Indigenous Environmental Knowledgefor Pendahuluan Dalam tulisan ini ditunjukkan terbentuknya sebuah pengetahuan setempat (indigenous environmental knowledge) dan kearifan lokal pada sebuah ekosistem (sumberdaya alam) serta kaitannya dengan sustainable exploitation of tropical natural resources (khususnya sumberdaya alam yang terbaharukan) yang dilakukan oleh beberapa masyarakat lokal/ tradisional/masyarakat-adat (tribe communities) di Indonesia dengan mengambil kasus studi di Baduy Tribe (Banten), Aruese Tribe (South East Molucas), dan Balinese’s Subak Tribe (Bali). Pengetahuan asli-lokal tersebut merupakan bagian dari upaya untuk melestarikan dan mengelola sumberdaya alam, sehingga dengan instrument/tool tersebut masyarakat yang bersangkutan terus dapat bertahan hidup di kawasan tersebut, karena mampu melakukan pengelolaan seperti menentukan berapa banyak dan kapan saat memanen (mengambil), berhenti memanen, dan membiarkan alam untuk meregenerasi natural resources tersebut. Di bagian lain ditunjukkan pula adanya “kekuatan-kekuatan/faktor-penekan” yang berpola-pikir (cara pandang) anthropocentrism yang berupaya terus mempengaruhi masyarakat lokal, tradisional/masyarakat-adat untuk mengubah cara hidupnya dan pengetahuan lokalnya yang bersifat “ecocentrism” sehingga pada tataran kebijakan public terjadi ulur-tarik antara pembanguna ekonomi dengan pengelolaan lingkungan. Hingga saat ini masih dirasakan bahwa program-program berbasis pembangunan berkelanjutan (sustainable development) baru merupakan program-program ceremonial, lips service, dan/ atau jargon-jargon politik. Agar dualisme antara anthropocentrisme dengan ecocentrism tidak bersifat kontroversial dan antagonistist, melainkan bersifat simbiosis, complementary, dan interdependency, maka Negara/Pemerintah hendaknya lebih berpihak kepada masyarakat serta berhati-hati dalam merumuskan kebijakan pembangunan agar tidak terjadi malpolicy. Dengan demikian konsep/pendekatan pembangunan berkelanjutan dapat dimplementasikan sesuai motto: economically viable, socially acceptable, dan environmentally sound
Kebijakan Pembangunan
Cukup banyak pendapat, teori, pendekatan dan definisi tentang “Pembangunan” yang secara generic dapat dikatakan bahwa “pembangunan adalah proses pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan manusia agar hidup sejahtera lahir dan batin”. Mustahil ada pembangunan tanpa menggunakan dan mengelola sumberdaya alam dan lingkungan. Proses pengelolaan sendiri menurut para
ahli manajemen terdiri atas kegiatan planning, programing, organizing, directing, implementing, monitoring, evaluating, and controlling. Terlepas dari bagaimana proses dan cara melaksanakannya, tujuan akhir dari pembangunan itu tiada lain kesejahtraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika pembangunan ditujukan untuk seluruh rakyat (bangsa) Indonesia, seyogyanya menyertakan juga lapisan masyarakat tradisional atau masyarakat adat yang tersebar, terpencil dan marginal. Dalam konsepsi Wawasan Nusantara, di sana ditegaskan bahwa pembangunan nasional dilaksanakan secara menyeluruh melalui beberapa bidang (ipoleksosbudhankamrata) yang dulu dikenal dengan 8 gatra pembangunan. Pada tataran implementasinya, terhadap masing-masing gatra tersebut, negara mendelegasikan kewenangan dan tanggung-jawab pengelolaannya kepada kementrian/badan sebagai unsur Pemerintah (Le-Estate, Le- Executivie). Di sinilah muncul istilah pembangunan sektoral. Dalam perjalanan kehidupan bernegara terjadi penyelewengan tafsir