Indigenous Religion of Ammatoa of Sulawesi, Indonesia: Ethical Ways of Relationship among Persons of Different Beings*
Samsul Maarif Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS), Graduate School Gadjah Mada University, Indonesia Abstract This paper discusses the indigenous religion of the Ammatoans of Sulawesi, Indonesia. It specifically focuses on the Ammatoan ritual, called pallappasak (releasing vows). Pallappasak is one of indigenous practices, not unique to Ammatoans, but shared by some other indigenous peoples of Sulawesi. It has been viewed by scholars as animistic (in Tylorian sense] practice: vows are to worship spirits inhabiting "natural" beings, but this paper, drawing insights of Irving Hallowell (1960/75], Nurit Bird-David (1999). Kenneth Morrison (2000], and others, shows that the practice is recontextualization of relationship among persons of both human and non-human beings such as river, forest, land, trees, stones, and others. Ammatoans perceive that personhood is not limited to humans, but extends to non-human beings. Non-human beings that constitute person are social actors, in Ammatoan environment, and so building good relations with those of non-hudan beings is necessary for "healthy" environment or to balance the cosmos. In the end, this paper argues that the Ammatoan cosmological perception, that is, the cosmos is occupied by persons of different beings, is the core of Ammmatoan religious ideas and practices. It is what governs Ammatoan everyday practices, including their refusal to installation of electricity by the state government.
*Makalahini adalah terjemahan dari paper yang dipresentasikan di 5th SSEASR Conference, Manila, Philippines pada 16-19 Mei 2013. Versi aslinya bisa dilihat di httu://~ublikasi.pasca.unm.ac.id/tamuil.uh~?modul=artikel&act=tamuil&id=1
Pengantar: Studi Agama Lokal Sarjana-sarjana seperti Catherine Bell (2006), James Cox (2007), Tomoko
Masuzawa (2005), dan Ronald Geaves (2005) menegaskan bahwa studi agama hingga hari ini telah dipengaruhi oleh apa yang mereka sebut "paradigma agama dunia" yang esensialis. Agama diidentifikasi secara esensialis sesuai dengan karakter dan kriteria yang ada pada "agama dunia." Bell bahkan secara spesifik menunjukkan agama Kristen sebagai prototipe bagi agama-agama lain. Dia menjelaskan, sebagai prototipe bagi agama-agama lain, agama Kristen mencakup semua kriteria yang orang-orang gunakan untuk memulai membahas berbagai agama yang sejarah dan asal-usulnya berbeda (p. 30). Sarjana-sarjana di atas sepakat bahwa paradigma tersebut, yang digunakan di mana-mana, sangat bermaqalah karena ia digunakan untuk mengurai agama dengan i mefokuskan secara ketat pada keyakinan/kepercayaan agama-agama dunia dengan batasan-batasan yang saklek, dan diaplikasikan pada agama-agama yang asal-muasal, sejarah, ajaran dan praktiknya yang berbeda (Geaves 2005, p. 76). Bagi Geaves, paradigma tersebut telah lalai dalam mencermati kompleksitas dan kei-agaman ajaran dan praktik agama-agama, termasuk yang masuk dalam kategori agama dunia. Berdasarkan pendapat para sarjana di atas, jika paradigma yang esensialis di atas terus digunakan, kajian agama lokal tidak akan pernah produktif. Sebuah alternatif dari paradigma tersebut sungguh dibutuhkan. Alternatif itu harus mendasarkan kajiannya pada data-data empiris. Terkait dengan itu, Sam Gill (1982, p. 1) dengan sangat tegas menyatakan bahwa seorang peneliti harus memasuki kehidupan orang yang agamanya dikaji. Pernyataan Gill ini menjelaskan bahwa mengkaji agama seseorang harus menggunakan pendekatan "humanistik" (memahami setiap gagasan dan aktifitas seseorang atau komunitas yang dikaji sebagai bentuk kreatifitas) dan
"lintas-budaya" yang menuntut perlunya berdialog dengan orang yang dikaji dalam merekonstruksi istilah agama.
