IMPLEMENTASI PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK MELALUI RESTITUSI DAN KOMPENSASI DI WILAYAH KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA MAGELANG BAB I A. PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara disamping berbagai sumber lainnya seperti kekayaan alam, laba BUMN/BUMD, Bea Cukai, sumbangan, maupun utang luar negeri, yang mana hasilnya dipergunakan untuk membiayai pengeluaran negara. Kita semua menyadari bahwa negara dalam perjalanannya sangat membutuhkan dukungan dana yang sifatnya stabil, sebab kalau hanya mengandalkan kekayaan alam lambat laun akan habis dan untuk menghasilkannya kembali membutuhkan waktu yang tidak singkat. Hampir semua negara di dunia ini mengenakan pajak pada warga negaranya untuk membiayai jalannya pemerintahan. Dari hal ini kita faham bahwa sebenarnya hasil pemungutan pajak itu nantinya akan dikembalikan kembali pada rakyat sebagai wajib pajak melalui hasil-hasil pembangunan, gaji pegawai maupun perlindungan keamanan, hal ini sesuai dengan pandangan pajak dari segi makro ekonomi. Dengan demikian betapa keberadaan pajak itu sangat diperlukan semaju apapun negara tersebut. Dengan jumlah penduduk sebanyak 230 juta jiwa dan kondisi social ekonomi masyarakat saat ini, idealnya jumlah pembayar pajak (Wajib Pajak) terdaftar berada pada kisaran angka 12,5 juta Wajib Pajak. Kenyataannya sampai akhir tahun 2007 baru tercatat pada kisaran 4 juta Wajib Pajak dan itupun sudah termasuk Wajib Pajak non filler. Sementara di negara-negara Eropah dan Amerika rata-rata tax ratio telah mencapai 25% dan di negara1
negara Asia seperti Malaysia dan Singapura dan Filiphina, negara kita masih ketinggalan bahkan konon tax ratio negara kita masih di bawah Ethiopia yang telah mencapai 16%. 1 Bahwa manusia tidak ada yang sempurna, maka sangat mungkin terjadi kekeliruan dalam penghitungan. Mengingat bahwa pada prinsipnya, pemerintah memungut pajak pada rakyat bukan untuk membebani, maka seandainya terjadi perbedaan penghitungan antara wajib pajak dan fiscus, maka akan dilakukan penghitungan ulang, baik mengakibatkan kekurangan bayar atau adanya lebih bayar. Berkait dengan keadaan seandainya wajib pajak merasa ada kelebihan, maka pemerintah harus mengembalikannya pada wajib pajak tersebut. Hal ini dapat dilakukan dalam bentuk restitusi maupun kompensasi. Jumlah pengembalian kelebihan pembayaran pajak cukup tinggu, untuk restitusi pada tahun 2010 mencapai Rp.40 triliun .2 Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak hanya menuntut wajib pajak untuk membayar pajak tanpa adanya kekurangan, di mana kalau kurang harus menambah, namun di sisi lain, pemerintah juga konsekuen apabila ada kelebihan dikembalikan pada wajib pajak karena itu adalah haknya. Dalam proses pengenaan dan pemungutan PPh,PPN dan PPnBM dimungkinkan terjadinya kelebihan pembayaran pajak. Kelebihan tersebut disebabkan beberapa alasan, sebagai berikut:
1
Iswahyudi, 2008,Ekstensifikasi dan Optimalisasi Pemungutan PPh OP dan PBB, Bernbasis Data Pemilik Kendaraan Bermotor, Majalah Berita Pajak edisi 1 November, Jakarta
2
Wahyu Sudoyo, 5 Januari 2011, Bataviase.co.id 2
a.
Jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar dari pada jumlah pajak yang seharusnya terutang sesuai ketentuan Undang-Undang PPh atau Undang-Undang PPN dan PPnBM;
b.
Terdapat pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, atau
c.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dan atau data baru ternyata pajak yang lebih dibayar
jumlahnya lebih besar daripada kelebihan pembayaran pajak yang telah ditetapkan dalam SKPLB. 3 B. PERUMUSAN MASALAH Mengingat bahwa kelebihan itu adalah hak dari Wajib Pajak, maka pemerintah akan mengembalikan baik melalui restitusi maupun kompensasi. Berkait dengan hal tersebut, di Wilayah Kantor Pelayanan Pajak Pratama Magelang juga sangat mungkin terjadi adanya kelebihan pembayaran pajak oleh wajib. Dalam rangka pengembalian tersebut, perlu diketahui bagaimana prosedur pengembalian pembayaran kelebihan pajak melalui restitusi dan kompensasi yang dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama Magelang serta kendala yang timbul dalam pelaksanaan tersebut dan bagaimana cara mengatasinya. C. TINJAUAN PUSTAKA 1. Ciri-Ciri Pajak Ciri-ciri yang yang ada pada pajak adalah: a. Pajak peralihan kekayaan dari orang/badan ke pemerintah.
3
Marihot Pahala Siahaan , Hukum Pajak Formal, Graha Ilmu,Yogyakarta , hal. 154.
3
b. Pajak dipungut berdasarkan/dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya, sehingga dapat dipaksakan. c. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi langsung secara individual yang diberikan oleh pemerintah. d. Pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. e. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment. f. Pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dari pemerintah. g. Pajak dapat dipungut secara langsung atau tidak langsung. Pada prinsipnya,pemungutan pajak dapat dipaksakan tanpa adanya kontra prestasi yang langsung dapat ditunjukkan. 2. FUNGSI PAJAK Pajak mempunyai 2 fungsi, yaitu :(1) Fungsi Budgeter dan (2) Fungsi Mengatur. Fungsi Budgeter yaitu dalam rangka memasukan uang ke kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan pembangunan. Menurut Prop. M.Y. Smeets bahwa seluruh proses ekonomi menampakan dirinya sebagai suatu arus daya beli yang mengalir terus menerus dalam suatu masyarakat. Apa yang merupakan pengeluaran seseorang jika orang tersebut mengkonsumsi suatu produk atau menginvestasikan pendapatannya akan merupakan penghasilan bagi orang lain dan penghasilan ini pada gilirannya akan dipergunakan pula untuk membeli jasa/benda pada orang lain sehingga akan merupakan penghasilan pula bagi orang tersebut, demikian seterusnya.
4
Arus daya beli yang mengalir secara wajar dan bebas di dalam masyarakat sebagai akibat usaha para warga masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya tersebut pada suatu Ketika akan menjalani suatu pembelokan ke sektor publik. masuK ke rumah tanga negara dan merupakan penghasilan negara. Bertolak dari pendapat Smeets, maka Fungsi budgeter dari pajak merupakan suatu sarana baqi Pemerintah untuk memperoleh penghasilan sebanyak-banyaknya guna menutup pengeluaran pemerintah. Fungsi mengatur yaitu pajak sebagai sarana untuk mencapai tujuan tertentu di luar bidang keuangan negara. Pada Fungsi ini yang penting bukan masuknya uang ke kas negara melainkan tercapainya tuiuan yang dikehendaki oleh Pemerintah tidak jarang untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah takkan melepaskan sama sekali haknya untuk memungut pajak. Fungsi mengatur disini dapat dipergunakan untuk 2 hal : a. Sebagai
sarana
untuk
memberi
rangsangan/insentif
bagi
tumbuh
dan
berkembangnya hal-hal yang dikehendaki pemerintah, seperti :
b.
-
pengurangan bea ekspor atau penetapan tarif PPN 0% untuk kamoditi tertentu.
-
penaikan untuk proteksi
-
pengurangan pajak untuk abseptor KB
-
bebas pajak untuk (tax holiday) industri tertentu. Untuk menghambat suatu kegiatan
Misalnya cukai Minuman Keras : setiap orang yang menyiapkan miras untuk bisa dikonsumsi masyarakat dikenai pajak.
5
3. FALSAFAH PAJAK Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara, artinya masih ada banyak sumber lainnya, antara lain: kekayaan alam, bea dan cukai, retribusi, iuran, sumbangan, laba BUMN/BUMN dan sumber-sumber lain seperti pencetakan uang (deficit spending)dan pinjaman.4, namun adalah sangat tidak mungkin apabila negara semata-mata hanya mengandalkan misalnya dari kekayaan alam, karena kekayaan alam suatu saat akan habis dan memakan waktu yang cukup lama untuk pemulihannya atau bahkan ada kekayaan alam yang bersifat non renewable. Untuk itu adalah sangat tepat apabila negara memungut pajak kepada warga negara untuk membiayai pengeluaran negara. Secara makro ekonomi, pemungutan pajak tujuan pajak digambarkan dalam bagan di bawah ini : Sektor Publik (RTN)
APBN
Sektor Swasta (RTS) : PT – CV - PA
Keterangan . 1.Dalam masyarakat terjadi perputaran daya beli / uang diantara individu maupun Badan. 2.Individu / badan pada saat tertentu membayar sejumlah uang tertentu kepada negara dalam bentuk pungutan.
4
Erly Suandy, op.cit., hal.2.
6
3.Pungutan tersebut masuk ke dalam kas negara (RTN) dan melalui APBN dialokasikan untuk membiayai pengeluaran negara baik yang bersifat rutin maupun pengeluaran pembangunan. Dengan demikian dari peristiwa tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dari segi makro ekonomi pungutan pajak merupakan penyangga kehidupan perekonomian negara sehingga merupakan sesuatu yang menguntungkan (baik). Oleh karena itu maka sudah sewajarnya warga negara dipungut pajak, karena hasilnya nanti akan dinikmati juga oleh masyarakat.
Sekalipun demikian, negara tidak dapat semaunya sendiri
melakukan pemungutan pada masyarakat, karena prinsipnya bahwa pemungutan pajak tidak boleh memberati masyarakat. Negara melalui aparatnya harus dapat mensejahterakan rakyat melalui pengalokasian yang tepat atas dana hasil pungutan pajak bukan sebaliknya mensengsarakan rakyat melalui pungutan pajak. Dalam pemungutan pajak, negara harus harus mendapat izin lebih dahulu dari rakyat karena pemungutan pajak dapat dipaksakan dan tidak ada kontra prestasi secara langsung yang dapat ditunjuk. Berkait dengan hal tersebut, dasar hukum pemungutan pajak di Indonesia adalah Pasal 23A Undang Undang Dasar 1945, bahwa:”Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undangundang.” Ketentuan ini merupakan dasar filosofi pemungutan pajak, karena tidak ada perpindahan kekayaan tanpa persetujuan pemilik, dan ini menunjukkan bahwa masyarakat (pemilik) memberikan izin atas perpindahan sebagian kekayaannya kepada negara melalui proses pembuatan undang-undang dimana wakil rakyat memberi persetujuan. Bahkan di negara lain pun terdapat dalil pajak, yaitu : Inggris
: No Taxation without Representation
7
USA
: Taxation without representation is Robbery
Dalil tersebut dimaksudkan untuk menghindari anggapan bahwa negara itu sama dengan perampok, karena perpindahan sebagian kekayaan rakyat (pembayaran pajak) tanpa izin pemilik (rakyat).
