Bergoyang, digoyang, dan menggoyang: Estetika dan potensi subversif dangdut koplo Jawa Timuran Ikwan Setiawan, Matimoer Institute
Bergoyang, digoyang, dan menggoyang: Estetika dan potensi subversif dangdut koplo Jawa Timuran IKWAN SETIAWAN Peneliti di Matatimoer Institute Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya FIB e-mail:
[email protected]
Dangdut dan transformasinya: pengantar Dangdut, sejak perkembangan awalnya, selalu diidentikkan sebagai musik rakyak kelas bawah. Rancaknya kendang (biasa juga disebut ketipung) dan meliuknya suara seruling menjadi penanda bagi riuhnya suasana yang dihadirkan oleh pagelaran dangdut di tengah-tengah rakyat yang sehari-harinya menguras tenaga untuk pekerjaan kasar. Segala beban hidup dan kelelahan selama menjalankan aktivitas kerja sehari-hari seolaholah mendapatkan pelampiasan dalam suasana. Meskipun tidak jarang terjadi tawuran sesama penonton, ruang cair yang dihadirkan dangdut benar-benar bisa menjadi sarana untuk „menuntaskan‟ hasrat estetik dan peregangan beban hidup bagi wong cilik. Nama Rhoma Irama, tidak bisa dilepaskan dari sejarah popularitas dangdut di tengah-tengah rakyat. William H. Frederick menjelaskan bagaimana kemampuan Rhoma dalam membaca peluang kreatif untuk memunculkan dan menciptakan dangdut sebagai musik yang mampu menggerakkan tubuh sembari menawarkan romantisme, nilai-nilai moralitas maupun pesan-pesan agamis dalam lirik lagunya (1997: 234-264). Dangdut romantis dan agamis ala Rhoma dan Soneta-nya selama era 70-90-an mampu menjadi musik populer, sejalan dengan perkembangan musik-musik pop industri lainnya. Meskipun memperoleh popularitas—termasuk melalui film-film yang dibintangi Rhoma maupun A Rafiq—citra dangdut sebagai musik ndeso masih begitu melekat. Pada era 90-an dangdut mulai memasuki babak baru dengan semakin banyaknya artis-artis pendatang baru. Kehadiran artis-artis baru tersebut diiringi dengan semakin beragamnya varian dangdut, dari dangdut reggae hingga dangdut house music. Pun media—terutama televisi—menjadi semakin „bersahabat‟ dengan dangdut, dari TVRI, TPI, sampai Indosiar. Citra dangdut menjadi semakin bergengsi dibanding era-era sebelumnya. Dangdut tidak hanya dimainkan di lapangan kecamatan maupun kabupaten, tetapi juga di hotel berbintang. Sejalan dengan itu, semakin banyak pejabat politis negeri ini—dari
Bergoyang, digoyang, dan menggoyang: Estetika dan potensi subversif dangdut koplo Jawa Timuran Ikwan Setiawan, Matimoer Institute
menteri hingga gubernur—tidak segan-segan lagi tampil di depan publik. Bahkan Basofi Sudirman (mantan Gubernur Jawa Timur) semasa menjabat membuat album dangdut yang laris manis di pasaran, Tidak Semua Laki-laki. Dan parpol pun berlomba-lomba nanggap dangdut ketika masa kampanye demi menarik perhatian massa calon pendukung, meskipun sebenarnya para penonton yang hadir belum tentu mencoblos parpol yang bersangkutan. Intinya, dangdut telah bertransformasi menjadi „barang mewah‟ yang menarik untuk dinyanyikan, baik untuk kepentingan komersil maupun politik. Di tengah-tengah dominasi dangdut industri—dengan sentralnya Jakarta—di wilayah yang selama ini dianggap kawasan periperal kebudayaan, Jawa Timur, pada era 2000-an banyak berkembang orkes-orkes dangdut tanggapan yang banyak melakukan pentas pada saat ada hajatan maupun perayaan Hari Kemerdekaan (biasa disebut 17-an). Lagu-lagu yang dibawakan para biduwan/ita-nya tetap diambil dari lagu-lagu yang dipopulerkan penyanyipenyanyi yang telah mapan, seperti Rhoma Irama, A Rafiq, Masyur S, Evi Tamala, dan lain-lain. Namun secara konsep musik, apa yang digelar oleh para musisi lokal Jawa Timur jelas berbeda dengan dangdut mainstream ala Soneta. Bite kendang yang dimainkan para musisi tersebut lebih rancak, cepat, dan dinamis, sehingga dinamakan dangdut koplo. Penamaan tersebut lebih didasarkan pada pengaruh kedinamisan musik yang bisa membuat penonton bergoyang hingga terasa koplo, kepala seperti „tidak ada isinya apa-apa‟, bebas, lepas, seperti orang yang menenggak pil koplo (ecstacy dan sejenisnya). Yang juga menjadi fenomenal dari dangdut koplo adalah gerakan dan goyang akrobatis para penyanyi perempuan di atas panggung—di luar tradisi bergoyang para penyanyi ibu kota yang lebih sopan dan normatif. Para penyanyi dangdut menggoyang seluruh badannya, dari pinggung hingga dada, sehingga membuat penonton semakin bersemangat untuk bergoyang. Inul Daratista, Uut Permatasari, dan Trio Macan—yang saat ini sudah berhijrah ke Jakarta—merupakan „alumni‟ orkes melayu gaya koplo Jawa Timuran. Goyang badan yang dianggap “liar” dan “erotis” itulah yang pernah memunculkan polemik hebat antara si Raja Dangdut Rhoma Irama—didukung artis-artis dari PAMMI (Persatuan Artis Musik Melayu Indonesia—dan Inul yang dibela oleh tokoh-tokoh kritis anti-hegemoni dan antidiskriminasi seperti Gus Dur dan Arswendo Atmowiloto. Tulisan ini secara konseptual akan membahas „potensi dan estetika subversif‟ yang hadir dalam pagelaran dangdut koplo, baik dari sisi inovasi musik, atraksi para penyanyi,
Bergoyang, digoyang, dan menggoyang: Estetika dan potensi subversif dangdut koplo Jawa Timuran Ikwan Setiawan, Matimoer Institute
hingga bagaimana respons penonton dalam menikmati atraksiatraksi yang ada. Asumsi yang dikembangkan adalah bahwa dari segi estetik, dangdut koplo mampu menawarkan nilai subversif untuk merubah apa-apa yang mainstream, menjadi permainan yang disesuaikan dengan „semangat liar‟ masyarakat Jawa Timur yang diekspresikan dalam perilaku-perilaku menonton. ‘Estetika subversif’ koplo dan perlawanan terhadap pakem dangdut Apa-apa yang populer kemarin tidak bisa menjadi populer hari ini karena orang-orang saat ini tidak ingin menjadi orang-orang di hari kemarin. (Bennet, 1986: 18) Mengikuti alur pemikiran Van Gennep tentang struktur ritual, Turner membuat eskplorasi teoretis untuk membaca struktur estetika dari sebuah pagelaran/pertunjukan (performance) yang ada dalam masyarakat. Ia menjelaskan bahwa dalam satu pagelaran bisa ditemukan adanya struktur yang tersusun dari tahapan (a) preliminal; (b) liminal; dan (c) posliminal. Tahapan preliminal merupakan sebuah fase dimana mulai berlangsung pelanggaran terhadap normanorma mapan dan yang diterima selama ini. Dalam tahapan liminal berlangsung krisis dengan terbentuknya faksi-faksi baru yang kemudian menimbulkan reaksi dari faksi-faksi yang sudah mapan untuk merangkulnya kembali. Tahapan posliminal melibatkan proses pengakuan faksi baru ke dalam kebudayaan asli atau bisa juga berupa pengakuan akan keterpecahan dalam segala bentuknya (dalam Carlson, 1998: 21). Dalm tahapan liminal-lah potensi untuk berperilaku subversif—meski Turner