ISSN: 2355-1925
IMPLEMENTASI METODE BERMAIN DALAM MENINGKATKAN HASIL BELAJAR IPS DI MADRASAH IBTIDAIYAH
SYOFNIDAH IFRIANTI IAIN RADEN INTAN LAMPUNG
Abstract The most important aspect in formal education at school is teaching-learning process. A good process will create a quality and meaningful learning. Organize learning experiences, conduct teaching-learning process, evaluate learning process and result are teacher’s responsibility. One of ways to improve learning achievement is designing a teaching-learning process properly. Game is an alternative method which can be implemented in teaching activity, including Social Science class. Game is a relevant, effective, and appropriate teaching method which can be applied by the teacher especially to develop student’s ability of cognitive, affective, and psychomotor. The implementation of game method will involve the students actively and train the students to know their environment. Social science is a subject with wide coverage which is based on study of economy, geography, sociology, anthropology, governance and history. That is why an appropriate teaching method will influence learning situation to the students. Finally it will also influence the students’ achievement. In the other word, the implementation of game method can help students improve their learning achievement. Keywords: implementation, game method, social science.
A. PENDAHULUAN Salah satu unsur yang paling utama dalam penyelenggaraan pendidikan adalah guru. Di dalam UU Sisdiknas no 20 tahun 2003 Bab XI pasal 39 disebutkan bahwa: ”Pendidik atau guru merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan bimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian Terampil, volume 4 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. (Undang-Undang Sisdiknas , UU RI N0 20 Tahun 2003, hlm 27) Dapat dipahami begitu spesifiknya eksistensi seorang guru dalam proses pembelajaran, sehingga tanpa guru dapat dipastikan proses pembelajaran tidak akan berlangsung, baik pembelajaran dalam pendidikan formal maupun pendidikan non formal dan bahkan informal. Peranan guru sebagai motivator adalah mengupayakan semaksimal mungkin agar peserta didiknya memiliki motivasi atau semangat belajar yang tinggi dalam setiap proses pembelajaran mata pelajaran apapun. Makna pendidikan seperti yang tercantum dalam UU SPN adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudka suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Proses pembelajaran merupakan salah satu kunci keberhasilan pendidikan, dimana pendidikan merupakan pengembangan potensi dalam menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pelajaran dan latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Tujuan dari penyelenggaraan sistem pendidikan nasional akan berpengaruh bagi mutu peserta didik untuk mampu menghadapi tantangan di masa depan, menghadapi globalisasi pendidikan mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, dengan demikian proses pembelajaran yang baik akan dapat menciptakan pembelajaran yang berkualiatas dan bermakna. Ruang lingkup mata pelajaran IPS SD/MI melalui aspek-aspek manusia, tempat dan lingkungan, waktu berkelanjutan dan perubahan, sistem sosial dan budaya, dan perilaku ekonomi dan budaya. IPS diharapkan memberi bekal peserta didik untuk dapat hidup bersama untuk masyarakat terbuka yaitu memiliki sikap yang penuh toleransi tanpa mengorbankan prinsip sebagai bangsa yang beragama dan berbudaya luhur. Selain itu, dalam masyarakat demokrasi. Perlu disiapkan masyarakat Indonesia yang cerdas dan mau aktif berparan serta dalam semua aspek kehidupan baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Terampil, volume 4 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Salah satu upaya untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik adalah dengan merancang kegiatan belajar mengajar yang bisa membuat peserta didik aktif, kreatif, dalam suasana yang menyenangkan, bermakna bagi peserta didik, serta sesuaI dengan tujuan yang diharapkan. Diantara beberapa metode pembelajaran yang ada, metode permainan dinilai dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar peserta didik berdasarkan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya. Metode merupakan suatu cara atau alat utuk mencapai tujuan tertentu dalam kegitan belajar mengajar. Menurut Pupuh Fathurrohman pengertian metode secara harafiah adalah “cara” namun secara umum metode diartikan sebagai suatu prosedur yang dipakai untuk mencapai tujuan tertentu. (Pupuh Faturrohman., 2007, hlm 55) Pemilihan metode pembelajaran seperti metode bermain merupakan suatu keharusan bagi guru atau tenaga pendidik. Takdiroutun Musfirah mengungkapkan bahwa metode bermain adalah metode yang sangat relevan, efektif, dan cocok untuk diterapkan guru dalam proses pembelajaran di sekolah dari segi pengembangan kognitif, psikomorik dan afektif, sehingga metode bermain diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan peserta didik, daya kreativitas, keterampilan memecahkan masalah walaupun dalam bentuk sangat sederhana. (Tadkiroatun Musfiroh, 2008, hlm 1-4). Metode bermain adalah suatu bentuk kegiatan yang memberikan kepuasan pada diri anak dan bersifat non serius, lentur, dan bahan bermain terkandung dalam kegiatan secara imajinatif ditransformasi sepadan dengan dunia orang dewasa, oleh karena itu bermain sambil belajar (bermain peran) adalah merupakan suatu hal yang penting untuk meningkatkan perkembangan daya sikap (afektif) peserta didik. (R. Moeslicatoen, 2004, hlm.28-29) Tujuan pembelajaran IPS di Indonesia dalam pedoman guru mata pelajaran IPS dapat dibagi menjadi : 1.
Memberikan Pengetahuan (Knowledge) Peserta didik memiliki pengetahuan atau mengenal ide-ide atau penemuan dalam bentuk yang sama atau dialami sebelumnya.
Terampil, volume 4 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
2.
Kemampuan dan Keterampilan (Abilities and Skills) Kemampuan untuk menemukan informasi yang tepat dan teknik dalam pengalaman seorang siswa untuk menolong memecahkan masalah baru atau menghadapi pengalaman baru.
3.
Tujuan yang Bersifat Efektif Pengembangan sikap-sikap, pengertian-pengertian, dan nilai-nilai yang meningkatkan pola hidup demokratis yang menolong peserta didik mengembangkan filsafat hidupnya. (Drs. Edi Saepudin, 2002)
Untuk tingkat Madrasah Ibtidaiyah (MI), tujuan pembelajaran IPS yaitu agar peserta didik memiliki kemampuan: 1.
Mengenal konsep–konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya.
2.
Memiliki kemampuan dasar untuk berfikir ligis dan kritis, rasa ingin
tahu,
inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial. 3.
Memiliki
komitmen dan
kesadaran terhadap nilai-nilai
sosial
dan
kemanusiaan. 4.
Memiliki kemampuan berkomunokasi, bekerja sama dan berkompetensi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional dan global. (Drs. Ahmad Yani, M. Si, 2009, hlm 16)
Berdasarkan ranah tujuan, pembelajaran IPS sama halnya dengan pembelajaran yg lain, memiliki tiga kelompok ranah tujuan pembelajaran yaitu: 1.
Ranah kognitif, yang paling esensial adalah pengetahuan dan pemahaman
2.
Ranah afektif, yang paling esensial adalah pengembangan nilai, sikap dan moral.
3.
Ranah psikomotorik, adalah berhubungan dengan akttivitas fisik yang berkaitan dengan proses mental dan psikologi.
Terampil, volume 4 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
B. PEMBAHASAN 1.
Proses Belajar Menurut Tabrani Rusyan dkk, belajar adalah proses perubahan tingkah laku
berkat pengalaman dan latihan. (Drs. Syaiful Bahri Djamarah & Drs. Aswan Zain, 1997, hlm 11) Artinya tujuan kegiatan adalah perubahan perubahan tingkah laku, baik yang menyangkut pengetahuan, keterampilan maupun sikap, bahkan meliputi segenap aspek organisme atau pribadi. Kegiatan belajar mengajar seperti mengorganisasi pengalaman belajar, mengolah kegiatan belajar mengajar, menilai proses dan hasil belajar kesemuanya termasuk dalam cakupan tanggung jawab guru. Jadi hakekat belajar adalah perubahan. Secara khusus dalam proses belajar mengajar guru berperan sebagai pengajar, pembimbing, perantaranya sekolah dan masyarakat, administrator dll. Proses belajar mengajar adalah suatu aspek dari lingkungan sekolah yang diorganisasi. Lingkungan ini diatur serta diawasi agar kegiatan belajar terarah sesuai dengan tujuan pendidikan. Lingkungan belajar yang baik adalah lingkungan yang menantang dan merangsang para siswa untuk belajar, memberikan rasa aman dan kepuasan
serta mencapai tujuan yang
diharapkan. Jika ditelusuri secara mendalam, proses pembelajaran merupakan inti dari proses pendidikan formal di sekolah yang di dalamnya terjadi interaksi antara berbagai
komponen
pembelajaran.
Komponen-komponen
itu
dapat
dikelompokkan ke dalam tiga kategori utama, yaitu guru, isi atau materi pembelajaran dan siswa. Proses belajar merupakan metode, tehnik, dan waktu. Hal ini menunjukkan keadaan yang berbeda-beda antara seseorang dengan orang lain, juga terhadap materi pelajaran yang satu dengan yang lain. Suatu proses belajar harus bersifat praktis dan langsung, artinya jika seseorang ingin mempelajari sesuatu, maka dia sendirilah yang harus melakukannya, tanpa melalui “perantara” orang lain. Meskipun demikian karena individu itu tidak pernah lepas dari hubungannya dengan lingkungan. Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar, antara lain seprti tempat belajar, teman belajar, dan suasana belajar.
Terampil, volume 4 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Belajar pada hakekatnya dilakukan melalui berbagai aktivitas baik fisik maupun mental untuk mencapai hasil sesuai tujuan. Oleh karena tujuan itulah maka proses belajarpun berlangsung secara terus menerus. Dan upaya untuk memenuhi kebutuhan untuk mencapai tujuan dilakukan kegiatan yang bervariasi. Berdasarkan teori belajar kognitif, belajar merupakan suatu proses terpadu yang berlangsung didalam diri seseorang dalam upaya memperoleh pemahaman dan struktur kognitif baru, atau untuk mengubah pemahaman dan setruktur kogntif lama. Agar belajar dapat mencapai sasaran yang diperolehnya pemahaman dan struktur kognitif baru, atau perubahan pemahaman dan struktur kognitif lama yang dimiliki seseorang, maka proses belajar sepatutnya dilakukan secara aktif, melalui berbagai kegiatan, seperti mengalami, melakukan, mencari dan menemukan, keaktifan belajar sebagai prasyarat diperolehnya hasil belajar tersebut. Proses belajar dipandang sebagai proses pengolahan informasi yang meliputi tiga tahap, yaitu, perhatian (attetion), penulisan dalam bentuk simbol (attention) dan mendapatkan kembali informasi (retrieval). Mengajar merupakan upaya dalam rangka mendorong (menuntun dan mendukung)
siswa untuk
melakukan kegiatan, mengorganisir, menyimpan dan menemukan hubungan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah ada. (Dra. Sumiati & Asra, M. Ed, 2008, hlm.47). Berdasarkan beberapa pengertian tentang proses belajar diatas, maka dapat disimpulkan bahwa proses belajar merupakan suatu proses dimana peserta didik menerima pengetahuan baru berdasarkan pengalaman yang dialaminya serta memadukannya dengan pengetahuan lama untuk mencapai tujuan yang diharapkan. 2.
Metode Bermain Masalah anak bermain sudah sejak adanya anak-anak. Sudah ada sejak
adanya manusia. Pertanyaan yang segera timbul ialah, mengapa anak harus bermain-main. Bagi anak, permainan adalah makanan rohaninya. Ia tidak akan merasa enak bila tidak ada kesempatan untuk bermain-main. Sejak masih dalam buaiyan ia sudah mulai bermain dengan tangannya, kakinya, dan lain-lainnya,
Terampil, volume 4 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
kemudia ia bermain dengan benda-benda yang didapat disekitarnya, ahirnya ia memerlukan alat tersendiri untuk bermain. Banyak tokoh psikologi, terutama psikolog perkembangan mendefinisikan tentang bermain. John W Santrock menyebutkan arti bermain (play) yaitu suatu kegiatan yang menyenangkan yang dilaksanakan untuk kepentingan kegiatan itu sendiri. (Santrock, John W. , 2002, hlm. 272) Menurut Hughes, seorang ahli perkembangan anak dalam bukunya Children, Play, and Development, mengatakan bahwa bermain merupakan hal yang berbeda dengan belajar dan bekerja. Suatu kegiatan yang disebut bermain harus ada lima unsur di dalamnya, yaitu : a) Mempunyai tujuan, yaitu permainan itu sendiri untuk mendapat kepuasan. b) Memilih dengan bebas dan atas kehendak sendiri, tidak ada yang menyuruh ataupun memaksa. c) Menyenangkan dan dapat dinikmati. d) Mengkhayal untuk mengembangkan daya imajinasi dan kreativitas. e) Melakukan secara aktif dan sadar. (Ismail, Andang, 2007, hlm. 14). Selain itu John Freeman dan Utami Munandar mendefinisikan bermain sebagai suatu aktifitas yang membantu anak mencapai perkembangan yang utuh, baik secara fisik, intelektual, sosial, moral dan emosional, (Ismail, Andang, 2007, hlm. 16). Hurlock dalam bukunya menyebutkan bahwa bermain (play) merupakan istilah yang digunakan secara bebas sehingga arti utamnya mungkin hilang. Arti yang paling tepat ialah setiap kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan yang ditimbulkannya, tanpa mempertimbangkan hasil akhir. Bermain dilakukan secara suka rela dan tidak ada paksaan atau tekanan dari laur atau kewajiban. Piaget menjelaskan bahwa bermain terdiri atas tanggapan yang diulang sekedar untuk kesenangan fungsional. Menurut Bettelheim kegiatan bermain adalah kegiatan yang tidak mempunyai peraturan lain kecuali yang ditetapkan pemain sendiri dan
Terampil, volume 4 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
tidak ada hasil akhir yang dimaksudkan dalam realitas luar. (Elizabeth B. Hurlock, hlm 320) Menurut Hurlock dalam Tadkiroatun Musfiroh mengungkapkan bahwa bermain adalah kegiatan yang dilakukan atas dasar kesenangan dan tanpa mempertimbangan hasil akhir, kegiatan tersebut dilakukan atas sukarela tanpa paksaaan atau tekanan dari pihak luar, sehingga bermain sangat relevan, efektif, dan cocok diterapkan guru dalam proses pembelajaran. (Tadkiroatun Musfiroh, 2008, Hal 1-4) Perkembangan anak yang ingin dicapai melalui permainan ini secara terperinci meliputi: a) Nilai diri dan percaya diri. b) Kepercayaan, tanggung jawab dan kepedulian terhadap sesama. c) Hubungan interpersonal dan keterampilan berkomunikasi yang efektif. d) Kemampuan untuk berfikir/bersikap secara mandiri dan mengembangkan kontrol diri. e) Keterampilan untuk mengemukakan gagasan dan perasaannya. f) Pemahaman dan pengelolaan informasi tentang lingkungan fisik dan sosialnya. g) Pemerolehan dan penggunaan keterampilan untuk memecahkan masalah. h) Rasa ingin tahu tentang dunia sekitarnya dan rasa nyaman dalam belajar dan bereksplorasi. Kegiatan belajar mengajar dengan menggunakan metode bermain merupakan kegiatan yang di dalamnya siswa terlibat dalam suatu permainan dengan aturan yang mengikat, sehingga kegiatan belajar mengajar masih tetap dalam kendali guru. Bermain mengacu pada beberapa teori bermain yang dikemukakan para ahli. Pengertian bermain tidak dapat dilepaskan dari sudut pandang teori yang mendasari fungsinya.
Terampil, volume 4 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Teori - teori tentang permainan anak menurut para ahli Psikologi adalah: a) Teori Herbert Spencer Teorinya bernama teori kelebihan tenaga. Ia berpendapat bahwa anak itu harus bermain, karena didalam diri anak tersimpan tenaga lebih, sehingga harus disalurkan. b) Teori lazarus Teorinya disebut teori istirahat. Anak bermain agar tenaganya pulih kembali. Misalnya karena payah belajar terus-menerus, maka anak-anak harus beristirahat untuk bermain-main. c)
Teori kari gross Teorinya bernama teori biologi. Anak-anak bermain oleh karena anak-
anak harus mempersiapkan diri dengan tenaga dan pikirannya untuk masa depannya. Seperti halnya dengan anak-anak binatang yang bermain latihan untuk mencari nafkan maka anak manusia pun bermain untuk melatih organ-organ jasmani dan rohaninya untuk menghadapi masadepannya. Misalnya : si Ayu bermain boneka, oleh karena ia nanti akan memelihara anaknya. Si Zaqi sebagai petani bermain mencangkul, membajak agar sesudah besar ia cakap untuk menggunakan alat-alat pertanian itu. d) Teori stanley hall Teorinya dinamakan teori rekapitulasi. Artinya anak-anak itu bermain, oleh karena ia harus mengulang perkembangan hidup manusia yang berbeda-beda ini secara singkat. Karena di dalam perkembangan hidupnya manusia itu mengalami beberapa tingkat, yaitu tingkat berburu, bertani, berdagang, maka tingkatan-tingkatan itu diulangi oleh anak-anak dalam permainannya. Dan anakanakpun bermain, berburu, bertani, dan berdagang. e)
Teori karl buhler Teorinya disebut teori fungsi. Anak-anak bermain oleh karena melatih
fungsi-fungsi
jiwa
raganya
untuk
mendapatkan
Terampil, volume 4 nomor 2, Desember 2015
kesenangan
di
dalam
ISSN: 2355-1925
perkembangannya dan dengan permainan itu anak akan mengalami perkembangan yang maksimal. f)
Teori kohnstamm Teorinya dapat diartikan teori kepribadian. Anak-anak bermain oleh
karena di dalam permainan itu mereka berada dalam suasana yang bebas, sehingga ada kesempatan untuk menunjukkan kepribadiannya sebagai individu maupun kepribadiannya sebagai manggota masyarakat. (Drs. Agus Sujanto, 1996, hlm. 28- 32) 3.
Jenis-Jenis Permainan a. Permainan gerak atau fungsi Maksudnya ialah permainan yanmg mengutamakan gerak dan berisi kegembiraan didalam bergerak. b. Permainan destruktif Yang dimaksud ialah bahwa anak bermain dengan merusakkan alat-alat permainanya itu. Seakan-akan ada rahasia didalam alat permainannya itu, dan ia mencari rahasia didalam permainannya itu. Stermm dalam hal ini mengatakan bahwa dengan merusak itu si anak menemukan kesenangan c. Permainan konstruktif Yang dimaksud ialah anak senang sekali membangun. Disusunlah balok- balok, batu-batu dan sebagainya menjadi sesuatu yang baru dan dengan itu sianak akan menemukan kegembiraannya. d. Permainan peran atau ilusi Yang dimakud ialah permainan yang didalamnya, si anak menjadi seseorang yang penting. Siti yang bermain boneka ialah siti sedang berperan sebagai seorang ibu. Amin yang bermain kereta api adalah amin yang berperan sebagai masinis dan sebagainya.
Terampil, volume 4 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
e. Permainan reseftif Artinya apabila orang tuanya sedang menceritakan suatu cerita maka didalam jiwanya si anak mengikuti cerita itu dengan menempatkan dirinya sebagai tokohnya. Apa pun yang dialami oleh sitokoh dalam cerita itu, seakan-akan dialaminya sendiri, sehingga kadang-kadang anak itu menangis, kadang meluap kegembiraannya, kadang bangga karena kemenangannya dll. f. Permainan prestasi Yang dimaksud ialah di dalam permainan itu si anak berlomba-lomba menunjukkan kebolehannya. Baik kelebihan dalam kekuatan, keterampilan maupun ketangkasannya. Untuk membedakan permainan dan bukan permainan tidak terletak pada jenis kegiatan (apa) yang dilakukan, tetapi lebih pada (bagaimana) sikap individu melakukannya. Ditinjau dari beberapa segi permainan mencakup: a)
Dari segi yang melakukan, maka permainan adalah kesibukan yang hanya dilakukan oleh anak-anak.
b) Dari segi suasana, permainan selalu bernuansa gembira dan ramai. c)
Dari segi tujuan, permainan bertujuan mencari kegembiraan.
d) Dari letak hasil, permainan letak hasilnya didalam kesibukan itu. e)
Dari segi tanggung jawab, permainan belum diperlukan tanggung jawab
f)
Dari segi penyelesaian, permainan itu tidak perlu selesai dalam waktu tertentu. Istilah permainan sebenarnya tidak mengacu pada tipe permainan tetapi
pada pensekatan pembelajaran yang digunakan. Teori bermain membahas tentang aktivitas jasmani anak yang dilakukan dengan rasa senang, sederhana,serta kaitan bermain sebagai wahana pencapaian tujuan pendidikan. Kelebihan metode bermain adalah: (1) permainan sebagai metode pembelajaran dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam proses belajar mengajar, (2) aktivitas siswa bukan hanya fisik tetapi juga mental, (3) dapat membangkitkan
Terampil, volume 4 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
siswa dalam belajar, (4) dapat memupuk solidaritas dan kerja sama dan (5) dengan bermain materi lebih mengesankan sehingga sukar dilupakan. Kekurangan metode bermain adalah: (1) bila jumlah siswa terlalu banyak akan sulit melibatkan siswa dalam permainan, (2) tidak semua materi dapat dilaksanakan melalui permainan, dan (3) permainan banyak mengandung unsur spekulasi sehingga sulit untuk dijadikan ukuran yang terpercaya. Langkah-langkah kegiatan dengan menggunakan metode bermain: 1) Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok sesuai dengan kebutuhan, tujuan permainan, dan jenis permainan. 2) Guru menjelaskan tentang aturan permainan, apa yang harus dilakukan oleh tiap-tiap kelompok, sanksi bagi yang melanggar aturan, serta hukuman yang kalah dalam permainan. 3) Guru memimpin, mengawasi dan membimbing jalannya permainan. 4) Guru dan siswa merefleksikan jalannya permainan, apa yang menjadi kendalanya dan bagaimana cara mengatasinya Oleh karena itu, pembelajaran melalui bermain diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan anak, daya kreativitas, keterampilan sosial walaupun dalam bentuk sangat sederhana. Artinya bermain dalam kehidupan anak adalah penting untuk meningkatkan perkembangan afektif (sikap) dan menunjang daya imajinasi anak. Pada perinsipnya bermain adalah aktivitas yang mengstimulasi kecerdasan melalui penerapan pendekatan Beyond Center and Circle atau sentra dan lingkaran, misalnya sentra bahan alam, main peran, seni, balok, persiapan, dan lain-lain. 4.
Bentuk/Kategori Permainan Umumnya permainan aktif lebih menonjol pada awal masa kanak-kanak
dan permainan hiburan ketika anak mendekati masa puber, namun hal yang demikian tidak selalu benar. Dalam hal ini Elizabeth B. Hurlock mengemukakan permainan sepanjang masa kanak-kanak, permainan sangat mempengaruhi
Terampil, volume 4 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
penyesuaian pada tatanan peribadi dan sosial anak. (Elizabeth B.Hurlock, hlm. 322) Berikut uraian tentang bermain aktif dan pasif (hiburan): a)
Bermain Aktif Bermain aktif adalah bermain yang kegembiraanya timbul dari apa yang
dilakukan anak itu sendiri. (Elizabeth B.Hurlock, hlm. 326), Kebanyakan anak melakukan berbagai bentuk permainan dan banyaknya kegembiraan yang akan diperoleh dari setiap permainan sangat bervariasi. Variasi ini disebabkan oleh sejumlah faktor, diantaranya adalah faktor pertama adalah kesehatan. Anak yang sehat menghabiskan lebih banyak waktu dalam bermain aktif dan memperoleh lebih banyak kepuasan dari permainan itu, ketimbang anak yang kesehatannya buruk sehingga bermain aktif cepat melelahkan. Kedua teman, bermain aktif merupakan permaian yang memebutuhkan teman, pada masa anak melewati bermain sendiri ketika bayi dan beralih ke bermain sosial dimasa kanak-kanak, tingkatan penerimaan sosial yang mereka nikmati akan menetukan banyaknya waktu yang dihabiskan dalam bermain katif dan banyaknya kegembiraan yang mereka peroleh. Ketiga yang menimbulkan variasi dalam bermain aktif adalah tingkatan intelegensi anak. Pada umumnya, anak yang sangta pandai dan yang sangat bodoh lebih sedikit menghabiskan waktunya dalam bermain aktif ketimbang mereka yang tingkat intelegensi rata-rata. Ini terutama karena perhaitian tidak sejalan dengan mereka yang mempunyai intelegensi rata-rata akibatnya mereka menganggap permainan seperti itu kurang menarik ketimbang anak yang perhatian bermainnya sesuai dengan tingkatan intelegensi. Keempat, peralatan.
Kebanyakan
permainan
aktif
membutuhkan
peralatan
untuk
merangsangnya. Kelima, lingkungan, lingkungan merupakan tempat anak tumbuh mempengaruhi jenis dan jumlah bermain aktif yang dilakukannya. (Elizabeth B.Hurlock, hlm. 328) Berangkat dari faktor-faktor yang mempengaruhi permainan aktif, maka permainan aktif ini dapat dikelompokkan dalam beberapa bentuk, seperti bermain bebas sepontan, permainan darama, dan bermain musik. Sementara itu dalam referensi lain permainan aktif dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok yaitu Terampil, volume 4 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
bermain sosial, bermain dengan benda dan bermain sosio drama. Permainan sosial, peran bermain yang mengamati cara bermain anak, akan memperoleh kesan bahwa anak dalam bermain dengan teman-temannya masing-masing akan meninjukkan derajat partisipasi yang berbeda. Menurut Parten dalam Brewer yang dikutif Soemarti Patmonodewo mengungkapkan berbagai drajat partisifasi anak dalam bermain dapat bersifat siliter, bermain paralel, bermain asosiatif dan bermain bersama. (Soemarti Patmonodewo, 2003, hlm. 103) Permainan dengan benda, permainan dengan benda menurut piaget dalam Soemarti Patmonodewo mengemukakn bahwa ada beberapa tipe bermain dengan objek yang meliputi bermain praktis, bermain simbolik dan bermain dengan peraturan-peraturan. (Soemarti Patmonodewo, 2003, hlm. 106) Oleh sebab itu diharapkan guru dapat memberikan pengalaman dalam bermain sosio-daramatik, Smilansky dalam brewer yang dikutif oleh Soemarti Patmonodewo, mengungkapkan permaian sosio-dramatik memiliki beberapa elemen yaitu, bermain dengan melakukan imitasi (anak bermain pura-pura melakukan peran orang diesekitar), bermain seperti suatu objek(anak melakukan gerakkan dan menirukan suara yang sesuai dengan objeknya, anak pura-puara menjadi mobil sambil berlari dan menirukan
suara mobil), bermain dengan
menirukan gerak (menirukan pembicaraan atau gerak), persisten (anak melakukan kegiatan bermain dengan tekun selama 10 menit, interaksi (bermain adegan), komunikasi verbal. (Soemarti Patmonodewo, 2003, hlm. 107) Dengan demikian dapat penulis ambil sebuah kesimpulan bahwa proporsi waktu bermain yang dicurahkan dalam masing-masing jenis permainan itu tidak bergantung pada usia, tetapi pada kesehatan dan kesenangan yang diperoleh dari masing-masing kategori. b) Bermain Pasif Bermain pasif merupakan istilah dari hiburan, yang merupakan tempat anak memperoleh kegembiraan dengan usaha minimum dari kegaiatan orang lain. Bagi beberapa anak hiburan dapat dinikmati bersama dengan kelompok teman sebaya, seperti menonton film atau televisi, namun kebanyakan hiburan dilakukan sendiri. Kurangnya hubungan sosial tidak menghilangkan kegembiraan yang diperoleh Terampil, volume 4 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
dari hiburan sebagaimana bermain aktif. (Elizabeth B.Hurlock, hlm. 335,339, 341, 342) Banyak orang tua atau orang dewasa menganggap waktu yang dihabiskan anak dengan hiburan sebagai pemborosan waktu dan menegaskan bahwa mereka akan lebih banyak memproleh keuntungan dari pada bermaian aktif. Elizabeth B.Hurlock, mengemukakan ada beberapa macam permainan yang tergolong permaian pasif atau hiburan, diantaranya adalah membaca (membaca merupakan suatu bentuk hiburan), menonton film, mendengarkan radio, mendengarkan musik, dan menonton televisi. (Elizabeth B.Hurlock, hlm. 334) 5.
Fungsi Bermain bagi Perkembangan Peserta Didik Bermain merupakan sarana bagi peserta didik untuk belajar mengenal
lingkungan kehidupannya. Pada saat bermain, peserta didik mencobakan gagasangagasan mereka, bertanya serta mempertanyakan berbagai persoalan, dan memperoleh jawaban atas persoalan-persoalan mereka. Bermain tidak sekedar bermain-main. Bermain memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mengembangkan kemampuan emosional, fisik, sosial dan nalar mereka. Melalui interaksinya dengan permainan, seorang peserta didik belajar meningkatkan toleransi mereka terhadap kondisi yang secara potensial dapat menimbulkan frustrasi. Kegagalan membuat rangkaian sejumlah obyek atau mengkonstruksi suatu bentuk tertentu dapat menyebabkan peserta didik mengalami frustrasi. Dengan mendampingi peserta didik pada saat bermain, pendidik dapat melatih peserta didik untuk belajar bersabar, mengendalikan diri dan tidak cepat putus asa dalam mengkonstruksi sesuatu. Bimbingan yang baik bagi peserta didik mengarahkan peserta didik untuk dapat mengendalikan dirinya kelak di kemudian hari untuk tidak cepat frustrasi dalam menghadapi permasalahan kelak di kemudian hari. Oleh karena itu fungsi bermain secara fisik, dapat memberikan peluang bagi peserta didik untuk mengembangkan kemampuan motoriknya. Permainan seperti dalam olahraga mengembangkan kelenturan, kekuatan serta ketahanan otot pada peserta didik. Permaian dengan kata-kata (mengucapkan kata-kata) Terampil, volume 4 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
merupakan suatu kegiatan melatih otot organ bicara sehingga kelak pengucapan kata-kata menjadi lebih baik. Dan peserta didik juga belajar berinteraksi secara sosial, berlatih untuk saling berbagi dengan orang lain, menignkatkan tolerasi sosial, dan belajar berperan aktif untuk memberikan kontribusi sosial bagi kelompoknya. Dalam hal ini para ahli sepakat bahwa peserta didik harus bermain agar mereka dapat mencapai perkembangan secara optimal. Oleh karena itu kegiatan bermain sambil belajar yang dimaksud adalah pelaksanaan kegiatan di kelas yang tidak semata-mata hanya melakukan kegiatan bermain yang tidak bermakna bagi peserta didik. Melalui kegiatan bermain, diharapkan peserta didik juga bisa mengembangkan segala potensi positif dan pembentukan perilaku yang baik yang ada pada diri mereka. Hoornt et al dalam Takdiroatun Musfiroh bermain memiliki kekuatan untuk menggerakkan perkembanagan peserta didik. Pada masa kpeserta didikkpeserta didik bermain merupakan landasan bagi perkembanagan mereka karena bermain merupakan bagian dari perkembanagan sekaligus sumber energi perkembangan itu sendiri. Melalui bermain peserta didik menemukan, mengembangkan, meniru dan memperaktikan rutinitas sehari-hari. Kesuksesan terhadap usaha ini menaikan perasaan kompetensi mereka dalam membuat keputusan sehari-hari, seperti bermain boneka, menyusun bangun. Menurut Hetherington dan Parke, bermain juga berfungsi untuk mempermudah perkembangan kognitif, sosial peserta didik, (R. Moeslicatoen, hlm. 34). Berdasarkan beberapa teori yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa bermain merupakan suatu kegiatan yang dilakukan dengan atau tanpa menggunakan alat yang menghasilkan pengertian atau memberikan informasi, memberi kesenangan, tanpa ada paksaan ataupun tekanan dari luar, serta mampu mengembangkan berbagai potensi pada peserta didik.
Terampil, volume 4 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
6.
Hasil Belajar Ernst R Hilgard menemukakan, banwa seseorang yang telah mempelajari
sesuatu itu akan tampak didalam perbuatannya, yaitu ia dapat melakukan sesuatu yang belum dapat dilakukannya sebelum dilakukannya proses tersebut. Tetapi perbuatannya itu bukannya perbuatan yang tidak disadari, melainkan disadari sepenuhnya. Lain halnya dengan perubahan tingkah laku yang di sebabkan oleh karena orang itu mabuk, sakit atau gila. (Agus Sujanto, 1996, hlm. 16-17) Bila aktivitas yang menjadi isi proses itu telah selesai dilaksanakan, maka terjadilah kecakapan baru, secara fisis atau secara psikis. Yang secara fisis misalnya menjadi lebih tangkas,terampil, cermat dan sebagainya. Sedangkan spikhis, antara lain lebih cakap berfikir, mudah mereproduksi ingatan, dapat melukiskan isi perasaannya dengan lancar dan sebagainya yang itu semua belum ada pada individu tersebut sebelum terjadinya proses tadi. Langkah terahir dari proses pembelajaran adalah melaksanakan evaluasi atau penilaian terhadap sejauh mana proses pembelajaran dapat mencapai tujuan. Hal ini juga penting sebagai umpan balik dalam melihat tujuan, pengenalan siswa maupun prosedur pembelajaran. Menurut B.S Bloom berdasarkan revisi taksonomi Bloom bentuk perilaku sebagai hasil belajar
digolongkan dalam tiga domain (kognitif, afektif dan
psikomotor). (Sumiati & Asra, 2008, hal 214 – 216). a.
Domain Kognitif Domain kognitif berkenaan dengan perilaku yang berhubungan dengan
berfikir, mengetahui dan pemecahan masalah. Domain ini memiliki tujuh tingkatan antara lain : 1) Knowledge (pengetahuan) 2) Remember (mengingat) 3) Understand (memahami) 4) Apply (terapkan) Terampil, volume 4 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
5) Analyze (teliti) 6) Evaluate (evaluasi) 7) Create (menciptakan). b.
Domain Afektif Domain afektif berkaitan dengan sikap, nilai-nilai, interes, apresiasi
(penghargaan) dan penyesuaian perasaan sosial. Tingkatan afektif ada lima , dari yang sederhana ke yang kompleks. Urutan tingkatan itu dari yang paling rendah adalah: 1) Kemauan menerima (Receiving) 2) Kemauan menanggapi (Responding) 3) Berkeyakinan (Valuing) 4) Penerapan karya (Organization) 5) Ketekunan dan ketelitian (Characterization by a value complex) c.
Domain Psikomotor Domain psikomotor mencakup tujuan berkaitan dengan ketrampilan (skil)
yang bersifat manual atau motorik. Sebagaimana kedua domain yang lain, domain ini juga mempunyai dua tingkatan. Urutan tingkatan dari yang sederhana (terendah) sampai ke yang paling kompleks (tertinggi) adalah sebagai berikut : 1) Apersepsi (Perception) 2) Kesiapan melakukan suatu kegiatan (Set) 3) Mekanisme (Mechanism) 4) Respons terbilang (Guided respon ) 5) Kemahiran (Complex Overt Respons) 6) Adaptasi (Adaptation) 7) Originasi (Origination) Hasil belajar pada hakekatnya merupakan sebuah bentuk rumusan perilaku sebagaimana yang tercantum dalam pembelajaran yaitu tentang penguasaan Terampil, volume 4 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
terhadap materi pembelajaran. Hasil belajar dapat diartikan sebagai taraf kemampuan aktual yang berupa perubahan tingkah laku dalam diri individu yang bersifat terukur yaitu berupa penguasaan ilmu pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dicapai oleh peserta didik sebagai hasil dari apa yang telah dipelajari di sekolah. 7.
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Manusia adalah mahluk sosial yang hidup dalam masyarakat, aktivitas
manusia dalam masyarakat tidak akan terlepas dari aspek ekonomi, politik, sosial budaya dan rohani. Bagi peserta didik untuk mempelajari lingkungannya akan diperoleh dari sekolah melalui pendidikan. Oleh karena itu, untuk lebih memahami aktivitas kehidupan manusia secara lebih mudah dan sistematis diramulah ilmu pengetahuan yang bersumber kepada ilmu-ilmu sosial kedalam Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). IPS merupakan integrasi dari berbagai cabang-cabang ilmu-ilmu sosial seperti sejarah, ekonomi, geografi, sosiologi, antropologi dan disiplin ilmu sosial lainnya. Di Amerika Serikat dikemukakan oleh The Commite on the National Education Association and Reorganization of secondary education in 1916 mendefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari bahan-bahan pokok yang langsung berhubungan dengan tata hubungan masyarakat dan manusia yang menjadi anggota masyarakat. Menurut Nasution (1975) IPS adalah suatu program pendidikan yang merupakan suatu keseluruhan yang pada pokoknya mempersoalkan manusia dalam lingkungan fisiknya maupun dalam lingkungan sosial yang bahannya diambil dari berbagai ilmu sosial seperi geografi, sejarah, ekonomi, antropologi sosiologi, ilmu politik dan psikologi. Dalam GBPP MI (1994) dijelaskan IPS adalah mata pelajaran yang mempelajari kehidupan sosial yang didasarkan pada bahan kajian ekonomi, geografi, sosiologi, antropologi, tatanegara, dan sejarah, (Edi Saepudin , 2002, hlm. 7- 8). Terampil, volume 4 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Calhoun dalam Hasan,1995 mendefinisikan bahwa ilmu – ilmu sosial adalah studi tentang tingkah laku kelompok umat manusia, (Ahmad Yani, 2009, hlm. 2). Artinya semua disiplin ilmu yang mempelajari tingkah laku kelompok umat manusia dimasukkan dalam kelompok ilmu-ilmu sosial. Apa bila ada diplin ilmu yang mempelajri aspek lain dai manusia elain tingkah laku , maka disiplin ilmu itu bukan ilmu-ilmu sosial. Walaupun sejumlah ilmu yang berkembang saat ini seperti geografi, antropologi fisik,dan psikologi (karna perhatian utamanya pada tingkah laku individu bukan kelompok), dan ilmu pendidikan (yang terlalu terpusat pada metodologi) tidak selalu membahas tingkah laku kelompok, tetapi Cal houn mengelompokkan ilmu-ilmu di atas memiliki bagian yang juga memperhatikan tingkah laku kelompok umat manusia. Dilihat dari berbagai definisi yang dikemukakan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa IPS merupakan program pendidikan yang mempelajari tentang hubungan manusia dengan lingkungannya , baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosialnya seperti geografi, sejarah, ekonomi, antropologi, ilmu politik/tata negara dan psikologi. C. KESIMPULAN Proses pembelajaran merupakan inti dari proses pendidikan formal di sekolah yang di dalamnya terjadi interaksi antara berbagai komponen pembelajaran. Proses pembelajaran yang baik akan dapat menciptakan pembelajaran yang berkualiatas dan bermakna. Kegiatan belajar mengajar seperti mengorganisasi pengalaman belajar, mengolah kegiatan belajar mengajar, menilai proses dan hasil belajar kesemuanya termasuk dalam tanggung jawab guru. Mengingat IPS adalah mata pelajaran dengan cakupan luas yang mempelajari kehidupan sosial yang didasarkan pada bahan kajian ekonomi, geografi, sosiologi, antropologi, tatanegara, dan sejarah. Maka pemilihan metode pembelajaran yang tepat merupakan suatu keharusan bagi guru atau tenaga pendidik. Karena metode pembelajaran yang tepat dapat mempengaruhi situasi belajar bagi peserta didik, yang pada akhirnya tentu akan berdampak pada hasil belajar yang diperoleh. Terampil, volume 4 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Salah satu metode pembelajaran yang dapat diimplementasikan dalam proses pembelajaran IPS adalah metode bermain. Takdiroutun Musfirah mengungkapkan bahwa metode bermain adalah metode yang sangat relevan, efektif, dan cocok untuk diterapkan guru dalam proses pembelajaran di sekolah dari segi pengembangan kognitif, psikomorik dan afektif. Kegiatan belajar mengajar dengan menggunakan metode bermain merupakan kegiatan yang di dalamnya siswa terlibat dalam suatu permainan dengan aturan yang mengikat, sehingga kegiatan belajar mengajar masih tetap dalam kendali guru. Bermain merupakan sarana bagi peserta didik untuk belajar mengenal lingkungan kehidupannya. Pada saat bermain, peserta didik mencoba gagasangagasan mereka, bertanya serta mempertanyakan berbagai persoalan, dan memperoleh jawaban atas persoalan-persoalan mereka. Melalui interaksinya dengan permainan, peserta didik belajar meningkatkan toleransi mereka terhadap kondisi yang secara potensial dapat menimbulkan frustrasi. Dengan mendampingi peserta didik pada saat bermain, guru dapat melatih peserta didik untuk belajar bersabar, mengendalikan diri dan tidak cepat putus asa dalam mengkonstruksi sesuatu. DAFTAR PUSTAKA Dra. Sumiati & Asra, M. Ed, Metode Pembelajaran, Bandung: Wacana Prima, 2008. Drs. Syaiful Bahri Djamarah & Drs. Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: Rineka Cipta, 1997. Pupuh Faturrohman, Strategi Belajar Mengajar, Bandung:PT Refika Aditama, 2007. Santrock, John W. Life Span Development, Perkembangan Masa Hidup, Jakarta :Erlangga. 2002. Tadkiroatun Musfiroh, Cerdas melalui bermain (Cara mengasah multiple intelligence pada anak sejak usia dini), Jakarta: Grasindo, 2008. Undang-Undang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional), UU RI N0 20 Tahun 2003, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Ismail, Andang. Education Games, menjadi cerdas dan ceria dengan permainan edukatif, Yogyakarta: Pilar Media, 2007. Elizabeth Hurlock, Perkembangan Anak. Jilid 1, edisi 6, Jakarta: Erlangga, 2002. Terampil, volume 4 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Drs. Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan, Jakarta: Rineka Cipta, 1996. Soemarti Patmonodewo, Pendidikan Anak Prasekolah, Jakarta: Rineka Cipta, 2003. R. Moeslicatoen, Metode Pengajaran Di Taman Kanak-Kanak, Jakarta: Renika Cipta, 2004. Drs, Edi Saepudin, Pedoman Guru Mata Pelajaran Pendidikan IPS di MI, Jakarta: Depag RI Dirjen Kelembagaan Agama Islam, 2002. Drs. Ahmad Yani, M. Si, Pembelajaran IPS Program Peningkatan Kualifikasi Guru, Jakarta: Dirjen Pendidikan Islam, 2009.
