Cara Induksi Induksi persalinan dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik operaif/indakan maupun dengan menggunakan obat-obatan/medisinal. Untuk menentukan cara induksi persalinan yang dipilih, beberapa faktor yang dapat mempengaruhi, perlu diperimbangkan, yaitu paritas, kondisi serviks, keadaan kulit ketuban dan adanya parut uterus.
Induksi persalinan secara operaif/indakan •
Membrane stripping
Hal ini dilakukan dengan melepaskan kulit ketuban dari dinding segmen bawah rahim. Proses ini menyebabkan meningkatnya phospholipase A2 dan pelepasan prostaglandin endogen F2α, yang dikenal untuk memulai kelahiran secara spontan. Cara ini dianggap cukup aman dan efekif dalam merangsang imbulnya his. Beberapa hambatan yang dihadapi dalam melakukan indakan ini, ialah serviks yang belum dapat dilalui oleh jari, bila didapatkan perkiraan plasenta letak rendah, bila kepala belum cukup turun dalam rongga panggul. Wanita yang menjalani proses ini mungkin merasakan keidaknyamanan, perdarahan vagina dan kontraksi irregular setelah prosedur dilakukan (John T, et al, 2010). •
Amniotomi (pemecahan kulit ketuban)
Amniotomi atau pemecahan ketuban secara ariisial di Inggris juga disebut sebagai induksi bedah, sering digunakan untuk menginduksi atau mempercepat persalainan. Indikasi umum lain untuk amniotomi antara lain adalah pemantauan denyut jantung janin internal jika dianisipasi adanya gangguan janin dan penilaian intrauterus kontraksi jika persalinan belum memuaskan. Amniotomi dapat dilakukan sejak awal sebagai indakan induksi, dengan atau tanpa oksitosin. Induksi persalinan secara bedah (amniotomi) lebih efekif jika keadaan serviks baik (skor Bishop > 5). Kerugian yang terkandung dalam pemecahan selaput ketuban melalui serviks adalah kemungkinan prolapse tali pusat, risiko infeksi dan solusio plasenta. Pengeluaran cairan secara perlahan melalui amniosintesis abdomen membantu mengurangi bahaya-bahaya ini (Cunningham, et al, 2013). •
Rangsangan pada puing susu
Sebagaimana diketahui rangsangan puing susu dapat mempengaruhi hipoisis posterior untuk mengeluarkan oksitosis sehingga terjadi kontraksi rahim. Dengan pengerian ini maka telah dicoba dilakukan induksi persalinan dengan merangsang puing susu. Pada salah satu puing susu, atau daerah areola mammae dilakukan masase ringan dengan jari si ibu. Untuk menghindari lecet pada daerah tersebut, maka sebaiknya pada daerah puing dan aerola mammae di beri minyak pelicin. Lamanya iap kali melakukan masase ini dapat ½ jam – 1 jam, kemudian isirah beberapa jam dan kemudian dilakukan lagi, sehingga dalam 1 hari maksimal dilakukan 3 jam. Tidak dianjurkan untuk melakukan indakan ini pada kedua payudaraan bersamaan, karena ditakutkan terjadi perangsangan berlebihan. Menurut peneliian di luar negeri, cara induksi ini memberi hasil yang baik. Cara – cara ini baik sekali untuk melakukan pematangan serviks pada kasus – kasus kehamilan lewat waktu. •
Simulasi listrik
Dengan dua elektrode, yang satu diletakkan dalam servik, sedangkan yang lain ditempelkan pada dinding perut, kemudian dialirkan listrik yang akan memberi rangsangan pada serviks untuk
menimbulkan kontraksi rahim. Bentuk alat ini bermacam-macam, bahkan ada yang ukurannya cukup kecil sehingga dapat dibawa – bawa dan ibu idak perlu inggal di rumah sakit. Pemakaian alat ini perlu dijelaskan dan disetujui oleh pasien
Induksi persalinan secara medisinal •
Tetes oksitosin
