PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN VALUE CLARIFICATION TECHNIQUE TERHADAP PEMAHAMAN NILAI TRADISI SEJARAH DITINJAU DARI KECERDASAN EMOSIONAL PADA SISWA KELAS X SMA NEGERI DI KABUPATEN KUDUS TAHUN PELAJARAN 2011/2012 Imaniar Purbasari Email:
[email protected] PGSD FKIP Universitas Muria Kudus Abstract The objectives of this research are to find out: (1) the differences of the influences between VCT (Value Clarification Technique) learning model and Expository toward the understanding of historical tradition values of the students in grade X of the State High Schools in Kudus Regency, (2) the differences of the influences between students who have high level of emotional intelligence and low level of emotional intelligence toward the understanding of historical tradition value of the students of grade X of the State High School in Kudus Regency, (3) the interactions between learning model and emotional intelligence toward the understanding of historical tradition value of the students of grade X of the State High School in Kudus Regency. This research employs quantitative experiment method. The populations are high school (SMA) students of X grade in Kudus Regency, academic year of 2011/2012. The sampling technique is multistage cluster random sampling, were obtained: students of SMA N 1 Bae Kudus as the experiment group, students of SMA N 2 Kudus as the control group, and students of SMA N 2 Bae Kudus as the trial group. The researcher used two kinds of methods of data collection: questionnaire and test. Questionnaire was employed to obtain the data about emotional intelligence; and test was conducted to gather the data about the understanding of historical values. In analyzing the results of the research, the researcher used two-way Analysis of Variance (ANAVA) technique. The result of the hypothesis experiment shows that: (1) There are differences of the influences of VCT (Value Clarification Technique) and Expository learning model toward the understanding of historical tradition values of students in grade X of the State High Schools in Kudus Regency with Fhit = 155,765 > Ftable (α = 0,05) = 3,11 significance level 0,05, means that Ho denied; (2) There are no differences of influences between students who have low emotional intelligence and high emotional intelligence toward the understanding of historical values of students in grade X of the State High Schools in Kudus Regency with Fhit = 0,610 > Ftable (α = 0,05) = 3,11 significance level 0,05, means that Ho accepted; (3) There are no interactions between learning models and emotional intelligence toward the understanding of historical tradition values of students in grade X of the State High Schools in Kudus Regency with Fhit = 0,81 > Ftable (α = 0,05) = 3,11 significance level 0,05, means that Ho accepted. Keywords: The Understanding of Historical Tradition Values, VCT (Value Clarification Technique) Learning Model, Emotional Intelligence
Abstrak Penelitian Pengaruh Model Pembelajaran VCT (Value Clarification Technique) terhadap Pemahaman Nilai Tradisi Sejarah Siswa Kelas X Sekolah Menengah Atas Negeri Kabupaten Kudus Tahun Pelajaran 2011/2012 Ditinjau dari Kecerdasan Emosional bertujuan untuk mengetahui: (1) Perbedaan pengaruh antara model pembelajaran VCT (Value Clarification Technique) dan Ekspositori terhadap Pemahaman Nilai Tradisi Sejarah pada siswa kelas X SMA Negeri di Kabupaten Kudus, (2) Perbedaan pengaruh antara siswa yang memiliki kecerdasan emosional rendah dan tinggi terhadap Pemahaman Nilai Tradisi Sejarah pada siswa kelas X SMA Negeri di Kabupaten Kudus, (3) Interaksi antara model pembelajaran dan kecerdasan emosional terhadap Pemahaman Nilai Tradisi Sejarah pada siswa kelas X SMA Negeri di Kabupaten Kudus. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif eksperimen. Populasi penelitian adalah siswa SMA Kelas X di Kabupaten Kudus semester 1 Tahun Pelajaran 2011/2012. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah multistage cluster random sampling, dengan rincian: siswa SMA N 1 Bae Kudus sebagai kelompok eksperimen, siswa SMA N 2 Kudus sebagai kelompok kontrol, dan siswa SMA N 2 Bae Kudus sebagai kelompok uji coba. Teknik pengumpulan data menggunakan angket untuk mengumpulkan data tentang kecerdasan emosional dan tes untuk mengumpulkan data tentang Pemahaman Nilai Tradisi Sejarah. Analisis hasil penelitian menggunakan teknik Analisis Varians (ANAVA) dua jalur (2 x 2). Hasil uji hipotesis penelitian menunjukkan: (1) Terdapat perbedaan pengaruh antara model pembelajaran VCT (Value Clarification Technique) dan Ekspositori terhadap Pemahaman Nilai Tradisi Sejarah pada siswa kelas X SMA Negeri di Kabupaten Kudus dengan Fhitung = 155,765 > F tabel (α = 0,05) = 3,11 taraf signifikansi 0,05, hal ini berarti Ho ditolak; (2) Tidak terdapat perbedaan pengaruh antara siswa yang memiliki kecerdasan emosional rendah dan tinggi terhadap Pemahaman Nilai Tradisi Sejarah siswa kelas X SMA Negeri di Kabupaten Kudus dengan Fhitung = 0,610 < F tabel (α = 0,05) = 3,11 taraf signifikansi 0,05, hal ini berarti Ho diterima; (3) Tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran dan kecerdasan emosional terhadap Pemahaman Nilai Tradisi Sejarah siswa kelas X SMA Negeri di Kabupaten Kudus dengan Fhitung = 0,82 < F tabel (α = 0,05) = 3,11 taraf signifikansi 0,05, hal ini berarti Ho diterima. Kata Kunci :
Pemahaman Nilai Tradisi Sejarah, Model Pembelajaran VCT (Value Clarification Technique), Kecerdasan Emosional
