertilization barrier). Persilangan antara lili longiflorum x asiatik dan lili oriental x asiatik umumnya steril. Sterilitas ini disebabkan adanya perpasangan kromosom yang tidak teratur selama meiosis (Lim et al. 2000). Pemuliaan lili untuk sifat ketahanan terhadap penyakit juga masih terbatas. Faktor pembatas tersebut antara lain fase juvenil yang panjang, perbanyakan klonal lambat dan masih kurangnya pengujian screening ketahanan pada fase ini (van Heusden et al. 2002). Pada umumnya screening dilakukan pada fase perkecambahan, namun adanya variasi lingkungan menyebabkan pengujian pada tingkat perkecambahan ini perlu pengujian ulang pada tingkat klonal (Straathof et al. 1994). Hambatan - hambatan dalam pemuliaan lili ini mendorong perlu adanya metode pemuliaan dan seleksi yang tepat untuk menghasilkan lili tahan penyakit dan berkualitas. Salah satu cara yang dapat dilakukan ialah dengan pemuliaan mutasi. Pemuliaan mutasi dapat dilakukan dengan cara fisik maupun kimia. Induksi keragaman lili dengan mutasi fisik dapat dilakukan dengan iradiasi sinar Gamma, sinar X, Neutron, Proton dan partikel Alfa serta Beta. Induksi mutasi kimia menggunakan mutagen kimia seperti EMS (ethyl methanesulphonate) , dES (diethyl sulphate), EI (ethyleneimine), ENU (ethyl nitroso urethane), ENH (ethyl nitroso urea) dan MNH (methyl nitroso urea) (IAEA 1977). Iradiasi dan mutagen kimia telah banyak digunakan dalam pemuliaan tanaman, termasuk tanaman hias. Tujuan utama induksi mutasi ini ialah mengubah satu atau beberapa karakter tanaman tanpa mengubah genotipe secara keseluruhan. Melalui perbanyakan klonal, individu mutan dapat membentuk klon komersial. Keberhasilan induksi mutasi dalam kegiatan pemuliaan diantaranya perubahan morfologi dan warna bunga pada Chrysanthemum morifolium (Lamseejan et al. 2000), (Datta et al. 2005, Barakat et al. 2010), tahan cekaman kekeringan pada Vigna radiata L. Wilczek (Dhole dan Reddy 2010), peningkatan hasil dan perbaikan genotipe Dioscorea rotundata (Nwachukwu et al. 2009), peningkatan pertumbuhan dan hasil biji okra (Abelmoschus esculentus L. Monech) (Hegazi and Hamideldin 2010), dan mutan novelty pada petunia (Berenschot et al. 2008). Induksi mutasi juga digunakan untuk mendapatkan tanaman bunga matahari yang tahan terhadap imidazolinone ( Sala et al. 2008), perubahan warna dan ukuran petal pada anyelir (Aisyah et al. 2009), perubahan
11
morfologi bunga dan mutasi klorofil pada curcuma alismatifolia ( Abdullah et al. 2009) serta mutasi pada cabe ( Omar et al. 2008). Iradiasi pada tanaman hias yang diperbanyak secara vegetatif, umumnya menghasilkan kimera. Pada jaringan kimera, sel mutan terdapat diantara sel normal. Selama pembelahan sel, sel mutan berkompetisi dengan sel normal untuk tetap hidup (diplontic selection). Sel mutan yang tetap hidup akan menjadi tanaman mutan dan bila sel mutan tidak mampu bertahan akan menjadi sel normal kembali. Penelitian Datta et al. (2005) berhasil mengembangkan metode isolasi kimera untuk mendapatkan mutan solid pada tanaman krisan. Metode isolasi tersebut menggunakan dua cara yaitu perlakuan mutagen in vivo dan regenerasi tanaman viabel dari bagian yang mengalami mutasi secara in vitro. Fusarium oxysporum Fusarium oxysporum (Schlecht.) merupakan patogen tanaman yang termasuk dalam kelompok cendawan Deuteromycetes. Berdasarkan specifik inang, species Fusarium oxysporum terdiri atas 120 formae speciales. Pada beberapa formae, untuk inang yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda (Straathof 1994). Patogen ini menyebabkan kerugian dan kehilangan hasil pada tanaman agronomi dan hortikultura diantaranya pisang, barley, tomat, tembakau, gandum, kentang, gladiol (Remotti 1996), crocus, narcisus, freesia, tulip dan lili (Straathof 1994). Pada tanaman berumbi yang termasuk dalam kelompok famili Amarillydaceae, Iridaceae dan Liliaceae, gejala serangan Fusarium berupa busuk pada umbi, akar, corm dan rhizoma. Infeksi patogen ini dapat mempengaruhi produksi umbi lili (Remotti 1996). Fusarium merupakan patogen utama pada tanaman lili. Cendawan ini menyebabkan klorosis pada daun, nekrotik pada umbi dan akar lili (Prados Ligero et al. 2008), busuk umbi dan akar (Straathof et al. 1994) dan tanaman kerdil serta kematian tanaman lili (van Heusden et al. 2002). Fusarium termasuk cendawan yang bersifat laten, pada umbi patogen mudah menyebar disekitar pertanaman meskipun telah dilakukan perlindungan dan pengendalian tanaman. Sifat laten ini yang menyebabkan tanaman menjadi sakit, meskipun ditanam pada tanah yang tidak terinfeksi. Penetrasi cendawan ini terbatas pada parenkim umbi seperti basal umbi dan luka pada mata tunas. Gejala ditandai dengan umbi berwarna kecoklatan pada jaringan yang membusuk (Gambar 2A), daun menguning pada tanaman dan umbi yang terinfeksi (Gambar 2B), ukuran tanaman lebih kecil dibandingkan dengan tanaman sehat, daun menggulung pada bagian yang terinfeksi (Remotti 1996). A
B
Gambar 2.2. Penampilan umbi dan tanaman lili yang terinfeksi cendawan Fusarium oxysporum. Umbi lili terinfeksi Fusarium (A), Tanaman lili yang terserang Fusarium (B).
12
Penelitian Lim et al. (2003) menyatakan bahwa beberapa tanaman lili memiliki tingkat ketahanan yang berbeda terhadap cendawan Fusarium oxysporum f.sp.lilii. Berdasarkan tingkat ketahanan terhadap Fusarium oxysporum terdapat tiga kelompok utama yaitu sangat tahan, rentan dan sangat rentan (Tabel 2.2). Tabel 2.2. Tingkat ketahanan species lili terhadap Fol No. Seksi Spesies 1 Sinomartagon L. dauricum 2. Leucolirion L.regale 3. Archelirion L.speciosum 4. Martagon L.hansonii 5. Longiflorum L.longiflorum L.henryi Sumber : Lim et al. (2003).
Tingkat ketahanan Sangat tahan Sangat tahan Rentan Sangat rentan Rentan Rentan
Fusaric acid (FA) Fusaric acid merupakan salah satu senyawa toksin yang dihasilkan cendawan Fusarium oxysporum. Toksin ini dapat menginduksi gejala phytotoksisitas yang bersifat racun pada tanaman lili dan menyebabkan penyakit busuk umbi pada lili. Fusaric acid mampu menghambat aktivitas PPO (plant polyphenol oxidase), enzim yang terlibat dalam pertahanan tanaman. Pada tanaman yang rentan, terjadi akumulasi FA dalam jaringan dengan jumlah FA lebih banyak dibanding pada tanaman tahan. Hal ini disebabkan FA pada tanaman tahan akan didekomposisi oleh jaringan tanaman lebih cepat. Fusaric acid pada dosis rendah menginduksi peningkatan aktivitas PPO pada tanaman rentan, yang merupakan respon pertahanan (Curir et al. 2000). FA berperan dalam patogenisitas tanaman dengan menurunkan viabilitas sel tanaman. Toksin FA juga berpengaruh terhadap pertumbuhan sel, aktivitas mitokondria, serta permiabilitas membran. FA juga menghasilkan fusarii non patogenik yang berpotensi sebagai agen biokontrol. FA pada konsentrasi non toksik (dibawah 10-6 M) dapat menginduksi respon pertahanan, menginduksi sintesis phytoalexin, serta dapat berperan sebagai elicitor pada konsentrasi nanomolar (Bouizgarne et al. 2006). FA pada konsentrasi tinggi mengurangi pertumbuhan akar dan umbi. Aktivitas FA juga berperan sebagai enzym inhibitor, inhibitor pada sintesis asam nukleat (Bacon et al. 1996).
Saponin Saponin merupakan salah satu metabolit sekunder yang dihasilkan beberapa jenis tumbuhan. Tanaman yang termasuk dalam famili Caryophyllaceae diketahui banyak mengandung saponin yang disebut dengan saponaria. Tanaman lain yang memiliki kandungan saponin yaitu bayam, alfalfa, ginseng, kacang- kacangan, bawang merah, bawang putih termasuk juga lili (Fenwick dan Oakenfull 1983). Saponin bersifat pahit, berbuih, dan bersifat racun. Saponin banyak dimanfaatkan dalam industri pakaian, kosmetik dan obat- obatan. Saponin memiliki fungsi farmakologi yang luas, diantaranya pengatur kekebalan, anti tumor, anti radang, anti virus, anti jamur dan efek hipokolesterol atau mampu
13
menurunkan kolesterol darah serta antioksidan. Pada tanaman lili, steroidal saponin merupakan senyawa untuk pertahanan tanaman terhadap cendawan patogen, menghambat pertumbuhan Phytium dan Botrytis cinerea (Munafo dan Gianfagna 2011). Steroidal glycosides Lilium longiflorum berperan dalam proses penyembuhan luka (Esposito et al. 2013) dan glycoalkaloid berperan dalam respon pertahanan tanaman terhadap patogen (Munafo dan Gianfagna 2011). Saponin terdiri atas sapogenin yaitu bagian yang bebas dari glikosida yang disebut aglycone dan bersifat ampifilik. Sapogenin bersifat lipofilik dan mengikat sakarida (hidrofilik) yang panjangnya dari monosakarida hingga 11 unit monosakarida. Yang paling sering ialah 2-5 unit monosakarida dan berupa Dgalaktosa dan D-glukosa. Sapogenin/aglycone dapat berupa triterpenoid atau steroid. Sifat lipofilik sapogenin serta sifat hidrofilik sakarida dan saponin yang bersifat ampifilik menyebabkan saponin dapat membentuk busa dan merusak membran sel karena dapat membentuk ikatan lipida dari membran sel. Kandungan saponin lili dapat diperoleh melalui ekstraksi dengan spektrofotometer (Feng lian et al. 2005), ekstraksi dengan ultrasonik, hidrolisis dan RSM (Response Surface Methodology) (Chun Ling et al. 2009). Pada tanaman lili, kandungan saponin lili Oriental yang rentan lebih rendah daripada lili Oriental yang tahan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kandungan saponin berkorelasi positif dengan ketahanan terhadap Fusarium (Wu et al. 2009).
14
3 TEKNOLOGI PERBANYAKAN LILI SECARA IN VITRO 3.1 Produksi kalus lili dan regenerasi planlet lili pada beberapa jenis media Abstrak Perbanyakan lili umumnya dilakukan secara vegetatif menggunakan umbi. Kemampuan totipotensi tanaman memungkinkan setiap bagian tanaman dapat dimanfaatkan untuk perbanyakan tanaman, termasuk tangkai sari bunga. Tujuan penelitian ialah mendapatkan media induksi kalus lili menggunakan tangkai sari bunga. Eksplan tangkai sari bunga lili ditanam pada media MS yang mengandung zat pengatur tumbuh thidiazuron (TDZ), dan kinetin (Kin) pada beberapa konsentrasi. Kalus yang terbentuk selanjutnya diregenerasikan menjadi planlet. Hasil penelitian menunjukkan bahwa media M9 (MS + TDZ 0.1 mgl-1 + 2.4-D 0.05 mgl-1 + Kinetin 0.1mgl-1) merupakan media terbaik untuk mendapatkan waktu inisiasi kalus lebih awal dibanding media yang lain. Bobot basah kalus tertinggi diperoleh pada media M11 (MS + TDZ 0.2 mgl-1 + 2.4-D 0.05 mgl-1 + Kinetin 0.3 mgl-1). Kata Kunci : MS, tangkai sari, TDZ, Kinetin, lili. Abstract Lilium is usually propagated vegetatively by using bulbs. Based on the totipotency ability of every parts of plant, it is possible to regenerate them into planlets. The objective of the experiments were to find out micropropagation medium of lily using filament as explant . The filaments were cut into 0.5 cm and then those cut filaments were placed on several in vitro media containing thidiazuron (TDZ) and Kinetin (Kin) to form callus. The callus were subsequently regenerated to be planlet. The results showed that the M9 medium (MS + TDZ 0.1 mgl-1 + 2.4-D 0.05 mgl-1 + Kinetin 0.1 mgl-1) was the best medium for callus initiation. The highest of fresh callus weight was achieved on M11 medium (MS + TDZ 0.2 mgl-1 + 2.4-D 0.05 mgl -1 + Kinetin 0.3 mgl-1). Keywords : MS, filament, TDZ, Kinetin, lilium. Pendahuluan Perbanyakan lili secara masal diperlukan untuk memenuhi kebutuhan benih dalam industri florikultura. Pada umumnya perbanyakan dilakukan menggunakan umbi, baik secara in vitro maupun in vivo. Perbanyakan vegetatif dengan umbi memerlukan waktu 2-3 tahun hingga umbi tersebut dapat digunakan untuk produksi umbi maupun bunga potong. Selain umbi, beberapa bagian tanaman lili juga dapat dimanfaatkan untuk perbanyakan. Melalui kultur in vitro, beberapa penelitian telah dilakukan antara lain dengan menggunakan eksplan umbi (Rice et al.2011), daun (Lingfei et al. 2009), akar (Kumar et al. 2008), jaringan reseptakel bunga (Tan Nhut et al. 2001), ovul (Obata et al. 2000), sisik umbi (Han et al.
15
2004; Kumar et al. 2008; Chen et al. 2011), anter bunga lili (Tzeng et al. 2009), dan bulblet (Lian et al. 2003; Tan Nhut et al. 2006). Perbanyakan lili melalui somatik embriogenesis juga dilakukan dengan eksplan daun (Mori et al. 2005; Lan et al. 2009; Lingfei 2009). Somatik embriogenesis pada lilium ledebourii (Baker) Boiss (Bakshaie et al. 2010) dan Drimiopsis kirkii Baker (Lan et al. 2009) berhasil dikembangkan dengan daun sebagai eksplan. Hasil- hasil penelitian tersebut masih terbatas untuk varietas dan jenis lili tertentu. Sehingga perlu pengembangan teknik perbanyakan lili yang efektif untuk mendapatkan hasil maksimal. Faktor- faktor yang mempengaruhi pembentukan kalus dan regenerasi lili secara in vitro antara lain media, fotoperiode, jenis eksplan, suhu, dan zat pengatur tumbuh (Rice et al. 2001). Tujuan penelitian ialah mendapatkan media induksi kalus lili menggunakan tangkai sari bunga. Bahan dan Metode Penelitian dilakukan di laboratorium kultur jaringan Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Hias Cipanas, dari bulan Februari sampai dengan Oktober 2011. Bahan yang digunakan ialah tangkai sari/filamen bunga lili. Bahan sterilisasi yang digunakan yaitu detergen, streptomisin sulfat 20%, benomil 50%, klorok 5% dan alkohol 70%. Alat yang digunakan antara lain Laminer air flow, pH meter, autoclave, magnetic stirer, timbangan digital, botol kultur, pinset, petridish dan selotip. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap satu faktor, yaitu perlakuan media dasar MS dengan penambahan zat pengatur tumbuh TDZ dan kinetin. Percobaan terdiri atas 12 perlakuan dan tiga ulangan. Tiap perlakuan 10 botol dan satuan pengamatan 10 botol, sehingga terdapat 360 satuan percobaan. Perlakuan media terdiri atas M1= MS tanpa zat pengatur tumbuh, M2 = MS + TDZ 0.1 mg l-1 + 2,4-D 0.05 mg l-1, M3 = MS + TDZ 0.2 mgl-1 + 2,4-D 0.05 mg l-1, M4 = MS + TDZ 0.3 mgl-1 + 2,4-D 0.05 mg l-1 , M5 = 1/2MS + TDZ 0.1 mgl-1 +2,4-D 0.05 mg l-1, M6 = 1/2MS+ TDZ 0.2 mgl-1 + 2,4-D 0.05 mg l-1, M7 = 1/2MS + TDZ 0.3 mgl-1 + 2,4-D 0.05 mg l-1, M8 = 1/2MS + TDZ 0.4 mgl-1 + 2,4-D 0.05 mg l-1, M9 = MS + TDZ 0.1 mgl-1 + 2,4-D 0.05 mg l-1 + Kinetin 0.1 mgl-1, M10 = MS + TDZ 0.1 mgl-1 + 2,4-D 0.05 mg l-1 + Kinetin 0.1 mgl-1, M11 = MS + TDZ 0.2 mgl-1 + 2,4-D 0.05 mg l-1 + Kinetin 0.3 mgl-1, M12 = MS + TDZ 0.2 mgl-1 + 2,4-D 0.05 mgl-1 + Kinetin 0.4 mgl-1. Tahapan percobaan dilakukan dengan sterilisasi eksplan kuncup bunga, dengan cara membersihkan kuncup bunga menggunakan air mengalir. Selanjutnya kuncup bunga dicuci dengan detergen dan dibilas dengan air bersih. Kuncup bunga kemudian direndam dalam larutan streptomisin sulfat 20% dan benomil 50% selama 30 menit, dilanjutkan dengan perendaman dengan klorok 5% selama 10 menit. Kuncup bunga dibilas dengan aquades steril hingga bersih. Di dalam laminer air flow cabinet (LAF), kuncup bunga direndam dalam alkohol 70% selama 5 menit, klorok 5% selama 10 menit dan dibilas aquades hingga bersih. Tahapan selanjutnya, kuncup bunga dibuka dan diambil bagian tangkai sari/filamennya. Filamen dipotong ± 0.5 cm dan ditanam pada media perlakuan. Eksplan yang telah ditanam ditempatkan didalam ruang gelap pada suhu ± 20º C.
16
Gambar 3.1 merupakan tahapan percobaan pembentukan kalus lili menggunakan tangkai sari bunga sebagai eksplan. 1
3
4
2
A
B
C
D
Gambar 3.1 Tahapan percobaan pembentukan kalus lili. Kuncup bunga lili (A), Daun bunga/mahkota bunga lili (B), Bagian- bagian putik dan benang sari (C), Kepala putik(1), Tangkai putik (2), Benangsari (3), Tangkai sari (4), Potongan tangkai sari sebagai eksplan (D). Peubah yang diamati meliputi (1) waktu inisiasi kalus, yaitu saat awal kalus lili terbentuk; pengamatan dilakukan satu minggu setelah tanam. Pengamatan berikutnya dilakukan setiap minggu. (2) bobot basah kalus, diamati dengan menimbang kalus yang terbentuk dengan timbangan digital, penimbangan dilakukan sebelum dan sesudah subkultur kalus. Subkultur dilakukan setiap satu bulan sekali, (3) jumlah umbi, diamati satu minggu setelah tanam, pengamatan selanjutnya dilakukan satu bulan sekali serta (4) jumlah daun yang terbentuk, diamati dengan menghitung jumlah daun yang terbentuk pada eksplan kalus. Jumlah daun diamati satu bulan setelah tanam. Pengamatan selanjutnya dilakukan satu bulan sekali. Analisis data menggunakan program IBM SPSS Statistics 19. Hasil dan Pembahasan 1. Induksi kalus lili dari tangkai sari bunga Induksi kalus lili dari tangkai sari bunga terbentuk 14- 31 hari setelah kultur (Tabel 3.1). Waktu inisiasi kalus paling cepat diperoleh 14 hari setelah kultur pada media M9, yaitu media MS yang mengandung kinetin 0.1 mgl-1 dan TDZ 0.1 mgl1 . Waktu inisiasi kalus ini lebih cepat dibandingkan hasil penelitian Bakhshaie et al. (2010) pada Lilium ledebourii (Baker) Boiss, yaitu 3 bulan setelah kultur. Penggunaan zat pengatur tumbuh kinetin dan TDZ ini mempercepat terbentuknya kalus, disebabkan peran kedua zat pengatur tumbuh tersebut dalam pembelahan sel dan pembentukan organ. Kinetin juga berperan memacu perbesaran sel, diantaranya pada tanaman lobak, labu dan tanaman dikotil lainnya (Arteca 1995). Sedangkan waktu inisiasi kalus paling lama diperoleh pada media M1 yaitu Media MS tanpa hormon 31 hari setelah tanam. Keseimbangan antara konsentrasi auksin dan sitokinin yang tepat dapat menginduksi kalus. Zat pengatur tumbuh 2,4-D termasuk dalam kelompok auksin yang umum digunakan untuk menginduksi kalus dalam kondisi tanpa cahaya. Dalam keadaan demikian, auksin tidak mudah terdegradasi sehingga mempercepat waktu inisiasi kalus pada eksplan. Faktor lain yang mempengaruhi inisiasi kalus ialah pelukaan pada eksplan serta adanya zat pengatur tumbuh sitokinin (TDZ dan kinetin). Pada penelitian sebelumnya, kombinasi auksin (2,4D) dan sitokinin (BA) terbukti efektif menginduksi kalus kalus Lilium speciosum Thunb var. gloriosoides Baker (Chang et al. 2000). Demikian juga kombinasi 2,4-
17
D dan NAA mampu menginduksi kalus kotiledon kedelai ( Widoretno et al. 2003). Tabel 3.1 Rerata waktu inisiasi kalus dan bobot basah kalus Media Waktu Inisiasi Bobot basah kalus (hari setelah kultur) kalus (g) M1 M2 M3 M4 M5 M6 M7 M8 M9 M10 M11 M12
31.00 e 19.00 abc 17.00 ab 20.08 bc 26.00 de 28.33 de 23.67 cd 26.00 e 14.00 a 16.67 ab 15.67 ab 15.50 ab
1.02 ab 0.87 ab 1.23 bc 1.39 bc 1.02 ab 0.89 ab 1.32 bc 1.00 ab 0.41 a 1.55 bc 1.82 c 0.85 ab
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5% . M1= MS tanpa zat pengatur tumbuh, M2 = MS + TDZ 0.1 mg l-1 + 2,4-D 0.05 mg l-1, M3 = MS + TDZ 0.2 mgl-1 + 2,4-D 0.05 mg l-1, M4 = MS + TDZ 0.3 mgl-1 + 2,4-D 0.05 mg l-1, M5 = 1/2MS + TDZ 0.1 mgl-1 +2,4-D 0.05 mg l-1, M6 = 1/2MS+ TDZ 0.2 mgl-1 + 2,4-D 0.05 mg l-1, M7 = 1/2MS + TDZ 0.3 mgl-1 + 2,4-D 0.05 mg l-1, M8 = 1/2MS + TDZ 0.4 mgl-1 + 2,4-D 0.05 mg l-1, M9 = MS + TDZ 0.1 mgl-1 + 2,4-D 0.05 mg l-1 + Kinetin 0.1 mgl-1, M10 = MS + TDZ 0.1 mgl-1 + 2,4-D 0.05 mg l-1 + Kinetin 0.1 mgl-1, M11 = MS + TDZ 0.2 mgl-1 + 2,4-D 0.05 mg l-1 + Kinetin 0.3 mgl-1, M12 = MS + TDZ 0.2 mgl-1 + 2,4-D 0.05 mgl-1 + Kinetin 0.4 mgl-1.