Terampil, volume 4 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
PENGARUH METODE MAKE A MATCH DENGAN MEDIA GAMBAR TERHADAP KEMAMPUAN MENGENAL KEKHASAN BANGSA INDONESIA SEPERTI KEBHINEKAAN SISWA KELAS III SDN PURWODADI KEC. KRAS KAB. KEDIRI TAHUN AJARAN 2015 RISKE NURALITA LINGGA DEWI1) ALFI LAILA2) PGD FKIP Universitas Nusantara PGRI Kediri Email:
[email protected]
Abstract The background of this research observations and experiences peneliatian, that teaching Civics in particular in Purwodadi SDN 1 has not been implemented to the maximum. It can be seen from the average grade Civics subjects were lower compared with the other subjects. This is because learning in the classroom is still dominated by the teachers, and less variation of the method and model of applied learning in the classroom teacher. As a result, students tend to be passive in accepting the lessons. The problems of this study are (1) Is the lecture with media images affect the ability to know the diversity of students? (2) Does the method make a match with media images affect the students' ability to recognize the diversity of the class? (3) Are there differences in the effect of a lecture with media images rather than methods of make a match with the media image of the ability of the student Diversity Know? This research uses experimental research technique so that there are two classes, experimental and control. Using a quantitative approach to research subjects third grade students of SDN Purwodadi 1. Data collection techniques in the form of a test, and the instrument be a matter of stuffing. The data analysis technique used is inferential statistics using independent t-test at 5% significance level. Results of the analysis carried out showed the value of t (3.486) and the average value of the control class (73.92) <75 (KKM), while the average value of the experimental class (85.04)> 75 (KKM). That is no effect of the learning model make a match with the media image of the ability to recognize the diversity of third-grade students of SDN Purwodadi I Kediri. Keywords: methods, make a match, media, image, recognize diversity.
Terampil, volume 4 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
24 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
A. PENDAHULUAN Manusia tidak pernah lepas dari pendidikan. Pendidikan memiliki peranan yang penting dalam membentuk sumber daya manusia yang berkualitas. Pendidikan merupakan dasar pembentukan karakter manusia, dengan karakter yang baik dan matang kehidupan manusia akan berjalan baik pula. Dengan pendidikan, manusia akan memiliki wawasan yang luas, hal itu akan memudahkannya dalam bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Menurut UU nomor 20 tahun 2003, pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang di usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Hal senada diungkapkan oleh Daryanto (2012:1): Pendidikan
merupakan
pendewasaan
peserta
didik
agar
dapat
mengembangkan bakat potensi dan keterampilan yang dimiliki dalam menjalani kehidupan. Oleh karena itu sudah seharusnya pendidikan didesain guna memberikan pemahaman dan meningkatkan prestasi belajar peserta didik. Dalam arti sederhana, pendidikan dapat diartikan sebagai proses perubahan sikap dan tingkah laku peserta didik agar dapat mengembangkan segala potensi dan keterampilan yang dimiliki melalui proses belajar mengajar. Pembelajaran merupakan suatu proses atau cara seseorang dalam belajar mengajar. Mohamad Surya dalam Moh. Fauziddin (2011:58) mengemukakan bahwa, belajar dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubahan perilaku baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan kata lain dapat diartikan bahwa belajar merupakan proses perubahan perilaku yang diperoleh melalui pengalaman yang dialami sendiri dan berdasarkan pada lingkungan. Lingkungan yang dimaksud bisa berupa lingkungan sekolah, lingkungan keluarga, dan lingkungan masyarakat. Kegiatan belajar mengajar hendaknya dilakukan secara menarik dan menyenangkan, agar motivasi peserta didik meningkat sehingga mereka giat belajar. Apalagi jika proses belajar ini dilaksanakan pada jenjang sekolah dasar, karena pada dasarnya anak usia sekolah dasar ini memiliki karakteristik yang aktif, tidak bisa diam, dan cenderung mudah bosan. Untuk menciptakan suasana belajar yang menarik dan menyenangkan, dapat dilakukan dengan menggunakan
25 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
metode yang tepat. Dalam proses pembelajaran di kelas, khususnya pada tingkat sekolah dasar, metode pembelajaran akan sangat berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. M. Sobry Sutikno (2014:34) mengartikan metode pembelajaran adalah cara – cara menyajikan materi pelajaran yang dilakukan oleh pendidik agar terjadi proses belajar pada peserta didik dalam upaya untuk mencapai tujuan. Berdasarkan pendapat tersebut dapat diartikan bahwa metode pembelajaran adalah suatu cara yang digunakan guru agar proses pembelajaran dapat berjalan secara efektif dan tujuan pembelajaran dapat tercapai secara optimal. Teori tentang metode belajar yang dapat membuat siswa aktif belajar sehingga dapat meningkatkan hasil belajar ternyata belum terlaksana sepenuhnya. Seperti halnya penemuan yang didapat saat observasi di SDN Purwodadi I dengan wali kelas III-B yaitu Mudjianto, S.Pd. Kegiatan belajar mengajar dilaksanakan dengan menggunakan metode ceramah, yaitu guru menjelaskan materi kepada siswa. Proses pembelajaran diselingi dengan kegiatan tanya jawab tentang materi dengan tujuan agar siswa aktif, namun siswa yang aktif hanyalah beberapa siswa yang memang memiliki peringkat baik di kelas, sedangkan siswa yang lain hanya diam dan mendengarkan. Hal tersebut tentu sangat berpengaruh negatif terhadap hasil belajar siswa. Terbukti pada nilai PKn Semester I yang hanya memiliki ratarata kelas sebesar 78,25. Nilai ini masih dibawah nilai rata-rata pada mata pelajaran lain seperti matematika dan bahasa Indonesia. Hal ini tentu tidak bisa dibiarkan begitu saja, mengingat mata pelajaran PKn merupakan mata pelajaran yang mengajarkan tentang nasionalisme dan merupakan mata pelajaran pembentuk karakter bangsa yang berpancasila. Menurut bapak Mudjianto metode Make a Match sebelumnya belum pernah diterapkan di SDN Purwodadi I, karena selama ini proses pembelajaran selalu menggunakan metode ceramah. Metode Make a Match merupakan sebuah metode mengajar yang bisa membuat siswa aktif di kelas. Penerapan metode ini menggunakan beberapa pasang kartu yang berupa kartu soal dan kartu jawaban, kartu – kartu tersebut diacak, kemudian dibagikan kepada siswa, selanjutnya siswa diminta mencari pasangan kartu yang cocok. Metode pembelajaran Make a Match perlu dicobakan pada kegiatan pembelajaran di kelas, karena dalam pelaksanaannya, siswa secara
26 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
aktif terlibat dalam proses pembelajaran. Miftahul Huda (2014 :253) berpendapat bahwa metode Make a Match Dapat meningkatkan aktifitas belajar siswa, baik secara kognitif maupun fisik. Pengalaman siswa ketika aktif dalam proses pembelajaran dapat menumbuhkan motivasi tersendiri untuk belajar lebih baik sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai secara optimal. Metode pembelajaran Make a Match sangat sesuai jika digunakan dalam mata pelajaran Pkn khususnya pada materi mengenal kekhasan bangsa Indonesia, seperti kebhinekaan yang menjabarkan tentang keberagaman budaya Indonesia. Mengingat budaya Indonesia yang sangat banyak dan beragam, tidak mungkin jika peserta didik dapat menghafal semuanya. Dengan model ini peserta didik akan mencari sendiri budaya-budaya apa saja yang ada di Indonesia, sehingga peserta didik akan memahami dan tentunya akan tertanam di ingatan. Keberhasilan dari penerapan metode pembelajaran Make a Match pernah dibuktikan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Salah satunya adalah Rita Dwi Anggraini, mahasiswi program studi S1 PGSD Universitas Negeri Malang. Pada tahun 2011 Rita melakukan penelitian dengan judul “Penerapan Model Pembelajaran Make A Match Untuk Meningkatkan Hasil Belajar PKn Siswa Kelas III SDN Bareng 5 Kota Malang”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan Metode Make a Match dapat meningkatkan hasil belajar PKn siswa kelas III SDN Bareng 5 Kota Malang. Perolehan rata-rata hasil belajar siswa meningkat, dari rata-rata pretes ke siklus I sebesar 39%, dari siklus I ke siklus II sebesar 31% dengan ketuntasan belajar 89%. Aktivitas belajar siswa juga meningkat dari 54% pada siklus I menjadi 78% pada siklus II, terjadi peningkatan sebesar 24%. Berdasarkan kajian teori dan hasil penelitian terdahulu dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran make a match dapat meningkatkan hasil belajar dan aktivitas belajar siswa di kelas. Sehingga metode Make a Match perlu diujikan pada penelitian ini. Proses pembelajaran yang menarik dan menyenangkan dapat juga dilakukan dengan menggunakan media pembelajaran. Menurut Zainal Aqib (2015:50), media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dan merangsang terjadinya proses belajar pada si pembelajar
27 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
(siswa). Dengan kata lain, media pembelajaran merupakan alat yang digunakan untuk membantu proses pembelajaran agar dapat berjalan dengan maksimal. Namun tidak jarang guru enggan untuk menggunakan media dalam proses pembelajaran. Hal ini disebabkan karena anggapan bahwa menggunakan media itu merepotkan karena harus mempersiapkan terlebih dahulu serta pembuatan media pembelajaran yang sulit. Berdasarkan hasil observasi di sekolah dasar, kegiatan bembelajaran hanya menggunakan buku paket. Saat saya lihat, sebenar nya di dalam buku paket sudah ada media gambar, tetapi masih sangat sedikit dan tidak lengkap. Misalnya dalam materi ada empat sub materi yang harus dipelajari, tetapi gambar yang ada dalam buku hanya satu buah gambar. Tentu saja hal tersebut sangat kurang efektif jika digunakan. Dari permasalahan tersebut, media pembelajaran perlu digunakan dalam proses pembelajaran. Media pembelajaran merupakan alat yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran yang dapat menumbuhkan motivasi belajar siswa sehingga proses belajar dapat berjalan dengan maksimal. Dalam hal ini media yang tepat untuk digunakan adalah media gambar. Pembuatan media gambar sangatlah mudah, sehingga tidak akan merepotkan dan menyita waktu guru. Penggunaan media gambar akan menarik perhatian siswa dan memberikan kejelasan obyek yang diamatinya. Media gambar juga akan mudah diingat siswa, sehingga siswa akan lebih paham dengan materi. Menurut Edgar Dale dalam Daryanto (2012:110), gambar fotografi dapat mengubah tahap – tahap pengajaran, dari lambang kata beralih pada tahapan yang lebih konkret, yaitu lambang visual. Berdasarkan pendapat di atas, sudah sangat jelas bahwa media gambar akan sangat berguna dalam proses pembelajaran. Terutama pada jenjang pendidikan dasar yang menuntut proses pembelajaran dengan hal – hal yang kongkret. Manfaat dari media gambar ini sudah pernah dibuktikan oleh peneliti terdahulu. Salah satunya adalah Agus Budiono, mahasiswa program studi S1 PGSD Universitas Negeri Malang. Pada tahun 2010 Agus budiono melakukan penelitian dengan judul Pemanfaatan media kartu gambar untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa kelas V tentang persebaran flora dan fauna wilayah Indonesia di SDN Kandung, Kecamatan Winongan, Kabupaten Pasuruan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan media kartu gambar flora dan
28 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
fauna dapat meningkatkan hasil belajar IPS siswa kelas V di SDN Kandung. Hal ini ditunjukkan meningkatnya nilai rata-rata hasil belajar siswa,pada pra tindakan 59,39, siklus I 68,9 sedangkan siklus II 88,11. Berdasarkan kajian teori dan hasil penelitian terdahulu dapat disimpulkan bahwa penggunaan media gambar dapat membuat proses pembelajaran menjadi menarik dan lebih kongkrit. Sehingga akan memberi pengaruh positif, yaitu dapat meningkatkan motivasi belajar dan hasil belajar siswa. Maka sangat bagus sekali jika penelitian ini menggunakan media gambar atau kartu gambar. Mata pelajaran PKn merupakan salah satu pelajaran yang diajarkan di sekolah dasar, salah satu materi yang dibahas dalam mata pelajaran PKn adalah mengenal kekhasan bangsa Indonesia, seperti kebhinekaan kekayaan alam, keramahtamahan. Kekhasan bangsa Indonesia mengenai kebhinekaan ini menjabarkan tentang keberagaman budaya Indonesia. Menurut E.B. Tylor dalam Abdul Aziz Wahab (2009:8.3): Kebudayaan itu adalah keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dankemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Melalui proses pembelajaran PKn diharapkan siswa memiliki kemampuan mengenal kekhasan bangsa Indonesia, seperti kebhinekaan. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, kemampuan adalah kesanggupan, kecakapan, kekuatan, kita berusaha dengan diri sendiri. Sehingga melalui pembelajaran ini siswa diharapkan sanggup memahami materi dengan baik melalui usahanya sendiri dan dibimbing oleh guru. Namun pada masa kini banyak sekali budaya asing yang masuk ke Indonesia. Budaya asing tersebut dianggap lebih modern oleh bangsa Indonesia sehingga siswa menganggap budaya Bangsa kita adalah budaya lama yang membosankan. Siswa sangat bangga saat menggunakan budaya asing dan malu saat belajar budayanya sendiri. Hal inilah yang sangat perlu menjadi perhatian. Kebanyakan budaya asing ini tidak sesuai dengan nilai – nilai yang dijunjung tinggi bangsa Indonesia. Budaya asing ini bertolak belakang dengan norma – norma yang sudah lama menjadi kebiasaan bangsa Indonesia. Dikhawatirkan jika hal ini terus berlanjut maka bangsa Indonesia akan kehilangan jati dirinya.
29 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Dari permasalahan di atas, peran guru sangat penting dalam mengenalkan budaya bangsa kepada peserta didik terutama guru sekolah dasar, karena sekolah dasar merupakan akar dari pembentukan kepribadian anak. Di sekolah dasar, guru bukan hanya berperan sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pendidik. Guru merupakan aspek yang sangat penting dalam pembelajaran. Berapa kalipun kurikulum diganti dan diperbarui, jika guru tidak berperan dengan baik maka kurikulum tersebut tidak akan berjalan dan berhasil. Namun tetap harus diperhatikan bahwa peran guru dalam proses pembelajaran bukanlah sebagai pusat pengetahuan yang hanya memberikan pengetahuan kepada siswa dan meminta siswa untuk terus-terusan menghafal materi, tetapi membimbing dan mengarahkan siswa untuk aktif dalam memperoleh pemahaman. Hal ini dikarenakan, jika siswa memahami materi maka dia akan terus mengingatnya dalam jangka waktu yang lama, sedangkan menghafal hanya akan membuat siswa ingat dalam jangka waktu pendek. Pentingnya peran guru pernah dibuktikan oleh para peneliti terdahulu. Reny Yuhana mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang, melakukan penelitian pada Tesisnya tahun 2013 yang berjudul Peran Guru dan Orangtua dalam Mendukung Siswa Memahami Ilmu Pengetahuan Sosial. Penelitian ini menunjukkan bahwa guru aktif dalam usaha membantu siswa memahami materi IPS. Dari masalah dan solusi pemecahan diatas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan siswa dalam mengenal kebhinekaan bangsa Indonesia khususnya pada materi kebudayaan dapat terwujud. Hal ini dapat tercapai jika siswa belajar dengan motivasi yang tinggi, memahami materi dengan baik, serta dengan bimbingan dan pengarahan dari guru. Atas dasar adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan di atas, peneliti akan melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Metode Make A Match Dengan Media Gambar Terhadap Kemampuan Mengenal Kekhasan Bangsa Indonesia Seperti Kebhinekaan Siswa Kelas III SDN Purwodadi 1 Kecamatan Kras Kabupaten Kediri Tahun Ajaran 2015”.
30 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
METODE Keberhasilan pembelajaran dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah kemampuan guru professional dalam menggunakan metode yang tepat dalam kegiatan belajar mengajar. Metode merupakan suatu cara yang digunakan untuk mencapai tujuan. Menurut Wina Sanjaya (2013:147), metode adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal. Penelitian ini menggunakan metode make a match. Metode make a match pertama kali dikembangkan oleh Lorna Curran pada 1994. Model pembelajaran kooperatif tipe make a match adalah metode pembelajaran yang meminta siswa untuk mencari pasangan dengan bantuan sepasang kartu, yaitu satu kartu soal dan satu lagi jawaban. Zainal Aqib (2014:23) mengemukakan bahwa, pada model ini siswa diminta mencari pasangan dari kartu. Semua metode pembelajaran, disiapkan pasti karena memiliki tujuan. Pada dasarnya metode pembelajaran disiapkan dan dikembangkan untuk tujuan memperbaiki dan meningkatkan kualitas proses belajar mengajar. Sama seperti metode pembelajaran yang lain, metode make a match juga memiliki tujuan. Menurut Miftahul Huda (2014:251), Tujuan dari strategi ini antara lain : 1) pendalaman materi; 2) penggalian materi; dan 3) edutainment. Sebenarnya cara melakukan metode pembelajaran ini cukup mudah. Tetapi guru perlu mempersiapkannya terlebih dahulu. Hal – hal yang perlu dipersiapkan antara lain adalah membuat pertanyaan yang sesuai dengan materi kemudian menulisnya pada kartu, membuat jawaban yang sesuai dengan pertanyaan kemudian menulisnya pada kartu (jumlah jawaban sama dengan jumlah pertanyaan), dan membuat aturan permainan.
Langkah – langkah metode make a match. Setiap metode memiliki langkah-langkah yang harus dilakukan agar rencana yang telah dibuat dapat berjalan secara sistematis dan lancar. Miftahul Huda (2014:252), berpendapat bahwa langkah-langkah metode make a match adalah sebagai berikut.
31 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
a) Guru menyampaikan materi atau memberi tugas kepada siswa untuk mempelajari materi di rumah. b) Siswa dibagi menjadi dua kelompok, misalnya kelompok A dan kelompok B. Kedua kelompok diminta untuk berhadap-hadapan. c) Guru membagikan kartu pertanyaan kepada kelompok A dan kartu jawaban kepada kelompok B. d) Guru menyampaikan kepada siswa bahwa mereka harus mencari atau mencocokkan kartu yang dipegang dengan kartu kelompok lain. Guru juga perlu menyampaikan batasan maksimum waktu yang ia berikan keada mereka. e) Guru meminta semua anggota kelompok A untuk mencari pasangan dikelompok B. Jika mereka sudah menemukan pasangan masing-masing, guru meminta mereka melaporkn diri kepadanya. Guru mencatat mereka pada kertas yang sudah dipersiapkan. f) Jika waktu sudah habis, mereka harus diberitahu bahwa waktu sudah habis. Siswa yang belum menemukan pasangan diminta untuk berkumpul tersendiri. g) Guru memanggil satu pasangan untuk presentasi. Pasangan lain dan siswa yang tidak mendapat pasangan memperhatikan dan memberikan tanggapan apakah pasangan itu cocok atau tidak. h) Terakhir guru memberikan konfirmasi tentang kebenaran dan kecocokan pertayaan dan jawaban dari pasangan yang memberikan presentasi. i) Guru memanggil pasangan berikutnya, begitu seterusnya sampai seluruh pasangan melakukan presentasi. Kelebihan metode make a match. Semua metode pembelajaran tentu memiliki kelebihan, begitu juga dengan metode make a match. Kelebihan ini digunakan oleh guru sebagai pertimbangan dalam menerapkan sebuah metode pembelajaran tersebut. Miftahul Huda (2014:253) berpendapat bahwa kelebihan metode make a match antara lain adalah sebagai berikut :
32 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
a) Dapat meningkatkan aktifitas belajar siswa, baik secara kognitif maupun fisik. b) Karena ada unsur permainan, metode ini menyenangkan. c) Meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajari dan dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. d) Efektif sebagai sarana melatih keberanian siswa untuk tampil presentasi. e) Efektif melatih kedisiplinan siswa menghargai waktu untuk belajar. Kelemahan Metode Make a Match Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa setiap metode memiliki kelemahan dan kelebihan masing masing. Adapun kelemahan metode make a match menurut Miftahul Huda (2014:253) sebagai berikut : a) Jika tidak disiapkan dengan baik akan banyak waktu terbuang. b) Pada awal penerapan metode, banyak siswa yang malu berpasangan degan lawan jenis. c) Jika guru tidak mengarahkan dengan baik pada saat presentasi pasangan, aka nada banyak siswa yang tidak memperhatikan. d) Guru harus berhati – hati dalam menentukan hukuan bagi siswa yang tidak menemukan pasangan kartu. e) Penggunaan metode secara terus menerus akan menimbulkan kebosanan. B. PEMBAHASAN Pendekatan
penelitian
ini
menggunakan
pendekatan
kuantitatif.
Penelitian kuantitatif merupakan penelitian yang datanya disajikan dalam bentuk angka. Penelitian ini menggunakan metode penelitian quasi eksperimental design bentuk nonequivalent control group design. Desain ini hampir sama dengan pretest-posttest control group design, hanya pada desain ini kelompok ekperimen maupun kelompok kontrol tidak dipilih secara random. Pada desain ini terdapat dua kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen diberi perlakuan menggunakan metode make a match dengan media kartu gambar,
sedangkan kelompok kontrol diberi perlakuan dengan model
pembelajaran konvensional.
33 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Penelitian ini dilaksanakan SDN Purwodadi I Kabupaten Kediri tahun ajaran 2015. Dengan sasaran penelitian ini diarahkan pada siswa kelas III semester II. Alasan pemilihan lokasi ini karena letaknya yang berada di pedesaan memungkinkan bahwa masih jarang dilakukan penelitian di SD ini sebelumnya. Subyek penelitian ini adalah siswa kelas III-A dan III-B semester II SDN Purwodadi I Kabupaten Kediri tahun ajaran 2015. Kelas III-B sebagai kelas eksperimen yang berjumlah 24 siswa dan kelas III-A sebagai kelas kontrol yang berjumlah 24 siswa. Pada awal pembelajaran, kedua kelas sama-sama diberikan pretest untuk mengetahui bahwa kedua sampel memiliki kemampuan yang sama. Materi PKn yang diajarkan pada penelitian ini
mengenai Kebhinekaan. Selama proses
pembelajaran, siswa siswa ditunjukkan media gambar sebagai alat bantu agar siswa lebih memahami materi. Pada akhir pembelajaran, kedua kelompok diberikan postest yang digunakan untuk mengetahui kelompok mana yang memiliki pemahaman yang lebih baik terhadap materi yang telah disampaikan. Postest yang diberikan berupa soal isian. Sebelum diujikan kepada subyek penelitian, test tersebut diuji cobakan terlebih dahulu kepada siswa kelas IV SDN Sumberagung III Kecamatan Rejotangan Kabupaten Tulungagung yang sebelumnya pada kelas III sudah pernah mendapakan materi tentang Kebhinekaan. Pada test uji coba, soal yang diuji cobakan sebanyak 20 soal. Namun setelah melalui uji instrumen yang meliputi uji validitas dan uji reliabilitas, maka diperoleh 6 soal tidak valid dan 14 soal valid. Uji validitas dan reliabilitas dihitung dengan menggunakan software SPSS 16.0 for windows, (Lampiran 1). Dengan mempertimbangkan waktu yang tersedia untuk mengerjakan soal, peneliti hanya mengambil 10 soal untuk diujikan kepada subyek penelitian. Data penelitian kemampuan mengenal kebhinekaan menggunakan metode ceramah dengan media gambar dan kemampuan mengenal kebhinekaan menggunakan metode make a match dengan media gambar siswa kelas III SDN Purwodadi 1 Kabupaten Kediri Tahun Ajaran 2015 dideskripsikan sebagai berikut:
34 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Tabel 4.1 : Nilai Postest Kelas Kontrol No
Nilai Siswa
Jumlah Siswa
1
50
1
2
55
2
3
59
1
4
64
1
5
68
2
6
71
1
7
72
1
8
73
1
9
77
4
10
80
1
11
81
4
12
82
1
13
85
3
14
90
1
Berdasarkan data yang diperoleh, diketahui bahwa siswa kelas III-A SDN Purwodadi 1 memiliki nilai terendah yaitu 50 dan nilai tertinggi yaitu 90. Tabel 4.2 : Nilai Postest Kelas Eksperimen No
Nilai Siswa
Jumlah Siswa
1
59
1
2
64
1
3
66
1
4
68
1
5
81
2
6
82
5
35 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
No
Nilai Siswa
Jumlah Siswa
7
86
1
8
90
1
9
91
6
10
95
2
11
100
3
Berdasarkan data yang diperoleh, diketahui bahwa siswa di kelas III-B SDN Purwodadi 1 memiliki nilai terendah 59 dan nilai tertinggi 100.
Uji Normalitas Uji normalitas ini dilakukan untuk mengetahui apakah sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas ini dihitung dengan menggunakan software SPSS 16.0 for windows dan hasilnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.3 test of normality Shapiro-Wilk Kelas Statistic
Df
Sig.
Pretest KK
.945
24
.211
KE
.953
24
.311
Berdasarkan output tabel test of normality di atas, digunakan analisis Shapiro-Wilk karena jumlah subyek atau data kurang dari 50. Uji normalitas diperoleh hasil p-value/sig. 0.211 lebih besar dari α = 0.05. Karena 0.211 > 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa sampel kelompok kontrol berasal dari populasi yang berdidtribusi normal. Sedangkan untuk kelompok Eksperimen diperoleh hasil p-value/sig. 0,311 lebih besar dari α = 0.05. Karena 0,311 > 0,05, maka
36 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
dapat disimpulkan bahwa sampel kelompok eksperimen berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Uji Homogenitas Dari
hasil
penghitungan
uji
homogenitas
yang
dihitung
dengan
menggunakan software SPSS 16.0 for windows, diperoleh hasil sebagai berikut. Tabel 4.4 : Test of Homogeneity of Variances Pretest Levene Statistic
df1
.045
df2 1
46
Sig. .832
Berdasarkan output tabel test of homogeneity of variances dapat diketahui p-value/sig. 0,832 lebih dari α = 0,05. Karena 0.832 > 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa kedua data kelompok tersebut memiliki varians yang homogen. Setelah menganalisis data Kemampuan mengenal kebhinekaan siswa kelas III SDN Purwodadi 1 Kabupaten Kediri Tahun Ajaran 2014-2015, diperoleh data sebagai berikut. Tabel 4.5 : Group Statistics
N
Mean
Std. Deviati on
Std. Error Mean
Poste
KK
24
73.92
10.754
2.195
st
KE
24
85.04
11.346
2.316
Setelah memperoleh data dari kelas III-A SDN Purwodadi 1 menggunakan metode ceramah dengan media gambar dan menganalisisnya, diketahui bahwa nilai rata-rata kelasnya yaitu 73.92. Standar deviasinya adalah 10.754 dan standar kesalahan mean 2.195. Sedangkan Setelah memperoleh data dari kelas III-B SDN Purwodadi 1 dengan menggunakan model pembelajaran make a match dengan
37 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
media gambar dan menganalisisnya, diperoleh hasil bahwa nilai rata-rata kelasnya yaitu 85.04. Standar deviasinya adalah 11.346 dan standar kesalahan mean 2.316.
berdasarkan tabel di atas, dari hasil levene’s test didapat p-value = 0,919 lebih besar dari α = 0,05. Karena 0.919 > 0,05 maka dapat diasumsikan kedua varians sama besar (equal variances assumed) terpenuhi. Karena hasil levene’s test di atas menyatakan bahwa asumsi kedua variance sama besar (equal variances assumed) terpenuhi, maka digunakan hasil uji-t dua smpel independent dengan asumsi kedua variance sama untuk hipotesis H0 : µ 1 ≤ µ2 terhadap Ha : µ 1 > µ 2 yang memberikan nilai t = -3.486 dengan derajat kebebasan n1 + n2 – 2 = 24 + 24 – 2 = 46 dan p-value (2-tailed) = 0.001. Karena dilakukan uji hipotesis satu sisi (one tailed) Ha : µ 1 > µ 2 , maka nilai p-value (2 tiled) harus dibagi 2 menjadi 0.001: 2 = 0.005, karena p-value = 0.005 lebih kecil dari α = 0,05, maka H0 : µ 1 ≤ µ 2 ditolak dan Ha diterima, sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan mengenal kebhinekaan siswa menggunakan metode make a match dengan media gambar lebih baik dibandingkan kemampuan mengenal kebhinekaan siswa menggunakan metode ceramah dengan media gambar. Artinya ada pengaruh metode make a match dengan media gambar terhadap kemampuan mengenal kebhinekaan kelas III SDN Purwodadi I Kabupaten Kediri tahun ajaran 2014 – 2015. Berdasarkan hasil analisis data kelas III-A SDN Purwodadi 1 diketahui bahwa kemampuan mengenal kebhinekaan siswa menggunakan metode ceramah
38 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
dengan media gambar siswa kelas III-A SDN Purwodadi 1 nilai rata-ratanya rendah, dapat dibuktikan dengan nilai rata-rata sebesar 73.92 kurang dari KKM mata pelajaran PKn yaitu 75.00. Siswa yang mendapat nilai di atas KKM sebesar 58.3% atau sebanyak 14 siswa. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kemampuan mengenal kebhinekaan siswa kelas III SDN Purwodadi 1 masih rendah dan sesuai dengan hipotesis pertama. Berdasarkan diterimanya hipotesis tersebut, bahwa kemampuan mengenal kebhinekaan siswa kelas III SDN Purwodadi 1 masih rendah, hal ini terjadi karena siswa dalam proses pembelajaran kurang aktif sehingga kegiatan pembelajaran kurang menarik, yang menyebabkan rendahnya motivasi belajar siswa sehingga hasil belajar kurang maksimal. Hal ini sesuai dengan hasil riset dari National Training laboratories di Bethel, Maine (1954), Amerika Serikat dalam Warsono (2012:12), menunjukkan bahwa dalam kelompok pembelajaran berbasis guru (teacher centered learning) mulai dari ceramah, tugas membaca, presentasi guru dengan audiovisual dan bahkan demonstrasi oleh guru, siswa hanya dapat menerima materi pembelajaran maksimal sebesar 30%, pembelajaran dalam metode diskusi yang tidak didominasi oleh guru (bukan diskusi kelas, whole class discussion, dan guru sebagai pemimpin diskusi), siswa dapat mengingat sebanyak 50%. Jika para siswa diberi kesempatan melakukan sesuatu (doing something) mereka dapat mengingat 75%. Praktek pembelajaran belajar dengan cara mengajar (learning by teaching) menyebabkan mereka mampu mengingat 90% materi. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh pepatah kuno dari Cina, Conficius dalam Warsono (2012:4), apa yang saya dengar saya lupakan, apa yang saya lihat saya ingat, apa yang saya lakukan saya pahami. Berdasarkan hasil analisis data kelas III- SDN Purwodadi 1, diketahui bahwa kemampuan mengenal kebhinekaan menggunakan metode make a match dengan media gambar siswa kelas III-B SDN Purwodadi 1 nilai rata-ratanya tinggi, dapat dibuktikan dengan nilai rata-rata sebesar 85.04 lebih dari KKM mata pelajaran PKn yaitu 75.00. Siswa yang mendapat nilai di atas KKM sebesar 83.3% atau sebanyak 20 siswa. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kemampuan mengenal kebhinekaan pada siswa kelas III-B SDN Purwodadi 1 meningkat dan sesuai dengan hipotesis kedua. 39 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Berdasarkan diterimanya hipotesis tersebut, bahwa kemampuan mengenal kebhinekaan pada siswa kelas III-B SDN Purwodadi 1 meningkat, ini terjadi karena dalam kegiatan pembelajaran menggunakan metode pembelajaran yang dapat membuat siswa aktif dan meningkatkan motivasi belajar siswa sehingga tujuan pembelajaran tercapai secara maksimal. Hal ini sesuai dengan Kerucut Pengalaman Edgar Dale dalam Daryanto (2012:15), sebagai berikut Sim bol Radio, Simb Audio ol tape Verb Visua recorder, al l dan Film Televisi gambar Pameran diam Karyawisata Demonstrasi Pengalaman dramatisasi Pengalaman tiruan yang diatur Pengalaman langsung yang bertujuan Kemampuan Mengingat Presentasi Setelah 3 Jam
Setelah 3 Hari
Ceramah
25%
10-20%
Tertulis (Membaca)
72%
10%
Visual dan verbal (Pengajaran memakai ilustrasi)
80%
65%
Partisipatori( Bermain peran, studi kasus, praktik)
90%
70%
Sehubungan dengan kerucut pengalaman di atas, Edgar Dale (1969) dalam Warsono (2012:13), memaparkan hasil penelitiannya yaitu seperti yang tertera pada tabel berikut ini : Tabel 4.7 :Ingatan Terhadap Pembelajaran Dikaitkan Dengan
Jenis Presentasi.
Berdasarkan pada tabel penelitian Edgar Dale, dapat dlihat bahwa kemampuan mengingat dengan metode ceramah setelah tiga jam akan menurun sampai 25%, dengan metode tertulis akan menurun sampai 72%, dengan metode
40 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
visual dan verbal akan menurun sampai 80%, sedangkan dengan metode partisipatori akan menurun sampai 90%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran dengan metode partisipatori akan memberikan hasil yang lebih maksimal daripada metode ceramah, tertulis, visual dan verbal. C. KESIMPULAN Berdasarkan uji hipotesis disimpulkan bahwa “ada pengaruh metode pembelajaran make a match dengan media gambar terhadap kemampuan mengenal kebinekaan siswa kelas III SDN Purwodadi 1 Kabupaten Kediri”, pengaruh yang diberikan adalah pengaruh positif terhadap kemampuan mengenal kebhinekaan siswa. Hal ini dapat dibuktikan dengan meningkatnya nilai rata-rata kelas dari 71.00 menjadi 85,04. Dapat disimpulkan bahwa penelitian yang dilakukan dengan menggunakan metode make a match dengan media gambar dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap hasil belajar, keaktifan, dan motivasi siswa dalam proses belajar. Berdasarkan hasil analisis data, penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Kemampuan mengenal kebhinekaaan menggunakan metode ceramah dengan media gambar pada siswa kelas III SDN Purwodadi
Kecamatan Kras
Kabupaten Kediri Tahun Ajaran 2015 dinyatakan masih dibawah rata-rata. Hal ini dapat dibuktikan dengan nilai rata-ratanya 73.92 terletak dibawah 75.00 (KKM). 2. Kemampuan mengenal kebhinekaaan menggunakan metode make a match dengan media gambar pada siswa kelas III SDN Purwodadi Kecamatan Kras Kabupaten Kediri Tahun Ajaran 2015 dinyatakan sudah di atas rata-rata. Hal ini dapat dibuktikan dengan nilai rata-ratanya 85.04 terletak di atas 75.00 (KKM). 3. Ada pengaruh signifikan metode make a match dengan media gambar terhadap Kemampuan mengenal kebhinekaaan pada siswa kelas III SDN Purwodadi Kecamatan Kras Kabupaten Kediri Tahun Ajaran 2015. Pengaruh tersebut dapat dilihat dari hasil analisis data dengan uji-t dan diperoleh hasil
41 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
bahwa p-value/sig. = 0.01 lebih kecil dari α = 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa p < α, sehingga Ho ditolak dengan taraf signifikan 5% dan Ha diterima. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta. Aqib, Zainal.2014. Model-Model, Media, dan Strategi Pembelajaran Konstekstual. Bandung : Yrama Widya. Daryanto. 2012. Media pembelajaran. Bandung :Satu Nusa. Fauziddin, Mohammad. 2011. Pengantar Pendidikan. Kediri : Universitas Nusantara PGRI Kediri. Huda, Miftahul. 2014. Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Rumpak, Juliu C, dkk. 2007. KBBI. Jakarta : Balai Pustaka Sanjaya, Wina. 2013. Strategi pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta : Kencana. Soenarko, Bambang. 2011. Konsep Dasar Pendidikan Kewarganegaraan. Kediri : Universitas Nusantara PGRI Kediri Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Sutikno, M. Sobry. 2014. Metode & Model-model Pembelajaran. Lombok : Holistica. Trianto. 2011. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka. Wahab, Abdul Aziz. 2009. Konsep Dasar IPS. Jakarta: Universitas Terbuka. Wardoyo, Sigit Mangun.2013.Pembelajaran Konstruktivisme.Bandung: Alfabeta Putra, Sitiatava Rizema. 2013. Desain Belajar Mengajar Kreatif Berbasis Sains. Jogjakarta : Diva Press Warsono, dkk. 2012. Pembelajaran Aktif Teori dan Asesmen.Bandung : Remaja Rosdakarya Arnivia, Baranita. 2012. . Implementasi Model Make A Match pada Mata Pelajaran PKn SD Kelas IV di Kecamatan Durenan Kabupaten Trenggalek. Jurnal Ilmu pendidikan (Online), tersedia : karya-
42 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
ilmiah.um.ac.id/index.php/KSDP/article/view/23483) (Pkn, Diunduh 05 Juni 2014) Anggraini, Rita, Dwi. 2011. Penerapan Model Pembelajaran Make A Match Untuk Meningkatkan Hasil Belajar PKn Siswa Kelas III SDN Bareng 5 Kota Malang. Jurnal Ilmu Pendidikan, (Online), tersedia: library.um.ac.id/ptk/index.php?mod=detail&id=48365 (pkn, diunduh 05 juni 2014. Budiono, Agus. 2010. Pemanfaatan media kartu gambar untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa kelas V tentang persebaran flora dan fauna wilayah Indonesia di SDN Kandung, Kecamatan Winongan, Kabupaten Pasuruan. Jurnal Ilmu Pendidikan, (Online), tersedia : library.um.ac.id/ptk/index.php?mod=detail&id=45968 (IPA, diunduh 28 November 2014) Febryani , Erika. 2014. Penerapan Model Kooperatif Make A Match Untuk Meningkatkan Keaktifan Belajar Dan Hasil Belajar Siswa Pada Materi Bentuk Permukaan Bumi Kelas III di SDN Purworejo 01 Ngantang. Jurnal Ilmu Pendidikan, (Online), tersedia : karyailmiah.um.ac.id/index.php/TEP/article/view/32160 (IPA, Diunduh 2 desember 2014) Kibtiyah, Mariatul.2009. Penerapan model pembelajaran make a match untuk meningkatkan prestasi belajar IPS siswa kelas IV SDN Pandanwangi 2 Kota Malang. Jurnal Ilmu Pendidkan, (Online), tersedia : library.um.ac.id/ptk/index.php?mod=detail&id=37601 (Diunduh 28 November 2014) Yuhana, Reny dkk.2013.Peran Guru dan Orangtua Dalam Mendukung Siswa Memahami Ilmu Pengetahuan Sosial (Studi Kasus di SMP Negeri 4 Madiun). (Online), tersedia : Karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/disertasi/article/view/25235/0 (Diunduh 12 Desember 2014 pukul 08.00)
43 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
PENANAMAN NILAI-NILAI KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH DASAR
NURUL HIDAYAH IAIN RADEN INTAN LAMPUNG Email:
[email protected]
Abstrak Peranan bahasa khususnya bahasa Indonesia bagi anak usia SD/MI sangatlah penting terutama untuk bertutur baik itu lisan maupun tulisan, sehingga mampu membantu anak untuk membentuk karakternya. Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik agar dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan bangsa Indonesia. Dengan adanya dasar tersebut seorang guru harus menyadari, bahwa pembelajaran bahasa Indonesia adalah pembelajaran tentang keterampilan berbahasa bukan pembelajaran tentang ketatabahasaan. Proses pembelajaran yang dilaksanakan, dengan empat aspek keterampilan berbahasa, yaitu bahasa Indonesia yang baik dan benar dengan mengintegrasikan nila-nilai karakter disetiap aspek keterampilan tersebut. Pengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam pembelajaran bahasa Indonesia akan memberikan andil kepada peserta didik dalam bertindak tutur yang memegang nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia. Kata Kunci: Bahasa Indonesia, nila-nilai karakter, dan Sekolah Dasar
A. PENDAHULUAN Bahasa Indonesia merupakan bahasa Nasional dan bahasa Negara. Sebagai bahasa Nasional, berfungsi sebagai lambang kebanggaan nasional, alat pemersatu berbagai suku bangsa dengan latar belakang sosial budaya dan bahasa, pengembang kebudayaan, pengembang ilmu pengetahuan dan teknologi, serta alat perhubungan dalam kepentingan pemerintahan dan kenegaraan. Sebagai bahasa Negara, berfungsi sebagai bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan, pengembang kebudayaan, pengembang ilmu pengetahuan dan teknologi, dan juga sebagai alat perhubungan pemerintah dan kenegaraan. Hal ini diatur dalam UUD 1945 pada pasal 36, yaitu “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”. Mengingat kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia tersebut, peran pendidikan sangat menentukan keterlaksanaannya terutama dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang dibelajarkan kepada peserta didik. Dalam hal ini, guru
44 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
dalam pelaksanaan pembelajaran hendaknya menyadari bahwa dalam pembelajran Bahasa ada penenanaman nilai-nilai karakter terhadap peserta didik. Peserta didik akan tahu bahwa bahasa yang mereka gunakan mencerminkan nilai-nilai sosial budaya luhur bagnsa Indonesia. Sebagaimana yang dikemukan Muslich dan I Gusti Ngurah Oka (2010: 31), bahwa dengan menggunakan Bahasa Indonesia akan dapat diketahui perangai, sifat, dan waka kita sebagai pemakainya. Untuk itu, kita harus menjaganya jangan sampai ciri kepribadian kita tidak mencerminkan nilai-nilai luhur sebagai identitas bangsa Indonesia. Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan manusia karena bahasa merupakan alat komunikasi manusia dalam kehidupan sehari-hari (Iskandarwassid dan Dadang, 2009:226). Bahasa termasuk media komunikasi maka bahasa merupakan cermin kepribadian seseorang artinya melalui bahasa seseorang dapat diketahui kepribadiannya atau karakternya (Pranowo, 2009:3). Dengan demikian, bahasa merupakan salah satu bidang yang memegang peranan penting untuk membentuk karakter seseorang. Karakter seseorang tidak terbentuk dalam hitungan detik namun membutuhkan proses yang panjang dan melalui usaha tertentu. Mulyasa (2011:1) mengungkapkan beberapa contoh usaha untuk membina karakter misalnya anjuran atau suruhan terhadap anak untuk duduk diam, tidak berteriak-teriak agar tidak mengganggu orang lain, bersih badan, rapi pakaian, hormat terhadap orang tua, menyayangi yang muda, menghormati yang tua, menolong teman dan seterusnya merupakan proses membentuk karakter seseorang. Usaha-usaha tersebut dapat terlaksana dengan baik jika dibiasakan sejak dini. Sekolah Dasar (SD) merupakan salah satu lembaga pendidikan yang dekat dengan anak-anak usia dini oleh karena itu sekolah dalam proses penyusunan bahan ajar tiap mata pelajaran perlu mengintegrasikan atau mengembangkan nilai-nilai yang ada dalam pendidikan karakter. Salah satu mata pelajaran yang dapat membantu pembentukan dan pengembangan karakter di SD adalah Bahasa Indonesia. Bahasa indonesia merupakan salah satu mata pelajaran yang mempunyai peranan yang penting dalam dunia pendidikan.