A. PENDAHULUAN Pendidikan nasional Indonesia berupaya mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003 Pasal 3). Pembangunan masyarakat Indonesia yang memiliki peradaban bangsa
bermartabat merupakan suatu tujuan yang kini belum tercapai. Pembangunan manusia Indonesia sebagai masyarakat dunia ketiga mendorong lahirnya kebijakan pembangunan dengan mengadopsi ideologi modern dan penggunaan teknologi Barat. Modernisasi membawa kecenderungan perubahan positif dan negatif masyarakat Indonesia. Perubahan positif membawa kemampuan peningkatan kompetensi masyarakat global. Perubahan negatif akibat modernisasi justru lebih disikapi berlebihan oleh masyarakat Indonesia seperti individualisme, hedonisme, konsumerisme dan kenikmatan material, penomorsatuan kualitas penguasaan teknologi, sedangkan nilai moral dan kepentingan sosial terabaikan (Tilaar, 2006: 57). Arus globalisasi merasuk dalam berbagai aspek kehidupan tanpa filter kuat menjadikan bangsa ini mulai kehilangan identitas. Fenomena global culture menghadirkan kecenderungan terjadinya keterasingan dan krisis kerpibadian generasi bangsa. Kondisi tersebut menghadirkan kekhawatiran akan hilangnya identitas bangsa bagi generasi penerus bangsa (Tilaar, 2006: 149). Pengembalian peran pendidikan dalam memahami berbagai karakteristik fenomena sosiokultural sebagai dampak globalisasi sangat diperlukan masa kini. Peran pendidikan sangat penting dalam proses penemuan dan pemahaman jati diri yang terkait dengan transmisi nilai budaya dalam memasuki globalisasi yang tak terelakkan (I Gde Widja, 2002: 20). Pendidikan merupakan suatu usaha masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa depan. Keberlangsungan itu ditandai oleh pewarisan budaya yang telah dimiliki masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu, pendidikan sebagai sarana proses pewarisan budaya bangsa bagi generasi muda dan juga proses pengembangan budaya dan jati diri bangsa untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dan bangsa di masa mendatang. Peserta didik mampu memahami nilai-nilai dalam kehidupan salah satunya karena peran pendidikan. Nilai-nilai hidup dalam masyarakat sangat beragam, sehingga pendidikan berusaha membantu untuk mengenali, memilih, dan menetapkan nilai-nilai tertentu yang dapat digunakan sebagai landasan pengambilan keputusan untuk berperilaku secara konsisten dan dijadikan kebiasaan dalam hidup bermasyarakat (Nurul Zuriah, 2008: 19). Pendidikan merupakan salah satu sarana mengalihkan esensi nilai dari pendidik kepada peserta didik. Pemahaman nilai kehidupan dapat lebih mudah ditanamkan oleh guru apabila melalui kerangka budaya yang dimiliki peserta didik dan menautkan dengan budaya di tempat penyelenggaraan pendidikan. Usaha pengalihan nilai dari pendidik kepada peserta didik akan lebih mudah diterima apabila sesuai dengan substansi budaya peserta didik dengan tujuan dijadikan pedoman (penghayatan dan pemilikan). Karakteristik peserta didik dalam pemahaman nilai sebagai subjek belajar juga harus diperhatikan karena masing-masing peserta didik memiliki latar belakang yang berbeda (C. Asri Budiningsih, 2008: 3). Pemahaman nilai-nilai sejarah merupakan tujuan pembelajaran sejarah yang harus dicapai dalam menghadapi krisis global culture, perlu sebuah penyeimbang dalam menekankan nilai-nilai budaya leluhur dengan budaya yang berkembang. Pemahaman nilai sejarah pada tingkat Sekolah Menengah Atas berada pada tahap
analisis gagasan terhadap suatu peristiwa untuk diambil nilai-nilainya. Aspek penalaran dan pertanggungjawaban atas nilai atau aturan semakin ditanamkan dan menjadi stressing kegiatan. Keyakinan terhadap suatu nilai dan sikap sosial yang telah terbentuk dalam diri anak didik perlu didalami dan terus diperkenalkan adanya nilai-nilai yang mendasarinya. Anak pada tingkat Sekolah Menengah Atas haruslah mampu memilah nilai, mengemukakan pendapatnya dan mencerminkannya melalui tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai yang mendasarinya (Nurul Zuriah, 2008: 56). Pendidikan di Indonesia sampai saat ini hanya mendorong hasil yang gemilang (lulus dengan prestasi nilai tinggi) dari peserta didik, tanpa memperhatikan proses pembentukan karakter dan kepribadian anak didik melalui pemahaman nilai-nilai lokal dan nasional (Drost, 1998: 251). Pemahaman nilai dalam pendidikan hanya sebagai wacana dan keharusan, tapi implementasinya jauh dari unsur proses pemberian pedoman dan pembentukan sikap/kepribadian peserta didik (Drost, 1998: 149). Pemahaman nilai melalui proses pembelajaran bukan hal yang mudah, melainkan cukup sulit sehingga membutuhkan model pembelajaran yang tepat. Pembelajaran sejarah selama ini terkendala oleh banyaknya materi yang harus disampaikan guru kepada peserta didik, waktu belajar sejarah yang sangat minim, dan rendahnya kemampuan guru dalam pemahaman nilai-nilai sejarah. Pembelajaran sejarah kebanyakan guru cenderung hanya menyampaikan atau menuntaskan materi sejarah yang padat kepada peserta didik tanpa memberikan pemahaman nilai-nilai sejarah kepada peserta didik akibat keterbatasan waktu dan rendahnya kompetensi guru dalam menggunakan metode serta media pembelajaran yang tepat dalam mengungkapkan nilai-nilai dari suatu peristiwa sejarah. Berkaitan dengan materi dan isi dari nilai yang harus ditanamkan oleh seorang guru, guru dituntut harus kreatif untuk menanamkan nilai luhur di tengah gerusan dunia global (Nurul Zuriah, 2008: 62). Karena salah satu sasaran pembelajaran sejarah adalah meningkatkan pemahaman dan penghargaan