Imam Bukhari dan Metode Seleksi Hadits
Imam Bukhari dan Metode Seleksi Hadits Wisnawati Loeis Abstract
Wisnawati Loeis, lahir di Padang. Sarjana Muda IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Bahasa Arab diselesaikan pada tahun 1977, dan Sarjana (S-I) Kuwait University Jurusan Sastra Arab diselesaikan pada tahun 1982. Selanjutnya menamatkan pendidikan di Pascasarjana Konsentrasi Tafsir-Hadis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2004. Dosen Tetap Yayasan di Fakultas Agama Islam Universitas Islam “45” (Unisma) Bekasi.
Pendahuluan enelusuri kehidupan seorang tokoh hadits seperti Bukhari dari sisi metode juga karyanya adalah suatu hal yang sangat menarik, karena merupakan sesuatu yang bernilai ilmiah sekaligus agamis. Ilmiah karena meliputi pembahasan bernilai akademis sedangkan agamis karena selain pesan-pesan yang terdapat di dalam pembahasan itu bernilai sebuah kebenaran, juga sosok pribadi Bukhari yang terkenal dengan ketakwaan dan kewara`annya. Berbicara tentang metode tentu saja ada kebaikan dan kelemahannya. Adapun Bukhari sebagai Perawi Hadits, terkenal dengan keshahihannya dalam merawikan hadits Nabi. Dengan mempelajari metode Bukhari dalam menseleksi
TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008
M
30
Imam Bukhari dan Metode Seleksi Hadits
hadits Nabi yang disebut metode Tashhih dan Tadh’if yang banyak dibicarakan oleh para Ulama Muhaditsin maka akan diketahui bagaimana sebenarnya metode Bukhari dalam menyusun hadits. Untuk mendapatkan data-data dalam penulisan ini penulis menggunakan studi kepustakaan (library research), kemudian diolah dalam bentuk deskriptif analitik. Sekilas Biografi Bukhari Nama lengkapnya adalah Abu ’Abd Allah Muhammad ibn Isma’il ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah al-Ju’fi (al-Ja’fai) alBukhari. Dia lahir pada hari Jum’at 13 Syawwal 194 H di Bukhara.1 Ayahnya, Isma’il, adalah seorang ulama hadits dari sejumlah ulama terkenal seperti Malik ibn Anas,2 Hammad ibn Zaid,3 dan Ibn alMubarak. Namun, ayahnya tersebut meninggal dunia ketika Bukhari masih dalam usia sangat muda. Bukhari mulai mempelajari hadits sejak usianya masih muda sekali, bahkan sebelum mencapai usia sepuluh tahun. Meskipun usianya masih sangat muda, dia memiliki kecerdasan dan kemampuan yang menghafal yang luar biasa. Muhammad ibn Abi Hatim4 menyatakan bahwa ia pernah mendengar Bukhari menceritakan bahwa ia mendapatkan ilham untuk menghafal hadits. Ketika ditanya sejak usia berapa dia memperoleh ilham tersebut, dijawab oleh Bukhari sejak berumur sepuluh tahun atau bahka kurang dari itu. TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008
Menjelang usia 16 tahun dia telah mampu menghafal sejumlah buku hasil karya ulama terkenal pada masa sebelumnya, seperti ibn alMubarak, Waki’,5 dan lainnya. Dia tidak hanya menghafal hadits-hadits dan karya para ulama terdahulu saja tetapi juga mempelajari dari seluruh perawi yang terlibat dalam periwayatan setiap hadits yang dihafalnya, mulai dari tanggal dan tempat lahir mereka, juga tempat mereka meninggal dunia. Dalam rangka memperoleh informasi yang lengkap mengenai suatu hadits, baik matan maupun juga sanadnya Bukhari banyak melakukan perlawatan ke berbagai daerah seperti Syam, Mesir dan AlJazair, masing-masing dua kali, ke Bashrah empat kali, menetap di Hijaz selama enam tahun, dan berulang kali ke Kufah dan Baghdad. Ketika Bukhari sampai di Baghdad, para ulama berkumpul untuk menguji daya hafal Bukhari yang sangat terkenal itu. Mereka menunjuk sepuluh orang Ulama, setiap orang membacakan sepuluh hadits yang telah diputar balikkan sanad dan matannya, sehingga jumlah hadits yang sanad dan matannya tersebut kacau balau adalah 100 buah hadits. Ketika masing-masing hadits itu ditanyakan kepada Bukhari, Bukhari menjawab, “Hadits tersebut tidak kukenal”. Para ulama yang mengetahui keadaan hadits yang sebenarnya, menyadari bahwa Bukhari memahami akan permasalahan yang 31