45 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
B. PEMBAHASAN 1. Karaktristik Anak Sekolah Dasar Peserta didik yang berada pada jenjang pendidikan dasar (SD/MI) adalah mereka yang sedang menjalani tahap perkembangan masa kanak-kanak dan memasuki masa remaja awal. Apabila mereka mengakhiri pendidikannya di SD, mereka berada pada tahap perkembangan memasuki masa remaja awal. Pada masa di sekolah dasar peserta didik peserta didik diharapkan memperoleh pengetahuan yang dipandang sangat penting bagi pendidikan jenjang selanjutnya. Oleh karena itu, anak-anak diharapkan dapat mempelajari keterampilan-keterampilan yang ada, yaitu: a. Keterampilan membantu diri sendiri Pada masa ini anak-anak mampu membantu dirinya sendiri untuk menyesuaikan
dirinya
sendiri
untuk
menyesuaikan
diri
terhadap
lingkungannya. Dia mampu memecahkan masalahnya sendiri sehingga ia dapat berintegrasi dengan lingkungannya. b. Keterampilan sosial Pada masa ini anak-anak mampu bersosialisasi baik dengan teman suumurnya maupun dengan orang yang lebih tua/muda darinya. c. Keterampilan sekolah Anak-anak pada masa ini mampu untuk bersekolah, mengikuti pelajaran dan menyerap pelajaran. d. Keterampilan bermain Pada usia anak sekolah dasar, anak-anak mampu bermain maianan untuk usia mereka. (Iskandarwassid dan Dadang (2008: 140)) Masa anak sekolah dasar, peran kelompok sebaya sangat berarti. Ia sangat mendambakan supaya dapat diterima oleh kelompoknya. Baik dalam perilaku maupun dalam mengukapkan jati diri, terutama masalah bahasa, anak cenderung meniru
kelompok
sebayanya.
Iskandarwassid
dan
Danang
(2012:141)
mengemukakan bahwa “anak masa sekolah dasar ini pada umumnya mudah diasuh dan diarahkan dibandingkan dengan masa sebelum dan sesudahnya. Masa ini juga disebut dengan masa intelektual, karena keterbukaan dan keinginan anak untuk terus mendapatkan pengetahuan dan pengalaman”. 46 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
2. Pembelajaran Bahasa Indonesia Pembelajaran bahasa Indonesia merupakan salah satu mata pelajaran penting dalam dunia pendidikan. Secara umum tujuan pembelajaran bahasa Indonesia adalah berikut: (1) peserta didik menghargai dan membanggakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara, (2) peserta didik memahami bahasa Indonesia dari segi bentuk, makna, dan fungsi serta menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk bermacam-macam tujuan, keperluan dan keadaan (3) peserta didik memiliki kemampuan menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan, kematangan emoasional, dan kematangan sosial, (4) peserta didik memiliki disiplin dalam berpikir dan berbahasa (berbicara dan menulis), (5) peserta dan didik mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, (6) peserta didik menghargai dan membanggakan karya sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intektual manusia Indonesia ( BNSP, 2007). Berdasarkan tujuan umum di atas, dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup mata pelajaran bahasa Indonesia di jenjang SD/MI meliputi kebahasaan, kemampuan memahami, mengapresiasi sastra, dan kemampuan menggunakan bahasa Indonesia yang meliputi empat aspek keterampilan bahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Pembelajaran bahasa Indonesia di jenjang pendidikan dasar (SD/MI) dapat diartikan sebagai upaya pendidik untuk mengubah perilaku peserta didik dalam berbahasa Indonesia, perubahan tersebut dapat dicapai apabila pendidik dalam membelajarkan peserta didik sesuai dan sejalan dengan tujuan belajar bahasa Indonesia di SD/MI. Mata pelajaran bahasa Indonesia diberikan dengan maksud mengembangkan kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar. 3. Nilai-nilai Karakter Istilah karakter berasal dari bahasa Yunani charassei yang berarti mengukir hingga terbentuk pola dan ‘to mark’ (menandai). Istilah ini lebih fokus ke arah tindakan atau tingkah laku. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) karakter berarti tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari pada orang lain. Karakter menggambarkan tentang 47 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
pola tingkah laku seseorang yang terbentuk dari sebuah sistem keyakinan dan juga kebiasaan. Dalam istilah watak atau karakter itu terkandung adanya makna sifatsifat yang ada dan melekat pada diri setiap individu. Hal ini dapat dilihat dari pola tingkah laku dan cara berpikirnya. Karakter menurut Mulyasa (2011: 3-4), karakter merupakan sifat alami seseorang dalam merespon situasi secara bermoral yang diwujudkan dalam tindakan nyata melalui perilaku baik, jujur, bertanggung jawab, hormat terhadap orang lain, dan nilai-nilai karakter mulia lainnya. Lebih lanjut ia menyatakan, istilah karakter berkaitan erat dengan personality (kepribadian), seseorang sehingga ia disebut orang yang berkarakter (a person of character). Di tinjau dalam pemikiran Islam, karakter berkaitan dengan iman dan ihsan. Karakter itu dapat dibentuk dan dikembangkan melalui pendidikan nilai. Pendidikan nilai ini akan membawa kepada pengetahuan nilai, selanjutnya pengetahuan nilai akan membawa ke dalam proses internalisasi nilai tersebut. Pada proses internaliasasi nilai inilah akan mendorong seseorang mewujudkannya dalam bentuk tingkah laku dan akhirnya terjadi pengulangan yang sama pada tingkah laku tersebut. Hal inilah yang menghasilkan karakter atau watak seseorang. Pada sisi lain, nilai-nilai karakter yang dianut oleh sesorang tidak terlepas dari faktor budaya, pendidikan dan agama, di samping faktor keluarga dan masyarakat yang dapat mempengaruhinya. Menurut Azra (2012), faktor agama, budaya dan pendidikan sangat berhubungan erat dengan nilai-nilai yang sangat penting bagi manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Budaya atau kebudayaan umumnya mencakup nilai-nilai luhur yang secara tradisional menjadi panutan bagi masyarakat. Pendidikan selain mencakup proses transfer dan transmissi ilmu pengetahuan— juga merupakan proses sangat strategis dalam menanamkan nilai dalam rangka pembudayaan anak manusia. Sementara itu, agama juga mengandung ajaran tentang berbagai nilai luhur dan mulia bagi manusia untuk mencapai harkat kemanusiaan dan kebudayaannya. Pendidikan karakter mempunyai tujuan penanaman nilai dalam diri peserta didik dan pembaharuan dalam tata kehidupan bersama yang lebih menghargai
48 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
kebebasan individu. Hasil pendidikan yang diharapkan, yaitu pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta secara utuh dan terpadu. Menurut Hasan (2010: 9-10), nilai-nilai karakter yang terindentifikasi dari sumber-sumber pendidikan karekter sebagai berikut: Nilai dan Deskripsi Nilai Karakter No 1
Nilai Religius
2
Jujur
3
Toleransi
4
Disiplin
5
Kerja Keras
6
Kreatif
7
Mandiri
8
Demokrastis
9
Rasa Ingin Tahu
10
Semangat Kebangsaan
11
Cinta Tanah Air
12
Menghargai Prestasi
13
Bersahabat/ Komunikatif Cinta Damai
14 15
Gemar Membaca
Deskripsi Sikap dan prilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran yang dianutnya, toleransi terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Perilaku yang berdasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tidakan, dan pekerjaan. Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya Tindakan yang menunjukan perilaku tertib dan patuh pada berbagai peraturan Perilaku yang menunjukan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi hambatan belajar dan tugas serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugasnya Cara berpikir, bersikap, dan betindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat dan didengar Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan kelompoknya Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukan kesetiaan, kepedulian, dan pengahrgaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan, fisik, sosial, budaya, ekonomo, dan politik bangsa Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat serta mengakui dan menghormati keberhasilan orang lain Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain, Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan kepada dirinya
49 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
16
Peduli Lingkungan
17
Peduli Sosial
18
Tanggung Jawab
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan Sikap dan tindakan seseorang untuk melaksnakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya) negara dan Tuhan Yang Maha Esa
Ratna Megawangi (dalam Darma Kesuma, 2012:14) mengemukakan ada sembilan karakter positif yang akan menjadi target dalam program pembelajaran yang disesuaikan dengan tahap perkembangan anak. Sembilan karakter ini yang harus ditumbuhkan dalam diri anak sehingga dapat terwujud, yaitu: Nilai-nilai Karakter yang Perlu Ditanamkan Pada Anak Menurut Indonesia Heritage Foundation (IHF) No
Karakter
1
Cinta Allah, dengan segenap ciptaan-Nya (love Allah, trust, reverence, loyalty)
2
Kemandirian, tanggung jawab (responsibility, excellence, self reliance, discipline, orderliness)
3
Kejujuran, bijaksanan (trustworthiness, reliability, honesty)
4
Hormat, santun (respect, courtesy, obedience)
5
Dermawan, suka menolong, gotong royong (love, compassion, caring, emphaty, generousity, moderation, cooperation)
6
Percaya diri, kreatif, bekerja keras (confidence, assertiveness, creativity, resourcefulness, courage, determination and enthusiasim)
7
Kepemimpinan, keadilan (justice, fairness, mercy, leadership)
8
Baik hati, rendah hati (kindness, friendliness, humility, modesty)
9
Toleransi, kedamaian (tolerance, flexibility, peacefulness, unity) Dari beberapa pendapat di atas, nilai-nilai karakter yang didapat adalah hasil
dari refleksi terhadap perjalanan bangsa Indonesia dari waktu ke waktu. Untuk keberhasilan mengembangkan nilai-nilai karakter pada peserta didik, sekolah perlu mengembangkan dan membudayakanya dengan melibatkan semua komponen yang ada, termasuk mengintegrasikan dalam setiap mata pelajaran.
50 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
4. Prinsip Penanaman Nilai-nilai Karakter Menurut Lickona, Schaps dan Lewis (2003), bahwa pendidikan karakter harus didasarkan pada sebelas prinsip berikut: a. Mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter b. Mengidentifikasi karakter secara komprehensif supaya mencakup pemikiran, perasaan dan perilaku, c. Menggunakan pendekatan tajam, proaktif dan efektif untuk membangun karakter, d. Menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian e. Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan perilaku yang baik, f. Memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang yang menghargai semua pserta didik, membangun karakter mereka dan membantu mmereka untuk meraih sukses, g. Mengusahakan tumbuhanya motovasi diri pada peserta didik, h. Memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter dan setia pada nilai dasar yang sama, i. Adanya pembagian kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam membangun inisiatif pendidikan karakter, j. Memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membangun karakter, k. Mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru karakter, dan menifestasi karakter positif dalam kehidupan peserta didik. Selanjutnya, menurut Kemendiknas (dalam Asep: 2012), prinsip-prinsip yang dapat digunakan dalam pengembangan pendidikan nilai-nilai karakter pada peserta didik adalah: 1) Berkelanjutan,
yang
berarti
berarti
bahwa
proses
penanaman
dan
pengembangan nilai-nilai karakter sisiwa berlangsung secara kesinambungan, melalui proses yang panjang. 2) Melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah, hal ini mensyaratkan bahwa proses penanaman dan pengembangan nilai-nilai
51 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
karakter siswa yang terintegrasi dengan setiap mata pelajaran, danb dalam setiap kegiatan kurikuler. 3) Nilai tidak diajarkan tetapi dikembangkan, mengandung makna bahwa materi pendidikan karakter bukanlah bahan ajar biasa, artinya nilai-nilai itu tidak dijadikan pokok bahasan yang dikemukakan seperti halnya ketika mengajarkan suatu konsep. Tetapi dengan materi yang sudah ada dijadikan media dalam mengembangkan nilai-nilai karakter dan budaya bangsa. 4) Proses pendidikan dilakukan siswa secara aktif dan menyenangkan, prinsip ini, menunjukkan bahwa siswa sebagai subjek utama yang secara aktif dan rasa senang mengetahui, mengali, membiasakan, menyakini, melakukan dan mempertahankan karakter yang sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa. Kedudukan guru mempunyai peranan penting sebagai pendorong bagi keberhasilan pendidikan karakter. Karakteristik anak usia sekolah dasar adalah senang melakukan kegiatan manipultif, ingin serba konkret, dan terpadu. Berdasarkan karakteristik itu, maka pendekatan atau model pembelajaran yang diasumsikan cocok bagi peserta didik usia sekolah dasar adalah model pembelajaran yang didasarkan pada interaksi sosial dan pribadi. Penyajian bahan atau pokok-pokok pembahasaan yang diberikan pada anak sekolah dasar didasarkan pada prinsip: (1) dari muda ke sukar; (2) dari sederhana ke rumit; (3 dari yang bersifat konkret
ke abstark; (4) menekankan pada
lingkungan yang paling dekat dengan anak sampai pada lingkungan ke masyarakatan yang lebih luas (Aziz Wahab, dalam Zaim Emmubarok, 2008: 58) 5. Penanaman Nilai-nilai Karakter Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Upaya menanamkan pendidikan karakter pada anak didik dapat dilakukan melalui pembelajaran Bahasa Indonesia. Penanaman nilai-nilai karakter dalam mata pelajaran, sasaran integrasinya adalah materi pelajaran, prosedur penyampaian, serta yang paling penting adalah pemaknaan pengalaman belajar para peserta didik. Cerminan nilai-nilai karakter dalam pembelajaran Bahasa Indonesia dapat diwujudkan jika guru memahami bahwa pembelajaran Bahasa Indonesia yang dberikan guru dalam rangka melatih keterampilan berbahasa peserta didik baik secara lisan maupun tertulis yang sesuai dengan fungsinya. 52 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Namun kenyataan yang ada, guru sering terjebak dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang lebih menekankan tentang teori kebahasaan. Sebagaimana yang dikemukakan Slamet (2007: 6), bahwa pengajaran bahasa Indonesia adalah pengajaran keterampilan berbahasa bukan pengajaran tentang kebahasaan. Teoriteori bahasa hanya sebagai pendukung atau penjelas dalam konteks, yaitu yang berkaitan dengan keterampilan tertentu yang tengah diajarkan. Untuk itu, proses pembelajaran Bahasa Indonesia sebagimana yang dituangkan dalam Standar Isi mata pelajaran Bahasa Indonesia (Mendiknas, 2006: 232) menekankan sebagai berikut. a. Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis, b. Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara, c. Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan, d. Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial, e. Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, f. Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Mengingat kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia, peran pendidikan sangat menentukan keterlaksanaannya terutama dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang dibelajarkan kepada peserta didik. Dalam hal ini, guru dalam pelaksanaan pembelajaran hendaknya menyadari bahwa dalam pembelajran Bahasa dapat ditanamkan nilai-nilai karakter terhadap peserta didik. Peserta didik akan tahu bahwa Bahasa yang mereka gunakan mencerminkan nilai-nilai sosial budaya luhur bangsa Indonesia. Sebagaimana yang dikemukakan Muslich dan I Gusti Ngurah Oka (2010: 31), bahwa dengan menggunakan Bahasa Indonesia akan dapat diketahui perangai, sifat, dan watak kita sebagai pemakainya. Untuk itu, kita harus menjaganya jangan sampai ciri kepribadian kita tidak
53 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
mencerminkan nilai-nilai luhur sebagai
identitas bangsa Indonesia..Nilai
pembelajaran bahasa Indonesia yang diharapkan dalam komponen kemampuan berbahasa dan bersastra peserta didik, meliputi empat keterampilan berbahasa, yaitu mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. Setiap keterampilan tersebut memiliki keterkaitan dengan yang lainnya. Melalui empat komponen keterampilan berbahasa tersebut, guru membelajarkannya dengan mengintegrasikan nilai-nilai karakter (sosial budaya) luhur bangsa Indonesia. Untuk mencapai tujuan di atas, pembelajaran bahasa harus mengetahui prinsip-prinsip belajar bahasa yang kemudian diwujudkan dalam kegiatan pembelajarannya, serta menjadikan aspek-aspek tersebut sebagai petunjuk dalam kegiatan pembelajarannya. Prinsip-prinsip belajar bahasa dapat disarikan sebagai berikut. Pembelajar akan belajar bahasa dengan baik bila: (1) diperlakukan sebagai individu yang memiliki kebutuhan dan minat, (2) diberi kesempatan berapstisipasi dalam penggunaan bahasa secara komunikatif dalam berbagai macam aktivitas, (3) bila ia secara sengaja memfokuskan pembelajarannya kepada bentuk, keterampilan, dan strategi untuk mendukung proses pemerolehan bahasa, (4) ia disebarkan dalam data sosiokultural dan pengalaman langsung dengan budaya menjadi bagian dari bahasa sasaran, (5) jika menyadari akan peran dan hakikat bahasa dan budaya, (6) jika diberi umpan balik yang tepat menyangkut kemajuan mereka, dan (7) jika diberi kesempatan untuk mengatur pembelajaran mereka sendiri (Aminuddin, 1994). Sebagai lambang kebanggan nasional, bahasa Indonesia “memancarkan” nilai-nilai sosial budaya luhur bangsa Indonesia. Dengan keluhuran nilai yang dicerminkan bangsa Indonesia, kita harus bangga dengannya; menjunjung tinggi; dan harus mempertahannya. Sebagai realisasi kebanggaan kita terhadap bahasa Indonesia, kita harus memakainya tanpa ada rasa rendah diri, malu, dan acuh tak acuh. Kita harus bangga memakainya dengan memelihara dan memakainya (Muslich, 2010: 6). Dari teori di atas, dapat kita simpulkan bahwa penanaman nilai-nilai karakter dapat dimulai dengan membrikan pemahaman kepada peserta didik bahwa bahasa Indonesia merupakan jati diri bangsa yang harus terus dipelihara
54 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
dan dipertahankan. Bahasa Indonesia menjadi ciri budaya yang dapat diandalkan ditengah-tengah pergaulan antarbangsa pada era globaliasasi saat ini. Selanjutnya, peserta didik diharapkan mengalami perkembangan intelektual, sosial dan emosional serta mampu mengenal budayanya dan budaya orang lain sebagai wujud dari sebuah karakter. Maka dari itu, empat keterampilan pada bahasa Indonesia merupakan keterampilan bahasa yang dapat membantu perkembangan siswa tersebut. Oleh karena itu, dalam pembelajaran bahasa Indonesia guru dituntut untuk mengintegrasikan nilai-nilai hidup yang bermakna dalam membantu peserta didik untuk bertumbuh dan berkembang secara utuh dan menjadi warga negara yang kreatif dan bijaksana dalam kehidupan bersama. Nilai-nilai karakter yang diharapkan dapat ditanamkan kepada peserta didik melalui mata pelajaran bahasa Indonesia untuk sekolah dasar adalah sebagai berikut : 1. Religius 2. Jujur 3. Tolerasi 4. Tanggung jawab 5. Disiplin 6. Kerja keras 7. Mandiri 8. Kretif 9. Semangat kebangsaan 10. Demokratis 11. Rasa ingin tahu 12. Cinta tanah air 13. Menghargai prestasi 14. Terbuka 15. Bersahabat/komukatif Peranan mata pelajaran khususnya bahasa Indonesia bagi anak usia SD sangatlah penting terutama untuk bertutur baik itu lisan maupun tulisan, sehingga mampu membantu anak untuk membentuk karakternya. Pranowo (2009:8) mengungkapkan bahwa berbahasa secara baik, benar dan santun dapat menjadi 55 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
kebiasaan yang dapat membentuk pribadi seseorang menjadi lebih baik. Pentingnya bahasa dalam membentuk dan mengembangkan karakter terungkap juga dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Kurikulum 2013. Dalam Kurikulum 2013, mengungkapkan bahwa mata pelajaran bahasa Indonesia memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik serta merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi, sehingga pembelajaran bahasa Indonesia diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya dan budaya orang lain (Depdiknas, 2013). Slamet (2007:7) menyatakan, penekanan utama dalam pembelajaran dengan pendekatan komunikatif adalah mengaitkan keterampilan peserta didik untuk berkomunikasi dengan bahasa. Bahasa diajarkan sebagaimana yang digunakan dalam berkomunikasi. Pengetahuan bahasa (tata bahasa dan kosa kata) bukan merupakan tujuan pencapaian berbahasa. Pertama-tama yang ditekankan adalah kemampuan komunikatif. Dengan kemampuan komunikatif tersebut, peserta didik dengan sendirinya mencerminkan nilai-nilai karakter yang dianutnya sebagai makhluk sosial dan makhluk berbudaya. Peserta didik harus bertanggung jawab atas apa yang mereka pikirkan, sehingga mereka harus mengerti bagaimana berfikir dan bertindak secara intelektual yang dapat dipertanggung jawabkan. Untuk mencapai pola pikir tersebut, perlu adanya proses penanaman nilai-nila karakter sebagai penetu jati diri peserta didik, yaitu salah satunya adalah melalui mata pelajaran bahasa Indonesia. C. KESIMPULAN Pendidikan karakter sebagai suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter bagi
peserta
didik
perlu
terus
dilakukan
dengan
lebih
intensif
dan
berkesinambungan dalam semua mata pelajaran. Dalam pembelajaran bahasa yang dilaksanakan guru diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imaginatif yang ada dalam dirinya. Dalam Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk
56 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia. Adanya dasar tersebut seorang guru harus menyadari, bahwa pembelajaran Bahasa Indonesia adalah pembelajaran tentang keterampilan berbahasa bukan pembelajaran tentang kebahasaan. Proses pembelajaran yang dilaksanakan, dengan empat aspek keterampilan berbahasa, yaitu bahasa Indonesia yang baik dan
benar
dengan
mengintegrasikan
nila-nilai
karakter
disetiap
aspek
keterampilan tersebut. Pengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam pembelajaran bahasa Indonesia akan memberikan andil kepada peserta didik dalam bertindak tutur yang memegang nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Asep Saepulrahman dkk, Pengaruh Budaya Sekolah terhadap Pendidikan Karakter di SD Desa Sukajadi Kecamatan Pamarican Kabupaten Ciamis. (Bandung, Hasil Penelitian, UPI) Azra,
Azyumar. (2012). Pendidikan Karakter Teguhkan Pribadi Bangsa. Makalah. Disajikan di UNNES Semarang, Minggu 23 September 2012.
Kesuma, Dharma dkk, (2012), Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktik di Sekolah, Bandung: Remaja Rosdakarya. Depdiknas, 2003, Undang-undang No. 20 tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional, http://www.depdiknas.go.id Hasan dkk, 2010. Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-nilai Budaya Untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa, Jakarta: Kemendiknas http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/08/20/pendidikan-karakter-di-smp/ http://www.kompasiana.com/domingos/bahasa-sebagai-sarana-pembentukankarakter_552a5ce8f17e615801d623b9 Iskandarwassid dan Dadang Sunendar, (2008), Strayegi Pembelajaran Bahasa, Bandung: Remaja Rosdakarya Lickona, T., Schaps, E, & Lewis, C. 2003. CEP’s Eleven Principles of Effective character Education. Washington, DC: Character Education Partnership.
57 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Mulyasa. (2011). Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: Bumi Aksara. Muslich, Masnur dan I gusti Ngurah Oka. (2010). Perencanaan Bahasa pada Era Globalisasi. Jakarta: Bumi Aksra. ....................., (2010) Bahasa Indonesia Pada Era Globalisasi,Kedudukan, fungsi, Pembinaan, dan Pengetahuan, Jakarta: Bumi Aksara. .....................,(2011). Pendidikan Karakter: Multidimensi. Jakarta: Bumi Aksara.
Menjawab
Tantangan
Krisis
Slamet, St. Y.(2007). Dasar-Dasar Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah Dasar. Surakarta: LPP UNS dan UPT. Zaim Elmubarok,(2008), Membumikan Pendidikan Nilai, Bandung: Alfabeta.
58 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF KURIKULUM HUMANISTIK (Studi Kasus di Sekolah Dasar Muhammadiyah Karangbendo Bantul) REKA MISWANTO IAIN RADEN INTAN LAMPUNG
Abstract Curriculum is all experience planned by the school to assist students in achieving the learning outcomes to the ability of most excellent students, the curriculum has a very vital role to realize the goal of education in creating a generation that is useful for the country. Curriculum development has many parties involved in this case because it is so large role in education, in the perspective of humanistic curriculum there are several criteria are used as guidelines to develop the curriculum such as: integralistic, the role of the teacher is not authoritative, cooperative learning and evaluation that has no achievement criteria. Key words: Curriculum, Curriculum Development, Curriculum Humanistic A. PENDAHULUAN Belakangan ini kita sempat dihebohkan dengan surat keputusan menteri pendidikan dan kebudayaan yang memerintahkan untuk menghentikan Kurikulum 2013 secara mendadak dengan b erbagai alasan. Seperti kita ketahui Kurikulum 2013 ini telah diterapkan di 6.221 sekolah sejak tahun pelajaran 2013/2014 dan di seluruh tanah air pada tahun 2014/2015 (Kompas, 8 Desember 2014). Yang menarik dalam surat edaran tersebut tepatnya pada akhir tulisan dikatakan bahwa “kunci untuk pengembangan kualitas pendidikan adalah pada guru. Kita tidak boleh memandang bahwa pergantian kurikulum secara otomatis akan meningkatkan kualitas pendidikan. Bagaimanapun juga di tangan gurulah proses peningkatan itu bisa terjadi dan di tangan kepala sekolah yang baik dapat terjadi peningkatan kualitas ekosistem pendidikan di sekolah”. Penulis sepakat bahwa peningkatan mutu pendidikan sangat tergantung pada kepala sekolah dan para guru, karena ditangan merekalah proses pendidikan itu terlaksana, akan tetapi semua itu tidak bisa berjalan tanpa adanya perencanaan
59 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
pembelajaran yang baik atau dalam kata lain kurikulum pendidikan yang baik. Hal ini dapat kita pahami karena kurikulum merupakan instrumen penting dalam penyelenggaraan pendidikan, tanpa adanya kurikulum pendidikan akan menjadi tidak jelas arah dan tujuannya. Menyikapi hal ini Zainal Arifin mengatakan: “jika kita ingin membangun suatu bangsa maka pertama kali yang dibangun adalah sistem pendidikannya, dan jika ingin membangun pendidikan maka yang pertama kali dibangun adalah sistem kurikulumnya”( Zainal Arifin, 2012: 3). Dengan kata lain kurikulum dapat diartikan sebagai mesinnya pendidikan yang mengolah bahan baku (input) menjadi bahan siap pakai (output) ( Suharsimi Arikunto, 1996: 3-4). Maka dari itu sudah semestinya sebagai salah satu mesin pemroses bahan baku tersebut, kurikulum terus mengalami perubahan dan pengembangan sesuai kebutuhan lapangan yang disesuaikan dengan
kondisi
daerah otonom. Pengembangan kurikulum dapat didasari oleh beberapa pembaharuan tertentu, misalnya penemuan teori belajar yang baru atau perubahan tuntutan masyarakat terhadap sekolah. Sehingga dengan ini kurikulum mampu merealisasikan perkembangan zaman sebagai dampak dari kemajuan iptek, globalisasi, tuntutan sejarah masa lalu, perbedaan latar belakang murid, nilai-nilai filosofi masyarakat, agama atau golongan tertentu serta tuntutan etnis kultural tertentu (Oemar Hamalik, 2010: 46). Mujamil Qomar memberi sedikit opini, ada tiga pandangan yang berbeda mengenai hubungan antara “perubahan” dan “pembaruan” dalam konteks pendidikan. Yang pertama menyebutkan bahwa kedua hal tersebut (perubahan dan pembaruan) berbeda, Kedua menyatakan bahwa keduanya adalah sama dan semakna, ketiga pembaruan adalah salah satu dari arah perubahan. menurut pandangan yang ketiga ini, perubahan dapat mengarah kepada kemajuan dan kemunduran (Mujamil Qomar, 2010: 214-115). Secara historis pembaruan dalam pendidikan sudah ada sejak masa rosul sampai dengan saat ini, pembaruan tersebut tidak terlepas dari respon dan realitas dan kebutuhan yang terus bergerak, termasuk pada tuntutan modernitas dan pengembangan kelembagaan. Lebih lanjut Oemar Hamalik menjelaskan bahwa pengembangan kurikulum pendidikan hendaknya didasarkan pada kerangka
60 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
umum yang dirumuskan dalam rangka pengembangan kurikulum, yakni berupa asumsi pengembangan kurikulum, tujuan pengembangan kurikulum,
penilaian
kebutuhan, konten kurikulum, sumber materi kurikulum, implementasi kurikulum, evaluasi kurikulum, dan hal-hal yang didasari pada kebutuhan masyarakat di masa mendatang (Oemar Hamalik, 2008: 185). Berkaitan dengan itu ada salah satu model kurikulum, yaitu kurikulum humanistik yang pada intinya kurikulum humanistik menitikberatkan kepada pendidikan yang integratif, antara aspek afektif (emosi, sikap dan nilai) dengan aspek kognitif (pengetahuan dan kecakapan intelektual) atau menambahkan aspek emosional kedalam kurikulum yang berorientasi pada subject matter (mata pelajaran) (Hamid Syarif, 1993: 22) Dalam
hal
ini
penulis
ingin
mendapatkan
gambaran
tentang
pengembangan kurikulum pendidikan di sekolah dasar Muhammadiyah Karangbendo melalui pendekatan kurikulum humanistik.
B. PEMBAHASAN 1.
Pengertian kurikulum Secara etimologis kurikulum berasal dari bahasa Yunani, Curerer yaitu
pelari, dan Curere yang berarti tempat berlari. Pada awalnya kurikulum merupakan jarak yang harus ditempuh oleh pelari mulai dari garis start sampai dengan finish. Pandangan tradisional merumuskan bahwa kurikulum merupakan sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh murid untuk memperoleh ijazah.( Oemar Hamalik , 2008: 4). Di Indonesia istilah kurikulum boleh dikatakan baru menjadi populer sejak tahun lima puluhan, yang dipopulerkan oleh mereka yang memperoleh pendidikan di Amerika Serikat. Orang-orang pendidikan sebelumnya menggunakan istilah rencana pelajaran (S. Nasution, 2006: 2). Sedangkan menurut Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana, pengaturan mengenai isi, bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (UU no 20, 2006: 60).
61 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Dalam bahasa Arab, kurikulum biasanya diartikan dengan istilah Manhaj yang berarti jalan terang yang dilalui manusia di berbagai bidang kehidupan, sedangkan kurikulum pendidikan dalam kamus tarbiyah adalah seperangkat perencanaan serta media yang dijadikan acuan oleh lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan pendidikan (Hasan Langgulung, 1986: 165). Kurikulum sebenarnya mempunyai pengertian yang cukup kompleks, bahkan saat ini definisi kurikulum semakin berkembang, sehingga yang dimaksud kurikulum tidak hanya gagasan pendidikan akan tetapi juga seluruh program pembelajaran yang terencana dari suatu institusi pendidikan termasuk di dalamnya. Dari beberapa pendapat di atas penulis dapat menyimpulakan bahwa, yang di maksud dengan kurikulum adalah sebuah perangkat pengaturan mengenai isi, bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu dengan memperhatikan media yang dijadikan acuan oleh lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan pendidikan agar siswa mendapatkan ijzasah pada akhir tahun pendidikanya. 2. Kurikulum Humanistik Kurikulum humanistik adalah sebuah pendekatan pendidikan yang mengacu
pada
filosofis
belajar
humanisme.
Yaitu
pendidikan
yang
memandang bahwa belajar bukan sekedar pengembangan kualitas kognitif saja, melainkan juga sebuah
proses
yang
terjadi
dalam
diri
individu
yang
melibatkan seluruh domain yang ada (kognitif, afektif dan pskomotorik). Sehingga dalam proses pembelajarannya nilai-nilai kemanusiaan yang ada dalam diri peserta didik mendapat perhatian untuk dikembangkan. Menurut teori pendidikan humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil
jika si
pelajar memahami
lingkungannya dan dirinya sendiri. Peserta didik dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat-laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaikbaiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang
pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya. Pendidikan 62
Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
humanistik dalam pandangan Islam adalah pendidikan yang memandang manusia sebagai manusia, yakni makhluk hidup ciptaan Allah dengan fitrah-fitrah tertentu untuk dikembangkan secara maksimal dan optimal (Baharuddin, dan Moh. Makin, 2007: 23). Teori humanistik muncul pada pertengahan yakni pada abad ke-20 sebagai reaksi terhadap teori psikodinamik dan behavioristik. Para teoretikus humanistik, seperti Carl Rogers (1902-1987) dan Abraham Maslow (1908-1970) meyakini bahwa tingkah laku manusia tidak dapat dijelaskan sebagai hasil dari konflikkonflik yang tidak disadari maupun sebagai hasil pengondisian (conditioning) yang sederhana. Teori ini menyiratkan penolakan terhadap pendapat bahwa tingkah laku manusia semata-mata ditentukan oleh faktor di luar dirinya. Sebaliknya, teori ini melihat manusia sebagai aktor dalam drama kehidupan, bukan reaktor terhadap insting atau tekanan lingkungan. Teori ini berfokus pada pentingnya pengalaman yang bersifat subjektif dan self-directio (Desmita, 2011: 45). Pendidikan humanistik merupakan model pendidikan yang berorientasi dan memandang manusia sebagai manusia (humanisasi), yakni makhluk ciptaan Tuhan dengan fitrahnya. Maka manusia sebagai makhluk hidup, ia harus mampu melangsungkan, mempertahankan, dan mengembangkan hidupnya. Maka posisi pendidikan dapat membangun proses humanisasi, artinya menghargai hak-hak asasi manusia, seperti hak untuk berlaku dan diperlakukan dengan adil, hak untuk menyuarakan kebenaran, hak untuk berbuat kasih sayang, dan lain sebagainya. Dalam pendidikan humanis juga ditekankan bagaimana peserta didik dapat memperluas kesadaran diri dan mengurangi kerenggangan dan keterasingan dari lingkungan, ini semua merupakan sebuah solusi dari semakin jauhnya pendidikan dari realitas sosial, oleh karena itu pendidikan humanis berusaha untuk mengembalikan pendidikan kepada realitas sosila dengan menanamkan nilai- nilai sosial dalam proses pendidikan. Jadi berdasarkan teori humanisik, fungsi kurikulum adalah menyiapkan peserta didik dengan berbagai pengalaman naluriah yang sangat berperan dalam perkembangan individu. Tujuan pendidikan adalah suatu proses atas diri individu yang dinamis, yang berkaitan dengan pemikiran, integritas, dan otonominya.
63 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Dalam kurikulum humanistik, ada beberapa karakter, yaitu: a.
Integralistik Maksudnya adalah dalam kurikulum humanistik menekankan kesatuan
perilaku bukan saja yang bersifat intelektual (Kognitif) tetapi juga emosional dan tindakan, ini merupakan komitmen dari pendidikan humanis yang mana berupaya untuk mengembalikan pendidikan kepada realitas sosial. b. Peran guru tidak otoritatif Dalam hal ini seorang guru diharapkan dapat membangun hubungan emosional yang baik dengan peserta didiknya. Dalam pendekatan humanistik, peserta didik diajar untuk dapat membedakan hasil berdasarkan maknanya. Guru seharusnya dapat menyediakan kegiatan yang memberikan alternatif pengalaman belajar bagi peserta didik. Oleh karena itu, peran guru yang diharapkan adalah sebagai berikut : 1) Mendengar pandangan realitas peserta didik secara komprehensif 2) Menghormati individu 3) Tampil alamiah, otentik, tidak dibuat-buat c.
Pembelajaran bersifat kooperatif Dalam kurikulum humanistik pembelajaran lebih bersifat kooperatif (kerja
sama). pembelajaran kooperatif atau cooperative learning sendiri merupakan istilah umum untuk sekumpulan strategi pengajaran yang dirancang untuk mendidik kerja sama kelompok dan interaksi antarsiswa (Jacobsen, David, 2009: 34) Tujuan pembelajaran kooperatif setidak-tidaknya meliputi tiga tujuan pembelajaran, yaitu hasil belajar akademik, penerimaan terhadap keragaman, dan pengembangan keterampilan sosial. Pembelajaran dengan metode Pembelajaran kooperatif dilandasakan pada teori kognitif karena menurut teori ini interaksi bisa mendukung pembelajaran. Metode pembelajaran kooperatif learning mempunyai manfaat-manfaat yang positif apabila diterapkan di ruang kelas. Beberapa keuntungannya antara lain: mengajarkan siswa menjadi percaya pada guru, kemampuan untuk berfikir, mencari informasi dari sumber lain dan belajar dari siswa lain, mendorong siswa
64 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
untuk mengungkapkan idenya secara verbal dan membandingkan dengan ide temannya. d. Model evaluasi tidak ada kriteria pencapaian Evaluasi kurikulum humanistik berbeda dengan evaluasi pada umumnya, yang lebih ditekankan pada hasil akhir atau produk. Sebaliknya, evaluasi kurikulum humanistik lebih memberi penekanan pada proses yang dilakukan. Kurikulum ini melihat kegiatan sebagai sebuah manfaat untuk peserta didik di masa depan. Pada kurikulum ini, guru diharapkan mengetahui respon peserta didik terhadap kegiatan mengajar. Guru juga diharapkan mengamati apa yang sudah dilakukannya, untuk melihat umpan balik setelah kegiatan belajar dilakukan. jika kita melihat fenomena UNAS dalam pendidikan kita di Indonesia, kriteria pencapaian yang diformat dalam UNAS sangat tidak humanis, karena hanya menitik beratkan kepada aspek kognitif sehingga keberhasilan pendidikan hanya di nilai dari angka bukan sikap, walaupun dalam KTSP format penilaian menggunakan aspek sikap. Tentunnya hal ini bertentangan dengan pendidikan humanis yang berorientasi terhadap pengembangan potensi manusia. 3.
Pengembangan Kurikulum Pendidikan SD Muhammadiyah Karang bendo dalam Perspektif Kurikulum Humanistik Pengembangan kurikulum yang penulis maksud di sini adalah segala
penemuan atau perubahan kurikulum pendidikan yang telah diciptakan atau dikembangkan oleh sekolah dasar Muhamadiyah Karangbendo, meliputi kegiatankegiatan rutin yang dilaksanakan oleh sekolah tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat
Harold B. Alberty (1965) yang
mendefinisikan kurikulum sebagai semua kegiatan yang diberikan guru kepada peserta didiknya di bawah tanggung jawab sekolah (all of the activities that are provided for the students by the school). Pendapat yang searah dan menguatkan pengertian tersebut juga dikemukakan oleh saylor, Alexander, dan Lewis (1974) yang mendevinisikan bahwa kurikulum sebagai segala upaya sekolah-sekolah untuk mempengaruhi siswa supaya rajin belajar, baik dalam ruangan kelas, halaman sekolah maupun di luar sekolah (The
65 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
curriculum is the sum total of school’s efforts to influence learning, whether in the classroom, on the playground, or out of school). Dengan kata lain pengembangan kurikulum itu tidak hanya terbatas pada sejumlah mata pelajaran saja, lebih dari itu pengembangan kurikulum mencakup semua pengalaman belajar peserta didik, bahkan hal yang dapat mempengaruhi perkembangan belajar peserta didik (learning experiences) pada perkembangan pribadi itu juga termasuk kategori pengembangan kurikulum. Bagi setiap sekolah, khususnya di sekolah dasar kurikulum merupakan salah satu instrumen penting guna menjalankan roda pendidikan. Pak Sunardi, selaku kepala Sekolah SD Muhamadiyah Karangbendo memberikan penjelasannya mengenai pentingnya suatu pengembangan kurikulum pendidikan dalam membangun dan mencetak peserta didik yang kamil/sempurna. Lebih lanjut pak Sunardi menjelaskan kurikulum pendidikan yang dikembangkan oleh SD Muhamadiyah Karangbendo dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Akhlak mulia yang dimaksud mencakup etika, budi pekerti, atau moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama Islam itu sendiri. Pak sunardi menambahkan bahwa hal itu menurut beliau hanya dapat diwujudkan melalui kegiatan-kegiatan keagamaan dan kegiatan yang dapat melatih pesera didik untuk memiliki akhlak yang mulia. Dalam rangka
pengembangan kurikulum pendidikan, SD Muhamadiyah
Karang bendo mempunyai visi dan misi yaitu PROAKTIF, (Profesional, Agamis, Cerdas, Terampil, Inovatif, dan Berakhlak Mulia). Sedangkan yang menjadi dasar atau landasan dalami pengembangan kurikulum pendidikannya mengacu pada Al-Qur’an surat Al-Alaq ayat 1, yang artinya “Bacalah dengan nama tuhanmu yang telah menciptakanmu”. Kemudian juga hadist nabi Muhammad SAW, ﺐ اﻟ ِﻌ ْﻠ َﻢ ﻣِﻦَ اﻟ َﻤ ْﮭ ِﺪ إِﻟ َﻰ اﻟﻠﱠﺤْ ِﺪ ِ ُ طﻠ ْ ُا “Carilah/tuntutlah ilmu dari lahir sampai liang lahat. Jika kita analisis lebih jauh dan kita kontekskan pada dunia pendidikan ayat pertama dari surat Al-alaq di atas seperti yang dijelaskan oleh Abdul Halim Mahmud Syeh jami’ Al-Azhar diartikan bahwa lembaga pendidikan (institusi
66 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
formal maupun nonformal) yang diterapkan atau ilmu yang diperoleh seseorang harus dapat memberikan manfaat pada pemiliknya, warga, masyarakat dan bangsanya, juga kepada manusia secara umum, ia harus dapat membawa kebahagiaan dunia dan akhirat, membawa cahaya
ke seluruh penjuru serta
berlaku sepanjang masa. Sedangkan hadis nabi tersebut jika kaitkan dalam konteks pendidikan menjadi dasar dari ungkapan Long life education atau pendidikan seumur hidup. Bahwasanya kehidupan di dunia ini tidak sepi dari kegiatan belajar, sejak kita mulai terlahir sampai hidup ini berakhir pendidikan itu akan terus berlangsung. Menuntut ilmu memang bukan kewajiban yang ditentukan waktunya seperti shalat dan puasa, tapi justru merupakan kewajiban sepanjang hayat. Dengan terbiasa mengambil pelajaran dari seluruh kegiatan, peserta didik bisa mendapatkan banyak keterampilan. Hal inilah yang dapat membuat peserta didik lebih unggul dan dapat menjadi modal keterampilan hidup supaya mereka siap menghadapi perubahan yang begitu cepat dalam dunia ini. Dari sini bisa kita ketahui bahwa dasar pengembangan kurikulum di sekolah ini adalah ajaran agama Islam yang bersumber kepada Al-Qur’an dan AlSunah. Dan filosofi di atas menunjukkan bahwa sekolah ini berusaha untuk mengintegrasikan antara ilmu agama dengan ilmu umum, tetapi menurut kepala sekolah pak Sunardi akhiratlah yang menjadi tujuan dan prioritas utama. Dasar ini sejalan dengan pemikiran Al-Syaibani yang berpendapat bahwa dasar kurikulum harus didasarkan pada dasar agama yang dalam penyusunannya kurikulum haruslah berdasarkan serta mempertimbangkan
Al-qur’an dan Al-
Sunah (Al-Syaibani, 2004: 56). Dari segi pendidik, SD Muhammadiyah Karangbendo juga telah memenuhi standar yang kompeten, para pendidik (guru) SD Muhammadiyah Karangbendo memiliki kemampuan mengajar sesuai dengan ilmu dan keahlian di bidangnya
masing-masing
sehingga
SD
Muhammadiyah
Karangbendo
mempunyai pendidik yang kompatibel dan kredibel. Bahkan saat ini sebagian guru SD Muhamadiyah Karangbendo telah menempuh pendidikan jenjang S2, hal ini menjadi salah satu usaha sekolah untuk menyiapkan pendidik yang benarbenar profesioal.
