IMPLEMENTASI ASAS-ASAS HUKUM KEBENDAAN DALAM SISTEM HUKUM JAMINAN HAK TANGGUNGAN Ramlan, SH, M.Hum Dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Abstract The creation of law in legal guarantee is a logical consequence to take responsible for anticipating the rapidly activities in trading, industry, company, transportation and other development projects. All of these are needed credit facilities to run business. Therefore, legal aspect of guarantee is very important to the credit institutions like creditor for making capital secure. There are general principles of law could be implemented in the guarantee of law like close system, specialty, publicity, good vill, accessoir, horizontal separately, etc. Keywords: Implementation, principles of law, guarantee of law, credit, legal, right A. PENDAHULUAN Terkait dengan pembangunan ekonomi Indonesia terutama untuk mewujudkan kesejahteraan sosial berdasar demokrasi ekonomi, maka bidang hukum harus mendapat pembinaan dengan serius, khususnya dalam hukum jaminan dan terutama jaminan hak atas tanah. Alasannya bahwa tanah mempunyai nilai ekonomis yang mantap sehiugga sangat penting peranannya dalam kegiatan perekonomian, khususnya dalam kegiatan perkreditan dan penjaminan kredit. Oleh sebab itu., peraturan perundang-undangan tentang hukum jarainan hak atas tanah sangat diperlukan dalam pembangunan ekonomi. Kegiatan ekonomi dan perdagangan tentunya akan diikuti dengan peningkatan kebutuhan kredit dan untuk keamanan pelunasan kredit diperlukan adanya jaminan. Dengan demikian, hak atas tanah merupakan salah satu yang dapat dijadikan jaminan bagi pelunasan kredit, karena tanah mempunyai nilai ekonomis yang stabil. Oleh sebab itu, pembinaan hukum dalam bidang hukum jaminan khususnya jaminan hak atas tanah adalah sebagai konsekwensi logis dan merupakan perwujudan tanggung jawab dan pembinaan hukum yang mengimbangi lajunya kegiatan dalam bidang perdagangan, perindustrian dan transaksi yang lain dalam kegiatan bisnis. Guna mengantisipasi kemungkinan pennasalahan hukum sebagai akibat perkembangan di bidang ekonomi, maka dikeluarkanlah Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah (UUHT). Penjelasan Umum undang-undang ini menyatakan bahwa pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam rangka memelihara kesinambungan pembangunan tersebut, yang para pelakunya meliputi pemerintah maupun masyarakat sebagai orang perseorangan dan badan hukum, sangat memerlukan dana dalam jumlah yang besar. Peningkatan kegiatan pembangunan, mendorong peningkatan keperluan akan tersedianya dana, yang sebagian besar diperoleh melalui kegiatan perkreditan. Mengingat pentingnya dana perkreditan tersebut dalam proses pembangunan, sudah semestinya jika pemberi dan penerima kredit serta melalui suatu lembaga mendapat
perlindungan melalui suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan yang dapat pula memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan. Hak tanggungan atas tanah dapat memberikan perlindungan yang seimbang kepada kreditor, artinya dengan jaminan hak atas tanah, kreditor berkedudukan sebagai kreditor yang didahulukan daripada kreditor lain atau disebut kreditor preferent yang didahulukan pelunasan piutangnya apabila debitor wanprestasi dengan cara menjual benda jaminan dalam hal ini tanah. Sebaliknya hak tanggungan atas tanah sekaligus memberikan perlindungan kepada debitor, artinya tanah yang dibebani hak tanggungan atas tanah sebagai jaminan tidak dimungkinkan menjadi milik kreditor dalam keadaan debitor wanprestasi, kreditor hanya berhak mendapat pelunasan sejumlah piutangnya dan hasil penjualan tanah yang dibebani hak tanggungan dan apabila ada kelebihan hasil penjualan tetap sebagai hak dari debitor. Semua perjanjian jaminan menurut peraturannya tidak mengakibatkan beralihnya hak milik benda jaminan sedangkan pengertian lembaga jaminan memberikan kepastian hukum artinya kreditor dengan pasti sebagai pemegang hak jaminan juga pasti dalam bentuk atau jenis jaminan apabila berwujud tanah pasti akan letak, luas dan batas-batas yang tercantum dalam sertifikat jaminan. Tanah sangat berharga sebagai jaminan, karena menurut sejarah harga tanah tidak pernah mengalami penurunan. Oleh karena itu, bila melihat ketentuan Pasal 29 UUHT sangat penting adanya lembaga jaminan yang obyeknya tanah. Dengan berlakunya undang-undang ini, maka ketentuan hypotheek atas tanah yang diatur dalam Buku II KUH Perdata dan ketentuan Credietverband yang diatur dalam S. 1908-542 yang diubah dalam S. 1937-190 tidak berlaku lagi. Peraturan perundang-undangan lembaga jaminan