III. EMISI METANA PADA TERNAK RUMINANSIA DAN HIJAUAN POTENSIAL RENDAH EMISI METANA Methane Emission from Ruminant and the Methane Emission Potency from Fibrouse Source Feed Damry Fakultas Peternakan, Universitas Tadulako Kampus Bumi Tadulako Tondo, Palu, Sulawesi Tengah
[email protected]
ABSTRACT One of the challenges currently faced by ruminant livestock farming is to reduce methane gas produced during microbial fermentation of feeds in the rumen. Methane is produced by the methanogens microorganism and it is a natural mechanism to maintain a supportive rumen condition for a continuous fermentation process. Most of the methane produced is released into the environment through eructation, contributing to reduction of environmental quality as well as reducing the efficiency of feed energy utilization. Attempts are underway to reduce methane production in ruminants, including the use of feeds that contain secondary compounds such as tannin and saponin. In vitro experiments generally show positive results in methane reduction due to the use of feed plants containing secondary compounds, but in vivo or on farm are rarely done. To realise methane mitigation from ruminants, methane reduction technology and approach should be applicable in the field under the targeted ruminant farming system. In Indonesia where the majority of ruminants are kept by small-scale holders, methane emission strategy offered should be technically and economically adoptable by them. Key Words: Gas, Methane, Ruminant, Forage ABSTRAK Upaya untuk menurunkan emisi gas metana dari enterik fermentasi menjadi fokus sektor peternakan saat ini. Gas metana yang terbentuk di dalam rumen dihasilkan oleh mikroorganisme metanogen, dan merupakan mekanisme alamiah untuk menjaga agar kondisi rumen tetap kondusif untuk kelangsungan fermentasi. Sebagian besar 37
Potensi Bahan Pakan Lokal
gas metana dikeluarkan oleh ternak melalui eruktasi, berkontribusi terhadap penurunan kualitas lingkungan dan efisiensi penggunaan energi pakan. Upaya terus dilakukan untuk menurunkan emisi metana ternak ruminansia, termasuk penggunaan bahan pakan yang mengandung senyawa sekunder seperti tanin atau saponin. Penelitian in vitro umumnya menunjukkan bahwa penggunaan bahan pakan tersebut menurunkan emisi metana. Penelitian in vivo atau on farm masih belum banyak dilakukan. Agar penurunan emisi metana bisa direalisasikan, teknologi dan pendekatan yang dihasilkan harus bisa diterapkan pada sistem peternakan yang menjadi target. Di Indonesia, peternakan ruminansia sebagian besar dikuasai oleh peternak rakyat, dan strategi pengurangan emisi metana yang ditawarkan adalah yang dapat diterima oleh peternak secara teknis dan ekonomis. Kata Kunci: Gas, Metana, Ruminansia, Hijauan
A. PENDAHULUAN Salah satu tantangan yang dihadapi dunia peternakan dalam abad ini adalah adanya gas rumah kaca, yaitu metana (CH4) dan karbondioksida (CO2) yang dihasilkan selama proses pencernaan pakan di dalam saluran pencernaan. Gas fermentasi dihasilkan baik oleh ternak ruminansia maupun nonruminansia, tetapi jumlah gas yang dihasilkan oleh ternak ruminansia lebih besar dibandingkan dengan ternak nonruminansia. Pada ternak ruminansia, gas yang dihasilkan merupakan produk akhir dari pencernaan fermentatif bahan pakan oleh mikroorganisme rumen, disamping asam lemak mudah menguap (volatile fatty acids, VFA), amonia, karbondioksida, hidrogen dan sel mikroba. Sebagian besar gas yang dihasilkan dalam proses pencernaan oleh mikroba rumen dikeluarkan oleh ternak ke lingkungan melalui eruktasi. Gas tersebut berkontribusi terhadap penurunan kualitas lingkungan melalui efek rumah kaca. Gas yang dihasilkan juga mencerminkan pembuangan energi dari pakan yang dikonsumsi oleh ternak. Gas CH4 dan CO2 adalah gas yang berkontribusi terhadap efek rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global akibat meningkatnya suhu bumi. Potensi pemanasan global CH4 38
Emisi Metana pada Ternak Ruminansia