Tujuan induksi atau augmentasi adalah untuk menghasilkan akiitas uterus yang cukup untuk menghasilkan perubahan serviks dan penurunan janin. Sejumlah regimen oksitosin untuk simulasi persalinan direkomendasikan oleh American College of Obstetricians and Gynecologists (1999a). Oksitosin diberikan dengan menggunakan protokol dosis rendah (1–4mU/menit) atau dosis inggi (6– 40mU/menit), awalnya hanya variasi protokol dosis rendah yang digunakan di Amerika Serikat, kemudian dilakukan percobaan dengan membandingkan dosis inggi, dan hasilnya kedua regimen tersebut tetap digunakan untuk induksi dan augmentasi persalinan karena idak ada regimen yang lebih baik dari pada terapi yang lain untuk memperpendek waktu persalinan. Oksitosin digunakan secara hai-hai karena gawat janin dapat terjadi dari hipersimulasi. Walaupun jarang, rupture uteri dapat pula terjadi, lebihlebih pada mulipara. Untuk itu senaniasa lakukan observasi yang ketat pada ibu yang mendapat oksitosin. O’Driscoll and colleagues (1984) menguraikan protokol untuk penatalaksanaan akif persalinan yang menggunakan oksitosin dosis awal dan tambahan 6 mU/menit (Cunningham, 2013). Parkland Hospital, Sain, dkk (1992) mengevaluasi regimen oksitosin dengan dosis tersebut, dengan peningkatan dengan interval 20 menit jika diperlukan. Diantara 1112 wanita yang diinduksi menghasilkan rata-rata waktu masuk ke persalinan yang lebih singkat, lebih sedikit induksi yang gagal, dan idak ada kasus sepsis neonatus. Dan diantara 1676 wanita yang di augmentasi, mereka yang mendapat regimen 6 mU/menit memiliki durasi waktu persalinan yang lebih singkat, persalinan forseps yang lebih sedikit, pelahiran Caesar karena distosia yang lebih sedikit, dan menurunnya korioamnioniis intrapartum atau sepsis neonatorum. Parkland Hospital menggunaan regimen oksitosin dengan dosis awal dan tambahan 6 mU/menit secara ruin telah dilakukan hingga saat ini. Sedangkan di Birmingham Hospital di University Alabama memulai oksitosin dengan dosis 2 mU/menit dan menaikkannya sesuai kebutuhan seiap 15 menit yaitu menjadi 4, 8, 12, 16, 20, 25, dan 30 mU/menit. Walaupun regimen yang pertama tampaknya sangat berbeda, jika idak ada akiitas uterus, kedua regimen tersebut mengalirkan 12 mU/menit selama 45 menit ke dalam infuse (Cunningham, 2013). Jika masih idak terbentuk kontraksi yang baik pada dosis maksimal, lahirkanlah janin melalui secio caesar. Dalam pemberian infuse oksitosin, selama pemberian ada beberapa hal yang harus diperhaikan oleh petugas kesehatan yaitu: a) Observasi ibu selama mendapatkan infuse oksitosin secara cermat. b) Jika infuse oksitosin menghasilkan pola persalinan yang baik, pertahankan kecepatan infuse yang sama sampai pelahiran. c) Ibu yang mendapat oksitosin idak boleh diinggal sendiri
d) Jangan menggunakan oksitosin 10 unit dalam 500 ml (20 mIU/ml) pada muligravida dan pada ibu dengan riwayat secion caesar. e) Peningkatan kecepatan infus oksitosin dilakukan hanya sampai terbentuk pola kontraksi yang baik, kemudian pertahankan infus pada kecepatan tersebut. (Saifuddin, 2002) •
Pemakaian Prostaglandin
Prostaglandin E2 (PGE2)
Prostaglandin E2 (PGE2) tersedia dalam bentuk gel atau pesarium yang dapat dimasukkan intravaginal atau intraserviks. Gel atau pesarium ini yang digunakan secara lokal akan menyebabkan pelonggaran kolagen serviks dan peningkatan kandungan air di dalam jaringan serviks. PGE2 memperlunak jaringan ikat serviks dan merelaksasikan serabut otot serviks, sehingga mematangkan serviks. PGE2 ini pada umumnya digunakan untuk mematangkan serviks pada wanita dengan nilai bishop <5 dan digunakan untuk induksi persalinan pada wanita yang nilai bishopnya antara 5 - 7. (Sinclair, 2010, Llewellyn, 2002) Bentuk gelnya (prepidil) tersedia dalam sunikan 2,5 ml untuk pemberian intraserviks berisi 0,5 mg dinoprostone. Ibu dalam posisi terlentang, ujung sunikan yang belum diisi diletakkan di dalam serviks, dan gel dimasukkan tepat di bawah os serviks interna. Setelah pemberian, ibu tetap berbaring selama seidaknya 30 menit. Dosis dapat diulang seiap 6 jam, dengan maksimum iga dosis yang direkomendasikan dalam 24 jam. Cervidil (dinoprostone 10 mg) juga diakui untuk pematangan serviks. Bentuknya yang persegi panjang (berupa wafer polimerik) yang ipis dan datar, yang dibungkus dalam kantung jala kecil berwarna puih yang terbuat dari polyester. Kantungnya memiliki ekor panjang agar mudah untuk mengambilnya dari vagina.pemasukannya memungkinkan dilepaskannya obat 0,3 mg/jam (lebih lambat dari pada bentuk gel). (Cunningham, 2013) Cervidil digunakan dalam dosis tunggal yang diletakkan melintang pada forniks posterior vagina. Pelumas harus digunakan sedikit, atau idak sama sekali, saat pemasukan. Pelumas yang berlebihan dapat menutupi dan mencegah pelepasan dinoprostone. Setelah pemasukan, ibu harus tetap berbaring seidaknya 2 jam. Obat ini kemudian dikeluarkan setelah 12 jam atau keika persalinan akif mulai terjadi. Cervidil ini dapat dikeluarkan jika terjadi hipersimulasi. American College of Obstetricians and Gynecologists (1999) merekomendasikan agar pemantauan janin secara elektronik digunakan selama cervidil digunakan dan sekurang-kurangnya selama 15 menit setelah dikeluarkan. (Sinclair, 2010, Cunningham, 2013) Efek samping setelah pemberian prostaglandin E2 pervaginam adalah peningkatan akivitas uterus, menurut American College of Obstetricians and Gynecologists (1999) mendeskripsikannya sebagai berikut: a) Takisistol uterus diarikan sebagai ≥6 kontraksi dalam periode 10 menit. b) Hipertoni uterus dideskripsikan sebagai kontraksi tunggal yang berlangsung lebih lama dari 2 menit. c) Hipersimulasi uterus jika salah satu kondisi menyebabkan pola denyut jantung janin yang meresahkan. Karena hipersimulasi yang dapat menyebabkan masalah bagi janin bisa berkembang jika prostaglandin diberikan sebelum adanya persalinan spontan, maka penggunaannya idak direkomendasikan. Kontra
indikasi untuk agen prostaglandin secara umum melipui asma, glaucoma, peningkatan tekanan intraokular. (Sinclair, 2010, Cunningham, 2013) •
Prostaglandin E1 (PGE1)
Misoprostol atau cytotec adalah PGE1 sinteik, diakui sebagai tablet 100 atau 200 μg. Obat ini telah digunakan secara of label (luas) untuk pematangan serviks prainduksi dan dapat diberikan per oral atau per vagina. Tablet ini lebih murah daripada PGE2 dan stabil pada suhu ruangan. Sekarang ini, prostaglandin E1 merupakan prostaglandin pilihan untuk induksi persalinan atau aborsi pada Parkland Hospital dan Birmingham Hospital di University of Alabama. (Sinclair, 2010, Cunningham, 2013) Misoprostol oral maupun vagina dapat digunakan untuk pematangan serviks atau induksi persalinan. Dosis yang digunakan 25 – 50 μg dan ditempatkan di dalam forniks posterior vagina. 100 μg misoprostol per oral atau 25 μg misoprostol per vagina memiliki manfaat yang serupa dengan oksitosin intravena untuk induksi persalinan pada perempuan saat atau mendekai cukup bulan, baik dengan rupture membrane kurang bulan maupun serviks yang baik. Misoprostol dapat dikaitkan dengan peningkatan angka hipersimulasi, dan dihubungkan dengan rupture uterus pada wanita yang memiliki riwayat menjalani seksio sesaria. Selain itu induksi dengan PGE1, mungkin terbuki idak efekif dan memerlukan augmentasi lebih lanjut dengan oksitosin, dengan catatan jangan berikan oksitosin dalam 8 jam sesudah pemberian misoprostol. Karena itu, terdapat perimbangan mengenai risiko, biaya, dan kemudahan pemberian kedua obat, namun keduanya cocok untuk induksi persalinan. Pada augmentasi persalinan, hasil dari peneliian awal menunjukkan bahwa misoprostol oral 75 μg yang diberikan dengan interval 4 jam untuk maksimum dua dosis, aman dan efekif. (Saifuddin, 2002, Cunningham, 2013) •
Cairan hipertonik intrauterine/extra-amnioic normal saline
John T. Queenan, John C. Hobbins, Catherine Y. Spong. 2010. Protocols for High-Risk Pregnancies. Blackwell Publishing Ltd. UK Cunningham GF, Leveno KJ, Gant NF, et al. 2004. Obstetri Williams. EGC: Jakarta
Please download full document at www.DOCFOC.com Thanks