khususnya jaminan hak atas tanah harus merupakan sistem hukum sehingga tidak terjadi tumpang tindih dan inkonsistensi antara peraturan yang satu dengan yang lain, dalam hal ini peraturan jaminan hak atas tanah. Peraturan perundang-undangan lembaga jaminan, khususnya jaminan hak atas tanah, tentunya harus berdasar asas filosofis (Pancasila), asas konstitusional (UUD 1945) sebagai komponen umum, serta peraturan operasional yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Dasar Pokok Pokok Agraria (UUPA) dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah (UUHT) sebagai komponen khusus. Sehubungan dengan uraian di atas, hak tanggungan yang merupakan salah satu bentuk pranata (lembaga) hukum jaminan, tentunya harus didasarkan pada asas-asas hukum jaminan yang dikenal dalam sistem hukum kebendaan. Oleh sebab itu, merupakan alasan menarik untuk dilakukan analisis terhadap pemberlakuan asas-asas hukum kebendaan dalam sistem hukum jaminan hak tanggungan tersebut. B. PEMBAHASAN 1. Pengertian Asas Hukum Asas hukum mempunyai dua kandungan makna, yaitu “asas” dan “hukum” yang saling terkait atau tidak bisa dipisahkan dalam rangka penerapan hukum, khususnya dalam penyelesaian perkara (sengketa), baik di pengadilan maupun di luar pengadilan. lstilah asas dapat diartikan sebagai dasar, fundamen, pangkal tolak, landasan, ataupun sendi-sendi (Eddy Yusuf Priyanto, 2003: 8). Dalarn Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dam Kebudayaan, 1985: 52), asas diartikan sebagai suatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat, sedangkan asas hukum menurut Yahya Harahap (1993: 37) adalah fundamentum suatu peradilan, ia merupakan acuan umum atau pedoman umum yang harus diterapkan oleh pengadilan dalam menyelesaikan perkara, sehingga putusan pengadilan adil dan para pihak
menjalankan dengan suka rela. Oleh sebab itu, asas hukum dapat dikatakan sebagai karakter yang melekat pada keseluruhan pasal, sehingga pendekatan penafsiran, penerapan dan pelaksanaannya tidak boleh menyimpang dan bertentangan dengan jiwa dan semangat yang tersurat dan tersirat dalam asas hukum itu sendiri. Asas hukum adalah prinsip yang dianggap dasar atau fundamen hukum yang terdiri dari pengertian-pengertian atau nilai-nilai yang menjadi titik tolak berpikir tentang hukum (Theo Huijbers, 1982: 79). Selain itu, asas hukum dapat disebut sebagai landasan atau alasan bagi terbentuknya suatu peraturan hukum atau merupakan suatu ratio legis dan suatu peraturan hukum (Satjipto Rahardjo. 1982: 85-86), yang memuat nilai-nilai, jiwa, cita-cita sosial atau perundangan etis yang ingin diwujudkan. Lebih lanjut Satjipto Rahardjo menyatakan asas hukum sebagai jantung atau jembatan suatu peraturan hukum yang menghubungkan antara peraturanperaturan hukum dan hukum positif dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakat. Menurut Bellefroid sebagaimana dikutip Sudikno Mertukusumo (Sudikno Mertukusumo, 1991: 32), dikatakan bahwa asas hukum umum adalah norma yang dijabarkan dari hukum positif dan oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum, yang merupakan pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat. Pengertian asas hukum umum yang dirumuskan Bellefroid berbeda dengan rumusan asas dalam ilmu hukum yang dikatakan van Eikema Hommes. Menurut van Eikema Hommes sebagaimana dikutip (Sudikno Mertokusumo, 1991: 32),bahwa asas hukum tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum konkrit, tetapi harus dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan hukum harus berorientasi pada asas-asas hukum tersebut, sehingga menjadi dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif. Dalam kedua rumusan asas hukum tersebut di atas terdapat perbedaan yang prinsipil, sebab yang dimaksud dengan asas hukum umum menurut Bellefroid adalah asas dalam hukum, sedangkan menurut van Eikema Hommes asas hukum adalah asas dalam ilmu hukum. Dengan demikian, asas hukum dapat merupakan norma hukum konkrit bersifat normatif, termasuk hukum positif yang mempunyai kekuatan mengikat, yang dirumuskan oleh pembuat undangundang maupun hakim. Asas hukum demikian ini disebut asas dalam hukum. Selain itu, asas hukum dapat pula merupakan norma hukum abstrak yang merupakan dasar, landasan, prinsip, fundamen, nilai-nilai atau cita-cita yang ingin diwujudkan melalui peraturan hukum konkrit. Asas hukum seperti ini disebut asas dalam ilmu hukum. Oleh sebab itu, fungsi dari asas hukum tersebut dapat dibedakan antara fungsinya dalam hukum dan fungsinya dalam ilmu hukum (Sudikno Mertukusumo, 1991: 34). Asas hukum dapat pula dibedakan antara asas hukum