II. WACANA (Thursday, 15 November 2007) - Contributed by Wahju Qamara Mugnisjah - Last Updated ()
PERTANIAN TERPADU DALAM WACANA: KASUS DI INSTITUT PERTANIAN BOGOR Wahju Qamara Mugnisjah2) 1)
[email protected] II. WACANA 2.1. PENGGOLONGAN BAGIAN DI DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA[1] 2.1.1. PENDAHULUAN 1. Sebagai bidang ilmu yang tergolong dalam ilmu-ilmu pertanian, bidang agronomi berada dalam ranah besar ilmu yang menekuni tanaman. Hal ini dipahami dari batasan agronomi sebagai pengelolaan lapang produksi untuk mencapai hasil tanaman yang maksimum dan lestari. Penyertaan kata lestari pun berlatar belakang adanya pemahaman perlunya keberlanjutan dalam suatu kegiatan usaha, khususnya usaha budi daya tanaman. Belakangan juga ditengarai adanya pendapat yang menyatakan bukan hasil tanaman maksimal yang ingin dicapai, melainkan yang optimal. Hal ini pun dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa praktik berusaha tani itu harus efisien, padahal, efisiensi merupakan kosa kata yang lebih tepat menjadi ranah bidang ekonomi, yang dalam konteks naskah ini bidang ekonomi pertanian. 2. Mungkin memang tidak ada salahnya jika kita membatasi agronomi menjadi pengelolaan lapang produksi untuk menghasilkan tanaman secara optimal dan berkelanjutan karena batasan sebelumnya mengesankan bidang agronomi ”ketinggalan kereta” era ekonomi global. Pembatasan itu tidak ada salahnya karena kosa kata pengelolaan dalam batasan itu pun sudah merujuk pada pemahaman pada aspek ekonomi. Namun, tampaknya terdapat keperluan untuk memikirkan kembali batasan agronomi karena kosa kata lestari (jika dimaksudkan sama dengan berkelanjutan) akan berhadapan dengan kenyataan adanya kegiatan budi daya tanaman secara konvensional, yang diakui sebagai teknologi produk revolusi hijau yang tidak ramah lingkungan, artinya tidak berkelanjutan. Dengan kegamangan sebagaimana yang dikemukakan di atas, mungkin perlu juga kita melakukan penelusuran terhadap perkembangan ilmu-ilmu pertanian (dengan komoditi tanaman) yang akhirnya melahirkan bidang agronomi itu. Terdapat dua hal yang menantang dan harus dijawab, pertama, apakah benar bidang agronomi, seperti batasannya yang kini disepakati, memang harus menjangkau efisiensi ekonomik sehingga usaha taninya menguntungkan (untuk memenuhi unsur keberlanjutan ekonomi). Unsur keberlanjutan/keamanan lingkungan tampaknya tidak dapat ditawar lagi karena kita tersadar terhadap adanya degradasi sumber daya alam akibat peri laku kita sendiri. Pertanyaan kedua, apakah kita cukup puas menetapkan bagian-bagian di Departemen Agronomi dan Hortikultura hanya berdasarkan pendekatan basis keilmuan versus basis komoditi tanpa merunut kembali perkembangan ilmu hingga ”ditemukannya” bidang agronomi. Penelusuran agronomi di sini bukan berarti untuk menentukan tahun kelahiran bidang tersebut. 