Implementasi Kebijakan Gender Budgeting di Tingkat Lokal Tinjauan Anggaran Responsif Gender pada Struktur APBD Provinsi Bali Tahun Anggaran 2011-2012 Tedi Erviantono FISIP Universitas Udayana E-mail :
[email protected] Abstrak Makalah ini memuat mengenai kebijakan alokasi penganggaran publik berbasis gender pada struktur APBD Provinsi Bali tahun anggaran 2011-2012. Kenyataan minimnya alokasi anggaran yang berbasis pengarustaramaan gender, karena selain masih sedikitnya perempuan pada eselon strategis, para pengambil keputusan, termasuk top manajemen (kepala daerah) cenderung masih berpikir sektoral dalam penanganan persoalan kesetaraan gender maupun pemberdayaan perempuan. Padahal pengelolaan atas persoalan ini sifatnya harus holistik yang diamanatkan Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014 yang menetapkan gender sebagai isu lintas bidang yang terintegrasi dalam semua bidang pembangunan. Kata Kunci : Kebijakan, Gender, Lokal
PENDAHULUAN Perhatian pemerintah lokal dalam mewujudkan kesetaraan HAM yang berkeadilan dalam pembangunan masih cenderung bias dan kurang optimal. Salah satu aspek kesetaraan HAM pada konteks ini termasuk kesetaraan gender. Kesenjangan tersebut seringkali terimplementasi pada ragam kebijakan publik berprespektif gender yang mana cara pandang pemerintah saat melakukan pengalokasian penggunaan anggaran masih jauh dari aspek berkeadilan gender. Gambaran umum yang terjadi dalam implementasi proses penyusunan anggaran, pemerintah daerah masih jarang memiliki pola kesadaran berperspektif gender. Proses penjaringan kebutuhan penganggaran, --semisal musrenbang (musyawarah perencanaan pembangunan)--, hingga pada tahap penetapannya, masih disandarkan pada sistem pengalokasian keuangan yang sifatnya hanya mengakomodasi kebutuhan pembangunan secara parsial dengan mengesampingkan faktor manusia yang berinteraksi pada ranah sosial dan budaya-nya. Kondisi ini yang secara umum menyiratkan pola implementasi kebijakan penganggaran pembangunan oleh pemerintah daerah yang cenderung masih bias (Mundayat, 2006 : 3). Pada kenyataannya, dalam kerangka kendali pelaksanaan otonomi daerah yang bertanggungjawab, Pemerintah Pusat telah menetapkan standar regulasi untuk menekan pola implementasi kebijakan penganggaran di daerah yang bias gender. Pemerintah Pusat dengan pendekatan intensif dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan, mendesak komitmen implementasi kebijakan penganggaran di tingkat lokal lebih memperhatikan sekaligus merealisasikan Anggaran Responsif Gender (ARG) yang regulasinya ditetapkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008 dan diperkuat pula oleh instrumen regulasi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104 tahun 2010. Kedua regulasi nasional ini mengatur penerapan anggaran yang responsif gender . Pada regulasi tersebut terjabarkan ragam program dan kegiatan di beberapa kementerian yang ditargertkan melaksanaan komitmen anggaran responsif gender, termasuk dalam pelaksanaan program dekonsentrasi di level pemerintah daerah.
