IMPLIKASI PROGRAM DUAL MODE SYSTEM TERHADAP PENERAPAN PEMBELAJARAN AKTIF INOVATIF KREATIF EFEKTIF DAN MENYENANGKAN (PAIKEM) DI MADRASAH IBTIDAIYAH DI JAKARTA, TANGERANG, DEPOK, DAN BOGOR IMPLICATIONS FOR PROGRAM APPLICATION SYSTEM DUAL MODE ON INNOVATIVE CREATIVE LEARNING EFFECTIVE AND FUN (PAIKEM) AT MADRASAH IBTIDAIYAH AT JAKARTA, DEPOK, AND BOGOR Yanti Herlanti; dan Hindun Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Email:
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk melihat dampak program dual mode system terhadap penerapan PAIKEM di Madrasah Ibtidaiyah (MI). Penelitian dilakukan dengan metode survei, dengan menyebarkan kuisioner pada 219 peserta program DMS, yang sebagian besar mengajar di wilayah DKI Jakarta, Tangerang, Bogor, dan Depok. Selain itu untuk menyakinkan hasil temuan dari kuisioner, dilakukan triangulasi dengan melakukan observasi di 22 guru MI wilayah Bogor dan DKI Jakarta dan wawancara dengan Kepala Sekolah. Hasil penelitian menunjukkan, Bahasa ada dampak yang cukup signifikan terhadap penerapan PAIKEM oleh guru program DMS. Penerapan yang cukup tinggi yaitu pada aspek pembelajaran aktif dan menyenangkan, terutama dalam penggunaan media dan metode pengajaran. Faktor dedikasi, komitmen, dan loyalitas terhadap profesi guru, banyak berdampak terhadap DMS untuk menerapkan PAIKEM di kelasnya. Kata kunci: program dual mode system (DMS), pembelajaran aktif inovatif kreatif efektif dan menyenangkan (PAIKEM), pengembangan profesionalisme guru (PPG)
ABSTRACT The of this study is to know the impact of Dual Mode System (DMS) program through PAIKEM implementation in Islamic Elementary School (MI). The research was conducted by survey. About 219 participants of DMS program filled the questionnaire. Most of participants are teacher in MI Jakarta, Tangerang, Bogor and Depok. In addition, to ensure the findings from the questionnaire, conducted triangulation with observation of teachers in 22 MI at Bogor and Jakarta and interviews on their headmasters. The results showed, there are significantly impact from DMS program to teaching and learning in class. Teachers who follow DMS program taught by active, creativ, inovative, effective, and joy full learning (AICEJL). They used varity of media and teaching methods. Dedication, commitment, and professional loyalty are main the factors to improve the willingness of teachers to implement AICEJL in its class. Based on these findings, the DMS program can serve as a "best practice" teacher professional development program. Keywords: program dual mode system (DMS), active innovative creative effective joyfull learning and (AICEJL), teacher profesional development (TPD)
2
PENDAHULUAN Peserta didik merupakan indikator mutu pendidikan. Hasil survei intermasional TIMMS (Trends in International Mathematics and Science Study), PISA(Programme for International Student Assessment, maupun PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study) memperlihatkan prestasi peserta didik kita yang masih rendah dibandingkan negara-negara peserta lainnya. Hasil survei memperlihatkan posisi Indonesia yang berada diperingkat bawah dibandingkan dengan negara-negara peserta lainnya lainnya. Bahkan, posisi Indonesia masih di bawah Singapura maupun Malaysia yang merupakan negara anggota ASEAN. Mutu peserta didik banyak dipengaruhi banyak faktor. Salah satu faktor terpenting yaitu mutu guru. Beberapa faktor yang menentukan mutu guru yaitu kualifikasi akademik guru dan kompetensi profesional guru. Berkaitan dengan Kualifikasi akademik. UU No 14 Tahun 2005, menyatakan kualifikasi adalah ijazah jenjang pendidikan akademik yang harus dimiliki oleh guru atau dosen sesuai dengan jenis, jenjang, dan satuan pendidikan formal di tempat penugasan. Pada pasal 9 dinyatakan guru wajib memiliki kualifikasi akademik, yang diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat. Fakta yang ada menunjukkan kualifikasi pendidikan guru di Indonesia belum memadai. Dari 2,95 juta guru di Indonesia, hanya 51% yang sudah berpendidikan S1 atau lebih, dan sisanya belum (Harian Kompas, 7 Maret 2012). Untuk meningkatkan kualifikasi guru di lingkungan Kementrian Agama dikeluarkan surat Keputusan Menteri Agama No. 179 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Program Peningkatan Kualifikasi Sarjana Strata Satu (S1) bagi Guru MI dan PAIS melalui Dual Mode System. Melalui surat keputusan tersebut, para guru RA, MI, dan PAI yang belum memiliki kualifikasi S1/DIV mengikuti program peningkatan kualifikasi diberbagai perguruan tinggi di Indonesia dengan dual mode system. Dual mode system (DMS) adalah perpaduan antara system belajar tatap muka dan system belajar mandiri. Melalui surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam No. Dj.I/26/2009 tentang Penunjukan Penyelenggara Program Peningkatan Kualifikasi Sarjana (S1) bagi Guru Raudlatul Athfal, Madrasah dan PAI pada Sekolah melalui Dual Mode System (DMS), salah satu penyelenggara sekolah melalui DMS adalah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. DMS merupakan salah satu bentuk pengembangan professional guru (professional development of teachers) yang dilakukan dalam bentuk perkuliahan (course).
