Jurnal Ilmiah Kedokteran Hewan Vol. 4, No. 1, Februari 2011
Pengaruh Pemberian Antagonis Reseptor N-Metil-D-Aspartat (NMDA) Mk-801 Terhadap Penurunan Sensasi Nyeri Inflamasi pada Mencit Putih (Mus Musculus) Strain Balb/C Imam Susilo1, Lisa Gondo2, Rahmad Aji2, Bambang SZ2, Junaidi Khotib2 1
Departemen Patologi Anatomi, Fakultas Kedokteran, Unair 2 Departemen Farmasi Klinik, Fakultas Farmasi, Unair
Kampus A. Jl. Mayjen Prof. Dr. Moestopo 48 Surabaya 60131 Telp : 031-5020251, Fax. 031-5022472 Email :
Abstract Chronic pain, such as inflammatory pain, is difficult to manage. N-Methyl-D-Aspartate (NMDA) receptor is a key molecule involved in the pain pathway and sensitization. The present study was design to investigate the efficacy of a novel potent non-competitive NMDA receptor antagonist, MK-801, in relieving inflammatory pain in mice. A model of inflammatory pain state was induced by intraplantar injection of Complete Freund's Adjuvant (CFA). NMDA receptor antagonist MK-801 was administered intrathecally once a day for 7 consecutive days at 0.01, 0.10, 1.00, 10.00, or 20.00 nmol doses a week after CFA injection. Thermal hyperalgesia was measured on days 0, 1, 3, 5, 7, 8, 10, 12, 14, and 21 after CFA injection by warm plate. Paw thickness at the ipsilateral site was also measured on days 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 10, 12, 14, and 21 after CFA injection. Histology of the spinal cord tissue was examined by light microscope following haematoxylline-eosin staining. The results showed that MK-801 given at 0.01-20.00 nmol dosage significantly increased mice's latency on thermal stimulation compared with placebo (p<0.001). Paw thickness was also significantly decreased to compare with placebo after intrathecal injection of MK-801 at 0.01, 1.00 and 10.00 nmol dosage (p<0,001; p=0,005; p=0,015 respectively). Whereas MK-801 administration at 0.01, 1.00, and 20.00 nmol could decrease the inflmammatory cells infiltration and recover the dorsal horn histology compare with placebo. Taken together, these results show that NMDA receptor antagonist, MK-801, is effective in relieving the inflammatory pain. Keywords : Chronic pain, Inflammatory pain, MK-801, NMDA receptor Pendahuluan Nyeri merupakan pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial (Le Bars et al., 2001; Roach, 2003; Lynch & Watson, 2006; D'Mello & Dickenson, 2008; O'Neil, 2008), termasuk proses inflamasi (Woolf, 2004). Rasa nyeri ini dapat menurunkan kualitas hidup penderita yang saat ini menjadi problem signifikan dimana 80% individu di dunia mengeluhkan rasa nyeri (O'Neil, 2008). Di Indonesia sendiri, 25-50% penderita usia lanjut mengalami sensasi nyeri yang berdampak negatif bagi kualitas hidup (Kartini, 2007). Nyeri juga memberikan dampak signifikan terhadap keadaan finansial. Menurut The National Institute for Occupational Safety and Health, anggaran untuk mengatasi nyeri punggung bawah mencapai US$ 50 hingga 100 triliun per tahun (O'Neil, 2008). Oleh karena itu, diperlukan manajemen terapi yang memadai untuk mengontrol nyeri (Page et al., 2002; Woolf, 2004). Persepsi nyeri inflamasi muncul melalui rangkaian jalur penghantaran nyeri baik ascending maupun descending pathway. Mediator inflamasi yang muncul setelah kerusakan jaringan seperti nerve
growth factor (NGF), bradikinin, dan prostaglandin E 2 berperan sebagai stimulus nyeri dan akan mengaktivasi terminal perifer reseptor nyeri (Brenner, 2002; Woolf, 2004). Transmisi stimulus nyeri menuju dorsal horn korda spinalis melibatkan serabut saraf Aδ dan C melalui jalur ascending (Page et al., 2002; Woolf, 2004; D'Mello & Dickenson, 2008). Penghantaran selanjutnya, melibatkan reseptor N-Metil-D-Aspartat (NMDA). Reseptor NMDA termasuk dalam golongan reseptor ionotropik dengan kanal ion yang bersifat spesifik terhadap ion logam bervalensi 2 dan beberapa molekul protein kecil. Terdapat tiga subunit reseptor NMDA yaitu NR1, NR2, dan NR3. Subtipe NR2B dan NR2D diduga berperan penting pada sensasi nyeri (Petrenko et al., 2003; Paoletti & Neyton, 2007). Aktivasi reseptor NMDA menyebabkan efluks Mg2+ dan influks Ca2+. Masuknya ion Ca2+ mengaktifkan berbagai protein pada jalur signaling intraseluler yang terlibat dalam penghantaran informasi nyeri (D'Mello & Dickenson, 2008). Remodeling akson dan upregulasi fungsi reseptor NMDA seringkali dihubungkan dengan sensitisasi sentral berupa hiperalgesia dan alodinia (Petrenko et al., 2003; Flossos, 2004).
25
Pengaruh Pemberian Antagonis ......