Jadi setiap pajak yang dipungut negara harus berdasarkan undang-undang, sehingga tidak mungkin ada pajak yang hanya dipungut berdasarkan Keputusan Presiden atau Peraturan Pemerintah atau peraturan-peraturan yang lebih rendah dari undang-undang. Sementara Peraturan Pemerintahn
Pengganti
Undang-Undang
mempunyai kedudukan yang sama dengan undang-undang. Disamping itu, dasar falsafaah pajak adalah sesuai dengan dasar falsafah negara Republik Indonesia yaitu Pancasila 5 hal ini dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Sila Kesatu Pancasila; :Ketuhanan Yang Maha Esa” Setiap warga negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila haruslah menganut ajaran agama yang disahkan pemerintah, dan pada prinsipnya semua agama mengajarkan kepada umatnya untuk saling mengasihi, membantu bagi yang mampu pada yang kurang mampu karena orang yang beragama tidak akan hanya memikirkan dirinya sendiri. Seperti halnya dalam agama Islam dikenal kewajiban zakat bagi yang telah memenuhi ketentuan zakat. Hanya saja dalam hal ini ada sedikit perbedaan, kalau zakat berkait dengan ketentuan agama artinya kalau orang Islam yang mampu tidak membayar zakat maka akan mendapat dosa (dari Allah) sementara pajak adalah peraturan yang dibuat oleh negara
5
Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakn 1, PT Eresco Bandung, 1987, hal. 8-29
8
sehingga apabila ada warga negara yang melalaikan pajak akan mendapat sanksi (surat paksa, denda)
2. Sila Kedua Pancasila: “Kemanusiaan yang adil dan beradab” Sebuah undang-undang terlebih dahulu harus disusun sebelum diundangkan. Penyusunan undang-undang harus dilakukan secara hati-hati dan harus dilakukan secara adil. Mengingat bahwa undang-undang harus dilaksanakan maka pelaksanaan tersebut harus dilandasi kemanusiaan dan keadilan yang manusiawi. Kemanusiaan ini terjelma dalam kebijaksanaan para pejabat. Pelaksanaan peraturan pajak yang dilandasi dengan penuh kemanusiaan akan dipatuhi lebih mantap oleh wajib pajak. Para pejabat harus memperlakukan para wajib pajak dengan baik dan hormat. Keadilan dalam undang-undang pajak harus diberi saluran hukum, artinya dalam undang-undang pajak harus diberikan ketentuan yang memberikan jalan bagi wajib pajak untuk mencari keadilan. Adam Smith dalam bukunya An Inguiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nations (abad 18) atau yang sering disebut The Four Cannons atau The Four Maxims, memberikan pedoman; bahwa supaya peraturan pajak itu adil, harus memenuhi empat syarat yaitu: a. Equality and Equity Keadaan yang sama atau orang yang berada dalam keadaan yang sama harus dikenakan pajak yang sama. b. Certanty
9
Kepastian hukum adalah tujuan setiap undang-undang. Berkait dengan pemungutan pajak, maka pajak yang dibayar oleh wajib pajak harus jelas dan tidak mengenal kompromi (not arbitrary). Dalam asas ini kepastian hukum yang diutamakan adalah mengenai subyek pajak, obyek pajak, tariff pajak dan ketentuan mengenai pemabayarannya. 6 c. Convenience of payment Pajak harus dipungut pada saat yang tepat, yaitu pada saat wajib pajak mempunyai uang; ini akan mengenakkan wajib pajak (convenience), dan harus diingat bahwa tidak semua wajib pajak mempunyai saat convenience yang sama. d. Economics of collection Syarat keempat adalah bertalian dengan biaya pemungutan. Dalam membuat undangundang pajak yang baru, para konseptor wajib mempertimbangkan, bahwa biaya pemungutan harus relative kecil dibandingkan dengan uang pajak yang masuk.
3. Sila Ketiga Pancasila: “Persatuan Indonesia” Pajak mempunyai hubungan yang erat sekali dengan persatuan bangsa Indonesia, bahkan dapat dikatakan bahwa pajak adalah jiwa bangsa. Pajak, disamping minyak dan gas alam, merupakan sumber keuangan yang utama untuk kelangsungan hidup bangsa Indonesia. Tanpa pajak suatu masyarakat tidak dapat menjamin kesinambungan hidupnya, kecuali apabila negara itu mempunyai sumber-sumber alam yang cukup memberikan hasil untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum. Di dunia ini hanya beberapa negara yang sanggup.
6
Erly Suandy, op.cit., hal. 19
10
Pajak asalnya dari rakyat yang pemungutannya dikoordinir oleh negara untuk membiayai pengeluaran negara baik rutin maupun pembangunan yang hasilnya dinikmati oleh rakyat. Di sinilah nampak kesatuan antara rakyat dan pemerintah untuk pencapaian tujuan bersama.
4. Sila Keempat Pancasila: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” Ketentuan tersebut sudah terjabarkan dalam Pasal 23A UUD 1945 dimana hal ini sesuai dengan dasar falsafah baik yang dianut di Inggris (No Taxation without representation) maupun Amerika Serikat (Taxation without representation is robbery). Pajak adanya dalam masyarakat (hukum) yaitu sekelompok manusia yang hidup dalam suatu daerah tertentu yang mempunyai tujuan sama untuk jangka waktu lama dan yang diperjuangkan bersama untuk mewujudkan kepentingan umum. Karena uang pajak berasal dari rakyat maka adalah wajar rakyat mengetahui pengalokasian dana tersebut sebagai sarana control.
5. Sila Kelima Pancasila: “Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia” Makna sila ini sudah terjabar dalam pajak-pajak. Hasil pajak hanya berasal dari rakyat yang membayar pajak, sedangkan warga yang tidak memenuhi persyaratan tidak dipungut pajak, hasilnya digunakan untuk membiayai kepentingan umum. Jadi digunakan untuk seluruh rakyat Indonesia termasuk yang tidak membayar pajak
A. Sistem Pemungutan Pajak
11
1. Official Assesment System Yakni suatu system pemungutan pajak yang member wewenang kepada pemerintah (fiscus) untuk mennentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Cirri-ciri dari system ini adalah : 1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiscus. 2) Wajib pajak bersifat pasif. 3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak oleh fiscus. Dalam system ini fihak fiscus masih cukup dominan untuk menghitung dan menetapkan utang pajak. System ini umumnya diterapkan terhadap jenis pajak yang melibatkan masyarakat luas di mana masyarakat selaku subyek pajak/wajib pajak dipandang belum mampu untuk diserahi tanggung jawab untuk menghitung dan menetapkan pajak. Contoh pajak yang masih menggunakan system ini adalah Pajak Bumi dan Bangunan. Pajak Bumi dan Bangunan yang dikenakan atas bumi dan /atau bangunan, maka mau tidak mau akan melibatkan masyarakat dari semua lapisan, yakni mereka yang memiliki, menguasai, atau mengambil manfaat dari bumi dan/ atau bangunan, sebagai subyek/ wajib pajak.
2. Self Assesment System Yakni suatu system pemungutan pajak yang member wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Cirri-ciri dari system ini adalah : 1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri.
12
2) Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. 3) Fiscus tidak campur dan hanya mengawasi. System ini self assessment umumnya diterapkanpada jenis pajak di mana wajib pajaknya dipandang cukup mampu untuk diserahi tanggung jawab untuk menghitung dan menetapkan utang pajaknya sendiri. Dalam hal ini, subyek pajak / wajib pajak nya relative terbatas, tidak seperti dalam Pajak Bumi dan Bangunan. Sebagai contoh adalah Pajak Penghasilan (PPh), pajak pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa (PPN), dan juga Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
3. With Holding System Yakni system pemungutan pajak yang memeberi wewenang kepada fihak ketiga (bukan fiscus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-ciri dari system ini adalah, wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada fihak ketiga selain fiscus dan wajib pajak. Dengan demikian, yang banyak melakukan tanggung jawab pajak adalah fihak ketiga. Hal ini dapat dilihat dalam Pajak Penghasilan, khususnya PPh. Pasal 21, di mana pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, dana pension, dan sebagainya yang kepadanya diserahi tanggung jawab untuk memotong pajak terhadap penghasilan yang mereka bayarkan.7 B. Para Pihak dalam Perpajakan Pajak sebagai suatu perikatan, di mana di dalamnya terdapat dua fihak yaitu Fiscus dan Wajib Pajak, di mana masing –masing mempunyai hak dan kewajiban dalam perpajakan. Untuk itu maka perlu dibahas para fihak tersebut. 7
Y Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2004, ha. 60-62.
13
1.
Fiscus Pemerintah yang berhak memungut pajak berdasarkan undang-undang perpajakan disebut fiscus, yang berasal dari kata fiscal, yang berarti keranjang berisi uang atau kantong uang, Sesuai dengan penggolongan pajak ditinjau dari lembaga yang berhak memungutnya, pajak digolongkan menjadi dua, yaitu pajak pusat dan pajak daerah. Karena itu fiscus yang berhak memungut masing-masing jenis pajak tersebut pun terbagi menjadi dua, yaitu : a. Fiscus pada Pajak Pusat b. Menteri Keuangan c. Direktur Jenderal Pajak d. Pejabat yang menerima pelimpahan kewenangan dari Direktur Jenderal Pajak (Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak, Direktur pada Direktorat Jenderal pajak, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak , Kepala Kantor Pelayanan Pajak). e. Pejabat yang berwenang melakukan Penagihan Pajak. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 24/PMK.03/2008, dalam rangka pelaksanaan Penagihan Pajak, Menteri Keuangan menunjuk : 1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak Besar, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Madya, dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus sebagai pejabat untuk penagihan pajak yang meliputi PPh serta PPnBM, 2) Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama sebagai pejabat untuk penagihan pajak yang meliputi PPh, PPN, PPnBM,PBB dan BPHTB.
14
3) Kepala Kantor Pelayanan Pajak selain Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 1) dan 2) sebagai pejabat untuk penagihan pajak yang meliputi PPh serta PPN dan PPnBM. 4) Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan sebagai Pejabat untuk penagihan pajak yang meliputi PBB serta BPHTB. f. Juru Sita g. Pemeriksa Pajak h. Penyidik b. Fiscus pada Pajak Daerah Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pada dasarnya hanya menentukan Kepala Daerah sebagai Fiscus. Kewenangan Kepala Daerah dalam Pajak Daerah sehari-hari dilimpahkan kepada pejabat daerah pada instansi pemerintah daerah yang ditunjuk untuk mengelola pajak daerah. Pejabat tersebut antara lain Kepala/Pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang memiliki tugas pokok dan fungsi untuk mengelola penerimaan daerah, termasuk pajak daerah SKPD tersebut antara lain : Dinas Pendapatan Daerah,
Badan Pengelola Keuangan dan Kekayaan Daerah
(BPKKD), Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD). Berkait dengan pelaksanaan pemungutan pajak, Fiscus mempunyai kewenangan, dan kewajiban yang mana kewenangan tersebut dibagi atas kewenanagan fiscus pada pajak pusat dan pajak daerah. a. Kewenangan Fiscus pada Pajak Pusat i. Kewenangan terkait dengan pendaftaran wajib pajak dan pengukuhan pengusaha kena pajak.
15
j. Kewenangan terkait dengan pembayaran pajak. k. Kewenangan terkait dengan pelaporan pajak. l. Kewenangan terkait dengan penetapan dan ketetapan pajak. m. Kewenangan terkait dengan penagihan pajak. n. Kewenangan terkait dengan keberatan dan banding. o. Kewenangan terkait dengan pembukuan dan pencatatan. p. Kewenangan terkait dengan pemeriksaan pajak. q. Kewenangan terkait dengan pengurangan dan pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar. r. Kewenangan terkait dengan penetapan ketentuan material perpajakan di bidang PPh,PPN, dan PPnBM. s. Kewenangan terkait dengan penetapan ketentuan material perpajakan di bidang PBB dan BPHTB. b. Kewajiban Fiscus t. Kewajiban terkait dengan pendaftaran wajib pajak dan pengukuhan pengusaha kena pajak. u. Kewajiban terkait dengan pembayaran pajak. v. Kewajiban terkait dengan pelaporan pajak. w. Kewajiban terkait dengan penetapan dan ketetapan pajak. x. Kewajiban terkait dengan penagihan pajak. y. Kewajiban terkait dengan keberatan dan banding. z. Kewajiban terkait dengan pemeriksaan pajak.
16
aa. Kewajiban terkait dengan pengurangan dan pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar. bb. Kewajiban terkait dengan ketentuan material perpajakan di bidang PBB dan BPHTB. c. Kewenangan dan Kewajiban Fiscus pada Pajak Daerah Pada dasarnya mereka memiliki kewenangan dan kewajiban yang sama dengan fiscus pada Pajak Pusat, hanya saja secara detail kewenangan dan kewajiban pejabat pajak pada pajak daerah didasarkan pada ketentuan yang terdapat pada peraturan daerah tentang pajak daerah, karena itu mungkin saja kewenbangan dan kewajiban mereka tidak sama persis pada semua daerah. 2.
Wajib Pajak Menurut Pasala 1 angka 2 Undang Undang Nomor 6 Tahun 1983, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakn ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu. Seperti halnya Fiscus, Wajib Pajak juga mempunyai hak dan kewajiban Perpajakan. a.
Kewajiban Perpajakan Wajib Pajak cc. Kewajiban Perpajakan Wajib Pajak Secara Umum dd. Kewajiban dalam hal Pendaftaran Wajib Pajak dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. ee. Kewajiban berkaitan dengan Surat Pemberitahuan ff. Kewajiban berkaitan dengan Pembayaran Pajak. gg. Kewajiban berkaitan dengan Penagihan Pajak.
17
hh. Kewajiban berkaitan dengan Keberatan dan Banding. ii. Kewajiban berkaitan dengan Pembukuan dan Pencatatan. jj. Kewajiban berkaitan dengan Pemeriksaan Pajak. kk. Kewajiban dalam hal Pengurangan Pokok Pajak ll. Kewajiban dalam PPh. mm. b.
Kewajiban dalam PPN dan PPnBM.
Hak Perpajakan Wajib Pajak nn. Hak perpajakan Wajib Pajak secara umum oo. Haka dalam hal Pendaftaran Wajib Pajak dan Pengukuhan Pengusaha KEna Pajak. pp. Haka terkait dengan Surat Pemberitahuan.