adalah 21 kali lebih tinggi dibandingkan dengan CO2 (UNFCCC 2006), sehingga emisi CH4 oleh aktivitas peternakan ruminansia menjadi fokus perhatian para ahli. Kontribusi ternak ruminansia terhadap emisi metana adalah 15% dan dari total emisi metana (Moss et al. 2000). Kontribusi ini diperkirakan akan terus meningkat mengingat kecenderungan peningkatan populasi ternak ruminansia, khususnya di negara-negara berkembang. Herrero et al. (2008) dan Thornton et al. (2009) menyatakan bahwa sebagian besar peningkatan jumlah ternak kambing dan domba di masa yang akan datang terjadi di negara-negara berkembang. Pada ternak ruminansia, gas metana yang dihasilkan dari fermentasi bahan organik di dalam rumen dan dikeluarkan dari tubuh juga merupakan kehilangan sebagian energi dari pakan. Sekitar 2-15% dari energi kasar pakan hilang dalam bentuk metana (Holter dan Young 1992). Oleh karena itu, emisi metana yang rendah pada ternak ruminansia tidak saja mengurangi kontribusi ternak tersebut terhadap penurunan kualitas lingkungan tetapi juga meningkatkan efisiensi penggunaan nutrien. Upaya terus dilakukan untuk mencari solusi dan strategi terbaik dalam menurunkan emisi metana ternak ruminansia tanpa harus menurunkan populasi atau mengorbankan produktivitas ternak yang ada. Untuk kondisi peternakan ruminansia di Indonesia yang sebagian besar dikuasai oleh peternak rakyat, solusi penurunan emisi metana melalui penggunaan pakan rendah emisi metana dapat dijadikan sebagai fokus perhatian. Tulisan ini memaparkan mekanisme proses pembentukan metana di dalam rumen, upaya yang telah ditempuh dalam menurunkan produksi metana ternak ruminansia, pakan potensial rendah emisi metana dan strategi mitigasi metana dari ternak ruminansia pada level peternakan rakyat di Indonesia.
39
Potensi Bahan Pakan Lokal
B. MEKANISME PEMBENTUKAN METANA DI DALAM RUMEN Hasil akhir fermentasi bahan organik pakan oleh mikroorganisme yang ada di dalam rumen adalah asam lemak mudah menguap (volatile fatty acids, VFA), sel mikroba, amonia, hidrogen (H2), dan gas karbondikosida (CO2) dan metana (CH4). Hidrogen yang dihasilkan selama proses fermentasi tidak pernah terakumulasi hingga pada level yang menimbulkan efek negatif bagi lingkungan dan fermentasi rumen sebab H2 segera digunakan untuk mereduksi CO2 menjadi CH4. Proses pembentukan metana dilakukan oleh mikroorganisme metanogen, salah satu konsorsium mikroorganisme rumen (disamping bakteri, protozoa, dan fungi). Mikroorganisme metanogen adalah pengguna dominan H2 di dalam rumen, mencerminkan fungsi pentingnya dalam proses pencernaan fermentatif secara keseluruhan dari bahan organik pakan di dalam rumen. Terdapat beberapa kelompok mikroorganisme selain metanogen yang dapat juga menggunakan H2 sebagai substrat seperti asetogen (pembentuk asetat), pereduksi sulfat, preduksi nitrat, dan pereduksi fumarat namun dalam kondisi rumen yang normal penggunaan H2 untuk pembentukan metana oleh metanogen merupakan jalur yang utama. Hal ini disebabkan karena ketidakmampuan mikroorganisme lain untuk berkompetisi dengan metanogen dalam menggunakan H2. Sebagai contoh, Morgan et al. (1994) menemukan bahwa asetogen yang muncul di dalam rumen pada saat ternak baru dilahirkan segera menghilang seiring dengan munculnya metanogen, yang menunjukkan bahwa asetogen tersebut tidak mampu bersaing dengan metanogen dalam menggunakan H2 sebagai substrat. Pada ternak dewasa yang diberi pakan kaya konsentrat, populasi metanogen mencapai 107-108 cfu metanogen/g pada domba (Morvan et al. 1996) dan 108-109 cfu metanogen/g pada sapi (Leedle dan Greening 1988). 40
Emisi Metana pada Ternak Ruminansia
