Prosiding Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-3-8 Purwokerto, 20 Desember2014
Implementasi Nilai-Nilai Pancasila Pada Komunitas di Kota Surakarta 1
Winarno*, Wijianto, Sri Haryati Program Studi PPKn - FKIP – Universitas Sebelas Maret Surakarta *emal :
[email protected] ABSTRAK
Disadari bahwa radikalisme dan terorisme merupakan erosi kebangsaan yang mengancam keutuhan bangsa. Guna mendukung kebijakan deradikalisasi dilakukan penelitian terkait strategi penguatan ideologi Pancasila yang berorientasi pada pemberdayaan warga berbasis komunitas dengan tujuan jangka panjang dapat mengikis paham radikalisme dan menguatkan ideologi Pancasila. Penelitian tahun pertama ini bertujuan 1) memetakan komunitas yang berkembang di masyarakat Kota Surakarta 2) mengidentifikasi kegiatan dan program berbagai komunitas tersebut yang menunjang penguatan nilai-nilai Pancasila di masyarakat. Metode yang dipakai berupa kualitatif deskriptif. Sumber data yang digunakan adalah wawancara dengan informan yang dipilih secara purposive sampling, ditunjang FGD, observasi, dan analisis dokumen. Validitas menggunakan trianggulasi sumber, sedangkan analisis data berupa teknik analisis interaktif.. Penelitian menemukan beberapa bentuk komunitas di masyarakat Kota Surakarta, antara lain: komunitas bismania, milanisiti, omah budaya, solo mengajar, cinta bumi, blusukan solo, sepeda onthel lawas, fotografi, dan hijabers. Kegiatan dan program yang dijalankan telah mencerminkan nilai-nilai Pancasila, meskipun secara langsung tidak disadari sepenuhnya bahwa kegiatan yang mereka lakukan adalah perwujudan dari nilai-nilai Pancasila. Kata kunci: Pancasila , komunitas, ideologi
PENDAHULUAN Pertarungan ideologi-ideologi di dunia, baik ideologi yang beraliran ‘kiri’, aliran ‘kanan’ dan ideologi yang berbasis agama, baik Islam maupun Kristen. Ada yang mengkategorikan ideologi “kiri” antara lain Marxisme-Leninisme, komunis, anarkis, radikalisme/anarkisme,dan sosial demokrat. Ideologi “kanan” antara lain liberalisme atau neo-liberalisme yang selalu berusaha menunjukkan hegemoni ideologi dengan cara yang tidak kentara, di samping itu ada kapitalisme dan demokrasi liberal, sedangkan ideologi yang berbasis agama antara lain Gerakan Injil Sosial, Kristen Kiri, Evangelikan Kiri. Istilah fundamentalisme Kristen di Indonesia sering dikaitkan dengan beberapa hal yang berkaitan dengan kelompok Evanelikan atau Injili. Yang berbasis Islam juga ada antara lain ideologi yang tidak setuju dengan demokrasi, gerakan-gerakan radikal seperti Jamaah Islamiah (Abdulah Sungkar), Salafy Jihadisme yang berkembang pada masa perang Afagnistan (Andi dalam http://sosbud.kompasiana.com). Bahkan, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menilai radikalisme di Indonesia sudah pada tingkatan "lampu merah" atau sangat membahayakan sehingga negara harus berani menindak tegas (Said Aqil dalam http://www.antaranews.com/berita/). Pada sisi lain komunitas merupakan sebuah kelompok sosial dari beberapa organisme di berbagai lingkungan, umumnya memiliki ketertarikan dan habitat yang sama. Pada komunitas manusia, individu-individu di dalamnya dapat memiliki maksud, kepercayaan, sumber daya, preferensi, kebutuhan, risiko dan sejumlah kondisi lain yang serupa yang berpotensi menguatkan atau bahkan mengancam ideologi. Pada sisi pandang yang berbeda Udin & Dasim (2012) menyebutkan bahwa masyarakat madani Pancasila mempersyaratkan warganya untuk melakukan proses individualisasi yang tidak terikat konteks etnis atau agama dalam sebuah kesamaan dan merdeka. Kota Surakarta memiliki banyak komunitas, diantaranya komunitas bismania, milanisiti, omah budaya. Sementara itu pemberdayaan masyarakat merupakan proses pembangunan di mana masyarakat berinisiatif untuk memulai proses kegiatan sosial untuk memperbaiki situasi dan kondisi diri sendiri. Pemberdayaan masyarakat hanya bisa terjadi apabila warganya ikut berpartisipasi. Suatu usaha hanya berhasil dinilai sebagai "pemberdayaan masyarakat" apabila kelompok komunitas atau masyarakat tersebut menjadi agen pembangunan atau dikenal juga sebagai subyek. Ancaman terhadap ideologi Pancasila di Kota Surakarta ditandai dengan terindikasinya beberapa mahasiswa Univeritas Sebelas Maret (UNS) terkait jaringan Negara Islam Indonesia (NII) di Jawa Timur (http://www.solopos.com/2011; http://suaramerdeka.com/v1). Fakta lain, lima teroris yang ditembak di Bali merupakan jaringan teroris di Surakarta dan pelaku perampokan Bank CIMB Medan dan mereka masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) ( Ajat M Fajar dalam http://m.inilah.com/read/). Investigasi pihak berwajib juga menunjukkan bahwa pelaku pembom bunuh diri di Kota Surakarta beberapa waktu lalu adalah anggota dari jaringan teroris Cirebon. Sesuatu yang mengejutkan adalah temuan peneliti CSRC yang menyimpulkan beberapa Masjid di Surakarta memiliki level radikalisme yang tinggi, dan merupakan masjid-masjid yang terkenal eksklusif dan berafiliasi dengan ormas Islam garis keras, yakni Masjid Gumuk LPIS dan Al-Kahfi, 406