Hasil penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa 2,4-D merupakan auksin terbaik untuk menginduksi pembentukan kalus berbagai jenis lili dibandingkan dengan auksin yang lain (IAA, IBA dan NAA). Zat pengatur tumbuh 2,4-D memiliki sifat yang lebih baik dibandingkan jenis auksin lainnya, karena lebih mudah diserap sel tanaman, tidak mudah terurai dan berfungsi mendorong aktivitas morfogenetik (Shoemaker et al.1991, Widoretno et al. 2003). Zat pengatur tumbuh 2,4-D juga merupakan auksin yang tahan terhadap fotooksidasi. Perbandingan auksin dan sitokinin menentukan bentuk dan struktur kalus. Kombinasi konsentrasi auksin dan sitokinin yang tepat akan menghasilkan kalus berstruktur remah (friable)(Wattimena 1988). Zat pengatur tumbuh 2,4-D juga berpengaruh terhadap pembentukan somatik embrio secara langsung (Lan et al. 2009). Kalus yang terbentuk umumnya berupa nodular dan berwarna putih kekuningan. Gambar 3.2 menunjukkan respon eksplan tangkai sari bunga lili pada beberapa media.
18
A
B
E
F
I
C
G
J
D
H
K
L
Gambar 3.2 Pembentukan kalus lili pada beberapa media. Kalus lili pada media M1 (A), Kalus pada media M2 (B), Kalus pada media M3 (C), Kalus pada media M4 (D), Kalus pada media M5 (E), Kalus pada media M6 (F), Kalus pada media M7 (G), Kalus pada media M8 (H), Kalus pada media M9 (I), Kalus pada media M10 (J), Kalus pada media M11 (K), Kalus pada media M12 (L). 2. Regenerasi kalus membentuk umbi dan daun lili Dalam perkembangannya, kalus membentuk daun dan umbi pada beberapa media yang diujikan 4 bulan setelah kultur. Gambar 3.3 menunjukkan bahwa jumlah umbi yang terbentuk tidak berbeda nyata pada beberapa media. Kalus dapat membentuk ± 1-3 umbi, baik pada media yang mengandung zat pengatur tumbuh maupun media tanpa zat pengatur tumbuh. Rerata jumlah umbi tertinggi diperoleh pada media M3 yaitu media MS yang mengandung TDZ 0.2 mgl-1. Jumlah umbi terendah diperoleh pada media M2 (MS+ TDZ 0.1 mgl -1) dan M7 (1/2 MS + TDZ 0.3 mgl-1). Hasil ini menunjukkan bahwa pengurangan unsur makro dan mikro pada media MS (M2) menjadi ½ MS (M7) tidak mempengaruhi jumlah umbi yang terbentuk. Di duga, pembentukan umbi lebih dipengaruhi sukrosa atau gula yang digunakan dalam media. Proses pembentukan umbi disebabkan adanya surplus karbohidrat (Arteca 1995). Sukrosa juga dapat memacu pertumbuhan umbi lili, konsentrasi gula yang tinggi menyebabkan ukuran sisik umbi lili japonicum Thunb.meningkat dan menurunkan pembentukan tunas dan daun (Yamagishi 1995).
19
3.50 Jumlah Umbi
3.00
3.0
2.8
2.9
2.50 2.00
2.0
1.7
2.0
2.3
2.3
2.3
2.3
2.3
1.7
1.50 1.00 0.50 0.00 M1
M2 M3 M4 M5 M6 M7 M8 M9 M10 M11 M12
Gambar 3.3 Jumlah umbi yang terbentuk pada beberapa media 4 bulan setelah kultur. M1= MS tanpa zat pengatur tumbuh , M2 = MS + TDZ 0.1 mg l-1 + 2,4D 0.05 mg l-1, M3 = MS +TDZ 0.2 mgl-1 + 2,4-D 0.05 mg l-1, M4 = MS + TDZ 0.3 mgl-1 + 2,4-D 0.05 mg l-1, M5 = 1/2MS + TDZ 0.1 mgl-1 +2,4-D 0.05 mg l-1, M6 = 1/2MS+ TDZ 0.2 mgl-1 + 2,4-D 0.05 mg l-1, M7 = 1/2MS + TDZ 0.3 mgl-1 + 2,4-D 0.05 mg l-1, M8 = 1/2MS + TDZ 0.4 mgl-1 + 2,4-D 0.05 mg l-1, M9 = MS + TDZ 0.1 mgl-1 + 2,4-D 0.05 mg l-1 + Kinetin 0.1 mgl-1, M10 = MS + TDZ 0.1 mgl-1 + 2,4-D 0.05 mg l-1 + Kinetin 0.1 mgl- 1, M11 = MS + TDZ 0.2 mgl-1 + 2,4D 0.05 mg l-1 + Kinetin 0.3 mgl-1, M12 = MS + TDZ 0.2 mgl-1 + 2,4-D 0.05 mgl-1 + Kinetin 0.4 mgl-1.
9.00
7.8
8.00
Jumlah Daun
7.00
6.3
6.00 5.00 4.00
7.3
4.2
6.0
7.6
7.2
6.0
5.8 4.2
6.0 4.5
3.00 2.00 1.00 0.00 M1
M2 M3 M4 M5 M6 M7 M8 M9 M10 M11 M12
Gambar 3.4 Jumlah daun yang terbentuk pada beberapa media 4 bulan setelah kultur. M1= MS tanpa zat pengatur tumbuh, M2 = MS + TDZ 0.1 mg l-1 + 2,4-D 0.05 mg l-1, M3 = MS +TDZ 0.2 mgl-1 + 2,4-D 0.05 mg l-1, M4 = MS + TDZ 0.3 mgl-1 + 2,4-D 0.05 mg l-1, M5 = 1/2MS + TDZ 0.1 mgl-1 +2,4-D 0.05 mg l-1, M6 = 1/2MS+ TDZ 0.2 mgl-1 + 2,4-D 0.05 mg l-1, M7 = 1/2MS + TDZ 0.3 mgl-1 + 2,4-D 0.05 mg l-1, M8 = 1/2MS + TDZ 0.4 mgl-1 + 2,4-D 0.05 mg l-1, M9 = MS + TDZ 0.1 mgl-1 + 2,4-D 0.05 mg l-1 + Kinetin 0.1 mgl-1, M10 = MS + TDZ 0.1 mgl1 + 2,4-D 0.05 mg l-1 + Kinetin 0.1 mgl- 1, M11 = MS + TDZ 0.2 mgl-1 + 2,4-D 0.05 mg l-1 + Kinetin 0.3 mgl-1, M12 = MS + TDZ 0.2 mgl-1 + 2,4-D 0.05 mgl-1 + Kinetin 0.4 mgl-1.
Media juga tidak berpengaruh terhadap jumlah daun yang terbentuk. Rerata jumlah daun terbanyak diperoleh pada media M2 (MS+ TDZ 0.1 mgl-1). Jumlah daun terendah diperoleh pada media M1 yaitu media tanpa zat pengatur
20
tumbuh dan M8 (Gambar 3.4). Hal ini disebabkan pada umumnya umbi yang tumbuh diikuti dengan tumbuhnya daun. Oleh karena jumlah umbi tidak berbeda nyata antar perlakuan, maka jumlah daun pun tidak berbeda nyata. Dengan demikian ada kemungkinan jumlah daun yang dihasilkan berkaitan dengan jumlah umbi yang terbentuk. Gambar 3.5 menunjukkan respon kalus membentuk daun dan umbi pada beberapa media. Terbentuknya daun dan umbi secara langsung pada kalus merupakan awal perkembangan menjadi planlet. Gambar 3.3 dan 3.4 menunjukkan bahwa pada semua media yang diujikan, kalus dapat beregenerasi membentuk daun dan umbi. A
B
C
D
Gambar 3.5. Perkembangan kalus membentuk daun dan umbi lili. Daun terbentuk dari kalus setelah dipindah ke ruang cahaya (A, B dan C). Umbi terbentuk dari kalus diruang tanpa cahaya (D). Simpulan 1. Kombinasi zat pengatur tumbuh auksin (2,4-D 0.05 mg l-1) dan sitokinin (TDZ 0.1 mgl-1 dan Kinetin 0.1 mgl-1) dapat mempercepat induksi kalus lili. 2. Produksi kalus dapat diperoleh dengan menggunakan eksplan tangkai sari bunga lili, baik pada media yang mengandung zat pengatur tumbuh maupun yang tidak mengandung zat pengatur tumbuh. Media MS yang mengandung TDZ 0.2 mgl-1 dan Kinetin 0.3 mgl-1 merupakan media terbaik untuk produksi kalus.
21
3.1 Optimasi media regenerasi kalus lili untuk menghasilkan tunas
dan umbi Regenerasi lili dari kalus merupakan bagian penting dalam perbanyakan lili secara in vitro. Tahapan ini diperlukan untuk menyediakan benih secara masal baik berupa planlet maupun umbi lili. Untuk mendapatkan produksi planlet dan umbi lili yang maksimal diperlukan media yang sesuai. Media yang sesuai diperoleh dengan melakukan optimasi media regenerasi lili. Abstrak Regenerasi kalus menjadi planlet dan umbi penting dalam perbanyakan lili secara in vitro. Tujuan penelitian ialah mendapatkan media regenerasi lili yang terbaik secara in vitro.Bahan yang digunakan ialah kalus lili yang berasal dari tangkai sari bunga. Optimasi media dilakukan dengan menggunakan beberapa media yang mengandung sukrosa dan NAA. Hasil menunjukkan bahwa media B1 (MS+ sukrosa 10 gl-1) merupakan media terbaik untuk pembentukan umbi secara langsung dari kalus lili. Media perakaran planlet lili terbaik diperoleh pada media yang mengandung NAA 2 mgl -1. Media MS yang mengandung zat pengatur tumbuh NAA ataupun MS tanpa zat pengatur tumbuh NAA tidak berbeda nyata dalam menghasilkan tunas lili. Kata kunci : NAA, perbanyakan in vitro, lili. Abstract Callus regeneration into plantlet and bulbs is an important process in in vitro propagation of lilium. The objective of this study was to find out the best medium for regeneration of lilium from callus. Callus from filaments were used as materials. Various media containing sucrose and NAA were used in this study. Media B1 (MS+ sucrose 10 gl -1 ) was the best medium for bulbs formation of lilium. The best rooting media was achieved on M6 (MS+ NAA 2 mgl-1 ). Both media with and without plant growth regulator were not significantly different for shoots formation. Keywords : NAA, in vitro propagation, lilium. Pendahuluan Perbanyakan lili secara in vitro melalui kalus telah banyak dikembangkan dengan menggunakan eksplan daun (Lan et al. 2009; Lingfei et al. 2009; Bakshaiae et al. 2010), umbi (Rice et al. 2011), sisik umbi (Kumar et al. 2008), biji (Mori et al. 2005) dan akar (Kumar et al. 2008). Regenerasi kalus menjadi planlet dan umbi lili umumnya dilakukan pada media MS dengan kombinasi beberapa macam dan konsentrasi zat pengatur tumbuh serta sukrosa. Konsentrasi sukrosa yang digunakan umumnya 20- 60 gl-1, konsentrasi sukrosa yang lebih tinggi digunakan untuk pembentukan umbi secara langsung dari kalus. Peningkatan sukrosa dari 60- 90 gl -1 akan menurunkan pertumbuhan tunas pada
22
Lilium longiflorum (Tan Nhut et al. 2001). Konsentrasi sukrosa yang rendah digunakan untuk regenerasi kalus membentuk tunas dan daun (Yamagishi 1995). Faktor-faktor yang mempengaruhi regenerasi kalus lili menjadi planlet diantaranya jenis eksplan, genotipe (Mori et al. 2005), zat pengatur tumbuh dan faktor fisik seperti intensitas cahaya serta temperatur (Pekkapelkonen 2005; Lan et al. 2009). Jenis eksplan sisik umbi dan umbi merupakan sumber eksplan yang potensial dan menguntungkan untuk produksi dan pembentukan bulblet, meskipun resiko kontaminasinya tinggi (Tan Nhut et al. 2001). Eksplan daun mempunyai kemampuan regenerasi lebih rendah dibanding umbi (Pekkapelkonen 2005). Zat pengatur tumbuh berperan penting dalam diferensiasi dan pertumbuhan kalus lili. Interaksi antara auksin (NAA) dan sitokinin (kinetin) berperan dalam pembentukan bulblet dan akar. Beberapa zat pengatur tumbuh yang mempengaruhi regenerasi kalus antara lain BA, kinetin, zeatin, IAA dan 2,4-D. Perbanyakan lili secara in vitro dilakukan dalam kondisi gelap maupun adanya cahaya, tergantung tujuan kultur. Regenerasi kalus menjadi tunas dipacu oleh adanya cahaya, sedangkan kultur kalus untuk perbanyakan umbi memerlukan kondisi gelap. Kebutuhan cahaya dalam kultur in vitro lili kurang lebih 16 jam sehari (Pekkapelkonen 2005). Tujuan penelitian ialah mendapatkan media regenerasi lili terbaik yang diinduksi dari kalus. Bahan dan Metode Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium kultur jaringan Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Hias Cipanas, dari bulan Januari sampai dengan Oktober 2012. Bahan yang digunakan ialah kalus lili yang diinduksi dari tangkai sari bunga. Alat yang digunakan antara lain laminer air flow, pH meter, autoclave, botol kultur, timbangan, magnetic stirer, pinset dan petridish. Media yang digunakan ialah media MS yang mengandung beberapa konsentrasi sukrosa dan NAA. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap satu faktor, yaitu perlakuan media dasar MS dengan penambahan zat pengatur tumbuh NAA (naftalene asetat acid) dan sukrosa. Percobaan terdiri atas 7 perlakuan dan tiga ulangan. Tiap perlakuan terdiri dari 5 botol kultur dan satuan pengamatan 5 botol, sehingga terdapat 105 satuan percobaan. Bahan yang digunakan ialah kalus yang diinduksi dari tangkai sari bunga lili. Perlakuan terdiri atas 7 macam media, yaitu B1= MS (Murashige Skoog) + 10 gl-1 sukrosa, B2= MS+ 20 gl-1 sukrosa, B3= MS+ 30 gl-1 sukrosa, B4= MS+ 40 gl-1 sukrosa, B5= MS+ 1 mgl-1 NAA+ 30 gl-1 sukrosa, B6= MS+ 2 mgl-1 NAA+ 30 gl-1 sukrosa dan B7= MS+ 3 mgl-1 NAA+ 30 gl-1 sukrosa. Peubah yang diamati yaitu (1) jumlah tunas, (2) panjang tunas, (3) jumlah umbi, (4) diameter umbi, (5) jumlah daun, dan (6) jumlah akar. Jumlah tunas diamati dengan menghitung banyaknya tunas yang terbentuk 2 minggu setelah kultur. Panjang tunas diukur pada tunas terpanjang 2 minggu setelah kultur, jumlah umbi diamati dengan menghitung banyaknya jumlah umbi yang terbentuk. Diameter umbi diukur 2 minggu setelah kultur. Jumlah daun diamati dengan cara menghitung banyaknya daun yang terbentuk. Jumlah akar diamati dengan
23
menghitung banyaknya akar yang terbentuk. Data dianalisis menggunakan program IBM SPSS Statistics 19. Hasil dan Pembahasan Regenerasi kalus merupakan bagian penting dalam perbanyakan lili secara in vitro. Kalus berkembang membentuk tunas, daun, akar dan umbi. Salah satu faktor yang berperan penting dalam regenerasi kalus ialah zat pengatur tumbuh. Jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh berperan dalam morfogenesis tanaman. Pada tanaman lili, interaksi auksin (NAA) dan sitokinin (kinetin) berperan dalam pembentukan umbi dan akar (Takayama dan Misawa 1979). Sejalan dengan hasil penelitian tersebut, pada Tabel 3.2 menunjukkan bahwa zat pengatur tumbuh NAA dapat mendorong pembentukan akar lili. Media B6 yaitu MS yang mengandung NAA 2 mgl-1 merupakan media yang menghasilkan jumlah akar terbanyak. Penelitian Tan Nhut et al. (2001) menyatakan bahwa NAA dan IBA efisien dalam menginduksi perakaran lili longiflorum dari kuncup bunga. Jumlah akar pada media B6 dan B7 tidak berbeda nyata (Tabel 3.2), hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi NAA 2 mgl -1 dengan 3 mgl -1 memberikan respon yang sama terhadap pembentukan akar. Namun, kedua media tersebut berbeda nyata dengan perlakuan B1, B2, B3, B4 dan B5. Pembentukan akar lebih dipengaruhi oleh NAA. Zat pengatur tumbuh NAA termasuk dalam kelompok auksin yang berperan dalam pembesaran sel, pembentukan dan pertumbuhan akar (Wattimena 1988). Hasil ini sejalan dengan penelitian Ming Chen et al. (2002) bahwa NAA merupakan auksin sintetik yang dapat mendorong pembentukan perakaran pada kedelai (Glycine max). Di samping itu NAA juga berfungsi menentukan regenerasi tunas bunga pada tembakau ( Smulders et al. 1990). NAA meningkatkan hasil biji per tanaman pada 20 ppm. NAA juga mampu menurunkan fatty acid pada kapas (Zakaria et al. 1989). Tabel 3.2 Rerata jumlah tunas, panjang tunas, jumlah daun dan jumlah akar lili pada beberapa media 2 minggu setelah kultur. Media Jumlah tunas Panjang tunas (cm) Jumlah daun Jumlah akar B1 2.00 a 2.31 a 2.00 a 2.81 a B2 2.27 a 3.21 a 1.44 a 4.00 a B3 2.25 a 3.22 a 1.72 a 6.00 a B4 1.08 a 1.97 a 1.94 a 3.64 a B5 2.19 a 2.91 a 1.00 a 3.19 a B6 2.75 a 2.84 a 1.83 a 10.03 b B7 1.33 a 1.56 a 2.00 a 8.17 b Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada lajur yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%. B1= MS + 10 gl-1 sukrosa, B2= MS+ 20 gl-1 sukrosa, B3= MS+ 30 gl-1 sukrosa, B4= MS+ 40 gl-1 sukrosa, B5= MS+ 1 mgl-1 NAA+ 30 gl-1 sukrosa, B6= MS+ 2 mgl-1 NAA+ 30 gl-1 sukrosa, B7= MS+ 3 mgl-1 NAA+ 30 gl-1 sukrosa.
Namun demikian pemberian NAA tidak berpengaruh terhadap jumlah tunas, panjang tunas serta jumlah daun. Penelitian Mizuguchi et al. (1994) menyatakan bahwa zat pengatur tumbuh NAA menghambat regenerasi tunas dari kalus L. japonicum. Hasil ini menunjukkan bahwa pembentukan tunas dan daun lebih
24
dipengaruhi zat pengatur tumbuh sitokinin dan tidak dipengaruhi oleh NAA (Arteca 1995). Tabel 3.3 Rerata jumlah umbi dan diameter umbi lili pada beberapa media 2 minggu setelah kultur. Media Jumlah umbi Diameter umbi (cm) B1 4.25 a 0.80 a B2 1.72 b 0.57 ab B3 2.08 b 0.66 ab B4 2.30 b 0.65 ab B5 1.92 b 0.27 b B6 1.94 b 0.67 ab B7 2.33 b 0.42 ab Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada lajur yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%. B1= MS + 10 gl-1 sukrosa, B2= MS+ 20 gl-1 sukrosa, B3= MS+ 30 gl-1 sukrosa, B4= MS+ 40 gl -1 sukrosa, B5= MS+ 1 mgl-1 NAA+ 30 gl-1 sukrosa, B6= MS+ 2 mgl-1 NAA+ 30 gl-1 sukrosa, B7= MS+ 3 mgl-1 NAA+ 30 gl-1 sukrosa.
Regenerasi kalus lili pada beberapa media menunjukkan bahwa umbi lili dapat terbentuk secara langsung pada semua media yang diujikan. Kalus dapat berkembang langsung membentuk umbi 2 bulan setelah kultur (Tabel 3.3). Media MS yang mengandung sukrosa 10 gl-1 menghasilkan jumlah dan diameter umbi tertinggi. Faktor yang mempengaruhi pembentukan umbi antara lain konsentrasi metabolit hasil fotosintesa, khususnya rasio karbohidrat dan nitrogen (Arteca 1995). Kombinasi sukrosa dan manosa juga dapat memacu pertumbuhan umbi (Yamagishi 1995). Kondisi lingkungan yang tidak mendukung seperti suhu tinggi, intensitas cahaya rendah, serta asimilat yang digunakan untuk pertumbuhan tunas dan akar dalam jumlah banyak menjadi penghambat dalam pembentukan umbi (Arteca 1995). Gambar 3.6 merupakan perkembangan kalus pada media regenerasi, 4 bulan setelah kultur. Kalus mulai berkembang membentuk daun (Gambar 3.6A - D) dan umbi (3.6 E). Planlet secara sempurna terbentuk 8 bulan setelah kultur. A
B
C
D
E
Gambar 3.6 Perkembangan kalus lili pada media regenerasi (4 bulan setelah kultur). Media B1= MS + 10 gl-1 sukrosa (A), Media B2= MS+ 20 gl-1 sukrosa (B), Media B3= MS+ 30 gl-1 sukrosa (C), Media B6= MS+ 2 mgl-1 NAA+ 30 gl-1 sukrosa (D) dan Media B7= MS+ 3 mgl-1 NAA+ 30 gl-1 sukrosa (E).
25
A
B
E
C
F
D
G
Gambar 3.7. Respon kalus lili dan regenerasinya pada beberapa media (8 bulan setelah kultur). Planlet pada media B1= MS + 10 gl-1 sukrosa (A), media B2= MS+ 20 gl-1 sukrosa (B), media B3= MS+ 30 gl-1 sukrosa (C), media B4= MS+ 40 gl-1 sukrosa (D), media B5= MS+ 1 mgl-1 NAA+ 30 gl-1 sukrosa (E), media B6= MS+ 2 mgl-1 NAA+ 30 gl-1 sukrosa (F), media B7= MS+ 3 mgl-1 NAA+ 30 gl-1 sukrosa (G). Gambar 3.7 menunjukkan respon pertumbuhan kalus lili pada beberapa media regenerasi, 8 bulan setelah kultur. Media yang mengandung NAA 2 mgl-1 dan 3 mgl-1 mendorong pembentukan akar, sedangkan media yang mengandung sukrosa tanpa NAA lebih memacu pembentukan umbi. Simpulan 1. Media B1 yaitu media MS yang mengandung sukrosa 10 gl-1 merupakan media terbaik untuk pembentukan umbi lili secara langsung dari kalus. 2. Media B6 yaitu media MS yang mengandung NAA 2 mgl -1 merupakan media terbaik untuk induksi perakaran lili dari kalus.