dari “hak menguasai negara” yang berpengaruh pada munculnya egoisme sektoral. Pembangunan berjalan sendiri-sendiri tidak terjadi keterpaduan perencanaan, sinkronisasi program, & koordinasi pelaksanaan pembangunan; terjadi overlapping kegiatan & duplikasi pendanaan pembangunan. Ujung-ujungnya terjadi konflik kepentingan sektoral dalam pengelolaan (hususnya pemanfaatan) sumberdaya alam. Kini tinggal masyarakat yang menderita. Selanjutnya masing-masing sektor merumuskan kebijakan sektornya sendirisendiri, kemudian dilegitimasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang seolah-olah menjadi “senjata miliknya”. Tidak heran kalau banyak pasal yang saling tabrakan dengan sektor lain. Hal ini sebenarnya tidak perlu terjadi bila semua pihak memahami dan menyadari arti “kebijakan” itu sendiri yakni seperangkat ketetapan yang disepakati bersama untuk (dalam) mengatur suatu urusan atau persoalan demi terwujudnya tujuan pembangunan (William Dun, 2003; Riant Nugroho D, 2007). Sejalan dengan berkembangnya paradigma baru pembangunan, mulai disadari bahwa pembangunan yang terlalu sektoral dan sentralistis pada akhirnya akan merugikan pembangunan itu sendiri. Paradigma lama harus segera ditinggalkan. Untuk menyempurnakan pendekatan sektoral, kini diterima dua pendekatan kesisteman: (i) “pendekatan wilayah” yakni suatu pendekatan yang tidak sektoral, tidak partial, yang bersifat integrated and comprehensive/holistic; dan (ii) pendekatan pembangunan berkelanjutan yang bermakna pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi di masa mendatang. Kedua pendekatan ini di Indonesia diakomodasikan di dalam kaidahkaidah penataan ruang. Nampaknya perlu direnungkan dan ditinjau kembali mengenai kebijakan pembangunan & pendekatannya, dengan mengakomodasikan paradigma baru tsb. Perlukah dilakukan redefinisi pembangunan dan kebijakannya
PERKEMBANGAN MASYARAKAT LOKAL TRADISIONAL MASYARAKAT ADAT BESERTA WILAYAH HUKUMNYA (DESA ADATNYA) Asal Muasal Tidak tahu pasti kapan mula-mula adanya Wilayah/Desa-Adat di Indonesia. Pada hakekatnya DEÇA atau Wilayah/Desa-Adat merupakan bentuk perwujudan persekutuan hukum seperti dikenal adanya: Desa di Jawa, Bali dan Lombok; Marga di Sumatera Selatan; Nagari di Minangkabau; Kuria di Tapanuli; Negeri di Minahasa & Ambon; Wanua di SulSel. Masyarakat hukum tersebut (sering disebut masyarakat lokal, tradisional, atau masyarakat adat) ditimbulkan dari beberapa alasan seperti: sifat manusia sebagai makhluk sosial; unsur kejiwaan (dorongan sosial, segregasi dan integrasi); alam sekeliling manusia; kepentingan yang sama; serta antisipasi menghadapi bencana alam dan menghadapi bahaya lain dari luar. Pada saat Pemerintah Hindia Belanda membentuk gemeente (wilayah), sudah diakui adanya masyarakat hukum seperti tersebut di atas. Umumnya batas DEÇA (Wilayah/Desa-Adat) ini secara fisik tidak tegas atau sangat dinamis. Untuk-masyarakat-tertentubatas- batas-tersebut ditetapkan dan diumumkan secara lisanoleh- kepalaAdat/Kepala-Suku-kpd-masyarakatnya.