Selain menggunakan H2 dan CO2, metana dapat juga disintesis menggunakan format sebagai bahan baku, tetapi secara kuantitatif jumlah metana yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan dengan H2 dan CO2. Asam format yang terbentuk sebagai hasil antara pembentukan asam asetat lebih cepat diubah menjadi H2 dan CO2 dan hanya sekitar 15-20% dari total metana yang terbentuk menggunakan asam format (Hungate et al. 1970; Asanuma et al. 1999). Metanogenesis dengan memanfaatkan H2 yang dihasilkan oleh mikroorganisme produser sering diistilahkan dengan cross-feeding hidrogen (Wolin et al. 1997), mekanisme yang menyebabkan tekanan parsial hidrogen rumen selalu rendah meskipun dihasilkan dalam jumlah yang besar selama proses fermentasi. Cross-feeding hidrogen ini merupakan bentuk interaksi simbiosisme mutualistik mikroorganisme di dalam rumen, dan terutama diketahui dengan baik terjadi antara protozoa dan metanogen. Perlekatan metanogen secara fisik terhadap sel protozoa (Vogels et al. 1980) dianggap sebagai salah satu cara untuk menfasilitasi transfer hidrogen diantara keduanya. Lebih daripada itu, sel metanogen juga ditemukan di dalam sel protozoa (Finlay et al. 1994) dan membangun interaksi endosimbiosisme untuk memenuhi kebutuhannya akan H2. Reaksi yang menghasilkan dan menggunakan hidrogen di dalam rumen ditampilkan pada Gambar 5. Ketersediaan hidrogen di dalam rumen dipengaruhi oleh jalur fermentasi bahan pakan yang tergantung kepada jenis karbohidrat (struktural vs nonstruktural) dan proporsi masing-masing jenis karbohidrat tersebut. Jalur fermentasi yang menghasilkan hidrogen secara netto adalah pembentukan asetat dan butirat, dan hanya jalur pembentukan propionat yang mengonsumsi hidrogen. Oleh karena itu, pemberian pakan berbasis hijauan yang banyak mengandung karbohidrat struktural dan menghasilkan VFA dengan proporsi asetat yang tinggi pada umumnya meningkatkan produksi metana. Sebaliknya, penyertaan bahan 41
Potensi Bahan Pakan Lokal
pakan yang banyak mengandung karbohidrat nonstruktural meningkatkan proporsi molar propionat sehingga memberikan akseptor hidrogen alternatif dan dapat menurunkan produksi metana. Peningkatan proporsi konsentrat biji-bijian dalam ransum menjadi salah satu rekomendasi strategi penurunan emisi metana untuk beberapa manajemen pakan.
Gambar 5. Jalur fementasi untuk produksi metana di dalam rumen Sumber: Leng and Nolan (1984); Merchen (1988)
42
Emisi Metana pada Ternak Ruminansia
C. PENGURANGAN EMISI METANA DARI TERNAK RUMINANSIA Mengingat dampak negatif emisi metana dari ternak ruminansia terhadap penurunan kualitas lingkungan dan efisiensi penggunaan energi pakan, upaya terus dilakukan untuk mencari solusi terbaik dalam mengurangi produksi metana dari ternak ruminansia. Mekanisme pembentukan metana di dalam rumen seperti dijelaskan pada Gambar 5. Secara garis besar pendekatan yang dapat ditempuh untuk mengurangi emisi metana ternak ruminansia adalah menurunkan populasi dan atau aktivitas metanogen, mengurangi produksi hidrogen dan asam format oleh mikroorganisme rumen, atau menyediakan akseptor hidrogen alternatif. Produksi metana di dalam rumen dapat diturunkan secara langsung dengan menurunkan populasi metanogen atau menghambat aktivitas mikroorganisme tersebut, misalnya dengan vaksinasi, defaunasi, dan penggunaan lemak. Vaksinasi ternak ruminansia menggunakan vaksin dapat menstimulasi antibodi ternak untuk melawan metanogen dan menurunkan produksi metana (Wright et al. 2004; Williams et al. 2009). Hal yang penting diperhatikan untuk mendapatkan hasil yang terbaik dari penggunaan vaksin anti metana adalah: (1) Vaksin tersebut haruslah efektif terhadap semua spesies metanogen yang dijumpai di dalam rumen dan terhadap metanogen utama; (2) Metanogen tidak mengembangkan mekanisme resisten terhadap vaksin tersebut. Defaunasi umumnya memberikan hasil yang positif terhadap penurunan produksi metana di dalam rumen. Hal ini dapat dipahami mengingat simbiosisme yang erat antara protozoa dan metanogen, dan penurunan populasi protozoa akan menurunkan ketersediaan media untuk perlekatan sel metanogen dan sekaligus penurunan produksi hidrogen sebagai substrat metanogenesis. Pengaruh positif senyawa sekunder tanaman seperti saponin dan tanin terhadap penurunan produksi metana 43
Potensi Bahan Pakan Lokal