67 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Dari apa yang dijelaskan oleh Pak Sunardi tersebut, nampak bahwa dalam pengembangan kurikulum pendidikan di sekolahnya, SD Muhamadiyah Karangbendo mempunyai prinsip keseimbangan antara ilmu dunia dan juga ilmu umum, apabila kita cermati dan kita telaah lebih jauh apa yang disampaikan oleh kepala sekolah SD Muhamadiyah Karangbendo tersebut, kurikulum SD Muhamadiyah ini ternyata memiliki beberapa karakter kurikulum Humanistik, yaitu integralistik, dan juga evaluasi yang tidak memiliki kriteria pencapaian. hal itu bisa kita cermati dari tujuan pengembanangan kurikulum pendidikan SD Muhamadiyah Karangbendo, yaitu integrasi antara dunia akhirat dan juga pendidikan sepanjang hayat (long life education). Untuk dapat mengetahui secara holistik dan komprehensif apakah karakter dari kurikulum Humanistik terdapat dalam pengembangan kurikulum pendidikan yang diterapkan oleh SD muhamadiyah Karangbendo, maka penulis menjelaskan di bawah ini berdasarkan karakter-karakter umum yang terdapat dalam kurikulum Humanistik. Seperti yang telah penulis jelaskan bahwa kurikulum Humanistik adalah sebuah
pendekatan
pendidikan
yang mengacu
pada
filosofis
belajar
humanisme, di mana pada konsep kurikulum ini pendidikan memandang bahwa belajar bukan sekedar pengembangan kualitas kognitif saja, melainkan juga sebuah proses yang terjadi dalam diri individu yang melibatkan seluruh domain yang ada (kognitif, afektif dan pskomotorik). Lebih lanjut bahwa menurut teori kurikulum Humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Peserta didik dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat-laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Ada beberapa karakter umum yang terdapat dalam kurikulum Humanistik, yaitu: 1.
Integralistik Berkaitan dengan karakter Humanistik yang bersifat integralistik ini,
penulis mewawancarai ibu Suhartini selaku guru PAI SD Muhamadiyah Karangbendo, beliau memberi penjelasan bahwa:
68 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Dalam surat Al-baqorah ayat 201 yang berbunyi, َرﺑﱠﻨَﺎ آﺗِﻨَﺎ ﻓِﻲ اﻟ ﱡﺪ ْﻧﯿَﺎ َﺣ َﺴﻨَﺔً َوﻓِﻲ اﻵﺧِ َﺮ ِة َﺣ َﺴﻨَﺔً َوﻗِﻨَﺎ َﻋﺬَابَ اﻟﻨﱠﺎ ِر “Ya Allah, berikanlah kepada Kami kebaikan di dunia, berikan pula kebaikan di akhirat dan lindungilah Kami dari siksa neraka.” (QS. al-Baqarah : 201). Ayat inilah yang dijadikan dasar oleh Sekolah tersebut dalam memahami integralistik, integralistik yang
diusung oleh SD ini adalah integrasi antara
kesuksesan dunia dan kebahagiaan akhirat, kesuksesan dunia menurut beliau tidaklah mempunyai arti apa-apa jika peserta didik tidak mendapatkan kebahagiaan akhirat, lebih lanjut beliau menambahkan, bahwa: “Dalam hal pengembangan kurikulum pendidkan di SD Muhamadiyah Karangbendo itu mempunyai keseimbangan antara ilmu agama dan juga ilmu dunia, oleh karena itu para peserta didik diajarkan tidak hanya mengedepankan nilai agama saja atau dunia saja akan tetapi antara agama dan dunia harus dapat berjalan bersama sehingga terbentuk manusia yang sempurna, yaitu dapat menjadi pribadi-pribadi yang mempunyai akhlak seperti Rosulullah SAW serta mempunyai pengetahuan umum (teknologi) yang handal, jadi pengembangan kurikulum ini bukan sekedar hasil atau nilai, melainkan suatu proses dan kegiatan, selain itu sekolah ini juga mengedepankan kebersamaan atau gotong royong dalam pembelajaran sehingga peserta didik dilatih untuk dapat bekerja sama dengan teman sejawatnya” Selain itu makna integralistik di sini juga diartikan sebagai keterkaitan antara aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pendidikan di Muhammadiyah biasanya lebih condong kepada aspek kognitif, namun tidak menampikan aspek psikomotorik dan juga afektif. Dari apa yang disampaikan oleh bu Suhartini memberikan penjelasan bahwa integalistik yang dimaksud sekolah ini adalah mengenai tujuan pengembangan kurikulum yang ingin dicapai, yakni kesuksesan di dunia dan kebahagiaan di akhirat, oleh karena itu pengembangan kurikulum yang dilakukan oleh SD Muhamadiyah Karangbendo tidak hanya sekedar pengembangan yang bersifat duniawi semata atau akhirat saja, akan tetapi antara dunia dan akhirat haruslah seimbang dan berjalan beriringan. Hal ini juga sejalan dengan filosofi pendidikan Muhamadiyah yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu
69 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
yang utuh dengan menguasai ilmu agama dan ilmu umum, material dan spiritual, serta dunia dan akhirat, keduanya merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Selain itu penulis juga mewawancarai salah seorang peserta didik yang menuturkan bahwa: “SD Muhamadiyah ini merupakan salah satu SD yang tidak hanya mengedepankan nilai, akan tetapi akhlak, budaya dan juga etika menjadi sesuatu yang digalakkan oleh pihak sekolah, ia menambahkan bahwa selama belajar di sekolah tersebut merasa senang, ia juga merasa cukup puas dengan ilmu yang telah didapatkannya selama berseragam di sekolah tersebut”. Dari sumber informasi di atas menjelaskan bahwa dalam hal pengembangan kurikulum SD Muhamadiyah ini bisa dikatakan tidak seperti sekolah dasar pada umumnya, yang hanya mengedepankan pengetahuan umum, SD ini mempunyai pengembangan tersendiri yakni nilai plus berupa pendidikan keagamaan, dan juga budaya lokal. 2.
Peran Guru tidak Otoritatif Karakter umum lainnya yang terkandung dalam kurikulum Humanistik
adalah dari segi peran guru dalam proses pembelajaran, dalam hal ini peran guru tidak otorotatif, atau dengan kata lain seorang guru dalam proses pembelajarannya diharapkan dapat membangun hubungan emosional yang baik dengan peserta didiknya, peserta didik diajarkan tentang kebersamaan dan kerja sama, guru menyediakan kegiatan yang memberikan alternatif pengalaman belajar bagi peserta didik. Oleh sebab itu peran guru yang diharapkan adalah sebagai berikut : 1.
Mendengar pandangan realitas peserta didik secara komprehensif
2.
Menghormati individu
3.
Tampil alamiah, otentik, tidak dibuat-buat
Mengenai hal ini bu Suhartini memberikan penjelasan bahwa : “Peran guru di SD Muhamadiyah Karangbendo lebih bersifat sebagai fasilitator, guru dituntut untuk paham mengenai kondidi psikologis peserta didik sehingga dapat mengetahui akan kekurangan dan kelebihan peserta didik, guru dapat menyesuaikan materi yang akan disampaikan sehingga pesera didik semua
70 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
merasa dihargai. Lebih lanjut menurut bu Suhartini ada dua aspek penting yang perlu dikembangkan oleh seorang guru sehingga mampu menciptakan pembelajaran yang kondusif bagi peserta didik, yaitu pribadi guru dan suasana pembelajaran. Perpaduan kedua aspek tersebut akan menjadikan dimensi inspiratif yang akan menemukan momentum untuk mengkristal dan membangun energi perubahan positif dalam diri peserta didik. Kepribadian guru sebagai orang dewasa dapat menjadi model sekaligus pengarah dan fasilitator belajar yang tercermin dari suasana atau iklim pembelajaran yang diciptakan di dalam kelas. Kedua aspek ini, pada gilirannya akan mampu mengakumulasi potensi diri para peserta didik untuk semakin meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya”. Dalam hal ini para guru di SD Muhamadiyah Karangbendo sering memanfaatkan lingkungan sekolah guna menciptakan pengalaman pembelajaran baru bagi peserta didik, tidak hanya sebatas di dalam kelas beberapa guru biasa memanfaatkan masjid untuk menyampaikan materi pembelajaran, terutama halhal yang berkaitan dengan pengembangan pembelajaran PAI. Menurut bu Suhartini ada beberapa tugas yang diemban oleh guru SD Muhamdiyah Karangbendo, yaitu : 1) Guru menghormati hak individu dan kepribadian peserta didik didiknya masing-masing. 2) Guru berusaha mensukseskan pendidikan yang serasi (jasmani dan rohani) bagi peserta didik didiknya. 3) Guru harus menghayati dan mengamalkan agama dan pancasila. 4) Guru dengan bersungguh-sungguh mengintensifkan pendidikan agama dan akhlak peserta didik didiknya. 5) Guru melatih dalam memecahkan masalah-masalah dan membina daya kreasi peserta didik didik agar kelak dapat menunjang masyarakat yang sedang membangun. 6) Guru membantu sekolah di dalam usaha menanamkan pengetahuan keterampilan kepada peserta didik didik. 7) Guru memiliki kejujuran professional dalam menerapkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan peserta didik didik masing-masing.
71 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Selanjutnya dalam konteks proses belajar mengajar, menurut beliau guru SD Muhamadiyah Karangbendo mempunyai satu peran lagi yaitu sebagai pembimbing, di mana guru dituntut untuk mampu mengidentifikasi peserta didik yang diduga mengalami kesulitan dalam belajar melalui pendekatan pribadi, dan juga pertemuan antara guru dan orang tua murid. Dari apa yang disampaikan oleh bu Suhartini ada beberapa peran yang diemban oleh guru di SD muhamadiyah karangbendo, yaitu: 1) Guru sebagai perencana (planner) yang harus mempersiapkan apa yang akan dilakukan di dalam proses belajar mengajar (pre-teaching problems).; 2) Guru sebagai pelaksana (organizer), yang harus dapat menciptakan situasi, memimpin, merangsang, menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan rencana, di mana ia bertindak sebagai orang sumber (resource person), konsultan kepemimpinan yang bijaksana dalam arti demokratik & Humanistik (manusiawi) selama proses berlangsung (during teaching problems). 3) Guru sebagai penilai (evaluator) yang harus mengumpulkan, menganalisa, menafsirkan dan akhirnya harus memberikan pertimbangan (judgement), atas tingkat keberhasilan proses pembelajaran, berdasarkan kriteria yang ditetapkan, baik mengenai aspek keefektifan prosesnya maupun kualifikasi produknya. Dalam hal ini peran guru di SD muhamadiyah Karangbendo sangatlah berat, selain menjadi perencana, dalam waktu yang bersamaan guru juga dituntut untuk bisa menjadi pelaksana dan evaluator, terlebih dalam proses pembelajaran guru harus bisa memahami kondisi psikologis peserta didik, benar atau tidaknya peran guru di atas dengan kondisi yang ada di lapangan, penulis belum sempat meneliti lebih jauh. yang jelas dalam hal ini jika kita analisis dari penjelasan ibu Suhartini di atas tentang peran guru SD Muhamadiyah ini tentunya memeiliki karakter kurikulum humanistik, yaitu peran guru tidak otoritatif. 3.
Pembelajaran bersifat Kooperatif Dalam karakter kurikulum Humanistik, proses pembelajaran lebih
menekankan
kepada
pembelajaran
kooperatif
yaitu
pembelajaran
yang
menekankan pada kerja sama sebagai suatu proses untuk mencapai tujuan.
72 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Megenai hal ini penulis mewawancarai ibu Suci Setyoningsih, selaku ketua tim pengembang kurikulum SD Muhamdiyah Karangbendo, beliau memberikan penjelasan bahwa menurutnya: Pembelajaran yang diterapkan oleh SD Muhamdiyah ini mengacu kepada konsep agama Islam”, yaitu Al-quran yang terdapat pada surat Al-maidah ayat 2, yanng artinya “dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan, dan ketaqwaan dan jangan kamu saling menolong dalam dosa dan keburukan”. Beliau menjelaskan lebih jauh bahwasanya “Sebagai makhluk sosial, dalam kehidupannya sehari-hari, manusia itu saling membutuhkan antar sesama. Orang miskin membutuhkan pertolongan dari yang kaya berupa makanan, uang, dan materi yang lainnya. Orang yang kaya pun membutuhkan pertolongan dari orang yang miskin berupa jasa, tenaga, dan sebagainya. begitu pun dalam hal pendidikan yang mana, SD ini mempunyai prinsip tolong-menolong dalam proses pembelajarannya, dimana peserta didik diajarkan untuk membantu teman yang lain yang mengalami kesulitan dalam proses pembelajaran”. Berkaitan dengan penjelasan ibu Suci Setyoningsih, mungkin yang dimaksud dengan tolong menolong dalam proses pembelajaran di SD ini adalah pembelajaran kooperatif dengan model Peer Teaching (tutor sebaya). Dalam dunia pendidikan kita mengenal Peer Teaching (tutor sebaya) sebagai suatu metode penyampaian materi ajar melalui rekan atau melalui bantuan teman sendiri, biasanya jenis pembelajaran kooperatif seperti ini bisa dilakspeserta didikan bersamaan dengan metode diskusi, dan syarat untuk bisa terlaksanya metode ini adalah jika di dalam kelas tersebut harus terdapat beberapa siswa yang cepat (pintar), serta semua siswa cenderung mempunyai pengetahuan dasar yang relevan. Oleh karena itu ibu Suci menjelaskan bahwa metode peer teaching ini hanya diterapkan di kelas-kelas tertentu yang memang memiliki syarat di atas, lebih lanjut beliau menambahkan jika metode pembelajaran di SD Muhamadiyah Karangbendo itu sangat variatif, menyesuaikan dengan jenjang kelasnya, beberapa guru di SD ini menurutnya cukup mumpuni dalam hal memahami metode dan mengimplementasikannya dalam pembelajaran di dalam kelas
73 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Dari apa yang disampaikan oleh ibu Sucisetyoningsih ini cukup jelas bahwa sekolah SD Muhamadiyah ini dalam proses pembelajarannya sangat variatif, namun proses pembelajaran yang menjadi karakter
kurikulum
Humanistik yang ada dalam sekolah ini adalah pembelajaran Peer Teaching (tutor sebaya). 4.
Evaluasi tidak Memiliki Kriteria Pencapaian Dalam hal evaluasi, kurikulum humanistik memeiliki perbedaan dengan
jenis kurikulum lain. jika pada kurikulum lain umumnya lebih ditekankan pada hasil akhir atau produk. Sebaliknya, evaluasi kurikulum Humanistik lebih memberi penekanan pada proses yang dilakukan. Kurikulum humanistik ini melihat kegiatan sebagai sebuah manfaat untuk peserta didik di masa depan. Pada kurikulum ini, guru diharapkan mengetahui respon peserta didik terhadap kegiatan mengajar. Guru juga diharapkan mengamati apa yang sudah dilakukannya, untuk melihat umpan balik setelah kegiatan belajar dilakukan. dalam hal ini Ibu Suhartini menjelaskan bahwa: “di SD Muhamadiyah ini untuk melihat hasil evaluasi dari implikasi pembelajaran yang telah diselenggarakan sekolah bisa dilihat dari 2 hal, yaitu dari hasil pembelajaran berupa hasil/nilai rapor, dan juga Budi pekerti (Akhlak) peserta didik yang dinilai melalui cara beriteraksi dengan teman, guru, dan juga kelakuan peserta didik saat berada di lingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakat, bahkan evaluasi berupa budi pekerti (Akhlak) ini mempunyai pengaruh besar bagi peserta didik itu sendiri dalam penentuan kenaikan kelas. Pendapat Ibu Suhartini ini sejalan dengan pendapat John Dewey yang, yang membandingkan antara hasil pendidikan dan tujuan pendidikan. Dewey memberikan gambarannya tentang angin yang berhembus di padang pasir yang menyebabkan pasir berpindah dari tempatnya. inilah yang disebut hasil. Pasir berpindah karena hembusan angin sebagai hasil karena menunjukkan efek bukan tujuan. Sedangkan hakekat tujuan pendidikan dapat di lihat dari gambaran sekelompok lebah yang membangun sarang,menghisap sari madu
dan
memproduksi madu. Aktivitas lebah ini menunjukkan kegiatan bertahap,kegiatan satu mempersiapkan kegiatan berikutnya ketika lebah membangun sarang, sang
74 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
ratu lebah bertelur yang di simpan di sarang lebah, kemudian telur di jaga dalam temperature tertentu. Setelah menetas, lebah muda di beri makan sampai tumbuh besar dan cukup kekuatan untuk mengumpulkan sari madu. Tujuan selalu berkaitan dengan hasil, tetapi tujuan lebih merupakan kegiatan yang mengandung proses.tujuan menampilkan aktivitas yang teratur dan pada akhirnya tujuan akan berdampak pada hasil. Dari penjelasan yang didapat oleh ibu Suhartini juga menganalisa dari pada pendapat John Dewey cukup jelas, bahwa sekolah ini tidak hanya mengedepankan hasil/nilai rapor semata, akan tetapi budi peketi (Akhlak) peserta didik dalam kehidupan sehari-hari juga menjadi dasar dalam evaluasi sekolah tersebut dalam menentukan tujuan pendidikannya. Tabel 1 Beberapa pengembangan kurikulum SD Muhamadiyah Karangbendo
Pengemba ngan Kurikulum
Baca tulis Iqra’-AlQur’an/Tahfid zul Qur’an Untuk membekali para siswa pemahaman tentang Alquran
Pembelajaran Berbasis Pepustakaaan
Shalat Dhuha dan Zuhur berjamaah
Koperasi siswa
Mengintegrasika n pustakawan dalam kegiatan belajar mengajar
Untuk menanamkan pembiasaan shalat berjamaah
Menanamkan sikap gotong royong, dan setia kawan bagi para siswa
Metode
Metode yang digunakan adalah baca tulis, dan hafalan.
Metode yang digunakan adalah metode belajar bersama (kooperatif learning)
Metode1 demonstrasi, pembiasaan, dan ceramah
Metode konvensional
Metode baca tulis, hafalan, dan ceramah
Pendidik
Para guru SD
Guru mata
Para guru SD
Penjaga
Para guru
Tujuan
Menjadikan perpustakaan sebagai pusat sumber belajar siswa
Full day School
Untuk memberika n pembelajar an yang intensif kepada para Menanamkan siswa sikap tanggung terutama jawab, disiplin tentang dan demokrasi baca tulis Qur’an
75 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
dan peserta Muhamadiyah guru honor, dan didik beberapa guru TPA dan semua siswa kelas 1-6
pelajaran tertentu dan pengurus perpustakaan dan semua siswa kelas 4-6
Muhamadiyah Karang bendo dan semua siswa kelas 1-6
koperasi dan SD beberapa siswa Muhamadi kelas 4-5 yah dan semua siswa kelas 1-3
Fasilitas dan media
Ruang kelas, masjid, Kitab Al-quran, buku Iqra, buku dan papan tulis, spidol, dll
Perpustakaan yang nyaman, buku-buku, meja, bangku, buku gambar, dll
Masjid,dan alatalat shalat,
Ruang koperasi, mesin fotocopy, ruang masak, dll
Rumah tahfidz, Kitab Alquran, buku Iqra, buku dan papan tulis, spidol, dll
Waktu
07.30-08-15 (45 menit) terkadang lebih
Sesuai dengan jam pelajaran
07.00-07.30 (30 menit)
Setiap hari di jam aktif sekolah
13.0015.00 (2 jam)
Karakter Humanisti k
Integralistik
Integralistk
Peran guru tidak otoritatif
Pembelajaran bersifat kooperatif
Peran guru tidak otoritatif
Pembelajaran bersifat kooperatif
Pembelajar an bersifat kooperatif
Evaluasi tidak memiliki kriteria pencapain
Evaluasi tidak memiliki kriteria pencapain
Pembelajaran bersifat kooperatif
C. KESIMPULAN Dari uraian, penjelasan dan pengamatan penulis pengembangan kurikulum pendidikan yang dikembangkan oleh SD Muhamadiyah Karangbendo memiliki beberapa karakter kurikulum humanistik sebagaimana yang telah jelaskan di atas, walaupun berdasarkah hasil interview dengan informan, informasi yang disampaikan belum begitu tepat sesuai dengan apa yang terkonsep sesungguhnya di dalam buku. Karakter integralistik dapat kita lihat dari tujuan pengembangan kurikulum pendidikan SD ini yang mana mengintegrasikan antara kesuksesan dunia dengan kebahagiaan akhirat, dari karakter bahwa peran guru tidak otoritatif bisa kita lihat
76 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
dalam pembelajaran berbasis perpustakaan, dimana dalam hal ini peserta didik diberikan kesempatan untuk mencari pengetahuan dengan cara membaca melalui buku-buku yang disediakan oleh perpustakaan, dan juga kegiatan shalat berjamaah. Karakter kurikulum humanistik lainnya berupa pembelajran bersifat kooperatiif terlihat dalam kegiatan koperasi siswa (KOPSIS), dan juga belajar baca-tulis Alqur’an dalam hal ini peserta didik diajarkan memiliki jiwa kerja sama, gotong royong dan juga bertanggung jawab, sedang dalam hal baca tulis Alqur’an peserta didik yang sudah lihai diajarkan untuk bisa membantu teman lain yang belum bisa membaca Iqra’-Al-qur’an, dan karakter terakhir dari kurikulum Humanistik yaitu mengenai hasil evaluasi yang tidak memiliki pencapaian terlihat dari Full day school yang lebih memfokuskan kepada pembelajaran baca tulis Iqra’-Al-Qur’an. Selain dari 4 karakter di atas dalam kurikulum Humanistik yang peneliti jadikan sebagai indikator dalam penelitian ini, sebenarnya masih ada beberapa karakter lain dalam kurikulum Humanistik seperti keterpusatan pada peserta didik, aktualisasi diri dan lain sebagainya, yang menurut peneliti penting untuk dapat dijadikan pertimbangan oleh setiap sekolah yang ingin mengembangkan dan meningkatkan kualitas kurikulum pendidikan di sekolahnya khususnya mengenai kurikulum Humanistik. DAFTAR PUSTAKA Al-Syaibani. Falsafah Pendidikan Islam. Bandung: Bulan Bintang. 2004. Baharuddin. dan Moh makin. Pendidikan Humanistik. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2007. Desmita. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. cet. ke-3. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2011. Farchan, Arif. dkk. Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi di Perguruan Tinggi Agama Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2005. Hamalik, Oemar. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: Rosda. 2008.
77 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
____________,. Manajemen Perkembangan Kurikulum. Bandung: Rosda dan UPI. 2008 ____________,. Pembinaan Pengembangan Kurikulum. Bandung: Pustaka Martina. 1987. Langgulung, Hasan. Manusia dan pendidikan: Suatu analisa Psikologi Pendidikan. Jakarta: Pustaka Al-husna. 1986. Qomar, Mujamil. Manajemen Pendidikan Islam. Jakarta: Erlangga. 2010. S. Nasution. Asas-asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara. 2003. Sukmadinata, Nana Syaodih. Pengembangan Kurikulum (Teori dan Praktek). Bandung: Rosda. 2010. Syarif, Hamid. Pengembangan kurikulum. Pasuruan: Garoeda Oetama. 1993. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Fokus Media. 2006.
78 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
PENINGKATAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI PENDEKATAN KELOMPOK KECIL PADA MATA PELAJARAN IPS KELAS V HERMANSYAH TRIMANTARA1) RATNO WIBOWO2) IAIN RADEN INTAN LAMPUNG
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan aktivitas dan hasil belajar siswa pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) melalui pendekatan kelompok kecil. Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas dengan melakukan refleksi sebagai perbaikan pembelajaran, sehingga hasil belajar siswa menjadi meningkat. Sedangkan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori dari Kemmis dan Mc Taggart. Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Dasar Negeri 01 Binakarya Sakti, kelas V semester 1 pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dengan jumlah siswa 23 anak. Penelitian Tindakan Kelas ini terdiri dari 2 siklus, setiap siklus terdiri dari 4 tahap, yaitu perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi. Sumber data yang dipakai menggunakan data kuantitatif dan kualitatif, sedangkan teknik pengumpulan datanya menggunakan observasi dan tes hasil belajar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran menggunakan pendekatan kelompok kecil dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa. Sehingga, penerapan pendekatan kelompok kecil dapat menjadi salah satu alternatif dalam melakukan pembelajaran di kelas. Kata kunci: Aktivitas, Hasil Belajar, Kelompok Kecil
A. PENDAHULUAN Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya. Salah satu faktor yang mempengaruhi tercapainya pembelajaran tersebut adalah proses pembelajarannya. Proses pembelajaran merupakan interaksi antara guru dan siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Rendahnya hasil belajar merupakan salah satu indikasi bahwa selama ini pembelajaran yang berlangsung belum optimal. Salah satu mata pelajaran pokok pada tingkat Sekolah Dasar adalah Ilmu Pengetahuan Sosial yang merupakan “integrasi berbagai cabang Ilmu-ilmu Sosial, seperti sosiologi, antropologi budaya, sejarah, geografi, ekonomi, dan sebagainya” (Hidayati, Mujinem, Anwar Senen, 2008:1-7). Sedangkan bidang kajian dalam
79 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
IPS meliputi seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial. Keikutsertaan siswa dalam proses pembelajaran akan menumbuhkan keinginan untuk belajar secara mandiri. Aktivitas belajar merupakan faktor yang sangat menentukan keberhasilan proses belajar mengajar siswa, karena pada prinsipnya belajar adalah berbuat, “learning by doing” (Sardiman, 1992:15). Setiap orang yang belajar harus aktif sendiri, tanpa ada aktifitas, maka proses belajar tidak tidak mungkin terjadi. Hal ini sesuai dengan pengamatan sendiri, pengalaman sendiri, penyelidikan sendiri, dengan bekerja sendiri, dengan fasilitas yang diciptakan sendiri, baik secara rohani maupun teknis. Menurut Endang Poerwanti dkk (2008:7-4), “disamping dari proses belajar, keberhasilan siswa juga dilihat dari hasil belajarnya”. Keberhasilan siswa setelah mengikuti satuan pembelajaran tertentu kita sebut dengan keberhasilan hasi belajar. Setelah proses pembelajaran berlangsung, kita dapat mengetahui, apakah siswa telah memahami konsep tertentu, apakah siswa kita dapat melakukan sesuatu, apakah siswa kita memiliki keterampilan atau kemahiran tertentu. Berdasarkan hasil observasi dan pengalaman yang dilakukan penulis di kelas V Sekolah Dasar Negeri 01 Binakarya Sakti, pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial yang selama ini dilakukan masih menggunakan metode ceramah dan sedikit tanya jawab. Metode ini tentunya hanya pihak guru saja yang aktif, sedangkan siswa hanya pasif. Sehingga hal ini tidak sesuai dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang berlaku saat ini yang menuntut keaktifan semua pihak, baik guru maupun siswa. Disamping itu, kurang bervariasinya metode pembelajaran yang dilakukan di Sekolah Dasar Negeri 01 Binakarya Sakti menyebabkan minat belajar siswa untuk belajar Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) menjadi rendah. Sehingga hal ini juga akan menyebabkan aktivitas dan hasil belajar siswa menurun. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa maka seorang guru harus memilih strategi belajar, metode, dan pendekatan yang sesuai dengan kondisi siswa salah satunya adalah melalui pendekatan kelompok kecil agar dapat membangkitkan
80 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
minat belajarnya. Indikator dari bangkitnya minat belajar siswa dapat dilihat dari keaktifan siswa dalam mengkonstruksikan atau membangun pengetahuanya sendiri. Alasan
memilih
pendekatan
kelompok
kecil
karena
mempunyai
keunggulan antar lain: ” a) membiasakan siswa bekerja sama, musyawarah dan bertanggung jawab; b) menimbulkan kompetisi yang sehat antar kelompok, sehingga membangkitkan kemauan belajar yang sungguh-sungguh; c) guru dipermudah tugasnya karena tugas kerja kelompok cukup disampaikan kepada para ketua kelompok; d) ketua kelompok dilatih menjadi pemimpin yang bertanggung jawab, dan anggotanya dibiasakan patuh pada aturan yang ada” (Soli Abimanyu, 2008: 7-3). Kegiatan pembelajaran terjadi melalui interaksi antara anak didik dengan pendidik Dalam kegiatan belajar kelompok proses belajar tidak harus berasal dari guru ke siswa, melainkan dapat juga siswa saling mengajar sesama siswa lainnya. Bahkan menurut Anita Lie dalam Hidayati, Mujinem, Anwar Senen (2008:7-30) menyatakan bahwa “pengajaran oleh rekan sebaya (peer teaching) ternyata lebih efektif dari pada pengajaran oleh guru”. Hal ini disebabkan latar belakang, pengalaman, (dalam pendidikan sering disebut skemata) para siswa mirip satu dengan lainnya dibanding dengan skemata guru. Menurut Soli Abimanyu (2008:7-3) alasan penggunaan pendekatan kelompok dalam pembelajaran adalah: ”a) kerja kelompok dapat mengembangkan perilaku gotong royong dan demokratis, b) Kerja kelompok dapat memacu siswa aktif belajar, c) kerja kelompok tidak membosankan siswa melakukan kegiatan, d) belajar diluar kelas bahkan diluar sekolah yang bervariasi, seperti observasi, wawancara, cari buku di perpustakaan umum, dan sebagainya”. Menurut Thomson, dkk. dalam Hidayati, Mujinem, Anwar Senen (2008:730), “di dalam pembelajaran kelompok, siswa belajar bersama dalam kelompokkelompok kecil saling membantu satu sama lain”. Proses pembelajaran menggunakan pendekatan kelompok kecil meliputi langkah-langkah yang sistematis dan terencana agar tujuan yang diharapkan tercapai secara maksimal.
81 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Adapun langkah-langkah pembelajaran yang dapat ditempuh dalam pembelajaran melalui pendekatan kelompok kecil menurut Nanang Hanafiah dan Cucu Suhana (2009:44) adalah sebagai berikut; ”a) peserta didik diberikan tes awal dan diperoleh skor awal, b) peserta didik dibagi ke dalam kelompok kecil 4-5 tahun secara heterogen menurut prestasi, jenis kelamin, ras, atau suku, c) guru menyampaikan tujuan dan memotivasi peserta didik, d) guru menyajikan bahan pelajaran dan peserta didik bekerja dalam tim, d) guru membimbing kelompok peserta didik, e) peserta didik diberi tes tentang materi yang telah diajarkan, f) memberikan penghargaan”. Berdasarkan uraian di atas untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan aktivitas dan hasil belajar siswa pada pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) maka dilakukan penelitian tindakan kelas dengan Pendekatan Kelompok Kecil pada Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Kelas V Sekolah Dasar Negeri 01 Binakarya Sakti. Rumusan masalah dalam Penelitian Tindakan Kelas ini adalah : Apakah Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) melalui pendekatan kelompok kecil dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa kelas V? Tujuan dari Penelitian Tindakan Kelas ini, yaitu: Untuk mengetahui peningkatan aktivitas dan hasil belajar belajar siswa kelas V pada pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) melalui pendekatan kelompok kecil.
B. PEMBAHASAN Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas yaitu penelitian yang dilakukan oleh guru di dalam kelasnya sendiri melalui refleksi diri, dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjanya sebagai guru, sehingga hasil belajar siswa menjadi meningkat (Wardani 2003:1.4). Sedangkan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori dari Kemmis dan Mc Taggart. Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Dasar Negeri 01 Binakarya Sakti, kelas V semester 1 pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Tahun Pelajaran 2010/2011 dengan jumlah siswa
82 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
23 anak. Faktor yang diteliti yaitu pada kegiatan pembelajaran guru dan aktivitas siswa dalam kegiatan belajar mengajar. Penelitian Tindakan Kelas ini terdiri dari 2 siklus, setiap siklus terdiri dari 4 tahap, yaitu tahap perencanaan, tahap pelaksanaan dan tahap obsevasi, dan tahap refleksi. Langkah-langkah penelitian untuk tiap siklusnya ditunjukkan dalam gambar berikut ini.
Sumber data dalam Penelitian Tindakan Kelas ini diperoleh dari: data kuantitatif, diperoleh dari hasil tes formatif siswa pada setiap siklus dan data kualitatif, diperoleh dari pengamatan penelitian terhadap aktifitas siswa dalam proses pembelajaran setiap siklus. Teknik pengumpulan data dilakukan sesuai dengan jenis datanya, sebagai berikut: a) Teknik Observasi: dalam setiap siklus pembelajaran ada teman sejawat yang bertindak sebagai observer yang tugasnya mengamati dan mencatat aspekaspek yang berhubungan dengan aktifitas siswa. Hasil observasi aktifitas siswa dimasukkan dalam data kualitatif, b) Teknik Tes: data hasil belajar siswa kelas V pada pelajaran IPS diperoleh dengan cara pemberian tes formatif. Tes formatif dilakukan sebanyak dua kali dan dilaksanakan setiap akhir siklus tindakan. Untuk tes formatif I dan formatif II jumlah soal masing-masing 10 soal pilihan ganda. Hasil tes formatif setiap siklus dimasukkan ke dalam data kuantitif.
83 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Data yang diperoleh dari data kualitatif berupa data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis dengan tehnik
deskriptif kualitatif, yaitu suatu
metode penelitian yang bersifat menggambarkan kenyataan atau fakta sesuai dengan data yang diperoleh dengan tujuan untuk mengetahui respon siswa terhadap kegiatan pembelajaran serta aktifitas siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Lembar observasi terhadap aktivitas belajar siswa untuk setiap siklus seperti dalam lampiran proposal ini. Data Kuantitatif untuk analisis tingkat keberhasilan atau persentase ketuntasan belajar siswa setelah proses pembelajaran pada setiap siklusnya, dilakukan dengan cara memberikan evaluasi berupa soal tes tertulis pada setiap akhir siklus. Analisis ini dihitung dengan menggunakan statistik sederhana sebagai berikut. 1) Penilaian rata-rata kelas Nilai rata-rata kelas diperoleh menggunakan rumus: Jumlah semua nilai siswa Nilai rata-rata = Jumlah siswa
2) Penilaian Ketuntasan Belajar Berdasarkan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) mata pelajaran IPS yang digunakan di Sekolah Dasar Negeri 01 Binakarya Sakti, siswa dikatakan berhasil apabila memperoleh nilai minimal 65. Untuk menghitung persentase ketuntasan belajar tiap siklus akan dianalisis menggunakan rumus sebagai berikut. Jumlah siswa yang tuntas belajar Persentase =
X 100 % Jumlah seluruh siswa
Analisis ini dilakukan pada saat tahapan refleksi. Hasil analisis ini digunakan sebagai bahan refleksi untuk perencanaan perbaikan dalam siklus selanjutnya. Kriteria tingkat keberhasilan belajar siswa dapat dilihat pada tabel 1 berikut berikut ini. 84 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Tabel 1. Kriteria tingkat keberhasilan siswa Tingkat Keberhasilan (%)
Arti
80-100
Sangat tinggi
60-79
Tinggi
40-59
Sedang
20-39
Rendah
0-20
Sangat rendah
Sebelum pelaksanaan siklus pertama, penulis melakukan observasi dan identifikasi masalah yang terjadi di kelas V SDN 01 Binakarya Sakti Kecamatan Putra Rumbia khusunya pada pelajaran IPS sebagai tempat penelitian. Hasilnya sebagai berikut : a. Aktifitas belajar siswa pasif. b. Metode dan pendekatan pembelajaran konvensional (ceramah). c. Sumber belajar yang digunakan masih berpusat pada buku paket (bahan ajar cetak). d. Media pembelajaran belum digunakan secara optimal. e. Rata-rata hasil ulangan harian adalah 55 masih di bawah KKM yang ditetapkan yaitu 65. Temuan-temuan yang diperoleh pada saat observasi dan identifikasi kemudian didiskusikan dengan supervisor, dan dosen pembimbing sehingga diperoleh satu fokus permasalahan yang akan diatasi pemecahannya dalam penelitian ini. Fokus permasalahan yang akan diatasi pemecahannya dalam penelitian yang penulis lakukan adalah peningkatan aktifitas dan hasil belajar siswa melalui pendekatan kelompok kecil. Dalam penelitian tindakan kelas ini penulis mengadakan tindakan yang terdiri dari dua siklus. a. Kegiatan Siklus I 1. Pembahasan RPP Fokus permasalahan yang akan diatasi pemecahan pada tahap observasi dan identifikasi masalah menjadi dasar pada saat penyusunan dan diskusi
85 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
pembahasan RPP pada siklus pertama. Kegiatan pada siklus yang pertama ini penulis lakukan di kelas V dengan jumlah siswa 23 anak. Berdasarkan hasil diskusi antara penulis dengan supervisor dan kepala sekolah, kemudian RPP yang telah disusun direvisi kembali sehingga siap untuk diimplementasikan di kelas. Tidak lupa dilengkapi dengan instrumen penelitian yang berupa lembar observasi, dan alat tes berupa tes formatif. Pelaksanaan tindakan berupa pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial dengan pokok bahasan Tokoh-tokoh Sejarah Kerajaan Islam di Indonesia. Ada tiga kegiatan utama yang dilakukan, yaitu: pendahuluan, kegiatan inti dan penutup. 2. Hasil dan Refleksi Pembelajaran a. Rekapitulasi Hasil Observasi Aktivitas Belajar Siswa Observasi dilakukan oleh supervisor pada saat implementasi pembelajaran tanggal 05 dan 12 Oktober 2010, dikelas V terhadap 23 siswa tentang Aktifitas Belajar Siswa seperti pada tabel 2 berikut. Tabel 2. Rekapitulasi hasil observasi aktifitas belajar siswa siklus pertama. Rata-rata siswa
aktivitas Rata-rata siswa
(Pertemuan I)
(Pertemuan II)
14,4
15,2
aktivitas Rata-rata
%
14,8
64,4
Berdasarkan tabel di atas mengenai aktivitas siswa dapat dijelaskan bahwa perhatian dan tingkat pemahaman siswa pada pra pembelajaran, kegitatan membuka pelajaran, kegiatan inti dan penutup hanya 64,4%. b. Hasil Penilaian Supervisor dan Teman Sejawat Selain melakukan observasi terhadap aktivitas siswa, supervisor bersama kepala sekolah juga melakukan penilaian terhadap RPP dan praktik pembelajaan yang dilakukan oleh penulis sehingga diperoleh data seperti pada tabel 3 berikut. 86 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Tabel 3. Hasil penilaian supervisor dan kepala sekolah pada siklus Pertama pertemuan 1 & 2 No
Jenis Penilaian
Total Skor Rata
1
Penilaian RPP
3,18
2
Penilaian praktik pembelajara
3,03
Keterangan: skor maksimal 4,00. c. Hasil Pembelajaran Siswa Pada Siklus Pertama Sebelum melakukan kegiatan inti pada pembelajaran siklus pertama penulis melaksanakan tes awal untuk menentukan pembagian kelompok siswa sehingga diperoleh hasil pembelajaran seperti pada tabel 4 berikut. Tabel 4. Data nilai tes awal siswa kelas V (lima) pada siklus pertama. Nilai rata-rata
64,8
Tertinggi
88,9
Terendah
33,5
Tuntas
15
Belum Tuntas
8
Data di atas kemudian diolah untuk menentukan komposisi kelompok siswa ketika implementasi pembelajaran pada saat siklus I. Untuk hasil pembelajaran siswa pada siklus pertama diperoleh melalui evaluasi yang dilakukan dengan teknik tes menggunakan tes tertulis dengan bentuk soal pilihan ganda, menggunakan pedoman penskoran sebagai berikut.
87 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Skor perolehan Nilai akhir =
x 100 Skor maksimum
Dengan teknik dan bentuk soal serta pedoman penskoran di atas diperoleh hasil pembelajaran seperti pada tabel 5 berikut. Tabel 5. Data nilai siswa kelas V (lima) setelah proses pembelajaran pada siklus pertama Rata-rata
63,5
Tertinggi
100
Terendah
40
Tuntas
12
Belum Tuntas
11
d. Refleksi Berdasarkan data yang diperoleh dari kolaborasi dengan teman sejawat, hasil wawancara, dan hasil refleksi diri selama proses pembelajaran pada siklus I ternyata rata-rata tingkat aktivitas siswa baru mencapai 64,4 % dari tahap pra pembelajaran sampai dengan penutup, skor rata-rata hasil penilaian supervisor dan kepala sekolah terhadap RPP dan praktik pembelajaran adalah 3,18 dan 3,03 dari skor maksimal 4,00. Sedangkan rata-rata hasil tes formatif siswa adalah sebesar 63,5 masih dibawah KKM yang ditentukan yaitu 65. Hasil pembelajaran di atas menunjukkan kurang maksimalnya aktifitas belajar siswa sehingga perlu perbaikan lanjutan. Dari hasil refleksi pada saat diskusi dengan teman sejawat diperoleh penyebab kekurangan pada saat implementasi siklus I sebagai berikut: 1) Pada saat kegiatan diskusi dalam belajar kelompok, guru kurang memberikan bimbingan yang merata.