Imam Bukhari dan Metode Seleksi Hadits
diajukan kepadanya. Namun kesan umum yang terlihat sepintas lalu adalah bahwa Bukhari memiliki ingatan yang tidak baik. Akan tetapi, setelah keseluruhan haditshadits tersebut dibacakan, maka Bukhari secara sistematis menjelaskan kepada mereka keadaan hadits-hadits tersebut yang sebenarnya, dia membetulkan sanad dan matan masing-masing hadits menurut yang seharusnya. Bukhari adalah Imam Hadits pada masanya, dan bahkan dia adalah orang yang pertama menghimpun hadits-hadits shahih saja didalam karyanya yang terkenal itu, yaitu Shahih al-Bukhari.6 Dia menerima hadits dari ‘Ubaid Allah ibn Musa, Muhammad ibn ‘Abd Asllah al-Anshari, ‘Affan, Abi ‘ Ashim al- Nabil, Makki ibn Ibrahim, dan lain-lain. Hadits-hadits Bukhari diriwayatkan oleh sejumlah Ulama, di antaranya al-Tirmidzi, Muslim, al-Nasa’i, Abu Zar’ah, Abu Hatim, Ibn Khuzaimah, dan lain-lain. Selain sebagai seorang ulama hadis yang terkenal, Imam Bukhari juga seorang ulama yang produktif. Hal ini terbukti dari sejumlah karya yang dihasilkan semasa hidupnya, seperti : Qadhaya al-Shahabah wa al-Tabi’in, Raf’a al-Yasdain, Qira’at Khalfa al-Imam, Khalq Af’al al‘Ibad, al-tafsir al-Kabir, Al-Musnad al-Kabir, Tarikh Shaghir, Tarikh Awsath, Tarikh Kabir (8 jilid), AlAdab al-Mufrad, Bir al-Walidain, al-Dhu’afa’, al-Jami’ al-Kabir, AlAsyribah, Al-Hibah, Asami alTURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008
Ashahabah, al-Wuhdan, Al-Mabshut, Al-‘illal, Al-Kuna, Al-Fawa‘id, dan Shahih al-Bukhari.7 Dari sekian banyak karyanya, yang paling terkenal di antaranya adalah Shahih al-Bukhari. Judul lengkap dari kitab tersebut adalah Al-Jami’ al-Musnad al-Shahih alMukhtashar min Umur Rasulillahi wa Sunnanihi wa Ayyamihi. Buku tersebut disusunnya selama lebih kurang 16 tahun. Dia mulai membuat kerangka penulisan kitab tersebut ketika dia berada di Mekkah, tepatnya di Masjid alHaram, dan secara terus menerus dia menulis kitab tersebut sampai kepada draft terakhir yang dikerjakannya di Masjid al-Nabawi di Madinah.8 Imam Bukahri meninggal dunia pada hari Sabtu, malam ‘Id al-Fitr tahun 256 H, dalam usia 62 tahun kurang 13 hari di sebuah desa bernama Khartank.9 Pembahasan Definisi Tashhih menurut Bukhari
Tadh’if
Kata ”tashhih” ( )ﺗﺼﺤﯿﺢ berasal dari kata shahih, adalah bentuk dasar dari kata ﺻﺤﺢyang berarti menshahihkan.10 Demikian pula kata ”tadh’if” ( )ﺗﻀﻌﯿﻒyang berasal dari kata dha’if adalah bentuk mashdar dari kata ﺿﻌﻒyang berarti mendha’if-kan.11 Bukhari sangat selektif dalam menerima hadits, terutama ketika akan memasukkannya ke dalam kitab Jami’-nya tersebut. Beliau 32
Imam Bukhari dan Metode Seleksi Hadits
hanya memasukkan hadits-hadits shahih saja ke dalam kitabnya itu. Seperti ucapan beliau dalam kitab Ushul al-Hadits “saya tidak memasukkan ke dalam kitab shahih ku kecuali hadits yang shahih”. 