Praktek yang dijalankan oleh beberapa pemerintah daerah hingga kurun waktu tahun 2013 masih menunjukkan trend yang tidak beranjak maju dalam mengakomodasi kepentingan penganggaran berkeadilan gender (gender budgeting) meski sudah terdapat pedoman regulasi di tingkat pusat. Beberapa level pemerintah daerah, -- baik Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten maupun Pemerintah Kota--, belum mengoptimalkan implementasi kebijakan anggaran yang responsif gender pada program dan kegiatan yang ada dan berjalan. Regulasi di tingkat nasional cenderung terabaikan dan terkesan sulit terimplementasikan karena pemikiran berkeadilan gender masih belum banyak dimiliki para aktor perumus kebijakan anggaran di level daerah dan kepentingan gender masih jauh dari kalkulasi kebutuhan mendasar dalam kebijakan perumusan anggaran pembangunan pemerintah lokal. Berangkat dari kondisi ini maka sangat penting diadakan penelitian dalam mengkaji anggaran responsif gender dalam anggaran pemerintah daerah. Pada penelitian ini difokuskan pada kebijakan anggaran di level Pemerintah Provinsi, yaitu Pemerintah Provinsi Bali. Ada karakteristik menarik untuk mencermati kebijakan anggaran responsive gender di Bali mengingat pemerintah provinsi ini menduduki peringkat keempat terbaik nasional dalam Indeks Governance Indonesia dengan perolehan skor 5,87 (Kemitraan, 2010). Faktor terukur di dalam indkes ini antara lain aspek akuntabilitas, kesetaraan/keadilan dan transparansi. Hanya saja kontras dengan hal tersebut, indeks pembangunan gender Pemerintah Provinsi Bali menduduki peringkat paling bawah diantara capaian pemerintah provinsi lainnya di Indonesia dengan perolehan skor 1,94 (Kemitraan, 2010). Tentunya kondisi ini sangat menarik dicermati untuk mengetahui pola sebaran kebijakan penganggaran responsif gender yang selama ini dilaksanakan Pemerintah Provinsi Bali. Implementasi kebijakan penganggaran yang dijadikan fokus pada penelitian ini adalah Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Tahun 2011/2012. Hal ini mengingat pada Kebijakan anggaran tahun 2011/2012 sudah dapat terlihat dokumen siklus penganggarannya, yaitu dari proses penetapan dokumen anggaran oleh eksekutif, perubahan penjabaran dokumen anggaran oleh legislatif dan eksekutif, dan kembali pada bentuk pelaporan realisasi dokumen pihak eksekutif yang dipertanggungjawabkan di hadapan legislatif. Pada proses yang terjabar pada siklus ini secara komprehensif akan dapat terlihat jangkauan komitmen anggaran responsif gender dalam proses penganggaran publik yang dilakanakan Pemerintah Provinsi Bali. Tinjauan dalam penelitian ini sekaligus akan menjadi masukan bagi pelaksanaan anggaran responsif gender dalam proses penganggaran publik pada tahun-tahun berikutnya di Provinsi Bali. PERMASALAHAN 1. Bagaimanakah bentuk implementasi kebijakan gender budgeting yang teraplikasi pada struktur Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Bali pada Tahun Anggaran 2011/2012? 2. Dukungan dan hambatan umum apa sajakah yang mempengaruhi proses penyusunan kebijakan gender budgeting pada struktur Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Bali? TINJAUAN PUSTAKA Penelitian terkait kebijakan responsif gender dalam konteks penganggaran publik di tingkat lokal memang masih belum banyak dilakukan. Hal ini selain mindset kesetaraan gender masih tidak begitu banyak dipahami oleh para aktor (stakeholder) pengambil kebijakan anggaran, regulasi nasional terkait gender budgeting juga masih relatif baru sehingga pemahaman praktis atas hal ini juga masih berproses.
Gender merupakan hasil kontruksi sosial yang menegaskan perbedaan fungsi, peran, hak dan behavioral differences (perbedaan perilaku), antara laki-laki dan perempuan, yang terwujud pada relasi gender, seperti, pembagian fungsi, peran dan status di dalam masyarakat (Umar, 2005 : 28). Konsep anggaran responsif gender (gender budgeting) sebagai proses penganggaran yang mencakup penilaian anggaran berbasis gender (genderbased assessment of budgets) pada setiap tingkat dalam proses penganggaran sekaligus merestrukturisasi pendapatan dan belanja dalam rangka mempromosikan kesetaraan gender. Anggaran responsif gender digunakan sebagai analisis yang mendorong terwujudnya anggaran yang berpihak kepada masyarakat baik terhadap perempuan maupun laki-laki (Ardyanti, 2007 : 2). Konsepsi sebagian besar aktor pengambil kebijakan masih menganggap gender menunjuk pada kepentingan perempuan secara parsial, padahal gender budget tidak terbatas pada target pengalokasian anggaran yang mempromosikan perempuan melainkan meliputi keseluruhan komponen dalam struktur anggaran dan pendapatan belanja di level nasional maupun lokal (baca : daerah). Tipologi pendekatan yang dilakukan pemerintah di level nasional maupun lokal dalam melakukan anggaran responsif gender lebih disandarkan pada beberapa hal, antara lain (Rostanti, 2005 ; 23) : 1. Welfare Approach (pendekatan kesejahteraan) seperti program peringatan hari-hari besar, pemberian bantuan pangan dan tunai, pelatihan ketrampilan. Pendekatan ini dilakukan secara dekonsentrasi (top-down system); 2. Equity Approach (Pendekatan Kesetaraan) mengarahkan pada pengakuan atas hak perempuan dan anak seperti perlindungan terhadap kekerasan kepada perempuan, dan hak yuridis perempuan; 3. Poverty Approach (Pendekatan Kemiskinan) seperti program anti kemiskinan yang diarahkan pada peningkatan pendapatan (income generating) untuk perempuan seperti pemberian bantuan modal. Tujuan dari anggaran responsif gender (gender budgeting) antara lain (Rostanti, 2005 : 25) : 1. Akuntabilitas, mengingat gender budget merupakan mekanisme kesetaraan gender yang diterjemahkan dalam komitmen anggaran. Gender budget merupakan instrumen penting pada setiap level kebijakan untuk diterjemahkan dalam komitmen anggaran yang membuat pemerintah akuntabel. 2. Partisipasi dan transparansi, karena laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan setara dalam perencanaan, implementasi maupun monitoring anggaran yang menjamin adanya transparansi. 3. Penjamin berlangsungnya good governance, mengingat anggaran responsif gender merupakan strategi mencapai kesetaraan kewarganegaraan sekaligus pendistribusian sumber daya yang adil dalam menghilangkan ketimpangan dan mereduksi kemiskinan. Pada penelitian Ardyanti (2007 : 5) ditegaskan bahwa anggaran responsif gender terdapat upaya penyeimbangan antara keinginan politik di level perumusan hingga penetapan kebijakan dengan kepentingan birokrasi, baik mencakup ketersediaan sumber daya manusia dan anggaran. Pada aspek kepentingan birokrasi inilah, secara spesifik Nurhaeni dan Hastuti (2011) dalam penelitian Evaluasi Anggaran Responsif Gender (Studi Alokasi Anggaran Responsif Gender dalam Anggaran Kesehatan Kota Surakarta Tahun 2008-2010) menekankan definisi anggaran responsif gender menurut Budlender (dalam Hastuti, 2011), sebagai penentuan dampak kebijakan pendapatan dan belanja pemerintah pada perempuan dan laki-laki. Inisiatif anggaran
responsif gender beranekaragam tergantung negara dan daerah, dimana konteks politik, sosial, dan kondisi institusi yang mengaplikasikannya. Kategori anggaran responsif gender dalam alokasi belanja pemerintah pada penelitian ini lebih mengarah pada struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yang terdiri atas komponen pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan daerah. Pada konteks penelitian ini, kategorinya lebih diarahkan pada definisi Budlender, Mastuti, dan Sumbullah (dalam Nurhaeni dan Hastuti, 2011 : 4) sebagai berikut : 1. Indikator kategori anggaran spesifik gender (gender specific) meliputi alokasi anggaran bagi kebutuhan spesifik gender tertentu seperti kebutuhan perempuan, kebutuhan laki-laki, kebutuhan anak, bayi dan balita atau kebutuhan lansia; 2. Indikator kategori alokasi anggaran untuk meningkatkan kesempatan setara dalam pekerjaan (affirmative action) meliputi alokasi anggaran program yang meringankan beban ganda perempuan, alokasi anggaran program dalam rangka mengurangi diskriminasi laki-laki maupun perempuan, alokasi anggaran program dalam rangka mengurangi deprivasi baik laki-laki maupun perempuan, dan alokasi anggaran program dalam rangka mengurangi marginalisasi baik laki-laki maupun perempuan; 3. Indikator kategori alokasi anggaran umum yang mainstream meliputi anggaran alokasi umum yang memiliki tendensi terhadap keadilan gender. Kerangka analisis dalam memahami kebijakan publik adalah dengan melihat kebijakan sebagai sistem hukum (system of law) yang terdiri dari aspek isi hukum (content of law), tata laksana hukum ( structure of law), dan budaya hukum (culture of law). Fadhillah Putra (2003 : 19) menekankan formulasi kebijakan makro yang ditetapkan dalam peraturan perundangundangan yang berlaku, keberhasilan implementasinya dipengaruhi kebijakan mikro yaitu pelaksana kebijakan dan kebijakan operasional serta kelompok sasaran dalam mencermati lingkungan. Pada tataran tersebut, apabila diaplikasikan dalam model kebijakan anggaran responsif gender maka beberapa faktor dalam implementasi yang perlu diperhatikan, yaitu (dalam Nurhaeni dan Hastuti, 2011 : 4) : ketetapan kebijakan, pelaksana kebijakan (struktur maupun kelembagaan), serta lingkungan tempat kebijakan tersebut diterapkan (termasuk budaya masyarakat). METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Teknik wawancara dilakukan untuk