Beberapa kelas obat yang selama ini digunakan untuk mengatasi nyeri seperti NonSteroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAIDs), analgesik non-opioid, maupun analgesik opioid belum memadai dalam mengurangi nyeri kronik (Carr & Goudas, 1999; Roach, 2003). Studi mengenai terapi nyeri kronik non-malignan oleh Jovey et al. (2003) menyatakan bahwa opioid hanya mampu menurunkan rasa nyeri sebesar 50%. Disamping itu, manfaat klinis berbagai anti-nyeri tersebut seringkali dibatasi oleh efek sampingnya seperti pendarahan saluran cerna, hepatotoksisitas, toleransi, bahkan ketergantungan. Oleh karena itu, perlu dikembangkan alternatif strategi terapi baru yang dapat mengatasi nyeri kronik. Antagonis reseptor NMDA berpotensi digunakan sebagai alternatif strategi terapi nyeri kronik mengingat reseptor NMDA pada jaringan korda spinalis merupakan gerbang utama yang berperan pada penghantaran nyeri (Dickenson, 2002; Petrenko et al, 2003). Beberapa antagonis reseptor NMDA saat ini telah digunakan secara klinis, antara lain ketamin, memantin, amantadin, dan dekstrometorfan (Sang, 2000). Namun afinitas dan potensinya yang rendah dalam mengantagonisasi reseptor NMDA membuatnya kurang efektif guna mengatasi nyeri kronik (Paoletti & Neyton, 2007; Parsons et al., 2007). Antagonis reseptor NMDA poten yang saat ini sedang dikembangkan adalah MK-801, atau juga dikenal sebagai dizocilpine. MK-801 merupakan antagonis nonkompetitif reseptor NMDA yang memiliki afinitas tinggi terhadap reseptor NMDA dan lebih selektif dalam menghambat subtipe NR2A dan NR2B (Paoletti & Neyton, 2007). Penelitian yang dilakukan oleh Dravid et al. (2007) menunjukkan potensi MK-801 yang tinggi dalam mengantagonisasi reseptor NMDA dengan IC50 sebesar 0,009 µM terhadap NR1/NR2B dan 0,015 µM terhadap NR1/NR2A. MK-801 bekerja dengan menghambat influks Ca2+ saat aktivasi reseptor NMDA oleh glutamat (Köhr, 2007; Paoletti & Neyton, 2007). Melalui reseptor tersebut, MK-801 diduga mampu mengatasi seizure, iskemia, toleransi terhadap morfin (Vezzani et al., 1989; Kocaeli et al., 2005; Yoon et al., 2005; Torres et al., 2009). Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui pengaruh pemberian MK-801 pada penurunan nyeri inflamasi kronik akibat induksi oleh complete Freund's adjuvant (CFA). Injeksi CFA menimbulkan nyeri inflamasi ireversibel yang lebih mirip dengan patofisiologi karena inflamasi muncul melalui reaksi
26
imun dalam tubuh terhadap komponen lipopolisakarida dinding sel bakteri dalam CFA (Anonim2, 2008). Pengaruh pemberian MK-801 terhadap penurunan sensasi nyeri inflamasi diamati dengan mengukur ketahanan hewan coba terhadap stimulus panas (warm plate), tebal plantar hewan coba, dan pengamatan terhadap histologi jaringan spinal cord menggunakan metode histokimia dengan pewarnaan hematoxyllin-eosin. Materi dan Metode Penelitian Bahan Penelitian Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah antagonis reseptor NMDA MK801 (Sigma), Complete Freund's Adjuvant p.a (Sigma), Paraformaldehid 37%b/v (Bratachem), K2HPO4.3H2O (Bratachem), KH2PO4 (Bratachem), eter (E. Merck), normal Saline Steril (Otsuka) dan alkohol 70% (Bratachem). Alat Penelitian Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Hot/Cold plate 35100 (Ugo Basile), cryostat, mikroskop cahaya beserta kamera (Olympus), neraca analitik (Sartorius), jangka sorong, micro syringe (Hamilton), jarum suntik 30 G (BD PrecisionGlide™ Needle), jarum Suntik 24 G (Terumo) dan alat gelas. Subyek Penelitian Pada penelitian ini digunakan subyek mencit putih (Mus musculus) strain Balb/c (Laboratorium Hewan, Fakultas Farmasi Universitas Airlangga), jantan, usia 2-3 bulan, dengan berat badan 20-25 gram, sehat, tidak ada kelainan yang tampak pada bagian tubuh. Pembagian Kelompok Penelitian Penelitian eksperimental ini dilakukan pada 49 ekor mencit jantan strain Balb/C yang telah memenuhi persyaratan sebagai subyek penelitian. Mencit kemudian dikelompokkan secara random dalam 7 kelompok (1 kelompok kontrol negatif (sham), 1 kelompok kontrol positif dan 5 kelompok perlakuan), masing-masing terdiri dari 7 ekor mencit. Mencit ditempatkan dalam kandang dengan temperatur ruangan 27±1oC. Selama penelitian kebutuhan makanan dan minuman dijaga dalam jumlah yang cukup. Mencit diadaptasikan dengan lingkungan selama satu minggu sebelum penelitian dilaksanakan.
Jurnal Ilmiah Kedokteran Hewan Vol. 4, No. 1, Februari 2011
Pembuatan Model Inflamasi Mencit pada kelompok inflamasi, diinduksi nyeri inflamasi dengan injeksi intraplantar CFA. Mencit dianestesi dengan pemberian eter dan ditempatkan pada papan bedah dengan posisi terlentang, injeksi dilakukan pada intraplantar tungkai kaki sebelah kanan dengan mengunakan CFA 40 L. Keadaan inflamasi didapatkan pada hari pertama dan akan mencapai puncaknya pada hari ketujuh. Pada kelompok sham diberikan injeksi normal saline sebagai pengganti CFA. Pembuatan Larutan MK-801 MK-801 dilarutkan dalam 25% DMSO/Water For Injection (25%DMSO/WFI) sehingga didapatkan konsentrasi 30,00 nmol/4µl. Larutan MK-801 dengan konsentrasi 0,01; 0,10; 1,00; 10,00 dan 20,00 nmol/4µl dibuat dengan cara mengencerkan larutan induk konsentrasi 30,0 nmol/4µl melalui pengenceran bertingkat. Pemberian larutan MK-801 Larutan MK-801 diinjeksikan secara intratekal mengikuti prosedur Hylden dan Wilcox (1980). Jarum disisipkan pada ruang antar tulang belakang diantara lumbal 5 dan lumbal 6 dari korda spinalis, bila jarum sudah masuk ke column spinalis dengan cepat ekor mencit akan menunjukan gerakan flick. MK-801 diinjeksikan pada hari ke-7, 8, 9, 10, 11, 12 dan 13 sesudah dilakukan induksi CFA. Injeksi MK-801 dilakukan sekali sehari dengan volume 4 μL menggunakan microsyringe. Kelompok sham dan kontrol positif hanya diberikan 25% DMSO/WFI sebanyak 4μl dengan frekuensi pemberian mengikuti kelompok perlakuan. Evaluasi Tebal Plantar Evaluasi tebal plantar dilakukan dengan menggunakan jangka sorong. Pengukuran tebal plantar dilakukan pada hari ke-1 sampai 21 setelah injeksi intraplantar CFA dan injeksi intraplantar normal saline. Nilai baseline ditentukan sebelum injeksi (hari ke-0). Evaluasi Hiperalgesia Evaluasi respon nyeri yang dilihat berdasarkan pengamatan visual terhadap perilakuperilaku yaitu mendekatkan kedua tungkai ke depan, menjilat tungkai ke depan, gerakan meliuk, berusaha melompat keluar area warm plate dan menghentakkan tungkai belakang. Pada pengujian
waktu ketahanan terhadap stimulasi panas, mencit ditempatkan pada warm plate yang diatur pada suhu 48±0,5 o C kemudian penghitung waktu segera diaktifkan. Pengujian waktu ketahanan terhadap stimulus panas dilakukan pada hari ke-0, 1, 3, 5, 7, 8, 10, 12, 14 dan 21 pada semua kelompok. Nilai baseline ditentukan terlebih dahulu sebelum injeksi dilakukan pada hari ke-0. Histokimia Jaringan Spinal Cord Mencit dimatikan dengan menggunakan eter, kemudian hewan coba dibedah untuk diambil spinal cord yang terdapat di dalam tulang belakang. Jaringan spinal cord yang telah diambil kemudian difiksasi dalam phosphate buffered formalin (PBF) 4% dengan pH 7,4. Setelah itu jaringan spinal cord dicuci dengan xylene, direndam dalam parafin dan dipotong melintang pada bagian lumbar dengan mikrotom setebal 4-5 µm. Pewarnaan hematoxyllineosin pada jaringan spinal cord diawali dengan deparafinasi dengan cara mengalirkan aquadest pada potongan jaringan. Potongan jaringan dialiri air kemudian ditempatkan dalam hematoxyllin selama 5 menit, setelah itu dibilas dengan air mengalir. Potongan tersebut kemudian direndam dalam litium karbonat dan dibilas dengan air mengalir. Setelah itu potongan diletakkan di dalam asam alkohol 1% untuk beberapa detik sebelum dibilas kembali dengan air mengalir dan direndam dalam eosin selama 5 menit. Hasil yang tampak adalah inti sel saraf dan ribosom pada spinal cord berwarna biru kehitaman, sedangkan komponen protein berwarna merah muda (Copenhaver et al.,1978). Analisis Hasil Rerata waktu ketahanan mencit terhadap stimulus panas dan tebal plantar tiap kelompok dibandingkan dengan kelompok sham dan inflamasi pada hari ke-0 sampai 21. Data dianalisis dengan uji statistik two way ANOVA. Jika ada perbedaan yang bermakna (p<0,05), analisis statistik dilanjutkan dengan Least Significant Different (LSD). Hasil pewarnaan jaringan diamati di bawah mikroskop cahaya, dengan membandingkan kelompok inflamasi yang mendapat MK-801 pada berbagai dosis dengan kelompok sham dan kelompok inflamasi untuk mengetahui adanya sel-sel inflamatori pada jaringan dan perubahan histologi pada dorsal horn. Analisis dilakukan secara kualitatif terhadap hasil pengamatan mikroskop.