12 Bukhari menetapkan syarat yang ketat dalam menerima suatu hadits. Di antara persyaratan yang disebutkan oleh Bukhari adalah: (1) perawinya harus muslim, jujur dan berkata benar, berakal sehat, tidak mudallis, tidak mukhtalith, adil, dhabith (kuat hafalannya, sehat panca indranya, tidak ragu-ragu dan memiliki etika yang baik dalam meriwayatkan hadits, (2) sanadnya bersambung sampai kepada Nabi SAW; dan (3) dan matannya tidak syadz dan tidak mu’allah. Mengenai persambungan sanad, Bukhari juga memberikan persyaratan tertentu, yaitu selain berada pada satu masa (al-mu’asharah), juga diperlukan adanya informasi yang positif tentang pertemuan (al-liqa) antara satu perawi dengan perawi dengan perawi berikutnya, dan perawi yang berstatus murid benar-benar mendengar langsung (tsubut sima’ihi) hadits yang diriwayatkan dari gurunya.13 Kriteria Seleksi Hadits Menurut Bukhari Sebagaimana telah duraikan sebelumnya, dari salah satu judul kitabnya, Bukhari berusaha menghimpun sejumlah besar haditshadits shahih, dan tidak memuat hadits-hadits dla‘if. Pertanyaannya kemudian adalah kriteria apakah TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008
yang dipergunakanakan untuk mengukur keshahihan hadits-haditsnya serta membedakan dari haditshadits dla‘if? Tidak mudah untuk merumuskan secara tepat kriteria-kriteria yang dipergunakan Bukhari. Pasalnya, beliau tidak pernah menggambarkannya secara utuh. Dan inilah yang kemudian diungkapkan oleh para ulama sambil mencoba menganalisis deretan panjang hadits-hadits dalam al-Jami’ alShahih serta karya-karyanya yang lain. Ibnu Hajar al-‘Asqalani14 menggunakan dua pendekatan untuk menganalisis kriteria keshahihan hadits al-Bukhari, yaitu: Pertama, dengan mengambil analog dari judul kitab Bukhari Kedua, denga menganalisis upaya-upaya Bukhari dalam mencari hadits nabi.15 Untuk yang pertama, setidaktidaknya diambil dari dua kata, yakni al-Shahih dan al-Musnad. Dari kata al-Shahih, beliau menghindar untuk memasukkan haditshadits dla‘if di dalamnya, sebagaimna ucapannya : Aku hanya memuat hadits-hadits shahih kedalam al-Jami’. Dan dari kata alMusnad, beliau mentakhrij haditshadits yuang bersambung sanadnya hingga Rasulullah SAW, baik ucapan, perbuatan, atau penetapan.16 Sedangkan pendekatan kedua, dibutuhkan perbandingan mengenai pengertian shahih menurut Bukhari dan ulama lainnya. Untuk itu, 33
Imam Bukhari dan Metode Seleksi Hadits
sekedar sebagai perbandingan, dapat dikemukakan syarat keshahihan menurut al-Hazami, 17 yakni agar sanadnya bertalian satu sama lain, perawinya seorang muslim yang jujur, tidak mudallis dan mukhtalith, memliki sifat ’adalah, dlabit, akalnya sehat tanpa diliputi rasa lupa, dan i’tiqadnya benar.18 Bukhari sendiri mensyaratkan agar hadits tersebut memilki sanad yang shahih dengan gambaran yang objektif ketersambungan sanad, ditransfer dari perawi yang adil, dlabit, tidak syadz, dan tidak memiliki kecacatan. Khusus untuk hadits mu’an’an, dipersyaratkan adanya perjumpaan, hidup sezaman, tsiqah, dan tidak tadlis. Sedangkan kalangan lain mengilustrasikan ittishal al-sanad itu dengan pengungkapan seorang perawi bahwa ia menerima hadits dari gurunya dengan lafaz yang jelas, seperti Sami’tu, Haddatsani, Akhbarany, atau ‘An. Dari pembahasan tentang kriteria keshahihan Bukhari dapat diambil kesimpulan bahwa : Pertama, kriteria keshahihan hadits secara umum terdapat persamaan antara kriteria yang dikemukakan oleh para ulama dengan yang dikemukakan oleh Bukhari, yakni memiliki ketersambungan sanad, ditransfer dari perawi yang ‘adl dan dlabit, bukan seorang mudallis atau mukhtalith, tidak syaz dan tidak mengandung kecacatan, serta perawinya memiliki i’tiqad yang benar. TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008