tidak pernah membahas istilah potensi subversif—bisa berlangsung. Menurut Turner aktivitas-aktivitas liminal (liminal activities) terhadap sikap “anti-struktur” untuk melawan “struktur” dari aktivitas budaya norma (ibid.hlm.23). Sampai tataran itu, aktivitas subversif bukan berarti tindakan anarkis untuk memberontak secara fisik, tetapi „pemberontakan estetik‟ dari struktur mapan budaya yang direpresentasikan melalui produk-produk kesenian adiluhung yang sangat normatif. Sutton-Smith menjelaskan: Struktur normatif merepresentasikan keseimbangan (equilibrium), sedangkan “antisruktur” mereprensetasikan sistem laten dari alternatif-alternatif potensial yang darinya kebaruan (novelty) akan muncul ketika kemungkinan-kemungkinan dalam sistem normatif memungkinkanya untuk ada……..sistem kedua ini bisa disebut
Bergoyang, digoyang, dan menggoyang: Estetika dan potensi subversif dangdut koplo Jawa Timuran Ikwan Setiawan, Matimoer Institute
sistem protokultural karena ia merupakan pendahulu dari bentuk normatif yang inovatif. Ia merupakan sumber bagi kebudayaan baru. (ibid) Mengikuti apa yang diutarakan Turner dan Sutton-Smith, dalam struktur sebuah pagelaran, semisal seni pertunjukan, bisa ditemukan adanya „sifat politis‟ dari para kreatornya. Artinya mereka mempunyai tendensi untuk membaca bentuk estetik yang mapan sebagai sumber yang bisa dikritisi dan dibongkar untuk kemudian menciptakan bentuk baru yang bisa jadi diterima sebagai bagian kebudayaan atau sebagai bentuk “liyan” (the other). Secara historis wujud-wujud subversif tersebut bisa ditemukan dalam teater
eksperimental,
teater
jalanan,
ataupun
bentuk-bentuk
estetik
lain
yang
menyimpang dari pakem. Penyimpangan dan subversi, dengan demikian, menjadi basis bagi pagelaranpagelaran estetik baru. Mengikuti kerangka berpikir tersebut, dangdut koplo Jawa Timuran, bisa diposisikan sebagai aktivitas liminal yang membentuk struktur estetik liyan dari dangdut mapan ala penyanyi ibukota. Musik dangdut mapan yang ditandai dengan sekian struktur normatifnya—membuat goyang tetapi tetap harmonis—dijadikan sumber kreatif untuk kemudian ditata ulang dan dijadikan konsep musik baru yang lebih egaliter, rancak, dan cepat. Dangdut mapan yang selama puluhan tahun dikonsumsi oleh masyarakata kelas bawah mendapatkan perlawanan dari para musisi kelas bawah yang mencoba untuk menegosiasikan gagasan estetik mereka sendiri. Dalam konteks itu, para musisi dangdut Jawa Timur telah melakukan konsumsi kreatif, mengambil sumber dari yang ada untuk kemudian ditata ulang dan menjadi bentuk estetik baru yang berbeda dari yang mapan (Clarke, 1976: 177; Willis, 1990: 20). Musik dangdut koplo, dengan demikian, telah berusaha bersikap subversif terhadap kemapanan musik dangdut dari industri-industri rekaman di Jakarta. Massifikasi dan standarisasi musik dangdut dalam konteks industri budaya (culture industries) yang tetap „dikurung‟ dalam bingkai normatif dan moralitas, dilawan dengan konsumsi kreatif ala musisi koplo untuk dihadirkan kepada penonton dalam pertunjukan live. Mengikuti logika berpikir Storey (1993: 186), telah terjadi pertarungan semiotik, di mana musisi koplo sebagai konsumen mampu memberikan pemaknaan lain terhadap dangdut yang mereka dengar dan lihat dari kaset/VCD—sebagai hasil industri budaya—untuk disesuaikan dengan kepentingan mereka.