27
Pengaruh Pemberian Antagonis ......
Hasil dan Pembahasan Model Inflamasi Model inflamasi pada penelitian ini diperoleh dengan menginduksi hewan coba (mencit) menggunakan CFA melalui rute injeksi intraplantar. Sebelum dilakukan injeksi intraplantar CFA, terlebih dahulu dilakukan pengukuran baseline waktu ketahanan mencit terhadap stimulus panas dengan menggunakan warm plate dan tebal plantar mencit, yang dicatat sebagai hari ke-0. Kemudian dilakukan pembagian hewan coba dalam dua kelompok yaitu kelompok sham (n=10) yang mendapat injeksi normal saline dan kelompok CFA (n=46) yang mendapatkan injeksi intraplantar CFA pada kaki kanan (ipsilateral). Keberhasilan model inflamasi ditandai dengan adanya penurunan waktu ketahanan hewan coba (mencit) terhadap stimulus panas seperti yang terlihat pada tabel 1 dan peningkatan tebal plantar hewan coba (mencit) yang tampak pada tabel 2.
Pengaruh Pemberian MK-801 pada Mencit yang Mengalami Nyeri Inflamasi Injeksi larutan MK-801 diberikan melalui rute intratekal pada hari ke-7 setelah injeksi CFA, dimana pada hari ke-7 hewan coba telah mengalami inflamasi. MK-801 diberikan pada 5 dosis yang berbeda pada 5 kelompok hewan coba yaitu 0,01; 0,10; 1,0; 10,00; dan 20,00 nmol. Injeksi intratekal MK-801 dilakukan sehari sekali selama 7 hari, dimulai pada hari ke-7 hingga hari ke-13. Untuk mengetahui pengaruh pemberian antagonis nonkompetititf reseptor NMDA dalam menurunkan nyeri inflamasi mencit, maka dilakukan pengukuran terhadap parameter waktu ketahanan mencit terhadap stimulus panas dengan uji menggunakan warm plate (Tabel 1) dan parameter tebal plantar mencit (Tabel 2). Pengukuran kedua parameter ini dilakukan pada hari ke-8, 10, 12, dan 14 yang mulai dilakukan pada jam yang sama.
Tabel 1. Pengaruh Pemberian MK-801 pada Waktu Ketahanan Mencit Terhadap Stimulus Panas
Kelompok
Sham (n=10)
Waktu Ketahanan Mencit terhadap Stimulus Panas pada hari ke- (detik±S.E.M)
Treatment 8
10
12
14
Plasebo (25% DMSO/WFI)
11,72±0,6 3
11,40±0,4 9
10,62±0,4 9
11,35±0,6 0
Plasebo (25% DMSO/WFI)
4,27±0,88
4,59±0,66
5,67±0,85
6,66±0,74
MK-801 0,01 nmol
8,87±1,54
10,79±1,3 4
14,26±1,2 7
14,04±0,7 8
MK-801 0,01 nmol
8,04±1,32
9,73±0,90
12,55±1,3 4
12,56±1,4 9
MK-801 0,01 nmol
9,04±0,79
10,89±0,9 0
12,30±1,0 4
14,51±1,4 3
MK-801 10,00 nmol
6,34±0,74
9,04±1,04
10,20±1,1 7
10,57±1,1 3
MK-801 10,00 nmol
8,76±1,40
8,51±1,20
9,58±1,12
11,50±0,9 5
CFA (n=46)
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa pemberian MK-801 dengan dosis 0,01; 0,10; 1,00; 10,00; dan 20,00 nmol dapat menurunkan nyeri inflamasi pada mencit yang sebelumnya telah mengalami hiperalgesia setelah injeksi intraplantar CFA. Hal ini tampak dari peningkatan waktu ketahanan mencit pada kelompok perlakuan terhadap stimulus panas
28
dari hari ke-8 hingga hari ke-14 setelah diberikan injeksi intratekal MK-801. Analisis statistik dengan metode two way ANOVA menunjukkan adanya perbedaan bermakna antara kelompok hewan coba yang mendapatkan injeksi intratekal MK-801 dengan dosis 0,01 nmol (F(1,12) = 80,920; p<0,001); 0,10 nmol (F(1,12) = 51,889; p<0,001); 1,00 nmol(F(1,13) = 92,340;
Jurnal Ilmiah Kedokteran Hewan Vol. 4, No. 1, Februari 2011
p<0,001); 10,00 nmol(F(1,12) = 33,202; p<0,001); dan 20,00 nmol (F(1,12) = 37,049; p<0,001)
masing-masing terhadap kelompok yang mengalami inflamasi.
