Dodon Indikator dan Perilaku Kesiapsiagaan Masyarakat Di Permukiman Padat Penduduk dalam Antisipasi Berbagai Fase Bencana Banjir Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 24 No. 2, Agustus 2013, hlm.125 – 140
INDIKATOR DAN PERILAKU KESIAPSIAGAAN MASYARAKAT DI PERMUKIMAN PADAT PENDUDUK DALAM ANTISIPASI BERBAGAI FASE BENCANA BANJIR Dodon Kelompok Keahlian Perencanaan Wilayah dan Desa, Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota,-SAPPK- Institut Teknologi Bandung Jalan Ganesha 10 Labtek IXA Bandung Email:
[email protected]
Abstrak Dalam kondisi negara Indonesia yang memiliki banyak potensi bencana alam, kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana menjadi salah satu isu yang penting dalam usaha pengurangan risiko bencana. Salah satu wilayah yang rentan terkena bencana banjir adalah Kelurahaan Baleendah, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di permukiman padat. Hampir setiap musim hujan datang, banjir dapat dipastikan terjadi di wilayah ini, sementara upaya pengurangan risiko bencana masih berfokus pada kebijakan struktural kurang mempertimbangkan kondisi masyarakatnya. Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi kesiapsiagaan masyarakat Kelurahan Baleendah dalam menghadapi bahaya banjir. Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis statistik deskriptif dan analisis korelasi untuk mengidentifikasi tingkat kesiapsiagaan dan hubungan antar faktor yang mempengaruhi kesiapsiagaan. Hasil studi menunjukkan bahwa tingkat kesiapsiagaan masyarakat terhadap bahaya bencana lebih rendah dibandingkan kesiapsiagaan masyarakat saat bencana dan setelah masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Kelurahan Baleendah memiliki kesiapsiagaan dalam kondisi darurat. Kata Kunci: Banjir, Bencana, Kesiapsiagaan Masyarakat, Kelurahan Baleendah
Abstract Under conditions of Indonesia which has a lot of potential natural disasters, community preparedness for disasters to be one of the important issues in disaster risk reduction efforts. One of the areas that are flood prone Kelurahaan Baleendah, especially for people who live in dense settlements. Almost every rainy season came, flooding can certainly occur in this region, while the disaster risk reduction has focused on structural policies did not consider the condition of the people. This study aims to identify Baleendah Village community preparedness in the face of the danger of flooding. The analytical method used is descriptive method of statistical analysis and correlation analysis to identify the level of preparedness and the relationships among factors affecting preparednes. The study results showed that the level of community preparedness against disasters is lower than the current community preparedness and disaster after community. This suggests that people have a Baleendah Village preparedness in an emergency. Keywords: Flood, Disaster, Community Preparedness, Baleendah Village
1. Pendahuluan
Kesiapsiagaan masyarakat cenderung diabaikan oleh pemerintah yang akan membuat keputusan. Selama ini masih banyak masyarakat yang mengantungkan kesiapsiagaan dan mitigasi kepada pemerintah dengan mengabaikan kesiapsiagaan pribadi masing-masing (Matsuda dan Okada, 2006).
Bencana banjir sudah menjadi isu nasional yang seakan tidak dapat diatasi lagi. Bencana banjir yang terjadi dibeberapa wilayah yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi. Upaya pengurangan dampak bencana yang dilakukan oleh pemerintah masih terfokus pada kebijakan struktural saja (Matsuda dan Okada, 2006). 125
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 21/No. 2 Agustus 2013
Kesiapsiagaan adalah suatu upaya yang dilaksanakan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda, dan berubahnya tata kehidupan masyarakat di kemudian hari (Gregg et al., 2004; Perry dan Lindell, 2008; Sutton dan Tierney, 2006). Kesiapsiagaan menghadapi bencana adalah suatu kondisi masyarakat yang baik secara individu maupun kelompok yang memiliki kemampuan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana di kemudian hari (Gregg et al., 2004; Perry dan Lindell, 2008; Sutton dan Tierney, 2006). Pemerintah membutuhkan masyarakat yang memiliki pengetahuan dan kesiapsiagaan dalam menghadapi suatu bencana untuk mengurangi risiko terhadap bencana (Matsuda dan Okada, 2006). Kesiapsiagaan dari masyarakat akan membuat masyarakat lebih siap ketika bencana melanda. Kesiapan masyarakat ini akan meminimalkan dampak negatif yang muncul dari suatu bencana yang terjadi. Bencana banjir yang datang secara berkala biasanya akan membentuk kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bahaya banjir yang ada. Kesiapsiagaan terbentuk oleh pengalaman mereka dalam menghadapi bencana banjir. Salah satu bencana yang sering melanda adalah bencana banjir di Kelurahaan Baleendah. Banjir di Kelurahaan ini sudah terjadi sejak tahun 2005 hingga sekarang. Masyarakat Kelurahaan Baleendah yang sering mengalami bencana banjir secara tidak langsung akan membentuk kesiapsiagaan sendiri. Hal ini, sebenarnya bisa di manfaatkan pemerintah dalam upaya mengurangi risiko bencana banjir yang terjadi. Berdasarkan penjelasan diatas diketahui bagaimana pentingnya tindakan kesiapsiagaan yang ada dimasyarakat. Masyarakat yang telah lama hidup berdampingan dengan bencana
banjir yang sering terjadi memiliki kesiapsiagaan tersediri untuk mengurangi dampak yang mereka rasakan. Tulisan ini bertujuan untuk menegidentifikasi kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana banjir di permukiman padat penduduk. Ada beberapa sasaran yang ingin dituju dalam tulisan ini diantaranya adalah mengetahui indikator kesiapsiagaan masyarakat dan mengetahui perilaku kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana banjir. Penelitian ini terdiri dari lima bagian utama. Bagian pertama membahas latar belakang dan tujuan penelitian. Bagian kedua membahas tinjauan literature terkait konsep bencana, risiko bencana, bahaya, kerentanan, dan kapasitas; bahaya banjir; dampak bencana banjir; dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bahaya. Bagian ketiga membahas metodologi penelitian. Bagian keempat berisi analisis kesiapsiagaan masyarakat Kelurahan Baleendah dalam Menghadapi Bahaya Banjir. Bagian terakhir berisi kesimpulan. 2. Tinjauan Literature 2.1 Konsep Bencana, Risiko Bencana, Bahaya (Hazard), Kerentanan, dan Kapasitas Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana dapat pula didefinisikan sebagai situasi krisis yang jauh diluar kapasitas manusia untuk menyelamatkan diri. Artinya, suatu kejadian
126
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 21/No. 2 Agustus 2013
alam ekstrim tidak akan disebut bencana apabila dampak atau kerugian yang ditimbulkannya tidak dirasakan oleh manusia. Bencana merupakan hasil interaksi dari potensi bahaya, faktor kerentanan, dan kurangnya kapasitas masyarakat dalam meminimalisir dampak negatif bencana tersebut. Untuk memahami konsep bencana dengan baik, perlu diketahui definisi dari kata-kata kunci berikut ini.