di dalam rumen dijelaskan melalui sifat antiprotozoa dari senyawa tersebut (Hristov et al. 2003; Makkar et al. 1995). Faktor penting yang menjadi perhatian di sini adalah pencarian teknik penurunan populasi protozoa rumen secara praktis dan dapat diterapkan pada level peternak. Populasi protozoa yang rendah tersebut dapat dipertahankan tanpa harus menurunkan produktivitas ternak. Upaya pengurangan produksi metana melalui penyediaan akseptor hidrogen alternatif yang mampu berkompetisi dengan metanogen meliputi penggunaan mikroorganisme asetogen, peningkatan produksi propionat, penggunaan asam lemak tidak jenuh dan penggunaan nitrat. Hubungan antara bakteri asetogen dan penurunan produksi metana telah dijelaskan di atas. Penggantian sebagian karbohidrat struktural pakan dengan karbohidrat nonstruktural akan mengubah jalur fermentasi dengan meningkatkan proporsi propionat sehingga menurunkan ketersediaan hidrogen bagi metanogen (Benchaar et al. 2001). Nitrat dapat digunakan sebagai akseptor hidrogen dan menghasilkan nitrit sebagai produk antara yang kemudian direduksi menjadi amonia. Dengan demikian penggunaan nitrat dapat menurunkan produksi metana dan sekaligus meningkatkan ketersediaan amonia di dalam rumen. Penelitian penggunaan nitrat sebagai agen untuk menurunkan metana belum banyak dilakukan, sebagian disebabkan karena kekhawatiran terjadinya keracunan ternak akan nitrit. Namun demikian, pemberian nitrat yang diawali dengan masa adaptasi yang cukup akan menghindarkan ternak dari keracunan nitrit (Alaboudi dan Jones 1985). Penurunan produksi metana yang ditunjukkan oleh beberapa bahan atau perlakuan sebagian besar dilakukan secara in vitro. Konfirmasi hasil penelitian tersebut secara in vivo sering tidak dilakukan sehingga hasil penelitian in vitro masih memunculkan banyak pertanyaan tentang aplikasinya secara in vivo. Pengetahuan akan mekanisme pembentukan metana di dalam 44
Emisi Metana pada Ternak Ruminansia
rumen memungkinkan kita untuk melihat berbagai kemungkinan kombinasi perlakukan atau bahan yang bersifat dapat saling menguatkan terhadap penurunan produksi metana, dan secara in vivo hal ini mungkin akan lebih berhasil. Beberapa bahan tertentu yang secara positif dapat menurunkan produksi metana (misalnya senyawa sekunder bahan pakan) bersifat kontra produktif terhadap produktivitas ternak pada konsentrasi yang tinggi. Namun, penggunaan beberapa bahan secara kombinasi mungkin dapat menurunkan produksi metana tanpa memengaruhi produktivitas ternak, termasuk di dalam adalah kemungkinan penyertaan nitrat dalam kombinasi tersebut. D. PAKAN POTENSIAL RENDAH PRODUKSI METANA
UNTUK TERNAK RUMINANSIA DI INDONESIA Peternakan ruminansia di Indonesia adalah peternakan rakyat dengan sistem pemberian pakan berbasis hijauan, utamanya rumput. Sebagian besar peternak mengandalkan rumput sebagai pakan ternak dan suplementasi jarang dilakukan. Produksi metana pada ternak yang diberi rumput saja diperkirakan tinggi, dan produksi metana dari hijauan rumput lebih tinggi dibandingkan dengan hijauan leguminosa (Meale et al. 2012). Berbagai jenis hijauan, baik hijauan leguminosa maupun nonlegum, dapat digunakan sebagai pakan suplemen dan memiliki potensi untuk menurunkan produksi metana ternak ruminansia di Indonesia. Umumnya bahan pakan tersebut mengandung senyawa sekunder dalam konsentrasi yang sedang sehingga bisa memberikan pengaruh positif baik terhadap nutrisi protein maupun pengurangan emisi metana. Daun singkong misalnya, disamping mengandung tanin yang dapat meloloskan protein pakan dari fermentasi rumen (Barry dan McNabb 1999) juga mengandung protein kasar yang tinggi, yaitu sebesar 23,4% bahan kering (Inthapanya et al. 2012). Penggunaan bahan seperti daun singkong sebagai suplemen dapat membantu meningkatkan konsentrasi amonia di dalam 45
Potensi Bahan Pakan Lokal