terhadap warisan budaya (Kochhar, 2008: 41). Rendahnya pemahaman terhadap nilai-nilai budaya masyarakat mengakibatkan semakin lunturnya nilai-nilai budaya bangsa. Materi pelajaran sejarah SMA kelas X semester 1 mengenai tradisi sejarah Indonesia di masa praaksara dan aksara berperan menggali nilai-nilai yang terkandung dalam kekayaan budaya bangsa. Peserta didik diharapkan tidak hanya mengetahui tradisi sejarah yang ada, namun dapat memahami nilai-nilai dari tradisi sejarah tersebut dan melalui pemahaman nilai tradisi sejarah tersebut peserta didik terus memupuk kesadaran untuk memiliki dan melestarikan budaya yang dimiliki. Upaya untuk meningkatkan pemahaman nilai-nilai sejarah peserta didik dapat menggunakan model pembelajaran VCT (Value Clarification Technique) maupun model pembelajaran Ekspositori. Model VCT (Value Clarification Technique) akan membantu peserta didik mengerti dan menemukan nilai-nilai sejarah lebih mendalam (Wina Sanjaya, 2008: 283). Model pembelajaran Ekspositori yang berpusat pada guru memberikan pemahaman nilai-nilai sejarah cukup baik kualitasnya karena suatu nilai sejarah dapat diserap dengan benar oleh peserta didik melalui guru, namun proses eksplorasi nilai sejarahnya kurang
begitu mendalam dari berbagai karakteristik siswa. Nilai-nilai pembelajaran sejarah yang diharapkan dengan model pembelajaran VCT (Value Clarification Technique) materi tradisi masyarakat Indonesia masa praaksara dan aksara termasuk mengenai tradisi-tradisi masyarakat Kudus, antara lain: cinta tanah air, menghargai prestasi, peduli sosial dan lingkungan, toleransi, kreatif, demokratis, rasa ingin tahu. Penerapan model pembelajaran tertentu dalam pemahaman nila-nilai sejarah juga dipengaruhi oleh faktor internal dalam diri peserta didik dan lingkungan yang melingkupi kehidupan peserta didik. Pemahaman nilai-nilai sejarah dapat ditinjau melalui tingkat kecerdasan emosional. Peserta didik yang memiliki kecerdasaan emosional tinggi diharapkan memiliki kepekaan terhadap pemahaman nilai sejarah yang terkandung dalam setiap peristiwa sejarah, dari kepekaan tersebut akan mendasari sikap atau tindakan peserta didik dalam memaknai suatu peristiwa sejarah dan nilai-nilai tradisi yang dilatarbelakangi budaya Hindu, Jawa, dan Islam. Untuk itu, keterkaitan antara model pembelajaran, pemahaman nilai-nilai sejarah, dan kecerdasan emosional menarik untuk diteliti sebagai dasar pengembangan pembelajaran sejarah dalam rangka membentuk generasi Indonesia yang sadar sejarah, mampu berpikir dan bersikap dengan berlandaskan nilai-nilai kepribadian luhur bangsa Indonesia. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini, antara lain: 1. Apakah terdapat perbedaan pengaruh antara model pembelajaran VCT (Value Clarification Technique) dan Ekspositori terhadap pemahaman nilai tradisi sejarah masa pra-aksara dan aksara pada peserta didik kelas X SMA Negeri di Kabupaten Kudus? 2. Apakah terdapat perbedaan pengaruh antara peserta didik yang memiliki kecerdasan emosional rendah dan tinggi terhadap pemahaman nilai tradisi sejarah masa pra-aksara dan aksara pada peserta didik kelas X SMA Negeri di Kabupaten Kudus? 3. Apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran dan kecerdasan emosional terhadap pemahaman nilai tradisi sejarah masa pra-aksara dan aksara pada peserta didik kelas X SMA Negeri di Kabupaten Kudus? B. KAJIAN TEORETIK 1. Pemahaman Nilai Sejarah Pemahaman adalah suatu proses, perbuatan terhadap bahan-bahan yang dipelajari, pemahaman meletakkan pada dasar suatu kegiatan belajar. Tahap-tahap pemahaman nilai bagi siswa yaitu: translasi, interpretasi, dan eksplorasi (Nana Sudjana, 1999: 24). Tanpa hal tersebut, maka suatu pengetahuan ketrampilan dan sikap yang diharapkan tidak akan bermakna serta proses belajar yang dialami oleh individu (subyek didik) tidak membawa hasil yang maksimal. Pemahaman siswa merupakan alat untuk membuktikan bahwa siswa memahami hubungan yang sederhana di antara fakta-fakta atau konsep. Pemahaman tidak hanya menghendaki seseorang mengerti, tetapi menuntut agar kita dapat menggunakan bahan-bahan yang telah dipahami dengan layak dan efektif. Pemahaman sejarah
dalam penelitian ini akan memotivasi siswa untuk mengetahui, mempelajari, mengerti serta menginterpretasi suatu obyek peristiwa sejarah melalui model pembelajaran. Nilai bagi seseorang tidaklah statis, akan tetapi selalu berubah. Setiap orang akan menganggap baik terhadap sesuatu apabila sesuai dengan pandangan orang tersebut. Oleh sebab itu, pendidikan berfungsi untuk memberikan arahan atau binaan untuk membentuk pemahaman nilai siswa (Wina Sanjaya, 2009: 276). Nilai dalam pendidikan sejarah merupakan suatu salah satu tujuan yang harus dicapai. Cara guru mengajarkan nilai dalam pembelajaran sejarah guru menggunakan pendekatan keterbukaan dan kepekaan hati guru kepada peserta didik, sehingga proses pemahaman nilai yang seutuhnya dapat mengena pada peserta didik. Pembelajaran sejarah materi tradisi masyarakat Indonesia masa prasejarah dan sejarah memerlukan pemahaman nilai sejarah mengenai nilai informatif, nilai budaya, nilai etika/moral, nilai kebangsaan, nilai individu dan sosial (Kochhar, 2008: 56-61). Siswa memiliki ciri khas dalam memaknai nilai budaya yang ada dalam lingkungannya, hal tersebut mempengaruhi pemahaman dan sikap siswa terhadap pelestarian budaya bangsa. Oleh karena itu, peran pendidikan dan penggunaan model pembelajaran yang tepat sangat mempengaruhi pemahaman nilai sejarah siswa dalam melestarikan jati diri bangsa. 2.