objektif dan asas hukum subjektif. Asas hukum objektif adalah prinsip-prinsip yang menjadi dasar bagi pembentukan peraturanperaturan hukum, sedangkan asas hukum subjektif adalah prinsip-prinsip yang menyatakan kedudukan subjek berhubungan dengan hukum (Theo Huijbers, 1982: 79). Pembedaan lainnya bahwa asas hukum terdiri dari asas hukum umum dan asas hukum khusus. Asas hukum umum adalah asas hukum yang berhubungan dengan seluruh bidang hukum, seperti asas lex posteriori derogat legi priori, sedangkan asas hukum khusus ialah asas hukum yang hanya berlaku dalam bidang hukum tertentu, seperti Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Pidana, Hukum Perdata ataupun Hukum Acara (S.F. Marbun, 1997: 182). 2. Pengertian Hukum Jaminan Di dalam literatur ilmu hukum, istilah zekerheidsrechten sering diterjemahkan menjadi hukum jaminan. Namun kata “recht” dalam bahasa Belanda dan bahasa Jerman mempunyai arti
yang berlainan (J. Satrio, 2002: 2). John Salmond dalam bukunya yang berjudul Jurisprudence dan Paul Vinogradoff dalam bukunya yang berjudul Common Sence in Law mengartikan kata “recht” sebagai hukum (law) atau hak (right) (J. Satrio, 2002: 2). Sedangkan L.J. van Apeldoorn (L.J. van Apeldoom, 1996: 41) dalam bukunya yang berjudul Inleiding tot de Studie van het Nederlandse Recht membedakan arti kata “recht” sebagai peraturan (kaidah) atau hubungan hukum. A. Pitlo dalam bukunya yang berjudul Het Zekenrecht naar het Nederlands Burgerlijk Wetboek memberikan perumusan tentang zekerheidsrechten sebagai hak (een recht) yang memberikan kepada kreditor kedudukan yang lebih baik daripada kreditor-kreditor lain (J. Satrio, 2002: 2). Berdasarkan pendapat Pitlo tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa kata “recht” dalam istilah zekerheidsrechten berarti “hak”, sehingga zekerheidsrechten adalah hak-hak jaminan (J. Satrio, 2002: 3). Dalam tulisan ini, hukum jaminan diartikan sebagai seperangkat aturan hukum yang mengatur mengenai jaminan. Dengan demikian, pengertian dari hukum jaminan adalah seperangkat peraturanperaturan hukum yang mengatur tentang lembaga hak jaminan perorangan dan hak jaminan kebendaan. Istilah jaminan berasal dari kata “Jamin”yang berarti tanggung, sehingga jaminan dapat diartikan sebagai tanggungan. Dalam hal ini yang dimaksud adalah tanggungan atas segala perikatan dan seseorang seperti yang ditentukan dalam Pasal 1131 KUH Perdata maupun tanggungan atas perikatan tertentu dari seseorang seperti yang diatur dalam Pasal 1139-1149 KUH Perdata (piutang yang diistimewakan), Pasal 1820-1850 KUH Perdata (penanggungan utang) dan lainnya (seperti gadai, hak tanggungan, fidusia serta hipotek). Tanggungan atas segala perikatan seseorang disebut jaminan secara umum sedangkan tanggungan atas perikatan tertentu dari seseorang disebut jaminan secara khusus (Oey Hoey Tiong, 1984: 14). Dengan demikian dapat dipahami bahwa pengertian jaminan adalah suatu tanggungan yang diberikan oleh seorang debitor atau pihak ketiga kepada kreditor untuk menjamin kewajibannya dalam suatu perkataan. Lembaga jaminan diberikan untuk kepentingan kreditor guna menjamin dananya melalui suatu perikatan khusus yang bersifat accessoir dari perjanjian pokok (J. Satrio, 2002: 3). 3. Sistem Hukum Jaminan Sistem hukum merupakan kesatuan utuh dari sistem-sistem yang terdiri dari bagianbagian atau unsur-unsur yang satu sama lain saling berhubungan dan bertimbal balik untuk mencapai suatu tujuan. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan kerjasama antara bagianbagian atau unsur-unsur (sub-sub sistem) tersebut menurut rencana dan pole tertentu. Dalam sistem hukum tidak boleh terjadi pertentangan-pertentangan atau tumpang tindih di antara bagian-bagian yang ada, dan jika pertentangan-pertentangan atau tumpang tindih tersebut terjadi, sistem itu sendiri yang menyelesaikan hingga tidak berlarut. Hukum merupakan suatu sistem yang tersusun atas sejumlah bagian yang masing-masing juga merupakan sistem yang dinamakan sub sistem, yang kesemuanya itu bersamasama sebagai satu kesatuan yang utuh (J.B. Daliyo, dkk., 1988: 35). Dari uraian mengenai sistem hukum sebagai bagian-bagian atau entitas tersebut, maka salah satu cirinya adalah bahwa sistem hukum itu di dalamnya terdapat sub sistem. Dalam sub sistem hukum terbagi lagi dalam beberapa bagian sub-sub sistem hukum. Demikian seterusnyn sub-sub sistem hukum itu terbagi lagi ke dalam subsub sistem hukum yang lebih kecil, yang secara keseluruhannya memiliki hubungan satu dengan lainnya secara utuh dan bersifat harmonis, serta tidak terdapat benturan dalam rangka mencapai tujuannya.
