A. Dasar – Dasar Teori Vygotsky Terdapat perbedaan cara memandang proses perkembangan mental anak dari Piaget dan Vygotsky. Piaget menekankan pada perkembangan intelektual individu dengan mengabaikan konteks sosial dan budaya. Sedangkan Vygotsky sangat memperhatikan aspek sosial dalam belajar. Vygotsky percaya bahwa interaksi sosial dengan orang yang ada di sekitar anak akan membangun ide baru dan mempercepat perkembangan intelektual (Arend, 2004: 397). Berbeda dengan yang dikembangkan Piaget dalam konstruktivisme radikalnya, teori yang dikembangkan oleh Vygotsky tersebut disebut konstrutivisme sosial. Secara umum, teori Vygotsky berfokus pada interaksi sosial pada tiga faktor, yakni budaya (culture), bahasa (language), dan zone of proximal development (Oakley, 2004: 38). Dalam penelitiannya, Vygotsky lebih memfokuskan perhatian pada hubungan dialektika antara individu dan masyarakat, dimana interaksi sosial dapat mempengaruhi hasil belajar (Suparno, 1997: 45). Perbedaan teori Piaget dan teori Vygotsky dapat dilihat pada tabel dalam Lampiran 1. Damon (1984), Murray (1982), dan Wadsorth (1984) adalah penganut paham konstruktivisme. Mereka berpendapat bahwa dengan adanya interaksi antar siswa maka kemampuan siswa itu sendiri akan berkembang. Siswa akan belajar dari siswa yang lain, karena ketika mereka mendiskusikan materi (contents), akan muncul konflik kognitif, penalaran yang tidak tepat akan terlihat, dan pemahaman yang berkualitas akan terbentuk (Slavin, Robert E, 1990, p.18). Thousand, Jacqueline S. dkk. (1994: 7) mengemukakan bahwa dalam pengajaran yang menekankan terjadinya interaksi antar siswa, guru mengijinkan
siswa untuk berdiskusi dengan siswa lain dalam mengerjakan tugas. Bahkan mereka juga diperbolehkan meniru cara pengerjaan yang dilakukan oleh siswa lain. Menurut Vygotsky (1987) selama berinteraksi di kelas siswa dapat mengembangkan konsep ilmiahnya melalui proses pembelajaran itu sendiri. Sedangkan konsep spontan diperoleh siswa dari kehidupan sehari-hari. Namun Vygotsky
tidak menjelaskan secara rinci peranan konsep spontan dalam
pembentukan konsep ilmiah atau sebaliknya. Dalam interaksi sosial anak dengan orang yang lebih pintar atau trampil, anak ditantang untuk mengerti konsep ilmiah dan mengembangkan konsep spontan mereka (Suparno, 1997: 45). Proses ini disebut dengan proses konsultasi. Melengkapi teori Vygotsky dalam hal konstruksi sosial yang terjadi pada interaksi antar individu yang setingkat, Gravemeijer (1991, p.68) menyatakan jika interaksi itu terjadi dengan orang lain yang setara maka konstruksi pengetahuan itu sendiri dapat terjadi melalui proses negosiasi. Kemudian melalui proses konsultasi dan negosiasi anak akan menyesuaikan diri dengan berbagai ragam konstruksi. Berdasarkan tiga faktor interaksi sosial dari Vygotsky (yakni budaya, bahasa, dan ZPD), Slavin (1997) menurunkan empat prinsip yang dapat dilakukan dalam pembelajaran di kelas yang meliputi pembelajaran kooperatif, pemagangan kognitif (Cognitive Apprenticeschip), ZPD, dan scaffolding (Rahmah Johar, 2001). Oakley (2004) menyebut pemagangan kognitif dengan istilah expert others. Pembelajaran
kooperatif
menekankan
pada
hakekat
sosial
dari
pembelajaran dimana siswa dihadapkan pada proses berpikir teman sebayanya dengan harapan siswa lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep
yang sulit jika mereka saling mendiskusikan masalah tersebut dengan temannya (Slavin, 1995). Proses diskusi antar siswa tersebut ada dua bentuk yakni tutor sebaya atau kolaborasi. Penelitian dari Forman dan Cazden (1985) mencoba memanfaatkan siswa menjadi sumber belajar. Dalam penelitian tersebut, kemampuan anak dalam pemecahan masalah tumbuh apabila guru memberikan kesempatan kepada para siswa untuk berkolaborasi dengan siswa yang lainnya manakala ia menghadapi beberapa masalah dalam pembelajaran (Thousand, J.S. 1994, p. 9). Bentuk tutor sebaya dalam pembelajaran kooperatif berkaitan erat dengan konsep pemagangan berikut. Pemagangan kognitif (Cognitive Apprenticeschip) adalah suatu proses dimana seseorang yang belajar secara bertahap demi setahap memperoleh keahlian dalam interaksinya dengan seorang pakar, pakar itu bisa orang dewasa atau orang lain yang lebih tua atau kawan sebaya yang telah menguasai permasalahannya (Rahmah Johar, 2001). Pemagangan kognitif tersebut tidak terbatas magang pada orang, namun bisa juga magang pada komputer. Dalam hal ini komputer dianggap sebagai sesuatu di luar siswa yang lebih pintar dari siswa tersebut. Hippisley (2001) telah meneliti tentang belajar individu yang dilengkapi tutorial komputer (Oakley, 2004, p. 44). Dalam penelitian tersebut, siswa diminta menyelesaikan tes komputer hingga ia tidak mampu mengerjakannya sendiri kemudian ia beralih ke tutorial yang menuntunnya menyesaikan masalah tersebut. Komputer mencatat tipe bantuan dan berapa banyak bantuan yang diberikan. Ternyata siswa dapat mengerjakan soal sesuai dengan tingkat kemampuannya tetapi ia memerlukan
tuntunan manakala memerlukan. Bantuan yang diperlukan siswa dapat terjadi pada tahap awal, tengah, atau pada akhir proses belajar. Teori Vygotsky yang paling terkenal adalah Zone of Proximal Development (ZPD). Dalam bukunya Vygotsky (1978, p. 86) mendefinisikan ZPD dengan “… the zone of proximal development …. is the distance between the actual developmental level as determined by independent problem solving and the level of potential development as determined through problem solving under adult guidance or in collaboration with more capable peers.” Arend (2004, p. 397) mengartikan yang dimaksud dengan adult dan capable peer dalam definisi di atas sebagai bantuan dari orang lain seperti guru, orang tua, ada teman yang lebih pintar. Sedangkan Oakley (2004, p.41) mengistilahkannya dengan experienced others dan juga expert others. Vygotsky menekankan pada bantuan yang terjadi terkait kejadian interaksi antar manusia. Namun dalam pembelajaran ada juga bantuan dari selain manusia. Oakley (2004, p.44-45) secara implisit menyebutkan bahwa bantuan tersebut dapat dilakukan oleh selain manusia yakni oleh komputer. Bahkan menurut Ruseffendi (2006) tentang pengajaran individual, bantuan tersebut dapat diperoleh siswa melalu modul atau peralatan audio visual. Level pengembangan aktual (actual development) dicapai siswa bilamana ia belajar sendiri tanpa bantuan orang lain dalam menyelesaikan masalah. Namun capaian tersebut akan meningkat mencapai level pengembangan potensial (potensial development) bila ketika siswa belajar ia mendapat bantuan orang lain. Area antara level pengembangan aktual dengan level pengembangan potensial
disebut dengan ZPD (zone of proximal development). Ilustrasi konsep ZPD disajikan dalam gambar berikut. Zone of Proximal Development Level of Potential Development Level of Actual Development Current Intellectual Area yang diarsir menggambarkan daerah perkembangan yang diperoleh seseorang apabila belajar sendiri tanpa bantuan orang lain. Sehingga area ini merepresentasikan konsep konstuktivisme dari Piaget. ZPD setiap individu selalu berkembang namun tentu perkembangan tersebut ada keterbatasaannya. Hal yang menarik kemudian adalah mengkaji peristiwa perkembangan ZPD yang terjadi. Apakah areanya semakin lama semakin kecil, artinya semakin tua semakin pelan, atau bagaimana.
Hal lain yang perlu dikritisi adalah bahwa ZPD bersifat
individual sehingga di dalam kelas akan terdapat ZPD yang bervariasi. Scaffolding
dapat
dimaknai
dengan
dukungan
dinamis.
Gagasan
scaffolding sebenarnya bukan berasal dari Vygotsky namun dari Bruner. Bruner mengembangkan secara lebih lanjut gagasan yang dikemukakan oleh Vygotsky. Hasil pengembangan oleh Brunner dapat dilihat pada Lampiran 2. Brunner menganjurkan bahwa orang yang lebih pandai menyediakan scaffolding dalam memberi bantuan agar orang yang belajar dapat mencapai level of potential development. Misalkan guru menyiapkan kerangka kerja atau scaffold sementara siswa mengembangkan ilmunya. Pada waktu permulaan guru memberi banyak
saran-saran dan tuntunan. Bantuan ini semakin berkurang seiring dengan bertambahnya pengetahuan siswa (Oakley , 2004, p. 42). Thousand, J.S. (1994, p. 9) menuliskan bahwa bantuan dari guru terhadap siswa dalam mengerjakan soal atau dalam menyelesaikan tugas sekolah lainnya akan menghemat waktu belajar siswa. Namun demikian menurut Oakley (2004), pemberian bantuan oleh guru melalui scaffolding yang disarankan oleh Vygotsky memakan waktu dan kurang tepat dalam sistem pendidikan sekarang, khususnya dalam kelas besar dan guru yang kurang profesional.
