Jurnal Kajian Ilmu Pemerintahan Journal of Government, Social and Politics
,jkp Volume 3, Nomor 2 September 2014
Implementasi Fungsi Koordinasi Camat dalam Penyelenggaraan Kegiatan Pemerintahan di Kecamatan Lima Puluh Kota Pekanbaru Oleh: Ranggi Ade Febrian
Abstrak Penelitian ini didasarkan pada kenyataan bahwa fungsi penting di tubuh camat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 yakni sebagai koordinator di wilayah Kecamatan. PP Nomor 19 Tahun 2008 tentang kecamatan ini telah menetapkan bahwa Camat atau sebutan lain adalah pemimpin dan koordinator penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kerja kecamatan. Dengan dikeluarkanya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang kecamatan, terutama pada pasal 15 ayat 1e yang mengatakan camat mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintah di tingkat Kecamatan, dapat dilihat ada dua fungsi penting di tubuh camat dalam PP 19 Tahun 2008 tersebut, yakni sebagai koordinator dan pelaksana teknis kewilayahan. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah mengapa implementasi fungsi koordinasi Camat dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di Kecamatan Lima Puluh Kota Pekanbaru belum berjalan dengan baik, dan apa saja faktor penghambat dalam implementasi fungsi koordinasi Camat dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di Kecamatan Lima Puluh Kota Pekanbaru Metode dalam penelitian ini adalah Deskriptif kualitatif. Oleh karena penelitian ini menggunakan metode kualitatif, maka populasi pada penelitian ini peneliti jadikan sebagai informan dan key informan. Teknik Pengumpulan data dengan cara observasi untuk memperoleh informasi serta gambaran empirik tentang data-data yang diperlukan dengan mengadakan pengamatan langsung pada obyek penelitian dan wawancara berupa percakapan langsung dengan maksud untuk memperkuat data sekunder yang diperlukan dalam penelitian. Kesimpulan penelitian ini yakni implementasi fungsi koordinasi camat dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di Kecamatan Lima Puluh Kota Pekanbaru pada item kurang terimplementasikan, dimana dari keempat indikator variabel yang digunakan yakni koordinasi dengan SKPD dan Instansi Vertikal, melakukan koordinasi dan sinkronisasi perencanaan dengan SKPD dan Instansi vertikal, melakukan evaluasi penyelenggaraan kegiatan pemerintahan, dan melaporkan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan kapada Walikota, berdasarkan hasil wawancara, observasi dan analisi yang peniliti lakukan didasarkan pada teori yang digunakan dinilai kurang terimplementasi. Dalam mengimplementasi fungsi koordinasi camat dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di Kecamatan Lima Puluh Kota Pekanbaru, dijumpai faktor-faktor yang mempengaruhi sebagai penghambat implementasi fungsi koordinasi camat diantaranya faktor komunikasi, sumberdaya, sikap pelaksana, dan stuktur birokrasi, yang berada dalam item kurang terimplementasi. Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah memberikan konsekuensi sangat luas dan mendalam pada sistem pemerintahan daerah di Indonesia. Perubahan tersebut dapat dilihat dari bergesernya status dan kedudukan suatu kelembagaan dalam keseluruhan formasi sistem pemerintahan daerah. Konsekuensi dari perubahan
Pendahuluan Perubahan sistem pemerintahan dari paradigma yang berorientasi pada sentralisasi ke desentralisasi, yang ditandai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan selanjutnya diganti dengan Undang Undang Nomor 32 104
Jurnal Kajian Ilmu Pemerintahan Journal of Government, Social and Politics
,jkp Volume 3, Nomor 2 September 2014
tersebut adalah pada batasan kekuasaan dan wewenang suatu kelembagaan dalam mengimplementasikan proses-proses regulasi, legislasi, dan kebijakan publik. Konsekuensi tersebut tampak pada pergeseran fungsi dan peran organisasi pemerintahan dalam melakukan fungsi manajerial seperti koordinasi, bantuan, fasilitasi, pengaturan, evaluasi serta pengawasan atas suatu kebijakan. Dengan adanya perubahan sistem pemerintahan yang berorientasi pada desentraslisasi sebagai konsekuensi penyelenggaraan otonomi daerah, maka sudah selayaknya pemerintah daerah lebih dapat menjalankan fungsi pokok pemerintah yakni fungsi pengaturan, fungsi pelayanan, fungsi pemberdayaan dan fungsi pembangunan secara cepat dan tepat terhadap daerahnya. Citra pemerintah daerah sangat tergantung pada pelaksanaan pelayanan publik yang baik, cepat dan biaya murah, terlebih lagi jika disediakan loket khusus yang akan melayani pelayanan publik dan membangun sebuah sistem agar akses ke pejabat dapat dibatasi sehingga KKN dapat dicegah. Loket yang dimaksudkan harus ditempatkan di Kabupaten/Kota karena level itulah yang sebenarnya banyak melakukan pelayanan public terutama di Kecamatan, intinya bagaimana Kecamatan dan Camat lebih dirasakan kehadirannya di tengah masyarakat terutama dalam memberikan pelayanan public karena sebagian besar pelayanan publik yang paling banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Kota Pekanbaru sebagai salah satu daerah yang ada di Provinsi Riau yang menyandang predikat sebagai Ibu Kota Provinsi Riau, dan memiliki penduduk berjumlah 711.030 jiwa (Sumber Kantor Badan Pusat Statistik Kota Pekanbaru tahun 2008), dalam upaya mempermudah pelayanan kepada masyarakat maka Kota
Pekanbaru membagi menjadi dua belas (12) Kecamatan yang dipimpin oleh masingmasing Camat yang terdiri dari : 1. Kecamatan Tampan 2. Kecamatan Bukit Raya 3. Kecamatan Marpoyan Damai 4. Kecamatan Senapelan 5. Kecamatan Sukajadi 6. Kecamatan Lima Puluh 7. Kecamatan Rumbai 8. Kecamatan Tenayan Raya 9. Kecamatan Sail 10. Kecamatan Pekanbaru Kota 11. Kecamatan Rumbai Pesisir 12. Kecamatan Payung Sekaki. Dari dua belas (12) kecamatan yang ada di Kota Pekanbaru tersebut, penulis membatasi dengan memilih Kecamatan Lima Puluh sebagai salah satu Kecamatan yang ada di Kota Pekanbaru yang akan diteliti dalam penelitian ini. Kecamatan Lima Puluh merupakan salah satu Kecamatan yang ada di Kota Pekanbaru yang masih terus berupaya memperbaiki kinerja pelayanan kepada masyarakat secara benar, optimal, transparan serta sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang telah ditetapkan sekaligus diharapkan akan memberikan pelayanan yang memiliki kepastian hukum. Kecamatan Lima Puluh memiliki luas wilayah lebih kurang 4,04 Km2 dengan jumlah penduduk 42.511 jiwa yang terdiri dari empat Kelurahan yakni : 1. Kelurahan Rintis 2. Kelurahan Pesisir 3. Kelurahan Sekip 4. Kelurahan Tanjung Rhu. Dalam Kelurahan tersebut terbagi kepada 30 Rukun Warga (RW) dan 123 Rukun Tetangga (RT). Untuk lebih jelas berikut data monografi Kecamatan Lima Puluh menurut jumlah penduduk :
105
Jurnal Kajian Ilmu Pemerintahan Journal of Government, Social and Politics
,jkp Volume 3, Nomor 2 September 2014
Tabel. I. Data Monografi Kecamatan Lima Puluh Menurut Jumlah Penduduk Jml Pnduduk No KeJumlah Jml Jml Jml Menurut Jenis Jumlah LuraWlayah RW RT KK Kelamin (Jiwa) han. (Km2) Lk Pr 1 Rintis 0,68 8 29 1.330 3.994 3.973 7.967 2 Tj Rhu 1,68 7 43 2.434 7.372 6.298 13.670 3 Pesisir 0,86 8 26 2.120 5.346 6.117 11.463 4 Sekip 0,82 7 25 2.090 4.703 4.710 9.413 Jumlah 4,04 30 123 7.974 21.415 21.098 42.513 Sumber data Kantor Camat Lima Puluh tahun 2010. Kedudukan Camat secara yuridis saat ini adalah menjalankan pelimpahan wewenang dari Bupati/Walikota, tetapi pada implementasinya sebagian besar kewenangan Camat yang sering dilaksanakan adalah kewenangan rutin/atributif, fungsi koordinatif (itupun terbatas pada lembaga langsung dibawah Camat seperti Kades dan Lurah) dan jika ada Camat yang lebih aktif fungsi koordinasi ini bisa diperlebar ke lembaga lainnya seperti TNI, Polri, Kuakec.