rumen dan pada saat yang sama menurunkan produksi metana. Beberapa bahan pakan yang potensial digunakan sebagai suplemen untuk menurunkan produksi metana dan meningkatkan produktivitas ternak adalah sebagai berikut: 1. Gliricidia sepium Gliricidia sepium adalah salah satu jenis leguminosa yang banyak tumbuh di Indonesia dan umumnya berfungsi sebagai pagar hidup. Tanaman ini mengandung protein kasar sekitar 21% bahan kering dan penggunaannya sebagai suplemen terhadap rumput Gajah atau pakan tunggal meningkatkan pertumbuhan ternak (Marsetyo et al. 2012). Kandungan tanin total Gliricidia sepium adalah sekitar 0,78% bahan kering, setengah dari kandungan tanin total Leucaena leucochepala (Seresinhe et al. 2012). Meskipun demikian, Meale et al. (2012) menemukan secara in vitro bahwa produksi metana Gliricidia sepium adalah 8,0 mg/g bahan kering tercerna, mirip dengan Leucaena leucochepala (7,3 mg/g bahan kering tercerna), dan lebih rendah jika dibandingkan dengan rumput seperti Pennisetum purpureum. Silivong et al. (2012) menemukan secara in vitro bahwa produksi metana Gliricidia sepium lebih rendah dibandingkan dengan Mimosa pigra. Hal ini tidak tergantung kepada sumber nitrogen yang digunakan, apakah nitrat atau urea. 2. Moringa oleifera Soliva et al. (2004) melaporkan penelitian in vitro bahwa ekstrak daun Moringa oleifera dapat menurunkan metana sebesar 17% jika dibandingkan dengan ransum yang mengandung bungkil kacang kedelai. Moringa oleifera mengandung proporsi asam lemak tak jenuh yang tinggi, yaitu sebesar 66% dari asam lemak total (Soliva et al. 2004) dan hal ini oleh penulis dicurigai 46
Emisi Metana pada Ternak Ruminansia
berperan dalam menurunkan metana dalam penelitian ini, di samping tanin dan saponin. Kandungan fenol total dan tanin total Moringa masing-masing adalah 3,4 dan 1,4% BK. Meale et al. (2012) menemukan secara in vitro bahwa produksi metana Moringa oleifera adalah 6,4 mg/g bahan kering tercerna, lebih rendah dari leguminosa seperti Gliricidia sepium atau Leucaena leucochepala. 3. Calliandra calothyrsus Calliandra calothyrsus mengandung tanin terkondensasi sebesar 27% bahan kering dan dapat menurunkan metana sebesar 35% dibandingkan dengan kontrol (Brachiaria dyctioneura) secara in vitro tanpa mempengaruhi ketercernaan pakan (Hess et al. 2003). Penelitian in vivo (Tiemann et al. 2008) juga menunjukkan pengaruh penurunan produksi metana harian akibat penggunaan Calliandra calothyrsus dibandingkan dengan ransum kontrol (Brachiaria brizantha:Vigna, dengan rasio 55:45). Namun penurunan tersebut tidak signifikan bila produksi metana dinyatakan sebagai proporsi dari pakan yang tercerna. Kandungan tanin dalam Calliandra calothyrsus dipengaruhi oleh lokasi tempat tumbuh sehingga hal tersebut berpengaruh pula terhadap kemampuannya menurunkan produksi metana (Hess et al. 2006). 4. Leucaena leucocephala Leucaena leucocephala mengandung tanin sekitar 4% bahan kering (Moreira et al. 2012). Tan et al. (2011) menemukan secara in vitro bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak tanin terkondensasi dari Leucaena leucochepala (0-30 mg/500g susbstrat) menurunkan secara linier populasi metanaogen dan protozoa, produksi metana, dan kecernaan bahan kering pakan. Konsentrasi optimum tanin terkondensasi 47
Potensi Bahan Pakan Lokal
dalam penelitian tersebut adalah 15 mg/500 g substrat (dengan 7% penurunan kecernaan bahan kering pakan). Pada konsentrasi yang lebih tinggi terjadi penurunan kecernaan bahan kering yang tinggi pula. Meale et al. (2012) menemukan secara in vitro bahwa produksi metana dari Leucaena leucocephala adalah 7,3 mg/g bahan kering tercerna. 5. Manihot esculenta Daun ubi kayu diketahui mengandung tanin sekitar 3% bahan kering (Netpana et al. 2001; Bui dan Ledin 2005) sehingga berpotensi digunakan sebagai suplemen untuk menurunkan produksi metana pada ternak ruminansia. Secara in vitro, Inthapanya et al. (2012) menemukan bahwa produksi metana dari daun singkong segar yang diinkubasi selama 24 dan 48 jam masing-masing sebesar 15,7 dan 25,5 ml/g substrat. Produksi metana dari daun singkong lebih tinggi apabila daun tersebut dikeringkan dibandingkan dengan daun segar atau dibuat silase. Hal ini menunjukkan bahwa asam sianida mungkin berperan pula dalam menurunkan produksi gas metana. 