Digitally signed by Institut Teknologi Bandung DN: cn=Institut Teknologi Bandung, o=Digital Library, ou=UPT Perpustakaan ITB,
[email protected], c=ID Date: 2013.06.13 14:38:41 +07'00'
BAB III Metodologi Dalam penelitian ini akan dilakukan dua analisis besar, yaitu kajian dinamika atmosfer dan simulasi numerik kejadian curah hujan ekstrim kejadian banjir tahun 2002 dan 2007 di DKI Jakarta. Secara umum metoda yang digunakan adalah analisis exploratif terhadap data pengamatan dan penggunaan data final analysis (FNL) untuk kajian numerik. Sebagai kelengkapan dan validasi dilakukan review terhadap hasil-hasil penelitian sebelumnya yang terkait dan mendukung.
Kajian dalam dinamika atmosfer antara lain, melakukan identifikasi awan konvektif. dengan analisis data indeks sunspot, Multivariat ENSO Index (MEI) dari data Sea Surface Temperatur (SST), Dipole Mode Index (DMI), Outgoing Longwave Radiation (OLR), citra GMS-GOES-MTSAT kanal IR1 dan curah hujan. Analisis ini diharapkan dapat memberikan pola variasi temporal dan spasial dari aktivitas konveksi di Jakarta.
Kajian numerik dilakukan dengan simulasi pembentukan awan melalui penerapan model dinamika awan untuk kasus-kasus ekstrim yang berkaitan dengan peristiwa banjir besar di DKI Jakarta. Dalam hal ini simulasi dilakukan dengan model WRF menggunakan data final analysis (FNL) dari National Center for Environmental Prediction (NCEP) yang merupakan data global. Hasil keluaran model WRF berupa parameter meteorologi yang mewakili kondisi saat kejadian curah hujan ekstrim.
Hasil keluaran model di atas selanjutnya dilakukan sebagai parameter masukan perhitungan numerik model penyemaian awan dengan teknologi modifikasi cuaca Ground Based Generator (GBG). Proses perhitungan numerik dilakukan dengan membangun program berdasarkan fenomena persamaan aliran yaitu persamaan difusi. Proses difusi yang terjadi adalah difusi konsentrasi yang merupakan proses pencampuran bahan-bahan yang berbeda akibat gerakan acak komponen atom, molekul dan ion. Model ini cukup baik digunakan untuk menghitung pola pemindahan material (Smith dan Hunt, 1978).
30
III.1
Data
III.1.1 Indeks Sunspot Mekanisme efek siklus 11-tahunan aktivitas matahari terhadap variabilitas iklim khususnya curah hujan, memiliki variabilitas yang besar di wilayah Indonesia. Dugaan sementara bahwa adanya keterkaitan yang kuat antara flare matahari, lontaran massa korona (Coronal Mass Ejection) dan fluks sinar kosmik galaksi (Galactic Cosmic Ray Flux) terhadap perubahan iklim di daerah Indonesia. Korelasi kuat antara fluks sinar kosmik dan total tutupan awan global dilintang tengah dan kutub menunjukkan bahwa awan dapat menjadi penghalang masuknya irradiansi, hal tersebut mengakibatkan pendinginan di permukaan. Lontaran massa korona melalui mekanisme tak langsung/secara induksi dapat mengubah maksimum dan minimum curah hujan tahunan melalui gejala El Niño-Southern Oscillation (ENSO). Flare matahari dapat menimbulkan variasi suhu permukaan global melalui mekanisme termal langsung dari aktivitas matahari. Sehingga panjang siklus matahari 11-tahunan dimungkinkan merupakan penyebab utama variasi iklim di daerah kepulauan Indonesia (Liong et al., 2007). Data Indeks Sunspot diperoleh dari: http://www.ngdc.noaa.gov/STP/SOLAR\DATA/
III.1.2 Temperatur Muka Laut (SST=Sea Surface Temperature) dan DMI Adanya anomali gejala alam El Niño ataupun La Niña, telah menimbulkan perubahan pola angin musim di wilayah Indonesia dan sekitarnya. Efek tersebut mengakibatkan kondisi musim, baik hujan dan kemarau cenderung berubah. Indikasi perubahan tersebut yaitu, durasi musim kemarau makin panjang dan musim hujan makin pendek (Diaz et al., 2001). Pencerminan karakteristik kejadian interaksi atmosfer dan lautan digabungkan dalam suatu indeks secara multivariat dari El Nino-South Oscillation (ENSO) yang disingkat sebagai Multivariat ENSO Index (MEI).