padahal Camat seharusnya mengawal proses pendidikan, KTP pun sekarang tidak ada lagi nama dan tanda tangan Camat. Yang harus diwujudkan saat ini adalah bagaimana agar Camat punya tangan untuk perangkat daerah bahkan bisa mengelus perangkat instansi vertikal, bagaimana ia bisa menjadi koordinator. Peran Camat wajib dipertegas di Kecamatan, harus ada pengarah dan pengemudi di Kecamatan, tidak semua ingin menjadi boss di Kecamatan, harus ada boss yuridis harus juga ada co-pilot. Sekarang Camat hanya menjadi tukang teken (kaitan dengan dinas teknis) ibarat kuasa Walikota terhadap Kandepag, BPN dan BPS yang tidak jelas. Dari realitas diatas, penulis yakin dan percaya bahwa masyarakat dan pemerintah memiliki keinginan kuat menjadikan pemerintahan kecamatan sebagai pusat koordinasi minimal dari sudut pemerintah atasan dan sekaligus minimal menjadi pusat penyelesaian persoalan terutama bagi kepentingan masyarakat dalam bentuk pelayanan publik. Namun, ada persolan yang menganjal bagi masyarakat terhadap kecamatan : 1. Kecamatan belum maksimal menjadi pusat pelayanan masyarakat, karena pegawai yang melayani, ketidak jelasan waktu, biaya dan syarat penyelesaian sebuah admnistrasi menjadi sorotan yang perlu mendapat perhatian 2. Dari sudut pemerintah kabupaten / kota, kecamatan dinilai belum mampu
Sebelumnya Camat adalah kepala wilayah artinya dia adalah penguasa tunggal di Kecamatan. Camat diberi tugas untuk menjadi “atasan koordinasi” bagi Instansi Vertikal. Namun sekarang berbeda, kondisi Camat saat ini adalah Perangkat Daerah dan pelaksana pembangunan, pengelola anggaran, punya visi dan misi namun tidak didukung dana, bagaimana ia bisa mewujudkan visi dan misinya, jika yang ada hanya kewenangan rutin (seperti pengurusan dokumen kependudukan). Kedudukan yang ada pasca restrukturisasi organisasi, Camat menjadi perangkat daerah, dan banyak Instansi vertikal di Kecamatan juga berubah menjadi perangkat daerah, namun bagaimana dengan urusan agama (Kuakec), Statistik (BPS) dan pertanahan (BPN), ini belum lagi instansi vertikal yang mandiri seperti Polisi dan TNI. Bahkan fenomena lain adalah Camat dinilai bukan apa-apa, seperti para pendidik, Camat dianggap tidak ada, 106
Jurnal Kajian Ilmu Pemerintahan Journal of Government, Social and Politics
,jkp Volume 3, Nomor 2 September 2014
sepenuhnya melaksanakan apa yang menjadi tugas dan fungsinya, kantor kecamatan lebih sering menjalankan fungsi pelayanan rutin dari pada menjadi pusat koordinasi dalam upaya mendorong pertumbuhan pendidikan, ekonomi dan budaya masyarakat. 3. Kecamatan juga dinilai lemah dalam melakukan dorongan dan evaluasi terhadap kinerja pemerintahan ditingkat desa/ kelurahan, seharusnya kecamatan menjadi pusat yang memberdayakan dalam pelayanan publik di level kecamatan 4. Kita juga akui bahwa secara genetis yuridis, kecamatan telah diliputi penyakit struktural yang menyebabkan dia agak susah untuk bergeliat dalam upaya memberikan daya dorong bagi mesin birokrasinya sendiri. Pertama kecamatan adalah lembaga koordinasi yang sumber kekuatannya bukan dari rakyat tetapi dari limpahan dan sub ordinasi pemerintahan Kota, dibandingkan dengan Desa, kedudukan camat lemah dibandingkan kedudukan kepala desa yang dipilih. Akibatnya, kecamatan hanya menjadi tumpuan koordinasi, bukan tumpuan penyelesaian dalam mengambil keputusan kecuali itu ada limpahan dari bupati/walikota. Kedua, kekuatan kecamatan lebih berorientasi kepada fungsi kewenangan yang dilimpahkan oleh Walikota dibandingkan fungsi koordinasi, artinya, koordinasi dapat tidak berarti apa-apa, lemah secara regulasi sehingga kecamatan berkinerja atau tidak tergantung dari kemampuan individu si camat dalam mengisi koordinasi tersebut, sejauhmana kemampuan camat menjadikan kecamatannya sebagai pusat bagi lembaga perangkat daerah yang ada di kecamatan (PPL, PLKB, Stastistik, lembaga pendidikan, Puskesmas). Ketiga : kendatipun PP terbaru sudah menetapkan dua persyaratan untuk
diangkat menjadi camat yaitu penguasaan ilmu pemerintahan dan pernah bertugas di kecamatan selama dua tahun, namun, sistem rekrutmen yang memperimbangkan kelayakan sosial dan visioner belum menjadi budaya birokrasi dalam penunjukan seorang menjadi camat. Sebelum ditempatkan sebagai seorang camat, visi dan misi serta kemampuan dorong yang melekat kepada calon camat perlu dipertimbangkan. 5. Dari sudut kecamatan sendiri, kecamatan tidak sepenuhnya mampu melaksanakan tugasnya dengan alasan kekurangan sumberdaya seperti manusia, sarana dan prasarana serta yang paling penting lagi, kecamatan tidak memilki cukup kemampuan pendanaan dalam melakukan koordinasinya. 6. Koordinasi yang dilakukan camat dengan satuan kerja prangkat daerah (SKPD) dibidang penyelenggaraan pemerintahan masih kurang terjalin dalam pelaksanaannya, berbeda saat perencanaan pada saat musrenbang Kecamatan. Dari beberapa masalah yang peneliti kemukakan tersebut diharapkan dapat mewakili permasalahan yang dihadapi sebagai landasan dalam memulai penelitian ini. Berdasarkan fokus penelitian ini, maka peneliti tertarik untuk menelitinya dengan judul : “Implementasi Fungsi Koordinasi Camat dalam Penyelenggaraan Kegiatan Pemerintahan di Kecamatan Lima Puluh Kota Pekanbaru “
Kerangka Teori 1. Pemerintahan
Secara etimologi pemerintahan berasal dari kata ”pemerintah” yang kemudian mendapat imbuhan, awalan ”pe” menjadi kata ”pemerintah” berarti badan atau organ elit yang melakukan pekerjaan mengatur dan mengurus dalam suatu 107
Jurnal Kajian Ilmu Pemerintahan Journal of Government, Social and Politics
,jkp Volume 3, Nomor 2 September 2014
negara. Dan mendapat akhiran ”an” menjadi kata ”pemerintahan” berarti perihal, cara, perbuatan, atau urusan dari badan yang berkuasa dan memiliki legitimasi tersebut. Menurut Strong, pemerintahan dalam arti luas mempunyai kewenangan untuk memelihara kedamaian dan keamanan negara, kedalam dan keluar. Oleh karana itu pertama harus memiliki kekuatan militer atau kemampuan untuk mengendalikan angkatan perang, yang kedua harus memiliki kekuatan legislatif atau dalam arti pembuatan undang-undang, yang ketiga harus memiliki kemampuan untuk mencukupi keuangan masyarakat dalam rangka membiayai ongkos keberadaan negara dalam menyelenggarakan peraturan, hal tersebut dalam rangka penyelenggaraan negara.1 Menurut Iver pemerintahan itu adalah sebagai organisasi dari orang-orang yang mempunyai kekuasaan, bagaimana manusia itu bisa diperintah.2 Menurut Finer, pemerintah harus mempunyai kegiatan terus menerus (prosecc), wilayah negara tempat kegiatan itu berlangsung ( state ), pejabat yang memerintah (the duty) dan cara, metode serta sistem (manner, method, and system) dari pemerintah terhadap masyarakatnya.3 Menurut Bayu Suryaningrat disiplin ilmu yang tertua adalah ilmu pemerintahan karena sudah dipelajari sejak sebelum Masehi oleh para filosof. Dan dewasa ini ilmu emerintahan terus berjuang keras untuk menjadi ilmu yang mandiri.4 Menurut Prajudi Atmosudirdjo tugas pemerintah antara lain adalah tata usaha negara, rumah tangga negara, pemerintahan, pembangunan, dan pelestarian lingkungan hidup. Menurut
Sumendar, sebagai badan yang penting dalam rangka pemerintahanya, pemerintah meti memperhatikan ketentraman dan ketertiban umum, tuntutan dan harapan serta pendapat rakyat, kebutuhan dan kepentingan masyarakat, pegaruh lingkungan, pengaturan, komunikasi, peran serta seluruh lapisan masyarakat dan legitimasi. Dan menurut Kencana, Ilmu pemerintahan adalah ilmu yang mempelajari bagaimana melaksanakan pengurusan (eksekutif), pengaturan (legislatif), kepemimpinan dan koordinasi pemerintah ( baik pusat dengan daerah, maupun antara rakyat dengan pemerintahannya) dalam berbagai peristiwa dan gejala pemerintahan, secara baik dan benar.5 Dan dalam tulisannya Rasyid menyimpulkan bahwa pemerintahan adalah kegiatan penyelenggaraan negara guna memberikan pelayanan dan perlindungan bagi segenap warga masyarakat, melakukan pengaturan, memobilisasi semua sumber daya yang diperlukan, serta membina hubungan baik di dalam lingkungan negara ataupun dengan negara lain. Ditingkat lokal tentu saja membina hubungan dengan pemerintahan nasional dan pemerintahan daerah yang lainnya6. Tujuan pemerintahan dicapai melalui sistem yang lazim disebut sistem pemerintahan. Salah satu sistem pemerintahan adalah sistem desentralisasi. Berdasarkan sistem ini, melalui public choice dan state policy, negara menyerahkan sebagaian kekuasaan substantial dan prosedural negara yang disebut kewenangan untuk mengatur dan mengurus (mengelola, melinsdungi dan memnuhi kebutuhan) rumah tangga masyarakat itu sendiri kepada masyarakat
1
Syafie, Inu Kencana, Manajemen Pemerintahan. PT.Perca, Jakarta, 2007, hal 17 2 Ibid. 2007. Hal 18 3 Ibid. 2007. Hal 18 4 Syafie, Inu Kencana, Manajemen Pemerintahan. PT.Perca, Jakarta, 2007, hal 18
5
Ibid. Hal 18. Rasyid, Ryas, et al, , Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, (Jakarta, Pustaka Pelajar, 2007), hal. 223 6
108
Jurnal Kajian Ilmu Pemerintahan Journal of Government, Social and Politics
,jkp Volume 3, Nomor 2 September 2014
tertentu, karena masyarakat yang bersangkutan dianggap mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya, atau supaya pada suatu saat (mengelola) masyarakat itu mampu mengelola rumah tangganya sendiri (otonom), dan isi rumah tangga (hal-hal yang diatur dan diurus) daerah otonom disebut otonomi daerah7.