1. 2.
3. 4.
5. Risiko Bencana Risiko bencana adalah kemungkinan terjadinya kerusakan ataupun kerugian berupa korban jiwa, cedera, hilangnya harta benda, rusaknya tempat tinggal, dan sebagainya, sebagai akibat interaksi antara bahaya dengan kondisi manusia yang rentan (UN-ISDR, 2002). Analisis risiko bencana adalah proses menentukan jenis dan tingkat risiko bencana dengan menganalisis potensi bahaya serta mengevaluasi kondisi eksisting manusia, tempat tinggal, kegiatan, dan lingkungan yang meliputi kerentanan dan kapasitas terhadap bencana. Bahaya (Hazard) Bahaya dapat mencangkup kondisi yang bersifat laten yang bisa di mewakili ancaman di masa depan. Bahaya juga bersifat dinamis dan dampaknya pun akan berbeda antara satu dengan yang lainnya. Bahaya yang disebabkan oleh alam memiliki proses yang tidak menentu, sulit untuk diprediksi dan dinamis, dapat memicu bahaya lainnya dan mengubah lingkungan. Bahaya adalah peristiwa fisik, fenomena alam, ataupun aktivitas manusia yang berpotensi mengakibatkan kematian, cedera, kerugian harta benda, gangguan sosial ekonomi, dan ataupun kerusakan lingkungan (UN-ISDR, 2002). Menurut UN-ISDR (2002), bahaya dapat diklasifikasikan berdasarkan lima aspek yaitu:
Geological hazards, antara lain: gempa bumi, tsunami, gunung api, dan longsor. Hydrometeorological hazards, antara lain banjir, kemarau, angin topan, badai salju, dan gelombang pasang. Biological hazards, antara lain: wabah penyakit dan hama. Technological hazards, antara lain: kegagalan infrastruktur, polusi industri, aktivitas nuklir, tanggul yang jebol, dan kecelakaan transportasi. Environmental degradation, antara lain deforestasi, kebakaran hutan, polusi air dan udara, dan perubahan iklim.
Kerentanan dan Kapasitas Kerentanan merupakan suatu kondisi dari suatu masyarakat yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi bahaya. Tingkat kerentanan adalah suatu hal penting untuk diketahui sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap terhadap terjadinya bencana, karena bencana baru akan terjadi bila “bahaya” terjadi pada “kondisi yang rentan”(Wisner, 2004). Kerentanan merupakan sebuah kondisi yang ditentukan oleh proses fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan yang bisa meningkatkan kerawanan sebuah komunitas terhadap dampak bahaya (UNDP, 2004). Kerentanan dapat diartikan karakteristik dan situasi seseorang atau suatu kelompok meliputi faktor fisik, lingkungan, sosial, dan ekonomi yang memperbesar kemungkinan menderita dampak suatu bahaya (UN-ISDR, 2002). Kerentanan dapat pula diartikan sebagai faktor yang menentukan seberapa besar dampak yang dirasakan apabila terjadi bahaya. Sebaliknya, terdapat pula faktor kapasitas, yaitu penguasaan sumber daya, sikap, dan kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat, yang memungkinkan mereka untuk mempertahankan dan mempersiapkan diri untuk mencegah,
127
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 21/No. 2 Agustus 2013
menanggulangi, dan memulihkan diri dari dampak bencana. Sementara kapasitas merupakan hasil dari suatu persiapan yang direncanakan sebelum bencana terjadi (Taubenböck et al., 2008). Persiapan disini adalah kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Kapasitas ini mencakup fisik, sosial, ekonomi, serta karakteristik keterampilan pribadi maupun karakteristik kolektif (Buckle, 2006). Kapasitas seseorang menunjukan tingkat kesiapsiagaan dari orang tersebut. Sama seperti dengan kerentanan, kapasitas juga diklasifikasikan menjadi tiga aspek sebagai berikut. 1. Kapasitas fisik dan lingkungan, meliputi kapasitas manusia untuk mengurangi kecenderungannya terkena dampak bencana melalui pembangunan yang bersifat fisik pada lingkungan sekitar tempat tinggal dan berkegiatan. 2. Kapasitas sosial, meliputi sikap manusia untuk mengurangi kecenderungan menderita dampak bencana melalui pengembangan perilaku dan budaya yang positif serta pelaksanaan kegiatan yang bertujuan menambah wawasan masyarakat terkait bencana. 3. Kapasitas ekonomi, meliputi upaya manusia untuk memperkecil dampak bencana melalui pengelolaan harta benda yang baik, misalnya kepemilikan simpanan di bank. 2.2 Bahaya Banjir Banjir adalah dimana suatu daerah dalam keadaan tergenang oleh air dalam jumlah yang begitu besar. Sedangkan banjir bandang adalah banjir yang datang secara tiba-tiba yang disebabkan tersumbatnya sungai maupun karena pengundulan hutan disepanjang sungai sehingga merusak rumah penduduk maupun menimbulkan korban jiwa (Price, 2008).
Bencana banjir terjadi hamper disetiap musim hujan melanda Indonesia. Kejadian bencana banjir tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor alam berupa curah hujan yang diatas normal dan adanya pasang naik air laut. Disamping itu faktor ulah manusia juga berperan penting seperti penggunaan lahan yang tidak tepat (pemukiman di daerah bantaran sungai, di daerah resapan, penggundulan hutan, dan sebagainya), pembuangan sampah ke dalam sungai, pembangunan pemukiman di daerah dataran banjir dan sebagainya (Price, 2008). Penyebab umum terjadinya banjir diakibatkan oleh faktor cuaca, yaitu curah hujan. Curah hujan dengan intensintas yang tinggi yang terjadi pada waktu yang pendek biasanya merupakan penyebab utama banjir. Limpahan air hujan tersebut tidak dapat di tampung/di serap sistem drainase yang ada baik itu yang alami seperti sungai maupun yang buatan seperti saluran air. Kedua faktor tersebut yang mengakibatkan terjadinya banjir. Kemampuan daya tampung dari sistem pengaliran air yang ada juga tidak selamanya sama, terjadi perubahan berupa sedimentasi/penyempitan terhadap sistem pengairan yang ada. Penyempitan tersebut bisa diakibatkan oleh faktor alam bisa juga diakibatkan oleh faktor ulah manusia. Ulah manusia seperti membuang sampah sembarangan ,atau pembangunan kawasan perumahan ataupun industri yang tidak melihat kaidah-kaidah lingkungan seperti pembangunan pertokohan di daerah resapan air dan pemukiman di sepanjang sempadan sungai mengakibatkan terjadinya sumbatan/ penyempitan pada sistem pengairan. Selain itu penggundulan hutan di kawasan hulu menyebabkan berkurangnya daerah tangkapan air (catchment area), akibatnya debit/pasokan air yang masuk ke dalam sistem aliran yang ada mengalami peningkatan sehingga melampaui
128
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 21/No. 2 Agustus 2013
kapasitas pengaliran dan menyebabakan banjir terjadinya bahkan juga erosi.