Ono dan 2
3
Ferreira (2010) membagi tujuan pengembangan professional guru menjadi empat katagori, yaitu untuk sertifikasi pada guru-guru yang tidak memiliki kualifikasi, untuk meningkatkan kemampuan (upgrade) guru, untuk menyiapkan guru dalam peran baru atau kurikulum baru, dan untuk diseminasi atau penyegaran kembali. Berdasarkan tujuan ini, secara tradisonal program pengembangan professional guru dilakukan melalui kegiatan workshop, seminar, konferensi, atau perkuliahan (cources). Perkuliahan program DMS pada Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) diselanggarakan selama 9-10 putaran, satu putaran terdiri dari 14 pertemuan, satu putaran dilaksanakan selama 3 bulan. Perkuliahan ini bertujuan memberikan bekal kepada para guru, agar dapat melaksanakan pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
Sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 41 tahun 2007 tentang standar proses untuk satuan pendidikan dasar dan menengah, menyatakan bahwa kegiatan pembelajaran dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Kegiatan ini dilakukan secara sistematis dan sistemik melalui proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Pada pelaksanaan program pengembangan professional guru masih mengalami banyak kendala. Menurut Borko (2004), banyak sekali pengembangan professional guru dalam jabatan menghabiskan dana miliyaran, tetapi tidak dapat mengukur, bagaimana guru telah belajar. Menurut Dass & Yager (2009), program pengembangan profesional menjadi efektif, jika menawarkan konten intelektual yang serius, melibatkan guru secara nyata dalam konteks pengalaman belajar yang bervariasi, bersipat menempel dan ongoing pada tujuan dan praktek persekolahan. Program DMS pun telah memanfaatkan dana miliyaran rupiah, tetapi bagaimana efektifitas terhadap peningkatan professional guru? Salah satu bentuk professional guru adalah penerapan PAIKEM Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap dampak program DMS, terhadap penerapan PAIKEM Madrasah Ibtidaiyah (MI).
KAJIAN LITERATUR PAIKEM merupakan singkatan dari Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan. Pembelajaran ini sesungguhnya merupakan penyempurnaan dari PAKEM 3
4
(Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif dan Menyenangkan). Tambahan huruf /i/ pada akronim tersebut menjadi PAIKEM menunjukkan bahwa proses kemajuan pemikiran dalam dunia pendidikan terus bergulir menuju ke arah yang lebih sempurna seiring dengan kebutuhan dan kemajuan zaman. Selanjutnya, PAKEM itu merupakan metamorfosis dari CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). PAIKEM didefinisikan sebagai pendekatan mengajar (approach to teaching) yang digunakan bersama metode tertentu dan pelbagai media pengajaran yang disertai dengan penataan lingkungan sedemikian rupa sehingga proses pembelajaran menjadi aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Oleh sebab itu, dengan PAIKEM para siswa merasa tertarik dan mudah menyerap pengetahuan serta keterampilan yang diajarkan. Selain itu, PAIKEM juga memungkinkan siswa melakukan kegiatan yang beragam untuk mengembangkan sikap, pemahaman, dan keterampilannya sendiri dalam arti tidak semata-mata “disuapi” guru. Menurut Permen no. 41 tahun 2007, pelaksanaan PAIKEM dapat dilihat dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Perencanaan dan pelaksanaan yang dimaksud yakni yang di dalamnya terkandung eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi (EEK). Adapun evaluasi yang ditampilkan berupa penilaian pembelajaran yang bersifat portofolio dan otentik. Makna EEK menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, eksplorasi adalah “kegiatan untuk memperoleh pengalaman-pengalaman baru dari situasi yang baru”.
Kemudian “elaborasi adalah
penggarapan secara tekun dan cermat”, konfirmasi berarti pembenaran, penegasan, dan pengesahan terhadap suatu hal/kegiatan.” Hal-hal yang menjadi dasar bahwa peralihan di atas (CBSA—PAKEM—PAIKEM) menurut Setiawan (2004), PAIKEM dikembangkan dengan beberapa perubahan, di antaranya: 1) Peralihan dari belajar perorangan (individual learning) ke belajar bersama (cooperative learning); 2) Peralihan dari belajar dengan cara menghafal (rote learning) ke belajar untuk memahami (learning for understanding); 3) Peralihan dari teori pemindahan pengetahuan (knowledge transmitted) ke bentuk interaktif, keterampilan proses dan pemecahan masalah; 4) Peralihan paradigma dari guru mengajar ke siswa belajar; dan 5) Beralihnya bentuk evaluasi tradisional ke bentuk authentic assesment, seperti portofolio, proyek, laporan siswa, atau penampilan siswa. Dasar peralihan tersebut sesuai dengan PP no 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 19, ayat (1) yang berbunyi: “Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi
4
5
peserta didik untuk berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.” Pembelajaran Aktif tidak akan berhasil tanpa kualitas guru yang baik.