Artinya selalu ada proses
negosiasi estetik yang
Bergoyang, digoyang, dan menggoyang: Estetika dan potensi subversif dangdut koplo Jawa Timuran Ikwan Setiawan, Matimoer Institute
dilangsungkan demi menciptakan konsep musik yang berbeda dan tidak selalu sama dengan „dangdut televisi‟. Dalam konteks estetik tersebut, dangdut koplo bisa dikatakan telah melakukan resistensi diskursif terhadap dangdut Jakarta yang sudah terhegemoni nilai-nilai normatif kelas penguasa (pemilik modal, pemerintah, dan pendukung kebudayaan adiluhung/tinggi, serta agamawan). Dalil hegemoni mensyaratkan adanya artikulasi kepentingan kelas subordinat—dalam segala bentuknya, termasuk kebutuhan estetik—ke dalam kuasa kelas penguasa sehingga relasi kuasa yang terbangun bisa mendapatkan konsensus dan penerimaan luas dari masyarakat (Gramsci, 1981: 191-192; Boggs, 1984: 161). Kelas penguasa „membolehkan‟ musik dangdut berkembang di tanah air dengan satu syarat bahwa musik dan lirik yang diciptakan dalam bentuk rekaman harus tetap mengusung keharmonisan secara estetik sehingga enak didengar. Di samping itu, lirik harus disesuaikan dengan ajaran-ajaran moralitas/agama, dan tidak boleh mengandung unsurunsur yang dikategorikan porno. Jadilah dangdut sebagai musik populer yang tetap „dijaga‟ dan „diawasi‟ melalui wacana moralitas dan keharmonisan. Selama puluhan tahun musik dangdut normatif memperoleh penerimaan publik yang luas. Namun demikian, hegemoni memang tidak selamanya berada dalam kondisi statis sehingga memungkinkan lahirnya kontra-hegemoni dengan menggunakan bentuk-bentuk yang sudah ada untuk kemudian di munculkan sebagai karya baru. Ketika para musisi dangdut ibukota menikmati kekayaan material karena popularitasnya, para musisi lokal juga tidak kalah. Mereka menciptakan varian baru koplo, juga untuk kepentingan popularitas mereka sendiri di tataran masyarakat lokal Jawa Timur. Lirik-lirik yang semula normatif, dalam pagelaran dangdut koplo bisa menjadi sangat kasar. “Itu kuda lumping…kuda lumping…kuda lumping”, disahuti seenaknya oleh penonton dengan “Ora kathokan”. Kultur Jawa Timuran, terutama wilayah Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Mojokerto, Lamongan, dan sekitarnya yang kasar dan egaliter menjadi sangat kental dalam tiap pagelaran dangdut koplo. Goyang akrobatik penyanyi perempuan: mengganggu tatanan moralitas? Kehebatan dan „keliaran‟ goyang para penyanyi seperti sudah menjadi kata kunci dalam setiap pagelaran dangdut koplo. Dalam setiap pagelaran dangdut koplo bisa dilihat liukan lekuk-lekuk tubuh para penyanyi sembari mengikuti irama koplo dan menyanyikan lirik
Bergoyang, digoyang, dan menggoyang: Estetika dan potensi subversif dangdut koplo Jawa Timuran Ikwan Setiawan, Matimoer Institute
lagu. Gerakan ekstrim-akrobatik menjadi penanda utama dari kehebatan seorang penyanyi, di samping suaranya. „Keliaran‟ ini menjadi sangat signifikan karena dengan itu penonton akan terhibur dan terus ikut bergoyang. Ketika penonton merasa puas maka suatu ketika salah satu di antara mereka kalau punya hajat diharapkan akan nanggap orkes yang sedang pentas dan penyanyi-penyanyinya. Dalam konteks tersebut, liukan lekuk-lekuk tubuh menjadi semacam alat promosi bagi orkes sekaligus penyanyi sehingga kepulan dapur dan biaya hidup