6. Acacia mangium Acacia merupakan salah satu tanaman yang sering digunakan sebagai sumber tanin terkondensasi untuk penelitian metana. Santoso dan Hariadi (2007) menemukan bahwa suplementasi Pennisetum purpureum dengan Acacia mangium hingga 45% dapat menurunkan metana sebesar 61%. Penurunan produksi metana ini bukan disebabkan karena kehadiran protozoa. Hasil menunjukkan bahwa populasi protozoa meningkat akibat suplementasi A. mangium. Acacia yang digunakan dalam penelitian ini mengandung saponin dan total tanin masing-masing sebesar 1,7 dan 4,5% dari bahan kering. Carulla et al. (2005) menemukan secara in vivo pada ternak 48
Emisi Metana pada Ternak Ruminansia
domba bahwa esktrak A. mearnsii dengan kandungan tanin terkondensasi 61,5% dapat menurunkan metana sebesar 13%. E. STRATEGI PENGURANGAN EMISI METANA PADA PETERNAKAN RAKYAT DI INDONESIA Salah satu pertanyaan penting yang harus dijawab sebagai bagian dari upaya reduksi emisi metana ternak ruminansia di Indonesia adalah apakah teknologi pengurangan metana dapat teraplikasikan pada level peternakan rakyat? Jawaban pertanyaan ini tidak mudah. Sebagian besar penelitian tentang potensi bahan pakan rendah emisi metana dilakukan secara in vitro dan sering tidak diikuti tanpa konfirmasi dengan penelitian in vivo. Banyak faktor yang harus dipertimbangkan untuk menerjemahkan hasil penelitian in vitro ke kondisi yang sebenarnya di lapangan, terutama dalam hal senyawa sekunder yang terkandung dalam bahan pakan. Faktor-faktor tersebut di antaranya adalah konsumsi pakan, level suplementasi bahan mengandung senyawa sekunder, kecernaan pakan, keefektifan bahan bersenyawa sekunder dalam menurunkan metana untuk jangka waktu yang panjang, dan sebagainya. Jayanegara et al. (2011) mengindikasikan perlunya untuk mencari titik optimum penggunaan pakan bersenyawa sekunder, antara penurunan produksi dan produktivitas ternak. Orientasi utama peternakan ruminansia rakyat di Indonesia adalah keuntungan ekonomis sehingga strategi reduksi emisi metana yang ditawarkan harus bisa memberikan keuntungan ekonomis, atau minimal tidak mengurangi keuntungan ekonomis yang mereka peroleh selama ini. Reduksi emisi metana pada level petani adalah teknologi yang tidak menyebabkan penurunan produktivitas ternak, mengoptimalkan ekstraksi nutrien dari pakan yang dikonsumsi dan tidak menimbulkan penurunan kualitas produk yang dihasilkan. Adanya kebijakan dari pemerintah terhadap sebuah teknologi pengurangan emisi metana akan dapat meningkatkan keberhasilan penerapan teknologi tersebut, 49
Potensi Bahan Pakan Lokal
termasuk kemungkinan kebijakan pemberian insentif dan kompensasi kepada peternak. Peluang keberhasilan aplikasi teknologi inovatif pada level peternak rakyat seharusnya lebih bisa terealisasikan jika peternak berhimpun dalam sebuah kelompok atau gabungan kelompok peternak dibandingkan dengan peternak secara individu. F. KESIMPULAN Produksi metana oleh ternak ruminansia merupakan proses alamiah yang terjadi di dalam rumen yang dilakukan oleh anggota konsorsium mikroorganisme rumen untuk mempertahankan kondisi rumen yang normal. Emisi gas metana ternak ruminansia berkontribusi terhadap penurunan kualitas lingkungan dan menurunkan efisiensi penggunaan pakan. Penurunan emisi metana untuk mengurangi kontribusi ternak ruminansia terhadap efek rumah kaca harus dilakukan dengan tetap menjaga atau bahkan meningkatkan produksi ternak ruminansia. Produksi metana yang rendah merupakan tujuan peternakan ruminansia yang environmentally friendly dan peningkatan efisiensi penggunaan nutrien. Beberapa bahan pakan yang mengandung senyawa sekunder bisa digunakan sebagai pakan suplemen ternak ruminansia, baik sebagai suplemen tunggal maupun sebagai kombinasi, terhadap pakan basal. Namun demikian, penelitian (termasuk penelitian in vivo dan on farm) perlu lebih banyak dilakukan untuk memastikan bahwa hasil positif penelitian in vitro tentang penurunan produksi metana rumen dapat lebih direalisasikan, terutama pada kondisi peternakan rakyat di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Alaboudi AR, Jones GA. 1985. Effect of acclimation to high nitrate intakes on some rumen fermentation parameters in sheep. Can J Anim Sci. 65:841-849. 50