Dalam membahas sistem hukum jaminan, maka perlu terlebih dulu dilihat teori tentang sistem hukum menurut Fuller untuk mengukur adanya suatu sistem hukum, yaitu dengan 8 (delapan) asas hukum yang dinamakan principles of legality (Lihat dalam Satjipto Rahardjo, 2000: 51), yaitu: a. Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan, artinya bahwa tidak boleh mengandung sekedar putusan putusan ad hoc . b. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu juga harus diumumkan. c. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut. Membolehkan peraturan berlaku secara surut berarti merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan datang. d. Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti. e. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain. f. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan. g. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering merubah peraturan. h. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari. Terkait dengan pendapat Fuller tersebut, maka sistem hukum jaminan yang dimaksudkan disini adalah peraturan-peraturan yang mengatur hak jaminan. Hak jaminan diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata (jaminan umum) dan Pasal 1132 KUH Perdata (jaminan khusus). Lembaga jaminan terhadap hak atas tanah sebelum berlakunya UUHT yaitu credierverband dan hypotheek. Adanya kedua hak jaminan karena ada perjanjian jaminan yang bersifat accessoir yaitu perjanjian tambahan atas perjanjian pokok yang dalam hal ini adalah perjanjian hutangpiutang yang biasa disebut perjanjian kredit. Ditinjau dari sistemnya, sistem hukum jaminan terbagi dalam dua bagian yakni sistem hukum jaminan perorangan dan sistem hukum jaminan kebendaan. Hukum jaminan yang obyeknya benda merupakan sub sistem dari sistem hukum benda yang mengandung hak-hak kebendaan (bersifat absolut dan sistem tertutup/ clossed system, yaitu orang tidak dapat mengadakan hak-hak jaminan baru, selain yang telah ditetapkan dalam undang-undang) dan bersifat accesoir. Sedangkan hukum jaminan yang obyeknya orang perorangan atau badan hukum merupakan sub sistem dari hukum perjanjian yang mengandung hak perorangan (bersifat relatif dan sistem terbuka) yang artinya bahwa orang dapat mengadakan perjanjian mengenai apa pun juga, baik yang sudah ada aturannya di dalam KUH Perdata maupun yang tidak tercantum. Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa sistem hukum jaminan kebendaan merupakan sub sistem dari sistem hukum benda, sedangkan sistem hukum benda adalah sub sistem dari sistem hukum perdata. Demikian pula sistem hukum perdata merupakan sub sistem dari sistem hukum nasional. Sistem hukum jaminan nasional harus mengacu kepada asas idiil yaitu Pancasila, asas konstitusional yaitu UUD 1945, asas politik yaitu TAP MPR dan asas operasional yaitu undangundang. UUHT diundangkan dan mulai berlaku tanggal 9 April 1996 dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 42 Tahun 1996 dari sejarahnya merupakan pembaharuan hukum jaminan dari obyek hak atas tanah, yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan yang merupakan realisasi dari Pasal 51 UUPA. Adanya UUHT karena hukum jaminan atas tanah yaitu credietverband dan hypoteek tidak sesuai lagi dengan hak atas tanah yang diatur dalam UUPA. 4. Pemberlakuan Asas-asas Hukum Kebendaan dalam Sistem Hukum Jaminan Hak Tanggungan
Pada dasarnya perjanjian dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu perjanjian pokok dan perjanjian accesoir. Perjanjian pokok adalah perjanjian-perjanjian yang untuk adanya mempunyai dasar yang mandiri (welke zdftanding een reden van bestaan recht). Contoh perjanjian pokok ini adalah perjanjian utang piutang, perjanjian kredit dan lainnya. Sedangkan perjanjian accesoir adalah perjanjian yang bersifat tambahan dan dikaitkan dengan perjanjian pokok. Contoh perjanjian accesoir ini adalah perjanjian pembebanan jaminan, seperti perjanjian gadai, hak tanggungan, hipotek dan fidusia. Dengan demikian, sifat perjanjian jaminan adalah perjanjian accesoir, yaitu mengikuti perjanjian pokoknya. Semua perjanjian pengikatan jaminan adalah bersifat accessoir, artinya perjanjian pengikatan jwninan eksistensinya atau keberadaannya tergantung pada perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kredit atau perjanjian utang piutang. Perjanjian pengikatan jaminan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri tetapi tergantung pada perjanjian kredit sebagai perjanjian pokoknya, sehingga perjanjian kredit harus dibuat terlebih dahulu, kernudian baru diikuti dengan pembuatan perjanjian pengikatan jaminan. Kedudukan perjanjian jaminan yang dikonstruksikan sebagai perjanjian accessoir mempunyai akibat hukum, sebagai berikut: a. Eksistensinya tergantung perjanjian pokok, misalnya perjanjian kredit ataa perjanjian pinjam meminjam uang. b. Hapusnya tergantung perjanjian pokok. c. Jika perjanjian pokok cacat yuridis dan batal maka perjanjian pengikatan jaminan ikut batal juga. Sebaliknya jika perjanjian pengikatan jaminan cacat dan batal karena suatu sebab hukum, misalnya barang jaminan musnah atau dibatalkan karena pemberi jaminan tidak berhak menjaminkan maka perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok tidak batal dan debitor tetap harus melunasi