Tabel 2. Pengaruh Pemberian MK-801 pada Tebal Plantar Mencit
Kelompok
Sham (n=10)
Waktu Ketahanan Mencit terhadap Stimulus Panas pada hari ke- (cm±S.E.M)
Treatment 8
10
12
14
Plasebo (25% DMSO/WFI)
0,2016±0,0014
0,2158±0,0057
0,2114±0,0041
0,2142±0,0044
Plasebo (25% DMSO/WFI)
0,4094±0,0172
0,3757±0,0176
0,3574±0,0100
0,3194±0,0120
MK-801 0,01 nmol
0,3517±0,0165
0,3274±0,0196
0,2989±0,0104
0,2794±0,0079
MK-801 0,01 nmol
0,3900±0,0243
0,3500±0,0254
0,3469±0,0292
0,3146±0,0230
MK-801 0,01 nmol
0,3869±0,0083
0,3571±0,0052
0,3234±0,0092
0,2980±0,0062
MK-801 10,00 nmol
0,3936±0,0185
0,3437±0,0140
0,3171±0,0208
0,2927±0,0148
MK-801 10,00 nmol
0,3843±0,0114
0,3700±0,0142
0,3250±0,0093
0,3063±0,0127
CFA (n=46)
Sedangkan Tabel 2 terlihat bahwa dari hari ke-8 hingga hari ke-14, terjadi penurunan tebal plantar pada hewan coba yang mendapatkan injeksi intratekal MK-801. Hal ini menunjukkan adanya perbaikan pada kondisi nyeri inflamasi pada hewan coba. Hasil analisis statistik dengan two way ANOVA menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara kelompok hewan coba yang mendapatkan injeksi intratekal MK-801 dengan dosis 0,01 nmol (F(1,12) = 24,986; p<0,001); 1,00 nmol (F(1,12) = 8,742; p=0,005); dan 10,00 nmol (F(1,13) = 6,396; p=0,015), masing-masing, terhadap kelompok yang mengalami inflamasi. Namun pemberian injeksi intratekal MK801 dosis 0,10 nmol (F(1,12) = 1,058; p=0.309) dan 20,00 nmol (F ( 1 , 1 2 ) = 3,970; p=0,052) tidak menyebabkan penurunan tebal plantar yang bermakna jika dibandingkan dengan kelompok yang mengalami inflamasi. Uji statistik dengan metode one way ANOVA dilakukan terhadap parameter waktu ketahanan mencit terhadap stimulus panas dan tebal plantar mencit antar kelompok pada masing-masing hari ke8, ke-10, ke-12, dan ke-14. Uji ini dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan bermakna
antar kelompok pada parameter-parameter tersebut. Hasil analisis pada parameter waktu ketahanan terhadap stimulus panas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna antar kelompok hewan coba yang telah mengalami inflamasi pada hari ke-8 (F (5,37) =2,73; p=0,034), hari ke-10 (F (5,36) =5,11; p=0,001), hari ke-12 (F(5,35)=7,04; p<0,001), dan hari ke-14 (F(5,34)=6,61; p<0,001). Namun hasil analisis one way ANOVA terhadap parameter tebal plantar mencit menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna antar kelompok pada hari ke-8 (F(5,37)=1,255; p=0,304), hari ke-10 (F(5,36)=1,033; p=0,413), hari ke-12 (F(5,35)=1,580; p=0,191), maupun hari ke-14 (F(5,34)=1,169; p=0,344). Oleh karena itu hanya analisis statistik pada parameter waktu ketahanan mencit terhadap stimulus panas yang dilanjutkan dengan metode uji LSD untuk mengetahui kelompok hewan coba yang memberikan perbedaan bermakna. Pengaruh Pemberian MK-801 terhadap Histologi Jaringan Spinal Cord Pengaruh penginjeksian larutan MK-801 yang diberikan melalui rute intratekal pada hari ke-7
29
Pengaruh Pemberian Antagonis ......
setelah injeksi CFA diamati pula melalui histologi jaringan spinal cord. Pengamatan secara mikroskopis jaringan spinal cord dilakukan setelah jaringan diwarnai dengan hematoxyllin-eosin. Untuk mengetahui pengaruh pemberian MK-801 dalam menurunkan nyeri inflamasi, dilakukan pengamatan terhadap adanya sel-sel inflamatoris di white matter spinal cord dan perubahan histologi pada dorsal horn spinal cord. Hasil pengamatan jaringan spinal cord seperti pada gambar 1 dan 2. Pada gambar 1 terlihat bahwa pada white matter spinal cord hewan coba yang mengalami inflamasi (B) terdapat peningkatan infiltrasi sel-sel inflamatori dibandingkan kelompok sham (A). Pada kelompok hewan coba yang mendapat injeksi MK801 dosis 0,01; 1,00; dan 20,00 nmol terdapat penurunan infiltrasi sel-sel inflamatori jika dibandingkan dengan kelompok yang mengalami inflamasi (C, D, dan E). Adanya penurunan infiltrasi sel-sel inflamatoris menunjukkan adanya perbaikan dari kondisi inflamasi pada hewan coba dengan pemberian MK-801. Perubahan pada area dorsal horn dari spinal cord juga diamati mengingat area ini sebagai
A
B
C
D
pusat penghantaran nyeri. Pada dorsal horn spinal cord pada hewan coba yang mendapat injeksi MK801 dosis 0,01 nmol (C), nukleolus tampak tidak berbeda jelas dengan nukleus. Infiltrasi sel-sel inflamatoris terlihat lebih sedikit daripada kelompok inflamasi (B) di area dorsal horn spinal cord dan jaringan interstitial tampak lebih rapat jika dibandingkan dengan kondisi inflamasi, selain itu pembuluh darah yang tampak lebih sedikit jika dibandingkan dengan kelompok inflamasi (B). Pada hewan coba yang mendapat injeksi MK-801 dengan dosis 1,00 nmol (D) tampak bahwa infiltrasi sel-sel inflamatoris pada daerah dorsal horn spinal cord semakin berkurang jika dibandingkan dengan kelompok inflamasi. Tampak nukleolus yang semakin tidak prominent dan jaringan interstitial yang tampak lebih rapat jika dibandingkan dengan kelompok inflamasi (B). Pembuluh darah tampak sangat sedikit pada kelompok yang mendapat injeksi MK-801 1,00 nmol. Sedangkan pada pemberian MK801 dengan dosis 20,00 nmol (E), tampak infiltrasi sel-sel inflamatori lebih sedikit pada daerah dorsal horn spinal cord jika dibandingkan dengan kelompok inflamasi. Nukleolus tampak tidak prominent jika
A
B
C
D
E E
Keterangan: Keterangan: : :
Sel Inflamatoris Nukleus