Memasuki kehidupan orang yang agamanya kita teliti tidak berarti membebaskan kita dari paradigma agama dunia. Globalisasi agama dunia, khususnya agama Kristen dan Islam, telah memapankan paradigma tersebut. Ide agama yang didefinisikan dengan paradigma tersebut telah diusung bukan hanya para akademisi dan peneliti, tetapi juga telah diyakini oleh masyarakat luas (Masuzawa 2005)) termasuk mungkin orang-orang yang agama lokalnya kita kaji. Demikianlah fakta yang terjadi di banyak masyarakat lokal di dunia dan di Indonesia, termasuk komunitas yang dibahas dalam makalah ini. Di Indonesia, seperti kita tahu bersama, negara mengakui enam agama resmi, dan semua itu adalah agama dunia. Konsekuensinya, ide agama yang secara esensial didefinisikan berdasarkan paradigma agama dunia oleh negara tidak hanya untuk menentukan agama apa saja yang bisa diakui secara resmi, tetapi juga melarang semua agama yang berbeda dengan kriteria agama dunia. Fakta ini tentu menyulitkan kita untuk mencari dan menggunakan sebuah perspektif alternatif. Strategi-strategi, dengan demikian, diperlukan. Salah satu yang dapat kita lakukan adalah menghindari penggunaan konsep-konsep atau kategori-kategori yang didasarkan pada paradigma agama dunia. Tidak akan banyak membantu jika kita secara polos bertanya tentang agama lokal kepada masyarakat adat yang telah "dipaksa" untuk menggunakan definisi agama oleh negara. Mereka, dengan belajar dari berbagai kasus, akan memberi jawaban sebagaimana yang dikehendaki oleh negara. Jika mereka misalnya ditanya mengenai sistem kepercayaan (salah satu elemen utama dari paradigma agama dunia) mereka, mereka, besar kemungkinan, akan menjelaskannya tidak beda dengan pemeluk agama resmildunia. Atau, mereka mungkin hanya akan bilang, "sama seperti Islam" (bagi yang berafiliasi ke Islam), atau "sama seperti Kristen"
(bagi yang mengasosiasikan diri dengan Kristen), betapapun unik dan berbedanya praktik keagamaan mereka. Salah satu strategi yang dapat digunakan adalah dengan memulai investigasi terhadap "pandangan dunia" [worldview) masyarakat lokal. Strategi ini merujuk pada pembahasan Irving Hallowell (1975) tentang pandangan dunia dalam penelitiannya tentang gagasan dan praktik keagamaan orang Ojibwa di Amerika Utara. Robert Redfield (1952), yang dikutip oleh Hallowell, menjelaskan pandangan dunia sebagai suatu perspektif dalam "melihat dan memahami kosmos." Perspektif ini dimiliki oleh setiap komunitas. Ia adalah gambaran di mana anggota komunitas memiliki sifat-sifat
a
dan karakter tertentu terkait dengan prilakunya. Pandangan dunia adalah keterangan tentang bagaimana dunia di mata orang yang mempersepsikan yang lain dari dirinya. Ia terkait dengan sifat dan karakter yang dimiliki oleh sang lian yang dibedakan dari dan terkait dengan diri (the selfl. Pendeknya, ia adalah ide tentang kosmos. Ia adalah rangkaian gagasan yang dengannya manusia merujuk ketika menjawab pertanyaanpertanyaan: Siapa dan di mana aku?, (selain aku), siapa yang hidup dalam kosmos ini?, dan hubungan apa yang (perlu) ada antara aku dengan sang lian. Diri (aku) dalam perspektif ini adalah "pusat" (axis) dunia (p. 30). Seperti akan ditunjukkan, pandangan dunia sebagai kerangka metodologis dan teoritis adalah efektif dalam mengkaji dan menjelaskan agama lokal Ammatoa tanpa harus (atau dapat menghindari) menggunakan paradigma agama dunia. Untuk kepentingan makalah ini, saya mengumpulkan informasi dan data terkait pandangan dunia orang Ammatoa pada 2009-2010. Ada beberapa "pintu m a s u k untuk menelusuri pandangan dunia orang Ammatoa. Saya menemukannya dari mitos-mitos, legenda-legenda, cerita hidup, ritual, dan lain-lain. Untuk makalah ini, saya memilih satu praktik ritual sqja. Pilihan saya tidak dimaksudkan bahwa ritual tersebut adalah yang
a
terpenting. Sebaliknya, saya menganggap bahwa apapun pintu masuk yang dipilih, saya akan sampai pada rumusan gagasan yang serupa mengenai pandangan dunia mereka. Berikut ini adalah uraian praktik ritual yang dimaksud.
Ritual Pallappasak Uraian ritual Pallappasak ini, seperti ditegaskan sebelumnya, adalah untuk mengungkap pandangan dunia orang Ammatoa: rumusan gagasan tentang kosmos.
'
Kosmologi Ammatoa (wujud apa saja, selain diri mereka, yang turut hidup, dan bagaimana mereka membangun relasi satu sama lain dengan wujud lain tersebut dalam kosmos) menjelaskan tentang bentuk relasi antar-subyek yang terdiri dari berbagai wujud: manusia dan non-manusia. Bagi orang Ammatoa, manusia dan non-manusia L
(tetapi tidak semuanya) adalah sama-sama subyek: ~ e l a sSntara-mereka i pun disebut "inter-subyektif." Orang Ammatoa secara sadar mengorientasikan diri mereka ke kosmos dengan persepsi "inter-subyektif" karena memang demikian susunan dan logika kosmos yang dipahaminya (bandingkan Hallowell, 1975, p. 19). Gagasan, ekspresi, prilaku dan tindakan yand didasarkan dari perspektif kosmologi seperti ini diklasifikasi
a