Guru adalah
pendidik professional. Profesional menurut Nurdin (2004) adalah pekerjaan yang mendasarkan pada bidang pendidikan dan latar belakang pendidikan tertentu. Guru adalah professional karena, guru bekerja bidang mengajar dan latar belakang pendidikan harus tertentu yaitu keguruan.
Kenneth Lynn dalam Nurdin (2004) mendefinisikan seorang
professional “a profession delivers esoteric service based on esoteric knowledge systematically formulated and applied to the needs of client.” Makna definisi itu adalah bahwa suatu profesi yang menyajikan jasa dengan berdasarkan pada ilmu pengetahuan yang dipahami oleh orang tertentu secara sistemik diformulasikan dan diterapkan untuk memenuhi kebutuhan kliennya. Guru pun menawarkan jasa pada peserta didik, jadi jelaslah bahwa guru adalah pendidik professional. Guru yang profesional harus memiliki empat kemampuan. Kemampuan yang dimaksud yakni: merencanakan proses belajar mengajar, melaksanakan dan memimpin KBM (Kegiatan Belajar Mengajar), dan Menilai Kemajuan KBM, serta menafsirkan serta memanfaatkan hasil penilaian kemajuan KBM.
Walaupun kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian
merupakan kegiatan harian guru, tetapi perubahan paradigma pendidikan dari berpusat pada guru menjadi berpusat pada peserta didik, dari pembelajaran individual menjadi pembelajaran kooperatif, dari transfer pengetahuan menjadi kontruksi pengetahuan, maka pelatihan dan pendidikan guru dalam jabatan (inservice teacher) menjadi penting. Pelatihan guru dalam jabatan merupakan bagian dari pengembangan professional guru (professional development of teachers).
Menurut Ono & Ferreira (2010), tujuan dari
pengembangan professional guru dibagi menjadi empat katagori, yaitu untuk sertifikasi pada guru-guru yang tidak memiliki kualifikasi dimaksudkan, untuk meningkatkan kemampuan (upgrade) guru, untuk menyiapkan guru dalam peran baru atau kurikulum baru, dan untuk diseminasi atau penyegaran kembali. Berdasarkan tujuan ini, secara tradisonal program pengembangan professional guru dilakukan melalui kegiatan workshop, seminar, konferensi, atau perkuliahan (cources). Pada pelaksanaan program pengembangan professional guru masih mengalami banyak kendala. Menurut Borko (2004), banyak sekali pengembangan professional guru dalam
5
6
jabatan menghabiskan dana miliyaran, tetapi tidak dapat mengukur, bagaimana guru telah belajar. Sementara itu, Dass & Yager (2009), berpendapat bahwa suatu program pengembangan profesional menjadi efektif, jika menawarkan konten intelektual yang serius, melibatkan guru secara nyata dalam konteks pengalaman belajar yang bervariasi, bersipat menempel dan ongoing pada tujuan dan praktek persekolahan. Program Dual Mode System, merupakan program peningkatan professional guru, bertujuan untuk sertifikasi guru-guru yang belum memenuhi kualifikasi. Model program Dual Mode System ini menuurut Ono & Ferreira (2010) merupakan pelaksanaan pengembangan profesinal guru dalam jabatan ini dilakukan secara tradisional yaitu melalui perkuliahan di Perguruan Tinggi.
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, menggunakan metode survei. Pengumpulan data dilakukan dengan membagi kuisioner kepada peserta program DMS untuk mengetahui Penerepan PAIKEM yang telah dilakukan di Madrasah Ibtidaiyah (MI) tempat mereka mengajar. Sebanyak 219 kuisioner telah diisi oleh para guru MI yang berasal dari wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Depok, serta sebagian kecil Kabupaten Sukabumi. Selain itu dilakukan pula observasi kelas terhadap 22 peserta (10% dari 219 responden),
terkait
pelaksanaan PAIKEM di MI tempat mereka mengajar dan wawancara terhadap kepala sekolahnya dan rekan sejawatnya. Untuk memeperkuat, hasil temuan dari penelitian, dilakukan pula pengambilan sampel pada guru-guru yang tidak mengikuti DMS. Kuisioner dibagikan kepada guru kelas MI wilayah DKI Jakarta dan Banten (Kota Tangerang) yang sedang mengikuti Pelatihan Pendidikan Profesi Guru di Wisma Graha Insan Cita, pada Agustus 2012. Peserta yang secara sukarela mengisi kuisioner berjumlah 46 orang. Selanjutnya, data dianalisis secara deskriptif dan statistik inferensi.
Uji statistik
menggunakan uji non parametrik, karena asumsi normalitas dan homogenitas diabaikan dalam penelitian ini. Uji statistik inferensi yang digunakan adalah uji non parametric seperti uji beda Man Withney, Kruskal Wallis, dan korelasi Spearman, serta uji regresi.