Perbedaan Sea Surface Temperature (SST) ini yang menyebabkan adanya anomali positif di sebelah barat dan anomali negatif di sebelah timur membentuk dua kutub, positif dan negatif, di Samudera Hindia yang kemudian disebut sebagai Dipole Mode Event (DMI) atau Indian Ocean Dipole (IOD). Kejadian IOD
31
direpresentasikan dengan satu indeks yang diberi nama Dipole Mode Index (DMI), yaitu perbedaan SST di bagian barat Samudera Hindia (500 – 700 BT, 100 LS – 100 LU) dan SST di bagian timur Samudera Hindia (900 – 1100 BT, 100 LS – ekuator). Data SST diperoleh dari: http://www.bom.qov.au/climate/enso
III.1.3 Curah Hujan Fenomena monsun untuk daerah tropis sangat dominan, kejadianya berlangsung secara kontinyu sepanjang tahun. Dalam penelitian ini dilakukan analisis data curah hujan pentad DKI-Jakarta kurun waktu 1990-2007 dengan model Transformasi Wavelet. Transformasi yang dilakukan oleh model ini yaitu dari data time series curah hujan sedemikian sehingga diperoleh periodisitas waktu. Hasil periodisitas tahunan spektral wavelet curah hujan mengindikasikan kejadian monsun. Sumber data curah hujan BMKG.
III.1.4 OLR (Outgoing Longwave Radiation) Tehnik estimasi curah hujan dengan data OLR dapat dipakai dengan baik untuk daerah tropis, karena fluks dari OLR di daerah ini sangat dimodulasi oleh aktivitas awan konvektif tinggi, dimana sebagian besar curah hujan dihasilkan dari jenis awan tersebut. Jika ditinjau dari segi anomali OLR maka nilai yang rendah menunjukkan curah hujan (CH) tinggi/besar, sedangkan yang tinggi menunjukkan fenomena sebaliknya. OLR diukur dengan satuan (W/m2) yang merupakan data global dunia, dengan resolusi spasial 2,50 x 2,50. Tersedia dari tahun 1974 September 2007 dan terus ditambah. Resolusi temporal berupa rata-rata harian, dimana data diperoleh dari http://www.cdc.noaa.gov.
Analisis anomali OLR dapat digunakan sebagai parameter yang mengindikasikan kejadian Madden-Julian Oscillation (MJO) yang diidentifikasi sebagai pola spektrum angin zonal dan tekanan permukaan yang diamati di Pasifik. Penyebab dari variasi intra-seasonal, keterkaitan antara sirkulasi angin zonal di troposfer dengan pembentukan pusat konveksi skala besar di Lautan Hindia yang kemudian menjalar ke Timur melewati Indonesia menuju Pasifik. Teknik analisis ini digambarkan dalam suatu diagram yang disebut diagram Hovmoller. Selain
32
tersebut di atas, nilai OLR dapat dikonversi menjadi indeks konveksi dengan menggunakan rumus sederhana (Matsumoto dan Murakami, 2002): Ic
= 220 – OLR, OLR = 220 Wm-2 = 0, OLR > 220 Wm-2
(III.1)
III.1.5 Citra GMS-GOES-MTSAT kanal IR1 Data Infra merah (IR1), diperoleh dari pengukuran radiasi yang dipancarkan oleh permukaan dan atmosfer bumi serta puncak awan. Panjang gelombang (O) terletak di daerah 10-12 Pm, yaitu bertepatan daerah infra merah. Informasi yang diperoleh dari IR1 mengenai temperatur puncak awan yang dicirikan dengan indeks kecerahan dalam satuan pixel dan temperatur dalam satuan Kelvin (K). Inframerah merupakan energi panas yang menyatakan temperatur daratan, lautan atau temperatur puncak awan yang ada di atas permukaan bumi, dengan pola perbedaan tersebut merupakan gambaran dari kodisi temperatur terukur, baik terdapat tutupan awan atau tidak. Temperatur yang sangat dingin (warna biru) menunjukkan puncak awan yang sangat tinggi yang biasanya menunjukkan aktivitas konveksi yang sangat kuat.