pembangunan seperti kebijakan bidang pendidikan, pertanian, kesehatan, transportasi, pertahanan, dan sebagainya. Disamping itu, dilihat dari hirarkinya, kebijakan publik dapat bersifat nasional, regional, maupun lokal, seperti Undangundang, peraturan Pemerintah Kabupaten/Kota, dan Keputusan Bupati/Walikota. Proses analisis kebijakan publik adalah serangkaian aktivitasa intelektual yang dilaukakan dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politis tersebut nampak dalam serangkaian kegiatan yang mencakup penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Sedangkan aktivitas perumusan masalah, forecasting, rekomendasi kebijakan, monitoring, dan evaluasi kebijakan adalah aktivitasa yang bersifat intelektual. Proses Kebijakan Publik menurut Dunn akan digambarkan sebagai berikut : 10
2. Kebijakan Publik
Kebiajakan publik menurut Dye (1981: 1) adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukakan. Konsep tersebut sangat luas karena kebijakan publik mencakup sesuatu yang tidak dilakukan oleh pemerintah disamping yang dilakukakan oleh pemerintah ketika pemerintah menghadapi suatu masalah publik. Sebagai contoh, ketika pemerintah mengetahui jalan itu rusak dan pemerintah tidak membuat kebijakan memperbaikinya berarti pemerintah sudah mengambil kebijakan. Defenisi kebijakan publik dari Thomas Dye tersebut mengendung makna bahwa : 1. Kebijakan publik tersebut dibuat oleh badan pemerintah, bukan organisasi swasta. 2. Kebijakan publik menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh badan pemerintah. 8 Anderson mendefinisikan kebijakan publik sebagai kebijakan yang ditetapkan oleh badan-badan dan aparat pemerintah. Walaupun disadari bahwa kebijakan publik dapat dipengaruhi oleh para aktor diliuar pemerintah. 9 Lingkup kebijakan publik dapat dikatakan sangatlah luas karena mencakup berbagai sektor atau bidang Ndraha, Taliziduhu, Kybernologi Sebuah Methamorphosis, (Tangerang, Sirou Crednetia Center, 2008), hal. 69 8 Subarsono, Ag. Analisi Kebijakan Publik, 2008. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Hal.. 3 9 Ibid. 2008. Hal. 3
3. Implementasi Kebijakan.
Kebijakan yang baik tidak memiliki arti apa-apa jika tidak dapat diimplementasikan. Apabila sebuah kebijakan telah ditetapkan, maka proses perumusan kebijakan menginjak tahapan implementasi. Tahap ini melibatkan serangkaian kegiatan yang meliputi pemberitahuan kepada publik mengenai pilihan kebijakan yang diambil, instrumen kebijakan yang digunakan, staf yang akan melaksanakan program, pelayananpelayanan yang akan diberikan, anggaran yang telah disiapkan, dan laporan-laporan yang akan dievaluasi.11 Implementasi kebijakan adalah satu aktivitas dari kegiatan administrasi sebagai suatu institusi dimaksudkan sebagai salah
7
10
109
Subarsono, Ag. Analisi Kebijakan Publik, 2008. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Hal.8-9 11 Soehartono, Irawan, Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik, Alfabeta, Bandung, 2007 hal 36.
Jurnal Kajian Ilmu Pemerintahan Journal of Government, Social and Politics
,jkp Volume 3, Nomor 2 September 2014
satu proses kegiatan yang dilakukan oleh unit administrastif atau unit birokratik. 12 Para pembuat kebijakan harus sudah mempersiapkan stratgi implementasi sejak awal sebuah kebijakan dirumuskan. Kebijakan publik dibuat untuk mencapai tujuan tertentu. Tugas para pembuat dan penasehat kebijakan harus mencakup perumusan langkah-langkah startegis dan sumber-sumber yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Namun, tantangannya tidak sedikit. Selain keterbatasan sumber daya yang ada, tantangan implementasi kebijakan juga mencakup kurang jelasnya pembagian otoritas diantara lembaga-lembaga pelaksana, kompleksitas dan rigiditas (kekakuan) birokrasi, serta perbedaan kepentingan diantara berbagai pihak yang terlibat.13 Secara garis besar kita dapat mengatakan bahwafungsi implementasi itu ialah untuk membentuk suatu hubungan yang memungkinkan tujuan-tujuan ataupun sasaran-sasaran kebijakan publik diwujudkan sebagai ”outcome” (hasil akhir) kegiatan-kegiatan pemerintah. Sebab itu fungsi implementasi mencakup pula penciptaan apa yang dalam ilmu kebijakan publik (Publik Science) disebut ”Polocy delivery system” ( sistem penyampaian/penerusan kebijakan publik ) yang biasanya terdiri dari cara-cara atau sarana-sarana tertentu yang dirancang/ didesain secara khusus serta diarahkan menuju tercapainya tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang dikehendaki.14
Secara etimologi management (di Indonesia diterjemahkan sebagai “manajemen”) berasal dari kata “manus”(tangan) dan “agree”(melakukan), yang setelah digabung menjadi kata “manage” (bahasa Inggris) berarti mengurus atau “managiere” ( bahasa latin ) berarti melatih.15 Menurut Prajudi, manajemen merupakan pengendalian dan pemanfaatan dari pada semua faktor serta sumber daya yang menurut suatu perencanaan, diperlukan untuk mencapai atau menyelesaikan suatu tujuan kerja tertentu.16 Manajemen menekankan pada pengendalian dan pendayagunaan manusia itu sendiri sesuai dengan kemampuan dan pengelolaan sumber daya yang dimiliki. Pertanyaan tentang manajemen dapat dijawab dengan jalan menganalisis unsur dan fungsi dari manajemen itu sendiri. Menurut Ndaraha manajemen mempelajari bagaimana menciptakan effectiveness usaha ( ”doing right things”) secara efficient (”doing things right”) dan produktif, melalui fungsi siklus tertentu, dalam rangka mencapai tujuan organisasional yanag telah ditetapkan. Jadi unsur-unsur manajemen adalah : 1. Tujuan organisasional yang telah ditetapkan oleh lembaga atau pejabat yang berkompeten. 2. Fungsi, yaitu perencanaan usaha termasuk pemenetapan output dan out-come yang dikehendaki, pengorganisasian sumber-sumber agar siap pakai/gerak, penggerak/pengguna sumbersumber supaya output dan outcome yang dihasilkan/ dinikmati konsumer sesuai dengan output/outcome yang diharapkan.