26
3.2 Pembesaran umbi pada beberapa media serta aklimatisasi lili Tanaman lili dikembangkan untuk produksi bunga dan umbi. Untuk memaksimalkan produksi umbi lili secara in vitro diperlukan media yang sesuai. Perbesaran umbi pada media dengan beberapa konsentrasi gula merupakan bagian teknologi perbanyakan lili secara in vitro. Abstrak Umbi merupakan eksplan yang sering digunakan untuk perbanyakan vegetatif tanaman lili. Produksi umbi lili secara optimal dapat diperoleh pada media pengumbian yang sesuai. Tujuan penelitian ialah mendapatkan konsentrasi gula yang sesuai untuk produksi umbi terbaik serta kondisi kultur yang sesuai. Bahan yang digunakan yaitu kalus lili yang diinduksi dari tangkai sari bunga. Konsentrasi gula yang digunakan antara lain 0, 15, 30, 45, 60 dan 75 gl-1. Kondisi kultur dengan cahaya dan tanpa cahaya digunakan dalam menginduksi pengumbian lili dari kalus. Media MS dengan konsentrasi gula 45 gl -1 merupakan media terbaik untuk pengumbian lili dari kalus. Kondisi kultur tanpa cahaya menunjukkan kondisi kultur terbaik untuk pengumbian lili. Kata kunci : umbi lili, gula, kalus, cahaya. Abstract Bulbs is usually for vegetatively propagation on lilium. This explants is more favorable than other explants in lilium. Bulbs were obtained on favorable media. The objectives of this study were to find out the best concentration of sugar and the best culture condition for bulbs formation in lilium. Callus from filaments were used as material. The sugar concentrations were 0, 15, 30, 45, 60 and 75 gl-1. The best concentration of sugar was 45 gl-1 and culture without light was the best culture condition for bulbs formation. Keywords : lilium bulbs, sugar, callus, light. Pendahuluan Perbanyakan lili umumnya menggunakan umbi. Umbi merupakan eksplan yang potensial dan menguntungkan untuk perbanyakan dibandingkan jenis eksplan lili yang lain seperti daun, akar, biji maupun anther (Tan Nhut et al. 2001; Kumar et al. 2008). Potensi ini dapat dikembangkan dengan melakukan peningkatan kualitas serta kuantitas umbi lili. Beberapa penelitian menyatakan bahwa pembentukan umbi terjadi karena adanya surplus karbohidrat dan konsentrasi metabolit hasil fotosintesis. Dalam kondisi yang tidak sesuai seperti suhu tinggi, dan jumlah asimilat tinggi yang digunakan untuk pertumbuhan akar dan tunas dapat menghambat pembentukan umbi. Disamping itu, pembentukan umbi juga dipengaruhi oleh zat pengatur tumbuh, nutrisi, lingkungan, induk umbi, dan faktor genetik (Arteca 1995).
27
Berdasarkan teori hormonal pengumbian, terdapat dua faktor yang mempengaruhi pengumbian yaitu faktor lingkungan dan zat pengatur tumbuh. Zat pengatur tumbuh giberelin yang tinggi pada tunas, menghambat pengumbian. Giberelin berpengaruh terhadap pemanjangan stolon pada kentang, namun menghambat proses pengumbian. Sedangkan IAA berperan penting dalam proses pengumbian, hal ini terkait adanya pengurangan level giberelin endogen. Pemberian giberelin secara eksogen dapat menghambat atau menunda pembentukan umbi. Faktor lingkungan yang berpengaruh penting dalam pengumbian dan dormasi ialah suhu dan cahaya. Kedua faktor tersebut dapat memacu perubahan zat pengatur tumbuh endogen yang berkaitan dengan pengumbian (Arteca 1995). Penelitian Yamagishi (1995) menyatakan bahwa sukrosa memacu pertumbuhan umbi. Konsentrasi sukrosa yang digunakan dalam kultur in vitro lili pada umumnya yaitu 20- 60 gl-1. Kultur sisik umbi pada media yang mengandung sukrosa 50 gl-1 pada kondisi gelap dapat membentuk callus pada 8- 12 minggu setelah kultur (Obata et al. 2000). Konsentrasi sukrosa yang lebih tinggi digunakan untuk pembentukan umbi secara langsung dari kalus (Yamagishi 1995). Tujuan penelitian ialah mendapatkan konsentrasi gula terbaik dan kondisi kultur yang sesuai untuk pembentukan umbi secara in vitro. Bahan dan Metode Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dua faktor, faktor pertama ialah perlakuan gelap dan terang, faktor kedua yaitu perlakuan media dasar MS dengan beberapa taraf konsentrasi gula yaitu G0= MS tanpa gula, G1= MS+ 15 gl-1 gula, G2= MS+ 30 gl-1 gula , G3= MS+ 45 gl-1 gula, G4= MS+ 60 gl-1 gula dan G5= MS+ 75 gl-1 gula. Bahan yang digunakan ialah kalus lili yang diinduksi dari tangkai sari bunga. Kalus ditanam pada media perlakuan dan ditempatkan pada kondisi kultur gelap dan terang. Planlet maupun umbi yang terbentuk selanjutnya diaklimatisasi di rumah kaca. Percobaan terdiri atas 10 kombinasi perlakuan dan tiga ulangan. Tiap kombinasi perlakuan terdiri atas 10 botol dan satuan pengamatan 10 botol, sehingga terdapat 300 satuan percobaan. Peubah yang diamati meliputi (1) jumlah umbi, diamati satu minggu setelah tanam, pengamatan selanjutnya dilakukan satu bulan sekali serta (2) jumlah daun yang terbentuk, diamati dengan menghitung jumlah daun yang terbentuk pada eksplan kalus. Jumlah daun diamati satu bulan setelah tanam. Pengamatan selanjutnya dilakukan dua bulan sekali. (3) jumlah tunas, diamati satu bulan setelah kultur dan pengamatan selanjutnya dilakukan dua bulan (4) tinggi planlet, diamati satu bulan setelah kultur (5) jumlah akar, diamati satu bulan setelah kultur. Analisis data menggunakan program IBM SPSS Statistics 19. Hasil dan Pembahasan Inisiasi, pertumbuhan dan perkembangan umbi lili merupakan hasil serangkaian perubahan biokimia dan morfologi yang terjadi pada lingkungan tumbuhnya. Pembentukan umbi merupakan fenomena kompleks dan dipengaruhi banyak faktor, antara lain nutrisi, lingkungan, genetik, daun, dan asimilat. Untuk
28
Jumlah Umbi
mengurangi beberapa pengaruh tersebut, dilakukan pengembangan secara in vitro dalam lingkungan terkontrol (Arteca 1995). Gambar 3.8 menunjukkan pengaruh konsentrasi gula terhadap jumlah umbi lili. Jumlah umbi tertinggi diperoleh pada media yang mengandung 45 gl-1 gula. Media tanpa gula (G0) menghasilkan jumlah umbi paling sedikit. Hasil ini sejalan dengan penelitian Yamagishi (1995), umbi lili terbentuk pada media yang mengandung sukrosa 20- 60 gl-1. Pada konsentrasi sukrosa yang tinggi, ukuran sisik umbi lili meningkat. Konsentrasi sukrosa lebih rendah menyebabkan diferensiasi tanaman (Pekkapelkonen 2005). Hasil ini mengindikasikan bahwa konsentrasi gula berpengaruh terhadap pembentukan umbi lili. 4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00
3.5 a
1.8 c
2.7 a
2.5 a
G4
G5
1.9 bc
0.3 d G0
G1
G2
G3
Gambar 3.8. Jumlah umbi lili yang terbentuk pada beberapa konsentrasi gula pada media pembentukan umbi. (G0= MS tanpa gula, G1= MS+ 15 gl-1 gula, G2 = MS+ 30 gl-1 gula , G3= MS+ 45 gl-1 gula, G4= MS+60gl-1 gula, G5 = MS+ 75 gl-1gula.) Gambar 3.8 menunjukkan bahwa jumlah umbi yang terbentuk pada media G3, G4 dan G5 tidak berbeda nyata. Pemberian gula pasir 45 gl-1, 60 gl-1 dan 75 gl-1 memberikan pengaruh yang sama dalam pembentukan umbi lili. Dengan demikian gula 45 gl-1 merupakan konsentrasi gula yang disarankan untuk pengumbian lili. Perlakuan konsentrasi gula juga berpengaruh terhadap regenerasi kalus lili menjadi tunas. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya bahwa sukrosa mempunyai pengaruh dalam menstimulasi pembentukan tunas pada lili longiflorum (Tan Nhut et al. 2001). Konsentrasi gula 15, 30, 45 dan 60 gl-1 memiliki pegaruh yang sama dalam pembentukan tunas. Rerata jumlah tunas terbanyak diperoleh pada media yang mengandung 45 gl -1. Rerata jumlah tunas terendah diperoleh pada media tanpa gula (Tabel 3.4). Semakin tinggi konsentrasi gula pada media, rerata jumlah tunas lili cenderung meningkat pada media G0, G1, G2 dan G3. Hasil ini berbeda dengan penelitian Godo et al. (1998) bahwa sukrosa 20 gl -1 berpengaruh terhadap penurunan regenerasi tunas.
29
Tabel 3.4 Pengaruh jenis media dan kondisi kultur pada kalus lili Perlakuan Jumlah Tunas Tinggi Planlet Jumlah Daun (cm) Macam Media G0 1.277 c 1.972 c 2.978 a G1 3.845 a 3.620 b 3.113 a G2 4.453 a 2.710 cb 3.272 a G3 4.488 a 3.148 cb 2.558 a G4 4.487 a 5.028 a 2.782 a G5 2.583 b 4.800 a 2.903 a Kondisi Kultur Gelap 3.953 a 4.071 a 3.176 a Terang 2.982 b 3.022 b 3.022 a
Jumlah Akar
0.500 c 3.570 b 3.693 b 4.277 ab 6.443 a 5.305 ab 4.622 a 3.254 b
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada lajur yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5% . G0= MS tanpa gula, G1= MS+ 15 gl-1 gula, G2= MS+ 30 gl-1 gula , G3= MS+ 45 gl-1 gula, G4= MS+ 60 gl-1 gula, G5= MS+ 75 gl-1 gula.
Rerata jumlah tunas menurun pada konsentrasi gula 75 gl-1, hal serupa juga terjadi pada penelitian Bonnier dan van Tuyl (1997) bahwa peningkatan konsentrasi sukrosa dari 6% hingga 9% menurunkan pertumbuhan tunas pada lili longiflorum. Kombinasi konsentrasi sukrosa yang tinggi dan konsentrasi garam yang rendah dapat meminimalisir aktivitas metabolik, sehingga baik untuk penyimpanan lili secara in vitro (van Tuyl dan Holsteijn 1996). Tinggi planlet tertinggi diperoleh pada media yang mengandung 60 gl-1 gula. Pemberian gula 60 gl-1 dan 75 gl-1 pada media memberikan pengaruh yang sama terhadap tinggi planlet. Konsentrasi gula tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun. Gula dengan konsentrasi 60 gl-1 menghasilkan jumlah akar terbanyak. Kondisi gelap dalam ruang kultur berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas, tinggi planlet serta jumlah akar apabila dibandingkan dengan kondisi terang. Pada kondisi gelap rerata jumlah tunas, tinggi planlet dan jumlah akar cenderung lebih tinggi dibandingkan kondisi terang atau ada cahaya. Kondisi tanpa cahaya dan ada cahaya tidak mempengaruhi jumlah daun pada 6 bsk (bulan setelah kultur) (Tabel 3.4). A
B
C
D
E
F
Gambar 3.9 . Pembentukan umbi pada beberapa media dalam kondisi gelap. Media G0 = MS tanpa gula (A), Media G1 = MS+ 15 gl-1 gula (B), Media G2= MS+ 30 gl-1 gula (C), Media G3 = MS+ 45 gl-1 gula (D), Media G4= MS+ 60 gl-1 gula (E) dan Media G5 = MS+ 75 gl-1 gula (F). Gambar 3.9 menunjukkan respon umbi yang terbentuk pada beberapa media 8 bulan setelah kultur. Pada kondisi gelap, umbi yang terbentuk berwarna putih. Umbi ini akan berwarna hijau apabila dipindahkan pada kondisi kultur dengan cahaya.
30
A
B
C
F
E
H
D
J
I
K
G
L
Gambar 3.10. Aklimatisasi planlet lili.Umbi lili yang berasal dari kultur jaringan (A, B, C). Tanaman lili yang berasal dari kultur jaringan umur 6 bulan setelah tanam (D dan E). Tanaman lili yang siap ditanam secara individu 6 bulan setelah tanam (F, G, H). Tanaman lili yang ditanam secara individu dalam polibag (I, J, K). Tanaman lili umur 10 bulan setelah tanam (L). Tahap akhir perbanyakan lili secara in vitro yaitu aklimatisasi. Aklimatisasi merupakan proses penyesuaian planlet dari kondisi in vitro ke kondisi alamiah di rumah kaca. Aklimatisasi umbi dan planlet lili hasil kultur in vitro dilakukan pada saat planlet telah membentuk umbi, kurang lebih 1 tahun setelah kultur tangkai sari bunga lili. Tahapan aklimatisasi meliputi beberapa kegiatan antara lain umbi dan planlet lili dicuci dengan air bersih, selanjutnya daun dihilangkan dari bagian akar dan umbi. Umbi di rendam dalam larutan fungisida dan bakterisida. Umbi yang telah direndam selanjutnya dikering anginkan dan ditanam dalam bak- bak tanam (Gambar 3.10 A, B, C). Dua bulan setelah tanam, umbi yang ditanam akan membentuk tunas dan daun (3.10 D, E, F). Enam bulan berikutnya, tanaman lili yang sudah siap ditanam secara individu di pisahkan (3.10 G - L) dan ditanam dalam polibag (3.10 M, N, O). Perbesaran umbi dan tanaman lili dilakukan dalam pot yang lebih besar (Gambar 3.10 P,Q,R). Simpulan 1. Pembentukan umbi secara optimal terbentuk pada kondisi gelap dan pada media yang mengandung 45 gl-1 gula. 2. Konsentrasi gula berpengaruh dalam pembentukan umbi lili. Konsentrasi gula 45 gl-1 menghasilkan jumlah umbi serta jumlah tunas terbanyak.
31
4 PENINGKATAN KERAGAMAN IN VITRO LILI DENGAN INDUKSI MUTASI 4.1 Peningkatan keragaman genetik in vitro lili dengan sinar Gamma Abstrak Keragaman tanaman lili dapat diperoleh melalui induksi mutasi. Radiosensitivitas tanaman terhadap sinar Gamma berbeda pada tiap kultivar yang digunakan. Tujuan penelitian ini ialah mendapatkan dosis letal (LD-50) serta dosis sinar Gamma yang dapat menginduksi keragaman planlet lili serta variasi yang dihasilkan. Penelitian ini menggunakan kalus lili Oriental cv. Sorbon dan lili Asiatik cv. Purple Maroon sebagai materi iradiasi. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan 10 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan induksi mutasi dengan iradiasi sinar Gamma terdiri atas beberapa dosis yaitu 0, 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90 dan 100 Gray. Peubah yang diamati ialah persentase kalus hidup setelah iradiasi sinar Gamma, jumlah tunas, jumlah daun, tinggi planlet, dan total planlet hidup. Hasil analisis menggunakan Curve Expert 1.4 menunjukkan bahwa dosis letal (LD50) lili Oriental cv. Sorbon diperoleh pada dosis 46.68 Gray dan lili Asiatik cv. Purple Maroon pada dosis 33.49 Gray. Semakin tinggi dosis iradiasi akan menurunkan persentase kalus hidup pada kedua jenis lili. Kata kunci : Radiosensitivitas, lili, Sinar Gamma, iradiasi. Abstract The variation of Oriental lily cv. Sorbon and Asiatic lily cv. Purple Maroon were induced by Gamma irradiation. Radiosensitivity of plant to irradiation was different for different cultivars. The objectives of the experiment were to find out the optimum dosis for inducing variation and variation of planlets. Completely Random Design were used in this experiment. Dosis of Gamma irradiation were 0,10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90 and 100 Gray. Observed variable were percentage of callus survive after irradiation, total number of shoots, total number of leaves, planlets height and total of survival planlets. The result showed that lethal dose (LD-50 ) was achived on 46.68 Gray (Oriental lili cv. Sorbon) and 33.49 Gray (Asiatic lili cv. Purple Maroon). The higher dose of Gamma irradiation decreased percentage of survival callus both of lili cultivars. Keywords: Radiosensitivitas, lily, Gamma irradiation. Pendahuluan Keragaman tanaman lili umumnya diperoleh melalui persilangan interspesifik (van Tuyl dan Lim 2003). Persilangan interspesifik ini memiliki beberapa kelemahan, antara lain memerlukan waktu yang cukup lama sekitar 2- 3 tahun dari tebar benih hingga bunga pertama, sedangkan perbanyakan vegetatifnya memerlukan waktu sekitar 3-5 tahun. Kelemahan lain ialah adanya hambatan sebelum dan sesudah fertilisasi ( pre and post fertilization barrier).
32
Persilangan antara lili Longiflorum x Asiatik dan lili Oriental x Asiatik umumnya steril. Sterilitas ini disebabkan adanya perpasangan kromosom yang tidak teratur selama meiosis (Lim et al. 2000). Beberapa cara yang dilakukan untuk mengatasi masalah pre fertilisasi ini antara lain melalui cut style technique, grafted style methode, perlakuan zat pengatur tumbuh, maupun polinasi secara in vitro. Hambatan post fertilisasi dilakukan dengan embrio rescue, kultur embrio, kultur ovul dan ovary slice culture (Wang et al. 2009). Cara lain untuk mengatasi masalah ini yaitu melalui induksi mutasi. Induksi mutasi merupakan salah satu cara untuk meningkatkan keragaman genetik tanaman melalui proses perubahan struktural gen atau kromosom. Pengaruh bahan mutagen khususnya iradiasi yang paling sering terjadi adalah aberasi kromosom. Perubahan yang terjadi pada struktur kromosom antara lain translokasi, inversi, duplikasi dan delesi. Translokasi terjadi bila benang kromosom patah, dan patahan benang kromosom bergabung kembali dengan cara pindah atau bertukar pasangan dengan kromosom lain, sehingga terbentuk pasangan kromosom baru yang berbeda dengan aslinya. Inversi terjadi karena kromosom patah secara simultan dan bagian yang patah berotasi 180 ° dan menyatu kembali. Duplikasi merupakan peningkatan jumlah gen pada kondisi diploid, sedangkan delesi adalah penghilangan satu atau lebih bagian gen pada kromosom (van Harten 1998). Keberhasilan pemanfaatan teknik induksi mutasi antara lain perubahan morfologi dan warna bunga pada Chrysanthemum morifolium (Lamseejan et al. 2000), (Datta et al. 2005, Barakat et al. 2010), tahan cekaman kekeringan pada Vigna radiata L.Wilczek (Dhole dan Reddy 2010), peningkatan hasil dan perbaikan genotipe Dioscorea rotundata (Nwachukwu et al. 2009), peningkatan pertumbuhan dan hasil biji okra (Abelmoschus esculentus L. Monech) (Hegazi and Hamideldin. 2010), dan mutan novelty pada petunia (Berenschot et al. 2008). Induksi mutasi juga digunakan untuk mendapatkan tanaman bunga matahari yang tahan terhadap imidazolinone ( Sala et al. 2008), perubahan warna dan ukuran petal pada anyelir (Aisyah et al. 2009), perubahan morfologi bunga dan mutasi klorofil pada curcuma alismatifolia ( Abdullah et al. 2009) serta mutasi pada cabe ( Omar et al. 2008). Radiosensitivitas merupakan tingkat sensitivitas tanaman terhadap radiasi (van Harten 1998). Uji radiosensitivitas dilakukan untuk mendapatkan dosis iradiasi yang efektif menghasilkan mutan dan mengetahui frekuensi serta spektrum mutasi (Abdullah et al. 2009). Respon sel pada tanaman tingkat tinggi terhadap mutagen fisik maupun kimia dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor biologi, lingkungan dan faktor kimia. Faktor ini menentukan efektivitas mutasi per unit dosis dan efisiensi mutasi yaitu rasio mutasi yang dapat mengenai dan memberi pengaruh pada sel tanaman misalnya kerusakan kromosom. Pada biji yang diiradiasi, faktor lain yang berpengaruh penting ialah oksigen dan kandungan air, penyimpanan biji setelah radiasi, serta suhu. Sedangkan iradiasi pada jaringan tanaman dipengaruhi juga oleh stadia perkembangan tanaman termasuk diantaranya hubungan sintesis DNA dan laju dosis, volume inti sel dan interfase kromosom serta faktor genetik (IAEA 1977). Tujuan penelitian ini ialah (1) mendapatkan dosis letal (LD-50) iradiasi sinar Gamma, (2) mendapatkan dosis sinar Gamma yang dapat menginduksi keragaman planlet lili serta variasi yang dihasilkan.