C. Self Assessment System dalam Pemungutan Pajak Indonesia Self assessment system sebagai system perpajakan adalah suatu bentuk system hukum yang modern dalam bidang perpajakan, dan ini sejalan dengan falsafah bangsa yang meletakkan pembayaran pajak sebagai bentuk kegotongroyongan nasional sebagaimana dimaksud dalam jiwa Pancasila. Dalam system ini pajak terutang bukan karena adanya surat ketetapan pajak (faham formal dalam utang pajak), namun pajak terutang karena seorang subyek pajak memiliki obyek pajak (faham material dari timbulnya utang pajak). Dalam hal ini bukan berarti pengertian faham formal timbulnya utang pajak (melalui penerbitan surat ketetapan pajak ) tidak ada. Surat ketetapan pajak diterbitkan apabila ternyata wajib pajak memiliki kesalahan dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, yang bersifat bukan
18
merupakan perbuatan pidana. Dalam hal kesalahan tersebut bersifat kekeliruan yang bersifat manusiawi dari wajib pajak maka kekeliruan itu cukup diterbitkan surat tagihan pajak yang penagihannya disamakan dengan surat ketetpan pajak. Inti yang terkandung dalam self assessment system dalam pelaksanaan pemungutan pajak adalah sebagai berikut : 1.
Suatu kewajiban perpajakan yang dibebeankan kepada wajib pajak menimbulkan kewajiban yang seimbang dari fihak administrasi pajak (pejabat pajak / fiscus) . misalnya kewajiban membayar PPh/PPN dalam masa pajak menimbulkan kewajiban fiscus untuk mengawasi pembayaran tersebut dan sekaligus pembinaan dalam masa pajak pula.
2.
Suatu kewajiban yang dibebankan kepada wajib pajak menimbulkan hak yang seimbang. Kewajiban membayar kredit pajak (melalui self assessment system dan Withholding tax ) harus seimbang dengan hak memperoleh pengembalian kelebihan yang seimbang apabila ternyata terdapat kelebihan pembayaran.
3.
Administrasi pajak harus dijalankan berdsarkan asas-asas pemerintahan yang baik. Artinya setiap kekeliruan yang timbul yang bersifat manusiawi dari penerbitan surat ketetapan pajak dan surat keputusan di bidang perpajakan harus segera dibetulkan berdsarkan asas-asas pemerintahan yang baik apabila ditemukan adanya kesalhan dalam penerbitannya, baik karena diajukan oleh wajib pajak maupun apabila diketahui oleh fiscus secara jabatan.
4.
Kekeliruan yang bersifat manusiawi dari wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan dibetulkan secara manusiawi. Hal ini berarti kekeliruan di dalam Surat Pemberitahuan yang bersifat manusiawi yang dilakukan oleh wajib pajak, misalnya salah tulis, salah dalam menambah atau mengurangi, mengalikan atau membagi dan kesalahan
19
lain yang bersifat manusiawi dibetulkan dapat dibetulkan oleh wajib pajak, dengan konsekuensi ap[abila akibat pembetulan tersebut terdapat kekurangan pembayaran pajak maka wajib pajak harus membayar kekurangan pembayaran pajak tersebut ditambah dengan sanksi bunga apabila pembayaran tersebut dilakukan setelah jatuh tempo pembayaran pajak. 5.
Setiap tindak pidana dalam melaksanakan kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak dikenakan sanksi pidana yang seimbang, Perbuatan pidana pelanggaran diancam dengan pidana penjara. Di sisi lain wajib pajak yang merasa dirugikan oleh fiscus yang tidak merahasiakan data dan informasi yang telah disampaikannya juga dapat mengajukan tuntutan terhadap pejabat tersebut, dan kepada fiscus tersebut juga diancam hukuman pidana. Penerapan self assessment system dalam pemungutan pajak di Indonesia memberikan
beberapas keuntungan, sebagaimana di bawah ini : 1. Uang pajak dapat segera masuk ke kas Negara tanpa melalui proses penagihan bertele-tele. Begitu suatu taatbestand terpenuhi maka telah ada utang pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak tanpa menunggu adanya surat ketetapan pajak dari pejabat pajak. Dengan demikian wajib pajak dapat segera membayar utang pajak ke kas Negara tanpa perlu menunggu ditagih oleh fiscus. Tindakan penagihan tetap diperlukan, hanya saja tidak dilakukan kepada semua wajib pajak tetapi terhadap wajib pajak tertentu saja, yaitu wajib pajak yang tidak melunasi utang pajak sebagaimana mestinya. 2. Karena tanpa melalui proses penbagihan terhadap semua wajib pajak, maka ada unsure efisiensi biaya pemungutan pajak. Fiscus hanya perlu meningkatkan pelayanan dan
20
pengawasan terhadap wajib pajak agar mereka memahami dan melaksanakan kewajiban perpajakan secara benar. 3. Adanya sanksi perpajakan bagi wajib pajak yang tidak melaksanakan kewajiban perpajakan sebagaimana mestinya, baik sanksi administrasi maupun pidana, diharapkan adanya efek jera serta menimbulkan peningkatan kepatuhan di dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. 4. Meningkatkan kebanggaan pada masyarakat karena telah dipercaya oleh Negara untuk meaksanakan hak dan kewajiban kenegaraannya tanpa harus selalu dilayani oleh fiscus ; hal ini menunjukkan telah meningkatnya kecerdasan bangsa. 5. Meningkatkan kesadaran perpajakan secara sukarela (voluntary tax compliance) masyarakat karena tanpa campur tangan fiscus yang besar masyarakat telah memahami tata cara pelaksanaan kewajiban perpajakan secara benar. 8
c. Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dengan tegas dinyatakan bahwa wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu. Untuk itu maka seseorang yang telah memenuhi syarat sebagai wajib pajak, harus memenuhi kewajiban perpajakannya. Kewajiban perpajakan tidak memandang usia, jenis kelamin, suku, agama, yang penting syarat-syarat sebagai wajib pajak terpenuhi. Seperti halnya seseorang yang mempunyai penghasilan, tidak secara otomatis menjadi wajib pajak manakala 8
Marihot PahalaSiahaan, Ibid., hal. 184-185.
21
penghasilannya tersebut belum memenuhi standar, dengan demikian ada perbedaan anatara subyek pajak dan wajib pajak. Bahwa subyek pajak tidak selalu merupakan wajib pajak, sedangkan wajib pajak awalnya dari subyek pajak yang telah memenuhi syarat baik syarat subyektif maupun syarat obyektif. Dalam system perpajakan Indonesia diatur adanya batasan dasar pengenaan pajak yang tidak dikenakan pajak. Batasan ini biasanya disesuaikan dengan sifat pajak. Apabila suatu obyek pajak bernilai kurang dari batasan tersebut maka tidak akan dikenakan pajak. Pada pajak obyektif, batasan pengenaan pajak ini didasarkan pada nilai obyek pajak, di mana apabila kurang dari batasan dimaksud maka akan dibebaskan pajaknya, sedangkan pada pajak subyektif batasan nilai dari obyek pajak akan membuat apakah seorang wajib pajak dikenakan pajak atau tidak. Untuk asas keadilan, maka apabila atas suatu obyek pajak memiliki nilai di atas batas tidak kena pajak yang ditetapkan, atas obyek pajak tersebut hanya akan dikenakan pajak atas selisih dari nilai obyek pajak dengan nilai batasan tidak kena pajak. Berarti pengenaan pajaknya adalah atas nilai neto. Yang termasuk batas tidak kena pajak pada pajak obyektif adalah Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) dan Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) Berbeda dengan pajak obyektif, pada pajak subyektif batas tidak kena pajak yang ditetapkan diberikan kepada subyek pajak atau wajib pajak. Yang menentukan penggunaan batas tersebut adalah keadaan diri wajib pajak bukan obyek pajak yang diperoleh oleh wajib pajak. Kepada setiap wajib pajak diberikan besaran batas tidak kena pajak sesuai dengan status perpajakannya, apakah bujangan, menikah, dan jumlah tanggungannya. Yang termasuk dalam batas tidak kena pajak pada pajak subyektif adalah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) bagi wajib pajak orang pribadi. Setelah ditentukan berapa besarnya PTKP, baru
22
dilihat besar penghasilan neto yang diperoleh oleh wajib pajak tersebut. Apabila penghasilan neto lebih kecil atau sama dengan PTKP maka tidak ada pajak terutang yang harus dibayar oleh wajib pajak. Untuk memberi keadilan maka bagi wajib pajak yang memiliki penghasilan neto lebih besar daripada PTKP, pajak terutang dikenakan hanya terhadap penghasilan kena pajak, yaitu selisih antara penghasilan neto dikurangi dengan PTKP. Berdasarkan uraian di atas, bahwa seseorang yang telah memenuhi syarat, maka ia menjadi wajib pajak dan dikenakan kewajiban untuk membayar hutang pajaknya. Dalam melaksanakan kewajibannya tersebut, undang-undang juga memberikan hak perlindungan, artinya manakala wajib pajak mempunyai kelebihan pembayaran atas hutang pajaknya, adalah kewajiban pemerintah untuk mengembalikannya. Pasal 28A UndangUndang PPh menyatakan bahwa apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah kredit pajak, maka setelah dilakukan pemeriksaan, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan setelah diperhitungkan dengan utang pajak berikut sanksisanksinya. Sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang KUP Pasal 17B ayat (1), Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk berwenang untuk mengadakan pemeriksaan sebelum dilakukan pengembalian atau perhitungan kelebihan pajak. Hal-hal yang harus menjadi pertimbangan sebelum dilakukan pengembalian atau perhitungan kelebihan pajak adalah: a.
Kebenaran materiil tentang besarnya pajak penghasilan yang terutang dan
b.
Keabsahan bukti-bukti pungutan dan bukti-bukti potongan pajak serta bukti pembayaran pajak oleh wajib pajak sendiri selama dan untuk tahun pajak yang bersangkutan.
Sementara itu pengembalian kelebihan pembayaran PPN dan PPnBM bisa melalui kompensasi dan restitusi.
23
Berdasarkan Peratutan Menteri Keuangan Nomor 72/PMK.03/2010, kelebihan pajak yang dikompensasikan ke masa pajak berikutnya adalah : a.
Kelebihan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran dalam suatu masa pajak, atau
b.
Kelebihan Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan PPnBM yang telah dibayar atas perolehan barang kena pajak yang tergolong mewah yang diekspor, dalam hal ekspor barang kena pajak yang tergolong mewah.
Namun, apabila kelebihan Pajak Masukan terjadi pada masa pajak akhir tahun buku, kelebihan Pajak Masukan tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian (restitusi). 9 Agar pengembalian kelebihan pembayaran pajak tidak bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, wajib pajak wajib mengikuti tata cara pengajuan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak Permohonan tersebut dibuat tertulis dengan memuat alasan-alasan yang benar dengan melampirkan surat pemberitahuan atau surat setoran pajak yang membuktikan adanya kelebihan pembayaran pajak, baru kemudian pejabat pajak berkewajiban menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran pajak. Sebaliknya, wajib pajak yang tidak memiliki pajak yang terutang maupun kelebihan pembayaran pajak, pejabat pajak berwenang menerbitkan surat ketetapan pajak nihil. Surat keputusan kelebihan pembayaran pajak tidak boleh diberikan kepada wajib pajak yang tidak memiliki kelebihan pembayran pajak, agar tidak terjadi pelanggaran hukum yang dapat menimbulkan kerugian pendapatan negara. Berdasar surat permohonan pengembalian pajak, dapat dikeluarkan : a.
Surat Ketetapan Pajak Nihil Adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak yang tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. Ini
9
Marihot Pahala Siahaan, Hukum Pajak Formal,Op. Cit., hal . 155.
24
bukan merupakan dasar penagihan pajak, melainkan hanya menunjukkan bahwa wajib pajak tidak memiliki utang pajak maupun kredit pajak. b.