2.4 Kesiapsiagaan Menghadapi Bahaya
2.3 Dampak Bencana Banjir
Kesiapsiagaan didefiniskan sebagai tindakan atau aktivitas yang dilakukan sebelum suatu bencana terjadi. Kesiapsiagaan menurut Gregg (2004) bertujuan untuk meminimalkan efek samping bahaya melalui tindakan pencegahan yang efektif, tepat waktu, memadai, efesiensi untuk tindakan tanggap darurat dan bantuan saat bencana. Tindakan kesiapsiagaan terhadap bencana banjir dapat berupa tindakan yang dilakukan untuk mengurangi dampak bencana baik dampak secara langsung maupun tidak langsung (Gissing, 2009). Upaya kesiapsiagaan juga bertujuan untuk memastikan bahwa sumber daya yang diperlukan untuk tanggap dalam peristiwa bencana dapat digunakan secara efektif pada saat bencana dan tahu bagaimana menggunakanya (Sutton dan Tierney, 2006).
Analisis bahaya banjir yang telah dilakukan dapat dilanjutkan dengan melakukan analisis terhadap dampak kerugian/kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana banjir. Dari sisi ekonomi Messner (2004) membagi kerugian/kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana banjir menjadi dua, yang bersifat langsung (direct) yaitu yang mengalami kontak fisik langsung dengan air dan tidak langsung (indirect) yaitu yang tidak mengalami kontak fisik dengan air. Kerusakan/kerugian yang ditimbulkan oleh bencana banjir secara langsung yang bersifat nyata dan terukur (tangibel) secara ekonomi seperti, kerusakan bangunan, infrastruktur, hasil pertanian/peternakan, barang-barang kebutuhan pokok dan sebagainya. Sedangkan yang bersifat tidak terukur (intangible) berupa adanya korban luka-luka maupun korban jiwa, rusaknya kualitas lingkungan. Sedangkan dampak dari bencana banjir secara tidak langsung terhadap daerah-daerah yang tidak tergenang, secara nyata dapat terlihat pada berkurangnya produksi (dari sektor pertanian maupun perdagangan/jasa), terganggunya sistem distribusi. Selain itu, berkurangnya daya saing wilayah, migrasi sampai dengan bertambahnya kerentanan ekonomi disuatu wilayah merupakan dampak yang tidak langsung mempengaruhi perekonomian suatu wilayah yang tidak mengalami banjir secara langsung.
Masyarakat
Kesiapsiagaan akan membuat masyarakat mempertimbangkan berbagai hal dalam melakukan segala tindakan mereka sehingga tidak berisiko terkena dampak bencana banjir (Zhai et al, 2005). Kesiapsiagaan adalah kegiatan yang sifatnya perlindungan aktif yang dilakukan pada saat bencana terjadi dan memberikan solusi jangka pendek untuk memberikan dukungan bagi pemulihan jangka panjang (Sutton dan Tierney, 2006). Kesiapsiagaan secara struktural sulit dilakukan oleh rumah tangga miskin sehingga pemerintah harus mulai mendorong kesiapsiagaan secara non-strukutral (Price, 2008). Tingkat kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bahaya banjir juga bergantung pada pengalaman dan dampak yang dirasakan oleh masyarakat (Takao, 2004). Contoh-contoh kegiatan kesiapsiagaan menghadapi bencana banjir antara lain: mempersiapkan rencana pada saat bencana
129
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 21/No. 2 Agustus 2013
terjadi, meningkatkan kemampuan menangani bahaya dengan mengikuti pelatihan, memahami rute evakuasi, pembagian kerja pada saat bahaya terjadi, dan lainnya. Kesiapsiagaan memiliki langkah-langkah yang memungkinkan unit-unit yang berbeda, dimulai dari individu, rumah tangga, organisasi, komunitas, dan masyarakat untuk merespon dan mengembalikan keadaan menjadi normal pada saat terjadi bencana (Sutton dan Tierney, 2006). Kesiapsiagaan tidak hanya melakukan berbagai tindakan-tindakan pencegahaan, melainkan juga dengan penyesuaian kondisi bangunan yang menjadi tempat tinggal (Krebich et al, 2004). Misalnya adalah dengan menaikan pondasi bangunan rumah.
inisiatif untuk melakukan perlindungan diri sendiri. Berbagai indikator yang di kemukan oleh ISDR (2005), Sutton dan Tierney (2006), dan Perry dan Lindell (2008), ini umumnya mencakup beberapa hal yang sama yaitu : 1.
Pengetahuan Dan Sikap Terhadap Bencana Pengetahuan terhadap bencana merupakan alasan utama seseorang untuk melakukan kegiatan perlindungan atau upaya kesiapsiagaan yang ada (Sutton dan Tierney, 2006). Pengetahuan yang dimiliki mempengaruhi sikap dan kepedulian masyarakat untuk siap dan siaga dalam mengantisipasi bencana, terutama bagi mereka yang bertempat tinggal di daerah yang rentan terhadap bencana alam. Indikator pengetahuan dan sikap individu/rumah tangga merupakan pengetahuan dasar yang semestinya dimiliki oleh individu meliputi pengetahuan tentang bencana, penyebab dan gejala-gejala, maupun apa yang harus dilakukan bila terjadi Banjir (ISDR/UNESCO 2006). Individu atau masyarakat yang memiliki pengetahuan yang lebih baik terkait dengan bencana yang terjadi cenderung memiliki kesiapsiagaan yang lebih baik dibandingkan individu atau masyarakat yang minim memiliki pengetahuan.
2.
Rencana Tanggap Darurat Rencana tanggap darurat adalah suatu rencana yang dimiliki oleh individu atau masyarakat dalam menghadapi keadaan darurat di suatu wilayah akibat bencana alam (Sutton dan Tierney, 2006). Rencana tanggap darurat menjadi bagian yang penting dalam suatu proses kesiapsiagaan, terutama yang terkait dengan evakuasi, pertolongan dan penyelamatan, agar korban
Sutton dan Tierney (2006) membagi beberapa indikator kesiapsiagaan antara lain adalah pengetahuan terhadap bahaya yang akan dihadapi (risiko, kerentanan, pengetahuan terhadap bencana), kebijakan dan panduan kesiapsiagaan, rencana untuk keadaan darurat, sistem peringatan bencana, dan kemampuan memobilisasi sumber daya. Penelitian mengenai kesiapsiagaan telah banyak dilakukan untuk berbagai macam jenis bencana. Penelitian yang dilakukan LIPI dan ISDR (2005) tentang kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana gempa dan tsunami di Aceh menggunakan indikator: (1) pengetahuan terhadap bencana, (2) kebijakan, (3) peraturan dan panduan dijabarkan, (4) rencana untuk keadaan darurat,(5) sistem peringatan bencana, (6) Sistem peringatan bencana, dan (7) kemampuan mobilisasi dari sumber daya yang ada. Sutton dan Tierney (2006) mengemukakan indikator kesiapsiagaan secara umum adalah kegiatan (1) manajemen perlindungan, (2) koordinasi antar lembaga pengambil keputusan, (3) sumber daya mendukung, (4) perlindungan keselamatan hidup, (5) perlindungan terhadap properti, (6)
130
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 21/No. 2 Agustus 2013
bencana dapat di minimalkan (ISDR/UNESCO, 2006). Rencana tanggap darurat sangat penting terutama pada hari pertama terjadi bencana atau masa dimana bantuan dari pihak luar belum datang (ISDR/UNESCO, 2006). Rencana tanggap darurat ini adalah situasi dimana masyarakat memastikan bagaimana pembagian kerja sumber daya yang ada pada saat bencana. 3.