B. Penggunaan Teori Vygotsky dalam Pembelajaran Matematika Bantuan seorang yang lebih dewasa atau yang lebih kompeten dengan maksud agar si anak mampu untuk mengerjakan tugas-tugas atau soal-soal yang lebih tinggi tingkat kerumitannya daripada tingkat perkembangan kognitif yang aktual dari anak yang bersangkutan disebut dukungan dinamis atau scaffolding. Scaffolding berarti memberikan sejumlah bantuan kepada siswa selama tahaptahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia dapat melakukannya ( Anonim, 2004, p. 2122). Dalam scaffolding, siswa diberi tugas yang kompleks, sulit, dan realistik dan kemudian diberi bantuan. Sejalan dengan scaffolding, Gravemeijer (1994:90-91) mengemukakan gagasan guided reinvention yang merupakan salah satu dari ketiga prinsip dalam RME (Realistic Mathematics Education). Dalam konsep guided reinvention
(penemuan kembali terbimbing), yang dimaksud dengan prinsip
reinvention
adalah siswa diberi kesempatan untuk mengalami proses yang serupa dengan proses ditemukannya matematika. Sehingga para siswa akan mengalami proses matematisasi (mathematizing). Dalam proses matematiasai siswa melakukannya tahap demi tahap. Bermula dari masalah situasional, siswa melakukan aktivitas referensial untuk mendapatkan hal-hal yang general guna merumuskannya dalam bentuk matematika formal (Gravemeijer, 1994: p. 102). Gagasan Gravemeijer tentang perkembangan kemampuan matematisasi siswa sejalan dengan yang dikemukan oleh Vykotsky dalam proses pemahaman suatu konsep
seperti gambar di bawah (Oakley, 2004, p. 43). Penjelasan
pengertian tiap-tiap tahap dapat dilihat pada Lampiran 3.
Tahap kematangan konsep Tahap potensi konsep Tahap kompleks Tahap gagasan samar Contoh kecil penggunaan teori Vygotsy dalam pembelajaran matematika adalah sebagai berikut. Prinsip pertama adalah pemberian masalah harus menantang namun tetap berada di dalam ZPD-nya. Misalkan tujuan akhirnya adalah siswa SMA kelas I dapat memahami jarak titik ke bidang, masalah yang sulit tersebut dapat dipermudah dengan memanfaatkan kubus. Misalkan siswa diminta menentukan jarak antara titik G ke bidang
BCGH pada kubus
ABCD.EFGH. Slavin (1990, p.18) menuliskan hasil penelitian Kuhn (1972) yakni
ZPD yang lebih kecil lebih kondusif bagi siswa. Mempermudah problem merupakan salah satu cara memperkecil ZPD. Masalah jarak titik ke garis yang merupakan masalah dalam matematika formal sehingga dalam pembelajarannya perlu disediakan tahap-tahap bantuan melalui pemberian scaffolding. Bantuan pertama dapat diberikan oleh guru dengan memberikan pertanyaan penuntun seperti berikut, (a) pertanyan tentang jarak dua titik, (b) pertanyaan tentang jarak beda ke garis, (c) pertanyaan jarak titik ke bidang. Dalam proses pembelajaran tersebut siswa melakukannya secara kooperatif sehingga memungkinkan terjadinya kolaboratif dan tutor sebaya. Oakley (2004, p. 45) merangkum dua penelitian tentang keuntungan tutor sebaya, yakni meningkatkan percaya diri (self-esteem and self-confidence) siswa dan berpengaruh positif terhadap hasil belajar. Selain itu pertanyaan di atas dapat memunculkan situasi konflik pada para siswa. Menurut penelitian Rahmah Djohar (2001), situasi konflik dapat meningkatkan konsepsi siswa dari 36% menjadi 80,3%.
Daftar Pustaka Anonim. 2004. Teori Belajar: MTK-24. Dalam Materi Pelatihan Terintegrasi: Matematika Buku 3. Jakarta: Depdiknas, Dirjen PDM, Direktorat PLP.
Arends, Richard I. 2004. Learning to Teach. 6th Edition. Boston: Mc Graw Hill.
Asri Budiningsih, C. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta Forgaty, Robin. 1997. Problem-Based Learning and Other Curriculum Models for the Multiple Intelegences Classroom. Melbourne: Hawker Brownlow Education.