Kedua, dalam hal ketersambungan sanad Bukhari menggunakan persyaratan yang lebih ketat dan kuat, yakni adanya perjumpaan (liqa’) dan hidup sezaman artinya berjumpa benar dengan sumber aslinya. Tingkatan Tashhih dan Tadh’if menurut Bukhari Mengenai tingkatan tashhih Bukhari, Ibn Hajar menjelaskan tentang penggolongan murid-murid al-Zuhri19 yang mebaginya menjadi lima katagori: Pertama, perawi dari Zuhri yang mempunyai kualitas kertakwaan yang tinggi, hifz (kuat hafalan) dan pergaulan cukup lama dengan Zuhri, dengan meyertai beliau dalam setiap pengembaraannya. Kedua, kelompok kedua adalah ‘adl seperti kelompok yang pertama. Hanya saja mereka tidak banyak menyertai Zuhri untuk menghafalkan hadits-hadits yang diriwayatkan darinya. Mereka ditempatkan sedikit di bawah yang pertama. Ketiga, mereka yang banyak menghabiskan waktu bersama Zuhri seperti kelompok pertama, hanya saja mereka mendapatkan kritik dari para ulama. Keempat, mereka yang dikritik oleh para ulama, sementara itu mereka tidak banyak meghabiskan waktu untuk menghadiri pertemuan kuliah yang diberikan Zuhri. Kelima, Mereka yang berpredikat perawi yang lemah, atau yang 34
Imam Bukhari dan Metode Seleksi Hadits
tidak dikenal oleh para ulama terdahulu. Dari kelima katagori tesebut, Hazami dalam Persyaratan ImamImam yang Lima mencatat bahwa kelompok pertama atau disebut juga tingkatan pertama adalah syarat yang dipakai oleh Bukhari. Hanya kadang-kadang saja beliau menggunakan katagori atau tingkatan yang kedua. Berbeda dengan Imam Muslim, beliau menggunakan kategori yang pertama dan kedua dan kadang-kadang yang ketiga. Jadi sebenarnya tingkat keshahihan yang digunakan Bukhari adalah tingkat yang paling tinggi yaitu tingkat pertama sesuai dengan persyaratan yang dikemukakan Bukhari dalam periwayatan haditsnya.20 Komentar Ulama Terhadap Shahih Bukhari Popularitas Bukhari dan karyanya telah membuat publik menaruh perhatian yang besar pada keduanya. Karyanya sendiri banyak dikaji, ditelaah, dan dijadikan sebagai bahan analisis lanjutan untuk pengembangan-pengembangan ilmu hadits. Dan salah satu hasil analisis tersebut adalah munculnya komentar-komentar atau kritik-kritik yang diarahkan kepada karyanya yang monumental tersebut. Menarik untuk dicatat bahwa kritik-kritik yang dialamatkan kepada kitab Bukhari semata-mata didorong oleh kepedulian terhadap kitab tersebut dan bukan upaya destruktif untuk mendiskreditkan pengarangnya atau mereduksi TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008
eksitensi kitab tersebut. Artinya, kritik-kritik tersebut lahir dalam suasana kedewasaan ilmiah sebagai upaya pengembangan wacana yang lebih sehat dan konstruktif. Dasar dari semua kritik yang dikemukakan oleh para ulama adalah pernyataan Bukhari bahwa kitabnya hanya berisi hadits-hadits shahih serta kriteria keshahihan ynag dikemukakannya. Dalam hal ini, kritik para ulama bermula dari upaya menelusuri kesesuaian antara pernyataan Bukhari dengan realitas periwayatan hadits-haditsnya. Ditemukan berbagai ketidaksesuaian antara keduanya. Dan inti dari kritik itu adalah ketidaksesuaian itu sendiri. Ini sifatnya mendasar sekali, di samping ditemukan kritik-kritik lain yang sifatnya sangat teknis, seperti pengulangan hadits. Salah seorang ulama yang disebut-sebut mengemukakan kritik adalah Imam al-Daruquhthny. Kritiknya ditujukan kepada 110 hadits (32 diantaranya diriwa-yatkan oleh al-Bukhari dan Muslim), yang terbagi ke dalam enam katagori:21 Pertama, hadits-hadits yang memiliki perbedaan, karena adanya pe-nambahan atau pengurangan rangkaian sanad.Misalnya: Bu-khari mentakhrij hadits dari Abi Marwan, dari Hisyam bin Urwah, dari bapaknya, dari Ummu Salamah, dari Ra-sulullah SAW. Menurut Daru-quthny hadits ini munqathi’, karena dalam hadits yang diriwayatkan Hafsh, terdapat nama Zainab sebelum Ummu Salamah, 35
