“
Ilmu, Gerak Maju Kebenaran”* Shahibul Ahyan**
A. Pendahuluan Berbicara tentang kebenaran ilmiah tidak bisa dilepaskan dari makna dan fungsi ilmu itu sendiri sejauh mana dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Di samping itu proses untuk mendapatkannya haruslah melalui tahaptahap metode ilmiah. Kriteria ilmiah dari suatu ilmu memang tidak dapat menjelaskan fakta dan realitas yang ada. Apalagi terhadap fakta dan kenyataan yang berada dalam lingkup religi ataupun yang metafisika dan mistik, ataupun yang non ilmiah lainnya. Di sinilah perlunya pengembangan sikap dan kepribadian yang mampu meletakkan manusia dalam dunianya. Penegasan di atas dapat kita pahami karena apa yang disebut ilmu pengetahuan diletakkan dengan ukuran, pertama, pada dimensi fenomenalnya yaitu bahwa ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai masyarakat, sebagai proses dan sebagai produk. Kedua, pada dimensi strukturalnya, yaitu bahwa ilmu pengetahuan harus terstruktur atas komponen-komponen, obyek sasaran yang hendak diteliti, yang diteliti atau dipertanyakan tanpa mengenal titik henti atas dasar motif dan tata cara tertentu, sedang hasil-hasil temuannya diletakkan dalam satu kesatuan sistem (Wibisono, 1982). Tampaknya anggapan yang kurang tepat mengenai apa yang disebut ilmiah telah mengakibatkan pandangan yang salah terhadap kebenaran ilmiah dan fungsinya bagi kehidupan manusia. Ilmiah atau tidak ilmiah kemudian dipergunakan orang untuk menolak atau menerima suatu produk pemikiran manusia. B. Pengertian Ilmu dan Kebenaran Ilmu merupakan suatu pengetahuan yang mencoba menjelaskan rahasia alam agar gejala alamiah tersebut tidak lagi merupakan misteri. Penjelasan ini akan memungkinkan kita untuk meramalkan apa yang akan terjadi. Dengan * Disampaikan pada diskusi Mata Kuliah Filsafat Ilmu yang diampu oleh Dr. Fauzan Fuad, M. Pd. **Mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika STKIP HAMZANWADI Selong
demikian, penjelasan ini memungkinkan kita untuk mengontrol gejala tersebut. Untuk itu, ilmu membatasi ruang jelajah kegiatan pada daerah pengalaman manusia. Artinya, obyek penjelajahan keilmuan meliputi segenap gejala yang dapat
ditangkap
oleh
pengalaman
manusia
lewat
panca
inderanya.
Secara epistemology, ilmu memanfaatkan dua kemampuan manusia dalam mempelajari alam, yakni pikiran dan indera. Epistemologi keilmuan pada hakikatnya merupakan gabungan antara pikiran secara rasional dan berpikir secara empiris. Kedua cara berpikir tersebut digabungkan dalam mempelajari gejala alam untuk menemukan kebenaran. Maksud dari hidup ini adalah untuk mencari kebenaran. Tentang kebenaran ini, Plato pernah berkata: “Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley menjawab; “Kebenaran itu adalah kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidakbenaran (keburukan). Jadi ada 2 pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di satu pihak, dan kebenaran dalam arti lawan dari keburukan (ketidakbenaran) (Syafi’i, 1995). Dalam bahasan ini, makna “kebenaran” dibatasi pada kekhususan makna “kebenaran keilmuan (ilmiah)”. Kebenaran ini mutlak dan tidak sama atau pun langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan hanya merupakan pendekatan (Wilardo, 1985:238-239). Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidangbidang kehidupan. Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian maka pengabdian ilmu secara netral, tak bermuara, dapat melunturkan pengertian kebenaran sehingga ilmu terpaksa menjadi steril. Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah semestinya harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya kebenaran (Daldjoeni, 1985:235). Selaras dengan Poedjawiyatna (1987:16) yang mengatakan bahwa persesuaian antara pengatahuan dan obyeknya itulah yang disebut kebenaran.