Model Pembelajaran Value Clarification Technique (VCT) Penanaman dan pemahaman suatu nilai melalui proses pembelajaran bukan hal yang mudah, melainkan cukup sulit sehingga membutuhkan model pembelajaran yang tepat. Model Pembelajaran VCT (Value Clarification Technique) pertama kali dikembangkan oleh Louis Raths tahun 1950 dari Universitas New York. Model pembelajaran klarifikasi nilai ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran dan mengembangkan kemampuan peserta didik dalam mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri dan nilai-nilai orang lain (Claudia Macari, 1972: 621). Proses pemahaman nilai dilakukan melalui proses analisis nilai yang sudah ada sebelumnya dalam diri peserta didik kemudian menyelaraskannya dengan nilai-nilai baru yang hendak ditanamkan kepada peserta didik (Wina Sanjaya, 2009:283). Model pembelajaran klarifikasi nilai membantu peserta didik untuk mampu mengkomunikasikan secara jujur dan terbuka tentang nilai-nilai mereka sendiri kepada orang lain dan membantu peserta didik dalam menggunakan kemampuan berpikir rasional dan emosional dalam menilai perasaan, nilai, dan tingkah laku mereka sendiri. Cara yang dapat dilakukan dengan model pembelajaran ini adalah akitivitas yang mengembangkan sensitivitas, kegiatan di luar kelas, dan diskusi kelompok (Nurul Zuriah, 2008: 75-76). Tujuan VCT (Value Clarification Technique) bukan untuk merubah nilai individu siswa melainkan bertujuan untuk membangkitkan kesadaran tentang bagaimana seseorang itu sungguh-sungguh merasakan sesuatu dan membuat keputusan sendiri (Moh Amien, Moh Noer, Wisnu Harso. 1979: 18). Strategi model pembelajaran VCT (Value Clarification Technique) memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk ikut berpikir dan dalam
proses berpikir dituntut kesadaran dalam proses klarifikasi nilai. Proses klarifikasi nilai siswa dilatih untuk kebebasan berpendapat dengan menghargai dan menghormati setiap pendapat yang mengekspresikan diri peserta didik, dan bagaimana peserta didik merespon yang terjadi. Keberhasilan model pembelajaran VCT (Value Clarification Technique) adalah siswa memiliki perhatian terhadap rasa pribadi, menyamankan peserta didik karena peserta didik mampu mengekspresikan ide dan perasaan mereka, dalam proses memecahkan masalah belum tentu nilai yang menurut peserta didik benar mungkin menurut orang lain belum tentu benar, proses klarifikasi nilai lebih hidup dan menyenangkan dengan menghargai perbedaan (Mildred W Abramowitz & Claudia Macari, 1972: 621625). Metode yang dapat digunakan dalam model pembelajaran VCT (Value Clarification Technique), antara lain: role playing, simulasi keadaan atau kenyataan nilai yang termuat dalam suatu situasi, latihan analisis mendalam, akvititas yang melatih sensitivitas, aktivitas luar kelas, diskusi kelompok kecil (Superka, Ahrens, & Hedstrom, 1976: 11). Model VCT (Value Clarification Technique) dalam penelitian ini sebagai strategi pembelajaran dalam mencapai pemahaman nilai-nilai sejarah siswa terhadap tradisi masyarakat Indonesia masa pra-aksara dan masa aksara. Siswa mempelajari asal mula tradisi masyarakat Indonesia, mengerti, dan kemudian model VCT (Value Clarification Technique) berfungsi menganalisis pemahaman nilai siswa terhadap materi tersebut. Langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran sejarah menggunakan model pembelajaran VCT (Value Clarification Technique) dapat dilaksanakan menggunakan metode: dialog atau tanya jawab, menulis, diskusi kelompok kecil, diskusi kelompok besar, observasi, dan praktik. Siswa dalam model pembelajaran VCT (Value Clarification Technique) memiliki konsep pemahaman nilai awal namun nilai yang dimiliki siswa belum tentu merupakan nilai yang relevan. Guru berperan sebagai guru role model atau pendorong sehingga harus mendorong siswa dengan pertanyaan-pertanyaan yang relevan untuk mengembangkan keterampilan siswa dalam melalukan proses menilai atau mengklarifikasi nilai. 3.