4. Manajemen Pemerintahan
12
Awang, Azam, Implementasi pemberdayaan Pemerintah Desa, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010.Hal.25 13 Soehartono, Irawan, 2007. Ibid. Hal. 36. 14 Wahab, Solihin Abdul Wahab, Pengantar Analisis kebijakan public. UMM Press. Malang. 2008 Hal. 177
Syafi, Inu Kencana, Manajemen Pemerintahan. PT.Perca, Jakarta, 2007, hal 1 16 Atmosudirjo, Prajudi. Administrasi dan Management Umum. Ghalia Indonesia, Jakarta 1982, hlm. 124. 15
110
Jurnal Kajian Ilmu Pemerintahan Journal of Government, Social and Politics
,jkp Volume 3, Nomor 2 September 2014
3. Siklus produk yang berawal dari konsumer, dan setelah melalui beberapa rute, berakhir pada konsumen.17
dilihat dari sudut normatif, koordinasi diartikan sebagai kewenangan untuk menggerakkan, menyerasikan, menyelarasakan, dan menyeimbangkan kegiatan-kegiatan yang spesifik atau berbeda-beda, agar semuanya terarah pada pencapaian tujuan tertentu pada saat yang telah ditetapkan. Dari sudut fungsional, koordinasi dilakukan guna mengurangi dampak negatif spesialisasi dan mengefektifkan pembagian kerja.19 Menutut Hoogerwerf koordinasi merupakan penyesuaian satu sama lain dari berbagai kesatuan sehubungan dengan aktivitas-aktivitas masing-masing di suatu bidang tertentu. Koordinasi juga berfungsi sebagai salah satu sarana untuk menanggulangi problematika dalam struktur organisasi, karena masing-masing kesatuan memiliki tujuan-tujuan dan kepentingan-kepentingan khusus yang dapat bertentangan dengan tujuan-tujuan dan kepentingan-kepentingan dari kesatuankesatuan lainnya. 20
5. Koordinasi
Pentingya koordinasi telah disadari sejak lahirnya peradaban dan budaya manusia. Fungsi koordinasi dipelajari dan diangkat menjadi konsep manajemen sejak awal abad 20. Dalam perkembangannya kemudian, koordinasi tidak hanya diuraikan sebagai fungsi tetapi juga lembaga, bahkan perilaku dan teori organisasi. Di masa berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, koordinasi antara aparat daerah dengan aparat pusat di daerah dianggap penting, sehingga hal itu diatur dalam Pasal 80 dan 85 UU tersebut berturut-turut tentang koordinasi pembangunnan dan koordinasi pemerintaan. Menurut Ndara, dilihat dari sudut pandang manajemen Pemerintahan, koordinasi yang dianggap sebagai titik kelemahan penyelenggaraan pemerinah dan pembangunan sampai sekarang, tetap dianggap crucial. 18 Berbicara tentang pengertian kordinasi, kata coordination berasal dari co- dan ordinare yang berarti to regulate. Dilihat dari pendekatan empirik, dikaitkan dengan seni etimologi, koordinasi diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh pihak yang sederajat untuk saling memberi informasi dengan mengatur bersama (menyepakati) hal tertentu, sehingga di satu sisi proses pelaksanaan tugas dan keberhasilan pihak yang satu tidak mengganggu proses pelaksanaan tugas dan keberhasilan pihak yang lain, sementara disisi lain yang satu langsung atau tidak langsung mendukung pihak yang lain. Jika Ndraha, Taliziduhu, Kybernolog (Ilmu Pemerintahan Baru), (Jakarta, Rineka Cipta 2003), hal. 159 18 Ndraha Taliziduhu, 2003. Op.cit Hal. 289.
6. Kecamatan
Perubahan mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan kecamatan sebagaimana diatur di dalam UU Nomor 22 Tahun 1999, kemudian dilanjutkan pada UU Nomor 32 tahun 2004. Perubahannya mencakup mengenai kedudukan kecamatan menjadi perangkat daerah kabupaten/kota, dan camat menjadi pelakasana sebagian urusan pemerintahan yang menjadi wewenang Bupati/Walikota. Di dalam pasal 120 ayat 3 UU Nomor 32 Tahun 2004 dinyatakan bahwa, “ Perangkat daerah kabupaten/kota terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan kelurahan”. Pasal tersebut menunjukkan adanya dua perubahan penting yaitu :
17
19
Ndraha Taliziduhu, 2003. Op.cit Hal. 290. .Hoogerwerf, A, Ilmu Pemerintahan, ( Jakarta, Penerbit Erlangga, 1978 ) Hal. 520-521 20
111
Jurnal Kajian Ilmu Pemerintahan Journal of Government, Social and Politics
,jkp Volume 3, Nomor 2 September 2014
1. Kecamatan bukan lagi wilayah administrasi pemerintahan dan dipersepsikan merupakan wilayah kekuasaan camat. Dengan paradigma baru, Kecamatan merupakan suatu wilayah kerja atau areal tempat Camat bekerja. 2. Camat adalah perangkat Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dan bukan lagi kepala wilayah administrasi pemerintahan, dengan demikian camat bukan lagi penguasa tunggal yang berfungsi sebagai administrator pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, akan tetapi merupakan pelaksana sebagian wewenang yang dilimpahkan oleh Bupati/Walikota.
luas atau terbatasnya pelimpahan kewenangan dari Bupati/Walikota sangat tergantung pada keinginan politis dari Bupati/Walikota. 22 Dalam pasal 1 ayat 5 Peratuan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Kecamatan, menyatakan kecamatan atau sebutan lain adalah wilayah kerja Camat sebagai Perangkat daerah kabupaten/ kota. Dalam pasal 2 ayat 1 Peratuan Pemerintah No 19 Tahun 2008 tersebut menjelaskan kecamatan dibentuk diwilayah kabupaten/ kota dengan Peraturan Daerah berpedoman pada Peratuan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 ini. Kecamatan atau sebutan lain adalah wilayah kerja Camat sebagai Perangkat daerah kabupaten/kota. Pembentukan kecamatan adalah pemberian status pada wilayah tertentu sebagai kecamatan di Kabupaten/Kota. Penghapusan kecamatan adalah pencabutan status sebagai kecamatan di wilayah kabupaten/kota. Penggabungan kecamatan adalah penyatuan kecamatan yang dihapus kepada kecamatan lain. Camat atau sebutan lain adalah pemimpin dan koordinator penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kerja kecamatan yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah, dan menyelenggarakan tugas umum pemerintahan.