Program
SPSS digunakan untuk membantu analisis data.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 6
7
DMS membawa dampak terhadap penerapan PAIKEM di MI Secara umum dari 219 peserta program DMS, terdiri atas perempuan 57,99% dan lelaki 42,01%.
Sebagian besar (42,01%) pengalaman mengajar peserta lebih dari 15 tahun.
Sebanyak 42,92% peserta sebagai guru kelas, dan 57.02% sebagai guru bidang studi baik agama Islam, maupun umum. Sebanyak 18,72% peserta berada diputaran awal (putaran 3 & 4), sebagian besar (59.82%) berada pada putaran akhir (putara 8 &9). Secara umum, para guru yang telah mengikuti program DMS, lebih banyak menggunakan pengajaran dengan pendekatan non PAIKEM dari pada PAIKEM (dilihat pada Gambar 1, kiri). Para guru yang telah mengikuti program DMS, masih dominan menyuruh peserta didik duduk berbanjar, menuliskan apa yang ada dipapan tulis, dan buku serta komunikasi hanya terjadi dua arah antara guru dan peserta didik, dibandingkan dengan duduk berkelompok, peserta didik mendiskusikan materi dan mempresentasikannya, serta komunikasi yang sifatnya banyak arah antara guru, peserta didik, dan peserta didik. Jika dibandingkan dengan guru-guru MI yang tidak mendapatkan program DMS, maka hasilnya tidak jauh berbeda, para guru masih cenderung sering menerapkan pembelajaran yang belum bersifat aktif inovatif kreatif efektif dan menyenangkan di kelas.
Gambar 1
(kanan) menunjukkan penerapan PAIKEM oleh para guru yang tidak mengikuti program DMS. Pada gambar tersebut terlihat kecenderungan sering menerapkan non PAIKEM pada berbagai aspek baik kegiatan peserta didik, persiapan pembelajaran, penggunaan media, sumber belajar, dan metode mengajar. Hanya saja hasil uji beda rerata menunjukkan bahwa guru-guru yang mengikuti program DMS lebih sering menerapkan PAIKEM daripada guruguru yang tidak mengikuti program DMS (µDMS 112,21± 14.23; µNon DMS 106±11,88; Asymp. Sig. (2-tailed) Mann Whitney=0.014).
7
8
Gambar 1. Penerapan PAIKEM oleh Guru Program DMS (kiri) dan Non DMS (kanan)
Faktor internal dan faktor eksternal memberi semangat pada penerapan PAIKEM di MI Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan gender (µguru lelaki 112,40± 14.23; µguru perempuan 112,11±14,28; Asymp. Sig. (2-tailed) Mann Whitney=0.827), tidak ada perbedaan antar putaran
(Asymp. Sig= 0,974),
tidak ada hubungan dengan lama
mengajar (r= -0,147, Sig. 0,42), dan tidak ada hubungan frekuensi keikutsertaan dalam pendidikan dan latihan (diklat) terhadap penerepan PAIKEM para guru (r=0.088, sig. 0.228). Faktor gender, lama putaran, lama pengalaman mengajar, dan keikutsertaan dalam diklat, bukan faktor yang menyebabkan para guru program DMS
berkemauan menerapkan
PAIKEM di MI. Berdasarkan wawancara pada kepala sekolah dan rekan sejawat, penerapan PAIKEM di MI oleh para guru peserta DMS, lebih disebabkan faktor internal yaitu dedikasi, loyalitas, dan komitmen terhadap profesi guru.
Ada pula faktor eksternal yang mempengaruhi guru 8
9
program DMS penerapan PAIKEM, yaitu respon baik terhadap masyarakat dengan aksi penerapan PAIKEM yang selama ini diterapkan di MI. MI menjadi popular dan siswa yang mendaftar menjadi lebih banyak, sejak guru menerapkan PAIKEM. Akibatnya, guru secara berkelanjutan menerapkan PAIKEM. Program DMS berdampak pada aspek personal dan pedagogis Berdasarkan kuisioner yang dikembangkan dengan observasi pembelajaran di kelas, terlihat bahwa aspek kreatif menempati posisi paling rendah. Ini bermakna bahwa guru kemampuan guru masih rendah dalam mengembangkan pembelajaran dengan kreatif.
Hanya saja,
pembelajaran yang diselenggarakan guru, sudah mampu memberikan nuansa menyenangkan, hal ini terlihat dari ketercapaian indikator menyenangkan yang paling tinggi diantra indikator lainnya.
Gambar 2. Hasil Ketercapaian PAIKEM
Indikator PAIKEM yang dilaksanakan selama pembelajaran mencakup unsur
persiapan
peserta didik, metode mengajar, penggunaan media pembelajaran, dan penilian. Berdasarkan indikator ini, pencapaian yang dilakukan oleh para peserta berdasarkan hasil kuisioner dan observasi dapat dilihat pada Gambar 3. Pada gambar terlihat ada tiga komponen yang pencapaiannya melebihi 60% yaitu dalam hal metode mengajar, penggunaan media pembelajaran, dan penilaian.