sebagai religious (agama). Dengan demikian, agama, dengan mengikuti cara pandang Ammatoa, adalah cara-cara berelasi dengan berbagai wyjud: manusia dan non-manusia yang menciptakan dan mereproduksi keseimbangan kosmos (cosmic balance). Agama adalah bentuk pertanggung-jawaban, etika, dan moralitas yang mengatur relasi mereka. Beragama merupakan relasi yang saling menguntungkan. Itulah agama lokal orang Ammatoa. Pallappasak berarti "pelepasan." Sebagai bentuk ritual, ia bertujuan untuk melepaskan (dan atau mengikat) janji. Pallappasak merupakan salah satu dari ritualritual Ammatoa. Praktik Pallappasak ini tidak hanya dimiliki oleh orang Ammatoa. Ia
popular di kalangan orang Sulawesi, orang Indonesia, dan bahkan bisa ditemukan di berbagai belahan dunia. Yang berbeda adalah penamaan praktik tersebut. Pallappasak sangat popular dalam artian bahwa ia bisa dilakukan secara individu atau kolektif. Namun, fokus bahasan dalam makalah ini adalah yang kolektif, sekalipun yang karakternya individual juga dijelaskan. Pallappasak yang data dan informasinya dikoleksi pada tahun 2009 ini merupakan salah satu bagian ritual Akkatterek (potong rambut) yang disponsori oleh satu keluarga. Pada waktu itu, Pallappasak dilaksanakan di Sungai Bajo, yang terletak di Kabupaten Sinjai, Sul-Sel, sekitar satu setengah sampai dua jam dari kawasan Ammatoa. Para peserta Pallappasak pada waktu itu termasuk ratusan laki-laki dan perempuan, orang tua dan anak-anak, dan juga beberapa orang luar. Terkait ritual tersebut, i
beberapa orang Ammatoa menjelaskan bahwa orangoring luar telah salah paham dengan praktik Pallappasak: Mereka pikir praktik tersebut bertentangan dengan Islam, atau bentuk perbuatan syirik. "Mereka tidak mengerti alasan di balik itu," terang seorang informan. Seorang Ammatoa menceritakan: Dulu, seseorang yang hidupnya melarat telah melakukan berbagai ha1 yang dia bisa agar mendapatkan hidup layak. Dia bertani, tetapi tidak pernah panen. Dia berlaut, tetapi selalu tertimpa beragam musibah. Dia berbisnis, tetapi terus menerus merugi. Dia sungguh frustasi dan tidak tahu harus bagaimana lagi. Dia bertanya ke semua orang, dan melakukan apa yang disarankan kepadanya, tetapi dia masih terus gagal dan gagal lagi. Suatu hari ketika frustasinya memuncak, dia merantau tanpa tujuan. Dia terus berjalan sampai dia harus mampir di sungai untuk beristirahat. Dia mandi dan melepaskan dahaganya, lalu duduk istirahat di salah satu batu yang ada di sungai tersebut. Dia mengamati semua yang ada di sungai dan sekitarnya. Dia takjub dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Semuanya tampak dalam keteraturan yang damai. Sungai, arus sungai, batu-batu, pohon-pohon, dan semuanya tampak di matanya berelasi secara sinergik dan harmonis antara satu dengan yang lainnya. Dia kemudian tapakkorok (bersemedi) di salah satu batu yang ada, dan kemudian bersumpah atau mengikat suatu janji ke batu, sungai, arus sungai, pohon-pohon, dan semuanya, "Jika saya pulang ke rumah, memulai satu usaha, dan berhasil, saya akan kembali ke sini dan mempersaksikan hasil usahaku kepada kalian semua."
Dia kemudian pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, dia segera memulai usaha. Apapun usaha yang dia jalankan selalu membawa hasil berlimpah dan memuaskan. Sejak itu, dia terus kembali ke sungai sebelum memulai dan setelah merampungkan usahanya, apakah usahanya berhasil atau gagal. Dia menepati janjinya ... Informan lain menambahkan: Pengalaman semacam itu tidak hanya dimiliki oleh orang yang ada dalam cerita tersebut. Ada banyak orang yang memiliki pengalaman yang serupa terhadap sungai ini. Sebenarnya, siapapun bisa mengalaminya jika ia menginginkannya dan bersedia serta mampu mempertahankan hubungannya dengan sungai dan sekitarnya. Cerita di atas bagi orang Ammatoa menjelaskan bahwa untuk berhasil dalam hidup ini, seseorang perlu membangun hubungan baik dengan berbagai wujud, termasuk non-manusia, yang juga hidup dalam kosmos. Menurut mereka, wujud nonmanusia, seperti halnya wyjud manusia, adalah tau Cperson). Mereka adalah subyek. f
Berdasarkan pengalaman yang merupakan salah satu muara pengetahuannya, orang Ammatoa memahami bahwa wujud non-manusia (sebagian, dan tidak semuanya) seperti hutan, sungai, batu, pohon, dan seterusnya telah (dan terus) berkontribusi langsung terhadap kesuksesan dan juga kegagalan mereka dalam hidup. Melalui pengalaman mereka mengenal wujud non-manusia sebagai "subyek." Lazim didengarkan dari orang Ammatoa, "parallu ipakatau njo t a u karrasak a" (wajib "dimanusiakan" mereka yang "keramat"). Kita hidup untuk mereka sebagaimana mereka hidup untuk kita. Lebih lanjut, tanaman-tanaman dan hewan-hewan tertentu merupakan bagian dari sistem kekerabatan mereka. Bohe (kakek) dari tanamantanaman dan hewan-hewan adalah bohe manusia juga. Persepsi mereka tentang subyektifitas wujud non-manusia karenanya semakin tegas. Teori "subyek" untuk wujud non-manusia, sebagaimana orang Ammatoa memahaminya, telah dikembangkan oleh beberapa sarjana (Hallowell, 1975; de Castro, 1998; Bird-David, 1999, Morrison, 2000). Antropolog Irving Hallowell (1975)
memperkenalkan paradigma relasi interpersonal dalam mengkaji kosmologi orang Ojibwa di Amerika Utara. Paradigma tersebut menegaskan bahwa wujud manusia mempersepsikan wujud-wujud non-manusia sebagai "rekan" atau parner dalam membentuk lingkungan sosial mereka.