-Dalamperumusan- erbatasan-ini disebutkan bermacam-macam tanda ang disediakan oleh alam dan dinyatakan bahwa apapun juga ang ada di dalam wilayahnya menjadi milik para warga masyarakat ebagai keseluruhan. ahun 1854 IG diberi dasar dalam Regerings-Reglement (RR) pasal 71 ang menyatakan bahwa IG diatur tersendiri dan tidak bersumber ada azas desentralisasi. IG ini tidak termasuk Resort karena Resort anya sampai pada tingkat Kabupaten (Stads Gemeente). IG tidak ula merupakan salah satu tingkat Binenlands Bestuur karena emerintahan kolonial ini hanya sampai tingkat Kecamatan. ambat laun IG lebih dikenal dengan sebutan Desa (desa formal, administratif ) seperti sekarang. amun demikian, sesuai dengan pemerintahan kolonial, setiap esa merupakan bagian dari satu kecamatan. Dengan bentuk ang beraneka ragam di Desa terdapat pula semacam dewan Raad) tetapi bukan dan tidak termasuk “Locaale Raad”. Dewan ini erdiri dari penduduk yang berhak memilih Kepala Desa. Maka dari tu berkaitan dengan otonomi daerah diatur tersendiri di dalam nlandse Gemeente Ordonantie (IGO) kira2 thn 1906. engenai--urusan--rumah-tangga-(otonomi)-Desa bersangkutan engan Dewan Kabupaten
(Regentschaps Raad); sedangkan engenai urusan pemerintahan bersangkutan denganecamatan. Karena urusan pemerintahan jauh lebih luas dan istem pemerintahan kolonial lebih sentralistis, pada prakteknya esa berada langsung di bawah Kecamatan. Hanya mengenai eputusan program-program Desa memerlukan persetujuan ewan Kabupaten
Pengaruh Terbentuknya Wilayah/Desa dministratif (Formal) Baik pada masa penjajahan maupun setelah Indonesia merdeka, ntuk menciptakan sistem pemerintahan yang efisien, telah engakibatkan penciptaan Desa-Desa baru (Desa formal) atau ilangnya satu Wilayah/Desa-Tradisional atau Desa-Adat dengan alan mengurangi sebagian dari daerah kekuasaannya. lasan dibentuknya batas administrasi adalah karena setiap egara harus membagi wilayah nasionalnya dalam bagian-bagian ampai unit terkecil agar terselenggara emerintahan secara fisien. Di Republik Indonesia pada awal perkembangannya, ikenal adanya Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi, Pemerintah aerah Tingkat II Kabupaten dan Pemerintah Daerah Tingkat II otamadya; sedangkan Desa merupakan wilayah pemerintahan ang paling rendah (yang paling kecil), itupun di bawah subordinasi abupaten. embentukan Desa administratif (formal) lebih ditekankan pada ertimbangan2 ekonomi, politik dan sistem pemerintahan egara, di samping fisik dan geografis. Sedangkan Wilayah/Desa radisional (Desa Adat) terbentuk dengan sendirinya atas dasar esatuan kemasyarakatan, hukum adat, penguasa (non formal eader), lingkungan hidup, dan hak bersama atas tanah, air, udara, an sumberdaya alam lainnya di wilayah hukumnya. danya penggabungan, pemisahan, atau peleburan wilayah/ esa adat ke dalam wilayah administrasi Desa formal ini sering enimbulkan banyak friksi sosial mengenai beberapa hak dan ewajiban yang nyata maupun yang abstrak. Pada dasarnya, ekuatan Wilayah/Desa Tradisional (Desa Adat) didasarkanatas ukum-hukum adat yang berazaskan bahwa: tanah, air, udara, an sumberdaya alam lainnya pada hakekatnya merupakan epunyaan bersama di antara para anggota masyarakat bagi epentingan hidup mereka. Azas ini sangat menjunjung tinggi elompok masyarakat sebagai suatu kesatuan di dalam wilayah ukumnya. Hal ini dapat dicerminkan oleh adanya aturan-aturan ang mengikat, contohnya terhadap kepemilikan tanah: Wilayah/Desa Tradisional atau Desa-Adat menentukan beban etap, setiap pemegang hak komunal harus menjalankan tugastugas an kewajiban yang berlaku di Desa-Adatnya; Pencabutan hak karena: tidak memenuhi kewajiban yang telah itentukan, melakukan kejahatan atau melanggar norma adat, tau alasan; atau meninggalkan tanahnya hingga batas waktu ertentu tidak mengolah kembali; atau pindah tempat-tinggal ke uar persekutuan hukum; Melarang akumulasi tanah komunal dalam satu individu; Melarang memecah kesatuan tanah menjadi kesatuan-kesatuan ecil; Memberi batas dalam hal pewarisan.