33
Bahan dan Metode Penelitian dilaksanakan di laboratorium kultur jaringan Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Hias Cipanas dan Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR) Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) Pasar Jumat, Jakarta. Penelitian dilakukan dari bulan Januari sampai dengan Desember 2011. Bahan yang digunakan ialah kalus yang berasal dari kultur tangkai sari bunga lili Oriental cv. Sorbon dan lili Asiatik cv. Purple Maroon . Alat yang digunakan yaitu Gamma chamber, laminair air flow, botol kultur, pinset, pisau kultur, petridish dan selotip. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap satu faktor, yaitu perlakuan dosis iradiasi sinar Gamma dengan beberapa taraf dosis yaitu 0,10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90 dan 100 Gy. Percobaan terdiri atas 3 ulangan, 10 perlakuan, tiap perlakuan 10 botol dan satuan pengamatan 10 botol, sehingga terdapat 300 satuan percobaan. Prosedur Pelaksanaan Tahapan percobaan meliputi persiapan bahan tanaman, perlakuan induksi mutasi, penanaman atau subkultur planlet yang diiradiasi, penentuan dosis letal 50%, pembentukan populasi MV1 sampai MV3 dan seleksi mutan (Gambar 4.1).. B
A
F
C
D
E
Gambar 4.1. Tahapan induksi mutasi kalus lili dengan sinar Gamma dan pembentukan populasi hasil mutasi. Tangkai sari bunga sebagai eksplan (A), Kalus yang terbentuk dari tangkai sari bunga sebagai bahan untuk iradiasi (B), Gamma Chamber untuk iradiasi kalus lili (C), Planlet hasil regenerasi kalus teriradiasi (D), Umbi lili yang terbentuk dari planlet teriradiasi (E), Planlet generasi MV1 yang diperbanyak dengan umbi (F). Tahap awal penelitian dilakukan dengan melakukan sterilisasi eksplan kuncup bunga, dengan cara membersihkan kuncup bunga dengan air mengalir, selanjutnya dicuci dengan detergen dan dibilas dengan air bersih. Kuncup bunga selanjutnya direndam dalam larutan streptomisin sulfat 20% dan benomil 50% selama 30 menit, dilanjutkan dengan perendaman dengan klorok 5% selama 10 menit. Kuncup bunga dibilas dengan aquades steril hingga bersih. Di dalam
34
laminair air flow cabinet (LAF), kuncup bunga direndam dalam alkohol 70% selama 5 menit, klorok 5% selama 10 menit dan dibilas aquades hingga bersih. Tahap selanjutnya, kuncup bunga dibuka dan diambil bagian tangkai sarinya. Tangkai sari bunga dipotong ± 0.5 cm dan ditanam pada media induksi kalus. Eksplan yang telah ditanam di tempatkan dalam ruang gelap pada suhu ± 23º C. Kalus terbentuk 14- 31 hari setelah tanam. Kalus yang terbentuk selanjutnya di beri perlakuan iradiasi sinar Gamma pada beberapa dosis Pada tahap iradiasi, kalus ditempatkan pada Gamma Chamber dan dilakukan penembakan dengan sinar Gamma menggunakan bahan aktif Cobalt60. Peubah yang diamati meliputi (1) persentase kalus hidup setelah iradiasi sinar Gamma, (2) jumlah tunas yang terbentuk setelah iradiasi, (3) tinggi planlet, (4) jumlah daun dan (5) jumlah planlet hidup. Analisis data menggunakan program IBM SPSS Statistic 19. Hasil dan Pembahasan 1. Iradiasi sinar Gamma lili Oriental cv. Sorbon Iradiasi sinar Gamma pada kalus lili menunjukkan adanya keragaman planlet. Dosis letal 50 (LD-50) lili Oriental cv. Sorbon menggunakan program curve expert 1.4, diperoleh dosis 46.68 Gy dengan persamaan linear Y= 84.08 – 0.73 X (Gambar 4.2). Perhitungan LD-50 ini diperoleh 6 bulan setelah iradiasi. Y 110
% Kalus hidup
100
Y= 84.08 – 0.73 X , LD50 = 46.68 Gy
90 80
r = 0.94
70 60 50 40 30 20 10
X
0 -10
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
110
Dosis iradiasi sinar Gamma
Gambar 4.2 Grafik persentase kalus hidup dan letal dosis 50% (LD50) lili Oriental cv.Sorbon Gambar 4.2 menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis iradiasi sinar Gamma, semakin rendah persentase kalus hidup lili cv.Sorbon. Hasil ini sejalan dengan penelitian sebelumnya, Datta et al. (2005) pada tanaman Chrysanthemum, Nwachukwu et al. (2010) pada tanaman Dioscorea rotundata, Barakat et al. (2010) pada Chrysanthemum cv. Delistar White, Berenschot et al. (2008) pada tanaman petunia serta Abdullah et al. (2009) pada tanaman Curcuma alismotifolia. Persamaan linier yang diperoleh pada induksi mutasi lili dengan sinar Gamma ini juga mendukung penelitian IAEA (1977), bahwa frekuensi mutasi
35
meningkat dengan meningkatnya dosis sinar X dan sinar Gamma, namun kemampuan hidup dan regenerasi menurun dengan meningkatnya dosis. Tabel 4.1 Persentase kalus hidup, jumlah tunas, jumlah daun, tinggi planlet dan jumlah planlet hidup lili Oriental cv.Sorbon pada berbagai dosis sinar Gamma Dosis (Gy) Kontrol 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
%Kalus hidup (%) 90.47 a 90.00 a 80.00 ab 77.78 ab 65.56 bc 64.44 bc 53.33 c 50.00 c 24.60 d 21.33 d 20.66 d
Jumlah Tunas 1.60 a 1.00 ab 1.50 a 0.67 ab 0.67 ab 0.67 ab 0.33 b 0.33 b 0.33 b 0.33 b 0.33 b
Jumlah Daun 4.83 a 1.39 b 1.39 b 1.33 b 1.00 b 0.67 b 0.33 b 1.00 b 1.33 b 1.00 b 1.00 b
Tinggi Planlet 1.35 a 0.97 ab 0.93 ab 0.57 ab 0.56 ab 0.21 b 0.20 b 0.20 b 0.20 b 0.23 b 0.23 b
Total Planlet Hidup 27 27 24 23 20 19 16 15 7 6 6
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada lajur yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5% .
Tabel 4.1 juga menunjukkan bahwa terdapat tiga pengaruh iradiasi sinar Gamma pada tanaman yaitu kerusakan fisiologis, mutasi gen dan mutasi kromosom. Pengaruh ini ditandai dengan terjadinya penurunan kemampuan tumbuh dengan semakin meningkatnya dosis sinar Gamma, serta adanya kecenderungan terjadi penurunan tinggi tanaman dan jumlah daun (Nwachukwu et al. 2010). 2. Iradiasi sinar Gamma lili Asiatik cv. Purple Maroon Dosis letal 50 lili Asiatik cv. Purple Maroon diperoleh pada dosis 33.49 Gy dengan persamaan linier Y=70.5 – 0.61 X (Gambar 4.3). LD-50 pada dosis ini diperoleh 6 bulan setelah iradiasi. Respon kalus lili Asiatik cv.Purple Maroon terhadap iradiasi sinar Gamma hampir sama dengan lili Oriental cv.Sorbon, yaitu semakin tinggi dosis iradiasi maka semakin rendah persentase kalus hidup. Berdasarkan letal dosis yang diperoleh, dosis lili Asiatik yang menyebabkan kematian kalus 50% lebih rendah dibandingkan lili Oriental. Radiosensitivitas kalus lili terhadap iradiasi sinar Gamma ditentukan oleh faktor biologi seperti perbedaan genetik lili, faktor lingkungan, kandungan air, penyimpanan setelah iradiasi dan suhu (IAEA 1977). Kalus lili Asiatik lebih sensitif terhadap sinar Gamma dibandingkan dengan kalus lili Oriental (Tabel 4.1 dan 4.2). Dosis iradiasi sinar Gamma 30 Gy menyebabkan kematian 50 % kalus lili Asiatik, namun demikian tidak terjadi pada kalus lili Oriental. Semakin tinggi dosis iradiasi sinar Gamma menyebabkan penurunan kemampuan hidup kalus lili baik pada lili Asiatik maupun Oriental.
36
Y 100 90
Y=70.5 – 0.61 X LD50 = 33.49 Gy
% Kalus hidup
80
r = 0.87
70 60 50 40 30 20 10 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
X
Dosis iradiasi sinar Gamma
Gambar 4.3 Grafik persentase kalus hidup dan dosis letal dosis 50% (LD50) lili Asiatik cv. Purple Maroon. Meningkatnya dosis iradiasi sinar Gamma, menurunkan rerata tinggi planlet lili Asiatik cv. Purple Maroon dan lili Oriental cv. Sorbon hasil iradiasi (Tabel 4.1 dan 4.2). Hasil ini sejalan dengan penelitian Berenschot et al. (2008) bahwa dosis iradiasi yang tinggi mengurangi 44% planlet hidup dan 55.6 % kemampuan hidup berkecambah tanaman petunia. Tinggi kecambah petunia menurun pada dosis 40 dan 60 Gy. Dosis diatas 50 Gy atau lebih, tanaman krisan tidak menghasilkan tunas dan mati (Lamseejan et al. 2000). Tabel 4.2 Persentase kalus hidup, jumlah tunas, tinggi planlet, jumlah daun dan jumlah planlet lili Asiatik cv. PM pada berbagai dosis sinar Gamma Dosis (Gy) Kontrol 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
% Kalus hidup (%) 100.00 a 56.67 b 46.67 bc 50.00 b 33.33 cd 26.67 de 26.67 de 30.00 de 33.33 cd 16.67 e 16.67 e
Σ Tunas 2.33 a 2.00 ab 1.67 abc 1.67 abc 1.33 abc 1.50 abc 0.33 c 1.00 abc 0.78 bc 0.67 bc 1.00 abc
Tinggi planlet (cm) 1.03 a 0.90 ab 0.86 ab 0.57 ab 0.75 ab 0.51 ab 0.60 ab 0.60 ab 0.40 ab 0.40 ab 0.17 b
Σ Daun 5.20 a 5.56 a 2.83 ab 2.78 ab 2.78 ab 3.89 ab 3.89 ab 2.50 ab 2.00 ab 2.00 ab 0.33 b
Jumlah Planlet 30 17 14 15 10 8 8 9 9 5 3
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada lajur yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5% .
37
Gambar 4.4 menunjukkan respon kalus lili Asiatik cv. Purple Maroon hasil iradiasi sinar Gamma pada beberapa dosis. A
B
E
C
F
I
D
G
J
H
K
Gambar 4.4 Respon kalus kontrol (A) dan hasil iradiasi sinar Gamma. Iradiasi kalus pada dosis 10 Gy (B), 20 Gy (C), 30 Gy (D), 40 G (E), 50 (F), 60 Gy (G), 70 Gy (H), 80 Gy (I), 90 Gy (J) dan 100 Gy (K) 3. Analisis keragaman planlet lili hasil induksi mutasi berdasarkan karakter morfologi Salah satu pengaruh yang ditimbulkan iradiasi sinar Gamma dan mutagen kimia yaitu adanya perubahan morfologi tanaman. Demikian halnya yang terjadi pada kalus lili yang diinduksi dengan mutagen. Perubahan morfologi dan keragaman genetik yang disebabkan iradiasi sinar Gamma banyak terjadi pada dosis 10 Gray. Perubahan ke arah positif diantaranya terbentuknya umbi diatas umbi pada kalus lili yang diiradiasi pada dosis 10 Gray (Gambar 4.5 A dan B). Hasil ini selanjutnya diseleksi dan dikembangkan terutama untuk produksi benih dalam bentuk umbi. Dosis di atas 50 Gray menyebabkan perubahan morfologi namun lebih kearah abnormal dan kalus cenderung tidak berkembang menjadi planlet (Gambar 4.5 C) serta bentuk daun seperti corong (4.5 D). Pertumbuhan abnormal yang lainnya antara lain daun berbentuk bulat panjang seperti jarum (Gambar 4.5 F) dan daun berukuran lebih lebar menggulung (Gambar 4.5 G).
38
B
A
E
C
F
D
G
Gambar 4.5. Perubahan morfologi planlet lili hasil iradiasi sinar Gamma. Umbi terbentuk di atas umbi utama, hasil iradiasi sinar Gamma 10 Gy (A dan B), Kalus berwarna kuning dan berkembang membentuk daun yang abnormal, hasil iradiasi sinar Gamma 40 Gy (C dan E) serta Daun berbentuk corong, hasil iradiasi sinar Gamma 10 Gy (D), Daun bulat memanjang seperti jarum, hasil iradiasi sinar Gamma 40 Gy (F) dan Daun berukuran lebih besar dan menggulung, hasil iradiasi sinar Gamma 10 Gy (G). Induksi mutasi berkaitan dengan frekuensi dan spektrum mutasi. Frekuensi merupakan jumlah mutan per populasi yang ada. Tabel 4.4 menunjukkan frekuensi mutasi serta perubahan morfologi akibat iradiasi sinar Gamma. Tabel 4.3 Keragaman planlet lili hasil induksi mutasi sinar Gamma berdasarkan karakter morfologi (8 bulan setelah kultur). Penampilan Morfologi Daun Tebal Daun bentuk corong Umbi terbentuk diatas umbi Ukuran daun lebih lebar
Jenis lili PM (Asiatik) Sorbon (Oriental ) Sorbon (Oriental) PM (Asiatik)
Frekuensi 0.13 0.03 0.07 0.13
Simpulan 1. Radiosensitivitas kalus lili terhadap sinar Gamma dan letal dosis (LD-50) berbeda, tergantung kultivar lili yang digunakan. Letal dosis (LD-50) lili Asiatik cv. Purple Maroon diperoleh pada dosis 33. 49 Gy, sedangkan lili Oriental cv. Sorbon diperoleh pada dosis 46.68 Gy. 2. Keragaman planlet lili dapat diperoleh menggunakan sinar Gamma. Keragaman diperoleh pada dosis 10 Gy.
39
4.2 Peningkatan keragaman genetik in vitro lili dengan mutagen kimia (Ethyl methanosulfonat/EMS) Abstrak Induksi mutasi dengan mutagen kimia dapat meningkatkan keragaman genetik tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi mutagen kimia EMS yang dapat menginduksi keragaman planlet lili. Bahan yang digunakan ialah kalus lili Oriental cv. Frutty Pink dan lili Asiatik cv. Purple Maroon yang diinduksi dari tangkai sari bunga. Konsentrasi EMS yang digunakan antara lain 0, 0.1, 0.2, 0.3, 0.4 dan 0.5 mll-1. Pada konsentrasi tersebut belum diperoleh letal konsentrasi. Namun konsentrasi EMS yang diujikan berpengaruh terhadap persentase kalus membentuk tunas serta tinggi tunas pada lili Asiatik. Konsentrasi EMS juga berpengaruh terhadap persentase kalus yang hidup serta persentase kalus membentuk tunas pada lili Oriental. Kata kunci : Induksi keragaman, EMS, lili Asiatik, lili Oriental Abstract The chemical mutagen was increasing plant genetic variability. The objective of this study was to obtain best concentration of chemical mutagen (EMS) to enhance genetic variability of lily plantlet. Callus of Oriental lily cv. Frutty Pink and Asiatic lily cv. Purple Maroon were used as materials. This callus were induced from filaments. EMS concentrations were 0.1, 0.2, 0.3, 0.4 dan 0.5 mll-1. These concentrations were not caused lethal concentration yet. Percentage of shoots and height of shoots of Asiatic lily were significantly different among these concentrations. Otherwise, percentage of survival callus and shoots were significantly different among these concentration for Oriental lily. Key words : Induce variability, EMS, Asiatic lily, Oriental lily. Pendahuluan Mutagenesis merupakan salah satu cara untuk menghasilkan keragaman genetik pada tanaman hias. Mutagenesis digunakan sebagai alat potensial dalam memperoleh gen baru dan analisis gen. Keuntungan mutagenesis diantaranya dapat menginduksi keragaman genetik tanaman dalam jumlah besar, teknologinya sederhana, relatif murah, dapat diterapkan pada semua species tanaman serta dapat digunakan dalam skala kecil atau besar (Berenschot et al. 2008). Salah satu induksi mutagenesis yang dapat digunakan yaitu mutagen kimia. Mutagen kimia diklasifikasikan dalam 4 kelompok yaitu antibiotik, alkylating agent, basa analog, azide serta hydroxylamine. Mutagen kimia yang umum digunakan ialah EMS (Ethyl methane sulfonate). EMS merupakan kelompok alkylating agent, senyawa ini mempunyai satu atau lebih alkyl reaktif yang dapat dipindahkan ke molekul lain dengan potensial elektron yang tinggi. Molekul ini beraksi dengan DNA oleh pengelat kelompok fosfat pada basa purin dan pirimidin. Kejadian yang sering terjadi adalah pembentukan 7 alkyl guanin (IAEA 1977).
40
Faktor penting dalam penggunaan mutagen kimia diantaranya konsentrasi mutagen, suhu dan pH larutan, eksplan yang digunakan, interaksi antara mutagen dengan media in vitro serta kondisi setelah perlakuan. Keuntungan penggunaan mutagen kimia yaitu dapat meningkatkan keragaman melalui mutasi titik, kerusakan kromosom lebih sedikit daripada mutagen fisik, spektrum mutasi berbeda dengan mutasi fisik serta frekuensi mutasi tinggi. Spektrum mutasi merupakan jumlah karakter yang terpengaruh karena mutagen. Sprektum mutasi ada dua yaitu spektrum sempit bila hanya satu karakter/ sifat yang berubah, sedangkan spektrum luas bila banyak karakter yang berubah. Sedangkan frekuensi mutasi merupakan jumlah mutan per populasi yang ada (van Harten 1998). EMS berbeda dengan radiasi ion dalam menginduksi mutasi , didasarkan atas rasio sterilitas mutan serta mutasi struktural yang dihasilkan. EMS lebih efektif 50% dibandingkan EI(Ethylen imine) dalam menghasilkan mutan (van Harten 1998). Tujuan penelitian ialah mendapatkan konsentrasi mutagen yang tepat untuk menginduksi keragaman planlet serta mendapatkan keragaman planlet hasil induksi mutasi. Bahan dan Metode Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Kebun Percobaan Cipanas BALITHI. Bahan yang digunakan yaitu kalus lili Asiatik cv. Purple Maroon dan lili Oriental cv. Frutty Pink. Konsentrasi mutagen kimia EMS yang digunakan ialah 0, 0.1, 0.2, 0.3, 0.4 dan 0.5 mll-1. Prosedur Pelaksanaan Tahapan percobaan meliputi persiapan bahan tanaman, pembuatan media yang mengandung mutagen kimia EMS pada beberapa konsentrasi serta penanaman kalus pada media perlakuan. Bahan tanaman yang digunakan ialah kalus lili Oriental dan Asiatik. Tahap pembuatan media dilakukan dengan cara menimbang bahan kimia media MS (Lampiran 1), mencampur semua bahan dan mengukur larutan media hingga pH larutan ± 5.8. Tahap selanjutnya, campuran media tersebut ditempatkan pada botol media dan diautoclave ± ½ jam. Media yang telah diautoclave di dinginkan hingga mencapai suhu ± 40 °C. Di dalam laminer, media di tambah dengan EMS dengan konsentrasi sesuai perlakuan yaitu 0.1, 0.2, 0.3, 0.4 dan 0.5 mll-1. Media yang telah megandung EMS dituang dalam botol kultur dan didinginkan. Tahapan selanjutnya, penanaman kalus lili pada media perlakuan. Peubah yang diamati meliputi persentase kalus hidup, persentase kalus membentuk tunas, tinggi planlet serta jumlah daun. Pengamatan dilakukan 20 hari setelah kultur. Analisis data menggunakan program IBM SPSS Statistic 19. Hasil dan Pembahasan 1. Induksi mutagen EMS pada lili Asiatik cv. Purple Maroon (PM) Induksi mutasi dengan mutagen kimia EMS pada 5 macam konsentrasi yang diujikan belum diperoleh letal konsentrasi (LC-50). Beberapa macam konsentrasi
41
EMS berpengaruh terhadap kemampuan kalus lili Asiatik cv.PM membentuk tunas (Tabel 4.4) dan tinggi planlet (Gambar 4.6). Semakin tinggi konsentrasi EMS, jumlah kalus membentuk tunas semakin sedikit. Tabel 4.4 Persentase kalus hidup dan persentase kalus membentuk tunas planlet lili Asiatik cv.PM hasil induksi mutasi kimia EMS (20 HSK) Konsentrasi EMS (ml/l)
% Kalus hidup % Kalus membentuk tunas (%) (%) E0 (kontrol) 16.4 a 37.77 a E1 (0.10) 13.2 a 36.67 a E2 (0.20) 14.6 a 32.23 ab E3 (0.30) 14.1 a 20.00 bc E4 (0.40) 13.9 a 17.77 bc E5 (0.50) 12.8 a 12.23 c Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada lajur yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%.
Tinggi Planlet
Konsentrasi EMS berpengaruh terhadap tinggi planlet. Semakin tinggi konsentrasi EMS menyebabkan hambatan perpanjangan sel yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi planlet (Gambar 4.6). 1.2 1.13 a 0.84 ab 0.88 ab
1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 E0
E1
E2
0.74 ab
0.67 ab 0.63 b
E3
E4
E5
Konsentrasi EMS
Jumlah Daun
Gambar 4.6. Pengaruh konsentrasi EMS terhadap tinggi planlet lili Asiatik cv. PM (20 HSK) 5.5 5
5.08
4.91 4.79
4.59
4.5
4.38
4.58
4 E0
E1
E2
E3
E4
E5
Konsentrasi EMS Gambar 4.7. Pengaruh konsentrasi EMS terhadap jumlah daun lili Asiatik cv. PM
42
Konsentrasi EMS tidak mempengaruhi persentase kalus hidup (Tabel 4.5) dan jumlah daun planlet lili Asiatik cv. PM (Gambar 4.7). Dengan konsentrasi tersebut kalus masih mampu tumbuh dengan baik, namun berpengaruh terhadap persentase kalus membentuk tunas. Hasil ini menunjukkan adanya kemungkinan EMS menghambat perkembangan kalus membentuk tunas. EMS merupakan senyawa kimia yang menyebabkan kerusakan fisiologi dan mutasi titik. Kerusakan fisiologi umumnya terjadi pada generasi M1 (IAEA 1977). Sejalan dengan penelitian Berenschot et al. (2008), EMS juga dapat menyebabkan penyimpangan perkembangan dan mengurangi viabilitas tanaman petunia. 2. Induksi mutagen EMS pada lili Oriental cv. Frutty Pink (FP) Beberapa konsentrasi EMS yang digunakan dalam induksi mutasi pada lili Oriental cv. Frutty Pink juga belum menyebabkan letal konsentrasi. Namun mutagen EMS berpengaruh terhadap persentase kalus hidup dan persentase kalus membentuk tunas (Tabel 4.5). Tabel 4.5 Persentase kalus hidup dan persentase kalus membentuk tunas lili Oriental cv.FP hasil induk si mutasi kimia EMS (20 HSK) Konsentrasi EMS (ml/l) % Kalus hidup % Kalus membentuk tunas (%) (%) E0 (kontrol) 15.33 a 9.13 a E1 (0.10) 14.67 ab 6.93 ab E2 (0.20) 10.00 bc 6.57 ab E3 (0.30) 8.67 c 6.30 ab E4 (0.40) 8.67 c 2.23 c E5 (0.50) 7.00 c 4.43 bc Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada lajur yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5% . Konsentrasi EMS tidak mempengaruhi tinggi planlet (Gambar 4.8) maupun jumlah daun (Gambar 4.9).
Tinggi Planlet
1 0.8
0.82
0.71
0.7
0.7
0.74 0.53
0.6 0.4 0.2 0 E0
E1
E2
E3
E4
E5
Konsentrasi EMS Gambar 4.8 Pengaruh konsentrasi EMS terhadap tinggi planlet lili Oriental cv. FP (20 HSK)
Jumlah Daun
43
5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
4.32
E0
3.82
E1
4.28
E2
4.56
4.6
4.5
E3
E4
E5
Konsentrasi EMS Gambar 4.9 Pengaruh konsentrasi EMS terhadap jumlah daun lili Oriental cv. Frutty Pink (20 HSK) Sensitivitas kalus terhadap mutagen EMS pada kedua jenis lili berbeda. Kalus lili Asiatik cv. PM yang di induksi EMS dengan konsentrasi sama (0.2, 0.3, 0.4 dan 0.5 mml-1) memiliki persentase kalus hidup lebih tinggi dibandingkan kalus lili Oriental cv. FP. Sensitivitas bahan tanaman terhadap mutagen dipengaruhi oleh faktor biologi, lingkungan dan faktor kimia. Faktor lingkungan diantaranya kandungan air dan suhu, sedangkan faktor biologi yaitu perbedaan genetik dan varietas. Faktor kimia yang berpengaruh yaitu EMS yang mengandung gugus methyl dan berperan dalam proses me-nonaktifkan atau mengubah basa yang disebut dengan proses methilasi yang mengubah cytosin menjadi thimin (IAEA 1977). 3. Analisis keragaman planlet lili hasil induksi mutasi berdasarkan karakter morfologi Pengaruh induksi mutasi ditunjukkan dengan adanya perubahan morfologi dan keragaman genetik tanaman. Perubahan morfologi tersebut antara lain daun planlet lili menjadi lebih tebal (Gambar 4.10A), daun membentuk rumpun (Gambar 4.10B), daun berbentuk spiral (Gambar 4.10 D dan E). Planlet lili hasil induksi mutasi dengan mutagen kimia EMS menunjukkan adanya keragaman. Perbedaan pengaruh mutagen sinar Gamma maupun EMS dapat dilihat dari frekuensi terjadinya perubahan secara morfologi juga sterilitas. Frekuensi mutasi dengan EMS pada planlet lili sekitar 0.03 – 0.26. Sterilitas tanaman akibat mutagen kimia ini lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan sinar X namun frekuensi mutasi lebih tinggi bila menggunakan mutagen kimia (van Harten 1998). Hasil penelitian ini (kecuali frekuensi terjadinya daun roset) sejalan dengan penelitian van Harten (1998) pada tanaman barley, bahwa frekuensi terjadinya mutan sama dan atau lebih banyak diperoleh melalui induksi mutasi dengan EMS dibanding sinar Gamma.