Prosiding Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-3-8 Purwokerto, 20 Desember2014 Hidayatullah. Selain itu, faham radikalisme juga mempengaruhi beberapa masjid yang berada di wilayah terbuka, di antaranya Masjid al-Muttaqien. Masjid-masjid yang diasumsikan terbuka dan moderat seperti masjid kampus umum, masjid pesantren tradisional dan masjid komunitas heterogen juga tak luput dari faham radikalisme meskipun dengan level yang lebih rendah (Penelitian CSRC dalam http://www.uinjkt.ac.id/). Terkait dengan fenomena radikalisme tersebut Kota Surakarta menjadi salah satu daerah yang menjadi prioritas sasaran program deradikalisasi dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Sumber Daya Manusia (LPP SDM), dan berdasarkan hasil survei lembaga tersebut beberapa waktu lalu, Kota Surakarta dianggap mempunyai potensi radikalisme dan potensi terorisme yang lumayan tinggi (http://www.suarakarya-online.com/news). Untuk melaksanakan program deradikalisasi tersebut, pihaknya menggandeng beberapa pihak seperti tokoh masyarakat, pesantren, serta dari dunia pendidikan. Ditargetkan ada 50 trainer untuk melakukan pelatihan dan pembinaan dalam program deradikalisasi. Disadari bahwa erosi ideologi merupakan ancaman keutuhan bangsa, karena bisa menyebabkan disintegrasi bangsa, maka guna mendukung kebijakan deradikalisasi maka dilakukan penelitian terkait strategi penguatan ideologi yang mengacu pada pemberdayaan warga berbasis komunitas, karena hal ini sangat strategis sebagai upaya membangun kesadaran nilai-nilai Pancasila dan mengikis erosi kebangsaan. Penjelasan teoritik fenomena radikalisme dan erosi kebangsaan menggunakan teori Durkeim tentang suicide, teori pilihan rasional, teori Peter M Blau tentang pertukaran sosial, dan teori Peter L Berger tentang agama. Masing-masing menjelaskan fenomena radikalisme dan erosi kebangsaan lewat penjelasan para pelaku radikal tentang pilihan mereka yang rasional dan kemanfaatan yang diperoleh sampai dengan keinginan menunjukkan ketaatan dalam perilaku beragama ( Rocky, 2010). Radikal Islam memahami Islam sebagai agama yang sempurna dan lengkap, dan memberikan perhatian kepada otentisitas kultural. Namun Islam bukanlah agama dalam pengertian barat, tetapi Islam adalah cara hidup yang sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Posisi ini berbeda dari kaum sekularis yang menolak intervensi agama dalam kehidupan publik, terutama politik. Manifestasi dari pandangan radikal adalah pada keharusan untuk mendirikan negara Islam yang didasarkan pada syari’ah. Perbedaan antara kaum radikal dan modernis adalah penegasan yang pertama terhadap keunikan Islam (Shepard, 1988). Radikal dipandang dari unit analisis historis dan ekonomi politik berakar dari kesenjangan masyarakat Indonesia (Ahmad Rizky, 2010). Kesadaran nasional yang menurun (Budi Susilo, 2012) merupakan erosi kebangsaan. Pada sisi pandang yang sama radikalisme ialah suatu paham yang menghendaki adanya perubahan, pergantian, penjebolan terhadap suatu sistem di masyarakat sampai ke akarnya bila perlu menggunakan cara-cara kekerasan, menginginkan adanya perubahan total terhadap suatu kondisi atau semua aspek kehidupan masyarakat. kaum radikal menganggap bahwa rencana-rencananya adalah rencana yang paling ideal. Pada sisi lain strategi pemberdayaan masyarakat merupakan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja, dan keadilan yang diletakkan pada kekuatan tingkat individu dan sosial (Harry, 2010; Soetomo, 2011). Sementara itu komunitas dapat terbentuk dari sekelompok orang yang saling berinterksi secara sosial diantara anggota kelompok berdasarkan kesamaan kebutuhan dan tujuan. Kajian Mappiare (1982) menjelaskan “bentuk-bentuk komunitas” dibedakan menjadi : 1) komunitas chums (sahabat karib); 2) komunitas cliques (komunitas sahabat); 3) komunitas crowds (komunitas banyak remaja) dan; 4) komunitas yang diorganisir”. Bentuk-bentuk komunitas tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Komunitas Chums (sahabat karib), yaitu komunitas remaja yang bersahabat karib dengan ikatan persahabatan yang sangat kuat. Anggota komunitas biasanya terdiri dari 2-3 remaja dengan jenis kelamin sama, memiliki minat, kemampuan dan kemauan-kemauan yang hamper sama. Bahkan beberapa persamaan membuat mereka menjadi akrab, walaupun kadang-kadang terjadi juga perselisihan, tetapi dengan mudah mereka lupakan. 