88 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
2) Pembagian kelompok kurang memperhatikan kemampuan masing masing siswa, sehingga ada kelompok yang cepat melaksanakan tugas dan ada kelompok yang tidak berhasil menyelesaikan tugas dengan baik. 3) Kegiatan pembagian kelompok dan penentuan ketua kelompok menyita banyak waktu pembelajaran. 4) Siswa kurang memahami tentang tahapan-tahapan dalam belajar kelompok, hal ini terjadi karena sebelum melakukan kegiatan belajar kelompok guru tidak menjelaskan secara rinci tata cara kegiatannya. 5) Siswa kurang aktif dalam bertanya maupun dalam menyampaikan pendapatnya baik dalam kegiatan kelompok maupun pada saat kegiatan klasikal. Berdasarkan kekurangan dan kegagalan di atas maka penulis bersama dengan supervisor membuat berbagai alternatif dan solusi untuk perbaikan pembelajaran pada siklus II sebagai berikut: 1) Guru harus lebih intensif dan merata dalam memberikan bimbingan pada saat kegiatan belajar kelompok. 2) Pada kegiatan siklus kedua, kelompok yang sudah ada perlu ditata ulang kembali berdasarkan hasil pembelajaran pada siklus pertama untuk mempertajam aktivitas dan hasil belajar siswa. 3) Kegiatan pembagian kelompok dan penentuan ketua kelompok sebaiknya dilakukan sebelum pembelajaran agar tidak menyita waktu pembelajaran. 4) Sebelum melakukan kegiatan belajar kelompok, guru perlu menjelaskan kembali tahapan atau tata caranya secara rinci pada siswa karena masih banyak siswa yang terlihat pasif pada saat kegiatan kelompok. 5) Guru harus lebih memotivasi siswa agar aktif bertanya dan memberikan pendapatnya, sehingga secara bertahap timbul keberanian pada diri siswa untuk bertanya dan menyampaikan
89 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
pendapatnya. Untuk setiap pertanyaan maupun pendapat siswa, apapun bentuknya harus dihargai. 6) Perlu mempersiapkan media dan alat peraga pengganti laptop dan LCD proyektor untuk mengantisipasi apabila listrik padam. b. Kegiatan Siklus II 1. Pembahasan RPP Temuan-temuan yang diperoleh pada saat kegiatan siklus pertama kemudian didiskusikan dengan supervisor, dan kepala sekolah
untuk
menjadi dasar menyusun rencana perbaikan pada siklus kedua. Berdasarkan hasil diskusi, kemudian RPP yang telah disusun direvisi kembali sehingga siap untuk diimplementasikan di kelas. Demikian juga revisi terhadap LKS dan alat tes berupa tes formatif. Sedangkan rencana tindakan perbaikan pada siklus kedua adalah: a.
kegiatan pembimbingan yang dilakukan guru akan dilaksanakan lebih intensif terhadap masing-masing kelompok, terutama kelompok yang terlihat lemah.
b. membagi siswa ke dalam kelompok kecil, yang didasarkan pada hasil belajar (nilai) yang diperoleh pada siklus pertama. Kegiatan pembagian kelompok ini dilakukan sebelum pembelajaran dilaksanakan. Pelaksanaan tindakan berupa pembelajaran Ilmu Pengetahuan IPS pokok bahasan Keragaman Suku Bangsa dan Budaya di Indonesia. Ada tiga kegiatan utama yang dilakukan, yaitu: pendahuluan, kegiatan inti dan penutup. Untuk kegiatan pembagian kelompok dilakukan satu hari sebelum pembelajaran dilaksanakan berdasarkan hasil nilai siswa pada siklus pertama sehingga tidak menyita waktu proses pembelajaran di kelas. 2. Hasil dan Refleksi Pembelajaran a. Rekapitulasi Hasil Observasi Aktivitas Belajar Siswa pada siklus kedua Observasi dilakukan oleh supervisor pada saat pembelajaran tanggal 19 dan 26 Oktober 2010, dikelas V
terhadap 23 siswa tentang
Aktifitas Belajar Siswa seperti pada tabel 6 berikut. 90 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Tabel 6. Rekapitulasi hasil observasi aktifitas belajar siswa pada siklus kedua Rata-rata siswa
aktivitas Rata-rata siswa
aktivitas
(Pertemuan I)
(Pertemuan II)
16,3
18,2
Ratarata
%
17,2
74,9
Data aktivitas belajar siswa yang diperoleh pada siklus kedua kemudian dibandingkan dengan data yang diperoleh pada saat siklus pertama seperti pada tabel 7 berikut ini. Tabel 7. Perbandingan rata-rata hasil observasi aktivitas belajar siswa antara siklus pertama dan kedua. Rata-rata siklus I (%)
Rata-rata siklus II (%)
64,4
74,9
Ket.
b. Hasil Penilaian Supervisor dan Kepala Sekolah Selain melakukan observasi terhadap aktivitas siswa, supervisor bersama kepala sekolah juga melakukan penilaian terhadap RPP dan praktik pembelajaan yang dilakukan oleh penulis sehingga diperoleh data seperti pada tabel 8 berikut. Tabel 8. Hasil Penilaian Supervisor dan Kepala Sekolah pada Siklus Kedua No
Jenis Penilaian
Total Skor Rata
1
Penilaian RPP
3,58
2
Penilaian praktik pembelajara
3,49
91 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Keterangan: skor maksimal 4,00. Data hasil penilaian dari supervisor dan kepala sekolah terhadap RPP dan praktik pembelajaan yang diperoleh pada siklus kedua kemudian dibandingkan dengan data yang diperoleh pada saat siklus pertama seperti pada tabel 9 berikut ini. Tabel 9. Perbandingan Hasil Penilaian Supervisor dan Kepala Sekolah Siklus Pertama Dengan Siklus Kedua Skor Rata-Rata No
Jenis Penilaian Siklus Pertama Siklus Kedua
1
Penilaian Rpp
2
Penilaian Pembelajaran
Praktik
3,18
3,58
3,03
3,49
Keterangan: skor maksimal 4,00. c. Hasil pembelajaran siswa pada siklus kedua Hasil pembelajaran siswa pada siklus kedua diperoleh melalui evaluasi yang dilakukan dengan teknik tes menggunakan tes tertulis dengan bentuk soal pilihan ganda dan diperoleh hasil pembelajaran seperti pada tabel 10 berikut. Tabel 10. Nilai
siswa kelas V (lima) setelah proses perbaikan
pembelajaran pada siklus kedua Rata-rata
75,2
Tertinggi
100
Terendah
50
Tuntas
19
Belum Tuntas
4
92 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Data nilai siswa yang diperoleh pada siklus kedua kemudian dibandingkan dengan data nilai siswa pada saat siklus pertama, dan hasilnya seperti yang disajikan pada tabel 11 berikut. Tabel 11. Perbandingan nilai siswa siklus pertama dengan siklus kedua. Hasil Pembelajaran No
Komponen Siklus Pertama
Siklus Kedua
1
Rata-rata
63,5
75,2
2
Tertinggi
100
100
3
Terendah
40
50
Sedangkan data ketuntasan belajar siswa dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang digunakan di SDN 01 Binakarya Sakti sebesar 6,5 disajikan pada tabel 12 berikut. Tabel 12. Data Ketuntasan Belajar Siswa
No
Kategori
Siklus Pertama
Siklus kedua
Jumlah Anak
%
Jumlah Anak
%
1.
Tuntas
12 anak
52,2
19 anak
82,6
2.
Tidak tuntas
11 anak
47,8
4 anak
12
e. Refleksi Secara umum, berdasarkan kumpulan data yang diperoleh dari kolaborasi dengan teman sejawat, hasil wawancara, dan hasil refleksi diri selama proses pembelajaran rata-rata tingkat aktivitas siswa dari siklus pertama hingga siklus kedua mengalami kenaikan. Dari siklus pertama ke siklus kedua mengalami kenaikan sebesar 10,5 %, dari 64,4 % pada siklus pertama menjadi 74,9 % pada siklus kedua.
93 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Skor hasil penilaian supervisor dan kepala sekolah terhadap RPP dan praktik pembelajaran mengalami kenaikan dari 3,18 dan 3,03 menjadi 3,58 dan 3,49 dari skor maksimal 4,00. Nilai rata-rata hasil tes siklus pertama ke siklus kedua mengalami kenaikan dari 63,5 menjadi 75,2. Sedangkan rata-rata tingkat ketuntasan belajar siswa dari siklus pertama ke siklus kedua mengalami kenaikan sebesar 30,4 % dari 52, 2 % (siklus pertama) menjadi 82,6 % (siklus kedua). Dari data-data hasil penelitian di atas dapat dikatakan bahwa pembelajaran menggunakan pendekatan kelompok kecil dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa.
C. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa: 1.
Pembelajaran
menggunakan
pendekatan
kelompok
kecil
dapat
meningkatkan aktivitas siswa pada mata Pelajaran IPS kelas V yang ditunjukkan dengan persentase siswa aktif dari siklus pertama sebesar 64,4 % menjadi 74,9 % pada siklus kedua. 2.
Pembelajaran
menggunakan
pendekatan
kelompok
kecil
dapat
meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPS kelas V yang ditunjukkan dengan kenaikan rata-rata nilai siswa dari silkus pertama sebesar 63,5 menjadi 75,2 pada siklus kedua.
DAFTAR PUSTAKA Abimanyu, Soli. dkk. 2008. Strategi Pembelajaran. Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas. Jakarta. 264 hlm. Hidayati, Mujinem, Anwar Senen. 2008. Pengembangan Pendidikan IPS SD. Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas. Jakarta. 426 hlm. Hanafiah, Nanang. Cucu Suhana. 2009. Konsep Strategi Pembelajaran. Refika Aditama. Bandung. 238 hlm.
94 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Poerwanti, Endang. dkk. 2008. Asesmen Pembelajaran SD. Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas. Jakarta. 379 hlm. Sardiman. 1992. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Rajawali Pers. Jakarta. Sumantri, Mulyani. Johar Permana. 1998. Strategi Belajar Mengajar. Depdikbud Dirjen Dikti Proyek PGSD. Jakarta. 324 hlm. Wardani, I.G.A.K. Kuswaya Wihardit. Noehi Nasution. 2003. Penelitian Tindakan Kelas. Pusat Penerbitan Universitas Terbuka. Jakarta. 197 hlm. WS, Winkel. 1983. Psikologi Pendidikan Dan Evaluasi Belajar. Jakarta: PT. Gramedia.
95 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill) Dalam Pembelajaran Sains di SD/MI
AYU NUR SHAUMI IAIN RADEN INTAN LAMPUNG
Abstract Education is one of the manifestations of human culture that is dynamic and developmental requirements. Therefore, changes or educational development is that it should happen in line with the changing culture of life. Changes in the sense of improving education at all levels should continue to be done in anticipation of future interest. Education which has been implemented in Indonesia is already very good quality, but there are some things you forgotten so felt less effective teaching method. One of the most important yet often overlooked is life skills or life skills. This is emphasized in the effort to develop generic skills namely personal skills and social skills. This does not mean that specific skills are skills for academic and vocational skills are not developed, although it was only in the early stages of development or introduction . Key words: Education, personal skills, social skills
A. PENDAHULUAN Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia secara teknisoperasional yang dilakukan melalui pembelajaran. Program pembelajaran yang baik yang akan menghasilkan efek berantai pada kemampuan peserta didik atau individu untuk belajar secara terus menerus melalui lingkungannya (lingkungan alam dan lingkungan sosial) sebagai sumber belajar yang tak terbatas (Anwar, 2006). Pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia yang dinamis dan syarat perkembangan. Oleh karena itu, perubahan atau perkembangan pendidikan adalah hal yang memang seharusnya terjadi sejalan dengan perubahan budaya kehidupan. Pendidikan juga bisa diartikan sebagai usaha yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental (Sudirman N dkk, 1992). Pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia yang dinamis dan syarat perkembangan. Oleh karena itu, perubahan atau perkembangan pendidikan adalah hal yang memang
96 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
seharusnya terjadi sejalan dengan perubahan budaya kehidupan. Perubahan dalam arti perbaikan pendidikan pada semua tingkat perlu terus menerus dilakukan sebagai antisipasi keentingan masa depan (Trianto, 2010). Berbagai macam metode pendidikan seperti home schooling,privat, maupun yang secara langsung di sekolah telah tersedia di Indonesia. Pendidikan yang telah diterapkan di Indonesia sebenarnya sudah sangat berkualitas, namun ada beberapa hal yang dilupakan sehingga metode pengajaran dirasakan kurang efektif. Salah satunya yang terpenting namun sering dilupakan adalah life skill atau kecakapan hidup. Saat ini masalah life skills melalui pendidikan formal menjadi aktual untuk dibahas karena berbagai alasan yang sangat rasional seperti meningkatnya lulusan pendidikan dasar yang tidak melanjutkan ke jenjang sekolah menengah, lulusan sekolah menengah yang tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Kecakapan hidup erat kaitannya dengan kecakapan atau kemampuan yang diperlukan sesorang agar menjadi
independen
dalam
kehidupan. Pendidikan kecakapan
hidup
mengorientasikan siswa untuk memiliki kemampuan dan modal dasar agar dapat hidup mandiri dan survive di lingkungannya. Pendidikan kecakapan hidup diperlukan dan mendesak untuk diterapkan di Indonesia karena muatan kurikulum di Indonesia cenderung memperkuat kemampuan teoritis akademik (academicskills). Pendidikankecakapan hidup merupakan salah satu alternatif sebagai upaya mempersiapkan peserta didik agar memiliki sikap dan kecakapan hidup sebagai bekal bagi kehidupannya kelak melalui sebuah kegiatan pembelajaran yang aktif, kreatif dan menyenangkan. Dalam catatan sejarah, pendidikan bisa menjadi kekuatan yang dahsyat manakala di garap secara serius. Sejarah membuktikan bahwa pendidikan mampu membebaskan suatu bangsa dari penjajahan. Ace Suryadi dan H.A.R Tilaar mengutip pengakuan Raymond Kennedy, seorang pakar politik sebelum perang dunia II. Dia menegaskan bahwa pendidikan merupakan dinamit bagi pemerintah kolonial, lantaran pendidikan akan menyadarkan penduduk terjajah akan hakhaknya (Ace Suryadi dan H.A.R Tilaar, 1993). Pendidikan diharapkan mampu membangun integritas kepribadian manusia Indonsesia seutuhnya dengan mengembangkan berbagai potesi secara
97 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
terpadu. (UU RI No.20 tahun 2003) tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 menegaskan: “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermatabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dengan pemahaman lain, menurut Tariq Ramadan, “Pendidikan memacu pencapaian pengetahuan dan keterampilan-keterampilan, tetapi juga memacu belajar menjaga potensi spiritual, intelektual, dan estetika kita (Tariq Ramadhan, 2010).”Belajar merupakan sebuah proses yang terjadi pada manusia dengan berpikir, merasa, dan bergerak untuk memahami setiap kenyataan yang diinginkannya untuk menghasilkan sebuah perilaku, pengetahuan, atau teknologi atau apapun yang berupa karya manusia tersebut. Belajar berarti sebuah pembaharuan menuju pengembangan diri individu agar kehidupannya bisa lebih baik dari sebelumnya. Belajar pula bisa berarti adaptasi terhadap lingkungan dan interaksi seorang manusia dengan lingkungan tersebut. Untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaannya, maka perlu dilakukan penelitian terkait dengan implementasi pendidikan kecakapan hidup dalam pembelajaran IPA. Sehingga hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran pelaksanaan pembelajaran pendidikan pada mata pelajaran IPA di Madrasah, diharapkan peserta didik atau para lulusan (out put) memiliki dan mampu mengembangkan kecakapan-kecakapan untuk mau hidup dan berani menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara pro aktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga mampu mengatasinya. B. PEMBAHASAN Kecakapan hidup yaitu kecakapan untuk melakukan adaptasi dan perilaku positif yang memungkinkan individu untuk melakukan reaksi secara efektif dalam menghadapi kebutuhan dan tantangan sehari-hari (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan, 2007).Kecakapan hidup pada intinya lebih menekankan pada 98 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
penguasaan kecakapan yang memungkinkan seseorang untuk memperoleh mental yang memadai dan kompetensi bagi kelompok remaja dalam menghadapi kenyataan kehidupan sehari-hari. Pada esensinya kecakapan hidup adalah keterampilan siswa untuk memahami dirinya dan potensinya dalam kehidupan, antara lain mencakup penentuan tujuan, memecahkan masalah dan hidup bersama orang lain (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan, 2007).Konsep atau pengertian kecakapan hidup, lebih
luas dari keterampilan untuk bekerja. Orang yang tidak bekerja, orang pensiunan, siswa, mahasiswa, dan sejenisnya tetap memerlukan kecakapan hidup. Seperti orang yang bekerja, mereka juga menghadapi berbagai masalah yang harus dipecahkan di dalam hidupnya. Hal itu jelas, karena hidup dan kehidupan ini merupakan masalah yang bersambung-sambung, selesai satu masalah, akan muncul masalah baru yang perlu dipecahkan dan diselesaikan. Oleh sebab itu, pembelajar kita perlu dibekali dengan kecakapan hidup. Pendidikan berlangsung pada setiap saat dan di setiap tempat. Setiap orang mengalami proses pendidikan melalui yang dijumpai dan dikerjakannya. Pendidikan berlangsung secara alamiah walau tanpa kesengajaan. Anak-anak sampai orang dewasa berinteraksi dengan lingkungannya. Lingkungan sosial, lingkungan budaya, dan lingkungan alam, memberinya pendidikan. Pendidikan yang berorientasi pada kecakapan hidup dilaksanakan untuk memberikan kesempatan kepada setiap peserta didik memperoleh bekal keterampilan dan keahlian yang dapat dijadikan sebagai sumber penghidupannya. Pelaksanaan mengakomodasi
pendidikan
berbagai
kecakapan
kepentingan
dan
hidup kebutuhan
dirancang masyarakat
dengan serta
mengimplementasikannya ke dalam program pendidikan di madrasah, kurikulum yang merefleksikan kebutuhan masyarakat dan pembelajaran yang khas dan terukur sehingga kompetensi lulusannya dapat memenuhi standart yang dapat dipertanggungjawabkan. Konsep pendidikanlife skills merupakan salah satu fokus analisis dalam pengembangan kurikulum pendidikan yang menekankan pada kecakapan hidup atau bekerja. Pendidikan Life skills memiliki makna yang luas dari employablity skills dan vocational skills. Keduanya merupakan bagian dari program life skills. 99 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Dengan demikian skills dapat dinyatakan sebagai kecakapan untuk hidup. Istilah hidup, tidak semata-mata memiliki kemampuan tertentu saja (vocational job), namun harus memiliki kemampuan dasar pendukungnya secara fungsional seperti membaca, menulis, menghitung, merumuskan, dan memecahkan masalah mengelola sumber daya, bekerja dalam tim, terus belajar ditempat menggunakan tekhnologi (Satori D, 2002). Program pendidikan life skills adalah pendidikan yang dapat memberikan bekal keterampilan yang praktis terpakai, terkait dengan kebutuhan pasar kerja, peluang usaha dan potensi ekonomi atau industri yang ada di masyarakat. Life skills ini memiliki cakup yang luas, berinteraksi antara pengetahuan yang dinyakini sebagai unsur penting untuk hidup lebih mandiri. Ciri pembelajaran life skills adalah (1) terjadi proses identifikasi kebutuhan belajar, (2) terjadi proses penyadaran untuk belajar bersama, (3) terjadi keselarasan kegiatan belajar untuk mengembangkan diri, belajar, usaha mandiri, usaha bersama, (4) terjadi proses penguasaan kecakapan personal, sosial, vokasional, akademik, menajerial, kewirahusahaan, (5) terjadi proses pemberian pengalaman dalam melakukan pekerjaan dengan benar, menghasilkan produk bermutu, (6) terjadi proses interaksi saling belajar dari ahli, (7) terjadi proses penilaian kompetensi, dan (8) terjadi pendampingan teknis untuk bekerja atau membentuk usaha bersama (Depdiknas, 2003). Apabila dihubungkan dengan pekerjaan tertentu, life skills dalam lingkup pendidikan Non-Formal ditujukan pada penguasaan vocational skills. Yang intinya terletak pada penguasaan specific occupational job. Apabila dipahami dengan baik, maka dapat dikatakan bahwa life skills dalam konteks kepemilikan specific occupational skills sesungguhnya diperlukan oleh setiap orang. Ini berarti bahwa program life skills dalam pemaknaan program Pendidikan Non-Formal diharapkan dapat menolong mereka untuk memiliki harga diri dan kepercayaan diri mencapai nafkah dalam konteks peluang yang ada dilingkungannya. Secara umum pendidikan kecakapan ini bertujuan memfungsikan pendidikan sebagai wahana pengembangan fitrah manusia; yaitu mengembangkan
100 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
seluruh potensi peserta didik sehingga sadar akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai makhluk Allah SWT untuk siap menjalani hidup serta menghadapi perannya di masa yang akan datang. Secara khusus pendidikan berorientasi pada kecakapan hidup bertujuan : a.
Mengembangkan seluruh potensi peserta didik sehingga mereka cakap bekerja (cakap hidup) dan mampu memecahkan masalah hidup sehari-hari dengan bimbingan nilai-norma islami,
b.
Merancang pendidikan dan pembelajaran agar fungsional bagi kehidupan peserta didik dalam menghadapi kehidupannya sekarang dan masa yang akan datang,
c.
Memberikan
kesempatan
pada
madrasah
untuk
mengembangkan
pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan pendidikan berbasis luas (broad field), d.
Mengoptimalkan pemampaatan sumberdaya dilingkungan madrasah dan di masyarakat, sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah untuk mewujudkan budaya madrasah bernuansa kecakapan hidup yang Islami. Adapun manfaat pendidikan berorientasi pada kecakapan hidup pada
peserta didik, secara umum adalah sebagai bekal dalam menghadapi dan memecahkan masalah hidup dan kehidupan, baik sebagai pribadi yang tangguh dan mandiri, warga masyarakat maupun sebagai warga negara. Jika hal itu dapat dicapai, maka faktor ketergantungan lapangan pekerjaan yang sudah ada dapat diturunkan, yang berarti produktivitas nasional akan meningkat secara bertahap (Depertamen Agama RI, 2005). Jika hal itu dapat dicapai, maka faktor ketergantungan terhadap lapangan pekerjaan yang sudah ada dapat diturunkan, yang berarti produktivitas nasional akan meningkat secara bertahap. Sepanjang pemberdayaan merupakan visi utama dari kecakapan hidup sangat penting untuk memperjelas hakikat pemberdayaan.
101 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Dalam pemberdayaan mengandung konsep utama (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan, 2007): a.
Dapat melihat diri secara objektif dan memiliki keyakinan bahwa seseorang terbuka pada perubahan
b.
Memiliki kecakapan untuk berubah merupakan bagian tidaK terpisahkan dari diri seseorang dan dunia disekitar kita dimana kita merupakan bagiannya dalam mengisi kehidupan.
c.
Mampu menggunakan perasaan untuk mengenali adanya kesenjangan antara kenyataan saaat ini dengan yang diharapkan terjadi,
d.
Mampu menetapkan secara tepat hasil pekerjaan yang ditetapkan dan melakukan tindakan untuk mencapainya,
e.
Mampu bertindak untuk melaksanakan perencaan kegiatan,
f.
Dalam kehidupan sehari-hari sadar akan kemampuan untuk melakukan akses dan mencari sumber-sumber serta mempengaruhi dan mengarahkann diri.
g.
Mampu mendorong orang lain untuk berdaya dalam meningkatkan kehidupannya dan mampu mempengaruhi berbagai ragam kehidupan. Dengan menguasai kecakapan hidup seseorang dapat mewujudkan
pengembangan kapasitas. Sedangkan pengembangan kapasitas merupakan inti dari pertumbuhan dan pengembangan umat manusia. Pengembangan kapasitas suatu proses yang mendorong dalam pemberdayaan manusia untuk secara aktif membangun masyarakat. Dengan demikian pengembangan kapasitas merupakan aspek yang sangat penting dan merupakan dasar dari pendidikan kecakapan hidup. Pendidikan kecakapan hidup bertujuan untuk membantu manusia untuk memenuhi kebutuhan agar manusia yang lebih efektif dalam menghadapi tantangan yang dihadapi dalam kehidupan. Dengan memberikan peluang pada peserta belajar untuk mengembangkan keterampilan mereka bisa mengarahkan diri untuk lebih berhasil dalam mengghadpi kehidupan dan permasalahan. Pendidikan kecakapan hidup pada akhirnya bertujuan membantu peserta belajar untuk lebih berdaya serta pada saat yang sama mampu mengembangkan kapasitasnya(Tim Pengembang Ilmu Pendidikan, 2007).
102 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Pendidikan kecakapan hidup pada sisi lain bertujuan untuk merangsang peserta belajar dalam mengembangkan ketrampilan yang diperlukan kehidupan dan belajar. Kegiatan belajar berikutnya yang sangat dibutuhkan yaitu kemampuan untuk menghadapi peluang dan meningkatkan kualitas hidup dan serta dapat memfungsikan diri secara lebih baik. Orang yang sedang menempuh pendidikan pun memerlukan kecakapan hidup, karena mereka tentu juga memiliki permasalahannya sendiri. Bukankah dalam hidup ini, dimanapun dan kapanpun, orang selalu menemui masalah yang memerlukan pemecahan.Makna lain dari kecakapan hidup (life skills) adalah (Direktoral Jendral Kelembagaan Agama Islam, 2005): a.
Pengetahuan dan kemampuan yang diperlukan untuk berfungsi dalam masyarakat.
b.
Kemampuan yang membuat seseorang berbeda dalam kehidupan sehari-hari
c.
Kemampuan yang berupa perilaku adaptif dan positif yang memungkinkan seorang untuk menjawab tuntunan dan tantangan kehidupan sehari-hari secara efektif. Konsep life skill
di madrasah merupakan wacana pengembangan
kurikulum yang telah sejak lama menjadi perhatian para pakar. Oleh karena itu dalam rangka pengembangan silabus konsep life skill ini perlu mendapatkan perhatian secara khusus, terutama pada mata pelajaran yang menekankan pada kecakapan hidup atau bekerja. Berdasarkan karakteristik pegembangan kognitif siswa pada usia anak MI seperti telah tersebut sebelumnya, maka pengembangan kecakapan hidup pada jenjang ini lebih ditekankan pada kecakapan hidup general (GLS) mencakup (1) kecakapan personal (2) kecakapan berfikir rasional, dan (3) kecakapan sosial. Kecakapan hidup general (GLS) ini berfungsi sebagai bekal dasar bagi kepribadian anak untuk penyesuaian diri dalam hidup bermasyarakat. Kecakapan ini penting diberikan sejak awal anak di sekolah, dibentuk melalui pembiaasaan dan latihan, sehingga menjadi karakter dan membentuk pola prilakunya.
103 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Bagan berikut ini menggambarkan kecakapan hidup (life skill) yang dikembangkan di pendidikan dasar, MI dan MTs: Bagan II Kecakapan Hidup untuk jenjang MI
MA
d.
Vocational Skill (VS)
Academic Skill (AS)
e.
SMK/ KURSUS
General Life Skill (GLS)
MI & MTs
Disamping pengembangan kecakapan hidup general (GSL) tersebut, juga dilakukan upaya : a.
Mengakrabkan peserta didik dengan kehidupan nyata dilingkunganya,
b.
Menumbuhkan kesadaran tentang makna/nilai perbuatan seseorang terhadap pemenuhan kebutuhan hidupnya,
c.
Memberikan
sentuhan
awal
terhadap
pengembangan
keterampilan
pisikomotorik, d.
Memberikan pilihan tindakan yang dapat memacu kreativitas (Departemen Agama RI, 2005).
Pembelajaran IPA di Madrasah Ibtidaiyah 1.
Pengertian Pembelajaran IPA (Sains) Ilmu Pengetahuan Alam merupakan terjemahan kata-kata dalam bahasa
Inggris yaitu natural sceince, artinya ilmu pengetahuan alam (Usman Samatowa, 2001). Sains atau disebut dengan Ilmu Pengetahuan Alam merupakan ilmu yang berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga sains bukan hanya penguasaan kumpulan-kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pembelajaran dapat diartikan sebagai proses membuat orang
104 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
belajar. Tujuannya adalah membantu orang belajar atau memanipulasi lingkungan sehingga memberi kemudahan bagi orang yang belajar (Depdiknas, 2003). Pendidikan sains diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah (Direktorat Pendidikan Pada Madrasah, 2006). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sains diartikan sebagai kata Ilmu Pengetahuan Alam, pengetahuan sistematis tentang alam dan dunia fisik, termasuk di dalamnya zoologi, botani, fisika, kimia, biologi, dan geologi. Alfed T Collette dan Eugene L. Chiappetta berpendapat bahwa “Science should be viewed as a way of thinking in the persuit of understanding nature, as a way of investigations claims about phenomena and a body knowledge that has resulted from inquiry (Alfed T Collette dan Eugene L, 1994).
Sains merupakan suatu sistem pengetahuan mengenai alam semesta yang diperoleh dari pengeumpulan data melalui hasil observasi dan eksperimen terkontrol (Carin, 1964). Di dalam sains mengandung proses pengumpulan data kemudian diperkuat oleh teori yang telah ada dan mempertimbangkan obyek spesifik yang akan diobservasi. Dari definisi sains di atas, dapat dilihat ada dua elemen sains yaitu proses atau metode ilmiah dan produk sains atau hasil eksperimen (hasil observasi). Carin dan Sund berpendapat bahwa terdapat tiga elemen sains yang meliputi sikap manusia, proses atau metode dan produk (Carin, 1964).
2.
Hakikat Pembelajaran IPA Pembelajaran IPA di SD/MI menekankan pada pemberian langsung untuk
mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pembelajaran pada hakikatnya adalah proses komunikasi transaksional antara guru dan siswa di mana dalam proses tersebut bersifat timbal balik.
105 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Adapun pengetahuan itu sendiri artinya segala sesuatu yang diketahui oleh manusia. Jadi secara singkat IPA adalah pengetahuan yang rasional dan objektif tentang alam semesta dengan segala isinya (Hendro Darmojo & Jenny R.E Kaligis, 1992).
Ilmu pengetahuan alam sebagai disiplin Ilmu dan penerapananya dalam masyarakat membuat pendidikan IPA menjadi penting. Struktur kognitif anak tidak dapat dibandingkan IPA dengan struktur kognitif ilmuan. Hendro Darmodjo dan Jenny R. E. Kaligis (1992) menyatakan bahwa mengajar dan belajar merupakan suatu proses yang tidak dapat dipisahkan dalam pembelajaran.
Pembelajaran
akan berhasil apa bila terjadi proses
mengajar dan proses belajar yang harmoni. Pembelajaran sains sebaiknya dilaksanakan secara inkuiri ilmiah (scientific inquiry) untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup. Mata pembelajaran sains di MI bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut (Direktorat Pendidikan Pada Madrasah, 2006):
a.
Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaanNya.
b.
Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep sains yang bermanfaan dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
c.
Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positip dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara Sains, lingkungan, teknologi dan masyarakat. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu
tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penugasan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep,atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempekajari diri sendiri, dan alam sekitar, serta prosepek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya didalam kehidupan sehari-hari.
106 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Pada pelaksanaannya, aspek kecakapan hidup dikembangkan atau diintegrasikan
dalam
kegiatan
pembelajaran
yang
dilakukan,
sehingga
berpengaruh dengan metode pembelajaran yang digunakan dan dituangkan ke dalam bentuk program tahunan (prota), program semseter (promes), pemetaan standar kompetensi, kompetensi dasar, silabus, dan rencana pelaksanaan pembelajaran. Langkah-langkah yang dilakukan dalam mendesain pendidikan kecakapan hidup pada pembelajaran IPA di MI/SD ini pertama dipaparkan dalam program tahunan kemudian dipaparkan dalam program semeseter. Dari program semseter ini selanjutnya dari pemetaan SK-KD indikator aspek pembelajaran dipaparkan dalam bentuk silabus. Silabus ini kemudian dikembangkan disesuaikan dengan tujuan pembelajaran yang diharapkan, misalnya untuk pencapaian kecakapan personal
maupun
kecakapan
sosial
yang
diharapkan
setelah
kegiatan
pembelajaran. Selanjutnya dari pengembangan silabus tersebut secara rinci dipaparkan dalam RPP. Pelaksanaan Pendidikan Kecakapan Hidup dalam Pembelajaran IPA di MI: a.
Didominasi pada Kecakapan Generik
b.
Strategi Pembelajaran
c.
Metode Pembelajaran
d.
Kegiatan pembelajaran
e.
Model Kecakapan Hidup yang diwujdukan dalam Pembelajaran IPA di MI/SD
C. KESIMPULAN Desain pendidikan kecakapan hidup dalam pembelajaran IPA di MI/SD yakni, aspek-aspek kecakapan hidup yang akan dikembangkan, diintegrasikan dan merupakan bagian dari kompetensi dasar yang harus diupayakan tercapai bersamaan dengan pencapaian kecakapan yang bersumber dari subtansi pokok bahasan pelajaran IPA yang dituangkan kedalam bentuk program tahunan, program semester, pemetaan SK-KD, indikator aspek, silabus dan RPP. Sebelum 107 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
guru merancang kegiatan pembelajaran, terlebih dahulu memastikan kecakapan hidup apa yang ingin dikembangkan pada pokok bahasan dalam mata pelajaran IPA yang disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan peserta didik dan guru yang bersangkutan secara sengaja memasukkannya sebagai kompetensi dasar dan merancangnya menjadi kegiatan pembelajaran. Impelementasi pendidikan kecakapan hidup dalam pembelajaran IPA di MI/SD ini sesuai dengan tingkat fisiologis dan psikologis siswa pada tingkat MI. Hal ini ditekankan pada usaha untuk mengembangkan kecakapan generik yaitu kecakapan personal dan kecakapan sosial. Ini bukan berarti untuk kecakapan spesifik
yaitu
kecakapan
akademikdan
kecakapan
vokasional
tidak
dikembangkan, walaupun dikembangkannya barulah pada tahap awal atau pengenalan. Aspek-aspek kecakapan hidup yang akan dikembangkan ikut berpengaruh terhadap metode pembelajaran yang digunakan dari beberapa metode pembelajaran yang digunakan. Hal itu dijadikan upaya dalam pendidikan yang berorientasi untuk mengembangkan kecakapan hidup peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA Ace Suryadi dan H.A.R Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 1993 Alfed T Collette dan Eugene L. Chiappetta, Science Instruction in the Middle and Secondary School 3rd Ed, New York: Merrill an imprint of Macmillan Publishing Company, 1994 Anwar, Pendidikan Kecakapan Hidup Konsep dan Aplikasi , Bandung: Alfabeta,2006 Carin, A. A. 7 R.B. Sund, Teaching Science Through Discovery, Fifth Edition, Ohio: Merilll Publishing Company, 1964 Departemen Pendidikan Nasional, Pendidikan Kecakapan Hidup-Life Skill, Jakarta: Depdiknas, 2003 Depdiknas, Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning), Jakarta: Depdiknas,2003
108 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Depertamen Agama RI, Pedoman Integrasi Pendidikan kecakapan Hidup (life skills) dalam Pembelajaran Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2005 Direktoral Jendral Kelembagaan Agama Islam, Pedoman Integrasi Life Skill Dalam Pembelajaran Madrsah Aliyah, Departemen Agama: Jakarta, 2005. Direktorat Pendidikan Pada Madrasah, Direktorat Jendral Pendidikan Islam, Departemen Agama Islam. Departemen Agama Indonesia, Standar Isi Madrasah Ibtidaiyah, Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, 2006. Direktorat Pendidikan Pada Madrasah, Direktorat Jendral Pendidikan Islam, Departemen Agama Islam, Departemen Agama Indonesia, Standar Isi Madrasah Ibtidaiyah, Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, 2006. Hendro Darmojo & Jenny R.E Kaligis. Pendidikan IPA Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan Direktoral Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Jakarta, 1992. Satori. D, “Implementasi Life Skill Dalam Konteks Pendidikan Di Sekolah”, Dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. No.34 (8) Januari 2002. Sudirman N, dkk, Ilmu Pendidikan Bandung: Remaja Rosda Karya,1992. Tariq Ramadan, The Quest for Meaning Development a Philosophy of Pluralism London: The Pinguin Grop, 2010. Tim Pengembang Ilmu Pendidikan, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan Bagian IV , PT Imperial Bhakti Utama, Bandung 2007. Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan dan Implementasinya pada KTSP, Jakarta: Kencana Prenada Media Grop,2010. Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta:Wacana Intelektual Press,2006. Usman Smatowa, Pembelajaran IPA di sekolah Dasar, Jakarta: PT Indeks, 2011
109 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI DAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA SEKOLAH DASAR DENGAN MODEL MISSOURI MATHEMATICS PROJECT (MMP)
SRI PURWANTI IAIN RADEN INTAN LAMPUNG
Abstrak Kemampuan berpikir kritis matematis merupakan salah satu kemampuan yang dimiliki siswa, agar siswa dapat memecahkan secara kritis persoalanpersoalan yang dihadapi dalam dunia yang senantiasa berubah. Dengan memperhatikan pentingnya kemampuan berpikir kritis yang perlu dimiliki siswa, maka pengembangan kemampuan berpikir kritis merupakan hal yang perlu dilakukan mulai dari jenjang sekolah dasar sampai menengah. Model pembelajaran Missouri Mathematics Project (MMP) merupakan salah satu model pembelajaran yang membantu siswa Ssekolah Dasar dalam memahami konsep matematika khususnya kemampuan komunikasi dan kemampuan
berpikir
kritis
matematis.
Dengan
demikian
siswa
berani
mengungkapkan ide-ide atau gagasan dalam pembelajaran matematika, serta mampu berpikir kritis dalam memecahkan permasalahan sehari-hari. Dengan pembelajaran seperti ini, siswa sebagai subjek belajar dilibatkan dalam menemukan konsep-konsep pelajaran
yang harus dikuasainya. Hal ini
menyebabkan konsep-konsep yang diberikan, membekas tajam dalam ingatan siswa. Dengan demikian, siswa dapat menjawab tes, baik itu tes akhir semester maupun ujian nasional. Kata Kunci: komunikasi, berpikir kritis, pembelajaran matematika A. PENDAHULUAN Matematika mempunyai ciri-ciri khusus sehingga pendidikan dan pengajaran matematika perlu ditangani secara khusus pula. Salah satu ciri khusus matematika adalah sifatnya yang menekankan pada proses deduktif yang memerlukan penalaran logis dan aksiomatik. Demikian pula matematika sebagai proses yang aktif, dinamik dan generatif melalui kegiatan matematika (doing 110 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
math), memberikan sumbangan yang penting kepada siswa dalam pengembangan nalar, bepikir logis, sistematik, kritis, cermat dan bersikap objektif serta terbuka dalam menghadapi berbagai permasalahan. Matematika sangat penting diberikan di Sekolah Dasar maupun menengah hingga perguruan tinggi, dalam upaya meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas. Proses pembelajaran matematika akan lebih efektif dan bermakna apabila siswa berpartisipasi aktif. Salah satu ciri kebermaknaan dalam proses belajar mengajar adalah adanya keterlibatan atau partisipasi siswa dalam proses belajar mengajar. Partisipasi merupakan suatu sikap berperan serta, ikut serta, keterlibatan atau proses belajar bersama saling memahami, menganalisis, merencanakan dan melakukan tindakan. Tujuan pembelajaran matematika menurut National Council of Teachers of Mathematics (2000) yang menetapkan standar-standar kemampuan matematis seperti pemecahan masalah, penalaran dan pembuktian, komunikasi, koneksi dan representasi, seharusnya dapat dimiliki oleh peserta didik. Hal ini disebabkan matematika berperan meningkatkan kemampuan siswa dalam bernalar dengan menggunakan logika matematika. Demikian pula dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dinyatakan bahwa setelah pembelajaran siswa harus memiliki seperangkat kompetensi matematika yang harus ditunjukan pada hasil belajarnya dalam mata pelajaran matematika (standar kompetensi). Adapun kecakapan atau kemahiran matematika yang diharapkan dapat tercapai siswa dalam belajar matematika mulai dari SD, SMP sampai SMA adalah sebagai berikut: (1) pemahaman konsep; (2) penalaran; (3) komunikasi; (4) pemecahan masalah; (5) dan memiliki sikap menghargai kegunaaan matematika dalam kehidupan. Jelas bahwa komunikasi merupakan kemampuan yang harus dimiliki siswa sebagai standar yang harus dikembangkan (Depdiknas, 2006). Menurut Wahyudin (dalam Juariah, 2008: 6) ada 13 alasan mengapa matematika diajarkan. Dua diantaranya: (1) matematika itu sebagai alat komunikasi yang tangguh, singkat, padat dan tak memiliki arti ganda. (2) matematika adalah alat tangguh komunikasi untuk menghadirkan, menjelaskan,
111 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
dan memprediksi juga sebagai alat komunikasi informasi yang singkat padat karena matematika menggunakan secar intensif notasi-notasi simbol. Menurut Kusumah (2008) komunikasi merupakan bagian yang sangat penting dalam pembelajaran matematika. Melalui komunikasi ide matematika dapat dieksploitasi dalam berbagai perspektif, cara berpikir siswa dipertajam, pertumbuhan pemahaman dapat diukur, pemikiran siswa dapat dikonsolidasikan dan diorganisir, pengetahuan matematika siswa dapat dikonstruksi, penalaran siswa dapat ditingkatkan dan komunitas matematika dapat dibentuk. Salah satu di antara keterampilan matematis yang perlu dikembangkan yaitu kemampuan komunikasi. Kemampuan komunikasi dalam matematika merupakan keterampilan siswa dalam mengekspresikan ide-ide matematika/ simbol
matematika,
kemampuan
memahami,
menginterprestasikan
dan
menjelaskan istilah-istilah dan notasi matematika baik secara lisan maupun tulisan. Kemampuan komunikasi matematis siswa dapat terjadi jika proses pembelajaran terjadi dalam komunikasi dua arah yakni salah satunya melalui diskusi,
melalui
diskusi
dan
pembelajaran
berkelompok
siswa
dapat
mengkomunikasikan pemikiran mereka pada teman-teman sekelas dan guru. Selain kemampuan komunikasi matematis, aspek lain yang ditekankan dalam pembelajaran matematika adalah aspek kemampuan berpikir kritis matematis. Surya (dalam Karim, 2010)
mengemukakan bahwa siswa
menggunakan kemampuan berpikirnya untuk memahami pengetahuan dan memecahkan masalah. Berpikir kritis sangat di perlukan oleh siswa. Berpikir kritis dapat bermanfaat untuk menghadapi berbagai kemungkinan dan kemampuan berpikir kritis ini memiliki karakteristik yang paling mungkin dapat dikembangkan melalui pembelajaran matematika (Depdiknas, 2003). Kemampuan berpikir kritis matematis merupakan salah satu kemampuan yang dimiliki siswa, agar siswa dapat memecahkan secara kritis persoalanpersoalan yang dihadapi dalam dunia yang senantiasa berubah. Dengan memperhatikan pentingnya kemampuan berpikir kritis yang perlu dimiliki siswa, maka pengembangan kemampuan berpikir kritis merupakan hal yang perlu dilakukan mulai dari jenjang sekolah dasar sampai menengah.