* Disampaikan pada diskusi Mata Kuliah Filsafat Ilmu yang diampu oleh Dr. Fauzan Fuad, M. Pd. **Mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika STKIP HAMZANWADI Selong
Artinya pengetahuan itu harus yang dengan aspek obyek yang diketahui. Jadi pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif. Meskipun demikian, apa yang dewasa ini kita pegang sebagai kebenaran mungkin suatu saat akan hanya pendekatan kasar saja dari suatu kebenaran yang lebih jati lagi dan demikian seterusnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan manusia yang transenden,dengan kata lain, keresahan ilmu bertalian dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia. Dari sini terdapat petunjuk mengenai kebenaran yang trasenden, artinya tidak henti dari kebenaran itu terdapat diluar jangkauan manusia. Ilmu, dalam menemukan kebenaran, mensandarkan dirinya kepada beberapa criteria kebenaran, yakni: 1. Koherensi Koherensi merupakan teori kebenaran yang mendasarkan diri kepada criteria konsistensi suatu argumentasi 2. Korespondensi Korespondensi merupakan teori kebenaran yang mendasarkan diri kepada criteria tentang kesesuaian antara materi yang dikandung oleh suatu pernyataan dengan obyek yang dikenai pernyataan tersebut. 3. Pragmatisme Pragmatisme merupakan teori kebenaran yang mendasarkan diri kepada kreteria tentang fungsi atau tidaknya suatu pernyataan dalam lingkup ruang, dan waktu tertentu. C. Perkembangan Ilmu sebagai Perkembangan Kebenaran Ilmu sebagai kumpulan kebenaran ciptaan manusia kerap tidak mampu bertahan menghadapi pisau bedah verifikasi atau falsifikasi pandangan baru muncul di tengah puing-puing pandangan lama Pandangan baru pun akan ditantang untuk terus mampu untuk membuktikan kebenarannya, kalau tidak mampu bertahan pandangan itu akan mengalami nasib seperti pendahulunya
* Disampaikan pada diskusi Mata Kuliah Filsafat Ilmu yang diampu oleh Dr. Fauzan Fuad, M. Pd. **Mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika STKIP HAMZANWADI Selong
Pada dasarnya, pandangan-pandangan manusia baik sebagai keputusan, hukum maupun teori, semuanya akan berkembang. Muncul pertanyaan baru atau tidak jarang pula sesuatu ilmu akan jatuh atau gugur sehingga tidak dianut lagi. Sebelum abad ke-4 orang mengakui kebenaran teori Euclides (287-212 SM) yang menyatakan bahwa kita bisa melihat benda di sekeliling kita karena dari mata kita keluar sinar-sinar peglihatan yang berbentuk kumis-kumis peraba yang berfugsi untuk meraba benda yang kita lihat. Seandainya teori kumiskumis peraba benar, mengapa pada malam hari dan dalam suasana gelap kita tidak dapat melihat benda di sekeliling kita. Teori ini tumbang setelah muncul pendapat Lhazan, seorang ilmuan bekebangsaan Mesir yang mengatakan ”Kita dapat melihat benda-benda di sekeliling kita karena ada cahaya yang dipancarkan atau dipantulkan oleh benda-benda yang kita lihat masuk ke dalam mata kita ” (Baiquni, dalam Pengantar Ringan Filsafat Ilmu oleh Fauzan. 2002: 73). Begitu juga contoh yang paling terkenal dan sangat menegaskan, teori sistem geosentris (bumi sebagai sentral sistem tata surya) ternyata kemudian terbukti salah diambrukkan teori heliosentris (matahari sebagai sentral sistem tata surya). Tentang tumbuh, tumbang dan selalu munculnya tunas baru kebenaran ilmu di tengah-tengah ”puing-puing kebenaran yang ambruk”, patut disimak pernyataan sangat arif dari Al-Kindi, sebelas abad yang lalu seperti dikutip Joesoep Sou’iyb (1981): ”.....Bagi kita tidaklah pada tempatnya untuk malu mengakui kebenaran dan mencernanya, dari sumber manapun ia datang kepada kita, bagi mereka yang menghargai kebenaran, tak ada sesuatu yang lebih tinggi nilainya selain kebenaran itu sendiri.....” D. Verifikasi dan Falsifikasi Suatu ucapan yang tidak dapat diverifikasi ialah ucapan yang tidak bermakna”. Karl Popper menunjukan bahwa sebuah teori tidak pernah dapat
* Disampaikan pada diskusi Mata Kuliah Filsafat Ilmu yang diampu oleh Dr. Fauzan Fuad, M. Pd. **Mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika STKIP HAMZANWADI Selong
diverifikasi (dibuktikan benar) tetapi teori yang bermakna seharusnya dapat difalsifikasi (dibuktikan salah). Fatalisme verifikasi itu tidak hanya terjadi pada bidang ilmu pengetahuan tetapi juga merasuki bidang kehidupan sosial praktis manusia. Dalam kehidupan sosial praktis upaya verifikasi merupakan sumber kesuburan bagi tumbuh dan berkembangnya fanatisme dan otoriterisme yang dalam sejarah sosial-politik di berbagai negara di dunia telah mendatangkan bencana kemanusiaan yang mengerikan. Pihak yang menang dalam pola hidup verifikatif itu adalah mereka yang memiliki kuasa dan otoritas intelektual, agama, politik, hukum, ekonomi, dan sosial-budaya. Di hadapan berbagai macam otoritas itu berbagai kenyataan atau