lainnya tetap bisa tercukupi: sebuah strategi ekonomi ala wong cilik di tengah-tengah tuntutan kehidupan yang terus bergerak. Bagi mereka yang anti-pornografi, mungkin liukan lekuk-lekuk tubuh di atas panggung bisa dianggap sebagai perilaku yang seronok, erotis, dan mengumbar aurat demi kepentingan materi, sesuatu yang dilarang oleh nilai-nilai moralitas dan agama. Namun, dari segi estetik, apa yang dilakukan para penyanyi menandakan satu usaha untuk mengeksplorasi potensi yang dimiliki tubuhnya: membebaskan tubuh dari sekian batasannya. Bahwa tubuh bisa saja menjadi sesuatu yang bisa bergerak dengan kecepatan tinggi, sangat dinamis, layaknya bor. Bahwa tubuh tidak selamanya harus diatur oleh wacana-wacana normatif ala keraton yang serba lembut, harmonis, dan adiluhung, tetapi sebenarnya menyimpan potensi erotis yang mampu menggiring imajinasi penonton pada hal-hal yang tidak pantas. Bahwa dinamisasi tubuh tidak hanya bisa digunakan untuk berdemonstrasi atas nama agama yang sangat absurd dan penuh kepentingan politis. Lebih dari itu semua, tubuh dalam estetika koplo adalah gerakan-gerakan dinamis yang menunjukkan perilaku akrobatik si empunya tubuh, para penyanyi, demi kepentingan ekonomi dan kulturalnya sendiri. Dan, sebenarnya, apa yang ditarikan oleh para penyanyi koplo tidak ubahnya senamsenam kebugaran yang saat ini banyak berkembang di kota. Ketika beberapa kali penulis menonton pertunjukan live dangdut koplo di Lamongan, misalnya, bisa dikatakan yang dilakukan para penyanyi muda usia SMA tidaklah norak sehingga istilah akrobatik lebih cocok. Mereka melakukan gerakangerakan yang begitu cepat sehingga belum sempat penonton mengimajinasikan hal-hal erotis, satu gerakan sudah berganti dengan gerakan tubuh yang lain. Yang terjadi adalah penonton menjadikan para penyanyi sebagai semacam “pemandu goyang” yang mereka lakukan. Kalau nilai-nilai moralitas dan agama hanya
digunakan
untuk
menertibkan
dan
membuat
masyarakat
sopan
dalam
ketertundukan dan kepatuhan yang alienatif, maka benar yang dikatakan Marx, mereka
Bergoyang, digoyang, dan menggoyang: Estetika dan potensi subversif dangdut koplo Jawa Timuran Ikwan Setiawan, Matimoer Institute
hanya akan menjadi candu-candu yang tidak mencerdaskan. Apa yang dilakukan oleh para penyanyi dangdut koplo adalah satu bentuk „kecerdasan‟ dalam memaknai potensi tubuh yang mereka miliki demi melangsungkan kehidupan mereka. Bahwa dengan perpaduan dinamis antara suara dan tubuh, para penyanyi lokal itu bisa memperoleh dan mencukupi kebutuhan hidup mereka; dengan tubuh mereka sendiri, dan bukan dengan cara korupsi atau menggunakan dalil-dalil agama untuk memperkaya diri sendiri. Kalau sudah seperti itu, siapa yang lebih mulia? Penonton: bergoyang, digoyang, dan menggoyang Di samping itu, goyang akrobatis para penyanyi bisa menjadi penanda akan semangat resistensi dari para penonton. Penonton pagelaran dangut koplo di Jawa Timur adalah generasi muda yang sehari-harinya bergelut dengan kehidupan yang keras. Para pekerja pabrik, para petani, maupun pemuda desa. Mereka adalah kelas subordinat yang berada dalam posisi marjinal karena pendidikan dan penghasilan yang diperoleh tidak memungkinkan bagi mereka untuk mengakses pagelaran-pagelaran elit, seperti orkestra. Mereka adalah