21
Perubahan kedudukan kecamatan dan kedudukan camat, membawa dampak pada kewenangan yang harus dijalankan oleh camat. Namun demikian ada karakter yang berbeda antara status perangkat daerah yang ada pada kecamatan dengan instansi/lembaga teknis daerah. Bila ditelaah lebih jauh kewenangan camat justru bersifat umum dan menyangkut berbagai aspek dalam pemerintahan dan pembangnan serta kemasyarakatan. Hal ini berbeda dengan lembaga dinas daerah ataupun lembaga teknis daerah yang bersifat spesifik. Sebagai perangkat daerah, camat memiliki kewenangan delegatif seperti yang dinyatakan dalam pasal 126 ayat 2 bahwa: “Kecamatan dipimpin oleh Camat yang dalam pelaksanaan tugasnya memeroleh pelimpahan sebagaimana wewenang Bupati/Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah”. Ini berarti bahwa kewenangan yang dijalankan oleh Camat merupakan kewenangan yang dilimpahkan oleh Bupati/ Walikota. Dengan demikian
7. Fungsi Koordinasi Camat
Dalam pasal 14 PP Nomor 19 Tahun 2008 Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten/kota sebagai pelaksana teknis kewilayahan yang mempunyai wilayah kerja tertentu dan dipimpin oleh Camat. Camat berkedudukan
21
Wasistiono, Sadu. Ismail Nurdin, M.Fahrurozi, Perkembangan ORGANISASI KECAMATAN dari masa ke masa,(Bandung, FOKUSMEDIA, 2009 ) Hal. 33
22
Wasistiono, Sadu. Ismail Nurdin, M.Fahrurozi, Op.Cit. Hal. 34
112
Jurnal Kajian Ilmu Pemerintahan Journal of Government, Social and Politics
,jkp Volume 3, Nomor 2 September 2014
di bawah dan bertanggung jawab kepada bupati/walikota melalui sekretaris daerah Camat menyelenggarakan tugas umum pemerintahan yang merupakan kewenangan atributif sebagaimana diatur dalam pasal 126 ayat 3 yang meliputi: 23 a. mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat; b. mengoordinasikan upaya penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum; c. mengoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundangundangan; d. mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum; e. mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan; f. membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan; dan g. melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau kelurahan. Tugas umum pemerintahan yang dimaksud dalam pasal 126 ayat 3 UU Nomor 32 Tahun 2004 berbeda maknanya dengan urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada UU Nomor 5 Tahun 1974, yang dimaksud dengan urusan pemerintah umum adalah : “ urusan pemerintahan yang meliputi bidang-bidang ketentraman dan ketertiban, politik, koordinasi, pengawasan dan urusan pemerintahan lainya yang tidak termasuk dalam tugas sesuatu instansi dan tidak termasuk urusan rumah tangga Daerah “. Urusan pemerintahan umum ini
diselenggarakan oleh setiap tingkatansebagai wakil pemerintah pusat di daerah dalam rangka melaksanakan asas dekonsentrasi. Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan atributif sebagaimana diatur dalam pasal 126 ayat 3, dijelaskan secara lanjut pada pasal 16, yang berbunyi sebagai berikut : Pasal 16 Tugas Camat dalam mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a, meliputi: a. mendorong partisipasi masyarakat untuk ikut serta dalam perencanaan pembangunan lingkup kecamatan dalam forum musyawarah perencanaan pembangunan di desa/kelurahan dan kecamatan; b. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap keseluruhan unit kerja baik pemerintah maupun swasta yang mempunyai program kerja dan kegiatan pemberdayaan masyarakat di wilayah kerja kecamatan; c. melakukan evaluasi terhadap berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat di wilayah kecamatan baik yang dilakukan oleh unit kerja pemerintah maupun swasta; d. melakukan tugas-tugas lain di bidang pemberdayaan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan e. melaporkan pelaksanaan tugas pemberdayaan masyarakat di wilayah kerja kecamatan kepada bupati/walikota dengan tembusan kepada satuan kerja perangkat daerah yang membidangi urusan pemberdayaan masyarakat. 8. Pelayanan Publik
Asep, Muslim, Himpunan Pereturan Perundangundangan Kecamatan, Desa, dan Kelurahan, (Bandung, Fokus Media, 2008), hal. 7-8 23
Kewajiban negara adalah melayani setiap warga negaranya dan penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang merupakan 113
Jurnal Kajian Ilmu Pemerintahan Journal of Government, Social and Politics
,jkp Volume 3, Nomor 2 September 2014
amanat Undang-Undang Dasar 1945, yakni dengan membangun kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah. Hal ini merupakan kegiatan yang senantiasa dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga negara dan penduduk tentang peningkatan pelayanan publik. Pada dasarnya setiap manusia membtuhkan pelayaan bahkan dapat dikatakan pelayanan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia, baik dari segi paradigma maupun format pelayanan belumlah memuaskan, bahkan masyarakat masih diposisikan sebagai pihak yang tidak berdaya dan termarginalisasikan dalam kerangka pelayanan. Masyarakat setiap waktu selalu menuntut pelayanan publik yang berkualitas dari aparat/birokrat/petugas, meskipun tuntutan tersebutsering tidak sesuai dengan harapannya karena secara empiris pelayanan publik yang terjadi selama ini bercirikan, berbelit-belit, lambat, mahal, melelahkan bahkan menykitkan hati.24 Selanjutnya pelayanan adalah sesuatu bentuk kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi Pemerintahan baik di pusat, di daerah, BUMN maupun BUMD dalam bentuk barang maupun jasa, dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku (KEPMENPAN NO.81.1993). Selanjutnya menurut KEPMENPAN NO.63/KEP/M.PAN/7/2003. Bahwa palayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerimaan pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Setelah disahkannya Undangundang Pelayanan Publik terbaru yakni UU Wasistiono, Sadu . Manajemen Pelayanan Publik, Gramedia Pustaka, Jakarta 2005. Hal. 1
Pelayanan Publik No 25 tahun 2009, menjelaskan dalam pasal 1 ayat 1 bahwa pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Tujuan UU No 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik ini sebagaimana yang tertera dalam Pasal 3 adalah : 1. Terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik. 2. Terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuia dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik. 3. Terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan 4. Terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah tersebut dibuat untuk mewujudkan kualitas dalam pelayanan terhadap masyarakat. Karena kualitas pelayanan merupakan segala sesuatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan masyarakat. Makna dari pelayanan publik tidak lain untuk memuasakan dan memenuhi keinginan masyarakat pada umumnya yang sesuai dengan azaz pelayanan publik. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian dengan metode kualitatif. Istilah penelitian kualitatif menurut David Williams (1955) menulis bahwa penelitian kualitatif adalah pengumpulan data pada suatu latar ilmiah,
24
114
Jurnal Kajian Ilmu Pemerintahan Journal of Government, Social and Politics
,jkp Volume 3, Nomor 2 September 2014
dengan menggunakan metode alamiah, dan dilkukan oleh orang atau peneliti yang yeng tertarik secara alamiah. Kemudian menurut Denzin dan Lincoln (1987) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Dalam penelitian kualitataif metode yang biasanya dimanfaatkan adalah wawancara, pengamatan, dan pemenfaatan dokumen.25 Desain penelitian yang dilakukan ini adalah deskriptif kualitatif dengan tinjauan normatif. Deskriptif kualitatif bertujuan untuk menggambarkan, menguraikan berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek penelitian, dan beruapya menarik relaitas ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda atau gambara tentang kondisi, situasi ataupun fenomena tertentu26. Tinjauan normatif sendiri dalam artian membatasi tujuan penelitian sebagai rujukan untuk menghasilkan kesimpulan yang berdasar. Proses pelaksanakan fungsi koordinasi Camat dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan merupakan fokus penelitian dalam hal ini adalah proses pelaksanakan fungsi koordinasi Camat dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di Kecamatan Lima Puluh ditinjau dari Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tentang Kecamatan dan Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Pelayanan Publik. Didukung dengan indikator : 1. Koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah dan instansi vertikal di bidang penyelenggaraan kegiatan pemerintahan. Dr. Lexy J. Maleong, Metodologi Penelitan Kualitatif, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 5 26 Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group 2007), hal.68
2. Koordinasi dan sinkronisasi perencanaan dengan satuan kerja perangkat daerah dan instansi vertikal di bidang penyelenggaraan kegiatan pemerintahan. 3. Evaluasi penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan. 4. Melaporkan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan kepada Walikoto.