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar Adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang. Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dilakukan untuk : 1) Pajak Penghasilan, jumlah kredit pajak lebih besar dari jumlah pajak yang terutang. 2) Pajak Pertambahan Nilai, jumlah kredit pajak lebih besar dari jumlah pajak yang terutang. Apabila terdapat pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, yang dimaksud dengan jumlah pajak yang terutang adalah jumlah pajak keluaran setelah dikurangi pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut. 3) Pajak Penjualan atas barang Mewah, jumlah pajak yang dibayar lebih besar dari jumlah pajak yang terutang.
c. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak. Wajin pajak yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak adalah : 1) Wajib pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas. 2) Wajib pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu. 3) Wajib pajak badan dengan peredaran usaha atau jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu, atau
25
4) Pengusaha kena pajak yang menyampaikan surat pemberitahuan yang berisikan lebih bayar Pajak Pertambahan Nilai dengan jumlah penyerahan dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu. 10 BAB III TUJUAN DAN MANFAAT A. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan pengembalian kelebihan pembayaran pajak melalui restitusi atau kompensasi di Wilayah Kantor Pelayanan Pajak Pratama Magelang, apakah proses pengembalian itu dilakukan sesuai ketentuan undang-undang yang merupakan hak wajib pajak dengan prosedur yang tidak merugikan wajib pajak, atau sebaliknya wajib pajak mendapat kesulitan pada saat pengajuan permohonan pengembalian. Disampin itu juga untuk mengetahui adakah hambatan dalam pelaksanaan tersebut, yang disebabkan oleh fiscus, ataupun yang bersumber pada wajib pajak dalam menjalankan self assessment system. Seandainya ada hambatan, solusi apa yang dilakukan. B. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi masyarakat khususnya para wajib pajak sehingga dapat mengetahui prosedur pengembalian kelebihan pajak baik melalui restitusi maupun kompensasi di Wilayah Kantor Pelayanan Pajak Pratama Magelang.
10
Muhammad Djafar Saidi, Pembaharuan Hukum Pajak, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 185.
26
BAB IV METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan Socio Legal-Research yaitu permasalahan yang diteliti dan hasilnya dikaitkan dengan peratutan hukumnya dan melihat kehidupan senyatanya yang terjadi dalam masyarakat. Metode Socio Legal-Research di samping Metode Penelitian Normatif akan memberi bobot lebih pada penelitian bersangkutan. 11
. Dalam hal ini Metode Penelitian Normatif juga dipergunakan yaitu peraturan perundangan
di bidang perpajakan yang berkait dengan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
B. Penentuan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah di Wilayah Kantor Pelayanan Pajak Pratama Magelang, di mana ikon Kota Magelang adalah sebagai Kota Jasa sehingga pembangunan Kota Magelang sangat diperlukan dengan dukungan dari masyarakat. Dukungan tersebut dapat berdasar pada rasa kepercayaan pada kinerja pemerintah termasuk ketika ada kelebihan pembayaran pajak,
11
C.F.E Sunaryati Hartono, .Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, Alumni, Bandung ,1994, hal.
27
pemerintah mengembalikan sesuai prosedur peraturan yang menjadi dasarnya, karena itu adalah hak dari wajib pajak.
C. Jenis dan Sumber Data 1. Data yang dipergunakan adalah jenis data primer dan data sekunder. 2. Sumber Data a. Data Primer diperoleh dari penelitian lapangan yaitu Kantor Pelayanan Pajak Pratama Magelang. b. Data Sekunder diperoleh dari penelitian kepustakaan. D. Teknik Pengumpulan Pajak 1. Wawancara terstruktur 2. Wawancara tak terstruktur 3. Observasi 4. Studi kepustakaan
E. Alat-alat Pengumpulan Data 1. Peneliti 2. Daftar Pertanyaan 3. Catatan harian di lapangan 4. Tape recorder F. Teknik Pengecekan Validasi Data Menggunakan teknik uraian rinci yang menuntut peneliti agar melaporkan hasil penelitiannya sehingga uraiannya itu dilakukan seteliti dan secermat mungkin yang menggambarkan konteks tempat penelitian diselenggarakan. Laporan harus mengacu pada focus penelitian. 12, 12
Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1995, hal.
28
yang dalam hal ini berkait dengan masalah pengembalian kelebihan pembayaran pajak oleh fiscus kepada wajib pajak. G. Teknik Analisa Data Menggunakan analisis kualitatif. Adapun alur kegiatannya mendasarkan pada komponenkomponen analisis alir. 13
Masa Pengumpulan Data ……………………………… Reduksi Data
Antisipasi
Selama
Pasca
PENYAJIAN DATA Selama
= Analisis
Pasca
PENARIKAN KESIMPULAN/VERIFIKASI Selama
13
Pasca
Matthew B Milles dan A Michael Huberman dalam Tjetjep Rohendi Rohidi, Qualitative data Analysis (terjemahan). UI Press, Jakarta,1992, hal.
29
Berdasarkan data-data yang terkumpul di lapangan, penelitian difokuskan pada tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam pelaksanaan self assessment system dan Fiscus dalam rangka pengembalian kelebihan pembayaran pajak melalui restitusi atau kompensasi dalam Wilayah Kantor Pelayanan Pajak Pratama Magelang.
H. Metode Penyajian Data Keseluruhan data yang terkumpul dari lapangan, setelah dianalisa dengan cara sebagaimana yang disebutkan di atas, selanjutnya ditarik kesimpulan dan disajikan dalam bentuk uraian
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Magelang KPP Pratama Magelang sesuai dengan tingkatan berdasar modernisasi perpajakan adalah bertempat di tingkat Kota/Kabupaten. Adapun wilayah kerja KPP Pratama Magelang meliputi Kota Magelang dan Kabupaten Magelang, dengan menempati gedung di Jln. Veteran Nomor 20 Magelang. Adapun bidang usaha jasa banyak terdapat di wilayah Kota Magelang sedangkan pabrik banyak terdapat di wilayah Kabupaten Magelang. Dalam menjalankan tugasnya, KPP Pratama mengutamakan pelayanan yang baik bagi para wajib pajak, baik yang sudah mempunyai NPWP maupun bagi masyarakat yang meminta informasi dan penjelasan berkait dengan masalah perpajakan. Hal ini mengingat masih banyak warga masyarakat yang belum faham fungsi dari pajak, alokasinya untuk apa 30
saja. Demikian juga masih banyak wajib pajak yang masih kurang jelas dalam mengisi formulir pembayaran pajak maupun cara pembayarannya itu sendiri. Mengingat bahwa keberhasilan pemungutan pajak adalah demi mendukung suksesnya program pembangunan pemerintah di segala bidang, maka apapun masalah yang dihadapi wajib pajak, adalah sudah menjadi komitmen aparat perpajakan di KPP Pratama Magelang untuk memberi penjelasan demi kemudahan dan kelancaran masuknya uang ke kas negara melalui pajak. Sebelum istilah “Pratama” dipergunakan, memang wajib banyak banyak mengajukan komplain dan keberatan, karena merasa direpotkan dengan kehadiran aparat perpajakan. Hal ini disebabkan, karena sangat mungkin 1 (satu) orang wajib pajak akan didatangi oleh lebih dari 1 (satu) aparat dalam jangka waktu yang berdekatan. Sebelum menggunakan istilah “Pratama”, di mana terdapat beberapa seksi, antara lain: 1.
Seksi PPh badan
2.
Seksi PPh Pasal 21
3.
Seksi PPN
4.
Seksi PPh OP yang mana tiap-tiap seksi membawahi baik wilayah Kota maupun Kabupaten
Magelang dan memungkinkan 1 (satu) orang wajib pajak dikunjungi oleh 4 seksi tersebut. Di sini terlihat kurang adanya koordinasi diantara aparat perpajakan dan sudah pasti merepotkan wajib pajak, karena para wajib pajak merupakan fihak yang melakukan aktivitas usaha. Semangat untuk memberikan pelayanan yang baik bagi warga masyarakat khususnya para wajib pajak, maka diadakan penataan terutama berkait dengan rasa nyaman tidak menimbulkan kerepotan bagi wajib pajak. Penataan tersebut berkait dengan pemakaian 31
istilah “Pratama” yang mana KPP Pratama Magelang membentuk seksi tersendiri yang khusus menangani masalah pengawasan dan konsultasi yaitu dengan adanya Seksi Pengawasan dan Konsultasi, dimana dalam memberikan pelayanan kepada wajib pajak dibagi dalam kelompok yang mana tiap kelompok wilayah ditangani oleh seorang Account Representative (AR). Hal ini dimaksudkan supaya tidak ada lagi seorang wajib pajak didatangi oleh beberapa petugas pajak yang dapat menimbulkan kerepotan karena pasti ketika petugas datang ada banyak data yang harus dipersiapkan dan ada banyak pertanyaan yang harus dijawab oleh wajib pajak. Keberadaan dari Account Representative (AR) sangat membantu wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, karena berbagai kesulitan akan mendapat bantuan penyelesaian dan ini merupakan service yang diberikan KPP Pratama Magelang. Apabila dilihat efek dari keberadaan Account Representative (AR) jelas sangat direspon dengan baik oleh masyarakat, hal ini terlihat dengan banyaknya wajib pajak yang datang ke KPP Pratama Magelang untuk mengkonsultasikan masalah perpajakan. Bagi Account Representative (AR) dan secara lebih luas bagi segenap aparat perpajakan, adanya kegiatan ini juga membantu mereka dalam memenuhi target perpajakannya, Berkait dengan pengaduan Wajib Pajak yang telah membayar pajak dan merasa ada lebih bayar, maka untuk penyelesaiannya dilakukan oleh Seksi Pemeriksaan, yang di KPP Pratama Magelang Bapak Constantinus Waskitodjati, SE SH sebagai Kepala Seksi Pemeriksaan. Selanjutnya ditangani oleh pegawai fungsional yang secara struktur organisasi bertanggung jawab kepada Kepala Kantor. B. Pelaksanaan Restitusi dan Kompensasi di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Magelang
32
Pada dasarnya kewajiban perpajakn ada dua yaitu PPh baik orang pribadi maupun badan dan PPn, yang mana dalam pelaksanaanya berdasarkan self assessment system. Dalam pemungutan pajak yang dilakukan oleh fiscus kepada wajib pajak, maka wajib pajak berhak memperoleh perlindungan. Sebagai bentuk perlindungan tersebut maka dilakukan penghitungan berapa besarnya utang pajak. 1. Kelebihan Pembayaran Pajak Dalam system perpajakan Indonesia digunakan self assessment system di mana wajib pajak secara aktif menghitung dan menyetor senditi utang pajaknya. Penghitungan tersebut dianggap benar sampai Direktur Jenderal Pajak menemukan data dan keterangan yang menyatakan bahwa penghitungan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, bisa kurang bayar maupun lebih bayar.
Dalam kondisi seperti ini, fiscus
menetapkan kembali besarnya pajak terutang sesuai dengan hasil pemeriksaan. Salah satu kemungkinan penetapan kembali oleh fiscus adalah adanya selisih lebih bayar apabila perhitungan dan pembayaran yang dilakukan wajib pajak lebih besar dari yang seharusnya. Dalam PPh baik itu orang pribadi maupun badan, bisa dilakukan dengan cara angsuran. Sebagai contoh, utang pajak tahun 2010 dihitung dan disetor. Kemudian penghitungan utang pajak tahun 2011 adalah 1/12 dari tahun 2010. Dari penghitungan tersebut dapat diketahui apakah ada lebih bayar atau kurang bayar. Angsuran ini dilakukan supaya kas negara tidak kosong, karena negara membutuhkan dana untuk membiayai pemenuhan kepentingan masyarakat. Sementara untuk PPN, biasanya sudah dipotong oleh bendahara. Kebanyakan PPn di bidang konstruksi, di mana kegiatan tersebut merupakan proyek pemerintah, maka yang memungut adalah fihak pemerintah. Seharusnya yang memungut adalah PT, tapi sekali lagi karena ini ada kaitannya dengan pemerintah. Seandainya ada
33
kelebihan, maka wajib pajak harus mengajukan permohonan permintaan pengembalian ke Kas Negara melalui Kantor Pelayanan Pajak. 14
2. Alasan Kelebihan Pembayaran Pajak Dalam proses pengenaan dan pemungutan PPh, PPN dan PPnBM dimungkinkan terjadinya kelebihan pembayaran pajak. Kelebihan tersebut terjadi disebabkan beberapa alasan, sebagai berikut: a. Jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang seharusnya terutang sesuai ketentuan Undang-Undang PPh, PPN dan PPnBM. b. Terdapat pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. c. Berdasarkan hasil pemeriksaan dan atau data baru ternyata pajak yang lebih dibayar jumlahnya lebih besar daripada kelebihan pembayaran pajak yang telah ditetapkan dalam SKPLB. Selain disebabkan hal di atas, kelebihan pembayaran pajak dapat juga terjadi akibat fiscus menerbitkan surat keputusan pajak yang mengakibatkan pajak yang dibayar oleh wajib pajak lebih besar dari pada yang seharusnya. Kelebihan pembayaran pajak juga dimungkinkan apabila Lembaga Peradilan Pajak, seperti Pengadilan Pajak atau Mahkamah Agung mengeluarkan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali yang mengakibatkan pajak yang dibayar oleh wajib pajak lebih besar dari pada yang seharusnya.15 Disamping itu, klebihan pembayaran pajak juga dimungkinkan karena wajib
14 15
Hasil wawancara dengan Kepala Seksi Pemeriksaan Bpk . Constantinus Waskitodjati, SE SH tanggal 27 Juli 2011 Marihot Pahala Siahaan, Hukum Pajak Formal, op.cit., hal. 154.