Imam Bukhari dan Metode Seleksi Hadits
yang urutan lengkapnya adalah Hafsh bin Ghiyats, Hisyam, bapaknya, Zainab, dan Ummu Salamah. Demikian juga pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab al-Muwaththa’. Pada hadits Imam Malik, sanadnya terdiri atas, Malik bin Anas, Abu alAswad, Urwah, Zainab, dan Ummu Salamah. Bukhari dalam hal ini tidak memasukkan Zainab dalam rangkaian sanadnya. Kedua, hadits-hadits yang memilki perbedaan, karena adanya penggantian tokoh-tokoh dalam sanad. Misalnya: Dalam hadits Bad’il Wahyi, al-Bukhari mentakhrij hadits dari Isra’il, dari alA’masy dan Manshur, semuanya dari Ibrahim dari Ilqimah. Bukhari tidak menyertakan sanad penguat pada riwayat Isra’il dan al-A’masy. Sedangkan dari Manshur, Bukhari menyertakan riwayat Syaiban, serta Mughirah bin Ibrahim, sehingga dikesankan Bukhari satu-satunya yang meriwayatkan dari Isra’il. Ketiga, hadits yang diriwayatkan secara mandiri oleh seorang perawi, dengan membubuhkan penambahan dari sanad lain tanpa memperhatikan riwayat dari perawiperawi yang lebih dlabit dan secara kuantitas lebih banyak. Misalnya: Dalam hadits al-‘Itq, Bukhari dan Muslim mentakhrij hadits dari Qatadah, dari al-Nadir, dari Anas, dari Basyir bin Nuhaik, dari Abi Hurairah. Di dalamnya dtambahkan dengan tema lain dari hadits Ibnu Arubah dan Jarir bin Hazim. Padahal dalam hadits Syu’bah dan TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008
Hisyam yang jelas lebih dlabit tidak ditemukan penambahan. Keempat, hadits yang sebagian perawi dalam sanadnya meriwayatkan secara mandiri, namun tergolong perawi yang dla’if. Misalnya: Dalam salah satu hadits Kitan al-jihad, al-bukhari mentakhrij hadits dari Ismai’il bin Abi Uwais, dari Malik, dari Zaid bin Aslam, dari bapaknya. Menurut alDaruquthny, Isma’il adalah perawi yang dla’if. Kelima, hadits yang sebagian perawinya pelupa. Keenam, hadits yangmemilki perbedaan, karena penambahan pada lafazh matan. Menanggapi kritik-kritik tersebut Ibnu Hajar memberikan pembelaan dan klarifikasi dengan dua pendekatan.22 Pertama, pendekatan Secara menyeluruh. Dalam pendekatan ini Ibnu Hajar menyatakan bahwa selain pertimbangan-pertimbangan ilmiah yang dilakukan oleh Bukhari, guru-gurunya yang menjadi sumber pengambilan hadits dapat dijadikan justifikasi dan jaminan bahwa hadits-hadits yang diriwayatkannya memiliki kadar keshahihan yang dapat dipertanggung jawabkan. Hal ini, karena guru-gurunya, seperti Ali ibn alMadiny dan Muhammad ibn Yahya al-Zuhli memiliki pengetahuan yang mumpuni seputar kecacatan hadits dan kahliannya cukup diakui dan disegani. Kedua, pendekatan kasuistik. Dalam pendekatan ini Ibnu Hajar 36
Imam Bukhari dan Metode Seleksi Hadits
memberikan klarifikasi kasus per kasus, seperti klarifikasi terhadap 110 hadits yang dikritik oleh Imam al-Daruquthny. Selain kritik-kritik di atas, masih terdapat beberapa kritik terhadap shahih al-Bukhary. Hanya saja kritik-kritik ini lebih bersifat teknis, yakni bagaimana Bukhari me-nata hadits-hsditsnya. Dalam hal ini, sekurang-kurangnya terdapat tiga kritik: Bukhary banyak menyebut satu hadits berulangulang dalam bab yang berbedabeda; Bukhary memotong-motong hadits; Bukhari memendekkan matan hadits. Al-Hafizh Abu al-Fadl Muhammad ibn Thahir al-Maqdisi23 menerangkan bahwa dalam salah satu bagian kitabnya, Bukhari menyebut sebuah hadits di beberapa tempat dan dijadikan dalil di tiaptiap bab, dengan sanad yang lain serta mengistikhraj sebuah makna yang dikehendaki oleh judul bab. Atas hal tersebut, terdapat beberapa sebab Bukhari melakukannya : Bukhari meriwayatkan hadits dari seorang sahabat, kemudian diriwayatkan lagi dari sahabat yang lain. Maksudnya, supaya hadits tersebut tidak dianggap gharib. Begitu juga dilakukannya pada thabaqat kedua, ketiga, dan seterusnya. Bukhari menshahihkan hadits atas dasar suatu kaidah, bahwa tiap-tiap hadits melengkapi beberapa makna yang berlainan. Karenanya hadits itu diriwayatkan TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008