2. Komunitas Cliques (komunitas sahabat), komunitas ini biasanya terdiri dari 4-5 remaja yang memiliki minat, kemampuan dan kemauan-kemauan yang relative sama. Biasanya terjadi dari penyatuan dua pasang sahabat karib atau dua chums yang terjadi pada tahun-tahun pertama masa remaja awal. Jenias kelamin remaja dalam satu cliques umumnya sama. Pada pertengahan dan akhir remaja awal umumnya terjadi cliques dengan anggota yang berlainan. Dalam cliques ini remaja pada mulanya banyak melakuan kegiatan bersama. 3. Komunitas Crowds (komunitas banyak remaja), biasanya terdiri dari banyak remaja, lebih besar dibandingkan dengan cliques. Karena besarnya komunitas, maka jarak emosi antar anggota juga agak renggang. Biasanya dari chums menjadi cliques, dan dari sini tercipta crowds. Dengan demikian terdapat jenis kelamin berbeda serta terdapat keragaman kemampuan minat dan kemampuan diantara para anggota crowds. Hal yang sama dimiliki adalah rasa takut diabaikan atau tidak diterima oleh teman-teman dalam crowds. 407
Prosiding Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-3-8 Purwokerto, 20 Desember2014 4. Komunitas yang diorganisir, merupakan komunitas yang sengaja dibentuk dan diorganisir oleh orang dewasa yang biasanya melalui lembaga-lembaga tertentu, misalnya sekolah. Umumnya komunitas ini timbul atas kesadaran orang dewasa bahwa remaja sangat membutuhkan penyesuaian pribadi dan sosial, penerimaan dan ikut serta dalam komunitas-komunitas. Berdasarkan hal itu, maka komunitas yang diorganisir dan dibentuk dengan sengaja terbuka untuk semua remaja dalam lembaga atau yayasan yang bersangkutan. Anggota komunitas terdiri dari remaja-remaja baik telah memiliki sahabat maupun remaja yang belum mempunyai komunitas. Penjabaran lebih lanjut tentang ideologi dapat dijelaskan bahwa nama ideologi berasal dari kata ideas dan logos. Idea berarti gagasan, konsep,sedangkan logos berarti ilmu. Pengertian ideologi secara umum adalah sekumpulan ide, gagasan, keyakinan, kepercayaan yang menyeluruh & sistematis dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan keagamaan (Rukiyati, 2008). Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Kata ideologi sendiri diciptakan oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan "sains tentang ide". Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu (bandingkan Weltanschauung), secara umum (lihat Ideologi dalam kehidupan sehari hari) dan beberapa arah filosofis (lihat Ideologi politis), atau sekelompok ide yang diajukan oleh kelas yang dominan pada seluruh anggota masyarakat. Tujuan untama dibalik ideologi adalah untuk menawarkan perubahan melalui proses pemikiran normatif. Ideologi adalah sistem pemikiran abstrak (tidak hanya sekadar pembentukan ide) yang diterapkan pada masalah publik sehingga membuat konsep ini menjadi inti politik (Abdul Kadir Besar, 2007). Pancasila sebagai ideologi merupakan kenyataan yang tidak bisa ditolak, dan ini bisa menampakkan diri dalam pengertian formal atau informal. Menolak Pancasila sebagai ideologi tidak masuk akal, bukan hanya karena penolakan semacam ini bersifat ideologis, tetapi juga karena hal ini akan potensial mempersempit ’keleluasaan berpikir’ yang harus dijaga berdasarkan prinsip kebebasan, yang menyarankan bahwa kemauan setiap orang atau kelompok untuk mengartikulasikan dan merumuskan pemahaman tertentu tentang kehidupan harus tetap dikembangkan. Kebebasan berpikir merupakan hak termasuk elit penguasa yang memang berkepentingan dengan ideologi formal, maupun warga negara biasa dan masyarakat sipil yang berkepentingan dengan bagaimana kedua pengertian ideologi tersebut dalam praktek mempengaruhi kehidupan mereka. Sekali lagi, ideologi penting dan merupakan kenyataan yang tidak bisa ditolak karena dalam setiap masyarakat selalu diharapkan tersedia keberadaan sebuah struktur bersama yang terbentuk dari idea-idea dan karena itu, salah satu fungsi penting dari lembaga sosial adalah mempertahankan dan menyebarkan ideologi bersama (common ideology) diantara mereka yang membentuk sebuah masyarakat.