Data tersedia di http://weather.is.kochi-u.ac.jp., dalam Format Portable Gray Map (PGM). Nilai parameter indeks konveksi untuk analisis data IR1 dipakai rumus sebagai berikut Houze et. al. (1981): Ic
= 0; Tbb = 240 = 240 – Tbb; Tbb < 240
III.2
(III.2)
Model Numerik
Penerapan model Weather Research and Forecast (WRF) untuk analisis dinamika awan hujan DKI Jakarta, dimana model WRF telah mengembangkan suatu generasi lanjutan (next-generation) model peramalan sistem asimilasi skala meso untuk membantu dalam pemahaman dan peramalan sistem skala meso tentang hujan. Model WRF merupakan model terbaru pengembangan dari model MM5 yang diaplikasikan dalam berbagai permasalahan dan mencakup beberapa kelebihan antara lain meliputi (Skamarock et al., 2005):
33
Model menggunakan koordinat vertikal mengikuti terrain, tekanan-hidrostatik dengan model puncak permukaan tekanan konstan. Grid horizontal adalah Arakawa-C grid.
Skema integrasi waktu model menggunakan skema Runge-Kutta orde ketiga, dan diskritisasi spasial menggunakan skema orde kedua dan keenam.
Model mendukung baik aplikasi ideal maupun data real dengan bermacam pilihan kondisi lateral dan batas atas.
Perhitungan mikrofisika (microphysics)
Parameterisasi awan cumulus (cumulus parameterization).
Model WRF memerlukan input yaitu data NCEP global analysis (FNL). Beberapa program berikutnya yang diperlukan untuk membuat batas (domain-domain) daerah penelitian, baik dalam program WRF Pre-Processing System (WPS) maupun WRF dengan menu Ndown.exe dalam Namelist editor program tersebut. Untuk dapat melakukan operasional program model WRF, dimana tergabung dalam dua program yaitu WPS dan WRF kemudian diperoleh hasil output WRF. Selanjutnya dari hasil tersebut diolah dengan program convert to grads, untuk memperoleh hasil numerik dalam format GrADS (Skamarock et al., 2005 dan Fovell, 2004).
III.2.1 Final Analysis (Final Global Data Assimilation System (FNL)) Sebagaimana tersebut di atas, sebagai input data pada model WRF diperlukan data Final Global Data Assimilation System (FNL), merupakan data operasional dari National Centers for Environmental Prediction (NCEP). Data FNL berada antara daerah 900 LU – 900 LS, 00 BT – 3600 BT dengan resolusi 10 x 10, dengan format data adalah WMO GRIB1 data tersedia dalam 6 jam-an untuk waktu 00Z, 06Z, 12Z dan 18Z tiap hari. Simulasi awal dilakukan untuk melihat pola pertumbuhan konveksi dan pola curah hujan saat tejadinya curah hujan ekstrim tahun 2007. Daerah simulasi dibagi menjadi tiga domain; domain 1 resolusi 30 km, domain 2 resolusi 10 km, domain 3 resolusi 5 km. Domain 1 dan 2 menggunakan nesting 2 arah, sedang domain 3 dijalankan terpisah (offline nesting). Penentuan skema Parameterisasi mikrofisika, dilakukan dengan skema WRF Single-Moment 6-class
34
(WSM6) (Hong and Pan, 1996). Hal ini dilakukan dengan dasar penelitian sebelumnya dan asumsi proses konveksi dapat ditentukan dari proses mikrofisika (Nurjana, 2007).
III.2.2 Data radiosonde dan Data lain. Penentuan syarat batas dan syarat awal permodelan sangat diperlukan, sedemikian sehingga hasil yang diperoleh merupakan pola yang mewakili kondisi daerah penelitian, dalam hal ini DKI-Jakarta. Perlakuan awal dari data FNL untuk memperoleh syarat batas dan syarat awal yang sesuai dengan DKI-Jakarta, yaitu dengan memvalidasi data FNL dengan data radiosonde. Data radiosonde yang mewakili DKI-Jakarta diperoleh dari stasiun pengamatan BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) Cengkareng–Jakarta (60,11! LS, 1060,65! BT), dengan durasi bulan Januari-Februari 2002, dan Januari-Februari 2007. Selain data tersebut di atas dalam penelitian ini diperlukan data curah hujan DKIJakarta dan Bandung yang diperoleh dari BMKG dan BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) bidang UPTHB (Unit Pelayanan Teknis Hujan Buatan) terutama untuk kondisi meteorologi daerah Citeko Bogor, sebagai validasi model Ground Based Generator (GBG).