Sistem Peringatan Dini Sistem peringatan meliputi tanda peringatan dan distribusi informasi jika akan terjadi bencana. Sistem peringatan dini yang baik dapat mengurangi kerusakan yang dialami oleh masyarakat (Gissing, 2009). Sistem yang baik ialah sistem dimana masyarakat juga mengerti informasi yang akan diberikan oleh tanda peringatan dini tersebut atau tahu apa yang harus dilakukan jika suatu saat tanda peringatan dini bencana berbunyi/menyala (Sutton dan Tierney, 2006). Oleh karena itu, diperlukan juga adanya latihan/simulasi untuk sistem peringatan bencana ini.
4.
Sumber Daya Mendukung Sumber daya yang mendukung adalah salah satu indikator kesiapsiagaan yang mempertimbangkan bagaimana berbagai sumber daya yang ada digunakan untuk mengembalikan kondisi darurat akibat bencana menjadi kondisi normal (ISDR/UNESCO, 2006). Indikator ini umumnya melihat berbagai sumber daya yang dibutuhkan individu atau masyarakat dalam upaya pemulihan atau bertahan dalam kondisi bencana atau keadaan darurat. Yang dapat berasal dari internal maupun eksternal dari wilayah yang terkena bencana. Sumber daya menurut Sutton dan Tierney dibagi menjadi 3 bagian yaitu sumber daya manusia, sumber daya pendanaan/logistik,
dan sumber daya bimbingan teknis dan penyedian materi. 5.
Modal Sosial Modal sosial sering diartikan sebagai kemampuan individu atau kelompok untuk bekerja sama dengan individu atau kelompok lainnya. Masyarakat atau individu yang memiliki ikatan sosial yang lebih baik antara satu dengan yang lainnya akan lebih mudah dalam melakukan kesiapsiagaan yang ada. Selain itu modal sosial yang baik diantara masyarakat di wilayah yang rentan terhadap bencana akan mengurangi kerentanan itu sendiri (Martens, 2009). Modal sosial yang solid antara penduduk akan mempermudah masyarakat dalam melakukan mobilisasi pada saat evakuasi akan dilakukan. Modal sosial juga dapat menjadi pengerak indikator kesiapsiagaan yang lainnya seperti menyepakati tempat evakuasi yang sama, sepakat dalam mengikuti pelatihan, dan bersama-sama dalam melakukan tindakan kesiapsiagaan lainnya (Sutton dan Tierney 2006).
3. Metode Penelitian Tulisan ini menggunakan metode analisis data statistik deskriptif. Analsisi stastistik deskriptif berfungsi menerangkan keadaan, gejala dan persoalan. Untuk mengetahui bagaimana kesiapsiagaan masyarakat studi ini difokuskan pada kesiapsiagaan yang ada di Kelurahan Baleendah, adapun indikator yang umumnya di gunakan adalah hasil analisis dari beberapa kajian terdahulu yang terkait dengan kesiapsiagaan seperti Sutton dan Tierney (2004), UN-ISDR (2006), dan LIPI. Indikator yang akan digunakan untuk mengidentifikasi kesiapsiagaan adalah (1) pengetahuan dan sikap, (2) rencana tanggap darurat, (3) sistem peringatan dini, (4) mobilisasi sumber daya, dan (5) modal sosial.
131
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 21/No. 2 Agustus 2013
Selanjutnya adalah analisis perilaku kesiapsiagaan masyarakat, metode pengolahan data yang digunakan untuk menganalisis perilaku kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana banjir adalah skala Guttman. Skala Guttman adalah suatu metode untuk mendapatkan jawaban yang tegas terhadap suatu persoalan. Pada analisis perilaku kesiapsiagaan ini akan dianalisis apakah responden melakukan tindakan kesiapsiagaan atau tidak, misalnya adalah tindakan kesiapsiagaan mempersiapkan rencana evakuasi responden yang menjawab “ya” maka akan diberi skala 1 sedangkan responden yang menjawab “tidak” akan diberi skala 0. Perilaku Kesiapsiagaan masyarakat Kelurahaan Baleedah dalam menghadapi bencana banjir akan dilihat berdasarkan waktu pelaksanaan tindakan seperti perilaku kesiapsiagaan sebelum bencana banjir, perilaku kesiapsiagaan saat bencana banjir terjadi, dan perilaku kesiapsiagaan setelah bencana banjir terjadi. Perilaku kesiapsiagaan masyarakat diperoleh dari kuisioner yang disebarkan kepada 237 orang responden (Jumlah Populasi total dari RW yang menjadi lokasi studi kasus adalah 1344 KK, maka jumlah sampel ditetapkan dengan tingkat kepercayaan alpha = 0,01 untuk populasi 1.000-10.000 jiwa, yaitu besar sampel adalah antara 173-209. Untuk menghindari kesalahan ketika pengisian data , terdapat konten kuisioner yang tidak terdata, dan kesalahan lainnya, maka jumlah sampel responden ditambah menjadi 237 kuisioner kepada KK yang ada di 4 RW tersebut. Dari hasil skala Guttman, dilakukan perhitungan frekuensi masyarakat yang menyatakan melakukan tindakan kesiapsiagaan baik sebelum bencana, saat bencana, dan setelah bencana. frekuensi untuk setiap tindakan kesiapsiagaan berada pada rentang 0 hingga 1896. Frekuensi minimal 0 diperoleh ketika semua responden (237 responden)
menyatakan tidak melakukan tindakan kesiapsiagaan tersebut (0) sedangkan skor maksimun 1896 diperoleh ketika semua responden (237) menyatakan melakukan tindakan kesiapsiagaan tersebut (1). Dalam penelitian ini, rumus Sturges digunakan untuk mengetahui tingkat kesiapsiagaan masyarakat berdasarkan waktu pelaksanaan kesiapsiagaan (kesiapsiagaan sebelum bencana, kesiapsiagaan saat bencana, dan kesiapsiagaan setelah bencana), sebagai berikut : k = 1 + 3,322 log n Keterangan : k : jumlah tingkat/kelas kesiapsiagaan n : jumlah variabel/tindakan kesiapsiagaan 4. Analisis Sutton dan Tierney (2006) membagi beberapa indikator kesiapsiagaan antara lain adalah pengetahuan terhadap bahaya yang akan di hadapi (risiko, kerentanan, pengetahuan terhadap bencana), kebijakan dan panduan kesiapsiagaan, rencana untuk keadaan darurat, sistem peringatan bencana, dan kemampuan memobilisasi sumber daya. LIPI dan ISDR (2006) mengemukakan beberapa indikator kesiapsiagaan yang ada diantaranya adalah Pengetahuan terhadap bencana, kebijakan, peraturan, dan panduan dijabarkan, rencana untuk keadaan darurat, sistem peringatan bencana, Sistem peringatan bencana, dan kemampuan mobilisasi dari sumber daya yang ada (ISDR, 2006). Pada penelitian kali ini, penulis menggunakan beberapa indikator yang di adopsi dari berbagai penelitian kesiapsiagaan yang telah dilakukan sebelumnya seperti Sutton dan Tierney (2006), Ho et al.,(2008), dan LIPI dan ISDR (2006). Indikator-Indikator yang digunakan antara lain adalah (1) pengetahuan dan sikap terhadap bencana, (2) rencana tanggap darurat saat terjadi bencana, (3) sistem peringatan dini, (4) mobilisasi sumber daya, dan (5) modal sosial.