Hallowell mendeteksi bahwa istilah
kekerabatan orang Ojibwa, kakek brandfather), merujuk pada wujud manusia dan juga non-manusia seperti binatang, guntur, petir, batu, dan lain-lainnya (1975, p. 189). Wujud-wujud tersebut dipahami sebagai person (atau subyek), tapi tidak secara esensial. Tidak semua batu misalnya adalah person, tapi sebagiannya adalah person. Nurit Bird-David (1999), juga seorang antropolog, mengembangkan konsep animisme yang baru. Menurutnya, animisme lebih tepat dipahami sebagai epistemologi relasional dari pada sebagai konsep teologi. Dia mengembangkan epistemologi relasional untuk menjelaskan kosmologi orang Nayaka di India yang karakternya interpersonal atau inter-subyektif. Dia menjelaskan bahwa menurut persepsi orang Nayaka wujud manusia dan wujud-wujud lain seperti tanah, pohon, binatang dan lain-lain adalah sama-sama a-ktor sosial. Bird-David menemukan bahwa gagasan ke-person-an bagi orang Nayaka sangat terkait dengan konsep kekerabatan mereka yang terangkum dalam istilah nama sonta: keluarga dan kerabat kita. Frase nama sonta mencalcup baik wujud manusia maupun wujud-wujud lain (1999, p. 73). Ide ke-person-an bagi orang Nayaka merupakan kesadaran akan keterhubungan antara wujud manusia dan wujud lain. Berdasarkan kesadaran tersebut, suatu wujud (manusia dan non-manusia) dikenali sebagai person saat dia melibatkan diri dalam keterhubungan (1999, p. 72). Seturut dengan Hal.lowel1dan Bird-David, Viveiros de Castro (1998) mengajukan suatu teori yang dia sebut "perspektivisme"-yang
juga dikembangkan oleh Morten
Pederson (2001) and Willerslev (2004). Teori tersebut juga menjelaskan bahwa dunia dihuni oleh wujud-wujud manusia dan non-manusia. De Castro menjelaskan bahwa bagi
a
Amerindians, manusia melihat dirinya sebagai manusia dan binatang sebagai binatang, sebagaimana binatang dan wujud-wujud lain melihat diri mereka sebagai manusia dan melihat manusia sebagai binatang (1998, p. 470). Akan tetapi, setelah terjadi relasi, wujud yang terlibat masing-masing mempersepsikan yang lain sebagai person atau subyek. Mempersepsikan binatang dan non-manusia lain sebagai person adalah mensifatkan binatang dengan kapasitas intensionalitas dan agensi yang menentukan posisi wujud (subyek) yang disifatkan tersebut (de Castro, 1998, p. 476). Intensionalitas dan agensi adalah sifat dan karakter subyek yang dapat dimiliki oleh baik wujud manusia dan non-manusia, dan sifat tersebut dikenali lewat relasi. Denga kata lain, de Castro, sebagaimana sarjana yang dijelaskan sebelumnya, juga menunjukkan karakter kosmologi Amerindians sebagai sistem relasi inter-personal/subyektjf antara wujud Z manusia dan non-manusia (1998, p. 473). Teori ke-person-an sebagai dijelaskan di atas dapat membantu untuk menjelaskan apa yang orang Ammatoa lakukan dan pahami dalam praktik pallappasak. Person sekali lagi adalah kategori kapasitas intensionalitas, agensi, dan subyektifitas yang dapat dimiliki bukan hanya wujud manusia, tapi juga wujud non-manusia. Teori ke-person-an tentu sangat berbeda dengan pemahaman tentang person sebagai subkategori manusialorang yang kental dalam perspektif Barat, seperti ditegaskan oleh Bird-David (1999), dan juga sudah berpengaruh luas, termasuk dalam paradigma agama dunia. Orang Muslim non-Ammatoa secara umum memahami bahwa relasi apapun yang terjadi dengan wujud non-manusia merupakan bentuk relasi "sembah." Bagi mereka, orang Ammatoa yang mengunjungi sungai (pada praktik pallappasak) adalah pada dasarnya datang untuk menyembah batu, pohon, dan sungai itu sendiri. Oleh karena hanya Allah yang patut disembah, apa yang dilakukan orang Ammatoa di sungai
tersebut adalah praktik musyrik. Mereka "menyembah" wujud-wujud selain wujud Allah. Orang Ammatoa benar bahwa pemahaman tersebut adalah salah dan menyesatkan. Mereka memaksakan cara pandang mainstrim (Islam) dalam memahami praktik pallappasak. Terdapat beberapa aktifitas dalam pallappasak. Pertama, sekelompok orang bermain musik: dua orang laki-laki memukul dram, seorang perempuan memukul dua botol dengan satu sendok, dan seorang perempuan bernyanyi. Mereka memainkan musik segera setelah mereka tiba di sungai. Seorang informan menjelaskan bahwa musik tersebut dimainkan untuk "memulai" pallappasak dan menfasilitasi "pertemuan" antara pengunjung (wujud manusia) dan yang dikunjungi (wujud non-manusia) yang di antaranya sungai, batu, arus, pohon, dan wujud-wujucj lain yang ada di sekitar sungai f