Indigenious (Environmental) Knowledge dari Masyarakat Tradisional/ Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Pada awalnya (originally) seluruh bangsa Indonesia adalah masyarakat tradisional (masyarakat adat) yang kuat memegang hukum adatnya, yang menjunjung tinggi nilainilai luhur perkembangan knowledge, science, technology, dan faham/cara-pandang) secara signifikan mempengaruhi kehidupan the origin of bangsa Indonesia ini, maka terjadi lah pergeseran dari pola hidup (cara hidup) dari yang semula ecocentrism menuju anthropocentrism. Dalam perkembangannya hingga saat ini rakyat Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam 3 typical: (i) masyarakat tradisional/ masyarakat adat yang ecocentrism, (ii) masyarakat (modern?elite?) hedonism yang anthropocentrism, dan (iii) masyarakat moderat, persilangan (hybrid) antara ecocentrism dengan anthropocentrism. Ketiga tokoh ini akan terus hidup dari zaman Nabi Adam a.s. hingga yaumil akhir nanti. Dalam
kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan dan pengelolaan sumberdaya alam tropika dan kelestarian alam/ lingkungan, masyarakat adat/tradisional ini dengan pengetahuan lokalnya (indigenus knowledge), dengan kekuatan memegang hukum adatnya, dengan kemampuan spiritualnya, dengan religi yang dianutnya, ternyata lebih arif jika dibandingkan dengan dua tipe masyarakat lainnya. Namun, bagaimana nasibnya dengan adanya kekuatan/faktor penekan yang mempengaruhinyamengubah cara hidupnya dan pengetahuan lokalnya? Mari kita lihat contoh pada masyarakat adat/tradisional: Baduy (Banten), Aru (Maluku Tenggara), dan Bali-Subak (Pulau Bali)
Masyarakat Lokal Tradisional /Masyarakat Adat Baduy (Banten) Masyarakat (suku) Baduy hidup di sekitar Gunung Kendeng di bagian hulu DAS Ciujung pada kawasan seluas 5.101,85 ha di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Province Banten. Topografinya berupa pegunungan dengan kemiringan rata-rata 49%, curah hujan rata-rata 4000 mm/thn, berjenis tanah Clay-Latosol. Kawasan ini pada thn 1968 ditetapkan oleh Gubernur Jawa Barat sebagai cagar budaya untuk masyarakat Baduy dan sebagai kawasan cadangan untuk hutan. Saat ini komunitas Baduy dapat dibagi dua kelompok: masyarakat Baduy-Dalam (Baduy Jero, Urang Tangtu, Urang Girang) dan masyarakat Baduy-Luar (Baduy Luar, Urang Panamping, Urang Dangka). Secara simbolik orang Baduy-Dalam berpakaian serba putih sedangkan Baduy-Luar serba hitam atau abu-abu tua. Masyarakat Baduy-Dalam hidup di 3 kampung: Cibeo, Cikartawarna, dan Cikeusik yang merupakan pusat budaya dan penganut kepercayaan paling kuat. Baduy-Luar berasal dari Baduy-Dalam yang keluar karena melanggar hukum adat, atau sengaja berpaling dari hukum adat yang dirasa membebaninya. Orang Baduy Luar dilarang menetap atau masuk ke kawasan Baduy-Dalam karena tanah dikawasan Baduy-Dalam dianggap sakral (kramat, suci) Norma, Kepercayaan, dan Budaya Masyarakat (suku) Baduy mempercayai bahwa dunia ini mulanya mengambil bentuk bagaikan sebuah pilar suci yang terdiri dari ndunia atas tempat bersemayamnya para dewa dan para “karuhun” (leluhur) dan dunia bagian bawah merupakan bumi di mana anak-cucu hidup dan berkehidupan. Kepercayaan kosmologis ini diadopsi lebih lanjut menjadi satu bagian yang inspirable dari religinya dan bagian-bagian lain dari budayanya. Mereka mempunyai falsafah hidup yang diartikulasikan dalam pepatah: “ngadek kudu beware, ngali cikur kudu ngatur, ulah goroh ulah linyok, ngadek kudu sacekna, nu enya kudu dienyakeun, nu ulah kudu diulahkeun, ulah sirik ulah pidik, larangan teu meunang dirempak, buyut teu meunang dirobah, lojor teu meunang dipotong, pendek teu meunang disambung, gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang dirusak, ulah ngarusak bangsa jeung nagara (Gama, 1987 Orang Baduy Dari Inti Jagat)“ ≈ ”.the mountains may not be destroyed, the valleys may not be damaged..., what is a long may not be cut short, what is a short may not be lengthened, the ancestral injunctions may not be canged..” (Iin Ichwandi and Takeo Shinohara, March, 31 2007). Mereka percaya bahwa kawasannya sakral sehingga tidak berani (teu wasa) dan/atau tidak mengizinkan untuk mengganggu ekosistem. Apabila tidak mengindahkannya maka mereka akan mendapat malapetaka dalam kehidupannya. Norma dan kepercayaan ini diartikulasikan dalam bentuk kode etik yg ditekankan sebagai larangan/pantangan (taboo) dalam kesehariannya. Pantangan/ larangan ini diterapkan di dalam komunitas kampung yang dipimpin oleh kepala adat (Puun).