Gambar 1. White Matter Jaringan Spinal Cord Mencit pada Kelompok Sham (A), Kelompok Inflamasi (B), Kelompok C FA + M K - 8 0 1 0 , 0 1 n m o l ( C ) , Kelompok CFA+MK-801 1,0 nmol (D), dan Kelompok CFA+MK-801 20,0 nmol (E) dengan Perbesaran 400x
30
: : :
Sel Inflamatoris Nukleus Pembuluh Darah
Gambar 1. Dorsal Horn Jaringan Spinal Cord Mencit pada Kelompok Sham (A), Kelompok Inflamasi (B), Kelompok C FA + M K - 8 0 1 0 , 0 1 n m o l ( C ) , Kelompok CFA+MK-801 1,0 nmol (D), dan Kelompok CFA+MK-801 20,0 nmol (E) dengan Perbesaran 400x
Jurnal Ilmiah Kedokteran Hewan Vol. 4, No. 1, Februari 2011
dibandingkan dengan kelompok inflamasi, namun kondisi nukleolus tidak berbeda jauh jika dibandingkan dengan kelompok yang mendapat MK801 0,01 atau 1,00 nmol. Jaringan interstitial tampak lebih rapat serta pembuluh darah yang tampak lebih sedikit daripada kelompok inflamasi. Terjadinya penurunan infiltrasi sel-sel inflamatoris pada white matter spinal cord dan perbaikan histologi dorsal horn spinal cord mendekati histologi pada kelompok sham menunjukkan adanya penurunan kondisi nyeri inflamasi pada kelompok hewan coba yang mendapatkan injeksi MK-801. Reseptor NMDA telah diketahui memiliki peranan penting dalam penghantaran rasa nyeri dan sensitisasi nyeri (Petrenko et al., 2003). Secara klinis, antagonis reseptor NMDA seperti ketamin, memantin, amantadin, dan dekstrometorfan telah digunakan untuk mengatasi kondisi nyeri kronik (Sang, 2000; Shu et al., 2008). Namun manfaat terapi tersebut terbatasi oleh afinitas dan potensi yang rendah sehingga kurang efektif dalam pengatasan nyeri kronik, sehingga dibutuhkan antagonis reseptor NMDA yang lebih poten dan selektif (Paoletti & Neyton, 2007; Parsons et al., 2007). Salah satu antagonis reseptor NMDA yang sedang dikembangkan adalah MK-801. Studi secara in vitro melalui receptor binding assay telah menunjukkan bahwa MK-801 merupakan antagonis nonkompetitif reseptor NMDA yang sangat poten (Dravid et al., 2007). Oleh karena itu pada penelitian in vivo ini dilakukan pengamatan terhadap pengaruh pemberian MK-801 pada kondisi nyeri kronik, yaitu nyeri inflamasi. Parameter yang diamati meliputi waktu ketahanan terhadap stimulus panas, tebal plantar, dan histologi jaringan spinal cord. Hewan coba yang dipilih pada penelitian ini adalah mencit karena merupakan subyek penelitian yang memiliki kemiripan sistem fisiologis terkait penghantaran nyeri antara manusia dan mencit, serta karakter perkembangbiakkannya yang cepat. Pada penelitian ini digunakan CFA karena mampu menyebabkan inflamasi pada hewan coba dengan jangka waktu yang cukup panjang yaitu 21 hari dengan model inflamasi yang menyerupai kondisi in vivo sehingga lebih alami. Kondisi inflamasi muncul 24 jam setelah pemberian CFA yang ditandai dengan peningkatan tebal plantar secara bermakna (p<0,001) dan penurunan yang bermakna pada parameter waktu ketahanan hewan coba terhadap stimulus panas (p<0,001) jika dibandingkan dengan kelompok sham yaitu kelompok yang diberikan injeksi normal saline (NS).
Penurunan waktu ketahanan hewan coba terhadap stimulus panas menunjukkan tejadinya hiperalgesia yang merupakan tanda berkembangnya nyeri kronik. Sedangkan peningkatan tebal plantar menunjukkan munculnya inflamasi pada hewan coba. Penurunan waktu ketahanan hewan coba terhadap stimulus panas dan peningkatan tebal plantar mencit mencapai maksimum pada hari ke-7 setelah penginjeksian CFA. Lipopolisakarida dari Mycobacterium tuberculosis yang telah mati dalam CFA bertanggungjawab atas terjadinya inflamasi pada hewan coba melalui aktivasi monosit (Calder, 2006). CFA menginduksi inflamasi secara lebih alami melalui rangkaian pengaktifan sistem imun, terutama interleukin-1β, yang kemudian menyebabkan upregulasi NGF sehingga terjadi hipersensitivitas terhadap nyeri (Garabedian et al., 1995). Hiperalgesia yang terjadi setelah injeksi CFA juga dikarenakan adanya peningkatan reaktivitas reseptor NMDA dimana terjadi pergeseran hiperpolarisasi pada potensial aktivasi reseptor NMDA (Guo & Huang, 2001). Hal ini juga didukung dengan studi oleh Yang et al. (2009) menunjukkan bahwa injeksi CFA menyebabkan peningkatan reaktivitas subunit NR1 reseptor NMDA dan peningkatan densitas subtipe NR2B reseptor NMDA. Stimulasi nyeri yang bersifat persisten oleh CFA akan menyebabkan adaptasi atau homeostasis intraseluler sel saraf. Sel saraf pada otak dan spinal cord akan mengalami plastisitas melalui upregulasi jenis dan jumlah reseptor dan bertanggungjawab pada penghantaran nyeri (Suroto, 2006; Khotib & Zulkarnain, 2007). Di samping itu juga terjadi remodelling sel saraf dengan pertumbuhan dendrit (sprouting) dan percabangan pada akson terminal, sehingga terjadi peningkatan synaptogenesis. Hal tersebut mengakibatkan peningkatan ikatan glutamat pada reseptor NMDA dan memperparah terjadinya sensitisasi sentral. (Khotib & Zulkarnain, 2007). Perubahan-perubahan tersebut merupakan awal terjadinya nyeri kronik (Suroto, 2006). Pada hari ke-7 setelah injeksi CFA, setelah hewan coba mengalami inflamasi, diberikan MK-801 dengan 5 dosis yang berbeda melalui injeksi intratekal pada 5 kelompok hewan coba yang berbeda, sedangkan injeksi plasebo (25% DMSO/WFI) diberikan secara intratekal pada kelompok sham dan kelompok yang mengalami inflamasi. Plasebo yang diberikan pada hewan coba merupakan solvent yang digunakan untuk melarutkan MK-801. Solvent ini dipilih karena MK-801 memiliki kelarutan yang besar pada DMSO
31
Pengaruh Pemberian Antagonis ......