132
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 21/No. 2 Agustus 2013
Pengetahuan dan Sikap Pengetahuan terhadap bencana merupakan alasan utama seseorang untuk melakukan kegiatan perlindungan atau upaya kesiapsiagaan yang ada (Sutton dan Tierney, 2006). Pengetahuan yang dimiliki mempengaruhi sikap dan kepedulian masyarakat untuk siap dan siaga dalam mengantisipasi bencana, terutama bagi mereka yang bertempat tinggal di daerah yang rentan terhadap bencana alam. Indikator pengetahuan dan sikap individu/rumah tangga merupakan pengetahuan dasar yang semestinya dimiliki oleh individu meliputi pengetahuan tentang bencana, penyebab dan gejala-gejala, maupun apa yang harus dilakukan bila terjadi banjir (ISDR/UNESCO 2006). Pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap bencana dapat dilihat dengan pengetahuan mereka terhadap berbagai tindakan kesiapsiagaan yang seharusnya mereka lakukan. Mengetahui 1%
tidak berjalan maksimal dalam kondisi darurat karena perasaan panik yang mereka alami. Rencana Tanggap Darurat Rencana tanggap darurat menjadi bagian yang penting dalam suatu proses kesiapsiagaan, terutama yang terkait dengan evakuasi, pertolongan dan penyelamatan, agar korban bencana dapat diminimalkan (ISDR/UNESCO, 2006). Rencana tanggap darurat sangat penting terutama dihari pertama terjadi bencana atau masa dimana bantuan dari pihak luar belum diterima, pada masa ini rencana tanggap darurat dari masing-masing individu dimasyarakat sangat diperlukan (ISDR/UNESCO, 2006). Salah satu variabel untuk mengetahui tindakan kesiapsiagaan masyarakat adalah tersedianya perlengkapan gawat daurat pada saat bencana terjadi. Perlengkapan gawat darurat ini berupa barang-barang kebutuhan mereka untuk mengurangi dampak yang mereka rasakan.
Cukup Mengetahui
8%
Salinan/Fotokopian SuratSurat Penting Minimal 2 L air Minum
8% 34%
Sangat Mengetahui 3%
16%
Senter/Obor
Sedikit Mengetahui
5% 18%
6% 33%
Sangat Sedikit Mengetahui Tidak Mengetahui
14%
10%
Gambar 2. Pengetahuan Tindakan Kesiapsiagaan
11%
Duplikat Kunci Rumah dan Kendaraan Alat/Kotak P3K
13% 13%
Sumber: Hasil Analisis, 2012
Berdasarkan pengolahan data kuisioner di identifikasi bahwa masyarakat mengetahui (34%) dan cukup mengetahui (33%) berbagai tindakan kesiapsiagaan. Masyarakat umumnya mengetahui tindakan kesiapsiagaan yang harus dilakukan oleh masyarakat seandainya terjadi bencana banjir dilingkungan mereka. Berbagai tindakan kesiapsiagan yang dilakukan oleh masyarakat umumnya mereka peroleh dari pengalaman mereka menghadapi bencana banjir yang sering melanda mereka. Akan tetapi kesiapsiagaan yang mereka ketahui serigkali
Makanan Kering atau Kaleng untuk Cadangan Makanan Peralatan Pertukangan
7%
Tali Tambang Kumpulan No penting (RS, Polisi, Tim sar) Masker
Gambar 3. Perlengkapan Gawat Darurat Sumber: Hasil Analisis, 2012
Tersedia 10 perlengkapan gawat darurat, yaitu alat/kotak P3K, Senter/obor, makanan kering atau cadangan makanan, minuman, kumpulan nomor telepon penting, duplikat kunci rumah, masker dan tali tambang, peralatan dan pertukangan, dan salinan surat-surat penting. 58,2% responden memiliki perlengkapan gawat darurat sebanyak 0-5 perlengkapan gawat
133
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 21/No. 2 Agustus 2013
darurat. Sisanya 41,8% memiliki perlengkapan gawat darurat 0-9 perlengkapan gawat darurat. Tiga jenis perlengkapan gawat darurat terbanyak yang dimiliki adalah fotocopy suratsurat penting, makanan kering atau cadangan makanan, dan minimum 2L air minum dalam botol. Sebanyak 58,2% responden memiliki perlengkapan gawat darurat sebanyak 0-5 perlengkapan gawat darurat. Sisanya 41,8% memiliki perlengkapan gawat darurat 0-9 perlengkapan gawat darurat. Tiga jenis perlengkapan gawat darurat terbanyak yang dimiliki adalah fotocopy surat-surat penting, makanan kering atau cadangan makanan, dan minimum 2L air minum dalam botol. Sistem Peringatan Dini Salah satu indikator kesiapsiagaan masyarakat adalah bagaimana sistem peringatan dini yang ada dimasyarakat, terutama di daerah yang memiliki kerentanan bencana banjir. Sistem peringatan meliputi tanda peringatan dan distribusi informasi jika terjadi bencana. Selain ada sistem peringatan bencana, sistem yang baik ialah sistem dimana masyarakat juga mengerti informasi yang akan diberikan oleh tanda peringatan atau tahu apa yang harus dilakukan jika suatu saat tanda peringatan bencana berbunyi/menyala (Sutton dan Tierney, 2006). Oleh karena itu diperlukan juga adanya latihan/simulasi untuk sistem peringatan bencana ini. Sistem peringatan bencana merupakan awal dari semua kesiapsiagaan yang dilakukan masyarakat, sistem peringatan bencana yang baik akan membuat korban jiwa yang ditimbulkan akibat bencana berkurang atau ditekan menjadi seminimal mungkin.