lagi dalam bab lain melalui jalan lain. Ada hadits yang oleh sebagian perawi diriwayatkan secara sempurna. Maka Bukhari meriwayatkan hadits tersebut secara ringkas dan sempurna untuk menghilangkan keraguan para penukil-penukilnya. Ada hadits-hadits yang lafazh-lafazhnya berbeda antara seorang perawi dengan perawi lainnya. Maka Bukhari menuliskan semuanya. Masing-masing menurut lafazhnya sendiri-sendiri, dengan catatan sanadnya shahih menurut syarat Bukhari dan untuk tiap-tiap lafazh dibuatnya bab tersendiri. Ada hadits-hadits yang kadang-kadang diwashalkan oleh sebagian perawi, sedangkan sebagian lainnya mengirsalkannya, dan hadits itu menurut Bukhari adalah maushul. Namun demikian disebut juga mursal sambil memberi pengertian bahwa kemursalannya tidak memberi dampak apa-apa. Ada hadits yang oleh sebagian perawi diriwayatkan secara mauquf sedang oleh sebagian yang lain diriwayatkan secara marfu’. Maka Bukhari memandang bahwa marfu’lah yang lebih kuat, tetapi kedua-duanya dimuat. Ada hadits yang oleh sebagian perawi ditambah seorang perawi di dalam sanad. Sedang sebagian yang lain tidak disebutkan penambahan tersebut. Maka Bukhari menyebutkan kedua-duanya, apabila keduanya dipandang shahih, yakni si perawi benar-benar mendengar dari temannya yang mendengar 37
Imam Bukhari dan Metode Seleksi Hadits
gurunya dan pada kali lain ia mendengar langsung. Kadang-kadang sesuatu hadits yang diriwayatkan secara umum, kemudian Bukhari meriwayatkan hadits itu dari jalan yang lain yang menegaskan bahwa perawi itu benar-benar mendengar sendiri hadits tersebut dari para perawi. 24 Adapun soal potongmemotong hadits, disebutkan bahwa Bukhary memotong-motong hadits dan menyebut masing-masing potongan itu dalam beberapa bab. Hal ini dilakukan adakalanya karena matan hadits itu memang pendek, atau yang sebagiannya berkaitan dengan yang lain dan mengandung dua hukum atau lebih, maka Bukhari mengulangi hadits itu menurut judul babnya dan meriwayatkan hadits itu dari gurunya yang lain. Terkadang hadits itu hanya diperoleh dari satu jalan saja, maka Bukhari meriwayatkannya pada suatu tempat secara maushul dan pada tempat yang lain secara mu’allaq. Khusus untuk matan, jika memandang beberapa gagasan (tema) yang satu sama lainnya tidak berhubungan, maka Bukhari meriwayatkannya secara tersendiri dalam bab-bab tertentu. Sampai di sini dapatlah dikatakan bahwa upaya “kreatif” Bukhari ini ditempuh karena adanya maksudmaksud tertentu. Pada priode modernpun shahih Bukhary dikritik oleh peneliti modern, seperti Ignaz Goldziher, Maurice Bucaille, dan Ahmad Amin. 25 Ignaz Goldziher antara lain TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008