9
10
Gambar 3. Hasil Ketercapaian PAIKEM Berdasarkan Aspek Pedagogis
Wawancara dilakukan untuk mengungkap persepsi kepala sekolah dan rekan sejawat terhadap kinerja para guru pasca mengikuti program DMS dibandingkan sebelum mengikuti program. Berdasarkan hasil wawancara perubahan kinerja tampak dari para guru program DMS dalam hal pedagogi dan kepribadian guru.
Pada aspek pedagogi kepala sekolah dan
rekan sejawat merasakan perubahan guru dalam hal metode mengajar dan penggunaan media. Adapun pada aspek kepribadian, para guru program DMS memperlihatkan peningkatan dalam hal semangat, kedisiplinan,
loyalitas dan dedikasi terhadap profesi guru.
Selengkapnya ungkapan dari kepala sekolah dan rekan sejawat dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perubahan Aspek Personal dan Pedagogis yang Dirasakan Guru Perubahan
Indikator perubahan yang dirasakan Kepsek dan Rekan Sejawat 10
11
kinerja Aspek personal
Aspek pedagogi
Guru lebih bersemangat mengajar Guru lebih tepat waktu Guru lebih memperhatikan psikologis tiap siswa yang diajar Guru selalu ceria ketika mengajar di kelas Guru lebih kreatif dalam menyajikan pembelajaran di kelas Kinerja guru lebih berkontribusi lebih baik dalam penugasan di sekolah Guru lebih peka terhadap akses informasi-informasi baru terkait pendidikan Guru mempunyai cara pandang yang lebih baik dan menyampaikan cara pandang tersebut jelas Guru lebih sistematis dalam membuat perencanaan pembelajaran Guru membuat RPP yang berkarakter Guru tidak hanya menggunakan metode ceramah, tetapi lebih variatif menggunakan metode pembelajaran dengan demonstrasi di kelas. Guru menggunakan teknik-teknik mengajar yang diajarkan di UIN (PAIKEM) Media yang dibuat sudah bervariasi Menggunakan media-media untuk membantu proses pembelajaran Memanfaatkan alat peraga yang sudah disediakan sekolah Memanfaatkan alam sekitar (di luar kelas) dalam proses pembelajarannya Guru menggunakan ice breaking dan game-game yang menarik bagi siswa
Penialain RPP memperkuat adanya perubahan aspek pedagogis guru program DMS Rencana pembelajaran memperlihatkan kemampuan guru dalam merencanakan pembelajaran yang akan dilaksanakan. Pada perencanaan pembelajaran, akan terlihat kreatifitas para guru dalam mendesain pembelajaran, selain itu akan terlihat pemahaman para guru terhadap desain pembelajaran PAIKEM. Pada permendiknas no 41 2007, digariskan desain RPP berdasarkan konstruktivisme,
konstruktivisme merupakan landasan dari PAIKEM.
pelaksanaan pembelajaran, guru seharusnya membuat RPP, tetapi
Setiap kali
20 orang guru yang
diobservasi, hanya 60% yang membuat RPP. Dari RPP yang terkumpul 33,33% terindikasi mengadaptasi dari RPP yang beredar diinternet, dan hanya 8,3% RPP yang memperlihatkan kekreatifan guru. Analisis terhadap mutu RPP lebih rinci terlihat pada Gambar 4.
11
12
Gambar 4. Mutu RPP yang Dibuat Guru Program DMS
Gambar 4 terlihat bahwa pada kegiatan pendahuluan, sebagian besar guru program DMS belum mampu membuat kegiatan pendahuluan yang bersifat konstruktif.
Pada kegiatan
pendahuluan, guru terfokus pada aktifitas berdo’a dan presensi, kegiatan ini dianggap cukup untuk
mengkonsentrasikan
kesiapan
belajar
peserta
didik.
Kegiatan
apersepsi
yangdicantumkan guru dalam RPP tidak ada penjelasan yang jelas, penjelasan lebih bersifat normatif daripada aplikatif, padahal RPP seharusnya dapat menggambarkan dengan jelas kegiatan pedagogis dan pengetahuan yang diperoleh siswa. Hanya 15% guru program DMS yang mampu membuat rumusan kegiatan pendahuluan yang bersifat konstruktif. Gambar 4 terlihat bahwa dalam kegiatan inti, guru program DMS sudah membuat langkahlangkah pembelajaran aktif yang terdiri dari ekplorasi, elaborasi, dan konsfirmasi (EEK). Hanya saja, baru 58% yang benar-benar memperlihatkan perencanaan pembelajaran yang aktif sesuai esensi dari EEK. Pada gambar juga memperlihatkan, bahwa para guru masih berorientasi pada penilaian hasil belajar dibandingkan penilaian proses. Orientasi pada hasil belajar pun terlihat dari penulisan tujuan pembelajaran yang tidak mencantumkan proses yang digunakan untuk mencapai hasil belajar. Pencapaian yang cukup baik, ada pada pembuatan indikator dan penutup. Pada pembuatan indikator, para guru program DMS sudah mampu membuat indikator yang bersifat operasional sehingga terukur pencapaian keterlaksanaannya. Dalam kegiatan penutup, para 12
13
guru sudah melakukan refleksi yang berupa menyimpulkan kembali materi yang diberikan dan memberikan latihan soal sebagai bahan refleksi pemahaman peserta didik terhadap materi yang telah disajikan guru. Program DMS berbeda dengan program pengembangan yang sifatnya pendidikan dan pelatihan. Program DMS, membuat program perkuliahan padat. Para guru kuliah pada hari libur kerja, yaitu sabtu minggu secara berkelanjutan sampai putaran 9-10. Satu putaran terdiri dari 14 kali pertemuan yang diselenggarakan selama 3 bulan.