Lamanya Hujan Turun
1%
Ketinggian Air Sungai 7% 27%
9%
11%
Intruksi dari Kepala Dusun (Pemerintah) Ajakan Tetangga Lainnya
19%
24%
Intruksi dari Toko Masyarakat Berita TV dan Radio Berita Koran Poster dan Selebaran
. Gambar 4. Sumber Informasi Bencana Sumber: Hasil Analisis, 2012
Berdasarkan hasil pengolahan data statistik diketahui sebagian besar menjadikan intensitas lamanya hujan turun (27%) sebagai sumber informasi yang dipertimbangkan oleh mereka. Pertimbangan ini didasarkan dengan pengalaman mereka dalam menghadapi bencana banjir. Selanjutnya sumber informasi responden dalam memprediksi bencana adalah ketinggian air sungai yang ada di sungai (24%), ketinggian air sungai biasanya dilihat dari pintu air yang berada di Sungai Citarum. Masyarakat menjadi ketinggian air sungai menjadi salah satu pertimbangan masyarakat dalam menentukan kesiapsiagaan khususnya sistem evakuasi bencana banjir yang ada. Sumber informasi bencana yang berikutnya adalah instruksi dari kepala dusun (19%), ajakan tetangga (11%), lainnya (9%), instruksi tokoh masyarakat (7%), berita tv dan radio (2%), dan selebaran/koran (1%). Rencana Mobilisasi Sumber Daya Sumber daya yang mendukung adalah salah satu indikator kesiapsiagaan yang mempertimbangkan bagaimana berbagai sumber daya yang ada digunakan untuk mengembalikan atau mempersiapakan dalam kondisi darurat yang terjadi akibat adanya suatu bencana (ISDR/UNESCO, 2006). Indikator mobilisasi sumber daya melihat berbagai sumber daya yang dibutuhkan individu atau masyarakat dalam upaya pemulihan atau bertahan dalam kondisi bencana atau keadaan
134
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 21/No. 2 Agustus 2013
darurat. Sumber daya yang ada dapat berasal dari internal (dari dalam wilayah yang terkena dampak bencana itu sendiri) dan eksternal (dari luar daerah bencana). 4% Pernah Mendapatkan Materi Kesiapsiagaan
96%
masyarakat di wilayah yang rentan terhadap bencana akan mengurangi kerentanan itu sendiri. Modal sosial yang solid antara penduduk akan mempermudah masyrakat dalam melakukan mobilisasi pada saat evakuasi akan di lakukan. Ya, Menjadi Anggota Organisasi Masyarakat
Tidak Pernah Mendapatkan Materi Kesiapsiagaan
39% 61%
Gambar 5. Masyarakat Pernah Mendapatkan Materi Kesiapsiagaan Sumber: Hasil Analisis, 2012
Berdasarkan hasil pengolahan statistik didapatkan bahwa sebagian besar masyarakat tidak mendapatkan materi kesiapsiagaan (96%). Sebagian besar responden menyatakan bahwa mereka tidak mendapatkan materi kesiapsiagaan. Selama ini kesiapsiagaan yang mereka lakukan didapatkan berdasarkan pengalaman pribadi mereka dalam menghadapi bencana banjir yang berulang kali melanda wilayah mereka. Sementara itu yang menyatakan menerima materi kesiapsiagaan (4%) umumnya hanya perangkat RT/RW dan petugas Kelurahaan. Mereka menyatakan mendapatkan materi kesiapsiagaan yang diadakan mulai dari Balai Besar Wilayah Sungai Citarum (BBWS Citarum), TNI dan Tim Sar Kabupaten Bandung. Materi ini umumnya mereka dapatkan setelah bencana banjir besar tahun 2010. Materi yang di dapatkan berupa cara evakuasi, cara menggunakan beberapa perlengkapan darurat. Modal Sosial Modal sosial merupakan salah satu indikator yang bisa digunakan untuk melihat kesiapsiagaan. Modal sosial sering diartikan sebagai kemampuan individu atau kelompok untuk bekerja sama dengan individu atau kelompok lainnya. Masyarakat atau individu yang memiliki ikatan sosial yang lebih baik antara satu dengan yang lainnya akan lebih mudah dalam melakukan kesiapsiagaan yang ada. Selain itu modal sosial yang baik diantara
Tidak Menjadi Anggota Organisasi Masyarakat
Gambar 6. Masyarakat Yang Mengikuti Organisasi Kemasayarakatan Sumber: Hasil Analisis, 2012
Berdasarkan hasil pengolahan statistik menyatakan bahwa 61% responden yang ada menyatakan bahwa mereka mengikuti organisasi yang berada di lingkungan mereka. Organisasi yang diikuti oleh responden ini umumnya berupa organisasi keagamaan dan organisasi kepemudaaan. Organisasi yang mereka ikuti berupa pengajiaan, karang tarunan, organisasi semacam arisan. Sementara itu 39% menyatakan bahwa tidak mengikuti organisasi apapun yang berada disekitar wilayah studi. Umumnya mereka yang tidak mengikuti organisasi masyarakat merupakan penduduk pendatang. Analisis Perilaku Kesiapsiagaan Sebelum Bencana Kesiapsiagaan sebelum bencana adalah suatu tindakan kesiapsiagaan yang dilakukan sebelum suatu bencana melanda wilayah tersebut. Berbagai tindakan dapat dilakukan untuk mengurangi dampak bencana yang terjadi atau meminimalkan kerugian yang disebabakan oleh bencana. Ada beberapa tindakan kesiapsiagaan yang dapat dilakukan sebelum bencana banjir terjadi antara lain adalah menentukan langkahlangkah menghadapi bencana banjir, membuat rencana aksi dalam menghadapi bencana, mempersiapkan evakuasi, menyiapakan sekumpulan perlengkapan gawat darurat,
135
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 21/No. 2 Agustus 2013
melindungi rumah dengan kayu/batu/karung pasir, menyiapkan asuransi harta benda/jiwa, dan mengikuti pelatihan dan simulasi jika ada. Jumlah tindakan kesiapsiagaan sebelum bencana yang digunakan untuk mengukur tingkat kesiapsiagaan sebelum bencana berjumlah 8 tindakan. Dengan memasukan nilai n sebesar 8, maka di peroleh k atau jumlah tingkat kesiapsiagaan sebesar 4 kelas. Interval nilai untuk setiap tingkat kesiapsiagaan di dapat dari frekuensi maksimun dikurangi frekuensi minimun dibagi jumlah tingkat kesiapsiagaan dari rumus Sturges. Frekuensi kesiapsiagaan sebelum bencana maksimun adalah 1896 yaitu ketika semua responden (237) mengatakan melakukan semua tindakan kesiapsiagaan yang ada. Skor kesiapsiagan sebelum bencana minimun adalah 0 yaitu ketika semua responden menyatakan tidak melakukan semua tindakan kesiapsiagaan. Maka, interval nilai untuk setiap tingkat kesiapsiagaan adalah (1896-0)/4, yaitu 474. Dengan demikian pembagiannya tingkat kesiapsiagaan sebelum bencana berdasarkan frekuensi masyarakat yang melakukan tindakanya adalah sebagai berikut : Menyiapkan gambar/poster tindakan aksi
4
Menyiapkan asuransi (Jiwa dan Harta)
28
Mengikuti pelatihan dan simulasi Bencana
68
Tindakan Melindungi Rumah untuk menahan air Kesiapsiaga an Sebelum Perlengkapan gawat Bencana darurat
119
120
Mempersiapkan Evakuasi