(Agus Wahyudi, 2008) Pancasila lahir dan dirumuskan dalam persidangan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada saat membahas dasar negara, khususnya dalam pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Soekarno menyebut dasar negara sebagai Philosofische grondslag sebagai fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya yang diatasnya akan didirikan bangunan negara Indonesia. Soekarno juga menyebutnya dengan istilah Weltanschauung atau pandangan hidup. Sila Ketuhanan yang Maha Esa, sesungguhnya adalah pengakuan, recognition, dari Negara bahwa rakyat Indonesia adalah rakyat yang ber-Tuhan, yang secara konstitusional diakui dalam Pasal 29 UndangUndang Dasar 1945. Dalam terminologi instrumen hak asasi manusia dewasa ini, substansi sila pertama ini disifatkan sebagai non derogable rights (hak asasi yang tidak dapat dikurangi kapanpun, oleh siapapun, dan dalam keadaan apapun). Negara bukan saja tidak dapat dan tidak boleh mencampuri hak atas kebebasan beragama, tetapi juga harus melindungi seluruh rakyatnya, apapun agama dan kepercayaan yang dianutnya, tanpa melakukan diskriminasi apapun juga.(Sunardi, 2005) Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dapat dipahami sebagai pengakuan, perlindungan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia, yang menurut Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa diartikan sebagai common standards of achievements for all peoples and all nations, sebagai tolok ukur kinerja bersama yang harus diwujudkan oleh seluruh manusia dan seluruh bangsa-bangsa. Sebagai konsekuensinya, seluruh rakyat serta seluruh penyelenggara negara bukan saja harus memahami secara utuh seluruh instrumen hukum internasional serta instrumen hukum nasional hak asasi manusia, tetapi juga secara pro aktif menindaklanjutinya dalam bidangnya masing-masing. Sekedar sebagai catatan dapat disampaikan, bahwa instrumen hukum internasional serta instrumen hukum nasional hak asasi manusia yang sudah dimiliki oleh Republik Indonesia sudah relatif cukup banyak, sehingga pada dasarnya tidak akan banyak ditemui kesulitan dalam penegakannya, terlebih-lebih oleh karena sejak tahun 1993 telah dibentuk sebuah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Persatuan Indonesia, bukan saja perlu dipahami sebagai konfirmasi terhadap semangat Hari Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, dan Proklamasi Kemerdekaan 1945, tetapi juga sebagai formulasi dari semangat kebangsaan (nasionalisme), yang ingin membangun masa depan bersama dalam suatu
408
Prosiding Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-3-8 Purwokerto, 20 Desember2014 negara, apapun bentuk serta sistem pemerintahannya. Indonesia pernah menguji coba bentuk negara kesatuan atau bentuk negara federal, sistem pemerintahan presidensial atau sistem pemerintahan parlementer, tatanan yang amat sentralistik atau tatanan yang sangat didesentralisasikan. Bentuk kerajaan serta sistem pemerintahan feodalistis telah ditolak oleh para Pendiri Negara sejak taraf yang paling awal. Dewasa ini disepakati bahwa bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat diubah lagi (Soejadi,1999; Kaelan 2007) Terkait dengan kemajemukan rakyat Indonesia, pada tahun 1950-an, Republik Indonesia telah memilih sesanti “Bhinneka Tunggal Ika dalam Lambang Negara, suatu penggalan dari kalimat yang berasal dari seloka Mpu Prapanca dalam karangannya Sutasoma yang artinya: walau berbeda-beda namun tetap satu jua. Frasa ini sekarang tercantum dalam Pasal 36A Undang-Undang Dasar 1945, yang perlu dikaitkan dengan keberadaan 1.072 etnik di Indonesia, menurut Sensus Tahun 2000 (Suryadinata, 2003). Secara implisit, pengakuan terhadap kemajemukan etnik, agama, serta ras ini juga berarti pengakuan terhadap demikian banyak masyarakat hukum adat (adatrechts gemeenschap, indigenous peoples) serta haknya atas tanah ulayat, yang tercantum dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 serta Pasal 6 Undangundang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan jelas merujuk pada proses dan mekanisme pengambilan keputusan di dalam negara, yang bersifat demokratis. Asumsi paling dasar dari sila ini adalah bahwa sebagai kekuasaan tertinggi di dalam negara, kedaulatan adalah milik seluruh Rakyat Indonesia, yang dimanifestasikan dalam pemilihan umum berkala. Mereka yang mendapatkan kepercayaan para pemilih dalam pemilihan umum tersebut berperan sebagai pemegang amanah (trustee) dari seluruh rakyat, yang harus melaksanakan amanah