generasi muda yang merasakan dan mengalami ketimpangan struktur sosial antara si kaya dan si miskin, antara penguasa dan yang dikuasai, antara keadilan dan ketidakadilan. Di sisi lain mereka setiao hari disuguhi pagelaran-pagelaran kemewahan generasi muda borjuis yang berlenggak-lenggok di mall/plaza, clubbing di diskotik maupun café. Kalaupun mereka bisa masuk ke plaza, itu hanya sebatas melihatlihat atau mencari diskon dengan barang yang sudah tidak dalam mutu terbaiknya lagi. Sementara untuk clubbing, jelas mereka kurang mampu. Dan, mereka oleh ajaran agama diwajibkan untuk menerima takdir tersebut. “Kalau semuanya kaya, nanti siapa yang miskin….agar
roda-roda
kehidupan
bisa
berputar
berjalan”,
begitulah
Rhoma
mengekspresikan dalam salah satu lagunya. Menonton pertunjukan
gratis
dangdut
koplo
menjadi
pilihan yang
sangat
rasionalistis untuk memenuhi hasrat estetik mereka: murah, meriah, berkeringat, dan bebas. Begitu para musisi memainkan instrumen dan para penyanyi menembangkan lagu sembari meliuk-liukkan tubuhnya, segera para penonton mengimbanginya dengan goyangan pula. „Pasukan goyang‟ mengikuti „keliaran‟ yang diekspresikan oleh para musisi dan para penyanyi. Celetukan-celetukan menggoda para penyanyi di sela-sela jedah lagu atau di tengah-tengah lagu, seperti “ginama asyik goyangnya?”, “apa masih kuat untuk digoyang”, “gimana yang di pojok sana, apa sudah puas?”, dan lain-lain, menjadi penanda
Bergoyang, digoyang, dan menggoyang: Estetika dan potensi subversif dangdut koplo Jawa Timuran Ikwan Setiawan, Matimoer Institute
semakin asyiknya pagelaran. Dengan demikian ada satu „formula‟ dalam terkait interaksi antara musisi, penyanyi, dan penonton, yakni: musisi memainkan musik; penyanyi bergoyang dan menggoyang penonton; penonton digoyang; dan, penonton ikut bergoyang dan menggoyang. Relasi antarsubjek yang ada dalam pagelaran dangdut koplo tampak sangat dinamis dalam hubungan sebab-akibat yang tampak natural dan spontan. Mengalir dalam irama kendang/ketipung yang terkesan tidak liar dengan hentakan-hentakannya. Penyanyi bergoyang dan menggoyang tidak hanya demi menghibur penonton dan penanggap. Ia bergoyang untuk memenuhi kebutuhan dan hasrat untuk melanjutkan kehidupan. Di satu sisi, ia menggoyang penonton dengan segala hasrat pembebasannya. Di sisi lain, ia ingin menggoyang kekangankekangan moralitas dan agama yang banyak menimbulkan ketimpangan atas nama takdir. Penonton bergoyang tidak hanya demi melihat liukan dan lekukan tubuh para penyanyi yang semakin „liar‟ ketika musik koplo semakin rancak. Mereka bergoyang untuk kebutuhan batin, untuk membebaskan ekspresi dan menikmati hiburan, di tengah-tengah kesuntukan dan ketidakadilan hidup yang mereka alami. Dengan berteriak, bersorai, sembari bergoyang, mereka ingin menggoyang ketidakadilan dan ketimpangan sosial yang mereka alami selama ini. Mereka ingin menggoyang segala tatanan normatif yang hanya membuat kehidupan mereka menderita. Dan kalaupun mereka tidak mampu melakukan subversi melalui gerakan sosial, melalui gerakan tubuh dalam pagelaran dangdut koplo-lah mereka bisa mengeskpresikan semua ketertindasan yang mereka rasakan. Memang, dalam praktik bergoyang dan menggoyang itu, sebagian penonton seringkali menenggak minuman beralkohol. Dalam setiap