44
Tabel 4.6 Keragaman planlet lili Asiatik cv. PM dan lili Oriental cv. FP hasil induksi mutasi berdasarkan karakter morfologi Penampilan Morfologi
Jenis lili
Daun Tebal Daun membentuk rumpun Daun bentuk spiral Daun bentuk jarum Daun roset
Jenis induksi mutasi EMS (0,4 ml/l) EMS (0,4 ml/l) EMS (0,4 ml/l) EMS (0,3 ml/l) EMS (0,5 ml/l)
FP (Oriental) PM (Asiatik) PM (Asiatik) PM (Asiatik) FP (Oriental)
A
B
D
Frekuensi 0.26 0.13 0.16 0.13 0.03
C
E
Gambar 4.10. Keragaman morfologi planlet lili hasil induksi mutasi dengan EMS. Daun tebal dengan dua warna, hasil induksi EMS 0.04 ml/l (A), Daun membentuk rumpun, hasil induksi EMS 0.4 ml/l (B), Daun keriting dan mengecil seperti jarum, hasil induksi EMS 0.3 ml/l (C), Daun berbentuk spiral, hasil induksi EMS 0.4 ml/l (D dan E). 4. Pembentukan Populasi Planlet Hasil Induksi Mutasi Planlet atau tanaman hasil mutasi dapat dikatakan sebagai mutan apabila memiliki sifat stabil, baik stabil secara agronomi maupun genetik. Stabil secara agronomi apabila tanaman hasil induksi mutasi tersebut tidak berubah secara agronomi meskipun ditanam hingga beberapa generasi dan di beberapa lokasi yang berbeda. Stabil secara genetik apabila tanaman hasil induksi mutasi secara genetik tidak berubah meskipun ditanam hingga beberapa generasi. Untuk mendapatkan kestabilan mutan maka perlu adanya pembentukan populasi tanaman hasil mutasi yang ditanam pada beberapa generasi. Pembentukan populasi tanaman hasil mutan ini berbeda, tergantung jenis tanamannya. Pada tanaman padi, umumnya kestabilan diperoleh pada generasi ke tujuh. Tanaman
45
hias yang umumnya diperbanyak dengan bagian vegetatif, generasi tiga atau empat sudah dikategorikan stabil. A
D
G
C
B
E
I
F
J
Gambar 4.11 Tahapan pembentukan populasi planlet hasil induksi mutasi. Kalus yang diinduksi mutagen (A), Regenerasi kalus hasil induksi mutasi (B dan C), Planlet hasil induksi mutasi (D), Planlet hasil induksi mutasi yang telah membentuk umbi (E), Umbi dari generasi MV0 ditanam untuk mendapatkan planlet generasi MV1(F), Planlet generasi MV1 (G), Umbi generasi MV1 (I dan J). Pembentukan populasi planlet lili hasil induksi mutasi dilakukan hingga generasi ke tiga. Kalus yang telah diinduksi dengan mutagen diregenerasikan hingga membentuk planlet dan umbi (Generasi MV0) (Gambar 4.11 B, C, D dan E). Umbi generasi MV0 selanjutnya ditanam hingga beregenerasi dan membentuk umbi baru (Generasi MV1) (Gambar 4.11 F,G dan I) . Demikian seterusnya hingga mencapai generasi MV3. Planlet hasil regenerasi (MV3) selanjutnya diseleksi untuk mendapatkan mutan stabil. Mutan terseleksi digunakan sebagai materi pengujian ketahanan terhadap Fusarium oxysporum pada media yang mengandung fusaric acid. Subkultur planlet generasi MV0 ke MV1 dilakukan 6 bulan setelah iradiasi, perbanyakan planlet lili generasi MV1 ke MV2 dilakukan selama 6 bulan kultur.
46
Planlet generasi MV2 ke MV3 dilakukan selama 6 bulan kultur. Tabel 4.7 merupakan tahapan pembentukan populasi hasil mutasi secara skematis. Tabel 4.7 Tahapan pembentukan populasi planlet hasil mutasi. Generasi Perlakuan Tahap perkembangan Kalus (M0) M1V0
M1V1 M1V2 M1V3
Aplikasi mutagenik: 1.Iradiasi sinar Gamma 2.Induksi mutagen EMS Regenerasi kalus hasil induksi mutasi menjadi planlet dan umbi lili Subkultur umbi lili hasil induksi mutasi M1V0 Perbanyakan umbi M1V1 hingga membentuk planlet Subkultur umbi lili M1V2, Evaluasi penampilan klon-klon mutan, seleksi dan evaluasi karakter-karakter yang diinginkan
1.Kalus teriradiasi 2.Kalus hasil induksi mutagen EMS Planlet dan umbi lili
Umbi hasil mutasi generasi pertama Umbi hasil mutasi generasi kedua Umbi hasil mutasi generasi ketiga, Pemanfaatan umbi untuk seleksi ketahanan terhadap Fusarium oxysporum pada media yang mengandung fusaric acid
Selama pembentukan populasi planlet hasil mutasi dari MV0 sampai dengan MV3 terjadi beberapa perubahan yang terlihat secara morfologi. Perubahan morfologi planlet banyak terjadi pada generasi MV2, diantaranya daun menggulung (Gambar 4.12A,F,G), ukuran daun lebih besar dari planlet kontrol dan terbentuknya khimera serta perubahan warna pada daun (Gambar 4.12 C,D,E). Perubahan yang terjadi pada generasi MV3, antara lain daun berbentuk jarum (Gambar 4.12 B). A
B
E
Gambar4.12
C
F
D
G
Perubahan morfologi planlet hasil mutasi selama pembentukan populasi dari MV0 sampai dengan MV3.
47
Perubahan secara morfologi ini terkait adanya pengaruh induksi mutasi pada kalus lili. Mutagen berpengaruh terhadap perubahan susunan basa ataupun DNA tanaman. Mutagen kimia dapat berpengaruh terhadap metabolisme asam nukleat sehingga terjadi mutasi klorofil sekitar 0.8% (Van Harten 1988). Simpulan 1. Penggunaan mutagen kimia EMS belum menyebabkan letal konsentrasi, namun konsentrasi EMS pada media berpengaruh terhadap pembentukan tunas. 2. Keragaman planlet lili dapat diperoleh dengan induksi mutagen kimia EMS. Keragaman tersebut ditunjukkan dengan adanya perubahan morfologi pada konsentrasi EMS 0.3 – 0.5 mll-1.
48
5 SELEKSI IN VITRO PLANLET LILI HASIL INDUKSI MUTASI DENGAN FUSARIC ACID Abstrak Masa juvenil lili yang lama menjadi masalah dalam kegiatan pemuliaan lili. Seleksi in vitro merupakan salah satu cara mempercepat waktu seleksi dalam program pemuliaan lili. Tujuan penelitian ialah mendapatkan planlet lili hasil induksi mutasi yang tahan pada media seleksi yang mengandung fusaric acid (FA). Percobaan menggunakan planlet lili Asiatik cv. Purple Maroon dan lili Oriental cv. Frutty Pink hasil induksi mutasi. Planlet ditanam pada media yang mengandung beberapa konsentrasi fusaric acid. Konsentrasi FA yang digunakan yaitu 0, 0.05, 0.075, 0.1, 0.125, dan 0.15 mmoll-1. Planlet lili tahan FA dapat diperoleh melalui seleksi in vitro. Semakin tinggi konsentrasi FA pada media, semakin banyak planlet lili yang mengalami nekrosis. Pada konsentrasi FA yang sama, planlet lili Oriental lebih tahan terhadap FA dibandingkan lili Asiatik. Kata kunci : Lili Asiatik, Lili Oriental, fusaric acid, seleksi in vitro. Abstract One of the problem in lily breeding is long juvenility stage. In vitro selection was became solution to accelerate the breeding programme. The objective of this experiment was to select mutant lily planlet on media containing fusaric acid. Lily Asiatic cv. Purple Maroon and lily Oriental cv. Frutty Pink were used as selection materials. In vitro selection used media containing fusaric acid. The concentrations of fusaric acid were 0, 0.05, 0.075, 0.1, 0.125, and 0.15 mmoll-1. Increasing of fusaric acid concentration was increased necrotic planlets. Oriental lily cv. Frutty Pink was more resistant to fusaric acid than Asiatic lily cv.Purple Maroon on same concentration. Keywords : Asiatic lily, Oriental lily, fusaric acid, in vitro selection. Pendahuluan Seleksi invitro untuk ketahanan penyakit pada tanaman merupakan fenomena biologi yang melibatkan interaksi antara inang patogen dan faktor abiotik yang sesuai untuk perkembangan penyakit. Strategi yang sederhana dan mudah yaitu dengan kultur jaringan dengan melakukan seleksi varian somaklonal yang tahan patogen atau phytotoxin spesifik. Seleksi in vitro dengan phytotoxin ini lebih efisien karena screening/ penapisannya mudah dan mengurangi siklus breeding untuk pengembangan tanaman tahan penyakit (Chandra et al. 2010). Seleksi in vitro juga dapat mempersingkat tahapan pemuliaan tanaman terutama dalam memilih tanaman sesuai tujuan pemulia. Metode ini penting terutama untuk pemuliaan tanaman tahunan yang memerlukan waktu lama dalam menghasilkan varitas baru. Demikian halnya tanaman lili, pemuliaan lili secara konversional memerlukan waktu 4-5 tahun. Tahapan perkembangan dari biji hingga menjadi umbi komersial memerlukan waktu sekitar 2 tahun ( Straathof
49
dan Loffler 1994). Masa juvenil lama (2 - 3 tahun) dan seleksi memerlukan beberapa siklus pemuliaan untuk mendapatkan karakter sifat agronomi yang diinginkan (Wu et al. 2009). Selama pertumbuhan dan perbanyakan lili, terdapat tiga tahapan perkembangan. Tahap pertama meliputi induksi sisik umbi pada media in vitro atau media vermikulit di lapang. Sisik umbi selanjutnya ditumbuhkan pada lahan untuk satu musim hingga membentuk umbi tahunan. Tahap kedua merupakan pembentukan umbi tahunan yang ditanam pada musim tanam di tahun berikutnya. Umbi tahunan ini selanjutnya diproduksi untuk membentuk umbi komersial. Umbi komersial ini merupakan tahapan ketiga dalam pembentukan umbi lili yang siap diproduksi untuk menghasilkan bunga potong, tanaman pot maupun taman (Straathof 1994). Seleksi in vitro merupakan seleksi awal sebelum dilakukan seleksi di lapangan atau rumahkaca. Hasil seleksi in vitro ini selanjutnya diverifikasi dengan hasil seleksi di lapangan atau rumahkaca. Keunggulan metode seleksi in vitro antara lain penyaringan sifat yang diinginkan lebih terarah, tidak dipengaruhi lingkungan serta memungkinkan seleksi pada tingkat sel (Purnamaningsih dan Mariska 2005). Keberhasilan metode seleksi in vitro dalam kegiatan pemuliaan tanaman antara lain diperoleh tanaman jagung tahan Helminthosporium, tanaman barley tahan fusaric acid, tanaman tomat tahan Pseudomonas (Loffler dan Mouris 1992). Seleksi in vitro juga digunakan untuk mendapatkan tanaman gladiol tahan Fusarium oxysporum f.sp. gladioli (Remotti 1996) serta lili tahan cendawan Fusarium oxysporum f.sp. lilii (Straathof dan Loffler 1994). Keberhasilan seleksi in vitro dapat diperoleh dengan beberapa persyaratan yaitu (1) keragaman genetik planlet yang akan diseleksi dalam jumlah yang cukup. Jika keragaman genetik tidak mencukupi, maka dapat dilakukan peningkatan keragaman dengan cara induksi secara fisik maupun kimia. (2) Metode seleksi in vitro yang dilakukan mudah dan efisien untuk sifat yang diinginkan. (3) Karakter sifat yang dimiliki tanaman regeneran stabil dan tidak berubah. (4) Agen seleksi yang digunakan dalam seleksi in vitro sesuai untuk karakter sifat yang diinginkan (Remotti 1996). Seleksi in vitro lili umumnya dilakukan pada beberapa tahapan perkembangan antara lain tahap sisik umbi, umbi komersial, perkecambahan, planlet, tanaman individu dan klon (Straathof dan Loffler 1994). Seleksi in vitro menggunakan fusaric acid dilakukan untuk mendapatkan tanaman lili tahan cendawan Fusarium oxysporum. Fusaric acid digunakan sebagai agen seleksi karena fusaric acid merupakan salah satu toksin yang dihasilkan Fusarium oxysporum yang memiliki kemampuan phytotoksisitas yang bersifat racun pada tanaman (Loffler dan Mouris 1992). Konsentrasi fusaric acid yang digunakan untuk seleksi berbeda- beda. Seleksi in vitro pada gladiol menggunakan konsentrasi fusaric acid 0.12 mM dan 0.4 mM. Pertumbuhan cendawan menurunkan 50% kalus hidup dan 50% planlet yang diregenerasikan dari kalus tersebut meningkat toleransinya terhadap toksin (Remotti et al. 1996). Seleksi in vitro gladiol yang dilakukan pada 2 stadia yang berbeda yaitu tahap kalus dan tunas dengan konsentrasi 0.10- 0.14 mM FA , menunjukkan bahwa kalus masih mampu hidup pada media yang mengandung 0.5 mM. Pada saat diberi larutan konidia, miselia tumbuh dan terjadi hambatan dalam pertumbuhannya (Remotti and Loffler 1997). Hasil seleksi pada gladiol cv. Peter
50
Pears menunjukkan adanya peningkatan ketahanan terhadap FA pada konsentrasi 0.5 mM. Fusaric acid menurunkan regenerasi tanaman dan hanya diperoleh 2 tanaman gladiol dari kalus yang ditunbuhkan pada media yang mengandung FA (Remotti et al. 1997). Konsentrasi yang digunakan dalam seleksi in vitro pada barley ialah 0.8 mM FA. Seleksi pertama diperoleh hasil 80% kalus mati, dan pada seleksi ke empat, 8 – 11% kalus resisten diperoleh dan diregenerasikan menjadi tanaman. Kalus tahan yang ditanam pada media tanpa toksin mampu menyimpan resistensi setelah 3 bulan subkultur (Chawla dan Wenzel 2006). Seleksi in vitro pada pisang menggunakan konsentrasi 0.05 – 1.6 mM FA. Konsentrasi 0.1 mM FA pada media menyebabkan hambatan pertumbuhan pada pisang kultivar Maca dan Nanicao. Namun demikian seleksi in vitro dengan fusaric acid merupakan metode yang sangat bermanfaat untuk memperoleh tanaman tahan Fusarium, meskipun mekanisme toleransi tanaman yang diseleksi berbeda- beda (Matsumoto et al. 1995). Pada tomat, seleksi in vitro regeneran tahan fusaric acid pada konsentrasi 50 µg/ml, sedangkan pada kondisi lapang pada konsentrasi 300 µg/ml (Toyoda et al. 1988). Tujuan penelitian ialah mendapatkan planlet lili hasil induksi mutasi yang tahan pada media seleksi yang mengandung fusaric acid (FA). Bahan dan Metode Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Kebun Percobaan Cipanas BALITHI, Januari- Desember 2012. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap satu faktor, yaitu perlakuan konsentrasi fusaric acic pada media seleksi. Konsentrasi fusaric acid yang digunakan yaitu 0, 0.05, 0.075, 0.1, 0.125, dan 0.15 mmoll-1. Percobaan terdiri atas 5 perlakuan dan tiga ulangan. Tiap perlakuan terdiri atas 10 botol kultur dan satuan pengamatan 10 botol, sehingga terdapat 150 satuan percobaan. Bahan yang digunakan ialah planlet lili Oriental cv. Frutty Pink (FP) hasil induksi mutasi sinar Gamma dan planlet lili Asiatik cv.Purple Maroon (PM) hasil induksi mutagen EMS. Tahapan penelitian meliputi pembuatan media seleksi yang mengandung fusaric acid dan penanaman planlet hasil induksi mutasi generasi MV3. Planlet yang masih hidup selanjutnya diperbanyak dan diaklimatisasi di rumah kaca. Peubah yang diamati yaitu persentase planlet nekrosis, persentase daun kuning, persentase umbi busuk, persentase akar busuk dan persentase planlet hidup pada media seleksi. Analisis data menggunakan program IBM SPSS Statistic 19. Hasil dan Pembahasan Seleksi in vitro planlet lili hasil induksi mutasi dilakukan pada media seleksi yang mengandung beberapa konsentrasi fusaric acid (FA). Beberapa konsentrasi FA digunakan untuk memperoleh konsentrasi FA yang tepat dalam menghasilkan planlet lili tahan terhadap FA. Pertimbangan ini didasarkan bahwa pada konsentrasi FA yang tepat dapat menyebabkan pengaruh patogenik dan meracun pada tanaman. Fusaric acid pada konsentrasi rendah dapat menginduksi respon pertahanan tanaman rentan Fol sehingga meningkatkan aktivitas PPO (Plant Polyphenol oxidase). Planlet lili yang tahan terhadap FA ini selanjutnya
51
digunakan sebagai materi seleksi di lapangan menggunakan cendawan Fusarium oxysporum. 1. Seleksi in vitro planlet lili Asiatik cv. Purple Maroon (PM) Planlet lili Asiatik yang digunakan dalam seleksi in vitro merupakan planlet lili hasil induksi mutasi dengan mutagen EMS yang telah mencapai generasi MV3. Seleksi in vitro dengan media yang mengandung FA menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi FA, semakin tinggi persentase planlet yang mengalami nekrosis. Konsentrasi FA 0.1 mmol/l menyebabkan 50% planlet lili Asiatik cv. PM nekrosis. Konsentrasi FA lebih dari 0.1 mmol/l, menunjukkan tingkat nekrosis planlet yang meningkat (Tabel 5.1). Hasil ini terkait dengan kemampuan fusaric acid yang mampu menyebabkan pengaruh patogenik dan bersifat meracun pada jaringan tanaman. FA mampu menghambat PPO (Plant Polyphenol oxidase) dan PO (Peroxidase), enzim yang terlibat dalam pertahanan tanaman. Pada tanaman yang rentan, akumulasi FA pada jaringan lebih banyak dibandingkan tanaman tahan, sehingga penghambatan PPO dan PO juga semakin tinggi (Curir et al. 2000). Tabel 5.1 Seleksi in vitro planlet lili Asiatik cv.PM hasil induksi mutasi dengan EMS Konsentrasi % planlet % Jumlah % Umbi % Akar % Planlet (mmol/l) nekrotik daun kuning busuk busuk hidup (%) (%) (%) (%) (%) FA 0 (Kontrol) 0.00 e 0.00 d 0.00 c 0.00 c 100.00 d FA 1 (0.05) 16.67 d 1.67 c 1.08 b 3.73 b 43.00 a FA 2 (0.075) 33.33 c 1.83 c 1.23 b 3.94 ab 43.00 a FA 3 (0.1) 50.00 b 3.11 b 1.50 ab 3.93 ab 33.33 b FA 4 (0.125) 75.00 a 3.33 ab 1.81 ab 5.61 ab 26.67 c FA 5 (0.15) 88.89 a 4.37 a 2.67 a 7.33 a 23.33 c Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada lajur yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5% . Konsentrasi FA berpengaruh terhadap persentase jumlah daun menguning, umbi busuk, akar busuk serta persentase planlet yang mampu hidup pada media seleksi (Tabel 5.1). Fusaric acid merupakan salah satu toksin yang dihasilkan cendawan Fusarium oxysporum. Toksin ini dapat menginduksi gejala patogenesis dan meracun pada planlet lili secara in vitro dan sebagai agen yang dapat menyebabkan busuk umbi dan busuk akar pada tanaman lili (Curir et al. 2000). Cendawan Fusarium menginfeksi tanaman dengan mengeluarkan toksin, salah satunya fusaric acid. Pada tanaman rentan, tidak menghasilkan protein pertahanan sehingga tidak terjadi mekanisme pertahanan. Dengan demikian cendawan mudah masuk dan berkembang serta terjadi akumulasi FA yang tinggi. Selanjutnya fusaric acid merusak trans membran sel tanaman (Agrios 2004). Gambar 5.1 menunjukkan respon planlet lili pada media seleksi yang mengandung fusaric acid.
52
A
B
C
Gambar 5.1 Planlet lili hasil induksi mutasi pada media seleksi yang mengandung FA. Planlet lili pada media seleksi dengan konsentrasi FA 0.125 mmol/l (A dan C). Planlet lili pada media seleksi dengan konsentrasi FA 0.15 mmoll-1 (B). Planlet lili pada media seleksi menunjukkan adanya gejala serangan penyakit layu, ditandai dengan daun yang menguning, kering, layu selanjutnya planlet mati. 2. Seleksi in vitro planlet lili Oriental cv. Frutty Pink (FP) Planlet lili Oriental cv. Frutty Pink yang digunakan dalam seleksi in vitro merupakan planlet lili hasil iradiasi sinar Gamma generasi MV3. Persentase nekrotik planlet lili Oriental cv. FP lebih sedikit apabila dibandingkan dengan lili Asiatik cv. PM. Pada media seleksi dengan konsentrasi FA tertinggi (0.15 mmoll1 ) belum menyebabkan nekrotik 50% (Tabel 5.2), sedangkan pada lili Asiatik cv. PM telah menyebabkan planlet nekrotik 88.89% (3.1). Hasil tersebut menunjukkan bahwa tingkat ketahanan planlet lili Asiatik cv.PM berbeda dengan lili Oriental cv.FP. Tabel 5.2 Seleksi in vitro planlet lili Oriental cv. FP hasil iradiasi sinar Gamma Konsentrasi % planlet % Daun % Umbi % Akar % Planlet (mmol/l) nekrotik kuning busuk busuk hidup (%) (%) (%) (%) (%) FA 0 (Kontrol) 0.00 d 0.00 c 0.00 c 0.00 c 100.00 c FA 1 (0.05) 16.40 c 3.33 ab 1.83 b 5.60 b 31.10 a FA 2 (0.075) 16.40 c 4.33 ab 1.93 b 7.23 ab 23.33 ab FA 3 (0.1) 25.00 b 2.33 b 2.67 ab 7.73 ab 26.67 b FA 4 (0.125) 25.00 b 5.33 ab 3.30 ab 8.00 ab 26.67 ab FA 5 (0.15) 38.17 a 6.67 a 3.87 a 9.67 a 27.77 ab Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada lajur yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5% . Planlet lili Oriental lebih tahan terhadap FA dibandingkan planlet lili Asiatik. Pada konsentrasi FA yang sama (0,1 mmol/l), telah menyebabkan planlet nekrotik 50% pada lili Asiatik (Tabel 5.1) sedangkan pada planlet lili Oriental hanya menyebabkan planlet nekrotik 25 % (Tabel 5.2). Gambar 5.2 merupakan penampilan planlet hasil induksi mutasi pada media seleksi yang mengandung fusaric acid.