Pembahasan Data-data yang telah di jadikan rujukan untuk menopang penelitian adalah data-data yang diambil dari lokasi penelitian. Untuk memperlihatkan bahwa hasil penelitian menjamin keakuratan dalam pembahasannya, peneliti menganalisis setiap data-data yang didapat menjadi rangkaian kata-kata yang dapat dimengerti dalam pengungkapannya. Peneliti mengkhususkan pada kajian mendalam terhadap fungsi Camat sebagai koordinator wilayah yang mencakup bidang-bidang kerja Kecamatan yang bersentuhan dengan masyarakat secara mendalam. Bidang kerja yang dimaksud dibatasi pada bidang Administrasi kependudukan, karena bidang inilah yang lebih sering bersentuhan dengan masyarakat. Koordinasi yang dilakukan oleh Camat dalam bidang ini dengan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Pekanbaru. 1. Camat Sebagai Koordinator Wilayah
Kecamatan. Perluasan yang terjadi pada jumlah tugas Kecamatan menyebabkan keterjalinan yang juga luas terhadap tugas-tugas yang semuanya saling bertalian. Salah satu tugas kecamatan yang sangat penting adalah sebagai koordinator di wilayah kerja kecamatan. Koordinator yang dimaksud adalah Camat sebagai kepala Pemerintahan di tingkat kecamatan melakukan penyesuaian satu sama lain dari berbagai kesatuan-kesatuan kerja sehubungan
25
115
Jurnal Kajian Ilmu Pemerintahan Journal of Government, Social and Politics
,jkp Volume 3, Nomor 2 September 2014
aktivitas-aktivitas masing-masing suatu bidang tertentu. Hal-hal ini berkenaan dengan pendirian-pendirian, kedudukankedudukan, instrument-instrument atau sarana-sarana yang ada dalam lingkup kecamatan. Penyesuaian bidang-bidang yang harus dikoordinasaikan oleh Camat mendapat pelimpahan kewenangan dari Walikota Pekanbaru, dengan dikelurkannya SK Walikota Pekanbaru No. 112 Tahun 2002 tentang pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Walikota kepada camat. Tugas-tugas pemerintahan yang dilimpahkan oleh Walikota Pekanbaru kepada camat adalah sebagian kewenangan wajib dan sebagian kewenangan lain. Sebagian kewenangan wajib meliputi bidang pekerjaan umum, pertanian, perhubungan, industri, perdagangan dan penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, tenaga kerja, kesehatan, dan pendidikan. Sedangkan kewenangan lain meliputi bidang administrasi kependudukan, administrasi public, ketertiban umum, social, pariwisata, olahraga, pendapatan daerah, politik dalam negeri, penerangan, dan pengembangan otonomi daerah. Penelitian ini menunjukkan hubungan melintang yang dilakukan camat Lima Puluh lebih banyak bersifat informal, sementara, bilateral atau multilateral yang dilakukan secara lisan, dengan perantara telepon, dan secara tertulis, yang dilakukan jika ada komisi-komisi, kelompokkelompok kerja, kelompok-kelompok proyek, atau jika hanya ada permasalahan bukan berdasarkan pada perencanaan. Hal ini memunculkan kelemahan yang menimbulkan ketidaksesuaian hasil dan waktu yang akan dicapai dikarenakan secara formal mereka tidak mempunyai hak bicara tentang kebijakasanaan masingmasing dan oleh karena itu hal ini adalah suatu bentuk koordinasi yang tidak mengikat. Hal ini tidak sesuai dengan amanat UU No 32 tahun 2004 dan PP No
19 Tahun 2008 yang secara garis besar menuntut Camat sebagai pusat Koordinasi di Kecamatan. Jika kita tafsirkan lebih mendalam menurut UU No 32 Tahun 2004 dan PP No 19 Tahun 2008, kedudukan Camat sebagai perangkat daerah adalah sebagai garda terdepan dalam penyelenggaraan pemerintahan, karena Camat adalah perangkat pemerintahan yang lebih mengetahui kondisi umum masyarakat dan memiliki kewenangan delegatif berupa pelimpahan sebagian wewenang Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi di daerah. Camat harus dituntut cermat, berani, dan benar dalam memahami kewenangan delegatif yang diberikan kepadanya karena akan berpengaruh terhadap koordinasi yang dilakukakannya sebagai koordinator wilayah di Kecamatan. Hal ini diperlukan untuk menguatkan fungsi dan kedudukan camat agar memiliki wibawa dan karisma sebagai pemimpin di Kecamatan yang akan berdampak pada kesungguhan unit-unit kerja, cabang dinas, UPTD, dan Instansi vertikal yang terdapat di wilayah kerjanya. Camat harus dapat menafsirkan kewenangan delegatif yang dimilikinya karena bertujuan untuk mempercepat pengambilan keputusan berkaitan dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat setempat, lebih mendekatkan pelayanan pemerintahan, mempersempit rentan kendali dari Walikota kapada Kelurahan, dan membentuk kaderisasi kepemimpinan pemerintahan. Pelimpahan wewenang ini sebenarnya merupakan upaya untuk optimalisasi peran dan fungsi Kecamatan dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Hasil yang diharapkan adalah terealisasikannya Kecamatan sebagai pusat koordinasi dan pelayanan masyarakat yang mudah, murah, cepat dan berkualitas. Dalam skema pelimpahan ini, kecamatan koordinator wilayah berfungsi mendukung pencapaian Standar Pelayanan 116
Jurnal Kajian Ilmu Pemerintahan Journal of Government, Social and Politics
,jkp Volume 3, Nomor 2 September 2014
Minimal (SPM) menuju peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kecamatan juga harus bekerjasama dengan unit-unit pemerintahan di lingkup kecamatan (seperti Puskesmas, Cabang Dinas, UPTD, Sekolah, para penyuluh). Kerjasama sinergi ini dimaksudkan agar kemampuan yang ada dapat diakumulasi dalam rangka mendukung Pemerintah Kota Pekanbaru dalam mencapai SPM/Target Kinerja yang ditetapkan oleh Walikota. Dalam kerangka itulah maka kecamatan mendapatkan sejumlah pelimpahan kewenangan seperiti bidang: Kependudukan, kesehatan, pendidikan dasar, perizinan, pembinaan Kelurahan, serta perpajakan. Adapun aspek yang dilimpahkan pada dasarnya berfungsi untuk mengefektifkan koordinasi. Oleh karena itu camat mendapatkan pelimpahan kewenangan untuk: (a) fasilitasi, perencanaan dan penganggaran, (b)koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan kegiatan dan monitoring pelaksanaan kegiatan, (c) pengawasasn kegaiatan yang dilakukan UPTD tingkat kecamatan, (d) Fasilitasi Pengaduan Masyarakat, dan (e) Evaluasi Kinerja Bidang yang dilimpahkan. Untuk memastikan efektifitas pelimpahan maka kecamatan bersama SKPD Kota mendapatkan Target Kinerja. 2.
dalam pelaksanaan tugas. Setelah program kerja dibuat maka Camat wajib mengkoordinir pelaksanaan tugas administrasi pemerintahan kecamatan mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, serta meminta pelaporan dari bawahan. Di Kecamatan Lima Puluh Kota Pekanbaru, perencanaan dilakukan langsung oleh Camat setelah melakukan rapat koordinasi dengan Walikota Pekanbaru. Setelah itu Camat melaksanakan rapat koordinasi dengan staf di Kecamatan untuk diberikan uraian tugas. Uraian tugas tersebut akan disusun malalui surat keputusan Camat Lima Puluh Kota Pekanbaru yang terbaru adalah No.09/KPTS-KL/I/2010 kepada seksi-seksi di Kecamatan Lima Puluh Kota Pekanbaru sebagai tindak lanjut dari SK Walikota Pekanbaru Nomor 7 Tahun 2008. Camat memberikan pembagian tugas kepada kasikasi di kecamatan dengan rincian tugas yang disesuaikan dengan masing-masing bidang, pembagian tugas yang dilakukan oleh Camat Lima Puluh cukup baik karena didalam pembagian tugas setiap seksi harus merencanakan kegiatan tugas, koordinasi dan sinkronisasi tugas, pembinaan, evaluasi, bimbingan, pemeriksaan pekerjaan bawahan, dan pelaporan pelaksanaan tugas yang telah dikerjakan. Akan tetapi pada implementasinya masih terdapat beberapa kendala dalam melaksanakan fungsi koordinasi yang dilakukan camat terutama yang menjadi fokus permasalahan dalam penelitian ini yakni koordinasi camat dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan berdasarkan PP No 19 tahun 2008 pasal 20. Berikut akan dijelaskan hasil temuan dilapangan dalam penelitan yang telah dilakukan :
Implementasi Fungsi Koordinasi Camat Dalam Penyelengaraan Kegiatan Pemerintahan di Kecamatan Lima Puluh Kota Pekanbaru.
Langkah pertama yang harus dilakukan Camat adalah merencanakan program kerja Kecamatan dan kegiatan teknis administrasi. Hal ini bertujuan untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan Kecamatan, pembangunan dan kemasyarakatan berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagai pedoman
3.
117
Koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dan instansi vertikal di bidang penyelenggaraan kegiatan pemerintahan.