Dengan sistem
perkuliahan seperti ini, maka guru diberi beban yang sama dengan mahasiswa regular, begitu pun pengetahuan yang diberikan merupakan ilmu pengetahuan yang terbaru sesuai kebutuhan praktek pengajaran di sekolah/madrasah.
Transfer pengetahuan dan pengalaman terjadi
setiap minggunya secara berkesinambungan, selain itu pola-pola penugasan kelompok akan membangun sikap kooperatif dan pola relasi diantara para peserta dalam jangka panjang. Program DMS bukan hanya memperkaya asupan pengetahuan, tetapi juga secara sosial mampu membangun relasi lebih baik antar peserta program. Dampaknya cukup, baik, guruguru secara signifikan mampu menerapkan PAIKEM. Berdasarkan temuan ini, maka pola program DMS dapat dijadikan model pengembangan profesional guru, karena beberapa kelebihannya ditinjau dari sipat program, metode, dan penilaian, yaitu: Pertama secara long term. Program DMS bersifat jangka panjang dan bertahap, matakuliah menghabiskan waktu 14 minggu (sekitar 3 bulan).
satu
Waktu tersebut cukup
panjang untuk membangun pengetahuan, sikap, dan keterampilan perserta program. Materi disampaikan 2-3 jam setiap minggunya, (sabtu/minggu).
dengan mengambil hari libur para guru
Pada hari-hari kerja (senin-jum’at) peserta dapat mengaplikasikan materi
yang didapatkan pada perkuliahan, di kelas masing-masing. Pertemuan selanjutnya, dosen dapat merefleksi penerapan yang dilakukan oleh guru. Jadi pada program ini, pemberian pengetahuan dan penerapannya dilakukan oleh para guru secara bertahap. Adapun program pengembangan professional lainnya seperti workshop, seminar, dan diklat yang diselenggarakan selama beberapa hari sekaligus, memberikan pengetahuan dan keterampilan secara sekaligus, akibatnya penerapannya pun bersifat hangat kuku. Jika dibuat analogi dengan membacakan sebuah buku, maka program DMS meminta peserta membacakan beberapa halaman terlebih dahulu, kemudian beberapa halaman dahulu, diminta diaplikasikan terlebih dahulu dalam kehidupan nyata, kemudian direfleksi hasil penerapannya, secara bertahap hal itu dilakukan sampai halaman buku itu habis terbaca dan teraplikasi. Adapun 13
14
program pengembangan lainnya, walaupun dibuat dalam jumlah jam yang sama yaitu 14 x 3 jam atau 42 jam atau 6 hari yang dirancang dalam bentuk workshop, pendidikan dan pelatihan (diklat), atau pun lokakarya, maka program tersebut ibarat membaca tamat sebuah buku sekaligus, mensimulasikannya, lalu meminta kesediaan peserta untuk mengaplikasinya dalam kehidupan nyata kelak. Akibat dari membaca buku dalam waktu instan, maka aplikasi pun bersifat instan hanya berjalan seminggu atau dua minggu pasca pelatihan dan diklat. Kedua model pendidikan yang diselenggarakan dalam program bersifat: lecturing (perkuliahan), penugasan, dan presentasi/penampilan. Lecturing memberikan dasar-dasar konsep penting yang harus dikuasai peserta, pada tahap ini peserta mendapatkan asupan pengetahuan. Penugasan bertujuan membangun sikap dan melatih keterampilan. Penugasan yang diberikan bersifat individu dan kelompok,
pada penugasan kelompok, antar para
peserta memungkinkan terbangun kerjasama dalam waktu yang cukup panjang,
pada
kerjasama tersebut terjadi tukar pengetahuan sekaligus tukar budaya professional, yang berimbas pada penguatan profesionalisme mereka sebagai seorang guru. Adapun pada tugas individu, akan memunculkan sikap tanggung jawab dan komitmen.
Presentasi/penampilan
memunculkan sikap tanggung jawab ilmiah, selain keterampilan berkomunikasi dan pemanfaatan Ilmu dan Teknologi Komunikasi. Ketiga penilaian yang ketat,
program DMS menilai proses dan hasil belajar, pada proses
belajar penilaian akan memperhitungkan kehadiran dalam perkuliahan,
toleransi untuk
ketidakhadiran adalah 20%, jika melebihi, maka tidak diperkenankan mengikuti ujian dan tidak mendapatkan nilai.