Model Pembelajaran Ekspository Model pembelajaran Ekspositori merupakan model pembelajaran yang terpusat pada guru, merupakan dasar suatu model pembelajaran klasikal (Laurie Braudy, 1985: 17). Model pembelajaran Ekspositori adalah model pembelajaran yang menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada sekelompok siswa dengan maksud agar siswa dapat menguasai materi pelajaran secara optimal (Wina Sanjaya, 2009: 79). Pengajaran yang menyampaikan pesan dalam keadaan telah siap dinamakan bersifat ekspositorik. Biasanya strategi belajar mengajar ekspositorik bersifat deduktif, karena disampaikan dari awal (T Raka Joni. 1980: 4). Kegiatan belajar menggunakan model pembelajaran Ekspositori dengan ceramah dan media tertulis. Menurut Ausubel model pembelajaran Eskspositori untuk materi tertentu sangat bermakna dan dapat sepenuhnya dimengerti oleh siswa sebab terjadi asimilasi kognitif pengalaman belajar yang dialami oleh siswa. Tujuan utama pembelajaran adalah penyampaian informasi atau pengertian, maka model pembelajaran Ekspositori
merupakan model yang efektif dan efisien (T. Raka Joni, 1980: 4). Pengambilan bagian oleh siswa dalam kegiatan belajar mengajar ini dapat dilakukan melalui pembangkitan motivasi siswa dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencoba mencari sendiri jawaban suatu masalah, bekerjasama dengan teman sekelas, membuat sesuatu. Komunikasi dua arah dalam proses belajar mengajar model ini memberikan feedback bagi guru untuk menilai keefektivitasan pembelajarannya. Pengetahuan yang diberikan dari sekolah dan keluarga yang minimal mampu menjadi bekal anak menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menjadikan anak mampu berpikir kritis menghadapi tantangan. Untuk itu kebebasan terhadap anak mengembangkan ketrampilan, sehingga perlu ada keseimbangan antara siswa dan guru (T. Raka Joni, 1980: 5-7). Model pembelajaran Ekspositori yang berpusat pada guru memberikan pemahaman nilai-nilai sejarah cukup baik kualitasnya karena suatu nilai sejarah dapat diserap dengan benar oleh peserta didik. Model pembelajaran Ekspositori merupakan proses pembentukan nilai secara tradisional dengan cara memberi nasehat atau indoktrinasi. Orang tua maupun guru yakin akan nilai-nilai baik/luhur yang dianutnya karena itu guru dan orang tua menghendaki agar anak didiknya juga memiliki nilai tersebut. Strategi yang ditempuh adalah memberi tahukan secara langsung nilai-nilai yang baik, kurang baik, atau tidak baik. Strategi ini memiliki kelemahan, karena: anak sekedar tahu dan hafal namun tingkah lakunya belum tentu sejalan dengan nilai yang perlu dia miliki, pemberi nasehat kadang hanya juru bicara nilai, bukan memberikan teladan nilai (H Una Kartawisastra, M. B Soeranto, Waspodo, Darmo Mulkyoatmodjo, Mappasoro, 1980: 4). Guru berperan secara aktif memberikan penjelasan atau informasi. Model Ekspositori secara umum digunakan guru sejarah untuk menerangkan materimateri sejarah, agar tumbuh minat serta kesadaran akan kecintaan terhadap tanah air sebagai penghargaan dari sejarah. Tugas guru sejarah untuk dapat menanamkan pemahaman nilai sejarah dari materi-materi sejarah tersebut kepada siswa. 4.
Kecerdasan Emosional Kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebihlebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa (Daniel Goleman, 2006: 45). Kecerdasan emosional dapat dijadikan landasan yang kuat dalam pendidikan secara ilmiah. Seseorang yang memiliki kecerdasan emosional yang baik, akan mempunyai kemampuan mengelola emosinya sehingga setiap kali mengikuti pelajaran tidak pernah terbebani dan tidak pernah merasa cemas meski harus menghadapi kesulitan dalam proses menerima pelajaran. Makin tinggi jenjang pendidikan, maka porsi pemberian kecerdasan emosional semakin rendah, karena semakin tinggi jenjang pendidikan lebih menekankan pada pendidikan keilmiahan (Nurul Zuriah, 2008: 37-38). Menurut Casmini (2007: 23) kecerdaan emosional dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal, sebagai faktor yang timbul dari dalam individu yang
dipengaruhi oleh keadaan otak emosional dan faktor eksternal, sebagai faktor yang datang dari luar individu dan mempengaruhi individu untuk mengubah sikap. Kecerdasan emosional memiliki peran dalam mempercepat proses pembelajaran, membentuk kepribadian, dan mendukung kesuksesan seseorang. Model pembelajaran VCT (Value Clarification Technique) membutuhkan proses analisis siswa yang disinkronkan terhadap latar belakang siswa. kecerdasan emosional memiliki peran dalam mempercepat proses pembelajaran, membentuk kepribadian, dan mendukung kesuksesan seseorang. Model pembelajaran VCT (Value Clarification Technique) membutuhkan proses analisis siswa yang disinkronkan terhadap latar belakang siswa. Penelitian ini menggunakan skala sikap model Likert, untuk mengetahui tingkat kecerdasan emosi siswa. Dimensi yang diukur berdasarkan lima dasar kecerdasan emosional yang dikembangkan oleh Daniel Goleman, yaitu 1) kesadaran diri, 2) pengaturan diri, 3) motivasi, 4) empati, dan 5) keterampilan sosial. Setiap aspek kecerdasan emosional dikembangkan menjadi beberapa indikator sebagai dasar pengembangan skala sikap. Berdasarkan rumusan masalah dan teori di atas maka, kerangka pikir penelitian ini dapat digambarkan dalam bentuk bagan sebagai berikut:
Pretest Kelas
EQ
Model Pembelajaran VCT
EQ
Model
Posttest
Pemahaman Nilai Tradisi Sejarah
Eksperimen
Kelas Kontrol
Pretest
Pembelaja-
Pemahaman Nilai Posttest Tradisi Sejarah
ran Eksposi tori Bagan. Kerangka Pikir Bertolak dari kerangka pikir di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Terdapat perbedaan pengaruh yang signifikan antara model pembelajaran VCT (Value Clarification Technique) dan Ekspositori terhadap pemahaman nilai tradisi masa pra-aksara dan aksara SMA Negeri di Kabupaten Kudus. 2. Terdapat perbedaan pengaruh yang signifikan antara siswa yang memiliki kecerdasan emosional rendah dan tinggi terhadap pemahaman nilai tradisi masa pra-aksara dan aksara SMA Negeri di Kabupaten Kudus.
3.
Terdapat interaksi yang signifikan antara model pembelajaran VCT dan kecerdasan emosional terhadap pemahaman nilai tradisi masa praaksara dan aksara SMA Negeri di Kabupaten Kudus.
C. METODE PENELITIAN Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif eksperimen. Populasi penelitian adalah siswa SMA Kelas X di Kabupaten Kudus semester 1 Tahun Pelajaran 2011/2012. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah multistage cluster random sampling. Berdasarkan teknik tersebut diperoleh 106 siswa: 34 siswa SMA N 1 Bae Kudus sebagai kelompok eksperimen, 34 siswa SMA N 2 Kudus sebagai kelompok kontrol, dan 38 siswa SMA N 2 Bae Kudus sebagai kelompok uji coba. Teknik pengumpulan data menggunakan angket untuk mengumpulkan data tentang kecerdasan emosional dan tes untuk mengumpulkan data tentang pemahaman nilai tradisi sejarah. Analisis hasil penelitian menggunakan teknik Analisis Varians (ANAVA) dua jalur (2 x 2).