34
pajak menampilkan bukti baru, di mana pada waktu menghitung kurang teliti sehingga tidak semua data dimaksukkan. 16
C. Prosedur Pelaksanaan Restitusi dan Kompensasi di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Magelang Apabila wajib pajak merasa bahwa ada kelebihan atas pembayaran utang pajak yang sudah dilakukan, maka yang bersangkutan harus meminta pengembalian ke Kas Negara melalui Kantor Pelayanan Pajak. Adapun prosedurnya adalah : 1. Menyertakan SPT yang wajib pajak laporkan. 2. Mengusulkan pada Kanwil usulan pemeriksaan atas SPT Lebih Bayar. Harus diperiksa karena harus bertanggung jawab kepada Kantor Kas Negara yang artinya harus bertanggung jawab kepada masyarakat. Hal ini untuk mengetahui, apakah benar terjadi lebih bayar, mengingat telah menggunakan self assessment system, di mana penghitungannya telah dilakukan oleh wajib pajak sendiri. Selanjutnya dokumen terkait yang dipakai sebagai dasar pemeriksaan setelah permohonan pemeriksaan disetujui oleh Kanwil meliputi: PTKP, semua harta yang dimiliki, utang kewajiban. Bisa saja terjadi bahwa lebih bayar itu karena salah hitung. Dalam hal ini account representative yang bertanggung jawab terhadap wajib pajak di wilayahnya, melakukan pendekatan, menghimbau apa data sudah benar. Kalau ada yang belum dilaporkan, dihimbau untuk dilaporkan.Setelah itu pemeriksaan dilanjutkan.
Prosedur Pemeriksaan
16
Hasil wawncara dengan Kepala Seksi Pemeriksaan Bpk. Constantinus Waskitodjati, SE SH tanggal 27 Juli 2010.
35
Pemeriksaan dilakukan atas data-data yang dimiliki wajib pajak dan fiscus sesuai dengan standar pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 9/PJ/2010 tentang Standar Pemeriksaan untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan Direktur Jenderal Pajak. Adapun yang dimaksud standar pemeriksaan adalah patokan bagi Pemeriksa Pajak dalam melakukan pemeriksaan. Mengenai standar pemeriksaan diatur dalam BAB II Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 9/PJ/2010 tersebut. Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa Standar pemeriksaan meliputi Standar Umum, Standar Pelaksanaan Pemeriksaan, dan Standar Pelaporan Hasil Pemeriksaan. Adapun yang dimaksud dengan standar umum sesuai Pasal 4 adalah standar yang bersifat pribadi dan berkaitan dengan persyaratan Pemeriksa Pajak dan mutu pekerjaannya, yang meliputi : 1. Telah mendapat pendidikan dan pelatihan teknis yang cukup serta memiliki keterampilan sebagai Pemeriksa Pajak, dan menggunakan keterampilannya secara cermat dan seksama a. Persyaratan ini merupakan syarat kompetensi untuk dapat menjadi seorang Pemeriksa Pajak, baik sebagai individu maupun sebagai Tim Pemeriksa Pajak (kompetensi kolektif). b. Untuk menunjang tugasnya sebagai Pemeriksa Pajak, pendidikan yang berkaitan dengan pemeriksaan sangat diperlukan. Selain pendidikan formal dan pelatihan teknis, seorang Pemeriksa Pajak juga harus mampu menggunakan keterampilan yang telah diperoleh dari pengalamannya selama bekerja secara cermat dan seksama. c. Pemeriksa Pajak yang melaksanakan pemeriksaan harus memiliki pengetahuan dan keahlian yang memadai di bidang perpajakan , akuntansi, dan pemeriksaan. d. Pemeriksa Pajak agar menguasai keterampilan berkomunikasi secara jelas dan efektif, baik secara lisan maupun tulisan. 36
e. Pemeriksa Pajak harus memelihara dan meningkatkan keahlian dan kompetensinya melalui pendidikan berkelanjutan. Pendidikan dimaksud dapat berupa diklat-diklat, kursus singkat, maupun seminar, baik yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pajak, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, maupun oleh instansi lainnya, di dalam maupun di luar negeri. f. Dalam pelaksanaan pemeriksaan dan penyusunan LHP, Pemeriksa Pajak wajib menggunakan kemahirannya secara profesional, cermat dan seksama, objektif dan independen, serta selalu memelihara integritas. 2. Jujur dan bersih dari tindakan-tindakan tewrcela serta senantiasa mengutamakan kepentingan negara a. Pemeriksa Pajak dituntut untuk selalu jujur dan bersih dari tindakan tercela serta mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi ataupun golongan. b. Pemeriksa Pajak harus tunduk pada kode etik yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. c. Dalam semua hal yang berkaitan dengan pemeriksaan, Pemeriksa Pajak harus bersikap independen, yaitu tidak mudah dipengaruhi oleh keadaan/kondisi/perbuatan dan/atau Wajib Pajak yang diperiksanya. Gangguan independensi yang dapat dialami oleh Pemeriksa Pajak selama pemeriksaan meliputi hal-hal berikut : 1) memiliki hubungan pertalian darah ke atas, ke bawah, atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan Wajib Pajak; 2) memiliki kepentingan keuangan , baik secara langsung maupun tidak langsung dengan Wajib Pajak;
37
3) pernah bekerja atau memberikan jasa di bidang yang berhubungan dengan masalah perpajakan, akuntansi, ataupun keuangan kepada Wajib Pajak dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir; 4) memiliki teman dekat/keluarga yang bekerja dalam posisi kunci di tempat Wajib Pajak;atau 5) keadaan/kondisi/perbuatan tertentu lainnya yang menurut pandangan pihak lain dapat mengganggu indepedensi Pemeriksa Pajak. d. Dalam Dalam hal Pemeriksa Pajak mengalami gangguan independensi sebagaimana dimaksud pada angka 3) di atas, maka Pemeriksa Pajak harus secepatnya memberitahukan kepada Kepala UP2 tentang adanya gangguan independensi tersebut. Selanjutnya, Kepala UP2 harus segera mengambil tindakan untuk mengatasi gangguan independensi tersebut. d. Taat terhadap berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk taat terhadap batasan waktu yang ditetapkan. Dalam hal diperlukan, pemeriksaan dapat dilaksanakan oleh tenaga ahli dari dalam dan luar Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak. Sementara itu berkait dengan Standar Pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 yaitu : 1. Pelaksanaan pemeriksaan harus didahului dengan persiapan yang baik, sesuai dengan tujuan pemeriksaan, dan mendapat pengawasan yang seksama. 2. Luas pemeriksaan (audit scope) ditentukan berdasarkan petunjuk yang diperoleh yang harus dikembangkan melalui pencocokan data, pengamatan, permintaan keterangan, konfirmasi, teknik sampling, dan pengujian lainnya berkenaan dengan pemeriksaan.
38
3. persiapan pemeriksaan yang harus dilakukan yaitu : a. Mengumpulkan dan mempelajari data Wajib Pajak, meliputi : 1) Mempelajari profil Wajib Pajak 2) Menganalisis data keuangan Wajib Pajak minimal dua tahun terakhir atau sesuai dengan data yang tersedia. 3) Mempelajari data lain yang relevan. b. Menyusun Rencana Pemeriksaan 1) Setelah mempelajari data Wajib Pajak, Supervisor harus menyusun Rencana Pemeriksaan. 2) Rencana Pemeriksaan harus disusun sebelum diterbitkan SP2. 3) Rencana Pemeriksaan harus ditelaah dan disetujui oleh Kepala UP2 4) Rencana Pemeriksaan antara lain berisi : a) Identitas Wajib Pajak yang berisi gambaran umum Wajib Pajak. b) Identitas Tim Pemeriksa Pajak yang berisi susunan tim dan jumlah SP2 yang sedang dikerjakan. c) Uraian rencana pemeriksaan yang berisi : - Kriteria pemeriksaan i. Kriteria pemeriksaan terdiri atas Pemeriksaan Rutin dan Pemeriksaan Khusus. ii. Pemeriksaan Rutin adalah pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak sehubungan dengan pemenuhan hak dan/atau pelaksanaan kewajiban perpajakannya atau karena diwajibkan oleh Undang-Undang KUP.
39
iii. Pemeriksaan Khusus adalah pemeriksaan yang dilakukan berdasarkan hasil analisis risiko terhadap ketidakpatuhan Wajib Pajak. - Jenis Pemeriksaan : i. Jenis pemeriksaan terdiri atas Pemeriksaan Kantor dan Pemeriksaan Lapangan. ii. Pemeriksaan Kantor adalah pemeriksaan yang dilakukan di kantor Direktorat Jenderal Pajak. iii. Pemeriksaan Lapangan adalah pemeriksaan yang dilakukan di tempat kedudukan, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, tempat tinggal Wajib Pajak atau tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak. - Ruang Lingkup Pemeriksaan Ruang lingkup pemeriksaan terdiri atas semua jenis pajak (all tax), PPh badan/ Orang Pribadi, PPN, PPh Pemotongan dan Pemungutan, dan lain-lain baik untuk satu atau beberapa Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, baik tahun-tahun lalu maupun tahun berjalan. -
Identifikasi masalah. Identifikasi masalah dilakukan setelah mempelajari berkas Wajib Pajak. Berdasarkan data dan analisis yang telah dilakukan, Pemeriksa Pajak harus mengidentifikasi masalah-masalah yang mungkin ada dan perlu dilakukan pengujian.
- Tanggal selesai pemeriksaan.
40
- Tanggal jatuh tempo penyelesaian permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. - Tenaga ahli yang dibutuhkan dalam pemeriksaan - Sarana pendukung yang diperlukan. - Pos-pos SPT yang akan diperiksa. Yang dimaksud dengan pos-pos SPT yang akan diperiksa adalah pos-pos SPT atau pos turunannya yang ditentukan akan diperiksa.
Sebagai
contoh,
pada
saat
Pemeriksa
Pajak
melakukan
pemeriksaan atas Pos Peredaran Usaha, maka Pemeriksa Pajak dapat menentukan untuk memeriksa Pos Penjualan Afiliasi saja. Penentuan pos-pos SPT yang akan diperiksa ini adalah hal yang penting dalam rencana pemeriksaan dan ditentukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang telah disebutkan dalam huruf (a) sampai dengan (h). Penentuan pos yang akan diperiksa ini akan membantu Pemeriksa Pajak untuk : i. Membuat Program Pemeriksaan yang efektif karena tidak perlu memeriksa seluruh pos yang ada dalam SPT. ii. Melakukan peminjaman buku, catatan, dan dokumen serta data, informasi, dan keterangan lain dari Wajib Pajak dalam jumlah tertentu sesuai dengan Program Pemeriksaan yang dibuat untuk melakukan pemeriksaan atas pospos dalam SPT yang akan diperiksa tersebut. 5) Rencana Pemeriksaan dapat diperbaiki jika Pemeriksa Pajak menemukan kondisi yang berbeda saat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak dengan kondisi awal yang dijadikan pertimbangan saat membuat Rencana Pemeriksaan.