III.3
Metoda Permodelan Penyemaian Awan
III.3.1 Model Perpindahan Bahan Semai (Seeding Agent) ke udara Secara umum, perpindahan yang banyak dijumpai pada fenomena fisis adalah perpindahan momentum dalam medium bergerak, perpindahan energi, partikel panas dan perpindahan bahan atau dinamakan memenuhi persyaratan hukum kekekalan Momentum, Energi dan Massa (Boeker, 1994). Model perpindahan yang dipergunakan untuk mendiskripsikan fenomena dispersi bahan penyemai adalah model-K (Baumbach, 1996):
wC wt
v x y zC K x, y,z 2C Ri (c1, c 2 ,...c n ) Si ( x, y, z, t )
35
(III.3)
dengan: -Q
x,y,z
C
:Suku adveksi
K x,y,z 2C
:Suku difusi
C
:Konsentrasi bahan semai (mg/m3)
K x,y,z
:Koefisien difusi bahan semai (m2/s)
Q
:Kecepatan angin (m/s)
x,y,z
R i (x,y,z,t)
:Laju reaksi kimia (mg/ m3s)
S i (x,y,z,t)
:Kekuatan emisi dari sumber (mg/ m3s)
:Operator del
§ w w w· : ¨¨ i j k ¸¸ wy wz ¹ © wx
Untuk
model
perpindahan
partikulat,
dalam
penyusunan
model
perlu
memperhatikan ukuran partikulatnya. Ukuran partikulat <10 µm model persebaran distribusi partikulat mengikuti persamaan (III.3), ukuran partikulat >10 µm model perpindahan partikulat akan dipengaruhi oleh faktor gravitasi sehingga terdapat koreksi dari persamaan (III.3) menjadi:
wC wt
§ wC · § wC · § wC · ¸¸ v z r gt ¨ v x ¨ ¸ K x, y,z 2C Ri (c1, c 2 ,...c n ) Si ( x, y, z, t ) ¸ v y ¨¨ © wz ¹ © wx ¹ © wy ¹
(III.4)
dengan : g
: konstanta gravitasi (m/s2)
t
: periode angin (s)
III.3.2 Model Beda Hingga Metode yang dipergunakan untuk menyelesaikan model-K (persamaan III.3) adalah metode numerik beda-hingga. Objek dari metode beda-hingga adalah menyajikan kekontinuan dalam ruang dan waktu menjadi sekelompok titik diskret
36
yang berjarak tertentu. Metode beda hingga dapat dituliskan dalam bentuk persamaan umum: f ( xi 1 ) f ( xi ) 0( xi 1 xi ) xi 1 xi
f ' ( xi )
(III.5)
Solusi penyelesaian metode beda hingga dapat dituliskan dalam bentuk matrik. Untuk menghasilkan suatu penyelesaian persamaan dengan metode beda hingga yang valid maka harus mengikuti kriteria stabilitas dan konvergensi persamaan (Smith, 1996). Objek dasar dari metode pendekatan beda hingga adalah menyajikan kekontinuan dalam ruang dan waktu menjadi sekelompok titik-ttik diskret yang berjarak tertentu. Persamaan aljabar terpisah dipergunakan untuk mendekati persamaan differensial parsial melalui titik diskret tersebut. Langkah pertama yang dilakukan adalah mendefinisikan sekelompok diskret yang berjarak tertentu, yang mengacu pada sistem titik grid. Bentuk kekontinuan sumbu x, yang terbagi beberapa titik dengan jarak yang sama antar titik, titik variabel ini merupakan titik grid. Nilai variabel dari tiap grid dinotasikan dengan subscript l dan dinyatakan sebagai: x l =l('x)
(III.6)
Dengan 'x jarak antar grid yang berurutan. Subscript l merupakan nilai integer dari 0 sampai L+1, dengan L jumlah total titik-titik grid internal dalam [0,1]. Hubungan antar titik-titik grid bersebelahan adalah: x l+1 = x l +'x x l-1 = x l -'x