Norma dan kepercayaan diartikulasika dalam bentuk kode etik yang ditekankan sebagai larangan/pantangan (taboo) dalam kesehariannya Pantangan (taboo) yang paling utama adalah memasuki hutan yang disakralkan (mengitari Gunung Kendeng)
dan memungut hasil hutan tersebut. Suku Baduy sangat ketat menjaga hutan tersebut berdasarkan kepercayaannya bahwa para karuhun-nya bersemayam di makam tua yang dinamakan Arca Domas atau Sasaka Domas di mana pemuka agama (Puun) bersembahyang setiap tahun. Dalam sembahyangnya Puun memohon agar masyarakat Baduy berumur panjang, hidup makmur, sehat dan sejahtera. Juga memohon agar terhindar dari penyakit, kekeringan, bencana, mala-petaka, angin topan, dan dosa. Hutan yang disakralkan itu terletak di bagian hulu DAS Ciujung yang fungsi hidrologisnya memberikan perlindungan bagi kawasan bawahannya baik kawasan Baduy-Dalam maupun kawasan Baduy- Luar. Juga memelihara keanekaragaman hayati yang sangat penting untuk generasi mendatang. Masyarakat Baduy dilarang mengubah lansekap dan ekosistem seperti perataan tanah untuk membangun rumah, irigasi/dam, ponds, dan sumur. Mereka mengakui bahwa kehidupannya sangat tergantung dari tanah
Norma, Kepercayaan, dan Budaya Masyarakat (suku) Baduy mempercayai bahwa dunia ini mulanya mengambil bentuk bagaikan sebuah pilar suci yang terdiri dari dunia atas tempat bersemayamnya para dewa dan para “karuhun” (leluhur) dan dunia bagian bawah merupakan bumi di mana anak-cucu hidup dan berkehidupan. Kepercayaan kosmologis ini diadopsi lebih lanjut menjadi satu bagian yang inspirable dari religinya dan bagian-bagian lain dari budayanya. Mereka mempunyai falsafah hidup yang diartikulasikan dalam pepatah: “ngadek kudu beware, ngali cikur kudu ngatur, ulah goroh ulah linyok, ngadek kudu sacekna, nu enya kudu dienyakeun, nu ulah kudu diulahkeun, ulah sirik ulah pidik, larangan teu meunang dirempak, buyut teu meunang dirobah, lojor teu meunang dipotong, pendek teu meunang disambung, gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang dirusak, ulah ngarusak bangsa jeung nagara (Gama, 1987 Orang Baduy Dari Inti Jagat)“ ≈ ”.the mountains may not be destroyed, the valleys may not be damaged..., what is a long may not be cut short, what is a short may not be lengthened, the ancestral injunctions may not be canged..” (Iin Ichwandi and Takeo Shinohara, March, 31 2007). Mereka percaya bahwa kawasannya sakral sehingga tidak berani (teu wasa) dan/atau tidak mengizinkan untuk mengganggu ekosistem Apabila tidak mengindahkannya maka mereka akan mendapat malapetaka dalam kehidupannya. Norma dan kepercayaan ini diartikulasikan dalam bentuk kode etik yg ditekankan sebagai larangan/pantangan (taboo) dalam kesehariannya. Pantangan/ larangan ini diterapkan di dalam komunitas kampung yang dipimpin oleh kepala adat (Puun). dan sumberdaya alam dan untuk itu mereka berupaya terhindar dari kerusakan alam yang disebabkan oleh bencana alam dan malapetaka; dan juga menyadari adanya faktor-faktor pembatas pada lahan di kawasan tersebut seperti ketersediaannya yang terbatas, topografi yang curam, dan struktur tanah yang rapuh. Dapat dimengerti bila masyarakat Baduy mengimplementasikan aturan-aturan yang ketat dalam kegiatan pertaniannya di mana sistem tsb dibatasi hanya untuk ber-huma dg menggunakan tugal. Masa kekeringan diimplementasikan untuk memberi kesempatan bagi lahan untuk me-recovery setelah satu musim tanam. Seluruh pantangan itu ditekankan agar ekosistem terlindungi dari bahaya kerusakan, pencemaran, dan bencana yang tidak dapat diprediksi. Di samping hutan, pertanian padi huma juga disakralkan karena mereka percaya adanya dewi-padi NyiPohaci atau Sanghyang Sri yang tinggal di kahyangan tempat di mana padi berasal, tempat mereka akan kembali setelah kematiannya kelak. Untuk menjaga hubungan dengan karuhun-nya, setiap tahun diadakan upacara ritual dengan hasil panen (pare-anyar) sbg persembahan; karena itu ngahuma dipertimbangkan sbg bagian dari kewajiban orang Baduy dan pantang untuk menjual