tersebut. Para pemain musik menyampaikan bahwa mereka datang dengan niat dan tujuan baik. Mereka datang untuk bermain musik sekaligus "membayar janji" sebagai salah satu cara mempertegas relasi antara mereka (wujud manusia) dan wujud-wujud non-manusia. Kedatangan mereka adalah untuk kembali memperkuat relasi karena relasi tersebut telah dibangun oleh para pendahulu mereka. Kedua, ada dua (2) kelompok orang di tempat yang berbeda tapi tidak berjauhan, masih tetap di sungai tersebut. Kedua kelompok ini mengerumuni mereka yang melemparkan dua atau tiga telur ke dalam sungai. Kelompok pertama adalah anggota keluarga yang mensponsori ritual akkatterek. Anak-anak yang untuknya
akkatterek dilakukan menuntaskan "perjalanan" mereka dalam ritual akkatterek melalui pallappasak. Dengan kostum khusus, mereka datang ke sungai untuk "mengikat" dan juga "membayar" sumpahljanji. Mereka melempar telur ke dalam sungai setelah seorang sanro ("penghulu" agama lokal) membacakan mantra sebagai inisiasi pertemuan antara anak-anak tersebut, telur, air, batu, dan semua wujud yang
terlibat dalam praktik pallappasak tersebut. Kelompok kedua melakukan ha1 yang sama. Mereka juga melemparkan telur ke dalam sungai setelah seorang sanro membaca mantranya. Setiap orang dalam kelompok ini harus antri berbaris menunggu giliran. Jika kelompok pertama memiliki niat dan tujuan secara kolektif, misalnya untuk menyempurnakan "perjalanan" akkatterek, untuk menunjukkan kepada yang dikunjungi bahwa anggota keluarga mereka, khususnya anak-anak tersebut, telah mensponsori akkatterek, dan untuk menunjukkan bahwa mereka tetap berkomitmen untuk mempertahankan relasi, maka kelompok kedua lebih bersifat individualistik. Masing-masing individu pada kelompok kedua ini memiliki niat dan tujuan yang sangat mungkin berbeda satu sama lain. Sang sanro tidak perlu mengetahui tujuan seseorang yang mel'empar telur. Apapun niat dan tyjuannya, semuanya di bawah tanggung-jawab ?
individu masing-masing. Sebagian mereka membayar sumpahljanji [atau nazar) yang telah mereka janjikan sebelumnya. Sumpah dalam ha1 ini termasuk ketika sukses dalam berbisnis, panen yang berhasil, meningkatnya kesejahteraan dalam kehidupan keluarga, dan terselesaikannya masalah-masalah yang dihadapi. Sebagiannya yang tidak memiliki sumpah mengikat sumpah baru. Mereka datang ke sungai untuk membuat sumpahljanji karena mereka merencanakan untuk menjalankan bisnis baru, atau sedang jatuh cinta, atau mereka sedang berkompetisi untuk sebuah jabatan. Sebagian lagi datang ke sungai karena untuk melaksanakan tradisi yang mereka warisi. Oleh karena karakternya yang personal, kelompok kedua tersebut memiliki tujuan pallappasak sebanyak atau lebih dari jumlah individu yang terlibat. Ketiga, terdapat beberap orang yang mencari, menemukan dan kemudian tafakkorok (berkontemplasi) di atas batu besar. Salah satu di antara mereka menggantung pernak-pernik seperti buah-buahan, kampalo (bungkusan makanan yang terbuat dari beras ketan dimasak dengan santan), dan lain-lain di lehernya. Cara para
individu tersebut duduk di atas batu besar berbeda-beda, tetapi mereka semua duduk berdiam tanpa bicara. Mereka hening dalam kebisingan dan keributan oleh para pengunjung lain. Sebagaimana halnya dua kelompok sebelumnya, para individu ini memiliki komitmen yang sama: pallappasak. Para individu tersebut memilih batu khusus (tidak sembarang batu). Di antara mereka ada yang sudah "mengenal" batu tertentu dalam waktu yang sudah lama, dan karenanya "komunikasi" mereka adalah untuk menegaskan kembali relasi mereka. Beberapa orang belum mengenal satu batu pun, dan karenanya mereka berusaha untuk menginisiasi "pertemuan" dengan batu tertentu. Orang Ammatoa tidak mempertanyakan apakah pertemuan dengan batu itu mungkin atau tidak karena pengalaman para pendahulu mereka and juga orang-orang tertentu saat ini telah membuktikan bahwa pertemuan semacam tersebut adalah nyata. ~ e r s e p sorang i Ammatoa terhadap batu dapat dibandingkan dengan persepsi orang Naga di Burma. Mark Woodward (2000, p. 224) menjelaskan bahwa suku Naga menganggap batu bulat yang halus (bukan batu lain) sebagai "penanda" relasi mereka dengan dunia bawah-model
kosmologi yang alien bagi orang Ammatoa. Batu semacam