53
A
B
C
Gambar 5.2 Planlet lili hasil induksi mutasi MV3 pada media seleksi in vitro. Planlet nekrotik pada media seleksi yang mengandung FA 0.125 mmol/l (A), FA 0.15 mmoll/l (B) dan FA 0.1 mmoll/l (C). Planlet lili yang diseleksi pada media yang mengandung FA mengalami hambatan pertumbuhan. Hasil ini sejalan dengan penelitian Matsumoto et al. (1995) pada pisang kultivar Maca dan Nanicao, Remotti (1997) pada gladiol serta Chawla dan Wenzel (2006) pada tanaman barley. Gejala tanaman sakit ditandai dengan menguningnya sebagian ataupun seluruh bagian daun serta umbi yang membusuk. Tingkat kerusakan ini dipengaruhi oleh jenis lili yang digunakan dan konsentrasi FA pada media seleksi. Lili Asiatik lebih peka terhadap FA dibanding dengan lili Oriental. Semakin tinggi konsentrasi FA, semakin tinggi juga tingkat kerusakan planlet. Demikian halnya pada gladiol, peningkatan konsentrasi FA menurunkan pertumbuhan sel gladiol. Diperoleh 4 kultivar gladiol (Friendship, Peter Pear, Victor Borge, dan Novalex) sensitive terhadap FA. Satu tanaman albino dari kultivar Friendship sangat peka terhadap Fusarium (Nasir dan Riazudin 2008). Penurunan jumlah planlet pada media yang mengandung FA juga didukung hasil penelitian Notz et al. (2002) pada tanaman padi. Planlet lili yang tahan pada media seleksi in vitro selanjutnya diaklimatisasi dan diamati kemampuan tumbuhnya. Tabel 5.3 merupakan klon- klon lili tahan hasil seleksi in vitro. Tabel 5.3 Klon- klon lili tahan hasil seleksi in vitro pada media yang mengandung FA. No.Klon No.Klon No.Klon PF-II.1.1.3 PM-E4.I.1.1 PM-E5.II.8.5 SB-I.5 PM-E4.I.2.I FP-E4.I.7.1 SB-I.4.1 PM-E4.I.3.I FP-E2.I.7.4 SB-I.4.2 FP-E5.III.3 FP-E5.II.7.4 SB-III.5.2 FP-E3.III.1 FP-E5.III.9.4 SB-II.5.1 FP-E5.II.3 FP.EI.4.5.2 SB-II.5.2 FP-E3.II.6 FP-E1.I.4.5.4 PM-E4.II.3.1 FP-E4.I.5 FP-E1.I.4.5.3 PM-E4.II.4.1 FP-E3.III.2 FP-E4.II.7.5.1 PM-E4.III.1.1 FP-E3.III.8 FP-E5.III.4.4.2 PM-E2.III.3.1 PM-E5.III.1.5 FP-E3.II.4.1.2 PM-E4.III.4.1 PM-E5.III.1.4 FP-E4.1.7.1
54
Klon - klon lili tersebut selanjutnya diperbanyak dan digunakan untuk pengujian ketahanan terhadap Fusarium oxysporum f.sp. lilii tahap berikutnya di lapangan. Simpulan 1. Planlet lili tahan fusaric acid dapat diperoleh melalui seleksi in vitro, dihasilkan 36 nomor lili planlet tahan FA. 2. Makin tinggi konsentrasi FA, makin meningkat persentase nekrotik planlet dan terjadi penurunan jumlah planlet hidup. 3. Persentase nekrotik planlet pada media seleksi in vitro dipengaruhi oleh jenis lili yang digunakan. Persentase nekrotik planlet lili Asiatik cv. Purple Maroon lebih tinggi dibandingkan lili Oriental cv. Frutty Pink.
55
6 KANDUNGAN SAPONIN LILI HASIL INDUKSI MUTASI Abstrak Saponin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan pada beberapa jenis tanaman. Saponin pada lili banyak dijumpai pada bagian umbi dan akar. Tujuan penelitian ialah untuk mendapatkan kandungan saponin pada lili hasil induksi mutasi. Pengujian kandungan saponin menggunakan bagian akar dan umbi lili Asiatik cv. Purple Maroon (PM) dan lili Oriental cv. Frutty Pink (FP) hasil induksi mutasi. Pengujian menggunakan TLC scanner. Hasil pengujian menunjukkan kandungan saponin pada lili yang diiradiasi lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa iradiasi. Kandungan saponin lili Asiatik cv. PM lebih rendah dibandingkan dengan lili Oriental cv. FP. Kata kunci : Saponin,lili, TLC. Abstract Saponin is a secondary metabolite which is produced by several plants. Saponin of lilium is generally found in bulbs and roots. The objective of this experiment was to determine saponin contents on lily after iradiated by Gamma ray. The assessment was using TLC scanner with roots and bulbs of Asiatic lily cv. PM (Purple Maroon) and Oriental lily cv. FP (Frutty Pink) as materials. Saponin contents on iradiated lily was higher than those on the bulb without Gamma ray iradiation. Saponin contents of Asiatic lily cv. PM was lower than Oriental lily cv. FP. Keywords : Saponin, lily, TLC. Pendahuluan Saponin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan pada beberapa jenis tanaman seperti bayam, ginseng, bawang merah dan bawang putih, alfalfa, buncis dan kedelai (Fenwick dan Oakenfull 1983). Pada tanaman lili, kandungan saponin Lili brownii var. viridulum, Lili speciosum, martagon dan candidum terdapat di bagian umbi dan akar. Saponin ini digunakan dalam industri farmasi di antaranya untuk detoksifikasi dan obat penderita kanker (Mimaki 1999), menurunkan kolesterol darah dan menghambat pertumbuhan sel kanker (Shi et al. 2005). Saponin juga bermanfaat sebagai obat penyakit cardiovascular, fungsi hati, sistem kekebalan dan antioksidan (Rao dan Gurfinkel 2000). Pada tanaman, saponin berperan dalam mekanisme pertahanan tanaman terhadap patogen dan proses detoksifikasi. Steroida glycoside yang terdiri dari steroidal glycoalkaloid dan furostanol saponin pada Lilium longiflorum menghambat aktivitas pertumbuhan cendawan Botrytis cinerea. Senyawa tersebut
56
menghambat pertumbuhan cendawan dengan cara meningkatkan aktivitas antifungal dan menghambat metabolisme Botrytis cinerea (Munafo dan Gianfagna 2011). Saponin menurunkan populasi cendawan hingga 70% (Goel et al. 2008; Wang et al. 2007). Pada Lilium longiflorum terdapat 18 steroid glicosides, yang terbagi dalam tiga kelompok yaitu spirostanol, furostanol dan steroid alkaloid. Cytotoksid 50 mg/l ketiga kelompok steroid tersebut menurunkan 12% viabilitas sel, 100 mg/l menurunkan 75% viabilitas sel dan 500 mg/l menurunkan 100% viabiltas sel (Shi et al. 2005). Pada Lilium candidum, steroid saponin 6.71 x 10 mol.dm3 menghambat 20% aktivitas lipooksigenase (Bezakova et al. 2004). Saponin dapat menurunkan populasi cendawan hingga 20- 60% (Hu et al. 2005). Saponin merupakan senyawa penting tanaman yang terdiri atas triterpenoid atau steroidal dengan glycoside. Steroidal saponin terbagi dalam dua struktur yaitu spirostanol saponin dan furostanol saponin (Challinar dan De Voss 2013). Steroid saponin berperan dalam proses hemolisis dan aktivitas cytotoksid dengan mekanisme berbeda (Wang et al. 2007). Biosintesis saponin triterpenoid dan steroid berasal dari asam piruvat dan isopentenil pirophosphate (IPP). Rantai samping terbentuk sesudah terbentuknya squalen, sebagian terjadi inti steroid spiroketal dan triterpenoid pentasiklik. Gugus gulanya terdiri 1- 55 gula dan dalam beberapa hal agliklon tidak diikat dengan gula, namun dengan asam uronat. Faktor yang mempengaruhi hasil ekstraksi saponin pada Lilium brownii antara lain suhu, volume etanol untuk ekstraksi, rasio larutan dan padatan dalam sistem ekstrasi dan waktu ekstrasi. Suhu optimum yang digunakan dalam ekstraksi sekitar 70 °C, volume alkohol 80%, rasio padatan: larutan: 1:6, dan waktu ekstraksi 3 kali masing- masing 3 jam. Kandungan saponin Lilium brownii adalah 3.48 mg/g (Feng Lian et al. 2005). Rantai karbohidrat gula terpaut pada C-3 kelompok HMG (3-hydroxy-3 methylglutarate). Rantai disakarida terpaut C-26 kelompok hidroksi furospirostanol ( Hong et al. 2012). Saponin dan polisakarida adalah dua kandungan penting dalam aktivitas biologi lili. Optimum kondisi untuk ekstrasi polisakarida adalah suhu 95 °C, rasio padat/larutan 1:10 dan reflux time 3 jam selama 2 kali (Xiao-bin et al. 2006). Bahan dan Metode Analisis kadar saponin dilakukan pada bulan Desember 2012 di Laboratorium pengujian mutu Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITRO) Bogor. Bahan yang digunakan umbi dan akar lili Asiatik cv.Purple Maroon (PM) kontrol dan hasil induksi EMS, umbi dan akar lili Oriental cv. Frutty Pink (FP) hasil iradiasi sinar Gamma dan kontrol (Gambar 6.1).
57
Gambar 6.1 Bahan tanaman yang digunakan dalam uji kandungan saponin lili. Metode analisis saponin menggunakan TLC (Thin Layer Chromatography) Scanner pada panjang gelombang 301 nm. Metode TLC terdiri atas dua fase yaitu fase diam menggunakan Al silica dan fase gerak menggunakan etanol. Tahap pengujian meliputi pengeringan sampel akar dan umbi lili hingga ± 0.1 gram berat kering, pengujian pada fase diam dan gerak serta pengukuran kandungan saponin dengan TLC. Hasil dan Pembahasan
Kandungan saponin (%)
Pengujian saponin pada planlet lili menggunakan metode TLC scanner dengan menggunakan bagian umbi dan akar lili menunjukkan bahwa lili Oriental cv. Frutty Pink tanpa iradiasi memiliki kandungan saponin lebih rendah dibandingkan lili hasil iradiasi (Gambar 6.2). Kandungan saponin meningkat sekitar 0.22%. 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0
1.11 0.89
FP tanpa iradiasi
FP iradiasi
Gambar 6.2. Kandungan saponin lili Oriental cv. FP dengan menggunakan TLC scanner.
Kandungan saponin (%)
Demikian juga pada lili Asiatik cv. Purple Maroon tanpa induksi mutagen kimia EMS memiliki kadar saponin lebih rendah daripada lili hasil induksi dengan EMS (Gambar 6.3). Kandungan saponin meningkat ± 0.02%. 0.815 0.81 0.805 0.8 0.795 0.79 0.785 0.78
0.81
0.79
PM tanpa EMS
PM dengan EMS
Gambar 6.3. Kadar saponin lili Asiatik cv.PM dengan menggunakan TLC scanner. Hasil ini mengindikasikan bahwa iradiasi dan induksi mutasi dengan EMS berpengaruh terhadap gen yang berkaitan dengan produksi saponin pada lili. Peningkatan kandungan saponin lili dengan induksi sinar Gamma lebih banyak dibandingkan dengan induksi EMS. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya
58
bahwa perubahan maupun kerusakan akibat iradiasi sinar Gamma lebih tinggi dibandingkan dengan mutagen kimia (IAEA 1977). Penelitian Liu et al. (2011) menyatakan bahwa kandungan saponin pada sisik umbi lili Oriental cv. Cai 74 berkorelasi dengan ketahanan terhadap Fusarium oxysporum. Berdasarkan kandungan saponin yang dimiliki lili Oriental cv. Frutty Pink dan lili Asiatik cv. Purple Maroon (Gambar 6.2 dan 6.3) dan apabila dihubungkan dengan ketahanan terhadap Fusarium maka diketahui bahwa lili Oriental cv. Frutty Pink lebih tahan terhadap Fusarium dibandingkan dengan lili Asiatik cv. Purple Maroon. Ketahanan lili terhadap Fusarium diduga berkaitan dengan kandungan saponin yang terdiri atas spirostanol dan furostanol yang bersifat racun (Mimaki et al. 1998) dan kemampuan saponin dalam penghambatan siklus AMP phosphodiesterase (Mimaki et al. 1993). Simpulan 1. Induksi mutasi berpengaruh terhadap gen yang berkaitan dengan produksi saponin, sehingga terjadi peningkatkan kandungan saponin. Saponin pada lili hasil induksi mutasi lebih tinggi bandingkan dengan lili tanpa induksi mutasi. 2. Kandungan saponin lili Oriental cv. Frutty Pink lebih tinggi daripada lili Asiatik cv.Purple Maroon.
59
7 DETEKSI KERAGAMAN IN VITRO PLANLET LILI (Lilium, L) HASIL MUTASI DENGAN ISOZIM Abstrak Keragaman genetik tanaman hasil mutasi dapat dibedakan menggunakan penanda isozim. Tujuan penelitian ini ialah mendapatkan hasil analisis yang polimorfik planlet hasil induksi mutasi dengan menggunakan isozim. Penelitian menggunakan 4 macam enzim yaitu AAT (Aspartate aminotransferase), ACP (Acid phosphatase), EST (Esterase) dan PRX (Peroxidase). Bahan yang dianalisis berupa daun planlet lili cv. Sorbon hasil iradiasi sinar Gamma, daun planlet lili cv. Purple Maroon(PM) dan Frutty Pink(FP) hasil mutasi induksi mutagen kimia EMS. Hasil analisis isozim menunjukkan bahwa keempat enzim yang digunakan menghasilkan pola pita yang polimorfik. Enzim AAT menghasilkan satu pola pita untuk lili cv.PM dan FP, serta 4 pola pita untuk lili cv.Sorbon. Enzim ACP menghasilkan 2 polapita untuk lili cv.PM, 4 pola pita lili cv. Sorbon serta 3 pola pita lili cv.FP. Hasil dengan enzim EST, diperoleh 3 pola pita dengan pola yang berbeda pada lili cv. PM, Sorbon dan FP. Enzim PRX menghasilkan 4 pola pita yang berbeda pada lili cv.PM, Sorbon dan FP. Kata kunci : Isozim, AAT, ACP, EST , PRX. Abstract Genetic variability were distinguished by isozyme. The objective of this study was to obtain polymorphism of lily planlet which it induced by mutation using isozyme. This study used four enzymes, there were AAT (Aspartate aminotransferase), ACP (Acid phosphatase), EST (Esterase) and PRX (Peroxidase). Leaves of lily plantlets cv. Sorbon, Frutty Pink (FP) and Purple Marron (PM) were used as materials. All of lily cultivars were induced by mutagent. Polymorphism were obtained from four enzymes. AAT enzyme produced 1 polymorphic band for lily cv. PM and FP, 4 polymorphic bands for lily cv. Sorbon. ACP enzyme was produced 2 polymorphic bands for lily cv. PM, 4 polimorphic bands for lily cv. Sorbon and 3 polymorphic bands for lily cv. FP. The different polymorphic bands were achieved by EST enzyme for lily cv. PM, Sorbon and FP, each cultivar had 3 polymorphic bands. PRX enzyme showed 4 polymorphic bands for lily cv. PM, Sorbon and FP. Key words : Isozyme, AAT, ACP, EST, PRX. Pendahuluan
60
Keragaman genetik suatu populasi atau sifat- sifat tertentu tanaman dapat diamati secara morfologi maupun secara molekuler. Polimorfisme sifat morfologi tanaman antara lain warna bunga, warna biji, bentuk biji, bentuk daun, warna daun dan karakter lain yang secara visual mudah dilihat. Penanda morfologi ini memiliki keterbatasan yaitu dipengaruhi lingkungan. Pada tanaman tahunan, penanda morfologi juga kurang menguntungkan karena sifat morfologi seperti bunga, buah dan biji baru dapat diamati setelah tanaman berbunga dan berbuah yang memerlukan waktu cukup lama. Salah satu penanda lain yang dapat digunakan untuk membedakan adanya keragaman ialah isozim atau isoenzim (Hartana 2003). Isozim merupakan enzim- enzim yang mempunyai molekul kimia yang berbeda, namun mengkatalisis reaksi kimia yang sama. Polimorfisme isozim berupa molekul- molekul protein berbeda, fenotipenya ditunjukkan dalam bentuk pita- pita dan pola pita yang berbeda. Polimorfisme ini diperoleh melalui gel elektroforesis dengan pewarnaan dengan pewarna specifik untuk setiap enzim. Kegunaan isozim antara lain (1) untuk mengetahui keragaman genetik didalam maupun antar populasi tanaman, (2) penanda hasil persilangan atau mutasi, (3) penanda sifat ketahanan atau kerentanan tanaman terhadap penyakit dalam program seleksi (Hartana 2003). Analisis isozim ini juga digunakan untuk membedakan keragaman hasil hibridisasi interspecifik antara Lilium nobilissimum dan L.regale dengan menggunakan enzim esterase (EST), acid phosphatase (ACP), glucose 6-phosphate dehydrogenase (G6-PDH), malate dehydrogenase (MDH), dan peroxidase (PRX) (Obata et al. 2000). Bahan dan Metode Analisis keragaman planlet lili hasil mutasi induksi dilakukan di laboratorium Biologi Pusat Studi Ilmu Hayati IPB Bogor pada bulan November 2012. Analisis isozim dilakukan dengan 4 macam enzim yaitu AAT (Aspartate aminotransferase), ACP (Acid phosphatase), EST (Esterase) dan PRX (Peroxidase). Bahan yang digunakan ialah daun planlet lili hasil mutasi induksi yang terdiri atas 3 varietas lili yaitu lili oriental cv. Frutty Pink, Sorbon dan lili asiatik cv. Purple Maroon. Bahan untuk analisis isozim diantaranya buffer elektroda, buffer gel, pewarna serta pati untuk elekroforesis. Alat yang digunakan meliputi cawan petri dan penumbuknya, alat elektroforesis, gel mold tray, pemotong gel dan bak pewarnaan serta kamera. Tahapan analisis isozim terdiri pengambilan sampel tanaman, pembuatan buffer pengestrak, pembuatan buffer gel dan elektrode, pembuatan gel pati, ekstrasi enzim, elektroforesis, pembuatan larutan pewarna, pencucian dan fiksasi serta dokumentasi dan interpretasi pola pita. Metode analisis berdasarkan metode “Soltis dan Soltis” (1989). Hasil dan Pembahasan Planlet lili hasil mutasi induksi dengan EMS (Ethylmethanosulfonate) dan irradiasi sinar Gamma menunjukkan hasil yang beragam. Keragaman ini ditunjukkan dengan polimorfisme pola pita hasil analisis isozim dengan
61
menggunakan 4 macam enzim yaitu AAT (Gambar 7.1), ACP (Gambar 7.2), EST (Gambar 7.3) dan PRX (Gambar 7.4). Gambar 7.1 menunjukkan bahwa planlet lili asiatik cv. Purple Maroon memiliki 1 pola pita. Planlet lili kontrol dengan planlet lili yang diinduksi dengan EMS 0.1, 0.2, 0.3 dan 0.5 ml/l tidak menunjukkan adanya pola pita yang polimorfik, namun polimorfik pada planlet lili yang diinduksi EMS 0.4 ml/l. Planlet kontrol dan hasil mutasi dengan EMS 0.1, 0.2, 0.3, 0.5 ml/l tidak menghasilkan pola pita dengan enzim AAT, namun planlet hasil mutasi EMS dengan 0.4 ml/l menghasilkan 1 pola pita. Hasil ini menunjukkan bahwa planlet yang diinduksi EMS 0.4 ml/l berbeda dan terdapat polimosfisme pada analisis isozim menggunakan enzim AAT . Hasil analisis isozim planlet lili oriental cv. Frutty Pink menggunakan enzim AAT menghasilkan 1 pola pita. Planlet lili yang tidak diinduksi dengan EMS menghasilkan 2 pita, sedangkan planlet hasil induksi EMS tidak menghasilkan pita (Gambar 7.1). Hasil ini menunjukkan adanya keragaman antara planlet lili yang diinduksi EMS dengan planlet lili yang tidak diinduksi EMS. Perbedaan konsentrasi EMS pada kalus lili Oriental cv. Frutty Pink tidak berpengaruh dalam menginduksi keragaman. Analisis isozim dengan enzim AAT pada planlet lili Oriental cv. Sorbon hasil induksi sinar Gamma menunjukkan adanya keragaman dan menghasilkan 4 pola pita. Pola pita 1 terdiri atas 2 pita, pola pita 2 terdiri 1 pita, pola pita 3 terdapat 4 pita serta pola pita 4 terdiri 1 pita (Gambar 7.1). Dosis irradiasi 30 Gray dan 50 Gray menghasilkan pola pita yang sama. Perlakuan dosis tersebut memiliki pola pita yang berbeda dengan perlakuan dosis irradiasi 10 Gray, 20 Gray dan planlet yang tidak diiradiasi. Hasil ini menunjukkan bahwa keragaman dapat ditingkatkan melalui iradiasi sinar Gamma.
1 2
3 4
5
6
7
8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
AAT
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Pola Pita Planlet Lili Hasil Mutasi Induksi
62
Gambar 7.1 Profil pola pita planlet lili hasil induksi mutasi dengan analisis isozim menggunakan enzim AAT.
Keterangan: 1.PM- Kontrol 2.PM- EMS 0.1 ml/l 3.PM-EMS 0.2 ml/l 4.PM-EMS 0.3 ml/l 5.PM-EMS 0.4 ml/l 6.PM-EMS 0.5 ml/l 7.PM-10 Gy
8.SB-Kontrol 9.SB-10 Gy 10.SB-20 Gy 11.SB-30 Gy 12.SB-40 Gy 13.SB-50 Gy 14.FP-10 Gy
15.FP-Kontrol 16.FP-EMS 0.1 ml/l 17.FP-EMS 0.2 ml/l 18.FP-EMS 0.3 ml/l 19.FP-EMS 0.4 ml/l 20.FP-EMS 0.5 ml/l
Analisis isozim dengan enzim ACP menunjukkan adanya polimorfisme pada lili yang diinduksi mutasi baik dengan EMS maupun iradiasi sinar Gamma (Gambar 7.2). Polimorfisme hasil analisis isozim dengan enzim ACP planlet lili asiatik cv. Purple Maroon menghasilkan 2 pola pita, yaitu pola pita 1 dengan 1 pita dan pola pita kedua dengan 3 pita ( Gambar 7.2). Planlet lili Asiatik cv. Purple Maroon yang dinduksi mutasi dengan EMS 0.5 ml/l berbeda dengan planlet yang dinduksi dengan EMS 0.1, 0.2, 0.3 dan 0.4 ml/l. Planlet lili dengan induksi EMS 0.5 ml/l memiliki 3 pita yaitu pola pita kedua, sedangkan planlet dengan EMS 0.1, 0.2, 0.3 dan 0.4 ml/l menghasilkan 1 pita yaitu pola pita pertama.