112 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Pembelajaran matematika yang dapat mengembangkan kemampuan komunikasi dan berpikir kritis matematis adalah pembelajaran matematika yang memberikan
keleluasaan
berpikir
kepada
siswa
untuk
mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri. Pembelajaran tersebut tentu harus berpusat kepada siswa, sedangkan peran guru dalam pembelajaran ini tidak hanya sebagai penyampai informasi saja melainkan sebagai fasilitator, motivator dan pembimbing yang akan
memberikan
kesempatan
siswa
untuk
belajar
secara
aktif
dan
mengembangkan kemampuan berpikir. Siswa didorong untuk aktif dalam pembelajaran. Sumarmo (2000) menyatakan agar pembelajaran dapat memaksimalkan proses dan hasil belajar matematika, guru perlu mendorong siswa untuk terlibat secara aktif dalam diskusi, bertanya serta menjawab pertanyaan, berpikir secara kritis, menjelaskan setiap jawaban yang diberikan serta mengajukan alasan untuk setiap jawaban yang diajukan. Pembelajaran matematika yang diberikan hendaknya menggunakan metode, strategi, teknik maupun model. Model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan komunikasi dan berpikir kritis matematis siswa adalah model pembelajaran Missouri Mathematics Project (MMP). Model MMP merupakan model pembelajaran yang terstruktur yang meliputi review, pengembangan, latihan terkontrol, seatwork (kerja mandiri) dan penugasan (pekerjaan rumah/PR). Model pembelajaran MMP memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerja dalam kelompok dalam langkah latihan terkontrol dan memgaplikasikannya pemahaman siswa sendiri dengan bekerja sendiri dalam langkah seat work. Pada model ini siswa diberikan tugas proyek (dalam hal ini berupa Lembar Kerja Siswa/LKS) yang berisi sederetan soal dan perintah yang mengembangkan satu ide atau konsep matematika yang dapat dikerjakan secara kelompok atau individu dan siswa diberikan ruang untuk mengaplikasikan pemahamannya. B. PEMBAHASAN 1. Model Pembelajaran Missouri Mathematics Project (MMP) Model pembelajaran MMP adalah pembelajaran yang terstruktur seperti halnya Struktur Pembelajaran Matematika (SPM), tetapi MMP mengalami 113 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
perkembangan dengan langkah-langkah yang terstruktur dengan baik. Kelebihan MMP diantaranya banyak materi yang dapat disampaikan kepada siswa dan siswa dapat terampil mengerjakan soal karena banyaknya latihan yang diberikan. Good dan Grows (1979) telah mengkaji suatu bentuk pengajaran matematika Missouri. Mereka menyatakan bahwa enam tingkah laku guru yang efektif adalah: a. Mengelola kelas secara klasikal b. Menyajikan informasi secara jelas c. Memfokuskan kelas terhadap tugas-tugas d. Menciptakan lingkungan belajar yang sesuai e. Mengharapkan pencapaian yang tinggi terhadap siswa-siswanya f. Menggunakan pengalaman mengajar untuk memperkecil gangguan dalam pembelajaran. Menurut Faulkner (dalam Sunawan, 2008: 19-20) menyatakan bahwa kajian yang dilakukan oleh Good dan Grows ditujukan untuk membuat matematika lebih bermakna sehingga meningkatkan pembelajaran yang dilakukan oleh siswa. Kajian tersebut kemudian dikenal dengan Missouri Mathematics Project (MMP). Menurut Convey dalam Krismanto (2003: 12) MMP memuat 5 langkah sebagai berikut: a. Pendahuluan atau Review 1. Membahas PR 2. Meninjau ulang pelajaran yang lalu, terutama yang berkaitan dengan materi baru 3. Membangkitkan motivasi b. Pengembangan Guru menyajikan ide baru sebagai perluasan konsep matematika terdahulu. Siswa diberi tahu tujuan pembelajaran yang memiliki antisipasi tentang sasaran pembelajaran. Penjelasan, diskusi interaktif antara guru dan siswa harus disajikan termasuk demonstrasi konkrit yang sifatnya simbolik. Guru mendemonstrasikan 50% waktu pelajaran untuk pengembangan. Pengembangan akan lebih bijaksana bila disajikan dan dikombinasikan
114 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
dengan latihan terkontrol untuk meyakinkan bahwa siswa mengikuti penyajian materi baru yang akan dipelajari. c. Latihan dan bimbingan guru 1. Siswa diminta merespon satu rangkaian soal sambil guru mengamati. 2. Guru mengamati setiap langkah yang lalui siswa. 3. Belajar kooperatif, guru harus memasukkan rincian khusus tanggung jawab kelompok dan ganjaran individual berdasarkan pencapaian materi yang di pelajari. d. Kerja mandiri (seatwork) Siswa bekerja sendiri untuk latihan atau perluasan konsep pada langkah 2 (pengembangan). e. Penutup 1. Siswa merangkum pelajaran, membuat renungan tentang hal-hal baik yang sudah dilakukan serta hal-hal yang kurang baik yang harus dihilangkan. 2. Mamberikan tugas pekerjaan rumah (PR). Dalam model pembelajaran MMP hal yang sangat ditekankan adalah pada pembelajaran kooperatif dan kemandirian siswa. Pada model pembelajaran MMP siswa akan diberikan tugas proyek yang berisi sederetan soal atau perintah untuk mengembangkan suatu ide atau konsep matematika. Tugas proyek ini antara lain dimaksudkan untuk memperbaiki kemampuan komunikasi dan berpikir kritis matematis siswa. Tugas proyek ini dapat diselesaikan secara individu (pada langkah seatwork), berkelompok (pada langkah latihan terkontrol) atau bersamasama dengan seluruh siswa dalam kelas (pada langkah pengembangan). Jadi tugas proyek matematika merupakan suatu tugas yang meminta siswa menghasilkan sesuatu oleh diri siswa sendiri. Dengan tugas proyek tersebut siswa diharapkan mampu mengembangkan kemampuan komunikasi matematis yang ada pada diri siswa dengan cara menyelesaikan tugas secara berkelompok sehingga terjadi diskusi antara anggota kelompok untuk menyelesaikan soal-soal yang diberikan oleh guru. Kemampuan berpikir kritis matematis siswa terjadi pada tahap latihan mandiri dengan memberikan soal latihan-latihan kembali.
115 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
2.
Komunikasi, Berpikir Kritis Matematis dalam MMP Komunikasi secara umum dapat diartikan sebagai suatu cara untuk
menyampaikan suatu pesan dari pembawa pesan ke penerima pesan untuk memberitahu, pendapat atau perilaku baik langsung secara lisan maupun tak langsung melalaui media. Didalam berkomunikasi tersebut harus dipikirkan bagaimana caranya pesan yang disampaikan seseorang itu dapat dipahami oleh orang lain. Untuk mengembangkan kemampuan komunikasi orang dapat menyampaikan dengan berbagai bahasa termasuk bahasa matematis.Dalam matematika, berkomunikasi mencakup ketrampilan /kemampuan untuk membaca, menulis, menelaah dan merespon suatu informasi.
Dalam komunikasi
matematika, siswa dilibatkan secara aktif untuk berbagi ide dengan siswa lain dalam mengerjakan soal-soal matematika. Kemampuan komunikasi matematis dapat diartikan sebagai suatu kemampuan siswa dalam menyampaikan sesuatu yang diketahuinya melalui dialog atau saling berinteraksi di dalam kelas dalam proses pembelajaran, di mana terjadi pengalihan pesan. Pesan yang dialihkan berisi tentang materi matematika yang dipelajari siswa misalnya berupa penyampaian konsep, rumus atau strategi dalam menyelesaikan suatu permasalahan dalam pembelajaran. Para pengalih yang terlibat dalam peristiwa komunikasi dikelas adalah guru dengan siswa dan siswa dengan siswa. Cara pengalihan pesannya dapat secara lisan maupun tertulis. Depdiknas (2006: 8) menyatakan bahwa mengkomunikasikan gagasan dengan bahasa matematika justru lebih praktis, sistematis dan efesien. Menurut Turmudi (2008) proses komunikasi membantu siswa membangun makna dan kelengkapan gagasan dan membuat hal ini menjadi milik publik, sedangkan menurut
Cobb
(dalam
Saragih,
mengkomunikasikan pengetahuan
2007)
menyatakan
dengan
siswa
yang dimilikinya, maka dapat
terjadi
renegosiasi respon antarsiswa dan peran guru diharapkan hanya sebagai filter dalam proses pembelajaran. Komunikasi dalam matematika atau komunikasi matematis merupakan aktivitas baik fisik maupun mental dalam mendengarkan, membaca, menulis, berbicara, merefleksikan dan mendemonstrasikan serta menggunakan bahasa dan simbol untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasan matematika.Untuk melihat
116 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
kemampuan komunikasi matematis siswa dalam pembelajaran matematika dapat dilihat dari indikator-indikator kemampuan komunikasi dalam matematika. Banyak pendapat yang mengemukakan tentang indikator-indikator komunikasi matematika. Komunikasi matematis menjadi penting karena matematika dipandang sebagai alat komunikasi (bahasa matematika) dalam arti matematika sebagai bahasa simbol yang terlukis dalam proses simbolisasi dan formulasi yaitu mengubah pernyataan kedalam bentuk rumus, simbol atau gambar. Menurut Sumarno (2000) mengemukakan bahwa, salah satu hakekat matematika itu adalah sebagai bahasa simbol. Bahasa simbol mengandung makna bahwa matematika bersifat universal dan dapat dipahami oleh setiap orang kapan dan dimana saja. Setiap simbol mempunyai arti yang jelas, dan disepakati secara bersama oleh semua orang. Dengan adanya bahasa simbol dalam matematika, maka komunikasi antar individu atau komunikasi antara individu dengan suatu obyek menjadi lebih mudah. Sebagai contoh, penyajian data dalam bentuk tabel, diagram atau grafik menjadi lebih komunikatif daripada disajikan dalam bahasa verbal. Dengan
adanya
diskusi
dalam
kelompok,
percakapan
yang
mengungkapkan ide-ide matematis akan membantu siswa dalam mengasah pikirannya sehingga akan memahami matematika lebih baik. Proses komunikasi juga membantu siswa mengembangkan bahasanya sendiri untuk mengekspresikan ide-ide matematis, dan membantu membangun pengertian dan keakuratan ide serta membuatnya dapat disampaikan kepada orang lain. Bentuk komunikasi yang digunakan oleh guru sangat berpengaruh terhadap keberhasilan proses belajar-mengajar. Dalam pembelajaran matematika, bentuk komunikasi multiarah dapat membantu siswa mengasah kemampuan berkomunikasi, menyampaikan, dan mengekspresikan ide-ide matematikanya. Komunikasi multiarah dapat terjadi bila siswa belajar melalui model pembelajaran kelompok. Kemampuan komunikasi matematis siwa dapat dilihat pada tahapan pembelajaran model MMP pada tahap latihan terkontrol karena pada tahap ini terjadi diskusi antara siswa dalam kelompok masing-masing sehingga siswa dapat mengkomunikasikan ide-ide matematis yang ada pada diri mereka. Proses
117 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
komunikasi juga membantu siswa mengembangkan bahasanya sendiri untuk mengekspresikan ide-ide matematika, dan membantu membangun pengertian dan keakuratan ide serta membuatnya dapat disampaikan kepada orang lain.Dengan adanya diskusi dalam kelompok, percakapan yang mengungkapkan ide-ide matematika akan membantu siswa dalam mengasah pikirannya sehingga akan memahami matematika lebih baik. Whitin
(dalam
Nirmala,
2008)
menyatakan
bahwa
kemampuan
komunikasi menjadi penting ketika diskusi antar siswa dilakukan, di mana siswa diharapkan mampu menyatakan, menjelaskan, menggambarkan, mendengarkan, menanyakan dan bekerjasama sehingga dapat membawa siswa pada pemahaman yang mendalam tentang matematika. Hal ini sesuai dengan pendapat Pimm (1996) yang menyatakan bahwa anak-anak diberikan kesempatan untuk bekerjasama dalam
kelompok dalam
mengumpulkan dan menyajikan data,
mereka
menunjukkan kemajuan baik disaat mereka saling mendengarkan ide yang satu dengan yang lain, mendiskusikan bersama kemudian menyusun kesimpulan yang menjadi pendapat kelompoknya. Ternyata mereka belajar sebagian besar dari berkomunikasi dan mengkonstruksikan sendiri pengetahuan mereka. Dari kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan berkomunikasi
dalam
pelajaran
matematika
Sekolah
Dasar
perlu
ditumbuhkembangkan dan menjadi bagian yang penting untuk diperhatikan dalam pendidikan matematika, karena salah satu tujuan pembelajaran matematika adalah agar peserta didik mempunyai kemampuan untuk mengkomunikasikan gagasan atau ide secara praktis dan efesian untuk dapat menperjelas suatu keadaan atau masalah (Depdiknas, 2006). Untuk mewujudkan tujuan pembelajaran tersebut maka perlu dikembangkan suasana pembelajaran yang dapat mencapai tujuan kemampuan siswa dalam mengkomunikasikan dengan mengelompokkan siswa kedalam beberapa kelompok-kelompok kecil yang dapat dimungkinkan terjadinya komunikasi baik antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa yang lain dalam kelompoknya. Selain Kemampuan Komunikasi, kemampuan berpikir kritis juga harus dikembangkan di Sekolah Dasar. Bepikir merupakan proses yang mempengaruhi penafsiran kita terhadap stimulus yang melibatkan proses sensasi, persepsi dan
118 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
memori menurut Sobur (dalam Mayadiana, 2004:8). Ketika sebuah persoalan diberikan kepada seseorang, mula-mula melibatkan proses sensasi yaitu menangkap tulisan dan gambar. Kemudian melibatkan proses persepsi yaitu membaca dan memahami apa yang diamati dalam persoalan tersebut. Pada saat itu sebenarnya ia juga melibatkan proses memori yaitu Sagala (2010:129) berpikir berarti meletakkan hubungan antar bagian pengetahuan yang diperoleh manusia. Berpikir sebagai proses menentukan hubungan-hubungan secara bermakna antara aspek-aspek dari suatu bagian pengetahuan. Sedangkan bentuk aktivitas berpikir merupakan tingkah laku simbolik, karena seluruh aktivitas ini berhubungan dengan atau mengenai penggantian hal-hal yang konkrit. Berpikir merupakan proses dinamis yang menempuh tiga langkah berpikir yaitu: 1. Pembentukan pengertian yaitu melalui proses mendeskripsikan ciri-ciri objek yang sejenis, 2. Pembentukan pendapat yaitu meletakkan hubungan antara dua buah pengertian atau lebih. 3. Pembentukan keputusan yaitu penarikan kesimpulan yang berupa keputusan sebagai hasil pekerjaan akal berupa pendapat baru yang dibentuk berdasarkan pendapat yang sudah ada. Berpikir kritis merupakan kemampuan untuk memproses, mengevaluasi, dan menggunakan informasi untuk mencari solusi yang logis. Sayangnya tidak semua orang dilahirkan memiliki kemampuan ini dan jarang pula diajarkan di sekolah-sekolah. Berpikir kritis mempunyai beberapa ciri atau karakteristik, diantaranya: disposisi, argumen, alasan, sudut pandang, kriteria, dan prosedur untuk mengaplikasikan kriteria. Apabila seseorang memiliki ciri atau kriteria tersebut, bisa jadi dia mempunyai kemampuan untuk berpikir kritis. Di bawah ini beberapa latihan yang bisa anda pergunakan untuk membantu mengajarkan berpikir kritis kepada peserta didik. Berpikir merupakan suatu proses yang dilakukan oleh seseorang ketika dia menghadapi suatu permasalahan. Proses berpikir dimulai dengan pemahaman terhadap masalah, kemudian menganalisis permasalahan dengan berbagai
119 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
kemungkinan cara untuk menyelesaikan permasalahan. Proses pencarian menyelesaikan masalah, seseorang mungkin sebelumnya berusaha mengingat kembali cara untuk menyelesaikan masalah. Selain itu kemungkinan lain yaitu memikirkan cara baru yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah. Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Spilitter (dalam Mayadiana, 2005:9) menyatakan bahwa orang yang berpikir kritis adalah individu yang berpikir, bertindak secara normatif dan siap bernalar tentang kualitas dari apa yang mereka lihat, dengar atau pikirkan. Orang yang berpikir kritis tidak hanya sekedar menerima informasi dari pihak lain, tetapi juga melakukan pencarian. Menurut Ennis (dalam Hasratuddin, 2010: 17) mengatakan bahwa berpikir kritis adalah sesungguhnya suatu proses berpikir yang terjadi pada seseorang serta bertujuan untuk membuat keputusan-keputusan yang rasional mengenai sesuatu yang dapat diyakuni kebenarannya. Dari definisi yang diungkapkan oleh Ennis dapat diartikan bahwa berpikir kritis difokuskan pada sesuatu yang penuh kesadaran dan mengarah pada suatu tujuan. Tujuan dari berpikir kritis adalah untuk mempertimbangkan dan mengevaluasi informasi yang pada akhirnya dapat membuat keputusan. Berpikir kritis sangat diperlukan oleh setiap orang dalam menyikapi berbagai permasalahan dalam realita kehidupan, dengan berpikir kritis seseorang dapat mengatur, menyesuaikan atau mengubah pola pikirnya, sehingga dapat memutuskan suatu tindakan yang tepat. Seseorang yang berpikir kritis adalah orang yang terampil dalam bernalar dan memiliki kecenderungan untuk mempercayai dan bertindak sesuai dengan nalarnya. Seseorang mempunyai kemampuan berpikir kritis apabila ia mempunyai kemampuan dalam menganalisa, membuktikan berdasarkan alasan yang telah dipertimbangkan secara rasional, memberikan penilaian tentang kecukupan argumen, data dan kesimpulan. Hal ini sesuai dengan pendapat Ennis mengenai indikator keterampilan berpikir kritis (dalam Karim, 2010: 18-21) dibagi menjadi 5 kelompok yaitu: (1) Memberikan penjelasan sederhana (Elementary clarification), (2) Membangun keterampilan dasar (Basic support), (3) Membuat kesimpulan (Inferring), (4)
120 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Membuat penjelasan lebih lanjut (Advanced clarification), (5) Mengatur strategi dan taktik (Strategies and tactics). Kemampuan komunikasi dan berpikir kritis matematis dapat ditingkatkan dengan menggunakan model MMP. Hal ini sejalan Growns dan Good (dalam Faulkner et al, 2006) yang menyatakan bahwa guru-guru yang menggunakan model MMP sebagai model pembelajarannya, cenderung menghasilkan siswa yang capaian nilai matematikanya lebih baik daripada yang tidak menggunakan model MMP. Kemudian ditambahkan bahwa dalam suatu proses pembelajaran matematika waktu yang diberikan untuk kegiatan pengembangan seharusnya lebih besar daripada waktu yang dihabiskan untuk latihan soal. Hal ini sejalan dengan langkah-langkah dan karakteristik yang harus dilakukan dalam MMP. Pembelajaran model MMP terdiri dari lima langkah yaitu reviu, pengembangan, latihan terkontrol, seatwork, dan pemberian PR. Pada tahap reviu kegiatan yang dilakukan adalah meninjau ulang pembelajaran sebelumnya yang akan menunjang pada pembahasan konsep pada saat itu dan membahas PR seandainya ada yang perlu didiskusikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Pimm (1996) yang menyatakan bahwa anak-anak diberikan kesempatan untuk bekerjasama dalam kelompok dalam mengumpulkan dan menyajikan data, mereka menunjukkan kemajuan baik disaat mereka saling mendengarkan ide yang satu dengan yang lain, mendiskusikan bersama kemudian menyusun kesimpulan yang menjadi pendapat kelompoknya. Ternyata
mereka
belajar
sebagian
besar
dari
berkomunikasi
dan
mengkonstruksikan sendiri pengetahuan mereka. Ruseffendi (2006) menyatakan bahwa pemberian tugas rumah (soal PR) adalah menyuruh siswa berpikir di kelas sampai kepada yang paling kompleks misalnya mengerjakan tugas proyek dengan maksud agar selain untuk penguatan juga untuk menimbulkan sikap positif terhadap matematika. Dengan demikian siswa tidak takut dan malu untuk bertanya dan memberikan ide-ide atau gagasan yang dimiliki siswa. Kemampuan komunikasi dan berpikir kritis matematis siswa dalam pembelajaran dengan model MMP dapat melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran, mengkontruksi pengetahuan mereka baik secara individu
121 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
maupun kelompok.Dalam pembelajaran model Missouri Mathematics Project (MMP), peran guru sebagai pengajar berkurang sebaliknya aktivitas siswa dalam pembelajaran semakin menonjol. Guru berperan sebagai fasilitator dan motivator yang memfasilitasi dan menorong terjadinya proses belajar pada siswa melalui diskusi dalam kelompok masing-masing. C. KESIMPULAN Model pembelajaran Missouri Mathematics Project (MMP) merupakan salah satu model pembelajaran yang membantu siswa Ssekolah Dasar dalam memahami konsep matematika khususnya kemampuan komunikasi dan kemampuan
berpikir
kritis
matematis.
Dengan
demikian
siswa
berani
mengungkapkan ide-ide atau gagasan dalam pembelajaran matematika, serta mampu berpikir kritis dalam memecahkan permasalahan sehari-hari. Dengan pembelajaran seperti ini, siswa sebagai subjek belajar dilibatkan dalam menemukan konsep-konsep pelajaran
yang harus dikuasainya. Hal ini
menyebabkan konsep-konsep yang diberikan, membekas tajam dalam ingatan siswa. Dengan demikian, siswa dapat menjawab tes, baik itu tes akhir semester maupun ujian nasional. DAFTAR PUSTAKA Depdiknas. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Depdiknas.(2006). Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Ennis, R.H. (1996). Critical Thinking. University of Illinois: Upper Saddle River Prentice Hall. Good dan Grows. (tanpa tahun). Direct Instruction And Its Implementation In The ClassroomOnline Tersedia: http://edgrowth.com/p1.html 24 Desember 2011 Hasratuddin (2010). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kecerdasan Emosional Siswa SMP melalui Pendekatan Matematika Realistik. Disertasi Sps UPI: Tidak Diterbitkan
122 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Juariah (2008). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Kemampuan Komunikasi Siswa melalui Pendekatan Keterampilan Proses. Tesis SPs UPI: Tidak Diterbitkan Karim, A. (2010). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Berpikir Kritis Matematis Siswa SMP melalui Model Reciprocal Teaching. Tesis pada SPs UPI: Tidak Diterbitkan Krismanto. (2002). Beberapa Teknik, Model dan Strategi Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Depdiknas Kusumah, Y. S. (2008). Konsep, Pengembangan, dan Implementasi ComputerBased Learning dalam Peningkatan Kemampuan High-Order Mathematical Thinking. Pidato pengukuhan Guru Besar dalam Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia tanggal 23 Oktober 2008. Bandung: UPI PRESS. Lindawati, S. (2010). Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Inkuiri Terbimbing untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis SPs UPI: Tidak Diterbitkan. Mayadiana, D. (2005). Pembelajaran dengan Pendekatan Diskursif untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Matematik Mahasiswa Calon Guru Sekolah Dasar. Tesis pada SPs UPI: Tidak diterbitkan. NCTM. (1991). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Reston, VA : NCTM NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston, VA: NCTM. Nirmala. (2008). Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Pemecahan Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Dasar. Tesis. UPI: Tidak Diterbitkan. Pimm, D (1996). Meaningful Communication Among Children: Data Collection. Communication in Mathematics K-12 and Beyond. Virginia: NCTM Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito. Sagala, S. (2010). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta Sumarmo, U (2000). Pengembangan Model Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Kemampuan Intelektual Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Dasar. Laporan Penelitian. Bandung: Lembaga Penelitian UPI. Sunawan, A. (2008). Pengaruh Pembelajaran Model Missouri Mathematics Project terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa SMP
123 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Ditinjau dari Intelegence (IQ).Tesis Magister Pada SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan Turmudi. (2008). Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika (Berparadigma Eksploratif Dan Investigasi). Jakarta: Leuser Citra Pustaka
124 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
PENGELOLAAN KELAS DI MADRASAH IBTIDAIYAH
ISTIHANA IAIN RADEN INTAN LAMPUNG
Abstrak Guru memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pembelajaran di sekolah. Guru sangat berperan dalam membantu perkembangan peserta didik untuk mencapai tujuan hidupnya secara optimal. Di dalam kelas guru melaksanakan dua kegiatan pokok yaitu kegiatan belajar mengajar dan pengelolaan kelas. Kegiatan mengajar pada hakikatnya adalah proses mengatur dan mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar siswa. Pengelolaan kelas (classroom manajement) adalah serangkaian tindakan yang dilakukan guru dalam upaya menciptakan kondisi lingkungan pembelajaran yang positif dan produktif agar proses belajar mengajar dapat berjalan sesuai dengan tujuannya. Dengan kata lain, pengelolaan kelas adalah upaya memberdayakan potensi kelas melalui seperangkat keterampilan guru untuk menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif, positif, dan produktif dan mengendalikannya jika terjadi gangguan dalam pembelajaran untuk mengoptimalisasi proses pembelajaran sehingga dapat diperoleh hasil yang memuaskan. Pada anak-anak Sekolah Dasar/MI khususnya kelas 1 diharuskan menggunakan pendekatan tematik, yaitu pembelajaran terpadu menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga dapat memberikan pengalaman bermakna kepada peserta didik, karena anak-anak pada usia ini berada pada rentangan usia dini yang masih melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan sehingga pembelajarannya masih bergantung pada obyek-obyek konkrit dan pengalaman yang dialami Kata Kunci: pengelolaan kelas, Sekolah Dasar/MI, pendekatan tematik
A. PENDAHULUAN Belajar mengajar merupakan suatu aspek dari lingkungan sekolah yang diorganisasi. Belajar mengajar adalah suatu kegiatan yang bernilai edukatif. Nilai tersebut diwarnai oleh interaksi yang terjadi antara guru dan peserta didik. Kegiatan belajar mengajar diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu yang telah diprogramkan dalam kurikulum. Guru
memiliki
andil
yang
sangat
besar
terhadap
keberhasilan
pembelajaran di sekolah. Guru sangat berperan dalam membantu perkembangan peserta didik untuk mencapai tujuan hidupnya secara optimal. Di dalam kelas guru melaksanakan dua kegiatan pokok yaitu kegiatan belajar mengajar dan pengelolaan kelas. Kegiatan mengajar pada hakikatnya adalah proses mengatur
125 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
dan mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar siswa. Semua komponen pengajaran yang meliputi tujuan, bahan pelajaran, kegiatan belajar mengajar, metode, alat dan sumber, serta evaluasi diperankan secara optimal guna mencapai tujuan pengajaran yang telah ditetapkan sebelum pengajaran dilaksanakan. Jadi pengelolaan kelas tidak hanya berupa pengaturan kelas, fasilitas fisik dan rutinitas, melainkan juga mengelola berbagai hal yang tercakup dalam kompnen pembelajaran. Kegiatan pengelolaan kelas dimaksudkan untuk menciptakan dan
mempertahankan suasana dan kondisi kelas yang kondusif
sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung secara efektif dan efesien. Efektif berarti tercapainya tujuan sesuai dengan perencanaan yang dibuat secara tepat. Efesin adalah
pencapaian tujuan pembelajaran sebagaimana yang
direncanakan dengan lebih cepat. Kedua tujuan ini harus dicapai dalam kelas, karena di kelaslah segala aspek pembelajaran bertemu dan berproses. Pembelajar dengan segala kemampuannya, pembelajar dengan segala latar belakang dan sifatsifat individualnya. Kurikulum dengan segala komponennya, dan materi serta sumber pelajaran dengan segala pokok bahasanya bertemu dan berpadu serta berinteraksi di kelas. Bahkan hasil dari pendidikan secara keseluruhan sangat ditentukan oleh apa yang terjadi di kelas. Oleh sebab itu sudah selakyaknya kelas dikelola dengan baik, profesional, dan harus terus-menerus dalam perbaikan (continoues improvment). B. PEMBAHASAN 1.
Pengelolaan Kelas Pengelolaan kelas merupakan gabungan dari dua kata yaitu
pengelolaan dan kata kelas. Pengelolaan dalam
kata
bahasa Inggris diistilahkan
sebagai Management, itu berarti istilah pengelolaan identik dengan manajemen. Pengertian pengelolaan atau manajemen pada umumnya yaitu kegiatan-kegiatan meliputi
perencanaan,
pengorganisasian,
pengarahan,
pengkoordinasian,
pengawasan, dan penilaian.
126 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Pengelolaan kelas merupakan “keterampilan guru menciptakan dan memelihara kondisi belajar yang optimal dan mengembalikannya manakala terjadi hal- hal yang dapat mengganggu suasana pembelajaran”. (Wina sanjaya, 2009, hlm. 44)
Arikunto
(1988)
mengatakan
bahwa
pengelolaan
kelas
adalah
pengadministrasian, pengaturan atau penataan suatu kegiatan (secara umum). Sedangkan menurut Sardiman“Pengelolaan Kelas adalah upaya dalam mendaya gunakan potensi kelas.” (Sardiman A.M, 2005, hlm. 18) Kelas mempunyai peranan dan fungsi tertentu dalam menunjang keberhasilan proses interaksi edukatif, agar memberikan dorongan dan rangsangan terhadap anak didik untuk belajar, kelas harus dikelola sebaik-baiknya oleh guru. Berdasarkan beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pengelolaan kelas (classroom manajement) adalah serangkaian tindakan yang dilakukan guru dalam upaya menciptakan kondisi lingkungan pembelajaran yang positif dan produktif agar proses belajar mengajar dapat berjalan sesuai dengan tujuannya. Dengan kata lain, pengelolaan kelas adalah upaya memberdayakan potensi kelas melalui seperangkat keterampilan guru untuk menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif, positif, dan produktif dan mengendalikannya jika terjadi
gangguan
dalam
pembelajaran
untuk
mengoptimalisasi
proses
pembelajaran sehingga dapat diperoleh hasil yang memuaskan. Bertolak dari definisi tersebut, pada hakekatnya pengelolaan kelas dilakukan untuk mendukung terjadinya proses pembelajaran yang lebih berkualitas. Berikut ini beberapa hakekat pengelolaan kelas antara lain : 1) Pengelolaan kelas adalah serangkaian tindakan pembelajar yang ditunjukkan untuk
mendorong munculnya tingkah laku yang diharapkan, menciptakan
hubungan interpersonal yang baik dan iklm sosio-emosional yang positif, serta menciptakan dan memelihara organisasi kelas yang produktif dan efektif. 2) Tujuan pengeloalaan kelas adalah menciptakan dan memelihara kondisi kelas yang memungkinkan berlangsungnya proses pembelajaran yang efektif. Tujuan
pembelajaran
adalah
membantu
pebelajar
mencapai
tujuan
pembelajaran.
127 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
3) Pengelolaan kelas merupakan aspek penting dalam proses pembelajaran. Pengelolaan kelas yang efektif merupakan prasyarat bagi terciptanya proses pembelajaran yang efektif. 2.
Tujuan Pengelolaan Kelas Mengelola kelas merupakan masalah yang kompleks, dan guru
menggunakan untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi kelas sedemikian rupa sehingga siswa dapat mencapai tujuan pengajaran. Tujuan pengelolaan kleas pada hakikatnya telah terkandung dalam tujuan pendidikan. Tujuan pengelolaan kelas adalah penyediaan pasilitas bagi bermacammacam kegiatan belajar siswa dalam lingkungan sosial, emosional, dan intelektual dalam kelas. (Sudirman N, 1991, hlm 311), Selanjutnya Suharsimi Arikunto mengemukakan bahwa tujuan pengelolaan kelas adalah agar setiap anak dikelas dapat bekerja tertib sehingga segara tercapai tujuan pengajaran secar efektif dan efesien. (Suharsimi Arikunto, 1988, hlm 68) Berdasarkan kedua pendapat diatas, maka tujuan pengelolaan kelas merupakan menyediaan
lingkungan belajar yang kondusif dalam kelas yang
diciptakan oleh interaksi edukatif antara guru dan siswa sehingga dapat menghantarkan kegiatan belajar mengajar yang efektif untuk mencapai tujuan pengajaran. Berdasarkan beberapa pandangan tersebut, tujuan pengelolaan kelas adalah : 1) Setiap pebelajar harus belajar, tidak macet artinya tidak ada anak yang terhenti karena tidak tahu ada tugas yang harus dilakukan atau tidak dapat melakukan tugas yang diberikan padanya. 2) Setiap pebelajar terus melakukan belajar tanpa membuang waktu artinya setiap pebelajar akan bekerja secepatnya supaya lekas menyelesaikan tugas yang diberikan padanya. 3.
Pendekatan dalam Pengelolaan Kelas Mengelola kelas dapat memberi pesan belajar. Untuk menciptakan suasana
kelas yang baik adalah tugas profesional guru. Sebab, guru merupakan aktor dan
128 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
desainer pembelajaran siswa dengan salah satunya menciptakan kelas untuk belajar dan membimbing siswa untuk saling belajar membelajarkan serta membawa dampak lahirnya masukan bagi guru. Terdapat beberapa pendekatan yang dapat dipilih dalam mengelola kelas, yaitu: a) Pendekatan Kekuasaan Pendekatan kekuasaan dimana guru menciptakan dan mempertahankan situasi disiplin dalam kelas. Kedisiplinan adalah kekuatan yang menuntut murid untuk mentaatinya. Di dalam kelas ada kekuasaan dan norma yang mengikat untuk ditaati anggota kelas. b) Pendekatan Pengajaran Pendekatan pengajaran, pendekatan ini didasarkan atas suatu anggapan bahwa dalam perencanaan dan pelaksanaannya akan mencegah munculnya masalah tingkah laku murid dan memecahkan masalah itu bila tidak bisa dicegah. c) Pendekatan Kerja Kelompok Pendekatan kerja kelompok, dalam pendekatan ini guru menciptakan kondisi – kondisi yang memungkinkan kelompok yang produktif, selain itu guru juga harus dapat menjaga kondisi itu agar tetap baik. d) Pendekatan elektis atau pluralistic Ketiga pendekatan tersebut oleh guru digabungkan digunakan untuk mengelola kelas. Sehingga tercipta pendekatan elektis atau pluralistic. Pendekatan elektis yaitu guru kelas memilih berbagai pendekatan tersebut berdasarkan situasi yang dihadapi dalam suatu situasi mungkin dipergunakan salah satu dan dalam situasi yang lain mungkin mengkombinasikan ketiga pendekatan tersebut. (Syaiful Bahri Djmarah dan Aswan Zain, 2009, hlm. 173) Pendekatan elektis (electic approach) ini menekankan pada potensialitas, kreatifitas, dan inisiatif wali atau guru kelas dalam memilih berbagai pendekatan tersebut berdasarkan situasi yang dihadapinya. Penggunaan pendekatan itu dalam suatu situasi mungkin dipergunakan salah satu dan dalam situasi lain mungkin harus mengkombinasikan dan atau ketiga pendekatan tersebut. Pendekatan elektis
129 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
disebut juga pendekatan pluralistik, yaitu pengelolaan kelas yang berusaha menggunakan berbagai macam pendekatan yang memiliki potensi untuk dapat menciptakan dan mempertahankan suatu kondisi memungkinkan proses belajar mengajar berjalan efektif dan efisien. Guru memilih dan menggabungkan secara bebas pendekatan tersebut sesuai dengan kemampuan dan selama maksud dan penggunaannnya untuk pengelolaan kelas disini adalah suatu set (rumpun) kegiatan guru untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi kelas yang memberi kemungkinan proses belajar mengajar berjalan secara efektif dan efisien. Dalam hal ini, Carl A. Rogers mengemukakan pentingnya sikap tulus dari guru (realness, genuiness, congruence); menerima dan menghargai peserta didik sebagai manusia (acceptance, prizing, caring, trust) dan mengerti dari sudut pandangan peserta didik sendiri (emphatic understanding). 4.
Prinsip-Prinsip Dalam Pengelolaan Kelas Masalah pengelolaan kelas bukanlah merupakan tugas yang ringan. Dalam
mengelola kelas pasti ditemui berbagai masalah. Dalam rangka memperkecil masalah gangguan dalam pengelolaan kelas, prinsip-prinsip pengelolaan kelas dapat dipergunakan. Adapun prinsip-prinsip dalam pengelolaan kelas dalam sebagai berikut: a.
Hangat dan antusias
b.
Tantangan
c.
Bervariasi
d.
Keluwesan
e.
Penegasan pada hal-hal yang positif
f.
Penanaman disiplin diri.
Adapun penjabarannya sebagai berikut : a. Hangat dan antusias Hangat dan antusias diperlukan dalam proses belajar mengajar. Guru yang hangat dan akrab dekat anak didik selalu menunjukkan antusias pada tugasnya atau aktivitasnya akan berhasil dalam mengimplementasikan pengelolaan kelas. b. Tantangan 130 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Penggunaan kata-kata, cara kerja atau bahan- bahan yang menantang akan meningkatkan gairah anak didik untuk belajar sehingga mengurangi kemungkinan munculnya tingkah laku yang menyimpang. c. Bervariasi Kevariasian dalam penggunaan media, gaya mengajar, pola interaksi antara guru dan anak didik merupakan kunci untuk dicapainya pengelolaan kelas yang efektif dan menghindari kejenuhan. d. Keluwesan Keluwesan tingkah laku guru untuk mengubah strategi mengajarnya dapat mencegah kemungkinan munculnya gangguan anak didik serta menciptakan iklim belajar mengajar seperti keributan siswa, tidak ada perhatian, tidak mengerjakan tugas dan sebagainya. 5.
Prosedur yang Digunakan dalam Pengelolaan Kelas Penyusunan prosedur merupakan dasar yang diperlukan untuk menyusun
rancangan lebih rinci pengelolaan kelas. Dengan kata lain, penyusunan rancangan prosedur pengelolaan kelas harus di landasi oleh prosedur pengelolaan baik dimensi preventif maupun kuratif. Penyusunan
rancangan
prosedur ini, berarti guru menentukan
serangkaian kegiatan tentang langkah-Iangkah pengelolaan kelas yang disusun secara sistematis berdasarkan pemikiran yang rasional guna menciptakan kondisi lingkungan yang memberi kemudahan bagi siswa untuk melakukan kegiatan belajar. Pengelolaan kelas merupakan langkah kegiatan yang dapat berdimensi preventif dan kuratif sehingga perencanaan prosedur pengelolaan kelas ke arah dimensi preventif dan dimensi kuratif yang kesemuanya bermuara atau menuju pada tujuan yang diharapkan, yaitu terciptanya kondisi serta mempertahankan kondisi optimal yang mendukung terlaksananya proses belajar mengajar. Dalam penyusunan rancangan prosedur pengelolaan kelas dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain: 1) Pemahaman terhadap arti, tujuan dan hakikat pengelolaan kelas. 2) Pemahaman terhadap hakikat siswa yang dihadapinya. 3) Pemahaman terhadap penyimpangan yang dihadapinya. 131 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
4) Pemahaman terhadap pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan dalam pengelolaan kelas. 5) Pemilikan pengetahuan dan keterampilan dalam membuat rancangan prosedur pengelolaan kelas. Kelima faktor di atas merupakan hal-hal yang patut dipertimbangkan dalam penyusunan rancangan prosedur pengelolaan kelas. Adapun teknik-tekniknya sebagai berikut: a)
Teknik mendekati. Bila seorang siswa mulai bertingkah, satu teknik yang biasanya efektif yaitu teknik mendekatinya.
b) Teknik memberikan isyarat. Apabila siswa berbuat penakalan kecil, guru dapat memberikan isyarat bahwa ia sedang diawasi isyarat tersebut dapat berupa petikan jari, pandangan tajam, atau lambaian tangan. c)
Teknik mengadakan humor. Jika insiden itu kecil, setidaknya guru memandang efek saja, dengan melihatnya secara humoristis, guru akan dapat mempertahankan suasana baik, serta memberikan peringatan kepada si pelanggar bahwa ia tahu tentang apa yang akan terjadi.
d) Teknik tidak mengacuhkan. Untuk menerapkan cara ini guru harus lues dan tidak perlu menghukum setiap pelanggaran yang diketahuinya. Dalam kasuskasus tertentu, tidak mengacuhkan kenakalan justru dapat membawa siswa untuk di perhatikan. e)
Teknik menghimbau. Kadang-kadang guru sering mengatakan, “harap tenang”.
Ucapan
tersebut
adakalanya
membawa
hasil;
siswa
memperhatikannya. Tetapi apabila himbauan sering digunakan mereka cenderung untuk tidak menggubrisnya. Dalam pengelolaan kelas, guru juga bisa melakukan: pengorganisasian kelas, melakukan kegiatan komunikasi, kegiatan monitoring dan seperti apa ketika menyampaikan pembelajarannya. a.
Pengorganisasian kelas, antara lain: 1) Mengatur tempat duduk, sehingga memudahkan siswa memandang ataupun
berpindah.
2) Membuat jadwal harian dan mendiskusikannya.