Emisi Metana pada Ternak Ruminansia
Asanuma N, Iwamoto M, Hino T. 1999. The production of formate, a substrate for methanogenesis, from compounds related with the glyoxylate cycle by mixed ruminal microbes. Anim Sci J. 70:67-73. Barry TTN, McNabb WWC. 1999. The implications of condensed tannins on the nutritive value of temperate forages fed to ruminants. Brit J Nut. 81:263-272. Bui PTH, Ledin I. 2005. Utilization of Melastoma (Melastoma affine D. Don) foliage as a forage for growing goats with cassava (Manihot esculenta Crantz) hay supplementation. In: Inger Ledin, editor. Proceedings international workshop on small ruminant production and development in South East Asia. Hanoi, Vietnam, 2-4 March 2005. [Internet]. [disitasi 5 November 2012]. Tersedia pada: http://www. mekarn.org/procsr/hangctu.pdf. Benchaar C, Pomar C, Chiquette J. 2001. Evaluation of dietary strategies to reduce methane production in ruminants: A modelling approach. Can J Anim Sci. 81:563-574. Carulla JE, Kreuzer M, Machmuller A, Hess HD. 2005. Supplementation of Acacia mearnsii tannins decreases methanogenesis and urinary nitrigen in forage-fed sheep. Aust J Agric Res. 59:961-970. Finlay BJ, Esteban G, Clarke KJ, Williams AG, Embley TM, Hirt RP. 1994. Some rumen ciliates have endosymbiotic methanogens. FEMS Microbiol Lett. 117:157-161. Herrero M, Thornton PK, Kruska R, Reid RS. 2008. Systems dynamics and the spatial distribution of methane emissions from African domestic ruminants to 2030. Agric Ecosyst Environ. 126:122-137. Hess HD, Monsalve LM, Lascano CE, Carulla JE, Diaz TE, Kreuzer M. 2003. Supplementation of a tropical grass diet with forage legume and Sapindus saponaria: Effect on in vitro ruminal nitrogen turnover and methanogenesis. Aust J Agric Res. 54:703-713. Hess HD, Tiemann TT, Noto F, Franzel S. Lascano CE, Kreuzer M. 2006. The effect of cultivation site on forage quality of Calliandra calothyrsus var. Patulul. Agroforestry Syst. 68:209-220.
51
Potensi Bahan Pakan Lokal
Holter JB, Young AJ. 1992. Methane prediction in dry and lactating Holstein cows. J Dairy. 75:2165-2175. Hristov A, Ivan M, Neill L, McAllister T. 2003. Evaluation of several potential bioactive agents for reducing protozoal activity in vitro. Anim Feed Sci Tech. 105:163-184. Hungate RE, Smith W, Bauchop T, Yu I, Rabinowitz JC. 1970. Formate as an intermediate in the bovine rumen fermentation. J Bacteriol. 102:389-397. Inthapanya S, Preston TR, Khang DN, Leng RA. 2012. Effect of method of processing of cassava leaves on protein solubility and methane production in an in vitro incubation using cassava root as source of energy. Livest Res Rur Develop. Volume 24, Article # 36. [disitasi 10 November 2012]. Tersedia pada: http://www.lrrd.org/lrrd24/2/ sang24036.htm. Jayanegara A, Wina E, Soliva CR, Marquardt S, Kreuzer M, Leiber F. 2011. Dependence of forage quality and methanogenic potential of tropical plants on their phenolic fractions as determined by principal component analysis. Anim Feed Sci Tech. 163 231-243. Leedle JAZ, Greening RC. 1988. Postprandial changes in methanogenic and acidogenic bacteria in the rumens of steers fed high or low forage diets once daily. App Environ Microbiol. 54:502-506. Leng RA, Nolan JV. 1984. Nitrogen Metabolism in the Rumen. J Dairy Sci. 67:1072-1089. Makkar HPS, Blümmel M, Becker K. 1995. In vitro effects of and interactions between tannins and saponins and fate of tannins in the rumen. J Sci Food Agric. 69:481-493. Marsetyo, Damry, Quigley SP, McLennan SR, Poppi DP. 2012. Liveweight gain and feed intake of weaned Bali cattle fed a range of diets in Central Sulawesi, Indonesia. Anim Prod Sci. 52:630-635. Meale SJ, Chaves AV, Baah J, McAllister TA. 2012. Methane production of different forages in in vitro ruminal fermentation. Asian Aust J Anim Sci. 25:86-91.