Jurnal Kajian Ilmu Pemerintahan Journal of Government, Social and Politics
,jkp Volume 3, Nomor 2 September 2014
Indikator pertama dari variabel Implementasi fungsi koordinasi camat adalah, Koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dan instansi vertikal di bidang penyelenggaraan kegiatan pemerintahan. Indikator ini dilihat dari beberapa sub indikator sebagai berikut : Komunikasi antara Camat dengan SKPD dan Instansi Vertikal, Faktor Sumber Daya, Sikap Pelaksana dan Struktur Birokrasi. A. Komunikasi antara Camat dengan SKPD dan Instansi Vertikal. Dari hasil waawancara dengan Camat Lima Puluh Baharuddin, S.Sos, M.Si (25/7/2010), menyatakan bahwa kenyataan yang terjadi dari target penghasilan pendapatan asli daerah (PAD) kota Pekanbaru yang ditargetkan pada kisaran 196 milyar lebih, ternyata meleset dari dugaan. Nilai sebesar 196 milyar lebih yang diinginkan oleh walikota, ternyata hanya bisa dihasilkan oleh seluruh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) sebesar 41 miliar. Karena angka yang tidak sesuai target, Walikota Pekanbaru Drs H Herman Abdullah MM langsung menggelar rapat evaluasi terhadap PAD diruang rapat walikota Pekanbaru, Kamis (1/7). Rapat itu dihadiri oleh BAPPEDA, Dispenda, PU beserta seluruh SKPD yang ada di bawah jajaran pemerintah kota Pekanbaru termasuk seluruh Camat. Hasil evaluasi APBD 2010, ternyata tidak sesuai dengan pendapatan. Pemanggilan seluruh SKPD yang ada akan mempertanyakan mengapa target yang ingin kita capai bisa meleset. Angka 41 milyar tidak disetujui oleh walikota, karena target yang ingin dicapai oleh pemerintah kota sebenarnya adalah sebesar 196 milyar lebih. Diungkapkan oleh Camat Lima Puluh (25/7/2010), dampaknya adalah Kecamatan juga harus bertanggung jawab terhadap hasil PAD yang ditargetkan oleh Walikota Pekanbaru tersebut. ditanyakan lebih lanjut apakah ada koordinasi teknis fungsional dan teknis operasional yang dilakukan camat dengan SKPD dalam
menyelenggarakan kegiatan pemerintahan, Camat Lima Puluh mengatakan ”Koordinasi dilakukan pada saat musrenbang kecamatan hasil dari musrenbang yaitu rencana pembangunan kecamatan, diharapkan tidak ada lagi daftar keinginan yang panjang tetapi daftar priorotas kebutuhan yang memiliki kepastian terealisasinya baik yang dilaksanakan oleh pemerintah Kecamatan maupun SKPD terkait” Dengan demikian dapat disimpulkan dari wawancara yang dilakukan, Camat Lima Puluh mengatakan Koordinasi dengan SKPD dilakukan pada saat Musrenbang, Jelas terlihat pada implementasinya komunikasi yang dibangun antara Camat dengan SKPD hanya setahun sekali, inilah yang menyebabkan kurangnya sinkronisasi antara kegiatan pemerintahan Camat dengan kegiatan SKPD di Kecamatan yang menyebabkan target dari Walikota Pekanbaru tidak tercapai. Pada impelementasinya hasil dari musrenbang tersebut kurang dikoordinasikan secara operasional. Masing-masing SKPD berjalan dengan sendiri-sendiri tanpa melakukan komunikasi kepada camat sebagai koordinator di wilayah kerja Kecamatan. Camat mengungkapkan, kurangnya inisiatif dari SKPD untuk membangun komunikasi dalam melakukan kinerjanya. Keberhasilan implementasi fungsi koordinasi camat mensyaratkan agar camat mengetahui apa yang harus dilakukan, apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran sehingga akan mengurangi distorsi implementsi. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran. Ketidak berhasilan pelayanan administrasi di kecamatan, 118
Jurnal Kajian Ilmu Pemerintahan Journal of Government, Social and Politics
,jkp Volume 3, Nomor 2 September 2014
sebagai contoh, salah satu penyebabnya adalah Kecamatan sebagai penyelenggara yang dibantu oleh UPTD Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Pekanbaru tidak secara insentif malakukakan sosialisasi proses pelayanan administrasi kependudukan kepada masyarakat. Kurangnya koordinasi antara camat dengan SKPD Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil merupakan salah satu penyebab masih terdapatnya ketidakpuasan masyarakat.
individu-individu yang bekerja dalam lingkungan organisasi kecamatan dengan memotivsi dan melakukan pengawasan kerja yang optimal agar tenaga, bakat, kreativitas dan usaha yang dilakukan sangat terasa walau pun pendanaan terbatas. Sebagai contoh dalam memberikan kepuasan terhadap masyarakat dalam bidang administrsi kependudukan. Kecamatan akan selalu berhubungan dengan SKPD Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Pekanbaru, untuk itu diperlukan koordinasi yang baik antara kecamatan dan SKPD yang selama ini masih kurang terjalin dengan baik karena kurangnya faktor komunikasi yang dibangun seperti pada penjelasan sebelumnya. Kecamatan harus aktif dalam menjalin koordinasi, atau dikenal dengan istilah jemput bola. KTP, KK ataupun administrasi kependudukan lain yang kini menjadi urusan SKPD Distarduk jelas membawa perubahan makin panjangnya birokrasi. Hal ini lah yang menyebabkan kelemahan yang sering dirasakan oleh masyarakat. Untuk itu sumber daya manusia yang ada dikecamatan ditutuntut lebih tanggap dan sigap. Sumbangan tenaga, pemikiran, usaha dan kreatifitas wajib ditumbuhkan untuk menutupi kelemahan pada sumber pendanaan, sehingga kepuasan masyarakat tetap terjaga walaupun pendanaan terbatas. Ini akan menunjukkan keberhasilan kecamatan dalam memberikan pelayanan dan pemberdayaan sumber daya yang ada di kecamatan. C. Sikap pelaksana. Sebagai pemimpin Camat harus memiliki watak dan karakeristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila imlpementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh
B.
Faktor Sumber Daya. Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsistensi, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakannya, implementsai tidak akan berjalan efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumberdaya finansial. Sumberdaya adalah faktor penting untuk implementasi kebijakan agar lebih efektif. Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya tinggal dikertas menjadi dokumen saja. Di Kecamatan Lima Puluh Kota Pekanbaru sumber daya yang dimiliki bersumber dari kondisi dana, fasilitas dan manusia. Dana dan fasilitas diberikan dan diperlakukan dalam pembangunan di Kecamatan Lima Puluh. Berdasarkan hasil wawancara dengan Camat Lima Puluh (25/7/2010) mengatakan “ Fasilitas dan program kecamatan dilakukan dengan kemampuan keuangan kecamatan, dan kecamatan dituntut harus pandai-pandai menggunakan anggaran karena dana yang ada di kecamatan sangat terbatas”. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan dan program kerja dikecamatan sangat tergantung pada sumberdaya pendanaan. Seharusnya Camat dapat memberdayakan kegiatan dan program kerja kecamatan dengan mengembangkan sumberdaya yang lain seperti kualitas manusia. Karena sumber daya yang terpenting adalah manusia yang merupakan 119
Jurnal Kajian Ilmu Pemerintahan Journal of Government, Social and Politics
,jkp Volume 3, Nomor 2 September 2014
pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang bebeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif. Berbagai pengalaman pembangunan dinegara-negara dunia ketiga menunjukkan bahwa tingkat komitmen dan kejujuran aparat rendah. Berbagai korupsi yang muncul di negara-negara Dunia Ketiga, seperti di Indonesia adalah contoh konkrit dari rendahnya komitmen dan kejujuran aparat dalam mengimplementasikan program-program pembangunan. Camat sebagai pemimpin di wilayah kerjanya memiliki peran ganda sebagai pemimpin organisasi kecamatan dan sebagai pemimpin masyarakat. Oleh sebab itu motivasi yang dilakukan oleh Camat memiliki dua sasaran yaitu memotivasi masyarakat dan memotivasi bawahannya. Sebagai pemimpin, camat harus memiliki kemampuan memilah dengan bijaksana antara kepentingan masyarakat dengan kepentingan individual dalam kepentingan bersama. Camat harus sering turun ke masyarakat dalam berbagai kondisi masyarakat agar dapat mendengar dan merasakan apa yang diinginkan masyarakat. Camat sebagai pelaksana pembangunan di kecamatan harus memiliki watak, sikap, pengetahuan dan perasaan yang tinggi terhadap tugas yang telah diamanahkan berupa peraturan dan kegiatan yang dibuat. Berdasarkan hasil wawancara dengan Camat Lima Puluh (25/7/2010), mengungkapkan peran camat yang berfungsi sebagai pengawas umum kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarkatan yang dilaksanakan pemerintahan kecamatan memiliki rasa tanggung jawab terhadap masyarakat. Ini menunjukkan adanya motivasi camat dalam menjalankan amanah yang diberikan. Karakter dan sikap camat melalui koordinasi langsung terhadap hak, wewenang dan kewajiban dalam kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan
kemasyarakatan, akan memberikan dampak kepada kecamatan yang dikendalikan oleh Walikota Pekanbaru melalui pendekatan struktural dan prosedural yang dilaksanakan secara bertahap dan bertingkat seiring dengan tugas dan fungsinya yang melekat dengan kecamatan. Inilah yang diakui oleh Camat Lima Puluh belum berjalan dengan baik, karena selama ini koordinasi dilakukan tidak secara struktural dan prosedural tetapi lebih bersifat sesuai keperluan. D.