41
6) Perubahan Rencana Pemeriksaan harus dengan persetujuan kepala UP2 dan Rencana Pemeriksaan yang lama tetap menjadi lampiran dalam Rencana Pemeriksaan yang baru. 7) Rencana Pemeriksaan merupakan bagian dari KKP
c. Menyusun Program Pemeriksaan. 1) Penyusunan Program Pemeriksaan dilakukan secara mandiri, objektif, profesional serta memperhatikan Rencana Pemeriksaan yang telah ditelaah dan disetujui oleh Kepala UP2 2) Program Pemeriksaan disusun oleh Supervisor dan dibantu oleh Ketua Tim berdasarkan pos-pos yang akan diperiksa dalam Rencana Pemeriksaan. 3) Program Pemeriksaan yang harus disusun ada 2 (dua), yaitu Rencana Program Pemeriksaan dan Realisasi Program Pemeriksaan. Rencana Program Pemeriksaan disusun sebelum pemeriksaan dilakukan, sedangkan Realisasi Program Pemeriksaan disusun setelah program pemeriksaan tersebut dilakukan sesuai dengan kondisi yang ditemui Pemeriksa Pajak saat pemeriksaan. 4) Kepala UP2 menandatangani Rencana Program Pemeriksaan untuk mengetahui apakah Program Pemeriksaan yang dibuat relevan dengan pos-pos yang akan diperiksa sebagaimana tercantum dalam Rencana Pemeriksaan, sedangkan Realisasi Program Pemeriksaan tidak perlu ditandatangani oleh Kepala UP2. 5) Rencana dan Realisasi Program Pemeriksaan berisi tentang tujuan, metode, teknik, dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan oleh Pemeriksa Pajak. 6) Program Pemeriksaan merupakan bagian dari KKP
42
d. Menyiapkan sarana pemeriksaan. Untuk kelancaran dan kelengkapan dalam menjalankan pemeriksaan, Tim Pemeriksa Pajak harus menyiapkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak, SP2, Surat Pemberitahuan Pemeriksaan, dan sarana pemeriksaan lainnya 4. Pelaksanaan pemeriksaan dilakukan dengan mengacu pada Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan, Pedoman Pemeriksaan, dan Petunjuk Teknis Pemeriksaan, antara lain : a. Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan; b. Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Kantor; c. Pedoman Penyusunan Rencana Pemeriksaan; d. Pedoman Penyusunan Program Pemeriksaan; e. Pedoman Penggunaan Metode dan Teknik Pemeriksaan; f. Pedoman Penyusunan KKP; g. Petunjuk Pelaksanaan Penggunaan Bantuan Tenaga Ahli Dalam Pemeriksaan; h. Petunjuk Teknis Pemeriksaan Transfer Pricing; i. Petunjuk Teknis Pemeriksaan Migas; j. Petunjuk Teknis Pemeriksaan Pertambangan Umum; k. Petunjuk Teknis Pemeriksaan Perusahaan Grup; l. Petunjuk Teknis Pemeriksaan Pajak Pertambahan Nilai;dan m. Petunjuk pelaksanaan pemeriksaan, pedoman pemeriksaan, dan petunjuk teknis pemeriksaan lainnya. 5. Temuan pemeriksaan harus didasarkan pada bukti kompeten yang cukup dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 1) Bukti kompeten adalah bukti yang valid dan relevan.
43
a) Validitas bukti dipengaruhi oleh tiga hal dibawah ini : 1. Indepedensi dan kualifikasi sumber diperolehnya bukti. Bukti yang diperoleh dari sumber eksternal (misalnya konfirmasi) memiliki validitas lebih tinggi dibandingkan bukti yang diperoleh dari sumber internal. Meskipun sumber informasi independen, bukti tidak valid jika orang yang menyediakan informasi tidak mempunyai kualifikasi untuk melakukan hal tersebut. Sebagai contoh, penyedia informasi yang dapat diakui adalah DJBC, Bapepam, dan lain-lain. 2. Kondisi di mana bukti diperoleh. Bukti yang dihasilkan oleh entitas yang memiliki sistem pengendalian internal kuat memiliki validitas lebih tinggi dibandingkan bukti yang dihasilkan oleh entitas yang memiliki sistem pengendalian internal lemah. 3. Cara bukti diperoleh. Bukti yang diperoleh secara langsung oleh Pemeriksa Pajak (misalnya observasi persediaan) lebih handal dibandingkan bukti yang diperoleh secara tidak langsung (misalnya hasil wawancara dengan Wajib Pajak). b) Relevan berarti bahwa bukti pemeriksaan harus berkaitan dengan pos-pos yang akan diperiksa sebagaimana tercantum dalam Program Pemeriksaan. 2) Bukti yang cukup adalah bukti yang memadai untuk mendukung LHP. Kecukupan terkait dengan pertimbangan Pemeriksa Pajak (auditor judgment) dan biasanya didasarkan pada materialitas dan kecukupan sistem pengendalian internal. Pemeriksa Pajak akan meminta jumlah bukti yang lebih banyak untuk pos-pos utama. Sebagai
44
contoh, penambahan aset tetap pada Wajib Pajak manufaktur akan diperiksa lebih intensif dibandingkan beban lain-lain. 6. Pemeriksaan dilakukan oleh suatu Tim Pemeriksa Pajak yang terdiri dari seorang Supervisor, seorang Ketua Tim, dan seorang atau lebih Anggota Tim. 7. Tim Pemeriksa Pajak dapat dibantu oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian tertentu yang bukan merupakan Pemeriksa Pajak, baik yang berasal dari Direktorat Jenderal Pajak maupun instansi lain yang telah ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai tenaga ahli seperti penerjemah bahasa, tenaga ahli di bidang teknologi informasi, dan pengacara. 8. Laporan tenaga ahli yang digunakan dalam pemeriksaan merupakan bagian dari KKP. Laporan tersebut antara lain berisi tujuan, langkah-langkah yang dilakukan, informasi yang dihasilkan dan pendapat atau simpulan dari tenaga ahli yang bersangkutan. 9. Apabila diperlukan, pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat dilakukan secara bersama-sama dengan tim pemeriksa dari instansi lain. 10. Pemeriksa dapat dilaksanakan di kantor Direktorat Jenderal Pajak, di tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak, di tempat tinggal Wajib Pajak, atau ditempat lain yang dianggap perlu oleh Pemeriksa Pajak. 11. Pemeriksaan dilaksanakan pada jam kerja dan apabila diperlukan dapat dilanjutkan di luar jam kerja. 12. Pelaksanaan pemeriksaan didokumentasikan dalam bentuk KKP. 1) KKP - Rencana Pemeriksaan disusun oleh Supervisor dan ditelaah serta disetujui oleh Kepala UP2.
45
2) KKP - Rencana Program Pemeriksaan disusun oleh Supervisor dengan bantuan Ketua Tim dan diketahui oleh Kepala UP2. 3) KKP selain KKP- Rencana Pemeriksaan dan KKP- Rencana Program Pemeriksaan disusun oleh Ketua Tim dan/atau Anggota Tim dan ditelaah oleh Supervisor. Selanjutnya, Standar Pelaporan Hasil Pemeriksaan diatur dalam Pasal 6, dengan ketentuan sebagai berikut : (1) Kegiatan pemeriksaan harus dilaporkan dalam bentuk LHP yang disusun sesuai Standar Pelaporan Hasil Pemeriksaan, yaitu : a. LHP disusun secara ringkas dan jelas, memuat ruang lingkup atau pos-pos yang diperiksa sesuai dengan tujuan pemeriksaan, memuat simpulan Pemeriksa Pajak yang didukung temuan yang kuat tentang ada atau tidak adanya penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan, dan memuat pula pengungkapan informasi lain yang terkait dengan pemeriksaan. b. LHP antara lain berisi : 1) Penugasan pemeriksaan; 2) Identitas Wajib Pajak; 3) Pembukuan atau pencatatan Wajib Pajak 4) Pemenuhan kewajiban perpajakan; 5) Data/informasi yang tersedia; 6) Lampiran yang diwajibkan; 7) Buku, catatan, dan dokumen serta data, informasi, dan keterangan lain yang dipinjam; 8) Materi yang diperiksa;
46
9) Uraian hasil pemeriksaan; 10) Ikhtisar hasil pemeriksaan; 11) Penghitungan pajak terutang; dan 12) Simpulan dan usul Pemeriksa Pajak. c. LHP disusun dan ditandatangani oleh Ketua Tim dan Anggota Tim. d. LHP ditelaah dan ditandatangani oleh Supervisor. e. Penelaahan LHP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf d meliputi penelaahan untuk meyakini bahwa : 1) Pemeriksaan telah dilakukan sesuai dengan rencana pemeriksaan . 2) Pemilihan metode pemeriksaan, teknik pemeriksaan, prosedur pemeriksaan, penghitungan koreksi, dasar hukum koreksi, dan penghitungan pajak terutang, telah dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan dan didasari oleh objektivitas dan profesionalisme Pemeriksa Pajak. 3) Semua data, informasi, dan fakta material yang diketahui Ketua Tim dan/atau Anggota Tim telah dilaporkan dalam LHP dan tidak menutupi praktik-praktik yang tidak patut atau tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan. f. LHP ditandatangani oleh Kepala UP2 untuk mengetahui apakah : 1) Pos-pos yang diperiksa telah sesuai dengan Rencana Pemeriksaan. 2) Dasar hukum koreksi telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan (2) Bentuk, isi, dan format LHP disusun dengan merujuk pada Pedoman Penyusunan LHP. (3) LHP digunakan sebagai dasar penerbitan Surat Ketetapan Pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak.
47
ALUR PEMERIKSAAN Wajib Pajak berdasarkan self assessment system yang telah melakukan pembayaran, namun merasa bahwa pembayaran pajak yang ia lakukan setelah dihitung ulang ternyata menunjukkan lebih bayar. Untuk itu maka Wajib pajak menyampaikan hal tersebut untuk memperoleh pengembalian. Wajib Pajak dalam hal ini dapat mengajukan permohonan kepada KPP yang mana tidak perlu membuat surat permohonan tersendiri, namun tinggal mengisi form yang ada pada SPT. Selanjutnya hal tersebut akan ditangani oleh Account Representative (AR) yang membawahi Wajib pajak tersebut. Selanjutnya AR akan menghimbau kepada Wajib Pajak untuk melakukan penghitungan ulang, siapa tahu terdapat salah hitung, misalnya : 1.
Tentang besarnya tarif yang dipakai sebagai dasar penghitungan
2.
Kesalahan ketik
sementara Wajib Pajak merasa benar atas perhitungan yang telah dilakukannya. Selanjutnya kalau memang terdapat lebih bayar, Wajib Pajak melakukan pembetulan SPT dalam jangka waktu yang ditentukan AR (antara 7 – 14 hari), dan di atas SPT diberi tulisan “PEMBETULAN”. Langkah selanjutnya, KPP mengirim berkas ke Kanwil untuk dimintai persetujuan untuk adanya pemeriksaan, hal ini dilakukan KPP karena nantinya kalau memang terbukti ada lebih bayar dan harus mengembalikan sejumlah uang kelebihan kepada Wajib Pajak hal ini harus dapat dipertanggungjawabkan kepada Kas Negara.. Khusus lebih bayar, Kanwil pasti menyetujui permohonan pemeriksaan, namun demikian Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak (SP2) tidak boleh terbit sebelum ada persetujuan dari Kanwil. Baru setelah Kanwil 48
memberikan persetujuan atas permohonan tersebut, SP2 diterbitkan. SP2 dikeluarkan untuk memberitahukan bahwa telah terjadi SPTLB, untuk itu maka ditugaskanlah pemeriksa pajak untuk melakukan pemeriksaan dengan surat penunjukkan sesuai ketentuan undang-undang. Lampiran SP2 menjelaskan bahawa sehubungan dengan SPTLB kami memberitahukan bahwa (nama petugas disebutkan) akan melakukan pemeriksaan. Juga ada klausulanya yaitu: “Adapun tujuan pemeriksaan adalah untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan. Untuk kelancaran jalannya pemeriksaan diminta kepada saudara memebrikan bantuan sepenuhnya, memberikan keterangan seperlunya.” Langkah berikut, Wajib Pajak dan SP2 melangkah ke proses pemeriksaan. Pemeriksaan di sini terbagi menjadi 2, yaitu: 1.
Pemeriksaan kantor, dilakukan apabila termasuk kasus sederhana, dilakukan terhadap Wajib Pajak karyawan, Badan Usaha yang sudah diaudit oleh akuntan public dan opininya wajar tanpa syarat. Jangka waktunya adalah 3 bulan dan dapat diperpanjang 3 bulan ke depan. Kalau ada indikasi hubungan istimewa, maka dapat diperpanjang hingga 2 tahun, dan ini sudah menjadi pemeriksaan lapangan. Contoh indikasi hubungan istimewa : Sebuah PT yang merupakan pabrik sepatu, di mana supplier kulit yang menentukan harga PT. Di mana lebih dari 25% saham dimiliki oleh seseorang yang sekaligus owner. Owner tersebut yang menentukan harga kulit. Pemeriksaan di sini menjadi 3 bulan
2.
3 bulan
18 bulan = 2 tahun.