pagelaran dangdut koplo—atau pagelaran musik yang lain—aroma alkohol menjadi „semacam pelengkap‟ bagi perayaan akan kebebasan ekspresif. Namun yang harus dicatat adalah tidak semua penonton dangdut koplo mengkonsumsi alkohol. Dan mereka yang mengkonsumsi alkohol biasanya lebih digunakan untuk lebih menikmati goyangan, untuk bisa melayang-layang. Salah seorang teman dari Lamongan mengatakan bahwa ketika menenggak anggur lokal atau bir, ketika bergoyang bisa terasa entheng dan rileks, sehingga mereka bisa merasakan kenikmatan. Sama seperti para pengibing tayub menenggak bir untuk membuang rasa malu dan rileks ketika menari bersama tandak, penari. Terlepas dari bermacam motivasi yang ada, konsumsi alkohol, tidak harus menjadi justifikasi untuk mengatakan penonton
Bergoyang, digoyang, dan menggoyang: Estetika dan potensi subversif dangdut koplo Jawa Timuran Ikwan Setiawan, Matimoer Institute
tidak bermoral. Meskipun terkadang karena pengaruh alkohol bisa menimbulkan tawuran antarpenonton. Yang harus diperhatikan adalah banyak kompleksitas masalah yang menjadikan peristiwa-peristiwa negatif tersebut hadir di tengah-tengah pagelaran. Mereka adalah korban segala kebobrokan sistem yang dibangun di negeri ini dengan beragam kecurangan dan ketidakadilannya. Mereka yang selama ini dicekoki dengan ajaran moralitas dan agama, tetapi di sisi lain, mereka melihat ketidakmampuan tokoh-tokoh agama dalam memberikan contoh-contoh bijak. Apakah mereka patut disalahkan? Para musisi, penyanyi, dan penonton, dalam pagelaran dangdut koplo memang sampai saat ini belum menggunakan kekuatan estetik mereka untuk menciptakan gerakan massif demi merubah ketimpangan masyarakat. Mereka selama ini lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan ekonomi dan kebutuhan ekspresif untuk membebaskan diri dari kekangan dan tekanan sosial. Sampai saat ini belum ada kekuatan politik yang benarbenar mampu menggerakkan „keliaran‟ musik dan penonton yang jumlahnya dalam satu kali pagelaran bisa mencapai ratusan bahkan ribuan. Memang mereka banyak dimanfaatkan parpol, calon bupati/gubernur/presiden untuk menggaet suara. Namun, kehadiran mereka di tengah-tengah kampanye tidak bisa dijadikan penanda bagi pilihan politik mereka. Seandainya muncul kekuatan politik alternatif yang secara sistematis mampu mengorganisir penonton, sangat mungkin, dangdut koplo bisa menjadi senjata bagi gerakan sosio-politik yang ampuh, asal semua itu ditujukan untuk kepentingan perbaikan sistem sosio-politik di negeri yang carut-marut ini. Tetapi kalau semua ditujukan untuk kepentingan politik sesaat dan untuk semata-mata untuk kekuasaan elit tertentu, niscaya semua itu tidak akan berhasil karena para penonton saat ini sudah mempunyai pilihanpilihan logis dalam memberikan aspirasi politiknya. Memposisikan dangdut koplo dalam kajian budaya: simpulan Adalah satu realitas yang tragis ketika melihat kecenderungan kajian akademis kebudayaan yang berkembang di Indonesia yang sampai saat ini yang belum begitu banyak menyentuh pagelaran dangdut maupun dangdut koplo. Kesukaan untuk lebih memilih tema-tema kajian seni pagelaran tradisional menjadi ciri utama para pengkaji budaya di Indonesia saat ini. Dangdut koplo seperti masih menjadi „tabu‟ yang tidak begitu perlu dibahas karena tidak mempunyai nilai estetik sepertihalnya kesenian-kesenian tradisional. Sepertinya berkembang semacam asumsi bahwa dangdut koplo bukanlah „anak