2.1.2. PENELUSURAN BIDANG AGRONOMI DAN PEMBENTUKAN BAGIAN 2.1.2.1. Bidang Agronomi di Lapisan VI 1. Saya sependapat jika mata-mata kuliah Ilmu Agama, Bahasa Indonesia, Ilmu Panca Sila, Kewiraan, serta Olah Raga dan Seni dianggap sekelompok ilmu yang paling dasar untuk membentuk suatu kurikulum perguruan tinggi di Indonesia. Mata kuliah Ilmu Agama malah lebih tepat berada di lapisan paling dasar (Lapisan I) karena agama selayaknya memiliki nilai-nilai transendental yang harus menjadi landasan pengembangan ilmu pengetahuan demi keselamatan umat manusia, sedangkan mata kuliah sisanya berada di Lapisan II --- tetapi pendapat ini bisa jadi ada yang menganggap berlebihan. Dalam hubungan ini, menurut hemat saya, kita perlu merenungkan kembali kebenaran pernyataan bahwa sains itu bebas nilai. Juga, bukankah agama memang memerintahkan kecintaan suatu bangsa terhadap negaranya, yang kemudian akan melahirkan kewajiban membela negara. Namun, jika boleh saya ”perlemah” pendapat saya, peniadaan mata kuliah Kewiraan mungkin tidak apa-apa juga karena mata kuliah Ilmu Panca Sila seharusnya sudah cukup memotivasi anak didik untuk berkomitmen kepada NKRI. Mata kuliah Bahasa Indonesia menjadi keharusan tidak hanya dalam konteks kecintaan kepada negara demi keutuhan NKRI, tetapi juga dalam konteks pembelajaran dan pengembangan ilmu. Bahkan, dalam konteks pembelajaran dan pengembangan ilmu itu, kita tidak cukup hanya dengan berbahasa Indonesia, kita perlu menguasai setidaknya bahasa Inggris. Untuk sekadar memberi sebutan, ilmu-ilmu di Lapisan I dan II tersebut mungkin dapat digolongkan ke dalam ilmu-ilmu tentang etika dan humaniora. 2. Saya sependapat juga bahwa Ilmu Hayat (Biologi) merupakan tulang punggung perkembangan ilmuilmu pertanian hingga adanya bidang agronomi, sedangkan Ilmu Hayat yang kemudian berkembang, antara lain, mempelajari proses-proses dalam tumbuh-tumbuhan berkat dukungan utama Ilmu Kimia dan Ilmu Fisika. Oleh karena itu, bersama Ilmu Matematika, Ilmu Fisika dan Kimia layak menempati sebutan kelompok ilmu-ilmu dasar, yang jika pelapisan tersebut di atas diteruskan, ketiga bidang ilmu itu menduduki Lapisan III. Menurut hemat saya, dalam konteks pembelajaran dan perkembangan ilmu-ilmu pertanian yang kemudian melahirkan bidang agronomi, ilmu-ilmu di Lapisan III mendorong manusia untuk mempelajari dan mengembangkan ilmu-ilmu di Lapisan IV, yaitu ilmu-ilmu tentang tumbuhtumbuhan dan lingkungannya. Ilmu-ilmu Hayat yang mencakup Genetika (Tumbuhan), Ekologi Tumbuhan, Fisiologi Tumbuhan, Taksonomi Tumbuhan, Botani dan Morfologi Tumbuhan, --- semuanya menggunakan kata tumbuhan --menekuni tumbuh-tumbuhannya. Ilmu Matematika, Ilmu Kimia, dan Ilmu Fisika, khususnya dua ilmu yang terakhir, lebih langsung dukungannya pada kelahiran ilmu-ilmu yang menekuni lingkungan tumbuh-tumbuhan seperti Ilmu Tanah dan Ilmu Iklim (mungkin keduanya dari Ilmu Kebumian) --- yang merupakan lingkungan tumbuhan-tumbuhan dari golongan makhluk mati (nonbiotik) --- serta Ilmu Cendawan (Mikologi), Ilmu Bakteri (Bakteriologi), Ilmu Mikroba (Mikrobiologi), Ilmu Serangga, dan lain-lain --- yang merupakan lingkungan tumbuh-tumbuhan dari golongan makhluk hidup (biotik). Memang disadari, jika pengelompokannya sejak awal dilakukan berdasarkan makhluk hidup dan makhluk mati, ilmu-ilmu yang merupakan lingkungan tumbuh-tumbuhan dari golongan biotik itu tergolong ke dalam kelompok Ilmu Hayat. Namun, seperti dikemukakan terdahulu, tulisan ini dimaksudkan, antara lain, untuk merunut kelahiran agronomi. 3. Di lapisan berikutnya, Lapisan V, lahir ilmu-ilmu tentang tanaman dan lingkungannya dari ilmu-ilmu tentang tumbuh-tumbuhan dan lingkungannya. Kelahiran ilmu-ilmu ini hingga di awal perkembangannya berada dalam tahapan upaya pemenuhan kebutuhan manusia yang tidak cukup, antara lain, hanya memanen tumbuhan meskipun kebutuhan manusia pada masa lalu belum sekompleks pada saat ini. Dari aspek tumbuh-tumbuhannya lahir ilmu-ilmu yang menekuni tanaman http://kecubung6.com - ::: kecubung6.com :: : :: Prof. DR. Ir. Wahju Qamara Mugnisjah, Powered M.Agr. by ::Mambo : :: © copyleft 2006 :::