mengkritik hadits tentang perintah pergi ke tiga masjid, yaitu al-Masjid al-Haram ( di Makkah ), Masjid al Rasul ( di Madinah ) dan Masjid alAqsha (di Palestina). Menurut Goldziher hadits ini palsu, karena dibuat atas perintah Abdul Malik kepada Zuhri untuk maksud-maksud politik menghalangi orang-orang Syam pergi haji ke Makkah menghindari Abdullah ibn Zubair di Makkah mengambil kesempatan menyuruh orang-orang Syam membai’atnya. Pendapat ini kemudian dibantah oleh Muhammad Mushthafa Azami atas ketiadaan bukti-bukti sejarah yang mendukung pendapat tersebut. Adapun Maurice Bucaille mengkritik Bukhari karena menurutnya terdapat hadits-hadits yang bertentangan dengan sains, seperti hadits lalat masuk minuman, demam berasal dari neraka, perkembangan embrio, dan lainlain. Seperti Bucaille, Ahmad Amin juga mengkritik dari sudut pandang yang sama, yakni sains ilmiah, di samping dari sudut perkembangan zaman. Namun kritik-kritik yang disampaikan itu tidak benar, mereka sengaja menjatuhkan dan menyesatkan umat Islam. Ternyata kekuasaan Allah dapat mematahkan pendapat-pendapat yang menyesatkan tersebut dengan menyiapkan orang-orang yang mampu membabat pikiran-pikiran orintalis. Pendapat Ignas ini sedikitnya telah disanggah oleh tiga ahli hadits kontemporer yang mana tidak ada 38
Imam Bukhari dan Metode Seleksi Hadits
bukti-bukti historis yang memperkuat teori Goldziher. Masingmasing adalah Prof. Dr. Musthafa al-Siba’i, Prof.Dr. Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, dan Prof. Dr. Musthafa ‘Azami.26 Mereka inilah yang membabat habis teori-teori yang tak terbukti para pengkritik ahli hadits, sehingga jelaslah maksud jahat mereka untuk menyesatkan umat muslim. Penutup Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Secara eksplisit Bukhari tidak menyebutkan syarat keshahihan dan kedla’ifan sebuah hadits, hanya saja setelah dilakukan penelitian, ternyata beliau menggunakan syarat yang sangat ketat yaitu Rawi yang ‘adil, tsiqah, dhabit serta bersambung sanadnya. Bukhari menetapkan syarat liqa’ dan mu’asharah, artinya perawi harus hidup sezaman dan bertemu dengan sumber haditsnya. Terjadinya pengulangan hadits, atau kadang-kadang muncul hadits dha’if pada kitab Jami’nya akibat terlalu percayanya Bukhari pada periwayat haditsnya. Daftar Pustaka Abu Muhammad Abdul Mahdi Bin Abdul Qadir Bin Abdul Hadi, Alih Bahasa : S. Agil Husein alMunawar & Ahmad Rifqi Muchtar, Metode Takhrij Hadits, Dina Utama Semarang, Cet.I, 1994 TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008
Al-‘Asqalani, Ahmad bin ‘Ali bin Hajar, Fath al-Bâri, Beirut: Dar al-Fikr, tt. ______, Hâdi al-Sâri, Beirut : Dar al Fikr, tt. ______, Tahdzib al-Tahdzib, Beirut: Dar al-Fikr, tt Azami, Muhammad Musthafa, Metodologi Kritik Hadits, (terj, dari buku : Studies in Hadith Metodologi and Literature), Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992 Al-Baghdadi, Syihab al-Din Abi Abdillah al-Hamwi al-Rawy, Muj’am al-Buldan, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt Al-Hasany Muhammad ‘Alawi alMaliky, al-Manhal al-Lathief fi Ushul al-Hadits al-Syarif, Jiddah : Mathabi’ Sahr,1982. Cet 4 Hasyim, Ahmad Umar, Dr., AlSunnah al-Nabawiyah wa Ulumuha, Kairo : Maktabah Gahrib lil al-Thaba’ah, tt. Ibnu Mandzur, Lisân al-‘Arâb, Beirut : Dar Lisan lil-‘Arab, tt. Ibrahim Anis, dkk., al-Muj’am alWasîth, Beirut : cat. II, 1392 H/1927 M. I’lam al-Muhadditisn wanahijuhum fi al-Riwayah wa al-Adab wa al-Dirayah, Jami’ al-Azhar,tt Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjâj, Ushûl al-hadîts, Beirut : Dar alFikr, 1989 Ash-Shiddieqi, M.Hasbi, PokokPokok Imu Dirayah Hadits, Jakarta: Bulan Bintang, 1994, cet.6, jilid 2. Al-Suyuthy, Jalal al-Din Abdurrahman bin Abi Bakr, 39
Imam Bukhari dan Metode Seleksi Hadits
Thabaqat al-Huffazh, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994, cet.2 Ya’qub, H. Ali Mustafa, Imam Bukhari dan Metodologi Kritik Dalam Ilmu Hadits, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1996, cet.3.