Bergoyang, digoyang, dan menggoyang: Estetika dan potensi subversif dangdut koplo Jawa Timuran Ikwan Setiawan, Matimoer Institute
sah‟ kebudayaan Indonesia. Kebudayaan Indonesia dibayangkan sebagai kebudayaan yang berisi nilai-nilai keluhuran dan bukan sesuatu yang kasar. Rupa-rupanya, paradigma kebudayaan tinggi sebagai nilai yang mampu dan harus ditransformasikan secara terusmenerus kepada semua pendukung kebudayaan. Sungguh sebuah kenaifan yang luar biasa. Bagaimanapun juga, kebudayaan Indonesia yang kita agung-agungkan saat ini bukanlah nilai dan bentuk yang selamanya baik. Artinya, selalu ada celah-celah untuk dikritisi karena begitu banyaknya kepentingan yang ada di dalamnya, termasuk kepentingan kuasa yang secara halus masuk ke dalam bentuk-bentuk estetik. Kesenian keraton adalah salah satu bentuk estetik yang sarat kepentingan kuasa, dari jaman kolonial hingga saat ini. Sudah saatnya budaya-budaya yang berada di wilayah periperal, seperti dangdut koplo, mendapatkan perhatian akademisi maupun budayawan. Karena dalam praktikpraktik yang ada di dalamnya, banyak terdapat kreasi, negosiasi, dan resistensi yang harus selalu dikaji dan dikritisi, dan bukannya dijauhi. Beragam kepentingan bisa didapatkan dari sebuah pagelaran dangdut koplo. Itulah realitas kebudayaan kita hari ini. Kebudayaan yang dipenuhi dengan ragam subkultur, dari desa hingga kota, yang harus dibaca dalam konteksnya masing-masing. Mereka juga berhak untuk diperlakukan sebagai salah satu bagian yang mengambil peran dalam perwujudan mozaik multikultural Indonesia ini. Dengan memposisikan dangdut koplo sebagai salah satu bidang kajian, maka para pengkaji budaya tidak akan terjebak dalam elitisme kajian, tetapi bisa masuk, merasakan, mendalami, dan mengkritisi apa yang sebenarnya terjadi dalam wujud dan praktik eskpresi masyarakat di lapisan bawah hari ini. Keterangan Tulisan ini merupakan tugas matakuliah sewaktu saya menempuh kuliah S2 di Kajian Budaya dan Media UGM. Tugas dibuat tahun 2007. Bacaan pendukung Bennet, Tony.1986. “The Politics of „the popular‟ and popular culture”, dalam Tony Bennet, Colin Mercer, and Janet Woollacott (eds). Popular Culture and Social Relations. Philadelpia: Open University Press.
Bergoyang, digoyang, dan menggoyang: Estetika dan potensi subversif dangdut koplo Jawa Timuran Ikwan Setiawan, Matimoer Institute
Boggs, Carl.1984. “The Theory of Ideological Hegemony” dalam The Two Revolution: Gramsci and the Dilemas of Western Marxism. Boston: South End Press. Carlson, Marvin.1998. Performance: A Critical Introduction. London: Routledge. Clarke, J.1976. “Style”, dalam Stuart Hall & T. Jefferson (eds). Resistence through Rituals: Youth Subcultures in Post-War Britain. London: Hutchinson. Frederick, William H.1997. “Goyang Dangdut Rhoma Irama: Aspek-aspek Kebudayaan Pop Indonesia”, dalam Idy Subandy Ibrahim. Lifestyle Ecstacy, Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Jalasutra. John Storey.1993. An Introductory Guide to Cultural Theory and Popular Culture.Hertfordshire: Harvester Wheatsheaf. Willis, Paul.1900. Common Culture. Keynes: The Open University Press.