Generated: 29 January, 2017, 14:49
(tumbuhan yang dibudidayakan) dan ilmu-ilmu yang tetap menekuni tumbuhan-tumbuhan, yang dalam konteks perunutan bidang agronomi berupa ilmu (ilmu-ilmu?) tentang gulma (tumbuh-tumbuhan yang tidak dibudidayakan). Dalam Lapisan V, sebaliknya dengan yang terjadi pada makhluk hidup (biotik) yang dibahas di Butir 4, gulma tidak dikelompokkan sebagai lingkungan pertumbuhan tanaman, meskipun dapat menjadi pesaing bagi tanaman yang kita budidayakan. Oleh karena tanaman (hasil budi daya) telah mengalami perubahan sifat dan peri laku dari tumbuhtumbuhan liar atau tanaman budi daya tetuanya, antara lain, akibat perlakuan yang diberikan oleh manusia, saya tidak ragu untuk menyatakan bahwa ilmu-ilmu yang menekuni tanaman mencakupi Ilmu Pemuliaan Tanaman, Ilmu Benih, dan Ilmu Tanaman (termasuk Fisiologi Tanaman, Ekologi Tanaman, dan atau Ekofisiologi Tanaman), dan bahwa ilmu-ilmu tersebut berkembang dari ilmu-ilmu tumbuhan yang berada di Lapisan IV. Kita juga harus menempatkan Ilmu Gulma selapisan (Lapisan V) dengan ilmu-ilmu tanaman ini. Demikian pula, dari kelompok lingkungan tanaman yang berbeda akibat rekayasa oleh manusia terhadap lingkungan alamiah tumbuh-tumbuhan, saya dapat memahami jika lahir ilmuilmu tentang tanah dan iklim yang berkembang lebih lanjut dari kelompok lingkungan nonbiotik dan lahir pula ilmu-ilmu lain dari kelompok lingkungan biotik (seperti Ilmu Hama dan Penyakit Tanaman). 4. Bidang agronomi, menurut hemat saya, lahir dan berkembang dari ilmu-ilmu tentang tanaman dan lingkungannya. Jadi, bidang agronomi menempati Lapisan VI, sebagai bidang yang mensintesis seluruh keilmuan tentang tanaman dan lingkungannya yang berada di Lapisan V. Dengan demikian, kita telah berhasil merunut posisi bidang agonomi secara bertahap sejak Lapisan I. Namun, dalam konteks pemahaman bidang agronomi --- yang akan digunakan untuk memandu pembentukan Bagian di Departemen Agronomi dan Hortikultura --- saya berpendapat bahwa kita harus mempertimbangkan peran bidang agronomi dalam pemanfaatan tanaman untuk memenuhi sebagian kebutuhan manusia. Hal terakhir inilah yang sering kita nyatakan dengan pendekatan komoditi, sebagai ”lawan” dari pendekatan keilmuan. 2.1.2.2. Bagian di Departemen Agronomi dan Hortikultura 1. Peran bidang agronomi itu akan membatasi ranah (domain) yang diembannya, yang dalam konteks pembentukan departemen di IPB kita menggunakan istilah mandat. Kita juga perlu mempertimbangkan kenyataan bahwa dalam berbudi daya tanaman, kita memberikan periodisasi kegiatan menurut prapanen, panen, dan pascapanen. Hal lain yang harus dimasukkan dalam pertimbangan adalah kenyataan pula bahwa pemulia tanaman berperan dalam menghasilan varietas tanaman, yang dalam konteks industri benih disebut benih penjenis (breeder seed, BS); BS diperbanyak oleh seed maintenance and multiplication specialist (menggunakan istilah Pak Sjamsoe’oed Sadjad) untuk menghasilkan benih (produk untuk ditanam, sebagai barang komersial menurut bidang ekonomi), yaitu benih dasar (foundation seed, FS), benih pokok (stock seed, SS), dan