1
2
3
4 5
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
ACP
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Pola Pita Planlet Lili Hasil Mutasi Induksi
63
Gambar 7.2 Profil pola pita planlet lili hasil mutasi induksi dengan analisis isozim menggunakan enzim ACP. Keterangan: 1.PM- Kontrol 2.PM-EMS 0.1 ml/l 3.PM-EMS 0.2 ml/l 4.PM-EMS 0.3 ml/i 5.PM-EMS 0.4 ml/l 6.PM-EMS 0.5 ml/l 7.PM-10 Gy
8.SB-Kontrol 9.SB-10 Gy 10.SB-20 Gy 11.SB-30 Gy 12.SB-40 Gy 13.SB-50 Gy 14.FP-10 Gy
15.FP-Kontrol 16.FP-EMS 0.1 ml/l 17.FP-EMS 0.2 ml/l 18.FP-EMS 0.3 ml/l 19.FP-EMS 0.4 ml/l 20.FP-EMS 0.5 ml/l
Planlet lili oriental cv. Frutty Pink yang diinduksi dengan EMS menghasilkan keragaman. Keragaman ini ditunjukkan dengan adanya polimorfisme pada hasil analisis isozim dengan enzim ACP. Hasil analisis menunjukkan adanya 4 pola pita ( Gambar 7.2). Pola pita 1 terdapat 1 pita, pola pita 2 terdapat 2 pita, pola pita 3 terdiri 1 pola pita dan pola pita 4 tidak menghasilkan pita. Planlet yang tidak diinduksi mutasi berbeda dengan perlakuan mutasi induksi EMS, dengan menghasilkan 1 pita yaitu pola pita pertama. Planlet yang diinduksi EMS 0.1 ml/l menghasilkan 2 pita yaitu pola pita kedua, planlet yang diinduksi EMS 0.2, 0.4 dan 0.5 ml/l tidak menghasilkan pola pita (pola pita 4) sedangkan planlet dengan induksi EMS 0.3 ml/l menghasilkan 1 pita yaitu pola pita ketiga. Planlet lili oriental cv. Sorbon hasil mutasi induksi dengan sinar Gamma menunjukkan keragaman berdasarkan analisis isozim dengan enzim ACP dengan 5 pola pita (Gambar 7.2). Pola pita pertama pada planlet yang tidak diiradiasi tidak menghasilkan pita, sedangkan planlet yang diiradiasi dengan 10 Gray menghasilkan 1 pita yaitu pola pita kedua, hasil irradiasi 20 Gray menghasilkan 2 pita yaitu pola pita ketiga. Planlet hasil mutasi induksi dengan irradiasi sinar Gamma 30 Gray menghasilkan 4 pita yaitu pola pita keempat serta hasil induksi 40 gray sama dengan 50 Gray dengan menghasilkan 3 pita yaitu pola pita kelima. Hasil ini berbeda dengan penelitian sebelumnya (Obata et al. 2000) bahwa enzim ACP yang digunakan dalam analisis isozim pada Lilium nobilissimum dan L. regale tidak menghasilkan zymogram yang jelas. Analisis isozim planlet lili hasil induksi mutasi menggunakan enzim EST menghasilkan pola pita yang polimorfik (Gambar 7.3). Planlet lili Asiatik cv. Purple Maroon menghasilkan 3 pola pita yaitu pola 1 terdiri atas 2 pita, pola pita 2 dengan 1 pita, pola pita 3 dengan 2 pita dan planlet yang tidak diinduksi mutasi tidak menghasilkan pita (Gambar 7.3). Planlet lili yang berasal dari kalus dengan induksi dengan EMS 0.1 dan 0.3 ml/l, menghasilkan jumlah pita yang sama yaitu pola pita pertama. Perlakuan EMS 0.2 dan 0.4 ml/l menghasilkan jumlah pita 1 yaitu pola pita kedua, sedangkan planlet lili hasil induksi EMS 0.5 ml/l menghasilkan 2 pita yaitu pola pita ketiga. Hasil ini menunjukkan bahwa perlakuan EMS dapat meningkatkan keragaman, yang dibuktikan dengan adanya perbedaan jumlah pita dan pola pitanya. Hasil analisis isozim pada planlet lili oriental cv. Frutty Pink menunjukkan hasil yang polimorfik dengan menghasilkan 3 pola pita (Gambar 7.3). Pola pita 1 terdiri atas 1 pita, pola pita 2 dengan 2 pita dan pola pita 3 dengan 2 pita. Perlakuan mutasi induksi dengan EMS 0.2, 0.3, 0.4 ml/l dan planlet tanpa induksi EMS menghasilkan pola pita yang sama yaitu pola pita pertama. Perlakuan mutasi
64
induksi dengan EMS 0.1 ml/l menghasilkan 2 pita yaitu pola pita kedua, serta EMS 0.5 ml/l menghasilkan 2 pita yaitu pola pita ketiga
1
2
3
4
5 6
7
8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
EST
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Pola Pita Planlet Lili Hasil Mutasi Induksi
Gambar 7.3. Profil pola pita planlet lili hasil mutasi induksi dengan analisis isozim menggunakan enzim EST . Keterangan: 1.PM- Kontrol 2.PM-EMS 0.1 ml/l 3.PM-EMS 0.2 ml/l 4.PM-EMS 0.3 ml/l 5.PM-EMS 0.4 ml/l 6.PM-EMS 0.5 ml/l 7.PM-10 Gy
8.SB-Kontrol 9.SB-10 Gy 10.SB-20 Gy 11.SB-30 Gy 12.SB-40 Gy 13.SB-50 Gy 14.FP-10 Gy
15.FP-Kontrol 16.FP-EMS 0.1 ml/l 17.FP-EMS 0.2 ml/l 18.FP-EMS 0.3 ml/l 19.FP-EMS 0.4 ml/l 20.FP-EMS 0.5 ml/l
Polimorfisme juga diperoleh pada planlet lili Oriental cv.”Sorbon” hasil induksi mutasi dengan sinar Gamma (Gambar 7.3). Polimorfik ditunjukkan dengan adanya 3 pola pita, yaitu pola pita 1 dengan 1 pita pada planlet yang tidak diiradiasi, planlet hasil iradiasi 40 Gy dan 50 Gy. Planlet hasil iradiasi sinar Gamma 10 Gy menghasilkan 2 pita pada pola pita kedua serta planlet dengan irradiasi 20 Gy dan 30 gy menghasilkan jumlah pita yang sama yaitu 2 pita pada pola pita ketiga. Hasil ini sejalan dengan penelitian Obata et al. 2000 bahwa dengan enzim EST menunjukkan zymogram yang cukup jelas berbeda dan tanaman hibrid mempunyai pita yang dimiliki kedua tetuanya Lilium nobilissimum dan L.regale.
65
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
PRX 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Pola Pita Planlet Lili Hasil Mutasi induksi
Gambar 7.4. Profil pola pita planlet lili hasil mutasi induksi dengan analisis isozim menggunakan enzim PRX. Keterangan: 1.PM- Kontrol 2.PM-EMS 0.1 ml/l 3.PM-EMS 0.2 ml/l 4.PM-EMS 0.3 ml/l 5.PM-EMS 0.4 ml/l 6.PM-EMS 0.5 ml/ 7.PM-10 Gy
8.SB-Kontrol 9.SB-10 Gy 10.SB-20 Gy 11.SB-30 Gy 12.SB-40 Gy 13.SB-50 Gy 14.FP-10 Gy
15.FP-Kontrol 16.FP-EMS 0.1 ml/l 17.FP-EMS 0.2 ml/l 18.FP-EMS 0.3 ml/l 19.FP-EMS 0.4 ml/l 20.FP-EMS 0.5 ml/l
Analisis isozim dengan enzim PRX pada planlet lili Asiatik cv. Purple Maroon induksi EMS menunjukkan hasil yang polimorfik dengan 3 pola pita (Gambar 7.4) . Pola pita pertama terdiri atas 2 pita pada planlet yang tidak diinduksi dengan EMS dan planlet yang diinduksi dengan EMS 0.1ml/l. Planlet dengan induksi EMS 0.2, 0.3 dan 0.4 ml/l menunjukkan pola pita yang sama yaitu pola pita kedua dengan 2 pita sedangkan induksi EMS 0.5 ml/l menghasilkan 1 pita pada pola pita ketiga. Analisis isozim dengan menggunakan enzim PRX pada planlet lili oriental cv Frutty Pink yang diinduksi dengan EMS menunjukkan hasil yang polimorfik (Gambar 7.4). Jumlah pola pita yang dihasilkan ada 3 pola yaitu pola pita pertama dengan 2 pita, pada planlet yang tidak diinduksi EMS dan planlet yang diinduksi EMS 0.1, 0.4 dan 0.5 ml/l. Pola pita kedua dengan 3 pita pada planlet lili dengan induksi EMS 0.2 ml/l. Pola pita ketiga dengan 4 pita diperoleh pada planlet dengan induksi EMS 0.3 ml/l. Hasil analisis isozim planlet lili oriental cv. Sorbon dengan enzim PRX menunjukkan pola pita yang polimorfik (Gambar 7.4). Enzim PRX menghasilkan
66
3 pola pita. Pola pita pertama terdiri atas 2 pita pada planlet yang tidak diiradiasi, irradiasi 20 dan 30 Gy. Pola pita kedua terdiri dari 3 pita pada planlet yang diiradiasi 10 dan 50 Gy. Pola pita ketiga terdiri dari 2 pita yaitu planlet yang diiradiasi sinar Gamma 40 Gy. Penelitian Obata et al. 2000, menunjukkan hasil yang berbeda, enzim PRX yang digunakan dalam analisis keragaman Lilium nobilissimum dan L.regale tidak menghasilkan zymogram yang jelas. PM-K PP-E4 PP-E5 PP-E2 PM-E1 PM-E2 PM-E3 SB-10Gy PP-E3 PM-E4 PM-10Gy SB-K PM-E5 SB-20Gy SB-40Gy PP-E1 PP-K SB-30Gy PP-10Gy SB-50Gy
W
0.50
0.62
0.75
0.87
1.00
Coefficient
Gambar 7.5. Dendogram planlet lili hasil induksi mutasi. Berdasarkan hasil analisis isozim di lakukan pengelompokan dengan dendrogram. Hasil menunjukkan bahwa planlet lili cv.Sorbon hasil iradiasi 20 Gy dan 40 Gy terdapat pada kelompok yang sama, dengan tingkat kesamaan 75%, sedangkan planlet kontrol, 10 Gy, 30 Gy dan 50 Gy berada pada kelompok yang berbeda. Planlet lili Oriental cv. Frutty Pink hasil induksi EMS 0.4 dan 0.5 ml/l berada pada kelompok yang sama dengan lili Asiatik cv. Purple Maroon hasil induksi EMS 0.2 ml/l dan 0.3 ml/l dengan tingkat kesamaan 95%. Simpulan 1. Polimorfisme hasil analisis isozim dapat digunakan sebagai penanda adanya keragaman pada tanaman hasil induksi mutasi. 2. Pada enzim yang berbeda dihasilkan pola pita yang berbeda.
67
8 PEMBAHASAN UMUM Perkembangan teknologi perbanyakan lili sangat diperlukan di Indonesia. Pentingnya teknologi ini didasari masih adanya ketergantungan impor lili dari negara lain. Potensi lili dalam industri florikultura yang cukup bagus, ditandai dengan peningkatan kebutuhan lili dari tahun ke tahun, menjadikan lili sebagai peluang usaha florikultura yang menjanjikan. Permasalahan adanya serangan penyakit terutama cendawan Fusarium oxysporum f.sp lilii dalam budidaya lili juga harus menjadi perhatian utama untuk menghasilkan produk bunga yang berkualitas dan berdaya saing. Penggunaan varietas tahan terhadap penyakit merupakan salah satu cara mengatasinya. Varietas tahan penyakit ini dapat diperoleh melalui kegiatan pemuliaan. Perakitan varietas tahan penyakit melalui teknik pemuliaan konvensional telah banyak dilakukan, namun masih terdapat beberapa kelemahan. Dengan demikian perlu dilakukan terobosan metode pemuliaan untuk menghasilkan varietas tahan, salah satunya melalui induksi mutasi. Teknologi perbanyakan lili dengan menggunakan tangkai sari bunga dalam penelitian ini dimaksudkan agar dapat memberikan kontribusi dalam industri florikultura lili di Indonesia. Dengan tangkai sari bunga lili sebagai eksplan melalui kultur in vitro diharapkan dapat mengatasi permasalahan perbanyakan, produksi dan penyediaan benih lili baik berupa umbi maupun planlet. Teknik perbanyakan lili ini juga didukung dengan pemanfaatan gula pasir sebagai sumber karbon dalam media perbanyakan lili secara in vitro. Penggunaan gula pasir dalam media perbanyakan akan menghemat biaya produksi serta memudahkan masyarakat umum untuk terlibat dalam pembudidayaan lili. Kemudahan masyarakat dalam mendapatkan gula pasir di pasaran akan memudahkan masyarakat ikut menanam lili. Tangkai sari bunga lili memiliki kemampuan totipotensi yang mampu membentuk individu baru pada media dan lingkungan yang sesuai. Pada media MS yang mengandung zat pengatur tumbuh TDZ , Kinetin dan 2,4-D, tangkai sari bunga lili dapat membentuk kalus. Kalus terbentuk selama 14 sampai 31 hari dalam kondisi gelap. Kalus yang terbentuk ini selanjutnya ditanam pada media regenerasi pada media MS yang mengandung zat pengatur tumbuh NAA dan BA. Kalus yang ditanam pada media MS yang mengandung BA, cenderung membentuk tunas dan beregenerasi langsung menjadi planlet. Pada media MS yang mengandung NAA cenderung membentuk akar. Penggunaan gula pasir sebagai pengganti sukrosa pada media pembentukan umbi lili sangat membantu dalam menekan biaya produksi, mudah diperoleh dan murah. Kondisi kultur lili juga berpengaruh terhadap pembentukan umbi lili. Kondisi kultur tanpa cahaya memberikan hasil yang lebih baik di bandingkan dengan kondisi kultur dengan cahaya. Peningkatan keragaman lili dapat dilakukan dengan induksi mutasi dengan sinar Gamma maupun EMS. Hal penting yang harus dipertimbangkan dalam induksi mutasi dengan sinar Gamma pada lili ialah radiosensitivitas. Sensitivitas
68
lili terhadap mutagen tergantung pada jenis lili, tahapan perkembangan tanaman seperti biji, kalus, planlet maupun stek. Lili Oriental cv. Sorbon lebih tahan terhadap sinar Gamma dibandingkan lili Asiatik cv. Purple Maroon. Letal dosis (LD-50) lili Oriental cv. Sorbon pada dosis 46.68 Gray, sedangkan lili Asiatik cv. Purple Maroon pada dosis 33.49 Gray. Penggunaan mutagen kimia EMS untuk menginduksi keragaman lili pada beberapa konsentrasi yang diujikan belum diperoleh letal konsentrasi. Namun demikian, EMS mampu meningkatkan keragaman dan berpengaruh terhadap pembentukan tunas. Semakin tinggi konsentrasi EMS, persentase tunas terbentuk menurun. Peningkatan konsentrasi mutagen kimia dapat menghasilkan lebih banyak mutan namun konsentrasi yang terlalu tinggi akan menyebabkan kerusakan jaringan, peningkatan sterilitas bahkan kematian tanaman. Oleh karenanya perlu dilakukan penentuan konsentrasi optimal. Faktor- faktor yang harus diperhatikan dalam penggunaan mutagen kimia antara lain konsentrasi dan lamanya perlakuan mutagen, pH, suhu, materi yang akan diberi perlakuan mutagen. Bila dibandingkan dengan iradiasi sinar Gamma 200 Gray dengan EMS 0.4 % maka diperoleh tingkat sterilitas yang sama. EMS dan NEU (nitrosoethyl urea) menghasilkan frekuensi mutasi lebih tinggi yaitu 4 sampai 8 kali dibandingkan sinar Gamma . Perubahan dan terjadinya mutan pada tanaman yang menggunakan mutagen kimia disebabkan perbedaan mekanisme perpasangan selama pembelahan sel, perbedaan komposisi kimia DNA serta perilaku perpasangan yang abnormal (van Harten, 1998). Seleksi in vitro pada tanaman lili masih jarang dilakukan, hal ini disebabkan masa juvenil lili yang lama. Pada penelitian ini dilakukan seleksi in vitro pada tahapan planlet hasil induksi mutasi generasi 3. Seleksi in vitro dengan agen seleksi fusaric acid digunakan untuk mendapatkan planlet tahan terhadap cendawan Fusarium oxysporum. Fusaric acid (FA) merupakan salah satu toksin yang dihasilkan oleh cendawan Fusarium dan digunakan sebagai agen seleksi didasarkan atas kemampuan phytotoksisitas yang dapat menyebabkan penyakit pada lili (Curir et al. 2000). Hasil penelitian seleksi in vitro dengan beberapa konsentrasi FA menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi FA menyebabkan peningkatan persentase planlet terinfeksi. Jenis lili juga berpengaruh terhadap sensitivitas terhadap FA. Pada media yang mengandung konsentrasi FA yang sama (0.1 mmol/l), presentase planlet terinfeksi lili Oriental lebih sedikit dibandingkan lili Asiatik. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat kecenderungan lili Oriental lebih tahan terhadap FA dibandingkan dengan lili Asiatik. Planlet lili yang tahan ini selanjutnya diuji kembali ketahanannya di lapangan untuk menghasilkan tanaman lili yang tahan. Seleksi in vitro ini dapat mempercepat waktu seleksi dalam menghasilkan klon- klon baru. Mekanisme pertahanan tanaman terhadap penyakit pada beberapa tanaman berbeda-beda. Diantaranya detoksifikasi toksin patogen yaitu substansi yang dikeluarkan tanaman mendegradasi toksin yang dikeluarkan patogen, ketahanannya tereduksi, terhindar dari patogen (escape) dan toleran (Agrios, 2005). Tanaman lili menghasilkan saponin yang merupakan metabolit sekunder. Saponin memiliki kemampuan melindungi tanaman dari mikrobia maupun cendawan. Kemampuan saponin ini menjadi dasar penelitian peranan saponin dalam pertahanan tanaman terhadap cendawan Fusarium. Penelitian Wu et al. 2009 dan Liu et al.2011 menyatakan terdapat hubungan antara kandungan saponin
69
dengan ketahanan terhadap penyakit Fusarium. Pengujian kandungan saponin pada lili Oriental cv. Frutty Pink dan lili Asiatik cv. Purple Maroon dalam penelitian ini menunjukkan bahwa pada tanaman yang di beri perlakuan induksi mutasi terdapat peningkatan kandungan saponin. Kandungan saponin lili Oriental cv. Frutty Pink lebih tinggi dibanding dengan lili Asiatik cv. Purple Maroon. Hasil ini mengindikasikan bahwa induksi mutasi dapat menyebabkan terjadinya perubahan gen yang mengendalikan produksi saponin. Kandungan saponin ini dapat dijadikan sebagai indikator ketahanan tanaman lili terhadap cendawan Fusarium (Wu et al.2011).
70
9 SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN 1. Perbanyakan lili secara in vitro dapat dilakukan dengan menggunakan tangkai sari bunga lili sebagai eksplan. Media MS+ 2,4-D 0.05 mgl-1+ TDZ 0.1 mgl-1 merupakan media yang dapat mempercepat induksi kalus lili dari tangkai sari bunga. Regenerasi kalus lili diperoleh dengan menggunakan media MS dengan kombinasi zat pengatur tumbuh NAA dan BA. Pembentukan umbi lili terbaik diperoleh pada media MS+ gula pasir 45 gl-1 pada kondisi gelap. 2. Peningkatan keragaman lili dapat dilakukan dengan induksi mutasi melalui sinar Gamma dan mutagen kimia EMS. Letal dosis (LD-50) diperoleh pada dosis 46.68 Gy untuk lili Oriental cv.Sorbon dan 33.49 Gy untuk lili Asiatik cv. Purple Maroon. Dosis disekitar LD-50 menginduksi keragaman planlet lili dan menghasilkan mutan. Penggunaan mutagen kimia EMS belum menghasilkan letal konsentrasi pada beberapa konsentrasi yang diujikan. 3. Perubahan morfologi planlet lili dengan induksi sinar Gamma terjadi dengan frekuensi mutasi 0.03- 0.13. Keragaman morfologi dengan mutagen kimia EMS diperoleh dengan frekuensi mutasi 0.03- 0.26. 4. Planlet lili tahan terhadap FA diperoleh melalui seleksi in vitro dengan media yang mengandung fusaric acid. Konsentrasi FA 0.1 mmol l-1 menyebabkan 50 % planlet nekrotik pada lili Asiatik cv. Purple Maroon dan 25 % planlet nekrotik pada lili Oriental cv. Frutty Pink. 5. Kandungan saponin lili Oriental cv.Frutty Pink hasil induksi mutasi meningkat 0.22 %, sedangkan lili Asiatik cv.Purple Maroon meningkat 0.02 %. SARAN Pemuliaan lili untuk sifat ketahanan terhadap penyakit, utamanya terhadap cendawan fusarium masih jarang dilakukan, terkait dengan masa juvenil lili yang lama dan metode seleksi yang belum optimal. Oleh karenanya penelitian ini masih harus dilanjutkan terutama seleksi ketahanan terhadap cendawan Fusarium di lapangan. Hasil penelitian ini merupakan tahapan awal dari kegiatan pemuliaan lili yang terdiri dari beberapa tahapan. Tahapan yang perlu di lanjutkan yaitu aklimatisasi planlet tahan hasil seleksi in vitro dan seleksi ketahanan terhadap Fusarium di lapangan.