(>20mg/mL), sedangkan konsentrasi 25% DMSO dipilih karena dapat melarutkan MK-801 dan aman bagi hewan coba karena tidak menimbulkan toksisitas (Brobyn, 1975; Anonim3, 2010). Selain itu, konsentrasi DMSO yang digunakan pada penelitian ini belum mencapai konsentrasi yang dapat menimbulkan efek analgesik-antiinflamasi (70% DMSO) (Jacob & Herschler, 1985). Dosis MK-801 yang diberikan adalah 0,01; 0,10; 1,00; 10,00; dan 20,00 nmol melalui rute injeksi intratekal. Dosis pemberian MK-801 ditentukan dengan memperhatikan dosis toksik dari MK-801. Penelitian menunjukkan bahwa dosis MK-801 yang melebihi 30,00 nmol dapat menimbulkan efek samping psikotomimetik (Zhang et al.,2005). Oleh karena itu pada penelitian ini ditetapkan dosis tertinggi adalah 20,00 nmol yang lebih kecil dari dosis toksik, sedangkan dosis pemberian lainnya yang lebih kecil didapatkan dengan pengenceran bertingkat. Pada penelitian ini MK-801 diberikan melalui rute intratekal dikarenakan Gate Control Theory of Pain menyebutkan bahwa dorsal horn pada spinal cord merupakan gerbang utama penghantaran nyeri dari perifer menuju sistem saraf pusat (Dickenson, 2002; Flossos, 2004). Oleh karena itu, pemberian MK-801 melalui rute intratekal bertujuan agar obat dapat langsung bekerja pada dorsal horn pada spinal cord dan memberikan efek penghambatan terhadap penghantaran rangsangan nyeri dengan lebih cepat. Injeksi intratekal, baik plasebo (25% DMSO/WFI) maupun MK-801, diberikan selama 7 hari dengan frekuensi pemberian satu kali injeksi setiap hari. Hasil pengamatan terhadap parameter waktu ketahanan terhadap stimulus panas menunjukkan bahwa terdapat perbaikan pada kondisi inflamasi pada kelompok hewan coba yang telah diberikan injeksi intratekal MK-801. Hal ini ditandai dengan peningkatan secara bermakna waktu ketahanan hewan coba terhadap stimulus panas pada semua kelompok dosis MK-801 jika dibandingkan dengan kelompok yang mengalami inflamasi (p<0,001). Pada penelitian ini dilakukan uji statistik untuk mengetahui pengaruh pemberian MK-801 dari hari ke hari selama 7 hari pemberian. Hasil menunjukkan bahwa peningkatan bermakna pada parameter waktu ketahanan hewan coba terhadap stimulus panas mulai terjadi pada hari ke-8 di semua kelompok dosis kecuali dosis 10 nmol, jika dibandingkan terhadap kelompok yang mengalami inflamasi. Hal ini dimungkinkan karena adanya faktor psikis yang juga mempengaruhi respon hewan coba terhadap stimulus nyeri yang tidak teramati
32
pada penelitian ini (Woolf, 2004). Peningkatan bermakna juga terjadi pada hari berikutnya yaitu hari ke 10, hari ke-12, dan hari ke-14 seperti terlihat pada tabel 1. Kemampuan MK-801 dalam mengatasi nyeri kronik dikarenakan adanya penghambatan pada penghantaran stimulus nyeri di gerbang utama penghantaran nyeri tepatnya pada reseptor NMDA di d o r s a l h o r n p a d a s p i n a l c o rd . M K - 8 0 1 mengantagonisasi reseptor NMDA secara nonkompetitif pada PCP binding site dari reseptor NMDA sehingga akan menghambat pemasukkan ion Ca 2+ , dan akibatnya, berbagai jalur signaling intraseluler meliputi aktivasi Nitric Oxide Synthase (NOS) , Protein Kinase C (PKC), dan Calmodulin Dependent Kinase II (CaMKII) akan terhambat sehingga perjalanan stimulus nyeri dan sensitisasi nyeri dapat dihambat (Hudspith et al., 2003; Lipton, 2004). Pada hari ke-14, setelah diberikan injeksi intratekal MK-801 sebanyak 7 kali, terlihat bahwa waktu ketahanan terhadap stimulus panas meningkat pada semua kelompok hewan coba yang diberikan injeksi intratekal MK-801 dengan 5 dosis berbeda. Namun peningkatan waktu ketahanan terhadap stimulus panas pada dosis MK-801 10,00 dan 20,00 nmol tidak lebih tinggi jika dibandingkan dengan dosis MK-801 0,01; 0,10; dan 1,00 nmol. Hal ini terlihat dari nilai waktu ketahanan terhadap stimulus panas dimana dosis MK-801 0,01 nmol mampu meningkatkan waktu ketahanan terhadap stimulus panas menjadi 14,04 detik; dosis MK-801 0,10 nmol mampu meningkatkan waktu ketahanan terhadap stimulus panas menjadi 12,56 detik; dosis MK-801 1,00 nmol mampu meningkatkan waktu ketahanan terhadap stimulus panas menjadi 14,51 detik; dosis MK-801 10,00 nmol mampu meningkatkan waktu ketahanan terhadap stimulus panas menjadi 10,57 detik; dan dosis MK-801 20,00 nmol mampu meningkatkan waktu ketahanan terhadap stimulus panas menjadi 11,50 detik. Sedangkan waktu ketahanan terhadap stimulus panas pada kelompok yang mengalami inflamasi pada hari ke-14 adalah 6,66 detik. Selain itu, terlihat dari nilai signifikansi masing-masing dosis MK-801 terhadap kelompok yang mengalami inflamasi (p<0,001 untuk MK-801 dosis 0,01 nmol; p=0,001 untuk MK-801 dosis 0,01 nmol; p<0,001 untuk MK-801 dosis 1 nmol; p=0,022 untuk MK-801 dosis 10 nmol; p=0,006 untuk MK801 dosis 20 nmol). Berbeda dengan penelitian oleh Mao et al. (1992), dari hasil pada penelitian terlihat bahwa pemberian injeksi intratekal MK-801 tidak menunjukkan dose dependent manner. Hal ini
Jurnal Ilmiah Kedokteran Hewan Vol. 4, No. 1, Februari 2011
dimungkinkan karena faktor perbedaan jenis strain hewan coba penelitian yang digunakan, faktor perbedaan kondisi lingkungan yang mempengaruhi seperti suara dan suhu. Selain itu, efek samping dari MK-801 dosis tinggi yang diakibatkan upregulasi reseptor NMDA subtipe NR2A dapat mengganggu pengamatan respon motoris pada saat uji nosiseptif (Jones, 2003; Alilain & Goshgarian, 2007). Pengamatan pada parameter tebal plantar menunjukkan bahwa dosis MK-801 0,01; 1,00; dan 10,00 nmol memberikan penurunan tebal plantar secara bermakna jika dibandingkan dengan kelompok yang mengalami inflamasi (p<0,001 untuk dosis 0,01 nmol; p=0,005 untuk dosis 1,00 nmol; dan p=0,015 untuk dosis 10,00 nmol), sedangkan pada pemberian MK-801 dosis 0,10 dan 20,00 nmol tidak terjadi penurunan tebal plantar secara bermakna jika dibandingkan dengan kelompok yang mengalami inflamasi (p=0,309 untuk dosis 0,10 nmol; dan p=0,052 untuk dosis 20,00 nmol). Hasil yang