132 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
3) Siswa diberi janji sampai guru memaparkan secara jelas kegiatan yang akan datang. 4) Mendorong siswa untuk bertanggung jawab dalam belajar untuk tidak mengerjakan tugas-tugas siswa lainnya. 5) Menetapkan kegiatan rutin untuk mengumpulkan pekerjaan rumah 6) Melakukan kompetisi kelompok untung merangsang transisi yang lebih banyak lagi. b. Kegiatan komunikasi Dalam kegiatan komunikasi ini dapat berupa Sending skills, keterampilanketerampilan yang disampaikan kepada siswa, sseperti: melakukan perjanjian dengan segera, berbicara langsung dengan siswa, berbicara dengan santun. Dan juga dapat berupa Receiving skills, bentuk keterampilan yang diterimakan kepada siswa yang terdiri dari: tidak menilai apa yang didengar tetapi bersifat empatik, agar membuat pendengar jelas upayakan aktif dan reflektif dalam mendengar, lakukan tatap muka dan selalu memperhatikan informasi nonverbal, sarankan kepemimpinan yang kuat dengan menggunakan gesture, ekspresi wajah dan gerakan badan. c.
Kegiatan monitoring 1) Tangani secara tenang dan cepat apabila terdapat perilaku siswa yang mengganggu di kelas. 2) Ingatkan kembali kepada siswa tentang prosedur dan aturan kelas. 3) Ciptakan agar siswa patuh terhadap prosedur dan aturan kelas. 4) Berikan penjelasan terhadap siswa bahwa akibat gangguan tersebut akan mendapatkan konsekuensi khusus. 5) Lakukan konsekuensi untuk kelainan perilaku siswa secara konsisten. 6) Adakalanya terdapat satu atau dua siswa yang mengganggu kelas, upayakan siswa lainnya tetap fokus terhadap tugas. Dalam menyampaikan pembelajaran, guru biasanya melibatkan siswa
dalam menilai pekerjaannya maupun kegiatan pembelajaran, mengajukan pertanyaan dan berikan waktu untuk berpikir sebelum disuruh menjawab, serta memberikan semangat, ciptakan antisipasi dan lakukan berbagai kegiatan yang meningkatkan minat dan motivasi siswa. 133 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Indikator Keberhasilan dalam Pengelolaan Kelas 1) Guru mengerti perbedaan antara mengelola kelas dan mendisiplinkan kelas 2) Sebagai guru jika anda pulang ke rumah tidak dalam keadaan yang sangat lelah. 3) Guru mengetahui perbedaan antara prosedur kelas (apa yang guru inginkan terjadi contohnya cara masuk kedalam kelas, mendiamkan siswa, bekerja secara bersamaan dan lain-lain ) dan rutinitas kelas (apa yang siswa lakukan secara otomatis misalnya tata cara masuk kelas, pergi ke toilet dan lain-lain). Ingat prosedur kelas bukan peraturan kelas. 4) Guru melakukan pengelolaan kelas dengan mengorganisir prosedur-prosedur, sebab prosedur mengajarkan siswa akan pentingnya tanggung jawab. 5) Guru tidak mendisiplinkan siswa dengan ancaman-ancaman, dan konsekuensi. (stiker, penghilangan hak siswa dan lain-lain) 6) Guru mengerti bahwa perilaku siswa di kelas disebabkan oleh sesuatu, sedangkan disiplin bisa dipelajari. 6.
Karakteristik Belajar Anak MI Masa usia sekolah dasar sebagai mesa kanak-kanak akhir yang
berlangsung dari usia enam tahun hingga kira-kira usia sebelas tahun atau dua belas tahun. Karakteristik utama siswa sekolah dasar adalah mereka menampilkan perbedaan-perbedaan individual dalam banyak segi dan bidang, di antaranya, perbedaan dalam
intelegensi, kemampuan
dalam
kognitif dan
bahasa,
perkembangan kepribadian dan perkembangan fisik anak. Menurut Erikson perkembangan psikososial pada usia enam sampai pubertas, anak mulai memasuki dunia pengetahuan dan dunia kerja yang luas. Peristiwa penting pada tahap ini anak mulai masuk sekolah, mulai dihadapkan dengan tekhnologi masyarakat, di samping itu proses belajar mereka tidak hanya terjadi di sekolah. Sedang menurut Thornburg (1984) anak sekolah dasar merupakan individu yang sedang berkembang, barang kali tidak perlu lagi diragukan keberaniannya. Setiap anak sekolah dasar sedang berada dalam perubahan fisik maupun mental mengarah yang lebih baik. Tingkah laku mereka dalam menghadapi lingkungan sosial maupun non sosial meningkat. Anak kelas
134 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
empat, memilki kemampuan tenggang rasa dan kerja sama yang lebih tinggi, bahkan ada di antara mereka yang menampakan tingkah laku mendekati tingkah laku anak remaja permulaan. Menurut Piaget ada lima faktor yang menunjang perkembangan intelektual yaitu : kedewasaan (maturation), pengalaman fisik (physical experience), penyalaman logika matematika (logical mathematical experience), transmisi sosial (social transmission), dan proses keseimbangan (equilibriun) atau proses pengaturan sendiri (self-regulation ) Erikson mengatakan bahwa anak usia sekolah dasar tertarik terhadap pencapaian hasil belajar. Mereka mengembangkan rasa percaya dirinya terhadap kemampuan dan pencapaian yang baik dan relevan. Meskipun anak-anak membutuhkan keseimbangan antara perasaan dan kemampuan dengan kenyataan yang dapat mereka raih, namun perasaan akan kegagalan atau ketidakcakapan dapat memaksa mereka berperasaan negatif terhadap dirinya sendiri, sehingga menghambat mereka dalam belajar. Piaget mengidentifikasikan tahapan perkembangan intelektual yang dilalui anak yaitu : (a) tahap sensorik motor usia 0-2 tahun, (b) tahap operasional usia 2-6 tahun, (c) tahap opersional kongkrit usia 7-11 atau 12 tahun, (d) tahap operasional formal usia 11 atau 12 tahun ke atas. Berdasarkan uraian di atas, siswa sekolah dasar berada pada tahap operasional kongkrit, pada tahap ini anak mengembangkan pemikiran logis, masih sangat terikat pada fakta-fakta perseptual, artinya anak mampu berfikir logis, tetapi masih terbatas pada objek-objek kongkrit, dan mampu melakukan konservasi. Bertitik tolak pada perkembangan intelektual dan psikososial siswa sekolah dasar, hal ini menunjukkan bahwa mereka mempunyai karakteristik sendiri, di mana dalam proses berfikirnya, mereka belum dapat dipisahkan dari dunia kongkrit atau hal-hal yang faktual, sedangkan perkembangan psikososial anak usia sekolah dasar masih berpijak pada prinsip yang sama di mana mereka tidak dapat dipisahkan dari hal-hal yang dapat diamati, karena mereka sudah diharapkan pada dunia pengetahuan.
135 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Pada usia ini mereka masuk sekolah umum, proses belajar mereka tidak hanya terjadi di lingkungan sekolah, karena mereka sudah diperkenalkan dalam kehidupan yang nyata di dalam lingkungan masyarakat. Nasution (1992) mengatakan bahwa masa kelas tinggi sekolah dasar mempunyai beberapa sifat khas sebagai berikut : (1) adanya minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang kongkrit, (2) amat realistik, ingin tahu dan ingin belajar, (3) menjelang akhir masa ini telah ada minat terhadap hal-hal dan mata pelajaran khusus, oleh ahli yang mengikuti teori faktor ditaksirkan sebagai mulai menonjolnya faktor-faktor, (4) pada umumnya anak menghadap tugas-tugasnya dengan bebas dan berusaha menyelesaikan sendiri, (5) pada masa ini anak memandang nilai (angka rapor) sebagai ukuran yang tepat mengenai prestasi sekolah, (6) anak pada masa ini gemar membentuk kelompok sebaya, biasanya untuk bermain bersama-sama. Seperti dikatakan Darmodjo (1992) anak usia sekolah dasar adalah anak yang sedang mengalami perrtumbuhan baik pertumbuhan intelektual, emosional maupun pertumbuhan badaniyah, di mana kecepatan pertumbuhan anak pada masing-masing aspek tersebut tidak sama, sehingga terjadi berbagai variasi tingkat pertumbuhan dari ketiga aspek tersebut. Ini suatu faktor yang menimbulkan adanya perbedaan individual pada anak-anak sekolah dasar walaupun mereka dalam usia yang sama. Dengan karakteristik siswa yang telah diuraikan seperti di atas, guru dituntut untuk dapat mengelola pengalaman belajar yang akan diberikan kepada siswa dengan baik, menyampaikan hal-hal yang ada di lingkungan sekitar kehidupan siswa sehari-hari, sehingga materi pelajaran yang dipelajari tidak abstrak dan lebih bermakna bagi anak. Selain itu, siswa hendaknya diberi kesempatan untuk pro aktif dan mendapatkan pengalaman langsung baik secara individual maupun dalam kelompok. Beberapa Karakteristik lainnya adalah: (Utami Munandar, 1987, hlm. 106) 1) Senang bermain Maksudnya dalam usia yang masih dini anak cenderung untuk ingin bermain dan menghabiskan waktunya hanya untuk bermain karena anak masih polos yang dia tahu hanya bermain maka dari itu agar tidak megalami masa kecil kurang
136 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
bahagia anak tidak boleh dibatasi dalam bermain. Sebagai calon guru SD kita harus mengetahui karakter anak sehingga dalam penerapan metode atau model pembelajaran bisa sesuai dan mencapai sasaran, misalnya model pembelajran yang santai namun serius, bermain sambil belajar, serta dalam menyusun jadwal pelajaran yang berat (IPA, matematika dll.) dengan diselingi pelajaran yang ringan (keterampilan, olahraga dll.) 2) Senang bergerak Anak senang bergerak maksudnya dalam masa pertumbuhan fisik dan mentalnya anak menjadi hiperaktif lonjak kesana kesini bahkan seperti merasa tidak capek mereka tidak mau diam dan duduk saja menurut pengamatan para ahli anak duduk tenang paling lama sekitar 30 menit. Oleh karena itu, kita sebagai calon guru hendaknya merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak berpindah atau bergerak. Mungkin dengan permaianan, olahraga dan lain sebagainya. 3) Senang bekerja dalam kelompok. Anak senang bekerja dalam kelompok maksudnya sebagai seorang manusia, anak-anak juga mempunyai insting sebagai makhluk social yang bersosialisasi dengan orang lain terutama teman sebayanya, terkadang mereka membentuk suatu kelomppok tertentu untuk bermain. Dalam kelompok tersebut anak dapat belajar memenuhi aturan aturan kelompok, belajar setia kawan, belajar tidak tergantung pada diterimanya dilingkungan, belajar menerimanya tanggung jawab, belajar bersaing dengan orang lain secara sehat (sportif), mempelajarai olah raga, belajar keadilan dan demokrasi. Hal ini dapat membawa implikasi buat kita sebagai calon guru agar menetapkan metode atau model belajar kelompok agar anak mendapatkan pelajaran seperti yang telah disebutkan di atas, guru dapat membuat suatu kelompok kecil misalnya 3-4 anak agar lebih mudah mengkoordinir karena terdapat banyak perbedaan pendapat dan sifat dari anakanak tersebut dan mengurangi pertengkaran antar anakdalam satu kelompok. Kemudian anak tersebut diberikan tugas untuk mengerjakannya bersama, disini
137 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
anak harus bertukar pendapat anak menjadi lebih menghargai pendapat orang lain juga. 4) Senang merasakan/ melakukan sesuatu secara langsung. Ditinjau dari teori perkembangan kognitif, anak SD memasuki tahap operasional konkret. Dari apa yang dipelajari di sekolah, ia belajar menghubungkan konsep-konsep baru dengan konsep-konsep lama. Jadi dalam pemahaman anak SD semua materi atau pengetahuan yang diperoleh harus dibuktikan dan dilaksanakan sendiri agar mereka bisa paham dengan konsep awal yang diberikan. Berdasarkan pengalaman ini, siswa membentuk konsep-konsep tentang angka, ruang, waktu, fungsi-fungsi badan, pera jenis kelamin, moral, dan sebagainya. Dengan demikian kita sebagai calon guru hendaknya merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak terlibat langsung dalam proses pembelajaran. Sebagai contoh anak akan lebih memahami tentang arah mata angin, dengan cara membawa anak langsung keluar kelas, kemudian menunjuk langsung setiap arah angina, bahkan dengan sedikit menjulurkan lidah akan diketahui secara persis dari arah mana angin saat itu bertiup. 5) Anak cengeng Pada umur anak SD, anak masih cengeng dan manja. Mereka selalu ingin diperhatikan dan dituruti semua keinginannya mereka masih belum mandiri dan harus selalu dibimbing. Di sini sebagai calon guru SD maka kita harus membuat metode pembelajaran tutorial atau metode bimbingan agar kita dapat selalu membmbing dan mengarahkan anak, membentuk mental anak agar tidak cengeng. 6) Anak sulit memahami isi pembicaraan orang lain Pada pendidikan dasar yaitu SD, anak susah dalam memahami apa yang diberikan guru, disini guru harus dapat membuat atau menggunakan metode yang tepat misalnya dengan cara metode ekperimen agar anak dapat memahami pelajaran yang diberikan dengan menemukan sendiri inti dari pelajaran yang diberikan sedangkan dengan ceramah yang dimana guru cuma berbicara didepan
138 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
membuat anak malah tidak pmemahami isi dari apa yang dibicarakan oleh gurunya. 7) Senang diperhatikan. Di dalam suatu interaksi social anak biasanya mencari perhatian teman atau gurunya mereka senang apabila orang lain memperhatikannya, dengan berbagai cara dilakukan agar orang memperhatikannya. Di sini peran guru untuk mengarahkan perasaan anak tersebut dengan menggunakan metode tanya jawab misalnya, anak yang ingin diperhikan akan berusaha menjawab atau bertantya dengan guru agar anak lain beserta guru memperhatikannya. 8) Senang meniru. Dalam kehidupan sehari hari anak mencari suatu figur yang sering dia lihat dan dia temui. Mereka kemudian menirukan apa yang dilakukan dan dikenakan orang yang ingin dia tiru tersebut. Dalam kehidupan nyata banyak anak yang terpengaruh acara televisi dan menirukan adegan yang dilakukan disitu, misalkan acara smack down yang dulu ditayangkan sekarang sudah ditiadakan karena ada berita anak yang melakukan gerakan dalam smack down pada temannya, yang akhirnya membuat temannya terluka. Namun sekarang acara televisi sudah dipilah-pilah utuk siapa acara itu ditonton sebagai calon guru kita hanya dapat mengarahkan orang tua agar selalu mengawasi anaknya saat dirumah. Contoh lain yang biasanya ditiru adalah seorang guru yang menjadi pusat perhatian dari anak didiknya. Kita sebagai calon guru harus menjaga tindakan, sikap, perkataan, penampilan yang bagus dan rapi agar dapat memberikan contoh yang baik untuk anak didik kita. C. KESIMPULAN Pengelolaan kelas merupakan berbagai jenis kegiatan yang dengan sengaja dilakukan oleh guru dengan tujuan menciptakan kondisi optimal bagi terjadinya proses belajar mengajar di kelas. Pengelolaan kelas antara lain bertujuan untuk: 1)
mengembangkan kemampuan siswa semaksimal mungkin baik secara individual maupun kelompok
139 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
2)
membantu mengatasi hambatan siswa
3)
membantu siswa belajar sesuai dengan tingkat emosional dan intelektualnya di dalam kelas dengan penyediaan fasilitas sebaik mungkin
4)
membina dan membimbing siswa sesuai dengan keadaan dan latar belakang siswa
5)
menciptakan suasana sosial yang berimbang, disiplin, tertib, perkembangan intelektual, emosional, sikap, dan apresiasi siswa sehingga tercapai tujuan pengajaran secara efektif. Dengan memahami karakteristik belajar pada anak usia sekolah dasar/MI,
maka guru diharapkan mampu mendesain dan merancang kegiatan pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik anak, dengan tetap berpijak pada prinsip-prinsip pegelolaan kelas yang baik. Dalam menciptakan
iklim belajar yang kondusif dan efektif, maka
seorang guru harus tanggap dalam berbagai masalah yang timbul di lingkungan belajar dengan berbagai pendekatan- pendekatan yang menyentuh peserta didik. Memanajerial kelas, memberikan
partisipasi kepada peserta didik dalam
pembelajaran, menciptakan nuansa harmonis interaksi antara guru dan peserta didik. Karena proses pembelajaran merupakan interaksi edukatif antara guru dan peserta didik. Untuk itu, guru harus senantiasa menjaga keharmonisan hubungan antara guru dan peserta didik. Fun Learning merupakan situasi dimana seorang guru dapat menciptakan suasana hangat dan menyenangkan dalam pembelajaran. Karena dengan suasana yang hangat dan menyenangkan maka anak akan lebih m udah menerima dan melakukan perubahan yang dikehendaki. Seorang guru dikatakan
profasional salah satu cirinya adalah jika ia
pandai dalam menggunakan berbagai pendekatan dan strategi dalam mengelola kelas, dapat menciptakan dan mempertahankan
iklim belajar yang baik dan
menyenangkan. Iklim yang demikian ini akan membuka peluang bagi siswa untuk mengembangkan potensi dirinya secara optimal. Pada anak-anak Sekolah Dasar/MI khususnya kelas 1 diharuskan menggunakan pendekatan tematik, yaitu pembelajaran terpadu menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga dapat memberikan 140 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
pengalaman bermakna kepada peserta didik, karena anak-anak pada usia ini berada pada rentangan usia dini yang masih melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan sehingga pembelajarannya masih bergantung pada obyek-obyek konkrit dan pengalaman yang dialami. Selain itu kondisi kelas mulai dari tata ruang sampai tempat duduk siswa juga harus diganti. Agar terlaksana pembelajaran tematik yang fun learning.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulaadi, Jilid II, 1999. E. C Wragg, Pengelolaan kelas, Grasindo, Jakarta, 1996. Hurlock, Elizabeth B. terj Meitasari Tjandrasa. Perkembangan Anak Jilid 1 & 2 Jakarta :Erlangga 1989. Moh. Uzer, Menjadi Guru Profesional, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2004 Munandar, Utami, Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah. Jakarta : PT Gramedia 1987. Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2001. Nur uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, Pustaka Setia, Bandung, 1998. Oemar Hamalik, Pendidikan Guru, Pendidikan Pendekatan Kompetensi, Bumi Aksara, Jakarta, 2002. Pupuh Fathurahman dan Sobry Sutikno, Strategi Belajar Mengajar Melalui Penanaman Konsep Umum dan Islam, Refika Aditama, Bandung, 2009. Sardiman A.M. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta, Rajawali, Cet. 12, 2005 Suharsimi Arikunto, Pengelolaan Kelas dan Siswa Sebuah Pendekatan Evaluatif, Rajawali Press, Jakarta, 1988. Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran : Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kencana, Jakarta, 2009. -----------, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Kencana, Jakarta, 2009. Zakiah Darajat dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 2008. 141 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
----------,Metodik Khusus Pengajaran dalam Perspektif Islam, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2000.
142 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
PENGEMBANGAN TRADISI KEILMUAN PADA MASYARAKAT ISLAM KONTEMPORER MUHAMAD AFANDI IAIN RADEN INTAN LAMPUNG
Abstract In the era contemporary development of the science is evolving very fast. Each of the discipline of the science developed scientific and create a various of inventions. This should be accepted, facing and offset by the increase in scientific knowledge are adequate so that Muslims do not failed experience by an increasingly forward without forget about eliminating Islamic identity. Muslims need to combine intellectual mindset, deductive-inductive and daring use of academic-philosophical mindset to unlock insight within a Muslim that Islam was a religion that invites people to reach for the happiness afterlife of the world, materially-spiritual and body-spiritual, because intrinsically, human was created to live in the world. Insightful thinking as it forms the scientific tradition of the Muslim integrality - interconnectivity. Pluralities and relativities of Islamic should be realized within the Muslim Ummah. This is will bring the implications against the diversity of Muslims in the future, toward on openness and dialogist. Thus, Muslims can answer the challenge of the times, and give the solving toward a various problems, not only faced by the Muslims themselves, but also in general humanity. Keywords : Tradition, Science, Islam, Contemporary A. PENDAHULUAN Pada masa kontemporer, dapat dipastikan tidak ada satu Muslim pun yang bisa menghindar dari jangkauan dan pengaruh modernitas, paling tidak dalam bentuk budaya materinya.Bahkan kalangan yang disebut paling terpencil sekalipun, yang menyuarakan perang terhadap Barat secara terbuka, dalam kenyataannya tetap saja pernah berhubungan dengan teknologi yang berasal dari dunia industri negara-negara Barat.
143 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Islam, sebagai agama penyempurna dan paripurna bagi kemanusiaan, sangat mendorong dan mementingkan umatnya untuk mempelajari, mengamati, memahami dan merenungkan segala kejadian di alam semesta. Dengan kata lainIslam sangat mementingkan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu merupakan pengetahuan yang mempunyai karakteristik tertentu. Pengetahuan dapat diartikan secara luas yang mencakup segenap apa yang kita tahu tentang suatu objek. Ilmu merupakan sarana untuk mengembangkan peradaban manusia, dengan ilmu manusia akan terangkat derajatnya. Akan tetapi dalam perkembangan tradisi keilmuan Islam dari zaman rasulullah sampai sekarang tentu mengalami perubahan yang selalu berubah, oleh kerena itu dalam kajian ini akan dipaparkan tentang pengembangan tradisi keilmuan pada masyarakat Islamkontemporer.
B. PEMBAHASAN 1.
Pengertian Tradisi Keilmuan Islam Kontemporer Tradisi adalah “sesuatu yang hadir dan menyertai kekinian kita, yang
berasal dari masa lalu kita atau masa lalu orang lain, ataukah masa lalu tersebut adalah masa yang jauh maupun masa yang dekat.”Tradisi adalah titik temu antara masa lalu dan masa kini. (M. Abed Al-Jabiri, 2000, hlm. 24) Tradisi bukan masa lalu yang jauh dari keadaan kita saat ini, tapi masa lalu yang dekat dengan kekinian kita.Jadi, semuanya adalah tradisi, bila berkaitan dengan segala sesuatu yang ada di tengah kita dan menyertai kekinian kita, asal itu berasal dari masa lalu. Ilmu adalah pengetahuan yang tersusun rapi dengan metode ilmiah.Ilmu berasal dari kata ‘alima, pengambilan istilah ilmu dalam bahasa Indonesia terpengaruh oleh bahasa Arab.Sementara itu, pengetahuan hanya sekedar mengetahui tanpa melalui metode tertentu. Sementara itu secara istilah, ilmu terdapat beberapa pendapat, antara lain: 1) Menurut Abdurrohman Al-Akhdhori, ilmu adalah membuahkan pikiran akan arti dari sesuatu, contoh pisang, pikiran kita pasti dapat membayangkan arti dari kata pisang dalam pikiran.
144 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
2) Menurut Ashley Montagu, ilmu adalah pengetahuan yang disusun dalam satu sistem yang berasal dari pengamatan studi dan pengalaman untuk menemukan hakekat dan prinsip tentang sesuatu yang sedang dipelajari. 3) Menurut Zakiah Darajat, ilmu adalah seperangkat rumusan pengembangan pengetahuan yang dilaksanakan secara obyektif, sistematis baik dengan pendekatan deduktif, maupun induktif yang dimanfaatkan untuk memperoleh keselamatan, kebahagiaan dan pengamanan manusia yang berasal dari Tuhan dan disimpulkan oleh manusia melalui hasil penemuan pemikiran oleh para ahli. Islam sangat mendukung terhadap perkembangan ilmu pengetahuan hal itu ditunjukkan dalam al Qur’an surah Al-‘Alaq ayat 1-5 yang artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” Ayat tersebut menunjukkan bahwa manusia diperintahkan untuk membaca ayat-ayat Allah, baik berupa ayat kauniyah maupun ayat kauliyah. Karena membaca merupakan salah satu cara mengembangkan ilmu pengetahuan.Bahwa ilmu itu sangat penting dan berguna bagi manusia untuk kesejahteraan hidupnya. Ayat tersebut juga memerintahkan manusia untuk mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan, karena dengan berkembangnya ilmu pengetahuan seseorang maka akan semakin kokohlah imannya. Yang dimaksud dengan era kontemporer adalah “era tahun-tahun terakhir yang kita jalani hingga saat sekarang ini.” (Amsal Bachtiar, 2004, hlm. 68) Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat dirumuskan pengertian tradisi keilmuan Islam kontemporer adalah segala sesuatu yang menyertai kekinian pengetahuan yang disusun dalam suatu sistem yang dimanfaatkan untuk memperoleh keselamatan dan kebahagiaan manusia yang berasal dari Allah Swt. melalui ajaran-ajaran-Nya dan segala fenomena yang terjadi kemudian disimpulkan melalui hasil penemuan pemikiran.
145 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
2.
Sejarah Tradisi Keilmuan Islam Secara historis tradisi intelektual dalam Islamdimulai dari pemahaman
terhadap Al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhamad SAW, secara berturut turut dari periode Mekah sampai Madinah. Munculnya tradisi keilmuan dalam Islamsecara umum dapat dibagi menjadi tiga periode. Periode pertama dimana pada periode ini lahirlah pandangan hidup Islam.Periode kedua dimulai ketika timbul kesadaran bahwa wahyu yang turun (sudah menjadi pandangan hidup) pada dasarnya mengandung struktur fundamental dari apa yang disebut dengan scientific worldview. Periode ketiga adalah lahirnya tradisi keilmuan dalam Islam, dimana tradisi keilmuan ini lahir dari konsekuensi logis dari adanya struktur pengetahuan dalam Islam. Dari proses lahirnya pandangan Islam yang tergambar dari tiga periode diatas dapat disimpulkan bahwa Islam adalah agama yang sarat dengan ajaran yang mendorong timbulnya ilmu pengetahuan.Ajaran tentang ilmu pengetahuan dalam Islam yang cikal bakalnya adalah konsep konsep dasar dalam wahyu itu kemudian ditafsirkan kedalam berbagai bentuk kehidupan dan akhirnya terakumulasi dalam sebuah bangunan peradaban yang kokoh.Suatu peradaban yang lahir dan tumbuh atas dukungan tradisi intelektual yang berbasis pada wahyu. Di dalam sejarah timbulnya tradisi kelimuan dalam Islam, juga dikenal adanya medium transformasi dalam bentuk institusi pendidikan yang disebut alSuffah dan komunitas intelektualnya disebut ashab al suffah.Ashab al suffah ini adalah gambaran terbaik institusionalisasi kegiatan belajar mengajar dalam Islam dan merupakan tonggak awal tradisi intelektual dalam Islam dimana obyek kajiannya berpusat pada wahyu.Materi kajiannya tidak dapat disamakan dengan materi diskusi spekulatif di Ionia yang menurut orang barat merupakan tonggak lahirnya tradisi keilmuan Yunani, bahkan kebudayaan barat itu sendiri diklaim lahir dari aktivitas ini.Dari komunitas inilah lahir para intelektual Islam yang merupakan pakar pakar dalam hadits nabi.
146 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
3.
Perkembangan Ilmu di Era Kontemporer Perkembangan dan kemajuan peradaban manusia dari waktu ke waktu
terjadi begitu cepat seiring kemajuan dan perkembangan ilmu. Kemajuan ilmu dari masa ke masa saling berhubungan dan tidak terputus satu sama lain. Kemajuan yang terjadi dari zaman klasik, pertengahan, modern, saling memberikan
kontribusi
terhadap
kemajuan
yang
terjadi
pada
zaman
kontemporer.Hal-hal baru yang yang ditemukan pada suatu masa menjadi unsur penting bagi penemuan-penemuan lainnya di masa berikutnya.Demikianlah semuanya saling terkait. Pada zaman kontemporer perkembangan ilmu berkembang dengan sangat cepat.Masing-masing ilmu mengembangkan disiplin keilmuannya dan berbagai macam penemuan-penemuannya.Penemuan dan penciptaan terjadi silih berganti dan semakin sering.Dalam bidang kedokteran, ilmu kedokteran semakin menajam dan mengalami spesialisasi serta bersintesis dengan bidang ilmu lainnya sehingga menghasilkan disiplin ilmu baru seperti bioteknologi yang sekarang ini dikenal dengan teknologi kloning. (Surajiyo, 2010, hlm.89) Rekayasa genetika, metode transplantasi, dan penemuan teknik kloning untuk menghasilkan individu yang sama dengan induknya merupakan penemuan yang spektakuler dibidang ini. Dalam ilmu pengetahuan alam, terutama fisika terjadi perkembangan yang sangat spektakuler.Penelitian-penelitian yang dilakukan para ilmuwan telah menghasilkan teori-teori baru dalam ilmu pengetahuan alam.Pada abad ke-20 seorang fisikawan Albert Einstein dengan teori kekekalan materi dan alam semesta yang statis menyatakan bahwa alam itu tidak terhingga besarnya dan tidak terbatas, tetapi juga tidak berubah status totalitasnya atau bersifat statis dari waktu ke waktu. Namun pada tahun 1929 pendapat tersebut dibantah oleh fisikawan
lain
bernama
Hubble
berdasarkan
hasil
penelitiannya
yang
menunjukkan bahwa alam semesta itu tidak statis melainkan dinamis. Pendapat ini juga didukung oleh para fisikawan kontemporer lainnya, seperti Garnow, Alpher, dan Herman yang berpendapat bahwa semua galaksi di jagat raya ini semula bersatu padu dengan galaksi lainnya kemudian mengalami ledakan yang maha dahsyat yang kemudian membentuk bintang-bintang dan galaksi, teori ini
147 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
dikenal dengan istilah dentuman besar (big bang). Teori dentuman besar ini juga menjadi salah satu perhatian Stephan Hawking, salah seorang fisikawan teoritis yang paling cemerlang sesudah Einstein. Dalam ilmu-ilmu Biologi, metode-metode kimia dan fisika membawa penemuan dan penjelasan mengenai agen-agen yang halus (vitamin-vitamin, hormone-hormon) dan rekontruksi atas siklus-siklus rumit transformasitransformasi kimia dengan materi hidup.Ilmu kedokteran dapat dibangun berdasarkan bakteriologi, dan melalui pemuan obat-obatan khusus dan umum (salvarsan melawan sifilis, kemudian sulfonamide dan pinisilin), obat-obat ini nyaris melenyapkan baik wabah penyakit klasik maupun penyakit-penyakit ganas kanak-kanak. (Jerome R. Ravert, 2009, hlm. 76) Disamping perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran, fisika, dan biologi, zaman kontemporer ini juga ditandai dengan penemuan berbagai teknologi canggih di bidang komunikasi dan informasi, seperti penemuan komputer, berbagai satelit komunikasi, internet, dan sebagainya. Perkembangan ilmu kelistrikan juga sangat pesat dan dapat menghasilkan alat-alat canggih seperti komputer, alat-alat elektronik dan teknologi yang membantu kesejahteraan hidup masyarakat. Selanjutnya dalam media komunikasi, penemuan mesin cetak yang pertamakali di Eropa menyebabkan penyebaran informasi melonjak dengan pesat. Begitu juga media elektronik yang merevolusi informasi dengan televisi, koranjarak jauh, dan lain-lain. Perkembangan ilmu pengetahuan dibidang teknologi juga telah merubah tahapan prailmiah kehidupan berladang dan beternak masyarakat yang awalnya ekstranatural beralih ke tahapan ilmiah. Kebutuhan produksi mulai dipertukarkan melalui alat penukar surat atau kartu berharga sampai ke perbankan elektronik, yang berlangsung dengan intensif dan cepat. Dalam kajian ilmu sosial keagamaan di Indonesia, penelitian Ciffort Geertz yang dalam versi aslinya berjudul The Religion of Java merupakan satu bahasan yang menarik. Obyek penelitian dan pengkajian dilakukan pada masyarakat kota kecil di Mojokuto Jawa Timur. Penelitian tersebut kemudian lebih banyak dipopulerkan sebagai kerangka tipologisasi keberagamaan Jawa
148 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
menjadi santri, abangan, dan priyayi. Tiga lingkungan yang berbeda (pedesaan, pasar, dan kantor pemerintah) yang dibarengi dengan latar belakang sejarah kebudayaan yang berbeda (berkaitan dengan masuknya agama serta peradaban Hindu dan Islam di Jawa) telah mewujudkan adanya Abangan (yang menekankan pentingnya animistik), Santri (yang menekankan aspek-aspek Islam), Priyayi (yang menekankan aspek-aspek Hindu). Pengarang juga membahas tiga golongan yang memiliki subtradisi masing-masing: abangan, yaitu golongan petani kecil, yang sedikit banyak memiliki persamaan dengan”religi rakyat” Asia Tenggara; santri, yaitu pemeluk agama Islam yang taat pada umumnya terdiri dari pedagang di kota dan petani yang berkecukupan; dan priyayi, yaitu golongan yang masih memiliki pandangan Hindu-Budha, yang kebanyakan terdiri dari golongan terpelajar, golongan atas, penduduk kota, terutama pegawai. Penelitian Clifford Geertz hingga kini mendapat perhatian dari para ilmuwan. Berbagai penelitian dilakukan untuk menguji, membuktikan atau bahkan meruntuhkan tesis Geertz tersebut, misalnya seperti penelitian antropologis yang dilakukan oleh Bambang Pranowo (1994), Robert W. Hefner(1987), dan Mark Woodward (1984), yang membantah klaim Geertz. Para pakar ini menemukan bahwa masyarakat Jawa secara umum adalah santri, adapun “genre” abangan tidak signifikan.Klaim tentang runtuhnya tesis Geertz juga dikemukakan oleh hasil penelitian PPIM UIN Jakarta yang dilakukan pada tahun 2001, dengan menggunakan populasi yang lebih luas dan sistem random sampling sehingga punya daya generalisasi dan klaim yang besar. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dimana orang yang lebih intensif dalam menjalankan ritual wajib maupun sunnah dalam Islam berkorelasi positif dan signifikan dengan status sosial-ekonomi (gabungan antara pendidikan, jenis pekerjaan, pendapatan, dan kategori desa-kota). Korelasinya sekitar 15%. Sebaliknya, seorang muslim yang semakin Intensif dalam melaksanakan ritual abangan semakin negatif korelasinya dengan status sosial-ekonomi (korelasinya sekitar 25%). Arti penting karya Geertz The Religion of Java adalah sumbangannya kepada pengetahuan kita mengenai sistem simbol, yaitu bagaimana hubungan antara struktur-struktur sosial yang ada dalam suatu masyarakat dengan pengorganisasian dan perwujudan simbol-simbol, dan bagaimana para anggota
149 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
masyarakat mewujudkan adanya integrasi dan disintegrasi dengan cara mengorganisasi dan mewujudkan simbol-simbol tertentu, sehingga perbedaanperbedaan yang tampak diantara struktur-struktur sosial yang ada dalam masyarakat tersebut hanyalah bersifat komplementer. 4.
Tradisi Keilmuan Masyarakat Islam Kontemporer Perbedaan antara zaman modern dengan zaman kontemporer yaitu zaman
modern adalah era perkembangan ilmu yang berawal sejak sekitar abad ke-15, sedangkan zaman kontemporer adalah era perkembangan terakhir yang terjadi hingga sekarang. Tulisan ini memandang bahwa periode Islam kontemporer dimulai sejak paruh kedua abad ke-20, yaitu sejak berakhirnya Perang Dunia II sampai sekarang.Periode Islam kontemporer ini ditandai oleh dua peristiwa utama.Pertama,
dekolonisasi
negara-negara
Muslim
dari
cengkraman
kolonialisme Eropa.Kedua, gelombang migrasi Muslim ke negara-negara Barat.Dua peristiwa itu telah mengubah lanskap geografi dunia Muslim. Apa yang disebut dunia Muslim tidak lagi identik dengan dunia Arab, tetapi meliputi berbagai negara nasional yang tersebar di hampir seluruh penjuru dunia, merentang dari mulai Afrika Utara hingga Asia Tenggara. Selain itu, sejak itu pula kaum Muslim telah menjadi bagian dari demografi negara-negara Barat. Bicara sejujurnya, modernitas dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini tidak luput dari andil falsafah Barat dan Eropa yang telah berjaya sejak masa renaissance yang menimbulkan kemajuan kemanusiaan dan ilmu pengetahuan yang spektakuler.Akan tetapi keterpisahan filsafat Barat dan Eropa dari pentingnya pertimbangan nilai, peran moral dan agama, telah menimbulkan dampak yang serius.Sekulerisme muncul ketika kekuasaan Negara yang dijalankan oleh pemerintah harus terpisah wewenangnya dengan otoritas gereja. Sekulerisme berpandangan bahwa moralitas dan pendidikan tidak boleh berdasarkan agama, morality and education should not be based on religion. (Abd. Rachman Assegaf, 2011, hlm. 221-222)
Tak pelak lagi, kemajuan ilmu dan teknologi modern yang diakibatkan renaissance tersebut menjadi kering spiritual dan moralitas. Kemajuan tersebut tak menambah bukti akan keyakinan dan kesadarannya pada Dzat Yang Maha Pencipta, atau beriman kepada Allah Swt. Interaksi antar sesama manusia 150 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
dipandang sebagai sekadar kontrak sosial-budaya. Berbuat baik tak harus berdasarkan pada agama, melainkan orang bisa berbuat baik karena rasa kemanusiaan.Mencapai kebahagiaan batin pun, orang tidak harus melalui agama, namun juga diperoleh dengan olah batin, yoga, konsultasi, kehidupan mistik, atau jalan spiritualistik lainnya.Inilah dampak serius dari renaissance dan sekulerisme. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Barat dan Eropa, yang didominasi oleh pandangan dunia dan paradigma yang materialisme-sekuler tersebut, pada akhirnya juga telah melahirkan penderitaan dan ketidakbahagiaan psikologis/ruhaniah pada banyak manusia baik di Barat maupun di Timur.Krisis multidimensional terjadi akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang lepas dari kendali nilai-nilai moral Ketuhanan dan agama. Krisis ekologis, misalnya: berbagai bencana alam: tsunami, gempa, banjir, dan kacaunya iklim dan cuaca dunia akibat pemanasan global yang disebabkan tingginya polusi industri di negara-negara maju, dan berbagai bencana lainnya. Krisis Ekonomi dan politik yang terjadi di banyak negara berkembang dan negara miskin, terjadi akibat ketidakadilan dan ’penjajahan’ (neo-imperialisme) oleh negara-negara maju yang menguasai perekonomian dunia dan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, saat ini pada umumnya adalah negara-negara berkembang atau negara terkebelakang, yang lemah secara ekonomi dan juga lemah atau tidak menguasai perkembangan ilmu pengetahuan dan sains-teknologi.Pada kenyataanya umat Muslim banyak yang masih bodoh dan lemah, maka mereka kehilangan harga diri dan kepercayaan dirinya.Beberapa di antara mereka kemudian menjadi hamba budaya dan pengikut buta kepentingan negara-negara Barat.Mereka menyerap begitu saja nilai-nilai, ideologi dan budaya materialis (’matre’) dan sekuler (anti Tuhan) yang dicekokkan melalui kemajuan teknologi informasi dan media komunikasi Barat.Akibatnya krisis-krisis sosial-moral dan kejiwaan pun menular kepada sebagian besar bangsa-bangsa Muslim. Permasalahan multidimensi yang terjadi di era kontemporer ini, ternyata juga telah memunculkan opini bahwa tradisi keilmuan Muslim kini cenderung tidak mampu merespons, mengantisipasi kebutuhan dan tantangan zaman, apalagi merekayasa dan memberi kontribusi bagi peradaban umat manusia yang egaliter,
151 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
demokratis, dan humanis. Asumsi ini paling tidak didukung oleh dua tradisi dan orientasi pola pikir Muslim, yaitu pola pikir teologis-normatif dan deduktiflegalistik. 1) Pola pikir teologis-normatif menempatkan Allah Swt. Sebagai segala sesuatu yang terlepas dari dunia realitas. Semua pembicaraan tentang Allah Swt. terkesan eskatologis. Allah Maha Adil, tetapi keadilan Allah Swt. terlaksana di alam akhirat, bukan di alam realitas. Keadilan Allah Swt. dipahami sebagai sesuatu yang bersifat metafisik, tidak aktual dalam kehidupan sosial. Timbul anggapan bahwa segala sesuatu hanya akan mendapat balasan berupa pahala atau dosa diakhirat saja, sementara akibat perbuatannya di dunia ini adalah semata-mata karena hukum alam (law of nature). Orientasi berpikir teologisnormatif ini, tentu saja, memisahkan antara kehidupan di alam nyata dengan di akhirat. 2) Pola pikir deduktif-legalistik muncul dari adanya anggapan bahwa dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadis serta hasil ijtihad ulama terdahulu bersifat baku, mutlak dan selalu relevan untuk mengantisipasi kebutuhan dan tantangan zaman. Kecenderungan berpikir seperti ini paling tidak dapat menimbulkan dua orientasi yang saling terkait, yaitu berpikir text-book oriented dan ulama oriented. Bila mereka dihadapkan pada suatu problematika, tanpa susah-susah, segera mereka merujuk pada buku standar yang dianggapnya telah mewakili ajaran Islam sebagai jawabnya.Salah satu buku atau hasil kompilasi dari empat imam mazhab, misalnya apabila dianggap telah menyelesaikan persoalan, walaupun kondisi sosio-kultural pada waktu empat imam mazhab tersebut berbeda dengan setting kehidupan masa kini, tetap dianggap sebagai solusi. Timbulah asumsi bahwa tradisi ilmiah para ulama terdahulu telah mapan dan akan selalu relevan sampai kapanpun. Pada gilirannya, tradisi berfikir semacam ini kalau tidak menimbulkan sikap apologis, tentu dapat membekukan perkembangan keilmuan Muslim.Hal ini dapat kita lihat pada fenomena semakin menguatnya orientasi fiqh (fiqh-oriented) dalam menyelesaikan banyak perkara, dengan keputusan hitam-putih atau legalistik.Tradisi keilmuan seperti ini cenderung memicu perdebatan seputar isu halal-haram, sah-batal, Islam-kafir, dan sesat atau tidaknya keyakinan seseorang.Kalau sudah pada
152 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
tahap seperti ini, perbedaan pendapat dan interpretasi justru memperseru perpecahan umat dan menipiskan ukhuwah Islamiyah. Deduksi adalah suatu cara atau jalan yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah dengan bertitik tolak dari pengamatan atas hal-hal atau masalah yang bersifat umum kemudian menarik kesimpulan yang bersifat khusus. Jadi yang dimaksud pola pikir deduktif merupakan sebuah pengambilan kesimpulan untuk mencapai kebenaran melalui pemikiran dari perkara umum menuju ke khusus.Prinsip deduksi memandang benar semua peristiwa dalam suatu jenis sebagai berlaku benar bagi semua peristiwa yang sejenis lainnya. (Abd. Rachman Assegaf, 2011)
Bila dicermati lebih lanjut, sebenarnya pola pikir deduktif di atas tidak luput dari adanya kelamahan. Setidaknya ada dua macam kesalahan yang mungkin terjadi dalam penerapan pola pikir deduktif, yaitu: pertama, kesalahan materiil atau isi. Konklusi yang ditarik dari deduksi yang mengalami kesalahan materiil tersebut menurut bentuknya dapat dipandang benar.Tetapi oleh karena memang materi premisnya sudah salah, maka konklusinya juga salah, meskipun jalannya sudah betul. Berikut ini adalah contohnya: Siapa yang tak pernah mengucapkan kata-kata patriotik Ia bukanlah seorang pahlawan Si Fulan tak pernah mengucapkan kata-kata patriotik Jadi, si Fulan bukanlah seorang pahlawan
Kedua, kesalahan formal.Kesalahan formal bukanlah kesalahan karena premisnya tidak benar melainkan karena deduksinya yang tidak benar. Contohnya adalah: Semua kambing adalah berkaki empat Kambing adalah binatang Jadi, semua binatang berkaki empat Semua anjing bermata dua Si Fulan bermata dua Jadi, si Fulan adalah anjing
153 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Dari kelemahan-kelemahan pola pikir teologis-normatif dan deduksi legalistik di atas, hendaknya umat Muslim melakukan pengembangan orientasi baru pola pikir yang lebih kontekstual dan maju sehingga mampu menjawab permasalahan-permasalahan di era kontemporer ini. Hal yang perlu dilakukan, yaitu: pertama, tradisi keilmuan Muslim yang bercorak teologis selayaknya difungsionalisasikan ke dalam kehidupan riil. Masalah keadilan Allah Swt. misalnya, harus terefleksi dalam pada perbuatan manusia yang adil, meskipun disadari bahwa keadilan Allah Swt. berbeda dengan keadilan manusia, namun diharapkan dengan mengoprasionalkan orientasi teologis ke dalam diri dan perbuatan manusia berarti akan mendinamisasi perbuatan manusia itu sendiri. Masalah kemiskinan misalnya, dengan pola pikir teologis-fungsinal ini, akan dipahami tidak hanya sebagai suatu ketetapan Allah Swt. atau ujian dari-Nya yang tidak bisa dirubah. Sebaliknya orientasi yang demikian justru membangkitkan manusia untuk berusaha dan berupaya mengentaskan umat dari kemiskinan. Kedua, kecenderungan berpikir deduktif yang menarik kesimpulan dari grand-concept yang bersifat abstrak dan umum kepada perkara yang kongkret dan spesifik, perlu diimbangi dengan penerapan pola pikir induktif, yakni mencari kesimpulan dari perkara yang konkret dan spesifik kepada perkara yang abstrak dan umum. Berpikir secara induktif merupakan suatu cara berpikir dengan mendasarkan pada pengalaman yang diulang-ulang. Bisa juga merupakan suatu kumpulan fakta yang berserakan kemudian kita cari kesesuaian antara fakta-fakta tersebut sehingga masing-masing fakta memiliki keterkaitan satu sama lain. Secara singkat berpikir induktif dapat diartikan sebagai berpikir dari kasus khusus menuju ke kasus umum. Ketiga, tradisi keilmuan Muslim yang sejauh ini masih berat sebelah, terlalu menekankan pada pola pikir deduktif, text-book oriented atau ulamaoriented. Intelektual muslim perlu memadukan pola pikir, deduktif-induktif, sehingga dapat saling menutupi kelemahannya. Integrasi dari kedua tipologi berpikir tersebut dalam bentuk analisis-kritis atau berfikir reflektif, barang kali dikenal oleh ulama terdahulu sebagai tradisi ijtihad.Tradisi ijtihad menuntun seorang Muslim untuk bersikap akademik dan terbuka, menerima perbedaan pendapat (qaabil li an-niqasy). Berpikir akademik juga dapat menuntun seseorang
154 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
agar bersifat tleksibel dan toleransi terhadap hasil pemikiran orang lain secara kontekstual. Keberanian menggunakan pola pikir akademik-falsafi dapat membuka wawasan dalam diri seorang muslim bahwa sebenarnya Islam itu tidak sekadar agama akhirat yang bertujuan final surga dan neraka saja, melainkan lebih luas dari itu, merupakan agama yang mengajak orang agar meraih kebahagiaan dunia-akhirat, materiil-spiritual dan jasmani-rohani, sebab secara hakiki, manusia itu dicipta untuk hidup di dunia. Wawasan berpikir seperti itu membentuk tradisi keilmuan Muslim yang integralistik-interkonektif. 5.