benih sebar (extension seed, ES) --- yang dalam kegiatan praktis dilaksanakan oleh petani; ES diperbanyak oleh petani menjadi produk nonbenih (biji dan sebagainya, sebagai barang nonkomersial menurut bidang ekonomi). Oleh karena itu, dapat dipahami jika kegiatan pemuliaan tanaman, perbanyakan benih, dan perbanyakan nonbenih (kita sebut saja kegiatan produksi tanaman) memerlukan kepakaran khusus atau tersendiri, tetapi ketiganya tetap memerlukan ilmu-ilmu tentang tanaman dan lingkungannya itu. Argumentasi ini, menurut hemat saya, memperkuat penempatan agronomi di Lapisan VI, dan dapat menjadi alasan untuk menempatkan bidang pemulian tanaman, bidang benih, dan bidang produksi tanaman sebagai bagian-bagian yang layak ada dalam Departemen Agronomi dan Hortikultura (namanya mungkin Bagian Pemuliaan Tanaman, Bagian Benih Tanaman, dan Bagian Produksi Tanaman). Bagian Hortikultura tidak perlu ada, dan hal ini cukup fair dengan tidak adanya Bagian Agronomi (karena sebutan Departemen Agronomi dan Hortikultura pun merupakan keputusan pragmatis, antara lain, demi pasar kerja lulusannya). Di ketiga bagian tersebut apa yang kita sebut dengan komoditi, yaitu tanaman semusim dan tanaman tahunan (atau tanaman pangan, tanam perkebunan, dan tanaman hortikultura), ditekuni oleh anggota bagiannya. Siapa akan menekuni komoditi apa merupakan hak/minat masing-masing, tetapi sebaiknya ada kemerataan penekunan komoditi antarbagian. Di ketiga bagian pula aspek/keilmuannya ditekuni untuk seluruh komoditi tersebut. Jadi, bagaimana dengan Fisiologi Tanaman, Ekologi Tanaman, Ekofisiologi Tanaman, dan atau Ilmu Gulma, apakah tidak layak menjadi bagian? Demikian juga dengan Bioteknologi Tanaman, sebagai bagiankah? 2. Perlu ditegaskan kembali di sini bahwa Bagian Pemuliaan Tanaman, Bagian Benih Tanaman, dan Bagian Produksi Tanaman diusulkan keberadaannya berdasarkan (1) pertimbangan pendekatan perkembangan (sejarah?) keilmuan dalam merunut bidang agronomi dan (2) pertimbangan pragmatis berupa kenyataan (a) adanya peran bidang-bidang itu dalam budi daya tanamn serta (b) adanya pemahaman tentang periodisasi prapanen, panen, dan pascapanen (yang berlaku dalam kegiatan pemuliaan tanaman, produksi benih, dan produksi tanaman) pada saat tanaman dibudidayakan. Artinya, pada waktu tanaman dibudidayakan untuk menghasilkan BS (ranah Bidang Pemuliaan Tanaman), FS, SS, dan ES (ranah Bidang Benih Tanaman meskipun masih melibatkan pemulia tanaman untuk BS à FS), serta produksi nonbenih (ranah produksi tanaman), aspek fisiologi, ekologi, atau ekofisiologi tanaman, juga aspek kehadiran gulma di pertanaman dan lingkungan tanaman telah dipertimbangkan. Jadi, jika pendekatan perunutan sampai dengan Bidang Agronomi ditemukan (Lapisan VI) dan pendekatan pragmatis itu digunakan, Bagian Fisiologi Tanaman, Bagian Ekologi Tanaman, atau Bagian Ekofisiologi Tanaman, dan Bagian Gulma tidak perlu ada di Departemen Agronomi dan Hortikultura. Hingga di sini kita belum dapat menjawab apakah Bagian Bioteknologi Tanaman pun tidak perlu ada. 3. Jika kita hanya menggunakan pendekatan perunutan sampai bidang agronomi lahir dan berkembang (Lapisan V) sebagai pertimbangan, Bagian Fisiologi Tanaman, Bagian Ekologi Tanaman, atau Bagian Ekofisiologi Tanaman layak ada karena bagian (atau bagian-bagian) tersebut setaraf, yaitu sebagai ilmu-ilmu tentang