Struktur Birokrasi Dalam pelaksanaan kegiatan antar organisasi dengan organisasi atau badan lainnya terjadi hubungan. Alur hubungan Walikota dalam paradigma lama adalah secara vertikal dan horizontal artinya camat sebagai bawahan Walikota, namun kondisi saat ini komunikasi yang dibangun Walikota dilakukan melalui pola hubungan secara vertikal, horizontal dan diagonal. Pola hubungan vertikal dilakukan camat kepada Walikota melalui nota dinas, koordinasi dan rapat dinas. Kecamatan merupakan sumber dan yang memproses informasi yang datang dari kelurahan dan masyarakat. Sebagai satuan kerja perangkat daerah yang juga merupakan satu entitas pemerintahan, maka kecamatan tidak lepas dari lingkungan sekitarnya, terutama unit-unit pemerintahan lainnya yang berada dikecamatan. Hubungan kerja kecamatan dengan unit kerja/instansi lainnya diantaranya Kecamatan dengan perangkat daerah Kabupaten/ Kota diperlukan koordinasi yang baik . Struktur birokrasi kecamatan dapat berkaca pada Pasal 14 Kepmendagri Nomor 158 Tahun 2004 mengatur hubungan kerja kecamatan dengan perangkat daerah kabupaten/ Kota atau perangkat Kotamadya/ Kabupeten Administrasi yang bersifat koordinasi teknis fungsional dan teknis operasional. Dalam pasal 27 ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 PP No 19 Tahun 2009 120
Jurnal Kajian Ilmu Pemerintahan Journal of Government, Social and Politics
,jkp Volume 3, Nomor 2 September 2014
Tentang Kecamatan, Camat melakukan koordinasi dengan kecamatan di sekitarnya. Selain itu, Camat juga mengoordinasikan unit kerja di wilayah kerja kecamatan dalam rangka penyelenggaraan kegiatan pemerintahan untuk meningkatkan kinerja kecamatan. Selanjutnya Camat juga melakukan koordinasi dengan dengan satuan kerja perangkat daerah dilingkungan pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di Kecamatan.
dari keempat indikator variabel yang digunakan yakni Koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah dan instansi vertikal di bidang penyelenggaraan kegiatan pemerintahan, Melakukan koordinasi dan sinkronisasi perencanaan dengan SKPD dan Instansi vertikal, Melakukan evaluasi penyelenggaraan kegiatan pemerintahan, dan Melaporkan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan kepada Walikota, berdasarkan hasil wawancara, observasi dan analisi yang peniliti lakukan didasarkan pada teori yang digunakan dinilai kurang terimplementasi. b. Dalam mengimplementasi fungsi koordinasi camat dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di Kecamatan Lima Puluh Kota Pekanbaru, dijumpai faktor-faktor yang mempengaruhi sebagai penghambat implementasi fungsi koordinasi camat.
Pada pasal 28 ayat 1 PP Nomor 19 Tahun 2008 dikemukakan bahwa hubungan kerja kecamatan dengan perangkat daerah kabupaten/kota bersifat koordinasi teknis fungsional dan teknis operasional. Sedangkan hubungan kerja kecamatan dengan swasta, lembaga swadaya masyarakat, partai politik, dan organisasi kemasyarakatan lainnya di wilayah kerja Kecamatan bersifat koordinasi dan fasilitasi. Tetapi Camat Lima Puluh (25/7/2010) mengakui masih belum optimalnya koordinasi teknis fungsional dan teknis operasional dengan perangkat daerah, koordinasi lebih bersifat pasif jika ada hal yang dianggap perlu, bukan dari perencanaan, pembagian tugas maupun evaluasi dan dampak dari kegiatan yang dilaksanakan.
2. Saran
Untuk membantu mengatasi permasalahan yang terkait dengan implementasi fungsi koordinasi camat dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di Kecamatan Lima Puluh Kota Pekanbaru agar dapat teimplementasi dengan baik, maka sebagai rekomendasi dari hasil penelitian ini disarankan beberapa hal di antaranya : a. Camat harus memaksimal fungsi koordinasi penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dengan SKPD terkait sebagai pusat pelayanan masyarakat, camat harus mampu sepenuhnya melaksanakan apa yang menjadi tugas dan fungsinya, menjadi pusat koordinasi dalam upaya mendorong pertumbuhan pendidikan, ekonomi dan budaya masyarakat. b. Dalam melakukan dorongan dan evaluasi terhadap kinerja
Kesimpulan
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan dari hasil pembahasan penelitian, serta sesuai dengan tujuan dari penelitian tentang implementasi fungsi koordinasi camat dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di Kecamatan Lima Puluh Kota Pekanbaru, maka dapat diambil beberapa kesimpulan : a. Implementasi fungsi koordinasi camat dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di Kecamatan Lima Puluh Kota Pekanbaru pada item kurang terimplementasikan, dimana 121
Jurnal Kajian Ilmu Pemerintahan Journal of Government, Social and Politics
,jkp Volume 3, Nomor 2 September 2014
pemerintahan ditingkat kelurahan, kecamatan menjadi pusat yang memberdayakan dalam pelayanan publik di level kecamatan c. Menguatkan fungsi dan kedudukan camat agar memiliki wibawa dan karisma sebagai pemimpin di Kecamatan yang akan berdampak pada kesungguhan unit-unit kerja, cabang dinas, UPTD, dan Instansi vertikal yang terdapat di wilayah kerjanya sebagai pusat koordinasi. Camat harus dapat menafsirkan kewenangan delegatif yang dimilikinya karena bertujuan untuk mempercepat pengambilan keputusan berkaitan dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat setempat, lebih mendekatkan pelayanan pemerintahan, mempersempit rentan kendali dari Walikota kapada Kelurahan, dan membentuk kaderisasi kepemimpinan pemerintahan.
Gaspersz Vicent, Manajemen Koalitas Dalam Industri Jasa, Gramedia Pustaka, Jakarta, 2002. Hoogerwerf, A. Ilmu Pemerintahan, ( Jakarta, Penerbit Erlangga, 1978 ) Maleong, Lexy J. Metodologi Penelitan Kualitatif, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2004) Nitisemito, Alex S., 1997. Manajemen Sumber Daya Manusia dan Pengantar, Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia Moehir.HAS, Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia, Penerbit LAN RI Jakarta 1996 Ndraha, Taliziduhu, Kybernologi Ilmu Pemerintahan Baru 1, (Jakarta, Rineka Cipta, 2003) , Kybernologi Sebuah Rekonstruksi Ilmu Pemerintahan, (Jakarta, Rineka Cipta, 2005) Kybernologi Methamorphosis, (Tangerang, Crednetia Center, 2008)
Daftar Kepustakaan Buku
Sebuah Sirou
Rasyid, Ryaas et al, , Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, (Jakarta, Pustaka Pelajar, 2007)
Amirin, Tatang M. 2000. Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Soehartono, Irawan, Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik, Alfabeta, Bandung, 2007
Asep, Muslim, Himpunan Pereturan Perundang-undangan Kecamatan, Desa, dan Kelurahan, (Bandung, Fokus Media, 2008)
Subarsono, Ag. Analisi Kebijakan Publik, 2008. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Atmosudirjo, Prajudi. Administrasi dan Management Umum. Ghalia Indonesia, Jakarta 1982
Suharto, Edi, Analisis Kebijakan Publik, Alfabeta, Bandung, 2008 Syafie, Inu Kencana, Manajemen Pemerintahan. PT.Perca, Jakarta, 2007
Awang, Azam, Implementasi pemberdayaan Pemerintah Desa, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010
Wahab, Solihin Abdul Wahab, Pengantar Analisis kebijakan public. UMM Press. Malang. 2008
Bungin, Burhan. Penelitian Kualitatif, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group 2007)
Wasistiono, Sadu, Manajemen Pelayanan Publik, Gramedia Pustaka, Jakarta 2005.
Dharma, Agus. Manajemen Prestasi Kerja, Jakarta, CV Rajawali, 1985. 122
Jurnal Kajian Ilmu Pemerintahan Journal of Government, Social and Politics
,jkp Volume 3, Nomor 2 September 2014
, Ismail Nurdin, M.Fahrurozi, Perkembangan ORGANISASI KECAMATAN dari masa ke masa, Bandung, FOKUSMEDIA, 2009 Peraturan Perundang-undangan: Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Kecamatan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 Tentang Kelurahan. Keputusan MENPAN No. 81 Tahun 1993, Tentang Pedoman Tata Laksana Pelayanan Umum. Keputusan MENPAN No. 25.M.PAN/2/2004 Tentang Unit Pelayanan Instansi pemerintahan. Keputusan MENPAN No.24 Tahun 2006 Tentang pedoman penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu. Keputusan Walikota Pekanbaru, No. 112 Tahun 2002 Tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan Pemerintahan Dari Walikota Kepada Camat. SK Walikota Pekanbaru No.7 Tahun 2008 Sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas-tugas kedinasan dan tugas operasional lainnya Sumber referensi Ndaraha, Taliziduhu, Mata Perkuliahan Pelayanan Civil. Pasca Sarjana UIR 2009 Wasistiono, Sadu, Mata Perkuliahan Pemerintahan Lokal, Program Pasca Sarjana Ilmun Pemerintahan, UIR, Pekanbaru 2009.
123