167
Rencana tindakan aksi menghadapi bencana
169
Penentuan langkahlangkah Kesiapsiagaan
Berikut ini adalah kelas kesiapsiagaan yang didapatkan sebelum bencana berdasarkan pembagian kelas dengan rumus Struges. Dengan n=8 maka didapatkan k=4, jumlah frekuensi maksimun adalah 1986 dan frekuensi minimun 0, maka didapatkan kelas kesiapsiagaan sebelum bencana adalah sebagai berikut 0 sampai dengan 474 = Sangat Rendah 475 sampai dengan 948 = Rendah 949 sampai dengan 1422 =tinggi 1423 sampai dengan 1896=sangat tinggi Jumlah frekuensi total semua tindakan kesiapsiagana sebelum bencana adalah 858. Frekuensi masyarakat yang melakukan tindakan kesiapsiagaan sebelum bencana masuk ke tingkat rendah. Masyarakat kurang mempersiapkan diri untuk menghadapi bencana yang ada karena dampak dari bencana banjir yang ada belum menimbulkan kerugian bagi mereka. Analisis Perilaku Kesiapsiagaan Saat Bencana Kesiapsiagaan saat bencana adalah suatu tindakan kesiapsiagaan yang dilakukan pada saat bencana banjir terjadi. Ada beberapa tindakan yang dilakukan sebagai bentuk kesiapsiagaan saat bencana seperti menentukan prioritas barang-barang yang akan di bawah pada saat bencana terjadi, mematikan aliran listrik, melakukan pembagian tugas pada saat bencana terjadi, berlindung di tempat yang aman sampai ada pemberitahuan selanjutnya, menyepakati tempat evakuasi yang di laksanakan, meminta bantuan kepada tetangga, memberikan bantuan kepada tetangga, dan menyiapkan tanah dan rumah di tempat lain.
183 0
50
100
150
200
Jumlah Responden
Gambar 7. Kesiapsiagaan Masyarakat Sebelum Bencana terjadi Sumber: Hasil Analisis, 2012
136
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 21/No. 2 Agustus 2013
Menyiapkan rumah atau tanah di tempat yang lain
Tindakan Kesiapsiaga an Saat Bencana
58
Bantuan kepada tetangga
111
Meminta Bantuan kepada kenalan/tetangga
114
Tempat Evakuasi dilaksanakan
145
Berlindung di tempat yang aman
172
Pembagian Tugas kepada setiap anggota keluarga
192
Mematikan aliran listrik
208
Prioritas barang-barang yang akan di evakuasi
209 0
50 100 150 200 250 Jumlah Responden
Gambar 8. Kesiapsiagaan Masyarakat Saat Bencana terjadi Sumber: Hasil Analisis, 2012
Analisis Perilaku Kesiapsiagaan Setelah Bencana Kesiapsiagaan setelah bencana adalah suatu tindakan kesiapsiagaan yang di lakukan pada suatu wilayah pasca bencana terjadi wilayah tersebut. Ada beberapa tindakan yang dapat dilakukan untuk meminimalkan atau mengurangi dampak bencana banjir pasca bencana antara lain tindakan melakukan migrasi ke wilayah aatau daerah lain yang tidak terkena dampak bencana banjir, memeriksa kembali kondisi bangunan atau rumah, membersihkan perabotan rumah tangga, memperbaiki rumah atau perabotan rumah tangga yang dapat di perbaiki, berobat kerumah sakit setelah bencana terjadi, merekonstruksi dan meninggikan rumah, membersihkan jalan dan lingkungan pemukiman, dan mencari serta mengakses informasi untuk meningkatkan kesiapsiagaan. Melakukan pembersihan…
Berikut ini adalah kelas kesiapsiagaan yang didapatkan saat bencana berdasarkan pembagian kelas dengan rumus Struges. Dengan n=8 maka didapatkan k=4, jumlah frekuensi maksimun adalah 1986 dan frekuensi minimun 0, maka didapatkan kelas kesiapsiagaan saat bencana adalah sebagai berikut :
Membersihkan lingkungan, jalan,… Merekonstruksi dan meninggikan rumah
101 143
Tindakan Berobat ke rumah Kesiapsiag sakit setelah terjadi… aan Setelah Memperbaiki/Mempe kuat rumah dan… Bencana Membersihkan rumah dan perabotan…
0 sampai dengan 474 = Sangat Rendah 475 sampai dengan 948 = Rendah 949 sampai dengan 1422 =tinggi 1423 sampai dengan 1896=sangat tinggi Jumlah frekuensi total semua tindakan kesiapsiagaan saat bencana adalah 1208. Frekuensi masyarakat yang melakukan tindakan kesiapsiagaan saat bencana masuk ke tingkat tinggi. Pada saat bencana terjadi masyarakat mulai dituntut untuk melakukan berbagai tindakan pencegahan untuk meminimalisir dampak yang dirasakan. Masyarakat mulai melakukan berbagai tindakan pencegahan bencana banjir dan penyelamatan diri karena dampak bencana banjir mulai dirasakan oleh mereka.
17
185 215 219
Memeriksa kembali kondisi bangunan…
221
Migrasi ketempat lain
222 0 50 100 150 200 250 Jumlah Responden
Gambar 9. Kesiapsiagaan Masyarakat Setelah Bencana terjadi Sumber: Hasil Analisis, 2012
Berikut ini adalah kelas kesiapsiagaan yang didapatkan setelah bencana berdasarkan pembagian kelas dengan rumus Struges. Dengan n=8 maka didapatkan k=4, jumlah frekuensi maksimun adalah 1986 dan frekuensi minimun 0, maka didapatkan kelas
137
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 21/No. 2 Agustus 2013
kesiapsiagaan setelah bencana adalah sebagai berikut : 0 sampai dengan 474 = Sangat Rendah 475 sampai dengan 948 = Rendah 949 sampai dengan 1422 =tinggi 1423 sampai dengan 1896=sangat tinggi Jumlah frekuensi total semua tindakan kesiapsiagaan setelah bencana adalah 1323. Frekuensi masyarakat yang melakukan tindakan kesiapsiagaan saat bencana masuk ke tingkat tinggi. Setelah bencana banjir melanda kelurahaan mereka masyarakat mulai melakukan berbagai tindakan untuk mengurangi dampak mereka terhadap bencana yang terjadi. Perilaku Kesiapsiagaan Masyarakat Kesiapsiagaan responden sebelum bencana berada pada tingkatan rendah. Tingkatan rendah menunjukan bahwa masyarakat belum terlalu memperhatikan tindakan pengurangan risiko bencana sebelum bencana. Tingkatan tindakan kesiapsiagaan saat bencana dan setelah bencana termasuk kedalam tingkatan tinggi. Tindakan kesiapsiagaan saat dan setelah bencana menunjukan masyarakat memiliki kesiapsiagaan pada saat darurat. Kesiapsiagaan pada saat darurat masyarakat berada pada tingkatan tinggi. Pada kondisi darurat masyarakat cenderung melakukan berbagai tindakan untuk meminimalkan dampak bencana yang mulai muncul. Kesiapsiagaan masyarakat ketika kondisi darurat banyak di pengaruhi akibat pengetahuan masyarakat tentang pengurangan risiko bencana masih kurang Kesiapsiagaan masyarakat ini seperti melakukan pembagian saat bencana terjadi, mematikan aliran listrik, melakukan evakuasi ke tempat yang lebih aman. Temuan ini membenarkan temuan Tokai (2004) yang menyatakan bahwa masyarakat cenderung melakukan tindakan kesiapsiagaan ketika dampak bencana banjir mulai mengancam mereka.
5. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan Kesiapsiagaan masyarakat secara individu umumnya cukup tinggi. Pengetahuan dan sikap masyarakat terkait dengan bencana menunjukan masyarakat cukup tahu tentang penangan bencana banjir yang melanda. Rencana tanggap darurat masyarakat juga cukup tinggi sebagian besar masyarakat memiliki rencana tanggap darurat mulai dari penentuan tempat evakuasi yang telah di sepakati sampai dengan perlengkapan gawat darurat. Sistem peringatan dini yang berlaku di wilayah studi umumnya adalah sistem peringatan dini tradisional yakni melalui pengeras suara melalui masjid yang di siarkan oleh perangkat RT/RW. Mobilisasi sumber daya manusia yang ada jika dilihat dari materi kesiapsiagaan makamasih terbatas hanya perangkat RT/RW yang pernah mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pelatihan kesiapsiagaan yang ada. Moda transportasi untuk evakuasi juga sangat terbatas, sebagian besar masyarakat menuju penampungan dengan berjalan kaki. Alokasi dana masyarakat juga sebatas pinjaman dari tidak resmi. Modal sosial masyarakat yang berada dilokasi studi mulai menunjukan perkembangan ini terlihat dengan adanya organisasi masyarakat dan pertemuan untuk berdisuksi terkait dengan masalah banjir. Kesiapsiagaan masyarakat jika dilihat berdasarkan Perilaku kesiapsiagaan yang ada maka tingkat kesiapsiagaan masyarakat sebelum bencana termasuk kedalam kategori rendah. Tingkat kesiapsiagaan masyarakat pada saat bencana masuk kedalam kategori tinggi. Tingkat kesiapsiagaan masyarakat pada setelah bencana masuk kedalam kategori tinggi. Kategori bencana ini menunjukan kesiapsiagaan masyarakat di pengaruhi oleh kondisi yang ada di lapangan. Dalam situasi bencana akan membuat masyarakat melakukan
138
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 21/No. 2 Agustus 2013
berbagai kesiapsiagaan yang ada untuk mengurangi risiko bencana. Kondisi bencana juga akan membuat masyarakat terdorong untuk melakukan kesiapsiagaan kemudian hari, hal ini di lihat dari kesiapsiagaan masyarakat setelah bencana. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Saut Aritua H. Sagala, ST., M.Sc., Ph.D untuk arahan dan bimbingan sehingga artikel ini dapat ditulis. Terima kasih juga kepada dua mitra bestari yang telah memberikan komentar yang berharga. Daftar Pustaka Buckle, P. 2006. Assessing Social Resilience. Disaster Resilience: An Intergreted Approach. Illinois: Charles C. Thomas Publisher, Springfield. Gissing, Andrew. 2002. Bussines In The Macleay Commercial Flood Damage Kempsey 2001. NSW Floodplain Management Conference Gregg, C. E., Houghton, B. F., Johnston, D. M., Paton, D., and Swanson, D. A. 2004. The Perception of Volcanic Risk in Kona Communities from Mauna Loa and Hualalai Volcanoes, Hawaiki. Journal of Volcanology and Geothermal Research, 130, 179-196. Ho, M. C., Shaw, D., and Lin, S. Y. 2008. "How Do Disasters Characteristics Kreibich, Heide, Thieken, Annegret. 2007. “Coping With Floods in the City Of Dresenden, Germany”. Journal in Natural Hazard and Earth System Sciennces Lindell, M.K. & Perry, R.W. 1992. Behavioral Foundations of Community Emergency Management. Washington China. Habitat International. Washington, DC: Hemisphere Publishing Corp LIPI-UNESCO/ISDR. 2006. Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana Gempa Bumi dan Tsunami. Martens, T., Garrelts, Grunnenberg, H., and Lange, H. : Taking The Heterogeneity Of Citizens Into Account: Flood Risk Communication In Coastal Cities – A Case Study Of Bremen. Natural Hazards and Earth System Sciences. Matsuda, Yoko., Okada, Norio. 2006. Community Diagnosis for Sustainable Disaster Preaparedness. Journal of Natural Disaster Science, Kyoto University
Messner, Frank. and Meyer, Volker. 2005. Flood Damage, Vulnerability And Risk Perception – Challenges For Flood, Damage Research. Discussion Nato Science Series, Springer Publisher. Price. 2008. Urban Flood Disaster Management. UNESCO-IHE, Delft Sutton, J., and Tierney, K. 2006. Disaster Preparedness: Concepts, Guindance and Research. Colorado: University of Colorado. Takao, Kenji, Motoyoshi, Tadahiro, Sato, Teruko, Fukuzono, Teruki. 2004. Factors Determining Residents' Preparedness For Floods In Modern Megapolises: The Case Of The Tokai Flood Disaster In Japan. Journal of Risk Research, Carfax Publishing Taubenböck, H., Post, J., A., R., Zossesder, K., Strunz, G., and Dech, S. 2008. A Conceptual Vulnerability and Risk Framework as Outline to Identify Capabilities of Remote Sensing. Journal Of Natrural Hazard and Earth System Management, 409-502. Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana UN-ISDR. 2002. Living with Risk: A Global Review of Disaster Reduction Initiatives. Preapared as An Inter-Agency Effort Coordinated by the ISDR Secretariat with special support from the Government of Japan, the World Meteorological Organization and the Asian Disaster Reduction Center (Kobe, Japan). Geneva: ISDR Secretariat. United Nation Development Programme. 2004. Reducing Disaster Risk: A Challengen for Development. New York: UNDP. URL:www.undp.org/cpr/whats_new/rdr_eng lish.pdf. Wisner, B., Blakilie, P., Canon, T., and Davis, I. 2004. At Risk: Natural Hazard, People's Vulnerability and Disasters. New York: Routledge. Zhai, Guofang, Fukuzono, Teruki, Ikeda, Saburo. 2005. Modelling Flood Damage case of Tokai Flood 2000. Journal of the America Water Resources Association
139
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 21/No. 2 Agustus 2013
140