fluktuatif pada pengukuran tebal plantar dimungkinkan karena kompleksnya patofisiologi inflamasi, sedangkan MK-801 memiliki mekanisme aksi antagonisasi pada reseptor NMDA yang hanya salah satu faktor dalam patofisiologi inflamasi. Spinal cord merupakan jaringan yang penting bagi integrasi dan pemrosesan informasi nosiseptif (Petrenko et al., 2003). Untuk mempelajari perubahan jaringan spinal cord, terutama pada daerah dorsal horn dan white matter, maka dilakukan pengamatan jaringan spinal cord yang telah diwarna dengan pewarnaan hematoxyllin-eosin. Jaringan spinal cord yang diwarna dengan pewarna ini akan memberikan warna merah muda pada sitoplasma sedangkan nukleus akan memberikan warna biru tua (Snell, 1984). Dengan perbesaran 400X, pada white matter dari spinal cord kelompok inflamasi terlihat adanya infiltrasi sel-sel inflamatoris yang lebih banyak daripada kelompok sham. Sel-sel inflamatoris yang menginfiltrasi spinal cord berbentuk bulat kecil dan dengan pewarnaan hematoxyllin-eosin tampak berwarna biru gelap hampir kehitaman. Adanya inflamasi setelah injeksi CFA menyebabkan terjadinya infiltrasi monosit pada kondisi kronik (Hausmann, 2003). Pada kelompok sham yang diberikan injeksi NS intraplantar, tetap terdapat infiltrasi sel inflamatoris walaupun lebih sedikit jika dibandingkan dengan kelompok inflamasi. Hal ini dikarenakan adanya kerusakan jaringan pada saat dilakukan injeksi intraplantar NS. Selain itu, pada dorsal horn spinal cord kelompok
inflamasi teramati bahwa nukleolus tampak lebih prominent jika dibandingkan dengan kelompok sham. Hal ini disebabkan karena adanya peningkatan aktivitas neuron saat terjadi inflamasi akibat induksi CFA, dimana neuron harus terus melepaskan dan menerima neurotransmitter glutamat (Snell, 1984). Pada area dorsal horn juga dapat terlihat jaringan interstitial yang lebih renggang dan pembesaran pembuluh darah jika dibandingkan dengan kelompok sham. Hal ini disebabkan adanya dilatasi pembuluh darah dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang menyebabkan pembuluh darah terlihat jelas dengan pewarnaan hematoxyllin-eosin, serta adanya perembesan serum dari pembuluh darah menyebabkan jaringan interstitial makin merenggang. Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah merupakan akibat dari munculnya prostaglandin E2 di sistem saraf pusat (Suroto, 2006). Pengamatan jaringan spinal cord dilakukan pada kelompok hewan coba yang mendapat injeksi intratekal MK-801 dosis 0,01; 1,0; dan 20,0 nmol. Pengamatan secara mikroskopis menunjukkan adanya perbaikan pada kondisi jaringan spinal cord hewan coba. Pada white matter spinal cord hewan coba yang mengalami inflamasi, terdapat infiltrasi sel-sel inflamatori. Pada kelompok hewan coba yang mendapat injeksi MK-801 dosis 0,01; 1,0; dan 20,0 nmol terdapat penurunan infiltrasi sel-sel inflamatoris jika dibandingkan dengan kelompok yang mengalami inflamasi. Pada area dorsal horn dari spinal cord juga terlihat bahwa adanya penurunan jumlah sel-sel inflamatoris yang menginfiltrasi daerah dorsal horn spinal cord jika dibandingkan dengan kelompok yang mengalami inflamasi. Nukleolus tampak tidak berbeda jauh dengan nukleus atau tampak semakin tidak prominent jika dibandingkan dengan kelompok inflamasi. Selain itu, jaringan interstitial tampak lebih rapat jika dibandingkan dengan kelompok inflamasi dan pembuluh darah yang tampak telah berkurang. Penurunan infiltrasi sel-sel inflamatoris pada white matter spinal cord dan perbaikan histologi neuron dan jaringan interstitial di dorsal horn spinal cord menunjukkan penurunan kondisi nyeri inflamasi pada kelompok hewan coba yang mendapatkan MK-801 sebab MK-801 akan menghambat aktivasi Mitogen Activated Protein Kinase (MAPK) yang selanjutnya menghambat transkripsi gen dan menurunkan sintesis COX-2 (Twyman, 1998).
33
Pengaruh Pemberian Antagonis ......
Daftar Pustaka Alilain, W. J. dan H. G. Goshgarian. 2007. MK-801 Upregulates NR2A Protein Levels and Induces Functional Recovery of the Ipsilateral Hemidiaphragm Following Acute C2 Hemisection in Adult Rats. The Journal of Spinal Cord Medicine. 30 (4) : 346-354. Anonim. 2010, (+)-MK-801 Hydrogen Maleate, http://www.sigmaaldrich.com/, diakses tanggal 15 Agustus 2010. Brenner, G. J., 2002. Neuronal Basis of Pain. Dalam: Ballantyne, J., Fishman, S., dan Abdi, S. (Eds). The Massachusetts General Hospital Handbook of Pain Management. Edisi ke-2, Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins Publisher. 7. Brobyn, R. D., 1975. The Human Toxicology of Dimethyl Sulfoxide. http://www.dmso.org/ diakses tanggal 15 Agustus 2010. Calder, P. C., 2006. n-3 Polyunsaturated Fatty Acids, Inflammation, and Inflammatory Diseases. American Journal of Clinical Nutrition, 83 :1505S-1519S. Carr, D. B., dan L. C.Goudas. 1999. Accute pain. Lancet, 353 : 2051-2058. Copenhaver, W., D.E..Kelly dan R.L.Wood. 1978. Bailey's Textbook of Histology, Asian Edition. Edisi ke-17, Baltimore: The Williams and Wilkins Company, 350-351. Dickenson, A. H., 2002. Editorial I, Gate Control Theory of Pain Stands the Test of Time. British J. Anaesthesia, 88 (6) :1-3. D'Mello, R., dan A.H. Dickenson. 2008. Spinal Cord Mechanisms of Pain. British Journal of Anaesthesia, 100 (4) :1-9. Dravid, S. M., Erreger, K., Yuan, H., Nicholson, K., Le, P., Lyuboslavsky, P., Almonte, A., Murray, E., Mosley, C., Barber, J., French, A., Balster, R., Murray, T. F., dan Traynelis, S. F., 2007. Subunit-Specific Mechanisms and Proton Sensitivity of NMDA Receptor Channel Block. Journal of Physiology, 581 (1) :107–128. Flossos, A., 2004. Αn Introduction to the Neurobiology of Pain. The Greek E-Journal of Perioperative Medicine, 2 : 2-10. Garabedian, B., S., Poole, S., Allchorne, A., Winter, J., dan Woolf, C., J., 1995. Contribution of Interleukin- 1β to the InflammationInduced Increase in Nerve Growth Factor Levels and Inflammatory Hyperalgesia. British J. Pharmacology, 115 :1265-1275.