Selain itu, penilaian proses dilakukan untuk tugas-tugas dan
penampilan selama perkuliahan. Penilaian hasil dilakukan melalui ujian tengah dan akhir semester.
Pada akhir perkuliahan, akan diperoleh nilai A, B, C, D, atau tidak lulus.
Penilaian yang ketat ini “memaksa” peserta untuk berkomitmen dalam program, karena ada “funishment” jika lalai dari program. Penilaian ketat, ini yang tidak ada dalam model pengembangan professional seperti workshop dan diklat. Penilaian seperti ini dapat memaksa para peserta yang memiliki dedikasi dan loyalitas yang rendah untuk berkomitmen terhadap program. Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap penerapan PAIKEM oleh peserta program lebih bersifat internal dan tersangkut kepentingan sekolahnya. Hal yang membuat para peserta menerapkan PAIKEM di sekolah yaitu dedikasi, loyalitas, dan komitmen peserta program terhadap profesi guru, bukan karena pengalaman mengajar, banyaknya mengikuti diklat, dan lamanya mengikuti program DMS.
Hal lain 14
15
yang membuat perserta menerapkan PAIKEM yaitu kultur sekolah, penerapan PAIKEM memberi keuntungan bagi kepopularan sebuah MI, akibatnya PAIKEM menjadi kultur sekolah dan dilembagakan oleh sekolah.
Temuan ini mengisyaratkan, sebuah program
pengembangan profesi guru akan berhasil diterapkan guru, jika guru mempunyai dedikasi dan loyalitas terhadap tugasnya dan pihak sekolah merasakan manfaat dari program. Beberapa hal yang diperlukan dalam pembuatan program pengembangan professional yaitu: Analisis kebutuhan (Need Assesment) yang melibatkan sekolah. Analisis kebutuhan adalah suatu metode untuk mengetahui perbedaan antara kondisi yang diinginkan atau diharapkan atau ideal (should be/ought to be) dengan kondisi yang ada atau nyata (what is). Analisis kebutuhan akan
menentukan jarak atau kesenjangan antara dampak yang nyata dengan
dampak yang diinginkan, kemudian menempatkan deretan kesenjangan ini dalam skala prioritas lalu memilih hal yang paling penting untuk diselesaikan masalahnya (Wathern & Sanders, 1987).
Pelibatan sekolah (kepala sekolah termasuk guru) dalam analisis
kebutuhan sangat penting. Sekolah dapat melakukan refleksi, kondisi apa yang terjadi secara nyata pada praktek pendidikan di sekolahnya, dan kondisi apa yang diharapkan terjadi, kemudian menentukan apa yang paling dibutuhkan sekolah. Pelibatan sekolah pada tahap ini akan berdampak pada diterimanya program oleh sekolah, karena mereka merasakan program sebagai kebutuhan mereka. Pola analisis kebutuhan, yaitu memaparkan kondisi riil, kondisi harapan/ideal, dan penentuaan skala prioritas yang bisa dilakukan dapat menjadi “form pendaftaran” untuk guru yang akan mengikuti program pengembangan professional. Seleksi peserta terfokus pengembangan professional berdasarkan analisis kebutuhan. “Form pendaftaran” berdasarkan analisis kebutuhan dapat dijadikan cara untuk menyeleksi peserta. Peserta akan menentukan skala prioritas yang dibutuhkan sekolah, hanya saja dalam penentuan skala prioritas acapkali peserta menuntut sarana dan prasarana dibandingkan pada pengembangan profesi yang berdampak pada “minds on dan hands on” siswa. Oleh sebab itu, seleksi seyogyanya dapat menutup kran bagi pemenuhan sarana, prasarana, dan kesejahteraan finansial. Pola rekruitmen mempertimbangkan kinerja guru.
Sangat nyata bahwa peserta yang
mempunyai loyalitas dan dedikasi terhadap profesinya, akan melakukan kinerja profesi dengan baik.
Inilah yang harus dijadikan dasar, para guru dengan kinerja, loyalitas, dan
dedikasi yang baik patut menjadi prioritas dalam pengembangan program profesi. Ketercapaian program pengembangan akan efektif apabila para peserta program mempunyai semangat dan motivasi kerja. Hasil penelitian Jarvis & Pell (2005) menunjukan bahwa guru 15
16
yang bersemangat kerja memperoleh skor tinggi untuk kognitif, sikap mengajar, kompetensi mengajar, dan kepercaayaan diri dalam mengajar pasca program peningkatan pengajaran sains bagi guru selama dua tahun. Kontrak program, kontrak program bermanfaat untuk menjaga komitmen para peserta selama program berlangsung dan pasca program.