Pemeriksaan Lapanngan, dilakukan kalau ada indikasi hubungan istimewa. Jangka waktunya adalah 4 bulan dan dapat diperpanjang 4 bulan ke depan, maksimal 2 tahun. Menurut UU KUP, pemeriksaan SPTLB harus diselesaikan dalam jangka waktu 12
bulan, selebihnya hingga 2 tahun berdasarkan usul pemeriksaan dengan tujuan lain. Setelah 2
49
tahun tidak selesai, dianggap disetujui. Pemeriksaan khusus ini misalnya dengan adanya data baru. Semua temuan disampaikan kepada Wajib Pajak melalui surat pemberitahuan hasil pemeriksaan. Informasi kepada Wajib Pajak, misalnya tentang jangka waktu pemeriksaan, karena spiritnya sekarang keterbukaan. Namun hal ini menjadi bomerang bagi KPP karena harus bias menyelesaikan pemeriksaan tepat waktu. Selanjutnya Wajib Pajak harus menanggapi secara tertulis paling lambat 7 hari sejak diterima, apakah setuju atau tidak. Apabila tidak setuju maka harus membuktikan dengan dokumen-dokumen terkait. Selanjutnya pemeriksa mempelajari lagi, apa alasan Wajib pajak dapat diterima atau tidak. Selanjutnya diadakan closing conference, yang mempertemukan Wajib pajak dengan Pemeriksa. Di sini membicarakan tanggapan Wajib Pajak, apakah menerima atau tidak menerima. Seandainya dalam pertemuan ini tidak ada kata sepakat, maka Wajib Pajak berhak meminta tim pembahas yang independent atau quality insurance. Tim pemeriksa diangkat oleh Kepala KPP sedangkan tim pembahas diangkat oleh Kakanwil. Ini dimaksudkan supaya fungsional itu tidak semena-mena. Keputusan quality insurance inilah yang berlaku. Di sini membicarakan tanggapan Wajib Pajak, apakah menerima atau tidak menerima. Selanjutnya kalau antara tim pemeriksa dengan tim pembahas juga belum ada kata sepakat, maka keputusan ada di tangan Kepala KPP. Selanjutnya dibuat berita acara dengan menyebutkan bagian yang disetujui Wajib Pajak dan bagian yang tidak disetujui Wajib Pajak. Sampai di sini, pemeriksaan selesai dan dibuatlah laporan pemeriksaan. Atas usul pemeriksa, maka diterbitkanlah SKP oleh Seksi Pelayanan. SKP selanjutnya dikirim ke Wajib 50
Pajak dengan menyebutkan bahwa SKPLB atau SKPKB. Kalau SKPLB, maka ini menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk minta pengembalian uang kelebihan. Dalam hal ini Wajib Pajak mengajukan surat permohonan yang intinya bahwa berdasar SKPLB tersebut, mohon kelebihannya ditransfer ke nomor rekening ini (yang disebutkan sesuai dengan nomor rekening Wajib Pajak). Selanjutnya yang melaksanakan adalah Seksi Pengawasan dan Konsultasi, dan akhirnya keluar Surat Permintaan Melakukan Pembayaran. Akhirnya Kas Negara akan segera mentrasfer uang kelebihan tersebut kepada rekening Wajib Pajak., biasanya 5 hari sejak SPMKP diterima oleh Kas Negara. Kelebihan pembayaran pajak harus diproses oleh fiscus sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang KUP. Untuk menjamin kepastian hukum bagi wajib pajak dan ketertiban administrasi, batas waktu pengembalian kelebihan pembayaran pajak ditetapkan paling lama satu bulan, dengan ketentuan sebagaimana di bawah ini : 1. Untuk SKPLB yang diterbitkan dalam hal jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang seharusnya terutang, jangka waktu satu bulan dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan tertulis tentang pengembalian kelebihan pembayaran pajak. 2. Untuk SKPLB yang diterbitkan dalam hal terdapat pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang dan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang diajukan oleh wajib pajak, jangka waktu satu bulan dihitung sejak tanggal penerbitan SKPLB. 3. Untuk Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) yang diterbitkan atas permohonan dari wajib pajak yang memenuhi criteria tertentu maupun
51
persyaratan tertentu (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Pasal 17D Undang Undang KUP, jangka waktu satu bulan dihitung sejak tanggal penerbitan SKPPKP. 4. Untuk Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Keytetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, jangka waktu satu bulan dihitung sejak tanggal penerbitan surat keputusan tersebut. 5. Untuk Putusan Banding, jangka waktu satu bulan dihitung sejak diterimanya Putusan Banding oleh Kantor Direktoran Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan Putusan Pengadilan Pajak. 6. Untuk Putusan Peninjauan Kembali, jangka waktu satu bulan dihitung sejak diterimanya Putusan Peninjauan Kembali oleh Kantor Direktorat Jenderak Pajak yang berwenang melaksanakan putusan pengadilan sampai dengan saat diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak. Pasal 11 ayat (3) Undang Undang KUP menentukan bahwa apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah jangka waktu satu bulan, pemerintah memberikan imbalan bunga sebesar 2% per bulan atas keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, dihitung sejak batas waktu pengembalian berakhir sampai dengan saat dilakukan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan keseimbangan hak dan kewajiban bagi wajib pajak melalui pelayanan yang lebih baik, karena itu setiap keterlambatan dalam pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari jangka waktu semestinya, kepada wajib pajak yang bersangkutan diberikan imbalan bunga
52
sebesar 2% per bulan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu satu bulan sampai dengan saat diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak. Namun seandainya keputusan tersebut tidak dapat diterima Wajib Pajak, misalnya hasil keputusan dinyatakan tidak ada kelebihan pembayaran atau bahkan menjadi kurang bayar, maka kemungkinan Wajib Pajak melakukan penolakan. Apabila Wajib Pajak menolak putusan tersebut, misalnya hasil closing conference buntu, dan dari quality insurance judga belum memuaskan Wajib Pajak karena misalnya putusannya sependapat dengan fungsional bahwa tidak ada lebih bayar, maka dapat mengajukan upaya hukum berupa keberatan maupun banding. 1. Keberatan Keberatan atas penetapan pajak merupakan hak Wajib Pajak yang dijamin oleh undangundang dalam rangka pemenuhan kewajiban pajak. Keberatan dapat diajukan oleh Wajib Pajak apabila Wajib Pajak merasa tidak puas atas penetapan pajak yang dilakukan Fiscus. Adanya hak mengajukan keberatan membuat terjadinya keseimbangan antara Wajib pajak dan Fiscus serta menjamin Wajib Pajak terhindar dari kesewenangan Fiscus. Lembaga keberatan yang diberikan kepada Wajib pajak membuat penetapan pajak yang dilakukan oleh Fiscus belum final dan masih dapat ditanggapi oleh Wajib Pajak. Dengan demikian penetapan pajak masih dapat ditinjau kembali paabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bukti bahwa penetapan pajak tersebut adalah tidak benar. Keberatan diajukan ke Kanntor Wilayah yang selanjutnya dilakukan pemeriksaan atas dokumen-dokumen yang pernah dipewriksa di KPP, dan dokumen baru tidak diterima. Umumnya surat keberatan tersebut diajukan ke KPP yang selanjutnya oleh KPP dikirim ke
53
Kanwil untuk diproses.Seandainya atas keputusan keberatan tersebut Wajib Pajak masih belum puas, maka dapat mengajukan banding. 2. Banding Apabila Wajib pajak masih belum setuju dengan isi Syarat Keputusan Keberatan, maka masih dapat menmpuh upaya hukum lain berupa banding kepada Pengadilan Pajak di Jakarta. Proses pemeriksaan baik pada upaya keberatan maupun banding, masing-masing selama 12 bulan, artinya jika dalam tenggang waktu tersebut tidak dapat selesai, maka keberatan atas anggapan bahwa ada kelebihan pembayaran pajak oleh Wajib Pajak dianggap diterima.
D. Kendala dalam pelaksanaan restitusi dan kompensasi serta solusi Pada prinsipnya tidak adaa kendala atau kesulitan dalam pelaksanaan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sepanjang persyaratan yang diperlukan untuk itu terpenuhi. Namun demikian, KPP Pratama Magelang senantiasa berusaha untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat berkait dengan proses yang harus dijalankan. Seperti misalnya kalau atas penghitungan ulang oleh Wajib Pajak terdapat lebih bayar namun jumlahnya sangat sedikit dan dirasa tidak imbang dengan proses yang harus dilalui, maka disarankan untuk tidak melanjutkannya pada proses pemeriksaan, karena hal tersebut nantinya akan memakan waktu yang mungkin hal tersebut dapat menimbulkan kerugian lain bagi yang bersangkutan. Misalnya harus meluangkan waktu menjawab pertanyaan dari petugas, yang mungkin waktunya itu dapat dipakai untuk menjalnkan perusahaan, sementara selisih itu jumlahnya sangat kecil. Sejak awal, petugas dapat memprediksi apakah itu termasuk pemeriksaan kantor atau lapangan, sehingga petugas dapat memberikan nasihatnya.
54
KPP Pratama Wilayah Magelang selalu merespon baik atas adanya laporan dari Wajib Pajak yang menyatakan bahwa terdapat kelebihan pembayaran pajak. Di mana hal tersebut biasanya terjadi karena Wajib Pajak : 1.
Dokumen tidak ada. Pencatatan maupun pembukuan sering tidak dilakukan secara rutin.
2.
Adanya percampuran rekening antara milik pribadi dengan perusahaan.
Atas kondisi tersebut, sekalipun Wajib Pajak sudah melaksanakan self assessment system, namun masih sering terjadi setelah penyetoran pembayaran utang pajak, disadari bahwa terdapat kelebihan bayar. Untuk itu maka KPP Pratama Magelang mengadakan pembinaan kepada Wajib Pajak supaya lebih patuh, dengan cara antara lain mengajarkan supaya Wajib Pajak mengadakan : 3. Pembukuan lebih baik 4. Pembayaran sesuai ketentuan. Salah satu cara yang ditempuh dengan mengadakan sosialisasi baik secara umum maupun secara individual pada saat Wajib Pajak mengajukan permohonan pemeriksaan karena adanya keyakinan bahwa terdapat lebih bayar. Sosialisasi ini biasanya dilakukan dalam rangka : 1. Memberikan pengetahuan kepada Wajib Pajak baru berkait dengan hak dan kewajiban. 2. Mensosialisasikan ketentuan-ketentuan baru.17 Berdasar data yang ada, bisa diajukan, Statistik Penyelesaian Restitusi di KPP Pratama Magelang adalah sebagai berikut :
17
Hasil wawancara dengan Kepala Seksi Pemeriksaan Bpk. Constantinus Waskitodjati SE SH tanggal 9 Agustus 2011.
55
SPTLB Juml
PPh OP
27
(21,313,802)
(5,335,924)
2009
34
(41,845,987)
(20,698,438)
tahun berjalan
2008
10
(253,923,940)
2009
13
(317,647,315)
2010
PPN
SKPKB
Nilai
2008
2010
PPh Badan
SKPLB
tahun berjalan
pemeriksaan
33,566,954 18,896,841 baru berjalan
(22,110,771) 13,464,736,682 (113,511,877) pemeriksaan
27,111,162 baru berjalan
2008
7
(2,393,975,913) (2,370,076,777)
3,830,757,080
2009
10
(3,795,150,905) (1,876,264,035)
112,385,349
2010
4
(1,379,711,663) (2,265,919,393)
Ini menunjukkan bahwa KPP Pratama Magelang memberikan pelayanan yang baik bagi Wajib Pajak yang mengajukan restitusi atas jumlah utang pajak yang telah dibayar, dan menunjukkan bahwa KPP Pratama Magelang serius dalam menerima laporan masyarakat, tidak mempersulit. Ini juga sebagai sarana untuk menunjukkan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban, bahwa Wajib Pajak tidak hanya dituntut untuk membayar utang pajaknya tepat waktu, namun juga seandainya Wajib Pajak merasa terdapat lebih bayar atas utang pajak
56
yang telah dibayar, KPP Pratama Magelang menanggapinya dengan serius dan memprosesnya. Masyarakat juga harus tahu, bahwa sekalipun uang sudah masuk ke Kas Negara apabila terbukti bahwa ada lebih bayar, maka Kas Negara juga bersedia mengembalikannya atau melakukan kompensasi pada jenis pajak yang lain. Pengembalian
pembayaran
pajak
merupakan
pengembalian
atas
kelebihan
pembayaran pajak yang telah diyakini betul-betul merupakan pajak yang memang lebih bayar. Keyakinan ini diperoleh karena fiscus telah melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sehingga menerbitkan SKPLB. Hanya saja penerbitan SKPLB tersebut memerlukan waktu yang lama, sehingga untuk Wajib Pajak tentunya tidak terlalu menyenangkan. Sistem pemungutan pajak Indonesia, khususnya pemberlakuan withholding system, memungkinkan terjadinya kelebihan pembayaran pajak yang memang harus terjadi karena pemungutan pajak yang lebih besar dari perhitungan yang seharusnya. Khususnya dal;am system pemungutan PPN yang memberlakukan pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran, sangat umum terjadi kelebihan pembayaran pajak karena Pajak Keluaran lebih kecil dari pada Pajak Masukan. Hal ini sering terjadi pada pengusaha kena pajak yang melakukan ekspor atau melakukan penyerahan barang atau jasa kena pajak kepada pemungut PPN, di mana pengusaha kena pajak tersebut tidak dapat memungut Pajak Keluaran padahal pada saat memperoleh barang atau jasa kena pajak tersebut ia telah membayar Pajak Masukan. Wajib pajak yang mengalami kelebihan pembayarna paja tersebut tentunya menginginkan agar kelebihan pembayaran pajaknya segera dikembalikan oleh fiscus. Di sisi lain adanya ketentuan fiscus melakukan pemeriksaan untuk menerbitkan SKPLB tidak dapat ditolak oleh Wajib Pajak tersebut yang mengakibatkan pengembalian kelebihan pembayaran pajak memakan waktu yang sangat lama. Walaupun akan tetap dikembalikan kepadanya,
57
kondisi di atas tentunya akan merugikan Wajib Pajak karena uang pajak miliknya tersebut akan “menganggur”, padahal dalam proses bisnisnya Wajib Pajak tentunya membutuhkan uang untuk menjalankan usahanya. Hal ini tentu harus dicari jalan keluar agar tidak merugikan Wajib Pajak. Hukum Pajak Indonesia dewasa ini telah mengantisipasi kondisi di atas dengan mengatur ketentuan hak wajib pajak atas pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak, tanpa harus terlebih dahulu melalui proses pemeriksaan pajak. Hak ini diberikan terbatas, yaitu hanya kepada wajib pajak yang memenuhi criteria atau persyaratan tertentu yang diatur dalam Undang Undang KUP. Pasal 17C ayat (1) menyatakan bahwa Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari wajib pajak dengan criteria tertentu, menerbitka Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) paling lama tiga bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk PPh, dan paling lama satu bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk PPN. Adapun yang dimaksud dengan permohonan diterima secara lengkap adalah SPT telah diisi lengkap. Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat disampaikan dengan cara mengisi kolom dalam SPT atau dengan surat tersendiri. Pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dapat diberikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan konfirmasi kebenaran kredit pajak. Kredit pajak untuk PPh adalah pajak yang dibayar sendiri oelh wajib pajak ditambah dengan pokok pajak yang terutang dalam STP karena PPh dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan pajak yang dipotong atau dipungut, ditambah dengan pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri, dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, yang dikurangkan dari pajak
58
yang terutang. Sedangkan kredit pajak untuk PPN adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan setelah dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak atau setelah dikurangi dengan pajak yang telah dikompensasikan, yang dikurangkan dari pajak yang terutang. Kriteria tertentu wajib pajak yang berhak mendapatkan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak meliputi hal-hal di bawah ini : 1. Tepat waktu dalam menyampaikan SPT, Termasuk dalam pengertian kepatuhan penyampaian SPT yang menjadi kriteria utama yang harus dipenuhi oleh wajib pajak adalah : a. Tepat waktu dal;am menyampaikan SPT Tahunan dalam tiga tahun terakhir. b. Dalam tahun pajak terakhir, penyampaian SPT Masa untuk masa pajak Januari sampai dengan November yang terlambat tidak lebih dari tiga masa pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut. c. SPT Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud di atas telah diosampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian SPT Masa masa pajak berikutnya. 2. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak. Kriteria wajib pajak tidak mempunyai tunggakan pajak adalah keadaan tunggakan pajak wajib pajak yang didasarkan pada tanggal 31 Desember. Utang pajak yang belum melewati batas akhir pelunasan tidak termasuk dalam pengertian tunggakan pajak. 3. Laporan keuangan diaudit oleh akuntan public atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat wajar tanpa pengecualian selama tiga tahun berturut-turut.