(III.7)
Maka untuk fungsi U(x) pada x=x l , l=0,1..L+1 dapat dinotasikan sebagai : u(x)=u l Pendekatan beda hingga dapat dilakukan dengan ekspansi deret Taylor (Hornbeck,1975):
u x 'x
d 2u 'x d 3u 'x du 'x u x dx 2 2! dx 3 3! dx 2
37
3
(III.8)
Persamaan (III.7) dapat dituliskan dalam bentuk: § d 2u · 'x § d 3u · 'x § du · ¨ ul ¨ ¸ 'x ¨ ¸ ¸ © dx 2 ¹l 2! © dx 3 ¹l 3! © dx ¹l 3
2
ul 1
(III.9)
III.3.3 Penyelesian Numerik Persamaan Dispersi Sebaran Bahan Semai Persamaan (III.3) penyemaian awan :
wC wt
Q C k 2C Ri (c1 , c2 ,...cn ) Si ( x, y, z , t )
(III.10)
Dengan metode beda-hingga maka solusi umum persamaan penyemaian awan dengan model-K menjadi: l 1
l
i, j
i, j
C C
Q x
't
kx
C
l i 1, j
C
l
Ci, j l
i 1, j
'x
2 C i , j C i1, j l
'x
Q y
l
C
ky
2
C
l i , j 1
l
Ci, j l
i , j 1
Q z
'y
2 C i , j C i , j 1 l
'y
C
l
l
2
kz
Ci, j l
i , j 1
'z
C
l
2 C i , j C i , j 1 l
i , j 1
'z
l
2
S
(III.11) Bila disederhanakan dengan: O x =Q x 't/'x
O y =Q y 't/'y
O z =Q z 't/'z
D x =K't/'x2
D y =K't/'y2
D z =K't/'z2
Maka diskretisasi persamaan (III.11) menjadi:
C
l 1 i, j
1 O
O y Oz
x
1
2
>O
1
2
>O
C
y
Oy
C
i , j 1
z
Oz
C
i , j 1
Dx
>C
i 1, j
Dz
>C
i , j 1
l
m
l
l
l i, j
1
>O 2
Oy Oy
Ox
@
l i 1, j
O x O x C i1, j l
@
l
i , j 1
l
l
C
C @
O z O z C i , j 1
2 C i , j C i1, j D y l
x
>C
l i , j 1
@
2 C i , j C i , j 1 l
l
@
@
2 C i , j C i , j 1 S i , j 't m
m
(III.12)
38
III.3.4 Syarat Awal a.
Sumber Ground Based Generator (GBG) diasumsikan sebagai sumber titik.
b.
Parameter meteorologi berupa arah dan kecepatan angin, temperatur vertikal hasil keluaran program WRF sebagai masukan program.
c.
Parameter transformasi kimia diasumsikan tidak ada, karena belum tersedia data.
III.3.5 Syarat Batas Konsentrasi bahan semai dipuncak GBG sebagai input awal dari konsentrasi bahan semai, dengan asumsi konsentrasi terukur termasuk konsentrasi latar (back ground).
III.4
Metoda Penelitian
III.4.1 Dinamika Awan Pengamatan awal dari penelitian ini adalah dengan menganalisis pola dinamika awan DKI-Jakarta pada waktu banjir besar terjadi yaitu tanggal 28 – 29 – 30 Januari 2002 dan tanggal 31 Januari, 1 – 2 Februari 2007.
Analisis dinamika awan diawali dengan melihat dari efek global, yaitu; ¾
Pengamatan keterkaitan aktivitas matahari dan fluks sinar kosmik dengan tahun banjir, curah hujan reanalisis serta tutupan awan daerah Jakarta
Kemudian analisis dinamika awan dari pengaruh efek regional (sinoptik) yaitu; ¾
Pengamatan Madden Julian Oscillation (MJO) dari anomali data angin zonal, tekanan permukaan dan Outgoing Longwave Radiation (OLR).
¾
Pengamatan pola monsun aktif dari perhitungan data curah hujan DKIJakarta periode tahun 1990 – 2007 dengan model Transformasi wavelet.
¾
pengaruh El Nino-Southern Oscillation (ENSO) dalam data Multivariat ENSO Index (MEI) serta Dipole Mode Index (DMI).
¾
Perbandingan kejadian hujan ekstrim dari efek global maupun regional terhadap curah hujan Bandung, tahun 2002 dan 2007.