tersebut sejujur-sejujurnya dan seadil-adilnya sesuai dengan sumpah jabatan yang diucapkannya. Dalam instrumen hukum internasional serta hukum nasional hak asasi manusia, hak rakyat untuk turut serta dalam pemerintahan ini dijamin dalam hak sipil dan hak politik, yang pokok-pokoknya tercantum dalam The International Covenant on Civil and Political Rights (1966) yang telah diratifikasi sebagai Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Hak Sipil dan Politik, dengan catatan bahwa Republik Indonesia mengadakan reservasi terhadap hak menentukan nasib sendiri yang tercantum dalam Pasal 1 Kovenan tersebut, yang bisa disalahartikan sebagai hak untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia apapun makna filsafati yang terkandung dalam frasa ini jelas merupakan tujuan yang harus dicapai serta benchmark untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan kinerja seluruh aparatur penyelenggara negara yang dipimpin oleh Presiden, baik sebagai Kepala Negara maupun sebagai Kepala Pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, baik oleh cabang legislatif, eksekutif, atau yudikatif. Dalam hukum internasional dan hukum nasional hak asasi manusia, hak rakyat untuk memperoleh keadilan sosial ini tercantum dalam hak ekonomi, sosial, dan budaya, yang pokokpokoknya tercantum dalam The International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (1966), yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam The UN Declaration on the Rights to Development (1986), Limburg Principles on the Implementation of Economic, Social, and Cultural Rights (1986), dan The Maastrich Guidelines on the Violations of Economic, Social, and Cultural Rights (1997). Pada sisi lain nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris "nation") dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Para nasionalis menganggap negara adalah berdasarkan beberapa "kebenaran politik" (political legitimacy). Bersumber dari teori romantisme yaitu "identitas budaya", debat liberalisme yang menganggap kebenaran politik adalah bersumber dari kehendak rakyat, atau gabungan kedua teori itu. Ikatan nasionalisme tumbuh di tengah masyarakat saat pola pikirnya mulai merosot. Ikatan ini terjadi saat manusia mulai hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu dan tak beranjak dari situ. Saat itu, naluri mempertahankan diri sangat berperan dan mendorong mereka untuk mempertahankan negerinya, tempatnya hidup dan menggantungkan diri. Dari sinilah cikal bakal tubuhnya ikatan ini, yang notabene lemah dan bermutu rendah. Ikatan inipun tampak pula dalam dunia hewan saat ada ancaman pihak asing yang hendak menyerang atau menaklukkan suatu negeri. Namun, bila suasanya aman dari serangan musuh dan musuh itu terusir dari negeri itu, sirnalah kekuatan ini. Dalam zaman modern ini, nasionalisme merujuk kepada amalan politik dan ketentaraan yang berlandaskan nasionalisme secara etnik serta keagamaan (Bahar, 1996) . TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan komunitas di Kota Surakarta dan kegiatan-kegiatan yang ditampilkan sebagai bentuk perwujudan nilai-nilai Pancasila di masyarakat.
409
Prosiding Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-3-8 Purwokerto, 20 Desember2014 METODE PENELITIAN Langkah –langkah penelitian meliputi tahap studi pendahuluan, pengembangan, pengujian model, dan deseminasi produk. Sumber data yang digunakan adalah informan, tempat dan peristiwa, dokumen. Pengambilan data melalui wawancara dengan informan yang dipilih secara purposive sampling, didukung FGD, observasi, analisis dokumen, dan data statistik yang berkaitan.Validitas menggunakan trianggulasi sumber sedangkan analisis data berupa teknik analisis interaktif. Penelitian tahun pertama ini berupa deskriptive kualitatif diawali dengan studi pendahuluan. Tujuan penelitian tahun pertama adalah 1) memetakan komunitas yang berkembang di masyarakat Kota Surakarta dan 2) mengidentifikasi kegiatan dan program berbagai komunitas tersebut yang menunjang penguatan nilai-nilai Pancasila di masyarakat. Pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi dan analisis dokumen. Wawancara mendalam kepada informan kunci (key informan) yakni para pemimpon atau penggiat komunitas. Observasi dilakukan terhadap kegiatan kegiatan yang dilakukan komunitas. Sedangkan analisis dokumen dengan cara menganalisis dokumen-dokumen yang dimiliki oleh komunitas. Kegiatan dilanjutkan dengan pengembangan model pemberdayaan melalui kegiatan focus group disscussion (FGD) dengan perwakilan komunitas, dan para pakar pendidikan dan sosiologi. Kegiatan FGD telah dilaksanakan pada hari Rabu 5 Nopember 2014.