52
Emisi Metana pada Ternak Ruminansia
Merchen NR. 1988. Digestion, Absorption and Excretion in Ruminants. In: Church DC, editor. The ruminant animals. Digestive physiology and nutrition. New Jersey (USA): Prentice Hall. p. 172-201. Moreira GD, Lima PMT, Borges BO, Primavesi O, Longo C, McManus C, Abdalla A, Louvandini H. 2012. Tropical tanniniferous legymes used as an option to mitigate sheep enteric methane emission. Trop Anim Health Prod. DOI 10.1007/s11250-012-0284-0. Morvan B, Bonnemoy F, Font G, Gouct P. 1996. Quantitative determination of H2-utilizing acetogenic and sulfatereducing bacteria and methanogenic archaea from digestive tract of different mammals. Current Microbiol. 32:129-133. Morvan B, Dore J, Rieu-Lesme F, Foucat L, Fonty G, Gouet P. 1994. Establishment of hydrogen-utilizing bacteria in the rumen of the newborn lamb. FEMS Microbiology Letters 117:249-256. Moss AR, Jouany JP, Newbold CJ. 2000. Methane production by ruminants: its contribution to global warming. Ann Zootechnol. 49:231-235. Netpana N, Wanapat M, Poungchompu O, Toburan W. 2001. Effect of condensed tannins in cassava hay on fecal parasitic egg counts in swamp buffaloes and cattle. In: Preston TR, Ogle B, Wanapat M, editors. Proceedings International Workshop on Current Research and Development on Use of Cassava as Animal Feed. (disitasi 13 November 2012). Tersedia pada: http://www. mekarn.org/procKK/netp.htm. Santoso B, Hariadi BTj. 2007. Pengaruh suplementasi Acacia mangium Willd pada Pennisetum purpureum terhadap karakteristik fermentasi dan produksi gas metana in vitro. Media Peternakan 30:106-113. Silivong P, Xaykham O, Aloun O, Preston TR. 2012. Effect of potassium nitrate and urea on feed intake, digestibility, N balance and methane production of goats fed a basal diet of Gliricidia (Gliricidia sepium) and Mimosa (Mimosa pigra) foliages supplemented with molasses. Livest Res Rur Develop. Volume 24, Article#138. (disitasi 15 November 2012). Tersedia pada: http://www.lrrd.org/lrrd24/8/ phon24138.htm.
53
Potensi Bahan Pakan Lokal
Seresinhe T, Madushika SAC, Seresinhe Y, Lal PK, Orskov ER. 2012. Effects of tropical high tannin non legume and low tannin legume browse mixture on fermentation paramaters and methanogenesis using gas production technique. Asian Australasian J Anim Sci. 25:1404-1410. Soliva CR, Kreuzer M, Foidl N, Foidl G, Machmuller A, Hess HD. 2004. Feeding value of whole and extracted Moringa oleifera leaves for ruminants and their effects on ruminal fermentation in vitro. Anim Feed Sci Tech. 118:47-62. Tan HY, Sieo CC, Abdullah N, Liang JB, Huang XD, Ho YW. 2011. Effects of condensed tannins from Leucaena on methane production, rumen fermentation and populations of methanogens and protozoa in vitro. Anim Feed Sci Tech. 169:185-193. Thornton PK, van de Steeg J, Notenbaert A, Herrero M. 2009. The impacts of climate change on livestock and livestock systems in developing countries: A review of what we know and what we need to know. Agric Syst. 101:113-127. Tiemann TT, Lascano CE, Wettstein HR, Mayer AC, Kreuzer M, Hess HD. 2008. Effect of the tropical tannin-rich shrub legumes Calliandra calothyrsus and Fleminga macrohylla on methane emission and nitrogen and energy balance in growing lambs. Animal 2:790-799. United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). 2006. Greenhouse Gas Inventory Data. Bonn (Germany). unfcc.int/2860.php. Vogels GD, Hoppe WF, Stumm CK. 1980. Association of methanogenic bacteria with rumen ciliates. App Environ Microbiol. 40:608-612. Wright ADG, Kennedy P, O’Neill CJ. 2004. Reducing methane emissions in sheep by immunization against rumen methanogens. Vaccine 22:3976-3985. Williams YJ, Popovski S, Rea SM. 2009. A vaccine against rumen methanogens can alter the composition of archaeal populations. App Environ Microbiol. 75:1860-1866. Wolin MJ, Miller TL, Stewart CS. 1997. Microbemicrobe interactions. In: Hobson PJ, Stewart CS, editors. The Rumen Microbial Ecosystem. 2nd ed. London (UK): Blackie Acad. Press. pp. 467-491. 54