berasnya ke pasar; hanya untuk upacara ritual dan self-consumption. Alasan praktis di balik strategi ini adalah untuk melindungi suku Baduy dari bahaya kelaparan (ketahan pangan). Lebih lanjut masyarakat Baduy percaya bahwa kelangsungan hidup komunitasnya tidak hanya bergantung pada keberlanjutan lahan/tanah dan sumberdaya alam lainnya, tetapi juga dari integritas terhadap budayanya. Untuk menegakkan hukum adatnya terdapat mekanisme pengendalian yang disebut “kawalat” (sin). Orang Baduy percaya bahwa ia akan mengalami hal-hal yang buruk atau malapetaka apabila melanggar pantangan atau larangan, karena dewa telah marah (murka). Mekanisme pengendalian lainnya adalah kontrolsosial berupa eksekusi hukuman (punishment) yang dilakukan oleh kepala kampung (Jaro). Setiap tahun upacara Kawalu dilakukan untuk membersihkan dan menghukum warganya yang telah melakukan pelanggaran.
Pengaturan Land Use Berdasarkan dominasi fungsinya kawasan Baduy terbagi atas: kawasan permukiman (0,48%), kawasan pertanian pangan (50,67%), dan kawasan hutan (48,85%). Namun umumnya suku Baduy
mengklasifikasikan land-used ke dalam 5(lima) kategori: huma, jami jeung reuma, kebon, leuweung kolot, dan leuweung titipan. Huma: merupakan pertanian pangan lahan kering (padi huma atau padi gogo, palawija, dan tanaman semusim lainnya). Berdasrkan fungsinya terdapat 3 tipe huma: huma individual, huma serang, dan huma puun. Huma individual adalah huma milik satu keluarga; huma serang dan huma puun milik bersama, yakni huma yang disakralkan yang produksi padinya berfungsi sosial seperti untuk upacara ritual, membantu para manula, orang tak mampu, yatim piatu, dan sebagai lumbung bersama in case terjadi paceklik, kelaparan. Jami jeung Reuma: Jami adalah huma-tua (lahan kering satu tahun setelah penanaman terakhir) di mana masih tersisa jeramijerami kering. Reuma adalah hutan sekunder yang masih muda, tumbuh 3 – 5 tahun setelah selesai kegiatan huma. Reuma umumnya ditumbuhi tanaman tahunan seperti pohon buahbuahan dan pohon lainnya yang dapat
dimanfaatkan; juga ditumbuhi regenerasi alami dari jenis perdu dan semak. Kebon: lahan yang ditumbuhi secara rapat oleh pohon-pohon yang bermanfaat terutama pohon buah-buahan yang sengaja ditanam (domestic plants) dan yang secara alami berregenerasi. Kebon terletak dekat permukiman. Di Baduy Luar pada keluarga yang memiliki lahan pertanian yang semit, pada kebonnya ditanami juga. hutan sekunder yang bermur tua di manapohon2 besar dan kecil tumbuh bersama secara rapat. Di sini dihasilkan juga hasil hutan non-kayu seperti bahan obat-obatan, madu lebah hutan, dsb. Leuweung Kolot dijumpai secara tersebar misalnya di tepi sungai, di pinggiran Reuma, di kaki bukit, dsb. Leuweung Titipan: Hutan yang telah diakui oleh seluruh anggota masyarakat Baduy sebagai hutan yang disakralkan atau disucikan meliputi seluruh sumberdaya yang ada di dalamnya termasuk tumbuhan, khewan, beserta habitatnya. Hutan ini secara ketat dijaga dan dilindungi. Di dalam hutan ini dilarang melakukan kegiatan2 seperti memungut hasil hutan, berburu, dan menanam tanaman. Kegiatan menanam hanya boleh dilakukan bila permohonan izin diterima oleh Karuhun melalui Puun sebagai mediator/komunikator
Land Tenure Land tenure Baduy lebih kuat diatur secara tradisional dari pada menurut sistem pemerintah terkait hak atas tanah. Namun antara Baduy-Dalam dan Baduy-Luar terdapat perbedaan. Pengalokasian lahan untuk huma bagi anggota masyarakat Baduy-Dalam dipertimbangkan dan ditetapkan oleh pimpinan komunitas seperti Puun dan Jaro. Lahan ini diberikan kepada suatu keluarga dalam bentuk hak guna selama satu musim tanam; setelah itu dikembalikan kepada penggunaan komunal. Jami, Reuma, dan Leuweung dianggap sebagai pemilikan bersama (communal property) di mana semua anggota masyarakat mempunyai akses yang equal pada area yang bersangkutan. Kepemilikan individual yang tetap/permanen hanya berlaku untuk pohon yang ditanam atau yg dipelihara secara intensif pada area tersebut. Apabila