itu penting untuk dimiliki, salah satu peqjelasannya adalah karena dengan memilikinya akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan hidup. Batu halus bagi orang Naga memiliki sifat dan karakter subyek: agensi. Kasus Ammatoa di atas bisa dibandingkan dengan kasus orang Ojibwa sebagaimana dijelaskan oleh Hallowell (1975). Ha1lowel.l menegaskan bahwa untuk memahami persepsi orang Ojibwa terhadap batu and wujud lain, seseraong perlu memahami bagaimana orang Ojibwa memahami konsep person yang mencakup wujud manusia dan non-manusia. Konsep person merupakan kategori sentral dalam kosmologi orang Ojibwa. Hallowell menganalisis secara teliti struktrur gramatikal bahasa Ojibwa yang secara formal mengekspresikan pembedaan antara kosa kata benda animate (yang
bergerak) dan inanimate (tidak bergerak). Dia kemudian menyimpulkan bahwa substansi bagi sebagian -tidak semua-batu,
pohon, matahari, bulan, dan seterusnya
diklasifikasikan sebagai animate (Hallowell, 1975, p. 146). Akan tetapi, Hallowell menjelaskan bahwa orang Ojibwa bukanlah animis dalam pengertian bahwa mereka secara dogmatis mensifatkan jiwa/roh hidup terhadap benda-benda yang inanimate seperti batu (1975, p. 147). Dengan pengujian yang cermat melalui pengalaman dan pertemuan (encounter), orang Ojibwa mengenali wujud non-manusia, seperti batu, sebagai wujud yang animate (Hallowell, 1975, p. 148). Pengenalan tersebut yang menegaskan persepsi orang Ojibwa tentang ke-person-an wujud non-manusia. Pengenalan tersebut berdasakan pada interaksi antara mereka yang bisa melalui sarana mimpi dan vision (pandangan). Pengenalan ini pulalah yang mempengaruhi prilaku r'
keseharian mereka. Prilaku mereka terhadap tanaman dan binatang (tidak semua tanaman dan binatang) terstruktur secara kultural dengan cara-cara seperti mereka berprilaku terhadap person yang memahami apa yang dikatakan kepada mereka dan yang memiliki kapasitas berkehendak dan berkeinginan (Hallowell, 1975, p. 160). Singkatnya, Hallowell menegaskan bahwa orang Ojibwa hidup dalam dunia yang
a
mentransendensikan relasi sosial, sebuah model dunia dengan relasi inter-
personal/subyektifantara berbagai wujud (1975, p. 167). Keempat, banyak di antara mereka melakukan sikkok (mengikat tali) di dahandahan pohon besar yang terletak di pinggir sungai. Di pohon tersebut, sudah tampak begitu banyak ikatan tali oleh orang-orang yang datang sebelum orang Ammatoa datang. Selain itu, ikatan-ikatan tali yang sudah dilepaskan juga tampak di dasar sungai yang airnya jernih. Pemandangan ini menunjukkan adanya banyak orang yang datang ke sungai dan melakukan praktik sikkok. Mereka bukan hanya orang Ammatoa, tetapi juga orang-orang lain yang mungkin memiliki faham dan praktik keagamaan yang
serupa. Praktik mengikat dan melepaskan tali adalah salah satu macam dari
pallappasak. Mengikat tali adalah mengikat janji, dan melepaskan tali adalah melepaskan atau membayar janji. Aktifitas yang kelima dari pallappasak adalah sesajen. Dua sanro meletakkan sesajen di atas batu kecil di sela-sela aliran air sungai. Sesajen tersebut dibungkus dengan daun pisang yang isinya adalah pisang, ayam goreng, telur masak, nasi dari beras ketan, dan lain-lain yang semuanya bisa dimakan. Kedua sanro tersebut membuka sesajen yang diletakkannya di batu dan kemudian keduanya membaca mantra. Mereka mempersembahkan sesajen tersebut ke semua wujud yang dikunjunginya di sungai tersebut. Setelah itu, dua anak kecil datang dan memakan sebagian dari sesajen tersebut. Yang tersisa dibiarkan di sana. Seorang informan menjelaskan bahwa yang f
.
tersisa itu adalah dallek (rezeki) siapapun yang memakannya. ~ e r s e m b a h a nsesajin dianggap sebagai salah satu cara "berbagi." Orang Ammatoa membagi makanannya kepada wujud-wujud yang tinggal di sekitar area sungai. Praktik sesajen ini bisa dibandingkan dengan praktik selametan sebagaimana dijelaskan oleh Clifford Geertz. Geertz menjelaskan bahwa inti dari selametan adalah makanan dan bukan doa (mantra)nya karena makananlah yang membuat wujud gaib tertarik untuk datang. Wujud-wujud tersebut datang untuk memakan aroma dari makanan yang dipersembahkan (Geertz, 1976, p. 11-15). Perbedaannya dengan selametan yang diterangkan Geertz adalah bahwa mantra dari kedua sanro tersebut adalah untuk menginisiasi persembahan, pemberian atau praktik berbagi. Makanan tidak akan berarti tanpa mantra. Penjelasan lain oleh informan lain adalah bahwa sesajen tersebut adalah bentuk komitmen orang Ammatoa untuk hidup bersama dengan wujud-wujud lain secara harmonis baik "disini" maupun "disana." Orang Ammatoa memahami bahwa suatu wujud terdiri dari dua bagian: alusukna b a n g batin) dan kassarakna b a n g lahir).