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kota Surakarta merupakan kota yang heterogen dan banyak komunitas yang berkembang. Komunitas tersebut antara lain: pasopatibismania, milanisiti, omah budaya, solo mengajar, cinta bumi, blusukan solo, sepeda onthel lawas, fotografi, dan hijabers. Komunitas pasopati adalah komunitas penggemar dan pecinta sepakbola wong solo, bismania merupakan komunitas penggemar kendaraan bus, komunitas milanisiti merupakan komunitas penggemar grup sepak bola milan, komunitas omah budaya merupakan komunitas pelestari budaya Solo, komunitas Solo mengajar merupakan komunitas pengabdi kepada anak-anak Sekolah Dasar melalui pendidikan dan pengajaran, komunitas cinta bumi merupakan komunitas warga yang peduli terhadap bumi, komunitas blusukan merupakan komunitas yang mempelajari budaya asli Solo, komunitas sepeda onthel lawas merupakan komunitas berkeliling Kota Solo menggunakan sepeda kumbang tua, komunitas fotografi merupakan komunitas penggemar dunia fotografi, komunitas Solo hijabers merupakan komunitas perempuan yang menggunakan jilbab sebagai pengalaman pertama. Lahirnya pasoepati dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menyatukan suporter di solo zaman dulu. Komunitas Pasoepati ini telah memupuk rasa nasionalisme dan menjaga perdamaian. Walaupun masih terdengar dan terjadi konflik, hal tersebut dinilai masih wajar dalam sebuah supporter sepak bola ataupun komunitas lain. Akan tetapi, setiap konflik yang terjadi lebih menitikberatkan pada pribadi masing-masing individu dan juga salah menafsirkan rasa persatuan mereka. Selain itu, pasoepati memiliki anggota yang sangat banyak sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa mengatur banyak orang memang sulit, Pada dasarnya, komunitas ini sudah berusaha untuk selalu cinta damai dengan supporter lainnya. Dengan adanya wadah pasoepati yang selalu menanamkan rasa cinta damai, lama-lama pasti akan muncul adanya respek dan kesadaran yang baik dari dalam supporter sendiri maupun supporter lawan untuk tidak bersikap rusuh. Pada akhirnya, sebuah kesetian, loyalitas, persahabataan, kecintaan sangat penting sekali dalam membangun rasa nasionalisme dan perdamaian. Meskipun Bis Mania Comunity pada dasarnya lebih memfokuskan kepada pengoptimalan sarana transportasi umum daripada menggunakan transportasi pribadi. Mereka juga mempunyai kepedulian sosial yang tinggi, bahkan mempunyai kegiatan rutin dalam membantu sesama. Adapun peran Bis Mania Community yaitu bisa menanamkan nilai-nilai kepedulian sosial di antara para anggotanya. Penanamanpenanaman nilai-nilai kepedulian Penanaman nilai-nilai kepedulian sosial tersebut terimplementasi dalam kegiatan-kegiatan-kegiatan sosial yang rutin dilakukan. Meskipun, dana dari kegiatan-kegiatan tersebut bersumber dari dana pribadi setiap anggotanya. Blusukan Solo merupakan salah satu komunitas yang ada di kota Surakarta yang memiliki tujuan untuk melestarikan heritage dan budaya yang dimiliki oleh Indonesia khususnya di Kota Solo. Anggota komunitas yang lahir pada tahun 2007 ini terdiri dari berbagai latar belakang agama dan suku bangsa. Saat ini anggota aktif ada 15 orang, namun siapa saja bisa menjadi anggota pasif tanpa persyaratan khusus. Secara garis besar ada empat (4) kegiatan di komunitas ini, yaitu : 1) Blusukan Jalan Kampung; 2) Gowes; 3) Kunjungan Museum, dan 4) Dolan Bareng. Perencanaan dan penentuan destinasi kunjungan atau kegiatan selanjutnya dilakukan dengan musyawarah mufakat bersamaan dengan evaluasi suatu kegiatan. Secara umum, 410
Prosiding Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-3-8 Purwokerto, 20 Desember2014 Blusukan Solo telah mengamalkan nilai-nilai Pancasila terutama sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan sila ketiga, “Persatuan Indonesia” Pada komunitas pecinta alam Garba Wira Bhuana, implementasi nilai-nilai Pancasila tercermin dalam kegiatan- kegiatan antara lain : 1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, tercermin dalam kegiatan keagamaan yang rutin dilaksanakan ketika berkumpul bersama, seperti sholat berjamaah, ada juga agenda siraman rohani dan buka bersama di panti jompo. 2. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, tercermin dalam kegiatan sosial, seperti sharing bersama di panti jompo, ada juga agenda mengajar anak-anak untuk belajar di alam.