penggalian data primer mengenai upaya yang dilakukan Pemerintah Provinsi Bali, Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dalam menilai implementasi kebijakan gender budgeting pada APBD Provinsi Bali. Analisis dilakukan terhadap dokumen Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Bali Tahun Anggaran 2011/2012 yang mencakup dokumen Penetapan APBD dan Realisasi APBD Provinsi Bali. PEMBAHASAN Pos anggaran yang terbaca dalam struktur Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Realisasi Provinsi Bali Tahun Anggaran 2011 yang berkomitmen pada kepentingan kesetaraan gender masih terbatas. Kondisi ini terlihat dari sebaran mata anggaran yang tidak imbang dan masih sebatas terfokus pada program peningkatan keterampilan, keselamatan ibu dan anak serta upaya perlindungan perempuan. Cakupan anggaran juga masih relatif kecil. APBD Realisasi merupakan pemakaian riil atas pelaksanaan program yang dilaksanakan Pemerintah Provinsi Bali. Sebaran komitmen anggaran pro gender hanya tersebar pada beberapa SKPD antara lain : Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
serta Pemberdayaan Masyarakat Desa. Komitmen pengarusutamaan gender belum tersirat pada program di SKPD lainnya. Apabila melihat makna struktur anggaran secara keseluruhan diatas, maka program pengarusutamaan gender banyak diarahkan pada program pendekatan ekonomi dan kesejahteraan, bukan optimal pada aspek pemberdayaan yang mengedepankan aspek penghargaan hak asasi perempuan. Kondisi ini dikemukan narasumber penelitian yang mengatakan bahwa sebagian besar birokrat dan pimpinan daerah di Provinsi Bali masih terbatas pemahaman gender -nya. Kenyataannya persoalan penganggaran yang berkomitmen pada kesetaraan gender harus berbenturan dengan pemahaman aturan sistem yang serba maskulin dan tidak pro gender, termasuk sistem penganggarannya akibat tiadanya daya dukung regulasi penganggaran daerah yang pro gender pula (Margarani, 2013). Guna memeriksa konsistensi relasi antara struktur APBD dengan komitmen kepala daerah harus bisa ditelusuri pada Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Provinsi Bali Tahun 2011. Implementasi kebijakan anggaran publik di Provinsi Bali yang didasarkan pada aspekpengarusutamaan gender (PUG) kondisinya masih belum optimal. Hambatan yang ditemui di birokrasi terutama dalam proses penganggaran (baca : APBD) pro gender baik saat proses perencanaan maupun implementasinya, masih banyak ditemui. Pos anggaran APBD kebanyakan untuk pos-pos lain di luar kepentingan perempuan, apalagi alokasi dana Pengarus Utamaan Gender masih belum berpihak pada kepentingan kesetaraan gender seratus persen. Hambatan tidak hanya sekedar ketiadaan dukungan sistem, namun juga personal pada dinas / badan pemerintahan sendiri. Salah satunya BAPPEDA, lembaga yang dominan dalam proses perancangan anggaran (Yuliandra, 2013). Pada penilaian ini, narasumber mengaitkannya minimnya aspek pengarusutamaan gender dalam struktur anggaran APBD, termasuk pada tahun anggaran 2011, dengan timpangnya pengakomodasian suara PNS perempuan di eselon strategis yang masih rendah. Kondisi ini terlihat kehadiran PNS perempuan pada eselon strategis birokrasi masih sebatas presence (fisik). Secara umum, birokrat memandang urusan menyangkut perempuan adalah persoalan yang bisa di-nomor duakan, termasuk dengan sandaran alasan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak merupakan SOTK (Satuan Organisasi Tata Kerja) yang masih relatif baru dibentuk yaitu melalui Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Provinsi Bali tertanggal 8 Juli 2008, sehingga tidak perlu anggaran yang besar. Semenjak program/kegiatan yang dilaksanakan merupakan kelanjutan atas pergeseran Biro Kesejahteraan dan Pemberdayaan Perempuan (BKPP) di Sekretariat Daerah Provinsi Bali, urusan-urusan terkait persoalan perempuan volumenya cukup tinggi, yang seharusnya membutuhkan dukungan anggaran yang mencukupi, nyatanya masih rendah pada komponen struktur anggaran 2011(Yuliandra, 2013). Pada tingkatan penyusunan maupun implementasi, karena proses pengusulan anggaran yang bersangkutan tidak mendapatkan pengawalan (musrenbang, jaring asmara, dll), --selain terdapat pula dana sharing (dekonsentrasi) dari pemerintah pusat--, maka anggaran yang teralokasi untuk persoalan perempuan masih minim. Di Bali, “masih minim” regulasi (perda/pergub/perbup/perwali) mengenai pemberdayaan atau penuntasan persoalan yang mengarah pada pengarusutamaan gender, meski aturan holistik mengenai kesetaraan gender terdapat pada Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014 yang menetapkan isu gender sebagai salah satu isu lintas bidang yang terintegrasi dalam semua bidang pembangunan.