hutangnya sesuai perjanjian kredit. d. Jika perjanjian pokok beralih, maka perjanjian jaminan ikut beralih. e. Jika perjanjian pokok berakhir karena prestasinya telah dilunasi atau berakhir karena sebab lain (misalnya penyimpangan dari Pasal 1266 dan 1267l KUH Perdata), maka berakhir pula perjanjian pengikatan jaminan. Dalam rangka pembangunan ekonomi, bidang hukum memiliki perhatian yang serius dalam pembinaan hukum, di antaranya ialah lembaga jaminan. Hal ini dikarenakan perkembangan ekonomi dan perdagangan akan selalu diikuti oleh perkembangan kebutuhan akan kredit dan pemberian fasilitas kredit memerlukan jaminan demi keamanan pemberian kredit tersebut. Bentuk lembaga jaminan bersifat menunjang perkembangan ekonomi dan perkreditan serta memenuhi kebutuhan masyarakat akan fasilitas modal. Oleh karena itu, menurut R. Subekti (1999: 19) bahwa lembaga jaminan yang baik (ideal) adalah: a. Yang dapat secara mudah membantu perolehan kredit oleh pihak yang memerlukannya. b. Yang tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit untuk melakukan (meneruskan) usahanya. c. Yang memberi kepastian kepada si pemberi kredit, dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, bila perlu dapat dengan mudah diuangkan untuk melunasi utang si penerima (pengambil) kredit. Dalam hal-hal tertentu, adakalanya seorang kreditor menginginkan untuk tidak berkedudukan sama dengan kreditor-kreditor lainnya. Hal ini dikarenakan kedudukan yang sama dengan kreditor-kreditor lain itu berarti mendapatkan hak yang berimbang dengan kreditorkreditor lain tersebut dari hasil penjualan harta kekayaan debitor, apabila debitor cidera janji,
sebagaimana menurut ketentuan Pasal 1132 dan Pasal 1136 KUH Perdata. Kedudukan yang berimbang itu tidak memberikan kepastian akan terjaminnya pengembalian piutangnya. Kreditor yang bersangkutan tidak akan pernah tahu akan adanya kreditor-kreditor lain yang mungkin muncul dikemudian hari. Semakin banyak kreditor dari debitor yang bersangkutan, makin kecil pula kemungkinan terjaminnya pengembalian piutang yang bersangkutan apabila karena sesuatu hal debitor menjadi berada dalam keadaan insolvensi (tidak mampu membayar utang-utangnya). Hal ini mengakibatkan terjadinya kemungkinan si debitor akan dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga dan harta kekayaannya dilikuidasi. Oleh sebab itu, tujuan pengadaan hak-hak jaminan oleh undang-undang, seperti hipotek, hak tanggungan, fidusia dan gadai adalah untuk memberikan kedudukan bagi seseorang kreditor tertentu untuk didahulukan terhadap kreditor-kreditor lain (Sutan Remy Sjahdeini, 1999: 9-10). Sedangkan fungsi jaminan adalah sarana perlindungan bagi keamanan kreditor, yaitu kepastian akan pelunasan hutang debitor atau pelaksanaan suatu prestasi oleh debitor atau oleh penjamin debitor. Secara normatif sarana perlindungan bagi kreditor tercantum dalam berbagai ketentuan perundang-undangan. Dalam hal ini, KUH Perdata telah memberikan sarana perlindungan bagi para kreditor seperti tercantum dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata. Pasal 1131 KUH Perdata menentukan bahwa segala kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Selanjutnya berdasarkan Pasal 1132 KUH Perdata ditentukan pula bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecil piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata ini merupakan jaminan secara umum atau jaminan yang timbul atau lahir dan undang-undang. Di sini undang-undang memberikan perlindungan bagi semaa kreditor dalam kedudukan yang sama atau di sini berlaku asas paritas creditorium, maksudnya bahwa pembayaran atau pelunasan hutang kepada para kreditor dilakukan secara berimbang (ponds-ponds gewijs). Dengan demikian, para kreditor hanya berkedudukan sebagai kreditor konkuren yang bersaing dalam pemenuhan piutangnya, kecuali apabila ada alasan yang memberikan kedudukan preferen (droit de preference) kepada para kreditor tersebut. Dalam Pasal 1133 KUH Perdata disebutkan bahwa kedudukan istimewa ini diberikan kepada para kreditor pemegang gadai dan hipotek. Selanjutnya dalam Pasal 1134 KUH Perdata disebutkan bahwa hak istimewa ialah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya, sematamata berdasarkan sifat piutangnya. Gadai dan hipotek adalah lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal-hal di mana oleh undang-undang ditentukan sebaliknya. Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa droit de preference hanya dimiliki oleh para kreditor yang mempunyai hak kebendaan, yaitu dengan mengikat perjanjian jaminan kebendaan terhadap benda tertentu milik debitor, pengikatan ini bersifat hak mutlak atas benda tertentu yang diikat, sehingga apabila debitor melakukan wanprestasi atau cidera janji, maka kreditor mempunyai hak terhadap benda yang diikat tersebut untuk mendapat pelunasan terlebih dahulu daripada kreditor lainnya. Sedangkan dalam jaminan perorangan karena tidak ada benda tertentu yang diikat dan yang menjadi jaminan adalah kesanggupan pihak ketiga atau janji pihak ketiga untuk melunasi hutang debitor atan untuk pengamanan kelancaran pelaksanaan prestasi debitor. Di dalam jaminan perorangan kreditor hanya berkedudukan sebagai kreditor konkuren saja sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata.