D. HASIL dan PEMBAHASAN Hasil Perhitungan ANAVA 2x2 menunjukkan bahwa: Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Pemahaman Nilai Sejarah Source
Type III Sum of Squares
Df
Corrected Model 2605.670a 3 Intercept 87012.845 1 Model_Pembelajaran 2588.106 1 Kecerdasan_Emosional 10.140 1 Model_Pembelajaran * 1.360 1 Kecerdasan_Emosional Error 1063.389 64 Total 91222.000 68 Corrected Total 3669.059 67 a. R Squared = .710 (Adjusted R Squared = .697) Sumber: Data Primer
Mean Square
F
Sig.
868.557 52.274 87012.845 5.237E3 2588.106 155.765 10.140 .610 1.360
.082
16.615
Berdasarkan penghitungan Anava dua jalur tersebut di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Hasil pengujian hipotesis pertama memperoleh Fhitung = 155,765 > Ftabel (α = 0.05) = 3,11, sehingga dapat dikatakan terdapat pengaruh yang signifikan antara model pembelajaran Value Clarification Technique (VCT) dan model pembelajaran Ekspositori terhadap pemahaman nilai tradisi sejarah. Hasil analisis menunjukkan bahwa pemahaman nilai tradisi
.000 .000 .000 .438 .776
sejarah bagi siswa dengan menggunakan model pembelajaran Value Clarification Technique (VCT) memperoleh skor rata-rata sebesar 42,088, adapun untuk kelompok siswa dengan menggunakan model pembelajaran Ekspositori skor rata-rata pemahaman nilai tradisi sejarah sebesar 29,706. Hal ini berarti bahwa penggunaan model pembelajaran Value Clarification Technique (VCT) terbukti memberikan pengaruh yang lebih baik daripada penggunaan model pembelajran Ekspositori. Pembelajaran sejarah yang diharapkan merupakan pembelajaran yang melatih pemahaman nilai tradisi sejarah pada siswa. Nilai-nilai yang termuat dalam pembelajaran sejarah materi tradisi sejarah masyarakat dalam penelitian ini, antara lain: nilai kebangsaan (membentuk rasa cinta tanah air, mengenal budaya, memahami nilainya, kemudian melestarikan tradisi yang berlaku), nilai informatif (siswa mampu menghargai peninggalan, mempelajari dan mengagumi peninggalan budaya), nilai etika/moral (siswa mampu menghargai keanekaragaman budaya bangsa). Untuk mencapai pemahaman nilai-nilai sejarah tersebut, model pembelajaran yang mengeksplor nilai-nilai yang sudah dimiliki oleh siswa untuk dianalisis dan dikuatkan lebih mendalam diperlukan oleh guru salah satunya menggunakan model pembelajaran Value Clarification Technique (VCT). Hasil penelitian ini membuktikan bahwa dengan menggunakan model pembelajaran Value Clarification Technique (VCT) siswa mampu mengungkapkan pendapat dan nilai-nilai yang diyakininya, siswa belajar mengemukakan lebih dalam berbagai perbedaan nilai yang ada di diri dan di lingkungannya, kemudian siswa memahami nilai-nilai untuk diimplementasikan dalam kehidupannya. Model pembelajaran Value Clarification Technique (VCT) dalam proses pembelajaran melatih peserta didik lebih interaktif, memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengungkapkan pendapatnya dan lebih menyenangkan karena peserta didik diajak untuk menemukan nilai-nilai sendiri lewat berbagai sumber dan media pembelajaran. Bagi guru penggunaan model pembelajaran Value Clarification Technique (VCT) memudahkan dalam penyampaian pembelajaran dan bagi siswa memudahkan untuk memahami materi pembelajaran dan nilai-nilai sejarah dari materi yang diajarkan tersebut. Pada penggunaan model pembelajaran Ekspositori meskipun siswa juga aktif memperhatikan penjelasan yang dilakukan guru dan termotivasi oleh adanya pertanyaan yang diajukan oleh guru dan diskusi kelompok, akan tetapi siswa dalam menguasai materi serta penyelesaian masalah kurang adanya kesiapan serta kemandirian dalam mengerjakannya. Hal ini disebabkan guru yang cenderung mendominasi dalam pembelajaran, guru yang mempersiapkan materi secara runtut dan siswa dituntut aktif dalam pembelajaran namun latihan ketajaman analisis pemahaman nilai tradisi sejarah. 2. Hasil pengujian hipotesis kedua memperoleh Fhitung = 0,610 < F tabel (α = 0.05) = 3,11, sehingga dapat dikatakan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara kecerdasan emosional tinggi dan kecerdasan
emosional rendah terhadap pemahaman nilai tradisi sejarah. Hasil analisis menunjukkan bahwa pencapaian pemahaman nilai tradisi sejarah bagi siswa yang memiliki kecerdasan emosional tinggi memperoleh skor ratarata sebesar 36,284, adapun untuk kelompok siswa yang memiliki kecerdasan emosional rendah skor rata-rata pemahaman nilai tradisi sejarah sebesar 35,509. Hal ini berarti bahwa siswa yang memiliki kecerdasan emosional tinggi hampir sama baiknya dalam pemahaman nilai tradisi sejarah dengan siswa yang memiliki kecerdasan emosional rendah. Keberhasilan penerapan model pembelajaran tertentu dalam pemahaman nilai tradisi sejarah juga dipengaruhi oleh faktor internal dalam diri peserta didik dan lingkungan yang melingkupi kehidupan peserta didik. Seseorang yang memiliki kecerdasan emosional yang baik, akan mempunyai kemampuan mengelola emosinya sehingga setiap kali mengikuti pelajaran tidak pernah terbebani dan tidak pernah merasa cemas meski