Catatan Kaki: 1
Bukhara adalah satu kota penting Ma Wara’a al-Nahr, Jihun. Tepatnya terletak di Uzbekistan, sekarang sudah menjadi negara tersendiri ( sebelumnya menjadi negara bagian Uni Sovyet alm ).Lihat Ahmad Umar Hasyim, AlSunnah al-Nabawiyyah wa ‘Ulumuha, (Cairo : Maktabah Gharib, tt), h. 147 2 Malik bin Anas adalah seorang ulama besar Madinah dan dikenal sebagai pendiri Madzhab Maliky, serta pengarang kitab Al-Muwaththa’. Lahir pada tahun 93 H dan meninggal di Madinah pada tahun 179 H. Lihat AlImam al – Hafizh al-Syaikh al-Jalal alDin Abdurrahman bin Abu Bakr alSuyuthi (849-911), Thabaqat alHuffazh, (Beirut : Dar al-Kutub al‘Ilmiyyah,1994),Cet. 2,h.96 3 Hammad bin Zaid, nama lengkapnya bin Dirham al-Asady al-Jahdhami Abu Isma’il al-Bashry al-Azraq. Dilahirkan tahun 98 H dan wafat hari Jum’at 10 Ramadhan 179 H. Beliau adalah seorang yang buta, sehingga semua hadits yang diriwayatkannya dihafalnya. Menurut Ibn Mahdy, beliau adalah salah satu pemimpin ummat pada zamannya, yakni Sufyan al-Tsauri di Kufah, Malik bin Anas di Hijaz, AlAusa’i di dSyam, dan Hammad bin Zaid di Bashrah. Lihat Al-Imam alHafizh al-Syaikh Jalal al-Din
TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008
Abdurrahman bin Abu Bakr alSuyuthy h.103. 5 Beliau adalah Waki’ bin al-Jarah bin Malih bin ‘Adi bin Furs bin Jamjamah Abu Sufyan al-Ruasy al-Kufy dari Qais Ghailan. Lihat Taqrib al-Tahdzib Juz 1, h. 320 6 Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, Ed.’Irfan al‘Asysya Hassnah ( Beirut : Dar al-Fikr, 1414 H, h.49 7 Lihat Al-Imam al-Hafizh Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalany (773-852 H), Hady al-Sary, Muqaddimah Fath al-Bary, (Cairo : Dar al-Rayyan li-al Turats, 1987), Cet.2 h. 501 8 Madinah adalah kota yang terletak di tanah Hijaz. Panjangnya 65o dan lebarnya 20o. Kota ini merupakan tujuan hijrah Rasul, sehingga sering disebut Madinah al-Rasul. Sebelumnya kota bernama Yatsrib. Lihat al-Syaikh al-Imam Syihab al-Din Abi Abdillah Yaqut bin Abdillah Al-Hamuy al-Rawi al-Baghdady, Jld 5, h. 207 9 Khatank adalh sebuah desa di Samarqand. Lihat Syihab al-Din Abi Abdillah Yaqut, h. 406-407 10 Shahih secara bahasa berarti sehat, selamat, benar, sah terhindar dari cacat dan keraguan. Lihat Lisan al-‘Arab, h. 108 11 Dha’if secara bahasa berarti lemah, lawan dari kuat, (qawiyy), atau sebagai lawan dari kat shahih, sehat, kata dha’if juga berarti sakit (saqim). Lihat Mu’jam al-Washith Juz 1, h. 507 12 ‘Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, h. 313 13 Ibid, h. 313 14 Beliau adalah Syihab al-Din Abu alFadl Ahmad bin ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali bin Mahmud Ibn Ahmd, yang dikenal dengan Ibn Hajar al-Kunany,
40
Imam Bukhari dan Metode Seleksi Hadits
al’Asqalany. Lahir di Mesir tanggal 12 Sya’ban tahun 773 H, 15 Muhammad ‘Alawy al-Maliky alHasany, al-Manhal al-Lathief fi Ushul al-Hadits al-Syarif , h. 280 16 Ibid 17 Beliau adalah Abu Bakr Muhammad bin Musa al-Hazimy, lahir tahun 548 H. Lihat Syuruth Aimmah al-Khamsah. 18 Ibn Hajar, Tahdzib al Tahdzib Juz 7 h. 14 19
Beliau adalah abu Bakr Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaid Allah bin Syihab bin Abd Allh bin al-Harits bin Zuhrah bin kilab bin Murrah al Quraisy alZuhri al-Madani, lahir tahun 50 H.
TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008
Lihat Ibn Hajar Tahdzib al-Tahdzib Juz 7 h.423 20 I`lam al-Muhadditsin wamanahijuhum fi al-Riwayah wa alAdab wa al-Dirayah, h. 375 21 Ibn Hajar, h. 365-367 22 Ibid. 23 Penulis belum menemukan datadatanya. 24 Hasbi ash Shiddiqi, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jilid 2, h. 407 25 Ali Mushthafa Ya’qub, Imam Bukhari dan Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadits, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1996, Cet. 3, h. 13 26 Ibid, h. 16
41