Pada program DMS yang telah
dilaksanakan, kontrak perkuliah dilakukan diawal perkuliah, kontrak tersebut berisi peraturan perkuliahan, metode perkuliahan, penugasan, dan penilaian. Kontrak perkuliahan selama program DMS telah mampu mengingat para peserta program untuk berkomintmen dalam hal kehadiran dan pengerjaan tugas. Pada program pengembangan guru, kontrak program pun diperlukan. Kontrak program dapat didesain sesuai kebutuhan dan tujuan dari program pengembangan profesional guru.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Program Dual Mode System (DMS) mempunyai dampak pada penerapan pembelajaran aktif, kreatif, inovatif, efektif, dan menyenangkan di Madrasah Ibtidaiyah Wilayah Jabodeta (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang). Dampak yang paling besar dirasakan oleh komponen madrasah (kepala sekolah dan guru itu sendiri) adalah aspek pembelajaran aktif dan menyenangkan.
Guru yang mengikuti program DMS cukup sering menerapkan metode-
metode pembelajaran berbasis kelompok dan aktif, serta menggunakan berbagai media pembelajaran, termasuk memanfaatkan lingkungan sekolah di luar kelas sebagai sumber belajar. Kemampuan guru menerapkan PAIKEM di kelas merupakan, tujuan implisit dari program DMS, selain perolehan kualifikasi yang sesuai tuntutan UU Guru dan Dosen.
Sebagian
peserta program telah memenuhi tujuan implisit ini, walaupun ada sebagian lagi yang hanya sekadar mengejar kualifikasi, hanya mememenuhi kewajiban program untuk hadir, tanpa berimbas pada kualitas propefesionalismenya di kelas.
Faktor yang menyebabkan peserta
program DMS mau menerapkan PAIKEM yaitu faktor internal, dedikasi, loyalitas, dan komitmen pada tugas profesi guru.
Selain itu, faktor internal berupa respon baik dari
masyarakat terhadap penerapan PAIKEM di sebuah sekolah, menjadikan semangat para guru dalam melanggengkan penerapan PAIKEM. Desain program DMS dapat dijadikan model pengembangan profesinal guru dalam jabatan. Desain program DMS memiliki keunggulan dari segi waktu, metode, dan penilaian, yang 16
17
berdampak pada peningkatan pengetahuan, sikap, dan keterampilan peserta program, terutama pada aspek pedagogi.
Saran Desain program DMS dapat dijadikan sebagai model pengembangan profesionalisme guru dalam jabatan Hal-hal berikut merupakan sifat dari program DMS yang dapat diadopsi pada program pengembangan profesinalisme guru, yaitu: a) Waktu,
bersifat long term dan
bertahap. Para guru cukup hadir 3-6 jam setiap minggu (setara 3-6 SKS), di sela-sela waktu luang mengajar di sekolah, selama 14 kali pertemuan; b) Ketersediaan waktu jeda, untuk merefleksi materi dan menginternalisasinya dalam praktek mengajar di kelas; c) Metode pengajaran, bersifat lecturing, penugasan, dan presentasi untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan profesionalisme guru; dan d) Penilian bersifat ketat mengacu pada kontrak program yang merupakan komitmen antara tutor dan peserta. Model pengembangan profesional guru yang selama ini
dilakukan dengan model
pelatihan, workshop, dan seminar, dimana model pelatihan selama 14 hari berturut-turut (model PLPG/Pendidikan Pelatihan Profesi Guru), dapat direfleksikan kembali untuk mempertimbangkan sistem baru seperti program DMS, yaitu datang setiap minggu selama 14 kali pertemuan untuk mengikuti perkuliah 2-3 mata kuliah di Universitas yang membuka studi keguruan yang terakreditasi.
PUSTAKA ACUAN Borko. H. 2004. Profesional Develeopment and Teacher Learning: Mapping the Terrain. Educational Researcher. 33(8). h. 3-15 Dass, M.P. & Yager, R.E. 2009. Professional Development of Science Teacher. Science Educational Review. 8(3). h. 99-111 Harian Kompas, 7 Maret 2012. Kualitas Guru Masih Rendah. Jarvis, T. & Pell, A. 2005. The Relationships Bettween Primary Teachers’ Attitudes and Cognition During a Two Year Science in Service Programs. Research and The Quality of Sceince Education. Boesma, K., et al. [Eds]. Dordrecht: Springer. Nurdin. 2004, Kiat Menjadi Guru Profesional, Yogjakarta: Prisma Sophie. Ono, Y. & Ferreira, J. 2010. A casestudy of continuing teacherprofessional development through lessonstudy in South Africa. South African Journal of Education. 30. h. 5974
17
18
Setiawan 2004. Strategi Pembelajaran Matematika yang Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM), Makalah disampaikan pada DIKLAT Instruktur Pengembangan Matematika SMA Jenjang Dasar, Yogjakarta: 6-19 Agustus 2004 Surat Edaran Dirjen Pendidikan Agama Islam No SE/DJ.I/PP.00.9/80/2012 tentang Peningkatan Mutu Pengelolaan dan Layanan Akademik Program Peningkatan Kualifikasi S-1 Bagi Guru PAI/MI/RA melalui Dual Mode System. Tersedia online di http://dualmode.kemenag.go.id Wathern, B.R. & Sanders, J.R. 1987. Educational Evaluation. New York: Longman
18