harus menghadapi kesulitan dalam proses menerima pelajaran. Casmini (2007: 23) kecerdaan emosional dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal, sebagai faktor yang timbul dari dalam individu yang dipengaruhi oleh keadaan otak emosional dan faktor eksternal, sebagai faktor yang datang dari luar individu dan mempengaruhi individu untuk mengubah sikap. Model pembelajaran VCT (Value Clarification Technique) membutuhkan proses analisis siswa yang disinkronkan terhadap latar belakang siswa sehingga membutuhkan pengelolaan kecerdasan emosional peserta didik. Masalah nilai adalah masalah emosional dan karena itu dapat berubah, berkembang, sehingga bisa dibina. Mengontrol kecerdasan emosionalnya untuk mampu memahami diri dan lingkungannya, yang berasal dari latar belakang budaya dan struktur sosial yang berbeda, memaparkan berbagai ragam masyarakat, membuat siswa memahami dan bertoleransi terhadap perbedaan-perbedaan. Sehingga dalam penelitian ini kecerdasan emosional siswa sangat mempengaruhi ketika proses diskusi kelas, tanya jawab interaktif dengan guru, dan sikap siswa menghargai berbagai perbedaan budaya dan nilai dari budaya itu sendiri yang ada di masyarakat. Sedangkan pemahaman nilai tradisi sejarah yang dituangkan dalam tes tertulis juga dipengaruhi oleh variabel lain yaitu motivasi belajar siswa, serta pengetahuan dan wawasan siswa dalam menjawab pertanyaan tes tertulis pemahaman nilai tradisi sejarah. 3. Hipotesis ketiga teruji kebenarannya, dari hasil tersebut diperoleh Fhit 0,82. Adapun Ftab diketahui sebesar 3,11. Karena Fhit lebih besar dari Ftab maka hipotesis statistik (Ho) pertama diterima, hal ini berarti tidak terdapat interaksi antara penggunaan model pembelajaran dan kecerdasan emosional terhadap pemahaman nilai tradisi sejarah. Dari hasil uji anova di atas, model pembelajaran Value Clarification Technique (VCT) disertai kecerdasan emosional tinggi memperoleh skor rata-rata pemahaman nilai tradisi sejarah sebesar 42,333 dan dibandingkan dengan model pembelajaran Ekspositori untuk kecerdasan emosional rendah memperoleh skor rata-rata pemahaman nilai tradisi sejarah sebesar 41,842, tidak
menunjukkan adanya interaksi (yang ditunjukkan dengan perbedaan nilai rata-rata hanya 0,491). Hal ini berati bahwa penggunaan model pembelajaran Value Clarification Technique (VCT) dan kecerdasan emosional disertakan dalam mendesain pembelajaran belum memberikan interaksi pengaruh terhadap pemahaman nilai tradisi sejarah siswa, karena ternyata dengan kecerdasan emosional yang tinggi meski siswa lebih siap mengikuti pelajaran dengan berbagai perbedaan dan pendapat yang akan ditemui dalam proses pembelajaran belum tentu mencapai pemahaman nilai tradisi seajarah yang lebih tinggi dibanding dengan siswa yang mempunyai kecerdasan emosional lebih rendah. Dengan demikian demikian antara model pembelajaran dengan kecerdasan emosional siswa tidak terjadi interaksi yang mempengaruhi pemahaman nilai tradisi masa pra-aksara dan aksara. Hal ini disebabkan faktor-faktor internal lain mempengaruhi keberhasilan pemahaman nilai tradisi masa pra-aksara dan aksara siswa, seperti: motivasi belajar, pengetahuan, dan kecerdasan intelektual siswa.
1.
2.
3.
Adapun keterbatasan penelitian ini, antara lain: Penerapan model pembelajaran Value Clarification Technique (VCT) membutuhkan persiapan yang matang karena sama sekali belum pernah diterapkan dalam pembelajaran sejarah di Kabupaten Kudus. Langkahlangkah penerapan model pembelajaran Value Clarification Technique (VCT) melalui choosing, prizing, and doing merupakan tahap panjang yang harus dilalui dan dicapai. Kendala yang dihadapi dalam penerapan model pembelajaran Value Clarification Technique (VCT) tersebut antara lain karakter siswa yang berbeda-beda, kemampuan analisis siswa yang kurang mendalam karena kelas X SMA merupakan masa transisi dari SMP, stimulan guru masih kurang dalam menumbuhkan kesadaran pemahaman nilai-nilai sejarah siswa, materi pembelajaran sejarah masih dianggap ringan karena dianggap sudah dikenal dan ada di lingkungan sekitar siswa, dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang panjang belum dapat dilaksanakan secara maksimal karena keterbatasan waktu, pemahaman nilai-nilai sejarah masih dipaksakan. Model pembelajaran Ekspositori masih berkendala pada pemanfaatan media atau sarana pembelajaran, sedang kendala yang lain hampir sama dengan model pembelajaran Value Clarification Technique (VCT). Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian eksperimen yang menuntut adanya pengendalian terhadap semua variabel penelitian di luar variabel yang telah ditetapkan agar tidak mengganggu perlakuan dalam eksperimen. Sementara ada kecenderungan faktor lain yang mempengaruhi penelitian. Hasil penelitian dapat saja dipengaruhi oleh variabel lain di luar variabel yang telah ditentukan dalam penelitian ini. Instrumen penelitian tes yang berjumlah 50 soal oleh siswa dianggap terlalu banyak sehingga menimbulkan kesulitan tersendiri bagi subyek penelitian.
E. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data penelitian dan pembahasan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Model pembelajaran VCT (Value Clarification Technique) dan Ekspositori dapat mempengaruhi secara signifikan terhadap pemahaman nilai tradisi sejarah siswa SMA Negeri Kabupaten Kudus. 2. Kecerdasan emosional tidak mempengaruhi pemahaman nilai tradisi sejarah siswa SMA Negeri Kabupaten Kudus. Kecerdasan emosional sangat berperan dalam proses pembelajaran model VCT (Value Clarification Technique) terutama ketika proses diskusi tentang nilai yang diyakini masing-masing siswa. Proses diskusi tersebut memerlukan pengelolaan kecerdasan emosional peserta didik untuk menerima perbedaan. Sedangkan pemahaman nilai tradisi sejarah yang dituangkan dalam tes tertulis juga dipengaruhi oleh variabel lain yaitu motivasi belajar siswa, kecerdasan intelektual, dan wawasan siswa. 3. Interaksi antara model pembelajaran dan kecerdasan emosional (emotional quotient) tidak mempengaruhi pemahaman nilai tradisi sejarah siswa SMA Negeri Kabupaten Kudus.
DAFTAR PUSTAKA Ary Ginanjar Agustian. 2007. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual: ESQ Emotional Spiritual Quotient. Jakarta: Arga. Budiyono. 2003. Metodelogi Penelitian Pendidikan. Surakarta: UNS Press. ________. 2009. Statistika untuk Penelitian. Surakarta: UNS Press. C. Asri Budiningsih. 2008. Pembelajaran Moral Berpijak Pada Karakteristik Peserta didik dan Budayanya. Jakarta: PT Rineka Cipta. Daryanto. 2007. Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Drost. 1998. Sekolah : Mengajar atau Mendidik. Yogyakarta: Kanisius. Endang Wuryaningsih. 2010. “Pengaruh Strategi Pembelajaran Problem Solving, Inquiry, Ekspository Terhadap Prestasi Belajar PKn pada Peserta didik yang Memiliki Minat Belajar Berbeda” dalam Jurnal Teknodika, Volume 8, Nomor 1, Maret 2010, hlm 76-87 Goleman, Daniel. 2006. Emotional Intelligence (Edisi Terjemahan oleh T. Hermaya). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. H Una Kartawisastra, M. B Soeranto, Waspodo, Darmo Mulkyoatmodjo, Mappasoro. 1980. Strategi Klarifikasi Nilai. Depdikbud: Proyek Pengembangan Pendidikan Guru (P3G)
Hamzah B. Uno. 2010. Perencanaan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara. I Gde Widja. 2002. Menuju Wajah Baru Pendidikan Sejarah. Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama. Kadiyono. 1980. Metode Ceramah Bervariasi. Jakarta: Proyek Pengembangan Pendidikan Guru (P3G) Kochhar, S. K. 2008. Pembelajaran Sejarah. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia Mappadjantji Amien A. 2005. Kemandirian Lokal Konsepsi Pembangunan, Organisasi, dan Pendidikan dari Pespektif Sains Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Martiyono. 2010. Pengaruh Model Pembelajaran VCT (Value Clarification Technique) Terhadap Kepribadian Peserta didik SMP Kelas VII di Kabupaten Kebumen Ditinjau dari Kecerdasan Emosional dan Spiritual. Tesis tidak dipublikasikan. Surakarta: Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. Mawardi Lubis, Zubaedi. 2008. Evaluasi Pendidikan Nilai. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nunuk Suryani. 2010. ”VCT (Value Clarification Technique) Learning Model Application to Improve Historical Value Understanding” dalam International Journal of History Education, Volume XI, Nomor 2, Desember 2010, hlm 198-217 Nurul Zuriah. 2008. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan. Jakarta: Bumi Aksara. Purwanto. 2008. Metodologi Penelitian Kuantitatif untuk Psikologi dan Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rohmat Mulyana. 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta. Sartono Kartodirdjo. 1993. Pembangunan Bangsa. Yogyakarta: Aditya Media. Soedijanto. 1993. Menuju Pendidikan Nasional Yang Relevan dan Bermutu. Jakarta: Balai Pustaka. Siti Nurkhoti’ah. 2009. Pengaruh Metode Studi Mandiri dan Kecerdasan Emosional Terhadap Kemampuan Memahami Nilai-nilai Perjuangan Bangsa Indonesia pada Peserta didik Kelas VIII SMP N Kota Klaten. Tesis Tidak Dipublikasikan. Surakarta: Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
Sudjana. 1992. Metode Statistika. Bandung: Tarsito Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Jakarta: Alfabeta. Suharsimi Arikunto. 2003. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: Rineka Cipta. Syaiful Bachri Djamarah & Aswan Zain. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Asdi Mahastya. T Raka Joni. 1980. Strategi Belajar Mengajar: Suatu Tinjauan Pengantar. Jakarta: Depdikbud Proyek Pengembangan Pendidikan Guru (P3G). ___________. 1980. Cara Belajar Siswa Aktif: Implikasinya Terhadap Sistem Pengajaran. Jakarta: Proyek Pengembangan Pendidikan Guru (P3G) Depdikbud Taufik Abdullah. 1979. “Masalah Kontemporer Ilmu Sejarah dan Historiografi”. Makalah untuk Kongres Nasional Sejarah Tahun 1996. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Kebudayaan Sejarah dan Nilai Tradisional Tilaar, H. A. R., 2006. Standarisasi Pendidikan Nasional Suatu Tinjauan Kritis. Jakarta: Rineka Cipta Tjetjep Rohendi Rohadi, dkk. 1994. Pendekatan Sistem Sosial Budaya Dalam Pendidikan. Semarang: IKIP Semarang Perss. Tulus Winarsunu. 2006. Statistik dalam Penelitian Psikologi dan Pendidikan. Malang: UMM Press. Wina Sanjaya. 2009. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana. Winkel, W.S. 1999. Psikologi Pengajaran. Jakarta: Grasindo. Zaim Elmubarok. 2008. Membumikan Pendidikan Nilai: Mengumpulkan yang Terserak, Menyambung yang Terputus, dan Menyatukan yang Tercerai. Bandung: Alfabeta