Apa yang dilakukan oleh kedua sanro tersebut dengan mantranya adalah untuk memediasi kebersamaan hidup baik alusukna maupun kassarakna dari semua wujud yang terlibat. Alusukna dari makanan, wujud manusia, batu, sungai, dan yang lain adalah untuk disatukan dalam kebersamaan. Dengan mengkonsumsi, karrasakna dari wujudwujud tersebut juga untuk dipersatukan. Sesajen dengan kata lain adalah praktik berbagi @i@ing/sharing) sebagai sarana persatuan dan solidaritas. Persembahan sesajen dengan demikian adalah untuk menempa solidaritas antara wujud-wujud. Teori solidaritas seperti ini juga serupa dengan yang dipahami oleh Amerika Asli di Amerika Utara (AS dan Kanada) seperti dijelaskan oleh seorang etno-historian Kenneth Morrison (2000). Morrison menjelaskan bahwa untuk mencapai kesempurnaan wujuc) manusia, orang Amerika Asli harus melaksanakan praktik .f
memberi @i@ing acts) yang menjamin kesempurnaan wujud-wujud lain (2000, p. 85). Pemberian (gift) adalah untuk jalinan solidaritas antara wujud manusia dan nonmanusia. Bagi Morrison, ritual dan praktik religiusitas lainnya dilaksanakan sebagai sarana untuk praktik memberi atau berbagi. Ritual dan praktik agama lainnya dengan demikian bagi orang Amerika Asli selalu menyangkut dan bertujuan untuk pembangunan relasi.
Dengan dasar itu, Morrison berpendapat bahwa ritual pada
dasarnya adalah untuk meng(re)kontekstualisasikan solidaritas antara wujud manusia dan non-manusia (2000, p. 85). Dia menegaskan bahwa kehidupan agama orang Amerika Asli terkait langsung dengan moralitas yang ditempa melalui sikap dan prilaku saling bertanggung-jawab dan relasi inter-personal/subyektif antar wujud-wyjud. Teori ritual oleh Morrison aplikatif untuk praktik pallappasak, sebagaimana orang Ammatoa memahami dan mempraktikkannya. Aktifitas terakhir dari pallappasak adalah nrio (mandi). Aktifitas ini sebagian besar dilakukan oleh anak-anak dan sebagian kecil orang dewasa. Beberapa orang
memberi penjelasan bahwa sungai yang dikunjungi tersebut adalah tempat bukan hanya untuk pallappasak tetapi juga untuk rekreasi. Orang-orang juga datang untuk mandi-mandi karena airnya yang mengalir deras dari gunung sangat bening, bersih dan segar. Anak-anak yang ditemani oleh orang tua dan kakeknya tampak riang dan menikmati arus air di sungai itu. Dibanding dengan aktifitas lain yang kelihatan tenang, aktifitas nrio ini tampak rekreasional. Situasi rekreasional, riang gembira, kebahagiaan dan kesenangan adalah cara-cara bagi anak-anak mengenal wujud air, sungai dan tempat tersebut. Hasil dari perkenalan tersebut, menurut seorang informan, tergantung pada setiap individu. Beberapa menganggapnya serius (mengenali air misalnya sebagai person/swbyek) karena pengalamannya sangat berkesan, sementara yang lain tidak mendapatkan apa-apa. t' Keenam aktifitas pallappasak di atas semuanya adalah untuk membangun solidaritas, persatuan, dan kerukunan. Solidaritas tersebut tidak hanya terbatas antar wujud manusia, tetapi juga antara wujud-wujud lain. Sumpah dan janji, apakah ketika diikat atau dibayar/dilepaskan, semuanya bert.ujuan untuk solidaritas. Dalam konteks yang lebih luas, solidaritas ditempa di hampir setiap aktifitas keseharian orang Ammatoa. Dengan alasan ini, Victor Turner menegaskan bahwa untuk memahami ritual, kita seharusnya mempelajari ritual dalam hubungannya dengan aktifitas-aktifitas lain karena pada dasarnya suatu praktik ritual selalu terkait dengan proses-proses sosial (1967, p. 20).
Kesimpulan: agama sebagai relasi etis. Pallappasak seperti telah dijelaskan merupakan salah satu bentuk praktik ritual orang Ammatoa. Ia, sebagaimana praktik ritual lainnya, menjelaskan karakter dasar dari gagasan, ekspresi dan praktik keagamaan orang Ammatoa. Karakter dasar tersebut
adalah inheren di semua praktik ritual, bahkan dalam aktifitas keseharian. Agama lokal orang Ammatoa, berdasarkan pada penjelasan tentang pallappasak di atas, berpusat pada persepsi kosmologi mereka yang menjelaskan bahwa kosmos itu dihuni dan dihidupi oleh berbagai person/subyek dari berbagai wujud: manusia dan non-manusia. Setiap person/subyek memiliki hak dan kewajibannya masing-masing. Sang person terikat oleh kewajibannya untuk mendapatkan haknya. Setiap person bertanggungjawab (karena kewajibannya) bagi hak-hak wujud lain untuk menjamin hak-hak mereka sendiri. Hanya dengan memenuhi kewajiban, sang person dapat memperoleh haknya. Hak dan kewajiban dengan demikian adalah aturan dan norma-norma kosmis yang tak terpisahkan. Kosmos hanya bisa terjaga keseimbangannya jika semua person secara aktif memegang teguh dan melaksanakan secara konsekuen aturan dan norma-norma kosmis yang tak terpisahkan tersebut. Wujud manusia (orang Ammatoa) wajib melaksanakan kewajibannya dengan cara menjamin pemenuhan hak-hak wujud lain: hutan, pohon, sungan, gunung, binatang, dan seterusnya. Hal itu menjadi syarat untuk mendapatkan hak-haknya dan untuk hidup di dunia ini secara benar. "Itu merupakan bagian dari perjanjian sejak