mengadakan
3. Sila Persatuan Indonesia, tercermin dalam kegiatan yang bertujuan untuk mensolidkan anggota, seperti dalam proses perekrutan anggota, dipilih calon yang berkomitmen tinggi, ada juga kegiatan ekspedisi NKRI dimana mereka bisa mengeksplor serta mencari solusi atas masalah-masalah yang ada di masyarakat, sehingga memupuk rasa nasionalisme yang tinggi. 4. Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, tercermin dalam kegiatan musyawarah, seperti penentuan jadwal latihan rutin misalnya renang, lari dan rock climbing. Ketika ada masalah internal antar anggota akan dibicarakan bersama. Istilah yang selalu mereka pakai yaitu “semua diselesaikan di meja makan”. 5. Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tercermin dalam kegiatan pengabdian masyarakat, seperti penyediaan sarana prasarana di desa terpencil yang sudah dilaksanakan di lereng gunung Merbabu, yaitu pembuatan WC umum. Ada juga pembangunan perpustakaan mini di daerah daerah terpencil serta kegiatan mitigasi bencana gempa bumi di daerah Sukuh Tawangmangu. Pada komunitas Milanisti program kegiatan sosial kemasyarakatan rangka penguatan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan antara lain : kegiatan Donor Darah Rutin kerjasama dengan PMI Solo, baksos di Panti Asuhan, kegiatan Membersihkan Sampah waktu Car Free Day (Go Green), rutin menggalang dana untuk kota-kota yang tertimpa bencana, rasa Simpati dan Empati antar anggota yang tertimpa bencana dengan memberikan bantuan. Pada komunitas Solo Mengajar, dalam mewujudkan pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan nilai-nilai agama, proses pembelajaran di TC SM dilakukan dengan penerapkan nilai-nilai Pancasila. Diantaranya : 1. Sila pertama : diwujudkan dengan mengawali proses pembelajaran dengan berdoa, dan bagi yang beragama muslim diajak untuk sholat berjamaah ke Masjid yang ada di dekat TC. 2. Sila Kedua : diwujudkan dengan pemisahan kelas-kelas sesuai dengan kemampuan anak. Sebagai contohnya kelas 1 SD masuk ke kelas 1, dan seterusnya. 3. Sila ketiga : diwujudkan dengan tindakan saling meminta maaf apabila terjadi pertengkaran, semata untuk mewujudkan persatuan anak-anak yang berada di TC yang pada muaranya akan mewujudkan persatuan bangsa. 4. Sila keempat : diwujudkan dengan adanya rapat-rapat kecil yang mengikutsertakan anak, sebagai contohnya pemilihan ketua kelas dan untuk para volunter sila ini diwujudkan dalam bentuk musyawarah setelah proses pembelajaran telah usai sebagai evaluasi kerja. 5. Sila kelima : diwujudkan dalam bentuk kontribusi mereka untuk masyarakat dalam hal membantu mendampingi peserta didik di dalam belajar. Mereka berusaha memberikan yang terbaik buat pendidikan Indonesia dan Kota Solo pada khususnya tanapa adanya balas jasa sedikitpun. Karena visi mereka tidak ingin dikenal tetapi ingin melayani bangsa dengan hati mereka Temuan di atas apabila dikaitkan dengan implementasi Pancasila maka dapat dinyatakan sebagai penguatan Pancasila melalui jalur sosiokultural. Implementasi Pancasila akan berhasil dengan melalui tiga jalur pendekatan pengembangan yaitu pendekatan pengembangan pendidikan pembelajaran (psyco-paedagogic development), pengembangan sosial budaya (socio-cultural development) dan pengembangan yang dipengaruhi oleh kekuasaan (socio- political intervention) ( Budimansyah, 2009). Socio-Cultural Development adalah pendekatan yang berpandangan bahwa sosialisasi nilai akan berhasil bila didukung oleh lingkungan sosial budaya yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu perlu diciptakan lingkungan sosial budaya yang kondusif bagi sosialisasi nilai-nilai Pancasila di masyarakat. Penciptaan lingkungan sosial budaya tersebut mencakup penciptaan pola interaksi, kelembagaan maupun wadah sosial budaya di masyarakat. Dukungan yang ada di 411
Prosiding Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-3-8 Purwokerto, 20 Desember2014 lingkungan tersebut amat berpengaruh bagi keberhasilan sosialisasi nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian sosialisasi Pancasila tidak semata-mata melalui pendekatan pendidikan (psyco paedagogic development) tetapi juga harus ditunjang socio-cultural development. Komunitas-komunitas yang berkembang di masyarakat merupakan wahana dan dapat menciptakan peluang yang potensial dalam rangka mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila. Kehadiran komunitas akan dapat diterima masyarakat sesuai dengan tingkatan dan kepentingannya, sembari menjalankan program-program yang baik untuk komunitas tersebut maupun masyarakat sekitar dan juga berpengaruh terhadap lingkungan. Sebuah komunitas, menurut pandangan kaum komunitarian adalah sesuatu yang nyata yang dapat didefinisikan dengan dua karakteristik. Pertama komunitas merupakan hubungan yang penuh dengan rasa persatuan antara anggota kelompok dan hubungan tersebut mempunyai komitmen terhadap nilai-nilai yang disepakati bersama secara sukarela. Setiap individu memiliki nilai dan komitmen terhadap nilainya. Semakin banyak seseorang ikut ambil bagian dalam komunitas semakin besar peluang terciptanya nilai-nilai bersama bagi anggota yang semakin banyak. Inti sikap moral komunitarian adalah kesepakatan moral manusia modern untuk menciptakan moral baru, kehidupan sosial, dan keteraturan publik berdasarkan pada penguatan kembali nilai bersama ( Budimansyah, 2009:15). Oleh karena itu apabila nilai-nilai sebuah komunitas sudah mencerminkan nilai-nilai Pancasila termasuk wujud pengalamannya, maka implementasi dan penguatan Pancasila di masyarakat akan lebih mudah terjadi. Sebaliknya apabila nilai-nilai sebuah komunitas belum mencerminkan nilai Pancasila sebagai satu kesatuan, maka perlu dilakukan pendekatan atau sentuhan pendampingan agar nilai-nilai bersama yang dimilikinya sejalan dan mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Mengapa perlu disejalankan dengan nilai-nilai Pancasila? Hal ini karena nilai Pancasila tersebut telah menjadi nilai bersama dan menjadi pengembang bagi karakter kebangsaan Indonesia. Pada akhirnya penguatan nilai-nilai Pancasila di kalangan komunitas melalui jalur socio cultural deevelopmnet akan semakin kuat jika ditunjang oleh berlangsungnya jalur psyco paedagogic development dan political intervention development. Warga dari komunitas perlu mendapatkan pemahaman Pancasila melalui jalur pendidikan dan juga warga dari suatu komunitas perlu mendapat bantuan, fasililitasi dan kemudahan beraktivitas dari lembaga pemerintahan /publik.