34
Guo, H., dan L.Y.M.Huang. 2001. Alteration in the Voltage Dependence of NMDA Receptor Channels in Rat Dorsal Horn Neurones Following Peripheral Inflammation. J. Physiology, 537 (1) :115-123. Hausmann, O. N., 2003. Post-traumatic Inflammation following Spinal Cord Injury. Spinal Cord, 41 : 369-378. Hudspith, M.J., P.J.Siddall and R. Munglani. 2003. Physiology of Pain, Philadelphia: LippicottRaven Publisher. 267-285. Jacob, S. W., dan Herschler, R., 1985. Pharmacology of DMSO. http://www. dmso.org/, diakses tanggal 15 Agustus 2010. Jones, J. M. M., 2003. Effects of MK-801 on Opioid Antinociception: an Examination of Morphine, U50,488H and SNC80 in Male and Female Rats. Wahington: Washington State University. Kartini, 2007. Hubungan Nyeri dengan Gangguan Aktivitas Interpersonal pada Individu Usia 50 Tahun Keatas di Kabupaten Purworejo. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Khotib, J., dan B.S.Zulkarnain. 2007. Penggunaan Analgetika pada Berbagai Bidang Terapi. Proceeding Seminar Nasional Farmasi Klinik: Implementasi Pelayanan Kefarmasian dalam Tatanan Klinik dan Update Farmakoterapi. 82-94. Kocaeli, H., E. Korfali, H. Öztürk, N. Kahveci dan S.Yılmazlar. 2005. MK-801 Improves Neurological and Histological Outcomes after Spinal Cord Ischemia Induced by Transient Aortic Cross-Clipping in Rats. Surgical Neurology, 64 (2) : S22-S26. Köhr, G. 2007. NMDA Receptor Antagonists: Tools in Neuroscience with Promise for treating CNS Pathologies. J. Physiology, 581 (1) : hal.1-2. Le Bars, D., Gozariu, M., dan Cadden, S. W., 2001. Animal Models of Nociception. Pharmacological Reviews, Vol. 53, No. 4, hal. 593-652. Lipton, S., A., 2004. Failures and Successes of NMDA Receptor Antagonists: Molecular Basis for the Use of Open-Channel Blockers like Memantine in the Treatment of Acute and Chronic Neurologic Insults. J. Am. Soc. Exp. Neuro Therapeutics, 1 :101110. Lynch, M., dan Watson, C. P. N, 2006. The Pharmacotherapy of Chronic Pain: A
Jurnal Ilmiah Kedokteran Hewan Vol. 4, No. 1, Februari 2011
Review. Pain Research and Management, 11 (1) :1-28. O'Neil, C. K., 2008. Pain Management. Dalam: Marie A. Chisholms-Burns, Barbara G. Wells, Terry Schwinghammer, Patrick M. Malone, Jill M. Kolesar, John C. Rotschafer, Joseph T. DiPiro (Eds.). Pharmacotherapy Principles & Practice. Edisi ke-7, New York: McGraw-Hill Medical Publishing Division. 1089-1104. Page, C., M. Curtis, M. Suter, M.Walker dan B. Hoffmann. 2002. Integrated Pharmacology. Edisi ke-2, London: Mosby. 272-280. Paoletti, P., dan Neyton, J., 2007. NMDA Receptor Subunits: Function and Pharmacology. Current Opinion in Pharmacology on line, Vol. 1 , hal. 1-23. Parsons, C. G., A. Stöffler dan W. Danysz. 2007. Memantine: a NMDA Receptor Antagonist that Improves Memory by Restoration of Homeostasis in the Glutamatergic System too little activation is bad, too much is even worse. Neuropharmacology. 53:. 699-723. Petrenko, A. B., T. Yamakura, H. Baba dan K. Shimoji. 2003. The Role of N-Methyl-DAspartate (NMDA) Receptors in Pain: A Review. Anesthesia and Analgesia. 97 :. 1108-1116. Roach, S., 2003. Introductory Clinical Pharmacology. Edisi ke-7, Philadelphia: Lippincott Williams snd Wilkins. 150-179. Sang, C. N., 2002. NMDA-Receptor Antagonists in Neuropathic Pain: Experimental Methods to Clinical Trials. J. Pain and Symptom Management. 19 (1) : 21-25. Shu, H., M. Hayashida, W. Huang, K. An, S. Chiba, K. Hanaoka dan H. Arita. 2008. The Comparison of Effects Processed Aconiti Tuber, U50488H and MK-801 on the Antinociceptive Tolerance to Morphine. J. Ethnopharmacology. 117 :158-165.
Snell, R., S., 1984. Clinical and Functional Histology for Medical Students. Edisi ke-1, Boston: Little, Brown and Company, hal. 272-274. Suroto, 2006. Aspek Neurobiologi Nyeri dan I n f l a m a s i . D a l a m : L e k s m o n o . P. , Mohammad Saiful Islam, dan Yudha Haryono (Eds.). Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Nasional II Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Surabaya: Airlangga University Press. 51-66. Torres, F. V., M. Filho, C. Antunes, E. Kalinine, E., Antoniolli, L.V.C. Portela, R.O. Souza dan A.B.L. Tort. 2009. Electrophysiological Effects of Guanosine and MK-801 in a Quinolinic Acid-Induced Seizure Model. Experimental Neurology. 221 (2): 296306. Twyman, R. M. 1998. Advance Molecular Biology: A Concise Reference. New Delhi: Viva Books Private Limited. 423-442. Vezzani, A., R. Serafini, M.A. Stasi, S. Caccia, I. Conti, I., R.V. Tridico dan R.Samanin. 1989. Kinetics of MK-801 and its effect on quinolinic acid-induced seizures and neurotoxicity in rats. J.Pharm and Exp Therap. 249 (1) : 278-283. Woolf, C. J., 2004. Pain: Moving from Symptom Control toward Mechanism-Specific Pharmacologic Management. Annals of Internal Medicine. 140 :441-451. Yang, X., H.B. Yang, Q.J. Xie, X.H. Liu dan X.H. Hu. 2009. Peripheral inflammation increased the synaptic expression of NMDA receptors in spinal dorsal horn. Pain. purchase 144 (1) : 162-169. Yoon, M. H., H.B. Bae dan J.I. Choi. 2005. Antinociceptive Interactions between Intrathecal Gabapentin and MK801 or NBQX in Rat Formalin Test. J. Korean Medical Sci. 20 :307-312.
35
Pengaruh Pemberian Antagonis ......
Zhang, R. X., L. Wang, X. Wang, K. Ren, B.M. Berman dan L.Lao. 2005. Electroacupuncture Combined with MK801 Prolongs Anti-hyperalgesia in Rats with Peripheral Inflammation. Pharmacology, Biochemistry, and Behavior. 81 :146-151.
36