a
awal," tegas seorang Ammatoa. Manusia bukanlah satu-satunya jenis bangsa yang hidup di dunia ini. Mereka hidup bersama dengan jenis-jenis bangsa lain. Manusia, karenanya, wajib berbagi dengan wujud lain, sebagaimana wujud lain wajib melakukan ha1 yang sama kepada manusia. Hak dan kewajiban didefinisikan melalui relasi. Relasi melalui pertemuan menentukan macam hak dan kewajiban. Relasi yang berbeda menawarkan hak dan kewajiban yang berbeda. Sang person memahami hak dan kewajibannya ketika dia terlibat dalam relasi dengan person lain. Tanpa relasi, tak akan ada ke-person-an yang dikenali. Pengenalan akan ke-person-an, pada gilirannya, menuntut komitmen untuk
<
terikat pada dan aktif dalam relasi. Seorang Ammatoa yang telah mengenal ke-personan hutan berkomitmen untuk membangun dan mempertahankan suatu bentuk relasi dengan hutan. Melalui relasi, baik manusia maupun hutan bersepakat tentang hak dan kewajiban masing-masing yang keduanya komit dalam menjaganya. Pelaksanaan dan pemenuhan hak dan kewajiban yang biasanya ditempa lewat ritual pada gilirannya merekontekstualisasi relasi mereka. Demikianlah kosmologi Ammatoa. Itulah esensi dan substansi agama lokal mereka. Ia adalah esensi dan substansi karena ia inheren dalam setiap praktik ritual dan praktik keseharian mereka. Ia adalah landasan sikap dan prilaku keseharian orang Ammatoa. Ia juga adalah rujukan ukuran (baiklburuk) untuk suatu sikap dan prilaku. Kosmologi mereka juga dengan demikian adalah fondasi etika lingkungan mereka yang i telah secara efektif membimbing mereka dalam meminimalisir deforestasi yang utamanya dilakukan oleh perusahan karet korporasi internasional dan dalam menolak instalasi listrik, pengaspalan jalan, irigasi yang ditawarkan oleh pemerintah. Bagi orang Ammatoa, mengijinkan atau membiarkan instalasi-instalasi tersebut akan mengganggu dan melukai person-person (dari wujud lain) yang hidup bersama mereka dalam lingkungan mereka.
References Bell, Catherine (2006). Paradigms behind (And before) the Modern Concept of Religion. History and Theory, 45(4), 27-46. Bird-David, Nurit, Viveiros de Castro, E., Hornborg, A., Ingold, T., Morris, B., Palsson, G., et al. (1999). Animism Revisited: Personhood, Environment, and Relational Epistemology. Commentaries. Author's reply. Current Anthropology, 40, 67-9 1. Cox, James (2007). From Primitive to Indigenous: the Academic Study of Indigenous Religions. Hampshire: Ashgate Publishing, Ltd. Geaves, R. (2005). The dangers of essentialism: South Asian communities in Britain and the "world religions" approach to the study of religions. Contemporary South Asia, 14(1), 75-90. Geertz, Clifford (1976). The Religion of Java. Chicago: University Of Chicago Press. Gill, Sam D. (1982). Beyond the Primitive: The Religions of Nonliterate People. Englewood Cliffs, N. J.: Prentice-Hall, Inc. .f Hallowell, Alfi-ed Irving (196011975). 0jibka ontologjy, behavior, and world view. In D.
Hull, John (1995). 'Religion as a series of religions: a comment on the SCAA model syllabuses', World Religions in Education 1995196: Syllabus to Schemes-Planning and Teaching Religious Education. Pp. 11 - 16. London: Shap Working Party on World Religions in Education. Masuzawa, Tomoko (2005). The Invention of World Religions: or, how European universalism was preserved in the language ofpluralism: University of Chicago Press. Morrison, Kenneth (2000). The Cosmos as Intersubjective: Native American Other-thanHuman Persons. In G. Harvey (Ed.), Indigenous Religions: A Companion (pp. 23-36). New York: Cassell. Pedersen, Mortan (2001). Totemism, Animism and North Asian Indigenous Ontologies. Journal of the Royal Anthropological Institute, 7,411-427. Robert Redfield (1952). "The Primitive World View." Proceedings of the American Philosophical Society, 96 (1):30-36 T. B. Tedlock (Ed.), Teachingfrom the American earth: Indian religion andphilosophy (pp. 141-178). New York: Liveright. Turner, Victor (1967). The Forest of Symbols: Aspects of Ndembu Ritual. Ithaca and London: Cornell University Press.
Viveiros de Castro, E. (1998). Cosmological Deixis and Amerindian Perspectivism. The Journal of the Royal Anthropological Institute, 4(3), 469-488. Willerslev, Rane (2004). Not Animal ,Not Not-Animal: Hunting, Imitation and Empathetic Knowledge among the Siberian Yukaghirs. The Journal of the Royal Anthropological Institute, 10(3), 629-652. Woodward, Mark (2000). Gifts for the Sky People: Animal Sacrifice, Head Hunting and Power among the Naga of Burma and Assam. In G. Harvey (Ed.), Indigenous Religions: A Companion (pp. 219-229). London and New York: Casell.