huma secara intensif ditanami tanaman tahunan atau pohon, kemudian area tersebut menjadi kebon, hak menanam (hak guna) menjadi permanen. Lahan untuk perumahan juga bersifat komunal; dengan demikian ketika seseorang merencanakan untuk membangun sebuah rumah, ia harus meminta izin terlebihdahulu kepada kepala kampung, dan rumah baru selalu berlokasi di pinggir permukiman existing. Hal inilah yang menjadi alas an mengapa dari dulu hingga sekarang hanya ada tiga kampung. Di kawasan Baduy- Luar lahan sangat terbatas sementara jumlah populasinya besar sehingga Land-Man Ratio-nya lebih keci jika dibandingkan dengan LMR di Baduy-Dalam. Konsekuensinya, lahan di Baduy-Luar telah dilengkapi untuk kegiatan pertanian dan permukiman Kenyataannya hampir semua kawasan huma telah siap menjadi kebon. Karena itu kepemilikan lahan di Baduy-Luar menjadi permanen. Meskipun lahannya tidak dapat dijual ke luar komunitas, tetapi dapat diwariskan kepada anaknya, atau dijual kepada anggota masyarakat Baduy lainnya.
Pengelolaan Sumber Daya Alam Dengan indigenous environmental knowledge yang turun-temurun mereka dapat mengorganisasikan kekuatan-nya berdasarkan cosmological spiritual dan religinya melakukan pengelolaan sumberdaya alam.
Dalam kegiatan pertanian padi huma misalnya, telah disusun SPMK (standar, prosedur, manual, kriteria). Tabel 2 berikut adalah contoh dari ketentuan yang harus ditaati berdasarkan pengetahuan lokalnya dan kearifannya.
DISKUSI 1. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorban-kan hak pemenuhan kebutuhan generasi yad. (WCED). Tiga tujuan pembangunan berkelanjutan: ekonomi: efisiensi; sosial: pemerataan; ekologi: pelestarian lingkungan hidup. Ketiga komponen ini harus setara di dalam suatu sistem yang: simultaneously, saling mendukung, complementary, interdependency, serasi, selaras, dan seimbang. Pada kenyataannya pilar ekonomi masih mendominasi, masih superior. Pilar2 lainnya inferior.. 2. Dari uraian kronologis perkembangan kebijakan pembangunan, dapat disimak bahwa kebijakan pemerintah sejak masa kemerdekaan hingga kini masih berat (heavy) pada pembangunan ekonomi berbasis eksploitasi sumberdaya alam dan kurang mempertimbangkan aspek lingkungan/ekologi. Terjadinya perubahan dari otonomi desa ke otonomi kabupaten/kota serta terjadinya tumpang tindih antara desa formal dengan desatradisional/ desa-adat, maka nilai2 luhur budaya masyarakat lokal/ tradisional/adat yang ecocentrism semakin terdesak, bergeser ke arah budaya hedonis materialistis yang anthopocentrism. 3. Dengan masuknya kekuatan/faktor-faktor penekan yang dapat menggiring ke cara pandang anthropocentrism, maka aturan2 pada hukum adat (adat code) sering lentur dan sering menjadi luntur. Masyarakat lokal, tradisional, adat, tidak lagi merupakan kominitasan yang berada dalam kondisi social vacuum tetapi berubah setiap saat sesuai dengan kekuatan faktor-faktor exogenous yang mempengaruhinya, yang seringkali menimbulkan friksi di dalam anggota masyarakat lokal, tradisional, adat itu sendiri. Makin luas kelonggaran yang diberikan persekutuan hokum kepada perseorangan, maka semakin berkuranglah kekuasaanpersekutuan hukum dan kekuasaan hukum atas tanah, air, mineral, hutan, dan sumberdaya alam lainnya menjadi berkurang. Hal ini akan memberi kelonggaran ke arah hak perseorangan sehingga memberikan banyak kesempatan terjadinya proses2 pemindahan hak milik, terutama jual-lepas. Akibat dari proses2 ini wilayah adapt semakin sempit, di lain pihak wilayah lain semakin luas. Di samping karena adanya pergeseran dari pemilikan bersama ke pemilikan individual, serta adanya sengketa diantara anggota masyarakatnya sendiri, atau antar kelompok masyarakat hukum adat yang sama2 meng-claim atas tanah dan sumberdaya alam lainnya, terjadi pula pergeseran cara pandang terhadap tanah dan sumberdaya alam lainnya dari yang semula bersifat sakral, cosmologis spiritual, dan religius ke aspek ekonomi, juga dapat memperkuat proses alamiah melemahnya dan/atau menghilangnya hak ulayat.