Salah satu pranata (lembaga) hukum jaminan yang dikenal adalah hak tanggungan. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UUHT Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Memperhatikan pengertian hak tanggungan sebagaimana tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa prinsip-prinsip umum dalam hukum jaminan dianut dalam hak tanggungan, yaitu sebagai jaminan bagi adanya pelunasan hutang tertentu dan memberikan kedudukan bagi kreditor agar lebih diutamakan dalam pelunasan hutang-hutang debitor (droit de preference). Hak tanggungan merupakan satu-satunya lembaga jaminan atas tanah dan dengan lahirnya UUHT maka sekaligus tercipta unifikasi hukum pertanahan nasional secara tuntas dan hal ini juga merupakan salah satu tujuan utama UUPA (Lihat Penjelasan Umum angka 5 UUPA). Cita-cita untuk menciptakan unifikasi hukum jaminan atas tanah menurut UUPA, sebenarnya merupakan cita-cita yang tidak realistis karena dasar UUPA adalah hukum adat yang bersifat pluralistis. Merupakan kenyataan bahwa hak masyarakat atas tanah menurut hukum adat masih hidup dan hukum adat tanah di seluruh wilayah nusantara masih bervariasi dan oleh sebab itu sampai sekarang hukum jaminan atas tanah belum dapat diseragamkan (misalnya masih praktek gadai terhadap tanah pada beberapa daerah di Indonesia). Sebagaimana yang telah diuraikan merupakan sub sistem hukum jaminan. Sehubungan dengan hal ini, maka dalam pranata hukum jaminan hak tanggungan, berlaku asas-asas hukum yang umumnya berlaku dalam hukum jaminan dan hukum kebendaan. Mariam Darus Badrulzaman (Lihat Kuliahade’s Blog, “Hukum Perdata: Asas-asas Umum Hak Kebendaan”, http://kuliahade.wordpress.com.) menjelaskan bahwa dalam sistem hukum benda terdapat 10 (sepuluh) asas umum yang sifatnya relatif konkrit, yaitu: a. Asas sistem tertutup, artinya bahwa hak-hak atas benda bersifat limitatif, terbatas hanya pada yang diatur undang-undang. Di luar itu dengan perjanjian tidak diperkenankan menciptakan hak-hak yang baru. b. Asas hak mengikuti benda/zaaksgevolg, droit de suite, yaitu hak kebendaan selalu mengikuti bendanya di mana dan dalam tangan siapapun benda itu berada. Asas ini berasal dari hukum romawi yang membedakan hukum harta kekayaan (vermogensrecht) dalam hak kebendaan (zaakkelijkrecht) dan hak perseorangan (persoonlijkrecht). c. Asas publisitas, yaitu dengan adanya publisitas (openbaarheid) adalah pengumuman kepada masyarakat mengenai status pemilikan. Pengumuman hak atas benda tetap/tanah terjadi melalui pendaftaran dalam buku tanah/register yang disediakan untuk itu sedangkan pengumuman benda bergerak terjadi melalui penguasaan nyata benda itu. d. Asas spesialitas, bahwa berdasarkan asas ini dalam lembaga hak kepemilikan hak atas tanah secara individual harus ditunjukkan dengan jelas ujud, batas, letak, luas tanah. Asas ini terdapat pada hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atas benda tetap. e. Asas totalitas, maksudnya bahwa hak pemilikan hanya dapat diletakkan terhadap obyeknya secara totalitas, dengan perkataan lain hak itu tidak dapat diletakkan hanya untuk bagianbagian benda. Misalnya: pemilik sebuah bangunan dengan sendirinya adalah pemilik kosen, jendela, pintu dan jendela, pintu dan jendela bangunan tersebut. Tidak mungkin bagianbagian tersebut kepunyaan orang lain. f. Asas accessie/asas perlekatan, maksudnya bahwa suatu benda biasanya terdiri atas bagianbagian yang melekat menjadi satu dengan benda pokok seperti hubungan antara bangunan
dengan genteng, kosen, pintu dan jendela. Asas ini menyelesaikan masalah status dari benda pelengkap (accessoir) yang melekat pada benda pokok (principal). Menurut asas ini pemilik benda pokok dengan sendirinya merupakan pernilik dari benda pelengkap. Dengan perkataan lain bahwa status hukum benda pelengkap mengikuti status hukum benda pokok. Benda pelengkap itu terdiri dari bagian (bestanddeed) benda tambahan (bijzaak) dan benda penolong (hulpzaak). g. Asas pemisahan horizontal, bahwa dalam KUH Perdata dianut asas pelekatan sedang UUPA menganut asas horizontal yang diambil alih dari hukum Adat. Jual beli hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi bangunan dan tanaman yang terdapat di atasnya. Jika bangunan dan tanaman akan mengikuti jual beli hak atas tanah harus dinyatakan secara tegas dalam akta jual beli. Pemerintah menganut asas vertikal untuk tanah yang sudah merniliki sertifikat untuk tanah yang belum bersertifikat menganut asas horizontal. h. Asas dapat diserahkan, bahwa hak pemilikan mengandung wewenang untuk menyerahkan benda. Untuk membahas tentang penyerahan sesuatu benda maka harus diketahui tentang macam-macam benda yang dikenal dalam Buku II KUH Perdata, terutama terhadap benda bergerak dan benda tidak bergerak. i. Asas perlindungan. Asas ini dapat dibedakan dalam dua jenis yaitu perlindungan untuk golongan ekonomi lemah dan kepada pihak yang beritikad baik (to goeder trouw) walaupun pihak yang menyerahkannya tidak wenang berhak (beschikkingsonbevoegd). Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1977 KUH Perdata. j. Asas absolute (hukum pemaksa), bahwa berdasarkan asas ini hak kebendaan itu wajib dihormati atau ditaati oleh setiap orang yang berbeda dengan hak relatif. Adapun asas-asas hukum yang umumnya berlaku dalam hukum jaminan dan hukum kebendaan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Asas sistem tertutup (gesloten system), maksudnya bahwa selain dari hak jaminan kebendaan yang diatur KUH Perdata, UUHT, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 (UU :Rumah Susun), Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 (UU Perumahan dan Permukiman) dan Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 (UU Jaminan Fidusia) tidak dapat diadakan hak jaminan kebendaan lain berdasarkan kesepakatan antara para pihak. Hak kebendaan ini bersifat absolut, karena itu bersifat limitatif b. Asas hak didahulukan (preference). Asas ini dapat dilihat dalam Penjelasan Umum angka 3 dan 4, Pasal 5 UUHT. Berdasarkan asas ini, kreditor pemegang hak tanggungan mempunyai hak yang diutamakan (droit de preference) untuk dipenuhi piutangnya. Apabila debitor cidera janji dan obyek hak tanggungan dijual, maka hasil penjualan dibayarkan pada kreditor yang bersangkutan dan apabila ada beberapa kreditor, maka utang dilunaskan pada pemegang hak tanggungan pertama. Selanjutnya jika masih ada sisanya, dibayarkan kepada kreditor lain secara pan passu (konkuren) dan jika sisanya masih ada dan utang debitor semuanya lunas, maka sisa hasil penjualan itu diserahkan kepada debitor. Berdasarkan Pasal 6 UUHT, asas ini diberlakukan dengan memperhatikan piutang negara. c. Asas hak kebendaan. Berdasarkan Pasal 7 UUHT dan Penjelasan Umum angka 3 huruf b UUHT, tidak ada disebut kata hak kebendaan, yang ada disebut adalah sifat hak kebendaan yaitu hak tanggungan tetap mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek tersebut berada (droit de suite). Dengan demikian, apabila obyek hak tanggungan sudah beralih kepemilikannya, misalnya sudah dijual kepada pihak ketiga, kreditor tetap mempunyai hak untuk melakukan eksekusi terhadap obyek hak tanggungan jika debitor cidera janji.