Gravemeijer, K.P.E. 1991. An Instruction-theoretical reflection on the use of manipulatives. Dalam Realistic Mathematics Education in Primary School: On occasion of the opening of the Freudenthal Institute. Editor: Leen Streefland. Utrecht: CD β Press.
Gravemeijer, Koeno. 1994. Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht: CD β Press.
Oakley, Lisa. 2004. Cognitive Development.London: Routledge-Taylor & Francis Group.
Rahmah Johar. 2001. Konstruktivisme atau Realistik?. Makalah dalam Seminar Nasional Realistics Mathematics Education (RME), 24 Februari 2001. FMIPA Universitas Negeri Surabaya.
Russeffendi, E.T. 2006. Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya Dalam Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Penerbit Tarsito. Slavin, Robert E. 1990. Cooperative Learning: Theory, Research, and Practice. 2nd Edition. Boston: Allyn and Bacon.
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Thousand, Jacqueline S. dkk. 1994. Creativity and Collaborative Learning: A Practical Guide to Empowering Students and Teachers. London: Paul H. Brookes Publishing Co.
Vygotsky , L.S. 1978. Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes. Editor: Michael Cole, Vera John-Steiner, Sylvia Scribner, Ellen Souberman . Cambrigde, Massachusetts: Havard University Press.
LAMPIRAN 1 Perbandingan teori Piaget dan Vygotsky Sumber: Oakley (2004, 52)
TEORI PIAGET
TEORI VYGOTSKY
Keduanya setuju bahwa siswa adalah individu yang aktif belajar. Perkembangan berfikir dalam tahap Perkembangan berfikir bergantung pada pengenalan
bergantung
pada bahasa dan budaya.
kematangan alami Peran
guru
penting
namun
peran Peranan
individu yang lebih mampu selain guru mampu
individu
lain
merupakan
bukan merupakan konsep utama dalam fundamental
dalam
yang
lebih
bagian
yang
perkembangan
teori ini.
kognitif siswa.
Kesiapan merupakan konsep utama Siswa
perlu
didorong
untuk
dalam pendidikan. Siswa perlu siap berkembang melalui ZPD-nya. Siswa secara kognitif
untuk meningkatkan tidak harus siap untuk meningkat tetapi
belajarnya.
ia diberi kesempatan menyelesaikan masalah di atas tingkat kemampuannya tetapi masih di dalam ZPD-nya.
Teori Piaget tidak mengenal konsep Scaffolding merupakan konsep utama Scaffolding.
dalam teori ini.
Teori ini sangat berpengaruh dalam Sekarang, teori ini sangat berpengaruh pendidikan. Namun kemampuan anak dalam pendidikan. untuk mengembangkan strategi sendiri masih menjadi perdebatan.
LAMPIRAN 2 TAHAPAN-TAHAPAN SCAFFOLDING MENURUT BRUNER Sumber: Oakley (2004, p. 50)
TAHAP
DESKRIPSI
Pelibatan
Guru menarik perhatian siswa, membuat siswa aktif, dan mendorong siswa untuk berusaha.
Reduksi
Guru membuat tugas yang kompleks menjadi sederhana dengan mengurangi beberapa unsurnya sehingga siswa mampu menyadari sendiri bilamana ia telah selesai mengerjakannya.
Perawatan
Guru mempertahankan motivasi anak. Pertama ia mendorong
(maintenance)
siswa
kemudian problem itu sendiri menarik untuk
diselesaikan. Pemberian tanda
Guru memberikan/menandai tugas-tugas yang relevan. Ini memungkinkan siswa untuk membandingkan pekerjaannya dengan jawaban yang benar
dan mencari dimana
kesalahannya. Demonstrasi
Guru
memberi
contoh
beberapa
cara
mengerjakan.
Kemudian siswa menirunya.
LAMPIRAN 3 MODEL PEMBENTUKAN KONSEP DARI VYGOTSKY
Tahap kematangan konsep Tahap potensi konsep Tahap kompleks Tahap gagasan samar Sumber: Oakly (2004, p. 43).
1. Tahap gagasan samar (vague syncretics stage), siswa mempunyai potensi yang besar untuk melakukan coba-coba. 2. Tahap kompleks (complexes stage), siswa menggunakan berbagai strategi yang tepat namun belum mampu mengidentifikasi ciri (attribute) utamanya. 3. Tahap potensi konsep (potential concept stage), siswa baru mampu mengidentifikasi satu ciri dalam satu waktu. 4. Tahap kematangan konsep (mature concept stage), siswa mampu memproses beberapa ciri berbeda dalam satu waktu.