pengalaman yang asing dan berbeda dari teori dan kebenaran yang dihayati oleh otoritas-otoritas itu akan diverifikasi. Kenyataan yang tidak sesuai dengan teori atau kebenaran otoritas akan dieliminasi. Dalam metodologi verifikasi kenyataan baru tidak dilihat dari sisi kebenaran yang terkandung di dalamnya. Kebenaran sebuah kenyataan yang baru ditentukan oleh kesesuaiannya dengan kebenaran otoritas. Otoritas menjadi patokan untuk menilai sebuah kenyataan baru. Logika verifikatif, dengan demikian, tidak mengenal dan tidak menghendaki adanya pengetahuan dan kebenaran baru yang berbeda dari kebenaran yang sedang dihayati. Ia hanya mengenal dan menerima penegasan atas kebenaran dan pengetahuan yang sudah ada. Kenyataan baru diterima sebagai kebenaran sejauh ia menegaskan kenyataan atau kebenaran yang sudah ada. Fatalisme metodologi verifikasi itu dilawan Popper dengan metodologi falsifikasi dengannya ia mendekati persoalan bukan dengan merujuk pada otoritas tetapi persoalan itu sendiri menjadi patokan untuk menilai dan mengadili teori, harapan,atau kebenaran-kebenaran yang sedang dihayati. Popper sungguh yakin bahwa setiap kenyataan baru mengandung kebenaran tertentu dalam dirinya dan dengan itu pengetahuan manusia akan diperbaiki atau ditolak (asas refutalibilitas pengetahuan). Perbaikan atau penolakan itu * Disampaikan pada diskusi Mata Kuliah Filsafat Ilmu yang diampu oleh Dr. Fauzan Fuad, M. Pd. **Mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika STKIP HAMZANWADI Selong
adalah sesuatu yang sepantasnya terjadi untuk mengisi wilayah keterbatasan pengetahuan sekaligus mempersempit ruang ketidaktahuan manusia. Semakin sering manusia melakukan perbaikan atau penolakan atas pengetahuannya, semakin maju dan berkembang pula pengetahuannya. Penolakan itu dapat dimungkinkan oleh dugaan-dugaan berani yang dikontrol oleh kritisisme yang tajam (Conjectures and Refutations: vii). Dalam keberanian kritis itulah orang mesti membuat dan mengajukan solusi-solusi tentatif atas persoalan-persoalan yang dihadapi. Untuk Popper, beberapa usaha yang tidak sukses untuk memecahkan persoalan ilmiah atau filosofis, jika itu dilakukan dengan jujur dan penuh komitmen, lebih signifikan daripada sebuah diskusi tentang pertanyaan ‘apa itu ilmu pengetahuan?’, atau ‘apa itu filsafat?’ (Conjectures and Refutations: 66). Prinsip verifikasi dan/atau falsifikasi dapat diseleksi teori-teori yang “benar” dan teori-teori yang “salah”. Yang “benar” diteruskan dan dikembangkan, sampai ia terbukti salah. Yang salah masuk tong sampah atau maksimal sejarah masa lampau. E.Kesimpulan,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, Perkembangan ilmu selalu diwarnai kiah jatuh bangunnya berbagai teori. Kekokohan suatu teori tegantng kemampuannya bertahan dari gempuran verifikasi dan falsifikasi. Banyak teori-teori besar yang bertahan selama berabad-abad, runtuh seketika di hadadapan pengadilan kebenaran denga pisau verifiakasi dan falsifikasi. Beberapa contoh teori yang terfalsifikasi ialah teori kumis peraba Euclides, teori tentang bumi sebagai pusat semesta, dan lain sebagainya.Diperlukan kebesaran jiwa untuk menerina kebenaran dari mana saja datangnya, karena kebenaran tetaplah kebenaran di manapun berada. Begitu juga kesalahan akan selalu terbukti salah (terfalsifikasi), hanya waktunya kadang-kadang cepat, kadang-kadang bertahun-tahun. Bahkan tidak jarang memerlukan pengorabanan jiwa para ilmuan, msialnya Socrates, Bruno dan Galileo.,,...................................................................,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, * Disampaikan pada diskusi Mata Kuliah Filsafat Ilmu yang diampu oleh Dr. Fauzan Fuad, M. Pd. **Mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika STKIP HAMZANWADI Selong
DAFTAR PUSTAKA
Djoko Adi Waluyo. 2008. Kebenaran Dalam Perspektif Filsafat Ilmu (Pendekatan Teoritik). Artikel dalam http://www.filsafat-ilmu.blogspot.com. Diambil pada tanggal 30 Juli 2008 pukul 17:15. Fauzan. 2002. Pengantar Ringan Filsafat Ilmu. Pancor: STKIP Hamzanwadi Selong Jujun S. Suriasumantri. 2005. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Surya Multi Grafika ________ 2001. Ilmu Dalam Perspektif; Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Mawardi, Imam. 2008. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya. Artikel dalam http://www.nackvision.com. Diambil pada tanggal 30 Juli 2008 pukul 17:03
* Disampaikan pada diskusi Mata Kuliah Filsafat Ilmu yang diampu oleh Dr. Fauzan Fuad, M. Pd. **Mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika STKIP HAMZANWADI Selong
* Disampaikan pada diskusi Mata Kuliah Filsafat Ilmu yang diampu oleh Dr. Fauzan Fuad, M. Pd. **Mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika STKIP HAMZANWADI Selong