Perkembangan
Intelektualisme
Islam
di
Indonesia
pada
Era
Kontemporer Memasuki abad ke-20 dinamika Islam di Indonesia ditandai dengan muncul dan berkembangnya corak baru wacana dan pemikiran Islam yang biasa disebut banyak ahli sebagai modernisme Islam.Kemunculan corak baru wacana Islam ini tidak terlepas dari perkembangan pemikiran Jalaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan lain-lain.Pemikiran yang dikembangkan para tokoh-tokoh ini telah memberikan stimulus global bagi kemunculan gerakan modernisme Islam di berbagai kawasan dunia Islam termasuk Indonesia. (Badri Yatim, 2010, hlm. 257), Semisal, Jalaluddin Al-Afghani (1838-1879 M) dan
Muhammad Abduh (1848-1905 M), yang mencoba menjalankan agenda modernis untuk menghubungkan Islam dengan bentuk kehidupan yang sesuai dengan masyarakat ilmiah modern. Dari sini kemudian diskusi seputar konfontrasi Islam dan modernitas menjadi perbincangan yang menarik. Terjadi dua kubu yang berlawanan dalam memahami modernitas, ada yang cenderung fundamentalis dan ada yang berupaya berfikir secara “liberal”, dan mencari pola hubungan yang rasional antara Islam dan Barat. Perkembangan wacana intelektual Islam kontemporer di Indonesia disebabkan oleh semakin meluasnya cakupan dari pengertian intelektual Islam, terutama setelah masa modernisme yang dipercaya dengan berbagai wacana tentang mondernitas dan reformasi. Perkembangan wacana ini, dapat dijadikan sebagai tolak ukur bagi keberhasilan atau lambatnya proses Islamisasi di Indonesia. Dalam hal ini proses Islamisasi lebih kepada bagaimana Islam terus berproses dan berkembang ke arah yang lebih baik. 155 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Perkembangan pemikiran Islam di era kontemporer di Indonesia paling tidak telah mengalami tiga gelombang. Gelombang pertama dimotori oleh tokoh intelektual Muslim, seperti Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, Djohan Efendi, Ahmad Wahib, M. Dawam Rahardjo, M. Amin Rais, Kuntowijoyo, Jalaluddin Rakhmad, Ahmad Syafii Maarif, Adi Sasono, AM. Syaefuddin, Endang Syaefuddin Anshari, Imadudin Abdurrahim. Kemunculan mereka bisa dikatakan sebagai gelombang pertama pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia di era kontemporer. Walaupun dengan tipologi pemikiran yang beragam, mereka secara sinergis mengusung tema-tema yang menjadi persoalan umat Islam di Indonesia, seperti pembangunan, modernisasi, sekulerisasi, pembaharuan Islam, demokrasi, pluralisme dan tema-tema lainnya yang sedang berkembang. Salah satu pengaruh nyata dari kemunculan gelombang pertama ini adalah, terjadinya booming pemikiran Islam secara luas mendapatkan respon secara positif terutama dari kalangan muslim muda di beberapa kampus terkemuka. Tapi, memang tidak semua
gagasan-gagasan
mereka
memperoleh
sambutan
positif.Percikan
pembaharuan pemikiran Nurcholish Madjid terutama mengenai sekulerisasi memperoleh tanggapan kurang begitu memadai secara akademik dari komunitas di luar komunitas intelektual gelombang pertama.Hal ini disebabkan oleh kegagalan dalam memahami secara utuh dan substansial terhadap gagasan yang dikemukakan Nurcholish Madjid. (Syamsul Arifin, 2009, hlm. 136-137) Pasca gelombang pertama ini, bermuncullah tokoh-tokoh intelektual Muslim yang lebih muda usianya seperti Azyumardi Azra, M. Din Syamsuddin, Fachry Ali, Bachtiar Effendy, Masdar F. Mas’udi, M. Amin Abdullah, Komarudin Hidayat, Moslem Abdurrahman, dan lain sebagainya. Dari pemikiran mereka inilah
muncul
gelombang
kedua
pemikiran
Islam
kontemporer
di
Indonesia.Mereka nampak begitu artikulatif dalam merespon isu-isu kontemporer semacam demokrasi, civil society, HAM, pluralisme, gender, dan lain sebaginya.Walaupun tidak seluruhnya, tema yang diusung pada gelombang kedua ini memperlihatkan suatu kesinambungan dengan pemikiran yang dieksplorasi dan dielaborasi oleh para intelektual muslim gelombang pertama. Misalnya pemikiran Masdar F. Mas’udi dan Moslem Abdurrahman yang memiliki perspektif epistimologi yang sama dengan gagasan yang pernah dilontarkan oleh
156 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Kuntowijoyo, M. Dawam Rahardjo, dan Adi Sasono sebelumnya. Pemikiran tersebut yaitu memahami Islam sebagai agama transformatif. Substansi dari pemikiran ini antara lain: pertama, Islam yang dipertajam juga dengan ilmu-ilmu sosial dijadikan sebagai paradigma kritik terhadap segala bentuk ketimpangan struktural akibat dari strategi pembangunan yang terlalu berorientasi pada pertumbuhan. Kedua, kritik Islam tersebut perlu ditindak lanjuti dengan langkah praktis
dalam
rangka
menciptakan
transformasi
kehidupan
sosial
berkeadilan.Dalam konteks inilah zakat seperti diyakini oleh Masdar F. Mas’udi dapat dijadikan sebagai instrumen dalam mewujudkan cita-cita keadilan. Pada saat kiprah para intelektual Muslim gelombang pertama dan kedua tetap artikulatif, muncul barisan baru intelektual Muslim muda yang bisa dikatakan sebagai gelombang ketiga intelektualisme Islam kontemporer di Indonesia.Gelombang ketiga ini banyak didominasi oleh intelektual muda yang berasal dari Islam tradisional.Mereka telah mampu menghentakkan banyak kalangan, dari konotasi mereka yang pejoratif, mereka tampil begitu artikulatif dengan mentransformasikan beberapa tema yang kadang kala mengundang kontroversi, terutama dari kalangan sebagai lawan kategoris mereka, Islam konservatif.Tema-tema yang dimaksud misalnya penerapan syariah Islam, jihad, pluralisme dan toleransi, dan historisitas Al-Qur’an.Dalam menganalisis tematema tersebut, mereka bertolak dari episteme yang disebut Muhammad Arkoun dengan kritik nalar Islam.Tema-tema yang selama ini mengalami pengkudusan dikritisi kembali agar memiliki relevansi dengan semangat moral Islam serta konteks yang mengitarinya.Kemunculan gelombang ketiga ini perlu mendapatkan apresiasi secara kontruktif karena telah memberikan kontribusi perkembangan pemikiran Islam di era kontemporer di Indonesia. Kontribusi tersebut antara lain: Pertama, mereka mampu menjaga kesinambungan intelektulisme Islam baru yang telah dirintis oleh para intelektual Muslim gelombang pertama pada tiga dasa warsa lampau. Kedua, kreatifitas intelektual mereka yang menawarkan epistimologi
baru
dalam
memahami
Islam,
yaitu
Islam
liberal,
post
tradisionalisme Islam, disamping epistimologi lainnya, misalnya Islam progresif. Ketiga, mereka telah melakukan break-trough yang berarti dalam mempercepat
157 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
proses pencairan terhadap segala bentuk pembakuan paham keagamaan di Indonesia. C. KESIMPULAN 1. Tradisi keilmuan Islam kontemporer adalah segala sesuatu yang menyertai kekinian pengetahuan yang disusun dalam suatu sistem yang dimanfaatkan untuk memperoleh keselamatan dan kebahagiaan manusia yang berasal dari Allah Swt. melalui ajaran-ajaran-Nya dan segala fenomena yang terjadi kemudian disimpulkan melalui hasil penemuan pemikiran. 2. Islam adalah agama yang sarat dengan ajaran yang mendorong timbulnya ilmu pengetahuan.Ajaran tentang ilmu pengetahuan dalam Islam yang cikal bakalnya adalah konsep dasar dalam wahyu itu kemudian ditafsirkan kedalam berbagai bentuk kehidupan dan akhirnya terakumulasi dalam sebuah bangunan peradaban yang kokoh.Suatu peradaban yang lahir dan tumbuh atas dukungan tradisi intelektual yang berbasis pada wahyu. 3. Pada zaman kontemporer perkembangan ilmu berkembang dengan sangat cepat. Masing-masing ilmu mengembangkan disiplin keilmuannya dan berbagai macam penemuan-penemuannya. Hal ini harus diterima, dihadapi, dan diimbangi dengan peningkatan keilmuan yang memadai sehingga umat Islam tidak mengalami ketertinggalan oleh dunia yang semakin maju tanpa menghilangkan dan melupakan identitas keIslaman. 4. Intelektual muslim perlu memadukan pola pikir, deduktif-induktif dan berani menggunakan pola pikir akademik-falsafi untuk membuka wawasan dalam diri seorang muslim bahwa sebenarnya Islam itu merupakan agama yang mengajak orang agar meraih kebahagiaan dunia-akhirat, materiil-spiritual dan jasmanirohani, sebab secara hakiki, manusia itu dicipta untuk hidup di dunia. Wawasan berpikir seperti itu membentuk tradisi keilmuan Muslim yang integralistikinterkonektif. 5. Pluralitas dan relatifitas pemikiran Islam harus disadari dalam diri umat Islam. Ini akan membawa implikasi terhadap keberagaman umat Islam masa depan, yakni menuju pada keterbukaan dan dialogis. Dengan demikian umat Islam dapat menjawab tantangan zaman, dapat memberikan tawaran pemecahan
158 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
terhadap berbagai masalah, tidak hanya yang dihadapi umat Islam sendiri, melainkan juga umat manusia pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA Al-Jabiri,M. Abed. 2000.Post Tradisonalisme Islam. Yogyakarta.LKIS. Arifin, Syamsul. 2009. Studi Agama Perspektif Sosiologis dan Isu-isu Kontemporer. Malang. UMM Press. Assegaf, Abd. Rachman.2011.Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif Interkonektif.Jakarta. Rajawali Pers. Bachtiar, Amsal. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta. Raja Grafindo Persada. Ihsan,A. Fuad.2010.Filsafat Ilmu. Rineka Cipta.Jakarta. Ravert,
Jerome R. 2009.Filsafat Ilmu Bahasan.Yogyakarta.Pustaka Pelajar.
Sejarah
dan
Ruang
Lingkup
Surajiyo.2010.Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia.Bumi Aksara. Jakarta. Yatim, Badri. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta. Rajawali Pers. http://muhfathurrohman.wordpress.com (Diakses: 15/11/2015) http://agm-Islam.blogspot.com(Diakses: 15/11/2015) http://asfuriahmad.wordpress.com (Diakses: 15/11/2015)
159 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
PENDIDIKAN JASMANI DALAM MEMBENTUK ETIKA, MORAL, DAN KARAKTER
YUDESTA ERFAYLIANA IAIN RADEN INTAN LAMPUNG
Abstrak Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan jasmani merupakan proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas fisik untuk menghasilkan perubahan dalam kualitas individu, baik dalam hal fisik, mental, emosional serta selalu melibatkan dimensi sosial, disamping kriteria yang bersifat fisikal yang menekankan ketrampilan, ketangkasan dan unjuk “kebolehan’. Pembelajaran Penjas melibatkan hubungan antar orang, antar peserta didik sebagaisebagai fasilitator atau pengarah. Pendidikanjasmani dan olahraga sebagai salah satu sarana pendidikan anak memberikan suatupengayaan dalam etika dan moral di masyarakat. Mengajarkan etika dan nilai moralsebaiknya lebih bersifat contoh.Tindakan lebih baik baik dari kata-kata. Nilai Moralitu beraneka macam, termasuk loyalitas, kebajikan, kehormatan, kebenaran, respek,keramahan, integritas, keadilan, kooperasi dan kedisiplinan.Disiplin diri merupakan hal penting dalam setiap upaya membangun danmembentuk karakter seseorang. Sebab karakter mengandung pengertian cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang dibuat. Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: (1) karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya, (2) kemandirian dan tanggungjawab, (3) kejujuran, amanah dan diplomatis, (4) hormat dan santun, (5) dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong serta kerjasama, (6) percaya diri dan pekerja keras, (7) kepemimpinan dan keadilan, (9) baik dan rendah hati, (9) karakter toleransi, kedamaian dan kesatuan
Kata Kunci : Pendidikan Jasmani,Etika, Moral, dan Karakter 160 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
A. PENDAHULUAN Proses pendidikan melalui pembelajaran Pendidikan Jasmani, Olahraga dan kesehatan di sekolah, merupakan
salah satu upaya untuk mewujudkan
manusia seutuhnya yang di selenggarakan di sekolah, baik dari jenjang pendidikan dasar sampai menengah. Penjas merupakan bagian integral dari pendidikan secara keseluruhan, yang bertujuan untuk mengembangkan aspek kebugaran jasmani, keterampilan gerak, keterampilan berpikir kritis, keterampilan sosial, penalaran, stabilitas emosional,moral, pola hidup sehat dan pengenalan lingkungan bersih. Penjas yang diajarkan di sekolah memiliki peranan yaitu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk terlibat dalam berbagai pengalaman belajar. Pendidikan dalam semua jenjang dan mata pelajaran sebagai alat untuk menumbuhkan saling pengertian dan cinta damai pada para siswa dan masyarakatnya. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang sudah mencapai tahap yang sangat maju, telah merubah pola para remaja dan anak-anak, pada gaya hidup yang semakin menjauh dari semangat perkembangan total, karena
lebih
mengutamakan
keunggulan
kecerdasan
intelektual,
sambil
mengorbankan kepentingan keunggulan fisik dan moral individu. Budaya hidup sedenter (kurang gerak) karenanya semakin kuat menggejala di kalangan anakanak dan remaja, berkombinasi dengan semakin hilangnya ruang-ruang publik dan tugas kehidupan yang memerlukan upaya fisik yang keras. Dalam kondisi demikian, patutlah kita mempertanyakan kembali peranan dan fungsi pendidikan, khususnya pendidikan jasmani. Pembelajaran penjas yang ada di Madrasah Ibtidiyah dilaksanakan guna mengajarkan kepada anak tentang pentingnya etika, moral, dan karakter. Sesuai dengan perkembangan jaman yang semakin maju harus dimulai dari diri sendiri dengan menekankan karakter yang baik guna dapat menciptakan generasi penerus bangsa.
Tujuan akhir pembelajaran pendidikan jasmani diantaranya untuk
membentuk kepribadian yang kuat, watak yang baik, dan sifat yang mulia.
161 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
B. PEMBAHASAN 1.
HAKEKAT PENJAS Pendidikan jasmani merupakan proses pendidikan yang memanfaatkan
aktivitas fisik untuk menghasilkan perubahan dalam kualitas individu, baik dalam hal fisik, mental, serta emosional. Pendidikan jasmani memperlakukan anak sebagai sebuah kesatuan utuh, mahluk total, daripada hanya menganggapnya sebagai seseorang yang terpisah kualitas fisik dan mentalnya. Lebih khusus lagi, pendidikan jasmani berkaitan dengan hubungan antara gerak manusia dan wilayah pendidikan lainnya: hubungan dari perkembangan tubuh fisik dengan pikiran dan jiwanya. Berolahraga secara teratur merupakan alternative yang efektif dan aman untuk
meningkatkan/
mempertahankan
kebugaran
dan
kesehatan,
Agus
Supriyanto (2002:52). Pendidikan jasmani merupakan salah satu cara untuk memperoleh kebugaran di lembaga sekolah. Menurut Harsustik yang dikutip oleh Agus Susworo (2008:12) pendidikan jasmani merupaka bagian integral dari pendidikan keseluruhan yang bertujuan meningkatkan individu secara organik, intelektual dan emosional melalui aktivitas jasmani.Sukintaka dalam Agus Susworo (2008:13) pendidikan jasmani merupakan proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungan melalui aktivitas jasmani yang disusun secara sistematis untuk menuju manusia Indonesia seutuhnya. Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan merupakan media untuk mendorong pertumbuhan fisik, perkembangan psikis, keterampilan motorik, pengetahuan dan penalaran, penghayatan nilai-nilai (sikap-mental-emosional-sportivitas-spiritual-sosial), serta pembiasaan pola hidup sehat yang bermuara untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan kualitas fisik dan psikis yang seimbang. Rusli Lutan (2000:1)
pendidikan jasmani merupakan wahana untuk
mendidik anak dan merupakan alat untuk membina anak muda agar mampu membuat keputusan terbaik tentang aktivitas jasmani yang dilakukan dan menjalani pola hidup sehat
sepanjang hayatnya. Achmad Patusuri (2012:1)
pendidikan jasmani dan oalhraga merupakan prooses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas fisik dan olahraga untuk menghasilkan perubahan holistic dalam kualitas individu, baik dalam hal fisik, mental dan emosional. 162 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Pada dasarnya mata pelajaran Penjas merupakan proses pendidikan melalui aktivitas fisik. Melalui proses belajar tersebut, Pendidikan Jasmani ingin memberikan sumbangannya terhadap perkembangan anak, sebuah perkembangan yang tidak berat sebelah. Perkembangannya bersifat menyeluruh, sebab yang dituju bukan aspek fisik/ jasmani saja. Namun juga perkembangan gerak atau psikomotorik, perkembangan pengetahuan dan penalaran yang dicakup dalam isitilah kognitif, serta perkembangan watak serta kepribadiannya, yang tercakup dalam istilah perkembangan afektif. Pendidikan
jasmani
mempunyai
tujuan
pendidikan
sebagai
(1)
perkembangan organ-organ tubuh untuk meningkatkan kesehatan dan kebugaran jasmani, 2)perkembangan neuro muskuler, 3) perkembangan mental emosional, 4)perkembangan sosial dan 5) perkembangan intelektual. Tujuan akhir olahraga danpendidikan jasmani terletak dalam peranannya sebagai wadah unik penyempurnaanwatak, dan sebagai wahana untuk memiliki dan membentuk kepribadian yang kuat,watak yang baik dan sifat yang mulia; hanya orang-orang yang memiliki kebajikanmoral seperti inilah yang akan menjadi warga masyarakat yang berguna (Baron Pierede Coubertin). Pendidikan
jasmani
pada
hakikatnya
adalah
proses
pendidikan
yangmemanfaatkan aktivitas fisik untuk menghasilkan perubahan holistik dalam kualitasindividu, baik dalam hal fisik, mental, serta emosional. Pendidikan jasmanimemperlakukan anak sebagai sebuah kesatuan utuh, mahluk total, daripada hanyamenganggapnya sebagai seseorang yang terpisah kualitas fisik dan mentalnya. Padakenyataannya, pendidikan jasmani adalah suatu bidang kajian yang sungguh luas.Titik perhatiannya adalah peningkatan gerak manusia. Lebih khusus lagi, penjasberkaitan dengan hubungan antara gerak manusia dan wilayah pendidikan lainnya:hubungan dari perkembangan tubuh-fisik dengan pikiran dan jiwanya. Fokusnya padapengaruh perkembangan fisik terhadap wilayah pertumbuhan
dan
perkembanganaspek
lain
dari
manusia
itulah
yang
menjadikannya unik. Pendidikan jasmani memanfaatkan alat fisik untuk mengembangan keutuhanmanusia. Dalam kaitan ini diartikan bahwa melalui fisik, aspek mental dan emosionalpun turut terkembangkan, bahkan dengan penekanan yang cukup
163 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
dalam.
Berbedadengan
bidang
lain,
misalnya
pendidikan
moral,
yang
penekanannya benar-benar padaperkembangan moral, tetapi aspek fisik tidak turut terkembangkan, baik langsungmaupun secara tidak langsung. Istilah pendidikan jasmani pada bidang yang lebih luasdan lebih abstrak, sebagai satu proses pembentukan kualitas pikiran dan juga tubuh.Pendidikan jasmani menyebabkan perbaikan dalam ‘pikiran dan tubuh’ yangmempengaruhi seluruh aspek kehidupan harian seseorang. Pendekatan holistik tubuhjiwaini termasuk pula penekanan pada ketiga domain kependidikan: psikomotor,kognitif, dan afektif. Pendidikan jasmani berarti program pendidikan lewat gerak atau permainandan olahraga. Di dalamnya terkandung arti bahwa gerakan, permainan, atau cabangolahraga tertentu yang dipilih hanyalah alat untuk mendidik. Mendidik apa ? Palingtidak fokusnya pada keterampilan anak. Hal ini dapat berupa keterampilan
fisik
danmotorik,
keterampilan
berpikir
dan
keterampilan
memecahkan masalah, dan bisa jugaketerampilan emosional dan sosial. PEMBELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI
KOGNITIF
AFEKTIF
PSIKOMOTOR
(1) Konsep Gerak (2) Arti Sehat (3) Memecahkan Masalah (4) Kritis, cerdas
(1) Gerak& keterampilan (2) Kemampuan fisik & Motorik (3) Perbaikan Fungsi Organ Tubuh
(1) Menyukai kegiatan fisik (2) Merasa nyaman dengan diri sendiri (3) Ingin terlibat dalam pergaulan sosial (4) Percaya diri
Sumber: Agus Mahendra, M.A.(2003) Falsafah Pendidikan Jasmani
2.
HAKEKAT ETIKA Istilah etika dan moral secara etimologis, kata ethics berasal dari kata
Yunani, ethike yang berarti ilmu tentang moral atau karakter. Studi tentang etika itu secarakhas sehubungan dengan prinsip kewajiban manusia atau studi tentang
164 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
semua kualitas mental dan moral yang membedakan seseorang atau suku bangsa. Moral berasal dari kata Latin, mos dan dimaksudkan sebagai adat istiadat atau tata krama (Rusli Lutan,2001). Etika tidak mempunyai pretensi untuk secara langsung dapat membuat manusia menjadi lebih baik. Etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas, dimana yang dihasilkannya secara langsung bukan kebaikan, melainkan suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis. (Franz Magnis Suseno,1989). Lebih lanjut dikatakan bahwa etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran. Jadi etika dan ajaran-ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama. Untuk memahami etika, maka kita harus memahami moral. Dalam etika mengembangkan diri, Orang hanya dapat menjadi manusia utuh kalau semua nilai atas jasmani tidak asing baginya, yaitu nilai-nilai kebenaran dan pengetahuan, kesosialan, tanggung jawab moral, estetis dan religius. Suatu usaha sangat berharga untuk menyusun nilai-nilai dan menjelaskan makna bagi manusia dilakukan oleh Max Scheler dikemukan sebagai berikut: mengembangkan diri, melepaskan diri dan menerima diri 3.
HAKEKAT MORAL Istilah moral dikaitkan dengan motif, maksud dan tujuan berbuat. Moral
berkaitan dengan niat. Sedangkan etika adalah studi tentang moral. Sedangkan menurut Freeman etika terkait dengan moral dan tingkah laku. Lebih lanjut Scott Kretchmar menyatakan bahwa etika juga mengenai tentang rasa belas kasih dan simpati tentang memastikan kehidupan yang baik berbagi dengan lainnya. Suseno mengatakan bahwa moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok ukur untuk menentukan betul salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas. Perkembangan moral adalah proses, dan melalui proses itu seseorang mengadopsi nilai-nilai dan perilaku yang diterima oleh masyarakat (Bandura, 1977).Pada dasarnya seseorang yang konsisten menginternalisasi norma dipandang sebagai seseorang
yang
bermoral.
Para
ahli
menerapkan
apa
yang
disebut
pendekatan“kantong kebajikan” (Kohlberg, 1981), teori ini percaya bahwa
165 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
seseorang mencontoh perilaku orang lain sebagai model atau tauladan yang ia nilai memiliki sifat-sifat tertentu atau yang menunjukkan perilaku berlandasan nilai yang diharapkan. Untuk memahami moral Kohlberg (1981) dan Rest (1986) menyatakan bahwa pemahaman moral berpengaruh langsung terhadap motivasi danperilaku namun memiliki hubungan yang tak begitu kuat. Hubungan erat pada empati, emosi, rasa bersalah,latar belakang sosial, pengalaman. 4.
HAKEKAT KARAKTER Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap
individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang dibuat. Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilainilai luhur universal, yaitu: (1) karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya, (2) kemandirian dan tanggungjawab, (3) kejujuran, amanah dan diplomatis, (4) hormat dan santun, (5) dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong serta kerjasama, (6) percaya diri dan pekerja keras, (7) kepemimpinan dan keadilan, (9) baik dan rendah hati, (9) karakter toleransi, kedamaian dan kesatuan (Suyanto, Urgensi
Pendidikan
Karakter,
http://mandikdasmen.kemdiknas.go.id/
web/
pages/urgensi.html). Karakter merupakan sebuah konsep moral yang tersusun dari sejumlah karakteristik yang dapat dibentuk melalui aktivitas olahraga. Setidaknya terdapat nilai-nilai yang baik yang dapat dibentuk melalui aktivitas olahraga, antara lain: rasa kasih sayang (compassion), keadilan (fairness), sikap sportif (sportpersonship), dan integritas (integrity) (Weinberg dan Gould.2007:552). Menurut Martens, untuk membentuk karakter peserta didik dapat ditempuh dengan tiga tahap: (1) mengidentifikasi prinsip-prinsip karakter yang akan ditransferkan, (2) mengajarkan prinsip-prinsip karakter, dan (3) memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mempraktikkan karakter. Pada tahap mengajarkan prinsipprinsip karakter meliputi enam strategi pendekatan yang dipakai, yaitu: (1) menciptakan suasana moral tim yang kondusif, (2) model perilaku moral, (3)
166 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
menyusun regulasi untuk perilaku yang baik, (4) menerangkan dan mendiskusikan perilaku moral, (5) menggunakan dan mengajarkan pengambilan keputusan yang etis, dan (6) memotivasi pemain untuk mengembangkan karakter yang baik. Pada tahap memberikan kesempatan kepada partisipan olahraga untuk praktik melalui rutinitas perilaku yang baik dalam setiap latihan dan pertandingan, dan memberikan hadiah bagi olahragawan, pelatih, dan pembina olahraga yang memiliki perilaku karakter yang baik. Pada tahap identifikasi karakter yang perlu ditanamkan kepada para partisipan akitivitas olahraga di antaranya seperti yang terangkum dalam tabel berikut ini (Martens, 2004: 59). Karakter dapat dilacak dari kata Latin kharakter, kharassein, dan kharax, yang maknanya “tools for marking”, “to engrave”, dan “pointed stake”. Kata ini mulaibanyak digunakan (kembali) dalam bahasa Perancis caractere pada abad ke14 dankemudian masuk dalam bahasa Inggris menjadi character, sebelum akhirnya menjadi bahasa Indonesia karakter. Dalam Kamus Poerwadarminta, karakter diartikan sebagaitabiat; watak; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang daripada yang lain. Dengan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa membangun karakter (character building) adalah proses mengukir atau memahat jiwa sedemikian rupa, sehingga ‘berbentuk’ unik, menarik, dan berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain. Ibarat sebuah huruf dalam alfabet yang tak pernah sama antara yang satu dengan yang lain, demikianlah orang-orang yang berkarakter dapatdibedakan satu dengan yang lainnya (termasuk dengan yang tidak/belum berkarakter atau ‘berkarakter’ tercela). Tentang proses pembentukkan karakter ini dapat disebutkan sebuah namabesar : Helen Keller (1880-1968). Wanita luar biasa ini menjadi buta dan tuli di usia19 bulan, namun berkat bantuan keluarganya dan bimbingan Annie Sullivan (yang juga buta dan setelah melewati serangkaian operasi akhirnya dapat melihat secara terbatas) kemudian menjadi manusia buta-tuli pertama yang lulus cum laude dari Radcliffe College di tahun 1904 pernah berkata: “Character cannot be develop inease and quite. Only through experience of trial and suffering can the soul bestrengthened, vision cleared, ambition inspired, and
167 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
success achieved”. Kalimat itu boleh jadi merangkum sejarah hidupnya yang sangat inspirasional. Lewat perjuangan panjang dan ketekunan yang sulit dicari tandingannya, ia kemudian menjadi salah seorang pahlawan besar dalam sejarah Amerika yang mendapatkan berbagai penghargaan di tingkat nasional dan internasional atas prestasi dan pengabdiannya (homepage www.hki.org). Helen Keller adalah model manusia berkarakter (terpuji).Dan sejarah hidupnya mendemonstrasikan bagaimana proses membangun karakter itu memerlukan disiplin tinggi karena tidak pernah mudah dan seketika atau instant. Diperlukan
refleksi
mendalam
untuk
membuat
rentetan
moral
choice
(keputusanmoral) dan ditindaklanjuti dengan aksi nyata sehingga menjadi praksis, refleksi, dan praktik. Diperlukan sejumlah waktu untuk membuat semua itu menjadi custom (kebiasaan) dan membentuk watak atau tabiat seseorang. Selanjutnya, tentang nilai atau makna pentingnya karakter bagi kehidupan manusia dewasa ini dapat dikutip pernyataan seorang Hakim Agung di Amerika, Antonin Scalia, yang pernah mengatakan: “Bear in mind that brains and learning,like muscle and physical skills, are articles of commerce. They are bought and sold.You can hire them by the year or by the hour. The only thing in the world NOT FORSALE IS CHARACTER. And if that does not govern and direct your brains andlearning, they will do you and the world more harm than good”. Scalia menunjukkan dengan tepat bagaimana karakter harus menjadi fondasi bagi kecerdasan dan pengetahuan (brains and learning). Sebab kecerdasan dan pengetahuan (termasuk informasi) itu sendiri memang dapat diperjualbelikan. Dan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa di era knowledge economy abad ke-21 ini knowledge ispower. Masalahnya, bila orang-orang yang dikenal cerdas dan berpengetahuan tidak menunjukkan karakter (terpuji), maka tak diragukan lagi bahwa dunia akan menjadi lebih dan semakin buruk. Dengan kata lain ungkapan knowledge is power akan menjadi lebih sempurna jika ditambahkan menjadi knowledge is power, but characteris more. Demikianlah makna penting sebuah karakter dan proses pembentukkannya yang tidak pernah mudah melahirkan manusia-manusia yang tidak bisa dibeli. Pendidikan dan pembelajaran olahraga termasuk pengajaran yang seharusnya bermuara, yakni membangun
168 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
manusia-manusia berkarakter (terpuji), manusia-manusia yang memperjuangkan agar dirinya dan orang-orang yang dapat dipengaruhinya agar menjadi lebih manusiawi, menjadi manusia yang utuh atau memiliki integritas. (http://www.pembelajar.com). 5. PENGAJARAN ETIKA, MORAL, DAN KARAKTER DALAM PENJAS Identifikasi karakter penjas dan olahraga dan nilai-nilai moral yang ditanamkan dalam kehidupan sehari-hari atau dalam aktivitas olahraga. a.
Rasa hormat
- Dalam Kehidupan Sehari-hari
Menghormati pada orang lain
Menghormati peralatan bermain
Menghormati pada lingkungan
Menghormati pada diri sendiri
- Dalam Aktivitas Olahraga
Menghormati peraturan permainan dan tradisinya
Menghormati lawan bermain
Menghormati para ofisial
Menghormati kemenangan atau kekalahan
b. Bertanggung jawab - Dalam Kehidupan Sehari-hari
Memenuhi kewajiban diri
Dapat dipercaya
Dapat mengontrol diri sendiri
Gigih
- Dalam Aktivitas Olahraga
169 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Persiapkan diri sendiri untuk menjadi yang terbaik
Tepat waktu saat berlatih dan bermain
Disiplin diri
Dapat bekerja sama dengan kawan setim
c. Peduli - Dalam Kehidupan Sehari-hari
Menghibur orang lain dan berempati
Mudah memberi maaf
Murah hati dan sayang (baik hati)
Menghindari mementingkan diri sendiri atau licik/nakal
- Dalam Aktivitas Olahraga
Bantu kawan setim untuk bermain yang terbaik
Mendukung kawan setim saat kacau
Murah hati dengan pujian; pelit dengan kritikan
Bermain untuk tim, bukan untuk diri sendiri
d. Jujur - Dalam Kehidupan Sehari-hari
Jujur dan terus terang
Bertindak dengan ketulusan hati
Dapat dipercaya
Berani melakukan sesuatu yang benar
- Dalam Aktivitas Olahraga
Bermain sesuai dengan aturan
Setia pada tim
Bermain bebas dari obat-obatan
Mengakui kesalahan diri sendiri 170
Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
e. Adil - Dalam Kehidupan Sehari-hari
Mengikuti aturan yang baik
Toleransi (lapang dada) dengan orang lain
Mau berbagi dengan orang lain
Hindari mengambil keuntungan dari orang lain
- Dalam Aktivitas Olahraga
Perlakukan pemain lain seperti perlakuan orang lain terhadap anda
Jujur dengan semua pemain, termasuk pemain yang berbeda sekalipun
Beri pemain lain kesempatan
Bermain untuk menang dengan mengikuti peraturan
f. Menjadi warga masyarakat yang baik - Dalam Kehidupan Sehari-hari
Menaati hukum dan peraturan
Terdidik dan menyatakan yang sebenarnya
Memberikan sumbangan kepada masyarakat
Melindungi orang lain
- Dalam Aktivitas Olahraga
Menjadi model (contoh) yang baik
Berjuang untuk yang terbaik
Berikan masukan pada olahraga
Mendorong kawan seregu untuk menjadi masyarakat yang baik Pendidikan
jasmani
dan
olahraga
adalah
laboratorium
bagi
pengalamanmanusia, oleh sebab itu guru pendidikan jasmani harus mencoba mengajarkan etikadan nilai dalam proses belajar mengajar, yang mengarah pada kesempatan untukmembentuk karakter anak. Karakter anak didik yang dimaksud 171 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
tentunya tidak lepasdari karakter bangsa Indonesia serta kepribadian utuh anak, selain harus dilakukanoleh setiap orangtua dalam keluarga, juga dapat diupayakan melainkan pendidikannilai di sekolah. Model pengembangan pembentukan karakter salah satu metode melalui pembelajaran penjas. Diantaranya, 1) mengetahui bagaimana untuk kalah, 2) menghormati orang lain dalam permainan penjas, 3) bekerja sama dengan orang lain, 4) rasa percaya diri melalui aktivitas permainan penjas. Freeman (2001: 210) dalam buku Physical Education and Sport in A changingSociety menyarankan 5 area dasar dari etika yang harus diberikan yaitu : 1) Keadilandan persamaan, 2) Respek terhadap diri sendiri. 3) Respek dan pertimbangan terhadap yang lain, 4) Menghormati peraturan dan kewenangan , 5) Rasa terhadap perspektifatau nilai relatif. Pendidik jasmani dalam proses pendidikan sebaiknyamengembangkan karakter, karakter menurut David Shield dan Brenda Bredemeiradalah empat kebajikan dimana seseorang mempunyai karakter bagus yangmenampilkan : compassion (rasa belas kasih), fairness (keadilan), sportsmanship(ketangkasan) dan integritas. Dengan adanya rasa belas kasih, murid dapat diberisemangat untuk melihat lawan sebagai kawan dalam permainan, sama-sama bernilai,samasama patut menerima penghargaan. Keadilan melibatkan tidak keberpihakan,sama-sama tanggung jawab. Ketangkasan dalam olahraga
melibatkan
berusaha
secaraintens
menuju
sukses.
Integritas
memungkinkan seseorang untuk membuat kesalahan pada yang lain, sebagai contoh meskipun tindakannya negatif penerimannya olehwasit, teman satu tim ataupun fans. C. KESIMPULAN Pendidikan etika konsepnya bersifat abstrak, sehingga pemberiannya harus lebih banyak pada perilaku dan contoh-contoh yang konstruktif. Pendidikan jasmani sebagai alat pendidikan mempercepat anak dalam mengembangkan konsep tentang moral. Mengamati realitas moral secara kritis, akan lebih dekat pada bentuk permainan, dimana mengamati realitas moral merupakan pendidikan etika. Dukungan lingkungan sekolah dan masyarakat harus dijaga untuk menjaga iklim lingkungan sosial yang baik, agar mendukung pendidikan etika dan nilai.
172 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1925
Pendidikan jasmani dapat mengajarkan nilai dan etika serta karakter dalam pembelajaran, selain itu pada saat ektrakurikuler, kegiatan pramuka, organisasi klub olahraga sekolah dengan melihat peluang yang tepat dalam pendekatan individu. Sehinga diharapkan Pendidikan jasmani dan olahraga merupakan laboratorium bagi pengalaman manusia,oleh sebab itu pendidikan jasmani harus mencoba mengajarkan etika dan nilai dalam proses belajar mengajar, yang mengarah pada kesempatan untuk membentuk karakter anak.
DAFTAR PUSTAKA Aliah B Purwakania Hasan. 2006. Psikologi Perkembangan Islami. Rajagrafindo Persad: Jakarta.
PT
Amung Ma’mun dkk. 2000. Perkembangan gerak dan Belajar Gerak. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Bagian Proyek Penataran Guru SLTP Setara D-III. Djoni Siswanto.2003. Peran Guru Pendidikan Jasmani dan Kesehatan Sekolah Dasar Inti Dalam Pembinaan Olahraga Usia Dini di Sekolh Dasar Kecamatan Banyumanik Kota Semarang. Tesis: UNNES. Dwi Sisiwoyo dkk. 2008. Ilmu Pendidikan. Yogyakarata: UNY Press Husdarta dan Yudha M. Saputra. 2000. Belajar Dan Pembelajaran. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Bagian Proyek Penataran Guru SLTP Setara D-III. Rita Eka Izzaty dkk. 2008. Perkembangan Peserta Didik. Yogyakarta: UNY Press Yudesta Erfayliana. 2014. Pengembangan Model Pembelajaran Sepakbola melalui Permainan SeLat Ball Bagi Siswa Sekolah Dasar. Tesis: UNNES.
173 Terampil, volume 5 nomor 2, Desember 2015