39
Dinamika awan dari pengaruh efek lokal dan karakteristiknya; ¾
Pengamatan kejadian vortex dan precipitable water dari analisis vektor angin data FNL.
¾
Pengamatan regional tutupan awan data infra red chanel 1 (IR 1).
¾
Perhitungan Indeks konveksi dari data OLR dengan persamaan III.1.
¾
Perhitungan indeks konveksi dari data IR1 untuk domain lokal DKIJakarta.
III.4.2 Simulasi WRF (Weather Research and Forecast) Satu kesatuan dari tiga program yang saling terkait, dilakukan untuk melakukan perhitungan dengan model WRF. Langkah awal proses dalam penelitian ini adalah penyediaan kluster komputer yang dapat disesuaikan dengan mode menu yang ada di program WRF tersebut.
Simulasi dengan model WRF dimulai dengan: ¾
Parametrisasi program WRF Pre-Processing System (WPS), dengan melakukan masukan batas daerah penelitian untuk 3 Domain; domain 1 resolusi 30 km, domain 2 resolusi 10 km, domain 3 resolusi 5 km. Domain 1 dan 2 menggunakan nesting 2 arah, sedang domain 3 dijalankan terpisah (offline nesting). Daerah domain simulasi terdapat pada Gambar IV.16.
¾
Parameterisasi uji untuk proses mikrofisika adalah skema WRF SingleMoment 6-class (WSM6), parameter ini telah dilakukan uji penelitian sebelumnya (Nurjana, 2007) dan perbandingan hasil penelitan yang dilakukan oleh Chungang dan Guo (2006) untuk parameter Thompson pada model yang sama (WRF).
¾
Validasi data FNL sebagai pengujian data masukan terhadap syarat batas dan syarat awal model, dilakukan dengan perbandingan data T (temperatur), RH (kelembapan relatif) arah angin dengan data radiosonde. Sebagai validasi digunakan data radiosonde stasiun Cengkareng-Jakarta
40
(1060.65! BT, 60.11! LS) dengan asumsi mewakili syarat batas daerah penelitian. ¾
Validasi hasil keluaran WRF dengan data radiosonde, hal ini dilakukan sebagai uji hasil model. Hasil keluaran model WRF yaitu vektor angin, posisi awan hujan dan perubahan temperatur vertikal sebagai parameter masukan model difusi GBG.
III.4.3 Simulasi Model difusi GBG (Ground Based Generator) Rancangan model GBG sebagai model penyemaian awan, dibangun dari persamaan difusi transport massa. Secara fisis model penyemaian awan dari persamaan difusi tersebut cukup terwakili. Hal ini telah dilakukan oleh Yu dan Dai (2005) untuk kasus yang sama.
Langkah simulasi yaitu; ¾
Parameter masukan dari hasil model WRF, yang merupakan parameter kondisi meteorologi daerah penelitian. Data yang diperlukan adalah vektor angin, posisi dan pola awan serta perubahan temperatur vertikal sekaligus sebagai parameter stabilitas udara.
¾
Parameter konsentrasi bahan semai sebagai masukan program, dengan menghitung data pengukuran kandungan unsur dari bahan semai berupa flare, data diperoleh dari BPPT UPTHB.
¾
Melakukan variabilitas waktu simulasi, sehingga diperoleh hasil penyemaian konsentrasi bahan semai yang sampai kedasar awan. Hasil besaran konsentrasi bahan semai diasumsikan sebagai inti kondensasi awan, kemudian dilakukan perhitungan parameterisasi cumulus (model WRF) untuk melihat hasil curah hujan sebelum dan sesudah disemai.
¾
Validasi hasil dengan hasil perhitungan numerik penyemaian awan menggunakan model WRF.
41
III.4.4 Diagram Alir Penelitian
MULAI Parameter Cuaca (Data FNL)
Data radiosonde
Validasi syarat batas dan syarat awal
Tidak
Ya Model WRF (Weather Research & Forecast)
Data radiosonde
Validasi Hasil Kec. Angin v,u, RH & T
Tidak
Ya V dan T masukan parameter Model penyemaian awan
Hasil perhitungan penyemaian dengan model WRF
Validasi Hasil Model penyemaian awan Ya Analisis Hasil SELESAI
Gambar III.1 Diagram alir penelitian
42
Tidak