4. Bila kita kaji lebih dalam, semua unsur/komponen pembentuk indigenous knowledge yang manapun berorientasi pada aspek ekologi sehingga dapat dikatakan bahwa indigenous knowledge dibentuk berdasarkan cara pandang ecocentrism, sehingga ia akan tumbuh dan berkembang di dalam habitat budaya ecocentrismseperti halnya pada 3 contoh kasus di atas. Yang menjadi kekhawatiran sekarang yaitu terjadinya pergeseran nilai-nilai ideal dari budaya lokal/tradisional/adat itu sendiri. Nilai-nilai ideal harus merupakan intrinsic interest dalam pengertian yang bersifat obyektif dan diukur berdasarkan pertimbangan: kebutuhan (yang dianggap penting), etika atau moral (yang dianggap baik) dan logika atau fakta (yang dianggap benar). 5. Pengetahuan lokal (Indigenous knowledge) tidak akan tumbuh dan berkembang di dalam budaya materialist hedonist anthropocentrism, ia akan menjadi barang tontonan atau komoditas ekonomi. 6. Pengetahuan lokal (Indigenenous knowledge) yang dimiliki masyarakat lokal/tradisional/adat Baduy, Aru, dan Subak dapat dipandang sebagai tools dalam pengelolaan sumberdaya alam (tanah, air, laut, hutan, dan sumberdaya alam lainnya) secara berkelanjutan. Namun sulit dibuktikan dan/atau dijabarkan secara ilmiah karena pengetahuan lokal lebih didasarkan pada mitos, kepercayaan (believe), kemampuan cosmological spiritual, religi, norma, etika lingkungan, sensitifitas dan resposifitas terhadap bahasa alam, serta integritas budaya tradisionalnya. Ketidakilmiahan ini sering dijadikan senjata interst group/pressure group yang berpandangan anthropocentrism untuk mempengaruhi masyarakat lokal/tradisional/adat untuk mengubah cara hidupnya dan pengetahuan lokalnya (Indigenous knowledge-nya). 7.Masyarakat lokal/tradisional/adat yang memiliki pengetahuan lokal (Indigenous knowledge) seperti pada butir tidak terhitung banyaknya tersebar di seluruh archipelagic wilayah Indonesia dan sampai saat ini tidak tahu bagaimana nasibnya. Pemerintah lebih memperhatikan kawasan-kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi seperti kawasan minapolitan, kawasan agropolitan, kawasan metropolitan, KEKI, KAPET, KADAL, KAKUS, dsb. Mengapa terhadap masyarakat lokal/tradisional/adat tidak diberi kesempatan mengelola sumberdaya alam setempat berdasarkan Indigenous knowledge-nya, mengapa terhadap mereka tidak diberikan ruang untuk mengorganisasikan kemampuannya dalam pengelolaan sumberdaya alam dan kelestarian lingkungan di wilayahnya, padahal wilayahnya dimungkinkan untuk ditetapkan sebagai kawasan strategis dari sudut kepentingan ekologi dan lingkungan. Jawabannya sederhana saja, karena ekologi dan lingkungan tidak cantik dan menarik, berbeda dengan proyekproyek pembangunan fisik.