Kondisi penganggaran publik yang kurang berkomitmen pro-gender lebih dimaknakan pada bentuk kepatuhan pengambilan keputusan pada atasan (yang notabene bisa mengarah pada jenis kelamin laki-laki) merupakan gambaran betapa PNS perempuan telah termodifikasi pada keputusan-keputusan yang serba maskulin. Seperti dikemukakan Hester dan Einstein (2000) bahwa mekanisme yang memihak laki-laki telah menyatu dalam birokrasi, seperti pada proses rekruitmen pegawai, definisi pekerjaan dan prosedur lengkap yang mengarah pada penyusunan anggaran publik, semuanya di institusionalkan dengan akses yang identik dengan kekuasaan lakilaki. Lebih lanjut, Robbins (1990) menyatakan bahwa birokrasi memang memiliki kecenderungan dalam beberapa hal, seperti pengambilan keputusan terkosentrasi pada beberapa orang saja. Akibatnya, keputusan yang diambil bisa saja bukan mencerminkan kepentingan semua pegawai, apalagi kalangan perempuan hanya sebagai minoritas. Terkait dengan persoalan akses, penjaringan aspirasi terhadap persoalan penganggaran publik yang berkomitmen pada kesetaraan gender seharusnya menjadi tugas utama anggota legislatif. Lebih digarisbawahi disini adalah fungsi tugas utama anggota dewan adalah di bidang penganggaran. Hanya saja, dari hasil wawancara terhadap narasumber menekankan informasi bahwa komunikasi antara pihak eksekutif dengan legislatif, termasuk legislatif berjenis kelamin perempuan dari DPRD Provinsi sifatnya parsial dan personal. Kondisi yang terjadi di Bali, forum yang menggali suara persoaan perempuan dari badan legislatif sebagai pembuat kebijakan penganggaran hanya dilakukan secara personal. Anggota legislatif datang berkunjung ke badan pemberdayaan perempuan hanya saat menjelang pemilu legislative dengan membawa pertanyaan soal perempuan yang terakomodasi di badan ini. Hingga saat ini tidak ada forum komunikasi khusus antara eksekutif maupun legislatif yang langsung mewadahi pemetaan persoalan perempuan apa saja yang tertampung di eksekutif yang ditindaklanjuti sebagai perencanaan kebijakan penanggaran di legislatif. Harapan digantungkan pada fasilitasi keberadaan kaukus perempuan perempuan, dimana diharapkan nantinya pihak legislatif bisa bersinergi dengan eksekutif akan bisa merumuskan agenda publik terkait pemberdayaan perempuan termasuk persoalan minimnya penganggaran publik yang didasarkan pada kesetaraan gender di Bali. Penjaringan aspirasi mengenai persoalan perempuan oleh kalangan DPRD, termasuk dari kalangan anggota dewan perempuan jarang dilakukan. Mereka berkunjung di awal sesaat di lantik untuk hearing dan memetakan persoalan perempuan. Setelah itu tidak kelihatan lagi. Padahal forum penjaringan aspirasi ini menjadi titik tolak bagaimana perencanaan anggaran berbasis gender bisa diperjuangkan oleh anggota legislatif yang bersangkutan. Secara faktual, penjaringan hanya banyak berdiskusi dengan pimpinan saja (kepala badan pemberdayaan perempuan), itupun pendekatan secara personal. Pihak birokrasi yang merumuskan dan menjabarkan anggaran publik yang pro gender lebih nampak menjadi badan yang terputus interkonekesinya dengan badan/dinas/biro lainnya, bahkan dengan pimpinan daerahnya sendiri. Karena selain belum ada lembaga yang mewadahi aspirasi tersebut juga tidak ada forum yang dianggap mempertemukan benang merah kebutuhan anggaran pro gender kepada lembaga dewan. Salah satu lembaga yang menjadi tumpuan adalah kaukus perempuan parlemen, yang notabene masih relatif baru dibentuk di Provinsi Bali. Memang amatlah sulit menelisik bagaimana program-program di tingkat Provinsi yang terjabar dalam APBD berasal dari partisipasi yang mengakomodasi kepentingan kesetaraan gender. Hal ini mengingat selain APBD melaksanakan sebagian besar tugasnya dekonsentrasi, juga sifatnya yang mensupport pendanaan program yang ada di Kabupaten / Kota. Hanya saja di sisi yang sama, bagaimanapun dalam struktur APBD Provinsi Bali harus berhadapan dengan