d. Asas spesialitas, yaitu yang berhubungan dengan mengenai obyek hak tanggungan. Asas spesialitas terwujud dalam uraian mengenai obyek hak tanggungan (Penjelasan Umum angka 3 huruf c UUHT dan Pasal 11 ayat (1) huruf e UUHT serta penjelasannya), yang dituangkan dalam sertifikat atau bagi tanah yang belum terdaftar sekurang-kurangnya memuat uraian mengenai kepemilikan, letak, batas-batas dan luas tanahnya. Syarat ini merupakan syarat esensial bagi eksistensi Akte Pemberian Hak Tanggungan (APHT). e. Asas publisitas. Maksud asas ini adalah pencatatan dari pembebanan obyek hak tanggungan, sehingga terbuka dan dapat dibaca serta diketahui umum. Setiap orang (umum) yang ingin mendapatkan informasi tentang kepemilikan tanah/pemegang hak tanggungan dapat melihat buku tanah atau buku tanah hak tanggungan. Asas ini ditentukan dalam Pasal 13 ayat (1) UUHT. f. Asas mudah dan pasti pelaksanaan eksekusi. Asas ini dapat dilihat pada Penjelasan Umum angka 3 d UUHT. Kemudahan dan kepastian pelaksanaan eksekusi terjadi dengan adanya sifat hak melakukan eksekusi dari pemegang Hak Tanggungan dengan mencantumkan irahirah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” pada sertifikat hak tanggungan. g. Asas accessoir, maksudnya bahwa hak tanggungan adalah perjanjian ikutan (accessoir) dan tidak merupakan hak yang berdiri sendiri (zelfstandigrecht). Ada dan hapusnya perjanjian ikutan (accessorium) tergantung dari perjanjian pokok. Asas ini dapat dilihat pada Pasal 10 ayat (1) dan Penjelasan Umum angka 8 UUHT. h. Asas pemisahan horizontal. Asas ini mengajarkan bahwa hak atas tanah terpisah dari bendabenda yang melekat di atasnya. UUHT menganut ajaran tersebut (Penjelasan Umum angka 6 UUHT), tetapi berlakunya tidak secara otomatis. Penerapannya terjadi jika diperjanjikan yang dituangkan dalam APHT. Penggunaan asas ini menerobos asas perlekatan. Di dalam KUH Perdata ajaran pemisahan horisontal tidak dianut, yang dikenal adalah asas perlekatan vertikal, karena dalam KUH Perdata, ditentukan bahwa semua benda yang melekat dengan tanah dianggap sebagai satu kesatuan dengan tanahnya. Oleh sebab itu, jika tanahya dijadikan jaminan, maka sekaligus berikut dengan benda-benda yang ada di atas tanahnya. i. Asas perlekatan (accessic). Berdasarkan asas ini maka benda-benda yang melekat sebagai kesatuan dengan tanah, karena hukum mengikuti hukum benda pokok. UUHT tidak menganut ajaran perlekatan vertikal tetapi berdasarkan kebutuhan, menyatakan asas ini dianut juga. Penerapan asas ini didasarkan pada perjanjian, yaitu jika para pihak sepakat, maka harus dituangkan secara tegas di dalam APHT. Ketentuannya dapat dilihat pada Pasal 4 ayat (4) dan (5) Penjelasan Umum angka 6 UUHT. j. Asas itikad baik. Sebagaimana perjanjian pada umumnya, maka dalam pelaksanaan hak tanggungan juga harus didasarkan pada asas itikad baik. Pelaksanaan hak tanggungan para pihak harus jujur. Pengertian iktikad baik di dalam hak kebendaan mempunyai arti subyektif, berbeda dengan hukum perjanjian. Itikad baik dalam hak tanggungan bersifat obyektif, yaitu sesuai dengan kepatutan yang berlaku dalam lalu lintas hukum di masyarakat. Selain sebagai bagian dari sub sistem hukum kebendaan, sebenarnya hak tanggungan juga merupakan bagian sub sistem hukum nasional. Oleh sebab itu, terhadap hak tanggungan tidak hanya berlaku asas-asas hukum seperti yang diuraikan di atas. Sebagai bagian dari sub sistem hukum nasional, tetapi ada asas-asas lainnya yang juga berlaku terhadap hak tanggungan. Adapun asas-asas yang dimaksudkan disini merupakan asas unum yang juga berlaku bagi pranata hukum lainnya, terdiri dari: a. Asas Idiil yaitu Pancasila.