59
4. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hokum tetap dalam jangka waktu lima tahun terakhir.18
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan 1. Prosedur pengembalian kelebihan pembayaran pajak melalui restitusi dan kompensasi di KPP Pratama Magelang
WP : merasa ada lebih bayar, mohon untuk diadakan pemeriksaan
KPP : menghimbau untuk menghitung ulang Kanwil : semua LB disetujui Persetujuan : syarat bagi keluarnya SP2 SP2 WP & Surat pemberitahuan Pemeriksaan Proses berjalan Temuan : WP menanggapi 18
Marihot Pahala Siahaan, Hukum Pajak Formal, op.cit, 158-159
60
Closing Conference : WP & Pemeriksa bertemu, buntu. Quality Insurance : buntu, keputusan Kepala KPP Berita Acara Pemeriksaan selesai : SPMKP
uang cair ke rekening wajib pajak. (Restitusi)
Untuk kompensasi, maka dikompensasikan dengan utang pajak lainnya. Namun seandaianya hasil keputusannya tidak ada lebih bayar, dan Wajib Pajak tidak puas, maka dapat mengajukan banding ke Kanwil, dan kalau masih belum juga puas dapat mengajukan banding ke Pengadilan Pajak di Jakarta. Kelebihan pembayaran pajak harus diproses oleh fiscus sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang KUP. Untuk menjamin kepastian hukum bagi wajib pajak dan ketertiban administrasi, batas waktu pengembalian kelebihan pembayaran pajak ditetapkan paling lama satu bulan, dengan ketentuan sebagaimana di bawah ini : a. Untuk SKPLB yang diterbitkan dalam hal jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang seharusnya terutang, jangka waktu satu bulan dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan tertulis tentang pengembalian kelebihan pembayaran pajak. b. Untuk SKPLB yang diterbitkan dalam hal terdapat pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang dan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang diajukan oleh wajib pajak, jangka waktu satu bulan dihitung sejak tanggal penerbitan SKPLB. c. Untuk Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) yang diterbitkan atas permohonan dari wajib pajak yang memenuhi criteria tertentu maupun 61
persyaratan tertentu (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Pasal 17D Undang Undang KUP, jangka waktu satu bulan dihitung sejak tanggal penerbitan SKPPKP. d. Untuk Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, jangka waktu satu bulan dihitung sejak tanggal penerbitan surat keputusan tersebut. e. Untuk Putusan Banding, jangka waktu satu bulan dihitung sejak diterimanya Putusan Banding oleh Kantor Direktoran Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan Putusan Pengadilan Pajak. f. Untuk Putusan Peninjauan Kembali, jangka waktu satu bulan dihitung sejak diterimanya Putusan Peninjauan Kembali oleh Kantor Direktorat Jenderak Pajak yang berwenang melaksanakan putusan pengadilan sampai dengan saat diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak. Pasal 11 ayat (3) Undang Undang KUP menentukan bahwa apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah jangka waktu satu bulan, pemerintah memberikan imbalan bunga sebesar 2% per bulan atas keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, dihitung sejak batas waktu pengembalian berakhir sampai dengan saat dilakukan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan keseimbangan hak dan kewajiban bagi wajib pajak melalui pelayanan yang lebih baik, karena itu setiap keterlambatan dalam pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari jangka waktu semestinya, kepada wajib pajak yang bersangkutan diberikan imbalan bunga sebesar 2% per bulan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu
62
satu bulan sampai dengan saat diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak. 2. Kendala dalam pelaksanaan restitusi dan kompensasi di KPP Pratama Magelang Pada prinsipnya tidak adaa kendala atau kesulitan dalam pelaksanaan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sepanjang persyaratan yang diperlukan untuk itu terpenuhi. Namun demikian, KPP Pratama Magelang senantiasa berusaha untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat berkait dengan proses yang harus dijalankan. Seperti misalnya kalau atas penghitungan ulang oleh Wajib Pajak terdapat lebih bayar namun jumlahnya sangat sedikit dan dirasa tidak imbang dengan proses yang harus dilalui, maka disarankan untuk tidak melanjutkannya pada proses pemeriksaan, karena hal tersebut nantinya akan memakan waktu yang mungkin hal tersebut dapat menimbulkan kerugian lain bagi yang bersangkutan. Misalnya harus meluangkan waktu menjawab pertanyaan dari petugas, yang mungkin waktunya itu dapat dipakai untuk menjalnkan perusahaan, sementara selisih itu jumlahnya sangat kecil. Sejak awal, petugas dapat memprediksi apakah itu termasuk pemeriksaan kantor atau lapangan, sehingga petugas dapat memberikan nasihatnya.
B. Saran KPP Pratama Magelang hendaknya lebih banyak lagi melakukan sosialisasi tentang prosedur pengembalian kelebihan pembayarana pajak baik melalui restitusi maupun kompensasi kepada seluruh lapisan masyarakat, tidak saja pada Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pemeriksaan, namun bisa juga kepada wajib pajak secara keseluruhan dan masyarakat pada umumnya. Hal ini karena dalam masyarakat masih terdapatanggapan bahwa 63
kalau Wajib Pajak sudah melakukanpembayaran utang pajak, dan setelah dihitung ulang ternyata terdapat lebih bayar, mengira tidak dapat diproses untuk pengembalian, sementara secara teori ada hak dan kewajiban Wajib Pajak maupun Fiscus. Hal ini harus dipahami oleh masyarakat, untuk semakin meningkatkan kesadaran perpajakan
Daftar Pustaka CEF Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, Bandung, Alumni. Erly Suandy,2000, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta Globalindo Management, Hukum Pajak, 31 Agustus 2008 Lexy Moleong, 1995, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosda Karya. Marihot Pahala Siahaan , 2010, Hukum Pajak Formal, Graha Ilmu,Yogyakarta Marihot Pahala Siahaan, 2010, Hukum Pajak Elementer, Graha Ilmu,Yogyakarta Matthew B Milles dan A Michael Huberman dalam Tjetjep Rehendi Rohidi, 1992, Qualitative data Analysis (terjemahan), Jakarta, Rineka Cipta. Muhammadh Djafar Saidi, 2007, Pembaharuan Hukum Pajak, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Rochmat Soemitro,1987, Asas dan Dasar Perpajakan 1, PT Eresco Bandung. Santoso Brotodihardjo,2003, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Refika Aditama, Bandung Sardiman AM, 2003, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta, Grafindo Persada. Sondang P Siagian, 1995, Teori Motivasi dan Aplikasinya, Jakarta, Rineka Cipta. Dudi, Seharusnya Tidak Dipotong Pajak? Segera Ajukan Restitusi, Blog Pajak Indonesia, on
64
April 10th, 2011 Wahyu Sudoyo, 5 Januari 2011, Bataviase.co.id Wikipedia, Sensus Penduduk Indonesia 2010, 20 Maret 2011. Vivanews.com, 8 Oktober 2010 Undang-Undang No 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Perpajakan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-9/PJ/2010 tentang Standar Pemeriksaan untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan Direktur Jenderal Pajak.
Curriculum Vitae Identitas Ketua Peneliti 1. Nama
: Dyah Adriantini Sintha Dewi, SH MHum
2. Tempat/Tanggal Lahit
: Purwokerto, 3 Oktober 1967
3. Alamat
: Jl. Raya Secang No. 25 Secang – Magelang
4. N I P
: 196710031992032001
5. Pangkat/Golongan
: Pembina / IV-a
6. Jabatan
: Lektor Kepala
7. Pendidikan
: S1 Fakultas Hukum UNSOED 1990 S2 Program Magister Ilmu Hukum UNDIP 1999
8. Penelitian
: - Medical Malpractice (Suatu tinjauan terhadap Pelanggaran Profesi Dokter ) 2000 - Peranan Retribusi Daerah dalam Meningkatkan PAD di Kab. Banyumas 2000 - Peran PPAT dalam Sistem Pemungutan BPHTB di Kantor Pelayanan PBB Purwokerto 2003 - Analisis Yuridis terhadap Produk Hukum Pajak dan retribusi Daerah di Kab. Purbalingga 2004. - Perlindungan Hukum terhadap Jaminan Pemeliharaan Kesehatan. 2005 65
- Analisa Dampak Sunset Policy terhadap Ekstensifikasi dan Intensifikasi Pajak di Wilayah KPP Pratama Magelang, 2009.
(Dyah Adriantini Sintha Dewi, SH MHum)
Curriculum Vitae Identitas Anggota Peneliti 1. Nama
: Suharso, SH
2. Tempat/Tanggal Lahir
: Boyolali , 17 Oktober 1955
3. Alamat
: Jln. Beringin II/24 Magelang.
4. N I P
: 195510171987031001
5. Pangkat/Golongan
: Penata /III-c
6. Jabtan
: Lektor
7. Pendidikan
: S1 Fakultas Hukum UII 1981
8. Penelitian
: - Kesadaran Hukum Masyarakar dalam membayar PBB dan agunan di Kecamatan Srumbung dan Ngluwar Kab. Magelang 2008. - Implementasi Sistem Pemilu Proporsional pada Pemilu Legislatif periode 2009-2014 di Kab Magelang 2009
66
(S u h a r s o, SH)
Curriculum Vitae Identitas Anggota Peneliti 1. Nama
: Budiharto, SH MHum
2. Tempat/Tanggal Lahir
: Magelang, 25 Desember 1956
3. Alamat
: Sawahan, Mojotengah, Kedu, Temanggung
4. N I S
: 875606029
5. Pangkat/Golongan
: Penata /III-c
6. Jabtan
: Lektor
7. Pendidikan
: S1 Fakultas Hukum UMM 1987 S2 Pasca Sarjana UII 1999
67
( Budiharto, SH MHum )
68