tuntutan nilai dalam pengarusutamaan gender yaitu keikutsertaan/suara masyarakat, terutama kelompok perempuan dipertimbangkan dalam proses perencanaan pembangunan. Untuk melihat proses ini, peneliti melihat salah satu prosesi jaminan pelaksanaan prinsip itu pada salah satu unit wilayah di bawah koordinasi Pemerintah Provinsi Bali, yaitu Pemerintah Kota Denpasar. Pada level Pemerintah Kota Denpasar misalnya disebutkan bahwa pengakomodasian partsipasi perempuan dalam pengganggaran yang berprespektif pengarustamaan gender dilakukan dengan pengawalan di tingkat grass root, yaitu melalui forum musrenbang (Wetrawati, 2013). Pelembagaan partisipasi masyarakat perempuan memang sedang dalam pelibatan forum di tingkatan paling bawah, seperti musrenbang dari desa, kecamatan, kabupaten/kota, hingga sampai ke provinsi (APBD Provinsi) bahkan nasional (APBN). Seperti aplikasi di Kota Denpasar memulai mengirimkan surat ke setiap kecamatan saat digelar musrenbang di tingkat kecamatan dengan keharusan menghadirkan 30% peserta perempuan warga kecamatan setempat. Pada praktek yang berjalan di kecamatan Denpasar Selatan, kehadiran perempuan selain hadir secara fisik, namun juga banyak memberikan pendapat, meski tidak sebatas kepentingan domestik perempuan. Ruang gerak perempuan dalam berpendapat tidak sebatas hanya pada forum PKK, namun telah terlembagakan dalam musrenbang. PENUTUP Kenyataan minimnya alokasi anggaran yang berbasis pengarustaramaan gender, karena selain masih sedikitnya perempuan pada eselon strategis, para pengambil keputusan, termasuk top manajemen (kepala daerah) cenderung masih berpikir sektoral dalam penanganan persoalan kesetaraan gender maupun pemberdayaan perempuan. Padahal pengelolaan atas persoalan ini sifatnya harus holistik yang diamanatkan Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014 yang menetapkan gender sebagai isu lintas bidang yang terintegrasi dalam semua bidang pembangunan. Daftar Pustaka Ardhyanti, Ermi Sri. 2007. Anggaran Responsif Gender. Magelang : Pattiro Budlender, Debbie. ett.all. 2002. Gender Budgets Make Cents (Understanding Gender Responsif Budgets). London: Commonwealth Secretariat Fadillah Putra. 2003. Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik: Perubahan dan Inovasi Kebijakan Publik dan Ruang Partisipasi Masyarakat dalam Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Kemitraan, Indeks Governance Indonesia, Jakarta : Kemitraan Partnership Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif: Bandung : Rosdakarya; Mundayat, Aris, dkk. 2006. Studi Dampak Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender. Jakarta: Women Research Institute. Nurhaeni, Ismi Dwi Astuti, Dwi Hastuti. 2011. Evaluasi Anggaran Responsif Gender (Studi Alokasi Anggaran Responsif Gender dalam Anggaran Kesehatan Kota Surakarta Tahun 2008-2010). Surakarta : UNS Rostanty, Maya, dkk. 2005. Membedah Ketimpangan Anggaran (Studi Kasus APBD Kota Tanggerang, Kota Semarang dan Kota Surakarta). Jakarta: Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) Sumbullah, Umi. 2008. Gender dan Demokrasi. Malang: Averoes Press Bekerjasama Dengan Program Sekolah Demokrasi PlaCID’s Umar, Narasuddin. 2002. Tantangan Keadilan Gender. Yogyakarta: Gama Madia Agung Sri Wetrawati, Luh Margarani, Terry Yuliandra, Wawancara, 2013