71
DAFTAR PUSTAKA Abdullah TL , Endan J, Nazir BM. 2009. Changes in flower development, chlorophyll mutation and alteration in plant morphology of Curcuma alismatifolia by gamma irradiation. Am.J.Appl. Sci. 6(7): 1436- 1439. Agrios GN. 2004. Plant Pathology. Fifth edition. Elsevier Academic Press. USA. Aisyah SI, Aswindinnoor H, Saefuddin A, Marwoto B, Sastrosumarjo S. 2009. Induksi mutasi pada stek pucuk anyelir (Dianthus caryophyllus Linn.) melalui iradiasi sinar Gamma. J.Agron. Indonesia 37 (1): 62- 70. Arditti J, Ernst R. 1992. Micropropagation of Orchids. Departement of developmental and cell biology. University of California, Irvine. Arteca RN. 1995. Plant Growth Substances. Principles and applications. The Pennsylvania State University. Bacon CW, Porter JK, Norred WP, Leslie JF. 1996. Production of Fusaric acid by Fusarium species. Appl. Environ. Microbiol 62(11): 4039- 4043. Bakhshaie M, Babalar M, Mirmasoumi M, Khaligi A. 2010. Somatic embryogenesis and plant regeneration of Lilium ledebourii (Baker) Boiss an endagered species. Plant Cell Tissue Organ Cult. 102: 229- 235. Barakat MN, Fattah RSA, Badr M, El-Torky MG. 2010. In vitro mutagenesis and identification of new variants via RAPD markers for improving Chrysanthemum morifolium. Afr.J. Agric.Res. 5(8): 748- 757. Bezakova L, Mucaji P, Eisenreichova, Haladova M, Paulikova I, Oblozinky M. 2004. Effect of different compounds from Lilium candidum on lipoxygenase activity. Acta facultatis pharmaceuticae universitatis comenianae, Bratislava. Challinar VL, De Voss JJ. 2013. Open chain steroidal glycosides, a diverse class of plant saponins. Nat.Prod.Rep. School of chemistry and molecular biosciences, the university of Queensland, Brisbane.4072. Australia. 30(3) : 429- 54. Chandra R, Kamle M, Bajpai A, Muthukumar M, Kalim S. 2010. In vitro selection : A candidate approach for disease resistance breeding in fruit crops. Asian Journal of Plant sciences. 9: 437-446. Chang C, Chen CT, Ching Tsai Y, Chang WC. 2000. A Tissue culture protocol for propagation of a rare plant Lilium speciosum Thunb.var. gloriosoides Baker. Bot. Bull. Acad. Sin. 41: 139- 142. Chawla HS, Wenzel G. 2006. In vitro selection for Fusaric Acid Resistant Barley Plants. Plant Breeding. Vol.99, Issue 2 : 159- 163. Publishing on line : 28 APR 2006. Chen LM, Cheng JT, Chen EL, Yiu TJ, Liu ZH.2002. Naphthaleneacetic acid suppresses peroxidase activity during the induction of adventitious roots in soybean hypocotyls. Sci. Direct.159: 1349- 1354.
72
Chun-ling N, Sheng-Ju W, Zhuang-zhi S, Chang-chun H. 2009. Optimization for ultrasonic-acid hydrolysis extraction of diosgenin by response surface methodology. Journal of Shaaxi University- Natural Science. Chung MY, Chung JD, van Tuyl JM, Lim KB. 2009. Fertility restoration of F1 OA interspecific hybrid by spontaneous meiotic polyploidization and analysis of their progenies. Korean Jurnal of Breeding Science 41(3): 213219. Datta, SK., Mirsa P, Mandal AKA. 2005. In vitro mutagenesis- a quick method for establishment of solid mutant in chrysanthemum. Curr. Sci. 88(1): 155157. Direktorat Perbenihan dan Sarana Produksi Direktorat Jenderal Hortikultura 2011.Data Ekspor Impor Tanaman Hias. Esposito D, Munafo JP, Lucibello T, Baldeon M, Komarnytsky S, Gianfagna TJ. 2013. Steroidal glycosides from the bulbs of easter lily (Lilium longiflorum Thunb.) promote dermal fibroblast migration in vitro. J.Ethnopharmacol.148(2): 433- 40. Feng Lian R, Chang gui Q, Yan L. 2005. Extraction process of total saponins from Lilium Brownii. Journal of Central South University of Technology (Natural Science).01. Fenwick DE, Oakenfull D. 1983. Saponin content of food plants and some prepared foods. Journal of the science of food and agriculture. Godo T, Kobayashi K, Tagami T, Matsui K, Kida T. 1998. In vitro propagation utilizing suspension cultures of meristematic nodular cell clumps and chromosome stability of Lilium formolongi .Sci. Hort. 72: 193–202 Goel G, Makkar HP, Becker K. 2008. Changes in microbial community structure, methanogenesis and rumen fermentation in response to saponin rich fractions from different plant materials. J.Appl.Microbiol.105(3): 770-7. Gonzales RB, Lim KB, Zhou S, Ramanna MS, van Tuyl JM. 2008. Interspecific hybridization in lily: the use of 2n- gametes in interspecific lily hybrids. Floricult. Ornam. Pl. Biotechnol 5: 146- 151. Han BH, H Ju Yu, B Woo Yae and KY Peak. 2004. In vitro micropropagation of Lilium longiflorum’Georgia’ by shoot formation as influenced by addition of liquid medium. Scientia Horticulturae. 103: 39-49. Hartana A, 2003. Elektroforesis sebagai alat pelacak marka molekul biologi. Pelatihan teknik analisis dengan metode dan peralatan mutakhir di bidang hayati dan kimia. Pusat studi ilmu hayati, LP-IPB. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Hong X X, Luo JG, Guo C , Yi Kong L. 2012. New steroidal saponins from the bulbs of Lilium brownii var.viridulum. Carbohydrate research.361 : 1926. Ishimori T, Niimi Y, Han DS. 2009. In vitro flowering of Lilium rubellum Baker. Sci. Hort. 120: 246- 249. Khan N, Gonzalez RB, Ramanna MS, Arens P, Visser RGF, van Tuyl JM. 2010. Relevance of unilateral and bilateral sexual polyploidization in relation to intergenomic recombination and introgression in Lilium species hybrids. Euphytica 171(2): 157- 173.
73
Khan N, Ramanna MS, Arens P, Herrera J, Visser RGF, van Tuyl JM. 2009. Potential for analytic breeding in allopolyploids: an illustration from Longiflorum x Asiatic hybrid lilies (lilium). Euphytica 166(3): 399- 409. Kumar S, Chaudhary V , Kanwar JT. 2008. Bulblet regeneration from in vitro roots of Oriental lily hybrid. J. Fruit. Ornam. Plant Res.16: 353- 360. Lamseejan S, Jompuk P, Wongpiyasatid A, Deeseepan S, Kwanthammachart P. 2000. Gamma- rays induced morphological changes in Chrysanthemum (Chrysanthemum morifolium). J.(Nat.Sci). 34: 417- 422. Lan TH, Hong PI, Huang CC, Chang WC, Lin CS. 2009. High frequency direct somatic embryogenesis from leaf tissues of Drimiopsis kirkii Baker (giant squill). In vitro Cell Dev.Biol Plant. 45: 44- 47. Lian ML, D Chakrabarty, and KY Paek. 2003. Growth of Lilium oriental hybrid ‘Casablanca’ bulblet using bioreactor culture. Scientia Horticulture 97: 4148. Lian ML, HN Murthy and KY Paek. 2002. Effects of light emitting diodes (LEDs) on the in vitro induction and growth of bulblets of Lilium oriental hybrid ‘Pesaro”. Sci. Hort. 94: 365- 370. Lim JH, Rhee HK, Kim YJ, van Tuyl JM. 2003. Resistance to Fusarium oxysporum f.sp. lilii in Lilium. Proc.XXIV IHC- Asian Plants.Acta Hort. 620, ISHS.311- 318. Lim K, Gonzalez RB, Zhou S, Ramanna MS, van Tuyl JM. 2008. Interspecific hybridization in lily (lilium). Taxonomic and commercial aspects of using species hybrids in breeding. Floricult.Ornam.Pl.Biotechnol 5: 146- 151. Lingfei X, FengWang M, Dong L. 2009. Plant regeneration from in vitro culture leaves of Lanzhou lily (Lilium davidii var. Unicolor). Sci Hortic. 119: 458- 461. Loffler HJM, Mouris JR. 1992. Fusaric acid: phytotoxicity and in vitro production by Fusarium oxysporum f.sp. lilii, the causal agent of basal rot in lilies. Neth.J.Pl.Path. 98: 107- 115. Matsumoto K, Barbosa ML, Souza LAC, Teixeira JB. 1995. Race 1 fusarium wilt tolerance on banana plants selected by fusaric acid. Euphytica.84 : 67-71. Mimaki Y, Nakamura O, Sashida Y, Satomi Y, Nishino A, Nishino H. 1994. Steroidal saponins from the bulbs of Lilium longiflorum and their antitumour- promoter activity. Phytochemistry. 37(1): 227- 32. Mimaki Y, Sashida Y, Nakamura O, Nikaido T, Ohmoto T. 1993. Steroidal saponins from the bulbs of Lilium regale and L.henryi. Phytochemistry 33 (3): 675- 82. Mimaki Y, Satou T, Kuroda M, Sashida Y, Hatakeyama Y. 1998. New steroidal constituents from the bulbs of Lilium candidum. Chem. Pharm Bull. 46(11): 1829- 32. Mizuguchi S, Ohkawa M.1994. Effects of naphthaleneacetic acid and benzyladenine on growth of bulblets regenerated from white callus of mother scale of Lilium japonicum Thunb. Journal of the Japanese Society for Horticultural Science 63(2): 429- 437. Mori S, Adachi Y, Harimoto S, Suzuki S, Nakano M. 2005. Callus formation and plant regeneration in various lilium species and cultivars. In vitro cell.Dev.Bio.Plant. 41: 783- 788.
74
Munafo JP, Gianfagna TJ. 2011. Antifungal activity and fungal metabolism of steroidal glycosides of Easter lily (Lilium longiflorum Thunb.) by the plant pathogenic fungus, Botrytis cinerea. J.Agric.Food.Chem.59(11): 5945- 54. Nadeem Khan, M. 2009. A molecular cytogenic study of intergenomic recombination and introgression of chromosomal segments in lilies (Lilium). PhD thesis. Wageningen University.121. Nakamura O, Mimaki Y, Nishino H, Sashida Y. 1994. Steroidal saponins from the bulbs of Lilium speciosum x L. nobilissimum ‘Star Gazer” and their anti tumour promoter activity. Phytochemistry. The International Journal of Plant Biochemistry.36(2): 463-467. Nazir IA, Riazudin S. 2008. In vitro selection for Fusarium wilt resistance in Gladiolus. J.Integr Plant Biol. 50(5):601-12. Notz R, Maurhofer M, Dubach H, Haas D, Defago G. 2002. Fusaric acidProducing strains of Fusarium oxysporum Alter 2,4Diacetylphloroglucinol Biosynthetic Gene expression in Pseudomonas fluorescens CHA0 in vitro and in the Rhizosphere of Wheat. Applied and Environmental Microbiology. 68(5): 2229- 2235. Nwachuckwu EC, Mbanaso ENA, Nwosu KI. 2010. The development of new genotype of the White Yam by mutation induction using Yam Mini tubers. Food and agriculture organization of the united nations. Rome.309- 312. Obata Y, Niimi Y, Nakano M, Okazaki K, Miyajima I. 2000. Interspecific hybrids between Lilium nobilissimum and L.regale produced via ovules- withplacental-tissue culture. Sci Hortic. 84: 191- 204. Pekkapelkonen V. 2005. Biotecnological Approaches in Lily (Lilium) Production. Faculty of Science Departement of Biology University of Oulu- Finland.Phd Thesis. Purnamaningsih R, Mariska I. 2005. Seleksi in vitro tanaman padi untuk sifat ketahanan terhadap aluminium. Jurnal Bioteknologi Pertanian. 10(2): 6169. Rao AV, Gurfinkel DM.2000.The bioactivity of saponins: triterpenoid and steroidal glycosides. Departement of Nutritional Sciences. University of Toronto Canada. Remotti PC, Loffler HJM. 1997. In vitro selection with fusaric acid : A novel approach to breed for Fusarium resistance in Gladiolus. ISHS Acta Horticulturae 447: III International Symposium on In vitro Culture and Horticultural Breeding. Remotti PC, Loffler HJM, van Vloten Doting L. 1997. Selection of cell-lines and regeneration of plants resistant to fusaric acid from Gladiolus x grandiflorus cv. Peter Pears. Euphytica. 96:237- 245. Remotti PC, van Harmelen MJ, Loffler HJM. 1996. In vitro Selection for Fusarium-Rresistance in Gladiolus. ISHS Acta Horticulturae 430:VII International Symposium on Flowerbulbs. Remotti PC. 1996. The role of fusaric acid in the Fusarium- Gladiolus interaction and its application in in vitro selection for resistance breeding. Phd.thesis. Wageningen- The Netherlands. Rice LJ, Finnie JF, van Staden. 2011. In vitro bulblet Production of Brunsvigia undulata from twin scales. Science Direct. S. Afr. J. Bot. 77: 305- 312.
75
Sala CA, Bulos M, Echarte AM. 2008. Genetic analysis of induced mutation conferring imidazolinone resistance in sunflower. Crop Sci. 48. Shi B, Tang P, Hu X, Liu JO, Yu B. 2005. OSW saponin: facile synthesis to ward a new type of structures with potent antitumor activities. J.Org.Chem.70 (25): 10354- 67. Smulders MJ, ETWM van de Ven, AF Croes , Wullems GJ. 1990. Metabolism of 1-naphthhaleneacetic acid in explants of tobacco : Evidence for release of free hormone from conjugates. Journal of Planlt Growth Regulation 9(1): 27- 34. Soltis DE, Soltis PS. 1989. Isozymes in Plant Biology. Advances in Plant Science vol.4.Washington. Straathof TP. 1994. Studies on the Fusarium lily interaction: a breeding approach.Phd Thesis.Wageningen University- The Netherland. Straathof TP, Loffler HJM. 1994. Screening for Fusarium resistance in seedling populations of Asiatic hybrid lily. Euphytica. 78: 43-51. Tan Nhut D, B Van Le, M Tanaka and KR Thanh Van. 2001. Shoot induction and plant regeneration from receptacle tissue of Lilium longiflorum. Scientia Horticulture 87: 131- 138. Tan Nhut D, NT Minh Hanh, PQ Tuan, LT Minh Nguyet, NTH Tram, NC Chinh, NH Nguyen and DN Vinh. 2006. Liquid culture as a positive condition to induce and enhance quality and quantity of somatic embryogenesis of Lilium longiflorum. Scientia Horticulturae 110: 93-97. Tan Nhut D, Doan Tam NT, Quoc Luan V, Thien NQ, 2010. Standardization of in vitro Lily (Lilium, spp) Planlets for Propagation and Bulb Formation. Takayama S, Misawa M. 1979. Differentiation in Lilium Bulbscales grown in vitro. Effect of various cultural conditions. Physiologia Plantarum.46: 184- 190. Timmermann A. 2004. 500 Essential Garden Plants. Rebo International b.v.Lisse, The Netherlands. Toyoda H, Matsuda Y, Shimizu K, Ogata H, Hashimoto H, Ouchi S. 1988. In vitro selection of Fusaric acid- resistant regenerants from tomato leaf explant- derived callus tissues. Plant Tissue Culture. 5(2): 66-71. Van Harten AM. 1998. Mutation Breeding : Theory and Practical Applications. Cambride University. Van Heusden AW, Jongerius MC, van Tuyl JM, Straathof THP, Mes JJ. 2002. Molecular assisted breeding for disease resistance in lily. Acta Hortic. 572: 131- 138. Van Tuyl JM. 2012. Ornamental plant breeding activities worlwide. Acta Hort. 953: 13- 17. _______, Arens P. 2011. Lilium: breeding history of the modern cultivated assortment. Acta Hort. 900: 223- 230. _______. 2009. GISH analysis of subsequent progeny crossed with 2n-gametes of F1 Oriental-Asiatic interspecific hybrid in lily. Korean Journal of Horticultural Science and Technology. 27(4): 649- 656. _______, Maas I, Lim KB. 2002. Introgression in interspecific hybrids of lily. Acta Hort. 570: 213- 218.
76
_______ , Chi HS, van Kronenburg BCM, Meijer B. 1996. Interspecific lily hybrids: a promise for the future. International Symposium on Flowerbulbs VII. 430: 829- 836. Wang J, Zhang Y, Zhu Z, Zhu S, Li Y, Li M, Yu B. 2007. Exploration of the correlation between the structure, hemolitic activity and cytotoxicity of steroid saponins. Bioorg.Med.Chem.15(7): 2528- 32. ______, Huang L, Zhu Bao M, Feng Liu G. 2009. Production of interspcifik hybrids between Lilium longiflorum and L.Iophophorum var. linearifolium via ovule culture at earlystage. Euphytica. 167: 45- 55. Wu H, Zheng S, Bi Y, Zhu Y . 2009. Saponin: A Possible relation with Fusarium oxysporum f.sp. lilii resistance in lilies (Lilium L.).ISHS Act.Hort.855: XXIII International EUCARPIA Symposium. Xiao-bin W, Feng-lian R, Chang-gui Q, Hong-yi W. 2006. Successive extracting saponins and polisaccharides from lily. Guangzhou Chemistry. 2006-02. Xie S, Khan N, Ramanna MS, Niu L, Marasek A, Arens P, van Tuyl JM. 2010. An assessment of chromosomal rearrangements in neopolyploids of lilium hybrids. Genome. 53(6); 439- 446. Yamagishi M. 1995. Effects of mannose on enlargement of in vitro bulblets of Lilium japonicum Thunb. Bulletin of Research Institute of Agriculture Resources, Ishikawa Agricultural College (4): 86-89. Zakaria M, Sawan, Sakr RA, Ahmed FA. 1989. Effect of 1-naphthaleneacetic on seed, protein, oil and fatty acids of egyptian cotton. Journal of American Oil Chemists Society. 66: 1472- 1474. Zhou S, Ramanna MS, Visser RGF, van Tuyl JM. 2008. Analysis of the meiosis in the F1 hybrids of Longiflorum x Asiatic (LA) of lilies (Lilium) using genomic insitu hybridization. Journal of Genetics and Gneomics. 35 (11), 687-695
77
LAMPIRAN Lampiran 1. Morfologi bunga lili
Bunga lili cv.Frutty Pink
Eksplan lili cv.Purple Maroon
Lili Oriental cv. Sorbon
Lili Asiatik cv. Purple Maroon
78
Lampiran 2. Karakteristik lili Oriental cv. Sorbon No Karakter Keterangan 1. Bunga Menghadap ke atas 2. Tinggi tanaman 36- 38 inchi (90- 120 cm) 3. Paparan matahari Cahaya penuh hingga sedikit teduh 4. Warna bunga Magenta (Pink- ungu) Putih (hampir putih) 5. Waktu berbunga Bunga pertama 90 hari, Tengah musim panas 6. Bentuk bunga Bowl-flat (seperti mangkok- datar) 7. Ukuran bunga 3- 6 inchi (76- 150 mm) 6- 12 inchi (151- 300 mm) 8. Pola warna Spot/ bercak 9. Daun Tekstur halus, glossy dan herbaceous, 10. bentuk daun ovate, warna daun hijau medium (RHS 135A). 11. Umbi Ukuran : 16- 18 cm, warna putih (RHS 157B) sedikit pink. 12. Lain- lain -Tanaman ini menarik bagi serangga seperti lebah, kupu-kupu dan burung. -Bunga wangi -Bunga cocok untuk bunga potong 13. pH tanah 4.6- 5 (keasaman tinggi) 5.1- 5.5 (keasaman kuat) 5.6- 6.0 (asam) 14. Metode perbanyakan rhizoma, umbi, corm, sisik umbi. 15. Vase life 21 hari 16. Lingkungan tumbuh Tanah porous
79
Lampiran 3. Komposisi Media MS (Murashige and Skoog) untuk induksi kalus lili dan regenerasinya No. Komponen Jumlah No. Komponen Jumlah per liter per liter (mg/l) (mg/l) Senyawa Makro Asam amino 1. Ammonium 15. Glycine 2 nitrate (NH4 NO3) 1650 2. Calcium chloride 16. myo-Inositol 100 (CaCl2.2H2O) 440 3. Magnesium sulfate 370 (Mg.SO4 .7H2O) 4. Potassium nitrate Vitamin (KNO3) 1900 5. Monopotassium 17. Niacin phosphate (Nicotinic acid) 0.5 (KH2 PO4) 170 18. Pyridoxine (vitamin B1) 0.5 19. Thiamine Pengelat (vitamin B1) 0.1 6. Na2EDTA 37.3 7. FeSO4.7H2O 27.8 Auksin 20. Naphthaleneacetic acid (NAA) Senyawa Mikro Sitokinin 8. Boric acid 21. Kinetin (H3BO3) 6.2 9. Cobalt chloride 22. Thidiazuron (CoCl2.6H2O) 0.025 10. Copper sulfate (CuSO4.5H2O) 0.025 11. Manganese sulfate (MnSO4.4H2O) 22.3 12. Potassium iodide (KI) 0.83 13. Sodium molybdate (Na2MoO4.2H2O) 0.25 14. Zinc sulfate (ZnSO4.4H2O) 8.6 Sumber : Arditti dan Ernst. 1992.
80
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cepu, Jawa Tengah pada tanggal 24 Oktober 1972 sebagai anak kedua dari pasangan Bapak H. Mashudi dan Ibu Hj. Darmini. Pendidikan sarjana pertanian Bidang Studi Budidaya Pertanian diperoleh pada Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, lulus tahun 1995. Penulis mendapatkan beasiswa pendidikan dari Badan Litbang Pertanian untuk melanjutkan program S2 Bidang Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB, lulus tahun 2004. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S3 pada program studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman IPB diperoleh pada tahun 2009, dengan beasiswa Badan Litbang Pertanian. Penulis bekerja sebagai peneliti di Balai Penelitian Tanaman Hias Segunung sejak tahun 1998. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab penulis ialah pemuliaan tanaman dan kultur jaringan. Penulis menjadi anggota tim pelepas tujuh varietas krisan dan satu varietas anggrek Phalaenopsis Balithi. Selama mengikuti program S3, penulis menjadi anggota Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia dan aktif mengikuti beberapa macam pelatihan dan seminar. Pelatihan yang diikuti antara lain pelatihan tata kelola, penulisan karya tulis ilmiah dan publikasi pada jurnal internasional, perancangan percobaan, serta penulisan jurnal dalam bahasa inggris yang diselenggarakan oleh IPB bekerjasama dengan Badan Litbang Pertanian. Karya ilmiah yang berjudul Induksi kalus dan bulblet serta regenerasi tanaman lili varietas Sorbon dari tangkai sari bunga telah diterbitkan dalam Jurnal Hortikultura Vol. 22 No.4 Tahun 2012. Artikel ilmiah yang berjudul Induksi kalus tiga kultivar lili dari petal bunga pada beberapa jenis media telah dipresentasikan pada Seminar Nasional PERHORTI di Lembang tanggal 23-24 November 2011 dan diterbitkan dalam Jurnal Hortikultura Indonesia Vol.3 No.1, April 2012. Karya ilmiah lain yang berjudul Iradiasi sinar Gamma pada kalus lili Oriental cv. Sorbon untuk menginduksi keragaman in vitro, telah dipresentasikan pada Seminar PERIPI di Bogor, tanggal 6-7 November 2012. Artikel berjudul Pengaruh pencahayaan dan konsentrasi gula pada pembentukan umbi dari kalus lili telah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Florikultura di Segunung tanggal 29 Agustus 2013 dan terbit dalam bentuk prosiding serta Callus induction and plant regeneration of lilium from filament telah dipresentasikan dalam bentuk poster pada International Conference on Tropical Horticulture di Yogyakarta tanggal 2-4 Oktober 2013. Karya ilmiah berjudul Variability of lily through induced mutation and in vitro selection for resistance of Fusarium oxysporum f.sp. lilii telah masuk tahapan review 1 pada Emirates Journal of Food and Agriculture. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.