Sesuai dengan Stufen Theory dari Hans Kelsen, Pancasila merupakan dasar berlakunya hukum positif di Indonesia. UUHT adalah realisasi dari Pasal 51 UUPA, oleh sebab dalam UUPA dan UUHT disebutkan bahwa bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, hal ini adalah sila pertama dari Pancasila. Disebutkan pula bahwa UUHT sebagai lembaga jaminan khususnya jaminan hak atas tanah memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan yang dapat mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan untuk mewujudkan masyarakat sejahtera, adil dan makmur berdasar Pancasila dan UUD 1945. Demikian juga dalam Pasal 1 UUPA dan dari hal menimbang huruf (a) jelas bahwa Pancasila sebagai dasar UUPA, dan UUHT. b. AsasKonstitusional yang didasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945, terdiri dari: 1) Asas persatuan dan kesatuan. UUHT merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari ketentuan Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945. Oleh sebab itu, dari asas persatuan dan kesatuan, UUHT merupakan realisasi unifikasi hukum jaminan atas tanah yang didasarkan UUPA sebagai Hukum Tanah Nasional. 2) Asas persamaan bagi Warga Negara Indonesia (WNI), berarti tidak mengenal diskriminasi. Asas ini diatur dalam Pasal 27 UUD 1945 dan Pasal 9 Ayat (2) UUPA. Sebagai bagian dari UUPA maka asas ini juga berlaku dalam hak tanggungan. 3) Asas demokrasi ekonomi yang diatur dalam Pasal 33 UUD 1945 dan Pasal 2 Ayat (1), (2) dan (3) UUPA dan ketentuan ini menjadi dasar dari peraturan UUHT yang termuat dalam Pasal 4 UUHT. Meskipun obyek hak tanggungan dalam UUPA berbeda dengan yang ditetapkan dalam UUHT tetapi tujuannya sama yaitu terwujudnya demokrasi ekonomi. 4) Asas kepastian hukum. Pasal 19 UUPA dan Pasal 13 UUHT mengatur mengenai pendaftaran hak atas tanah dan pendaftaran hak tanggungan atas tanah dan apabila telah didaftarkan maka akan dikeluarkan sertifikat sebagai tanda bukti hak atas tanah. Ketentuan ini akan memberikan kepastian hukum dan berarti hak tanggungan berdasarkan hukum bukan berdasarkan kekuasaan. Hal ini sesuai pula dengan Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945. c. Asas Politik Asas politik hukum nasional tertuang dalam berbagai Ketetapan MPR. Salah satu sasaran yang hendak dicapai dalam politik hukum nasional adalah melaksanakan pembaruan dan pembangunan hukum nasional yang sesuai dengan cita-cita hukum masyarakat. Terkait dengan hal ini bahwa UUHT yang merupakan realisasi Pasal 51 UUPA adalah didasarkan pada politik hukum pertanahan di Indonesia. Dalam UUPA telah ditetapkan tidak berlakunya ketentuanketentuan pertanahan jaman kolonial dan tidak berlakunya Buku II KUH Perdata sepanjang ketentuan mengenai tanah dan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan ruang angkasa dan UUPA adalah sebagai Hukum Agraria Nasional. C. PENUTUP Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 (UUHT) menganut asas-asas umum yaitu asas idiil dalam Pancasila, asas konstitusional dalam UUD 1945, asas politik dalam hal ini politik pertanahan yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, sedangkan asas-asas yang berlaku khusus adalah asas-asas yang juga berlaku dalam hukum kebendaan, karena hak tanggungan juga
merupakan bagian (sub sistem) dari hukum jaminan sedangkan hukum jaminan merupakan sub sistem hukum kebendaan. Asas hukum yang berlaku umum dan khusus tersusun menjadi komponen yang saling berhubungan dan merupakan sistem hukum Jaminan atas tanah yang memberi kepastian dan mengamankan piutang kreditor untuk mendapatkan pelunasan dan sebaliknya juga sekaligus melindungi debitor dari kemungkinan kreditor mendapatkan hak milik atas benda jaminan. Sebaiknya penamaan UUHT diganti menjadi Hak Tanggungan Atas Tanah. Hal ini dikarenakan istilah Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, seperti yang disebut dalam nama UUHT dapat menimbulkan penafsiran yang bertentangan dengan asas pemisahan horizontal (sebagaimana dianut UUPA). D. DAFTAR PUSTAKA 1. Buku Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan Kedua, PN. Balai Putaka, Jakarta, 1985. Eddy Yusuf Priyanto, Pendidikan Pancasila Perguruan Tinggi, Cetakan Ketiga, Tim Dosen Pancasila Universitas Hasanuddin, Makassar, 2003. J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Hak Tanggungan, Buku I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002. J.B. Daliyo, (dkk), Pengantar Hukum Indonesia, APTIK, Jakarta, 1988. L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, diterjemahkan oleh Oetarid Sadino, Pradnya Paramita, Jakarta, 1996. Oey Hoey Tiong, Fidusia sebagai Jaminan Unsur-unsur Perikatan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984. R. Subekti, Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999. S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1991. Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan (Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan), Alumni, Bandung, 1999. Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1982. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Hukum Acara Peradilan Agama, Cetakan Kedua, Garuda Metro Politan Press, Jakarta, 1993. 2. Internet Kuliahade’s Blog, “Hukum Perdata: Asas-asas Umum Hak Kebendaan”, http:// kuliahade.wordpress.com., diakses tanggal 2 Juli 2010.