KESIMPULAN Kota Surakarta merupakan kota yang heterogen dan banyak komunitas yang berkembang. Komunitas tersebut antara lain: bismania, milanisiti, omah budaya, solo mengajar, cinta bumi, blusukan solo, sepeda onthel lawas, fotografi, dan hijabers. Erosi kebangsaan tidak ditemukan pada komunitas di Kota Surakarta. Komunitas justru memiliki aktivitas-aktivitas yang mendukung penanaman nilia-nilai Pancasila yang dapat dinyatakan sebagai wahana bagi penguatan ideologi bangsa. Mereka memiliki nilai-nilai bersama yang bertujuan memperkuat solidaritas komunitas, mengaktualisasikan potensi dan membantu sesama. Aktivitasaktivitas tersebut merupakan implementasi nilai-nilai Pancasila meskipun secara langsung belum disadari sepenuhnya oleh warga komunitas. Bahwa aktivitas yang dilakukan merupakan implementasi dari nilai-nilai Pancasila yang tercerminkan dalam aneka rupa kegiatan. Saran bagi komunitas, hendaknya memperkuat kembali sambil menyadari sepenuhnya bahwa kegiatan tersebut juga dalam rangka inplementasi nilai-nilai Pancasila di masyarakat. Rekomendasi kepada pemerintah daerah atau lembaga publik lainnya hendaknya memberi kemudahan, fasilitasi bahkan bantuan terhadap kegiatan dan program komunitas sepanjang dalam rangka implementasi nilai-nilai Pancasila di masyarakat. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada para pimpinan dan penggiat komunitas di kota Surakarta yang telah berbagi pengalaman dan wawasannya melalui wawancara , kegiatan observasi dan analisis dokumen. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada para mahasiswa yang telah membantu menambah data dan informasi untuk keperluan penelitian ini. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Panitia Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) Uninersitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) yang telah menerima untuk disertakan dalam seminar paralel dan menjadi prosiding hasil seminar.
412
Prosiding Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-3-8 Purwokerto, 20 Desember2014 DAFTAR PUSTAKA Abdul Kadir. (2007). Politik Ideologi. Yogyakarta : UGM Agus Wahyudi. (2008). Ideologi Pancasila : Doktrin yang Komprehensif atau Konsepsi Politis. Yogyakarta : UGM Ahmad Rizky. (2010). “Melacak Akar Radikalisme Islam di Indonesia “ dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM Vol 14, No 2, Nopember Bahar, Safroedin, (1996), Integrasi Nasional, Jakarta: Ghalia Indonesia Budi Susilo. (2012). Perilaku Nasionalistik Masa Kini dan Ketahanan Nassional. Yogyakarta: Mata Bangsa Budimansyah, Dasim., (2009). Membangun Karakter Bangsa Di Tengah Arus Globalisasi dan Gerakan Demokratisasi. Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar dalam bidang Sosiologi Kewarganegaraan pada Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas, Pendidikan Indonesia , tangga 14 Mei 2009. Harry. (2010). Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora Kaelan. (2007). Memaknai Kembali Pancasila. Yogyakarta:Lima Mappiare. A., (1982). Psikologi Remaja. Yogyakarta: Usaha Nasional. Rocky. (2010).Potensi Ideologisasi. Jakarta: FISIP UI Rukiyati. (2008). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta : UNY Press. Shepard, William. “What is ‘Islamic Fundamentalism’?,” Studies in Religion 17, 1 (1988): 5-25. Soejadi. (1999). Pancasila Sebagai Sumber Tertib Hukum Indonesia. Yogyakarta: Lukman Offset Soetomo. (2011). Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Sunardi, (2005), Pembinaan Kebangsaan Indonesia, Jakarta: Kuaternita Adidarma Udin dan Dasim. (2012). Pendidikan Kewarganegaraan dalam Perspektif Internasional. Bandung: Widya Aksara
413