tanaman (Lapisan V) yang berkembang dari ilmu-ilmu tentang tumbuhan (Lapisan IV). Dengan pendekatan yang sama kita dapat menerima adanya Bagian Gulma karena bagian ini juga diturunkan (langsung) dari adanya ilmu-ilmu tentang tumbuhan. Dengan pendekatan ini, tidaklah relevan kita menempatkan adanya bagian yang membidangi ilmu-ilmu yang diturunkan dari lingkungan tanaman/tumbuhan. Adanya Bagian Gulma merupakan konsekuensi dari pendekatan yang memisahkan tumbuhan dari lingkungannya (Lapisan IV di Butir 4), dan gulma berada setaraf dengan tanaman yang dibudidayakan karena keduanya diturunkan dari unsur tumbuhan. Dengan perunutan ini pun kita dapat menerima jika Bagian Gulma tidak berada di Departemen Proteksi Tanaman. Bagian Bioteknologi http://kecubung6.com - ::: kecubung6.com :: : :: Prof. DR. Ir. Wahju Qamara Mugnisjah, Powered M.Agr. by ::Mambo : :: © copyleft 2006 :::
Generated: 29 January, 2017, 14:49
Tanaman juga dapat diterima kehadirannya di Departemen Agronomi dan Hortikultura jika didasarkan pada perunutan hingga Lapisan IV karena bioteknologi tanaman dapat di pandang setaraf dengan ilmu-ilmu tanaman lain yang lahir dari ilmu-ilmu tentang tumbuh-tumbuhan. 2.1.2.3. Perlunya Kriteria untuk Bagian 4. Saya bersetuju dengan pendapat bahwa kriteria tentang bagian perlu ditentukan sebelum kita menentukan bagian-bagian itu. Semakin banyak kriterianya, semakin baik, tetapi mungkin memerlukan adanya pemeringkatan atas butir-butir kriteria itu. Pengelompokan kriteria/pendekatan menurut perunutan Bidang Agronomi dan pendekatan pragmatis dalam Butir 8 dan 9 (sampai dengan Lapisan VI) telah terbukti menghasilkan pengelompokan bagian yang berbeda dengan kriteria/pendekatan yang berdasarkan perunutan saja, yakni dari perunutan keilmuan sampai dengan Lapisan V. Bahkan, perunutan keilmuan yang dilakukan di sini pun telah sejak awal dengan memisahkan tumbuhan dari lingkungannya. Hasilnya akan berbeda jika perunutan dilakukan dengan memisahkan tanaman dari lingkungannya karena gulma akan menjadi salah satu unsur lingkungan tanaman. Kita dapat menambahkan sumber daya manusia (jumlah dosen seminat dan jabatan fungsional calon kepalanya, misalnya) dan fasilitas yang akan mendukung keberadaan suatu bagian sebagai unsur-unsur kriteria lainnya itu. Bahkan, peran bagian yang diusulkan dalam meningkatkan kemanfaatan tanaman yang dibudidayakan bagi kehidupan manusia, misalnya, dapat saja dijadikan unsur kriteria. 5. Pasal 57 Anggaran Rumah Tangga IPB menyatakan, antara lain, bahwa bagian merupakan pelaksana akademik di tingkat departemen. Artinya, suatu bagian berkiprah dalam tridharma perguruan tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pelayanan pada masyarakat. Dengan mandat tridharma ini, kriteria dapat bertambah lagi, misalnya dengan meminta calon bagian menetapkan mata-mata kuliah yang diampu berikut GBPP/SAP/silabusnya, road map penelitian, dan bidang pelayanannya pada masyarakat. Pasal 57 ART IPB menyiratkan peran bagian sebagai tempat dosen bekerja untuk mengembangkan diri demi pengembangan ketiga bidang tridharma yang relevan dengan ranah keilmuannya. 6. Bidang-bidang ilmu yang disebutsebut pada Lapisan V berurusan dengan pemanfaatan tanaman (tumbuhan yang dibudidayakan) untuk memenuhi sebagian kebutuhan manusia. Demikian pula, peran bidang agronomi (yang ditempatkan sebagai Lapisan VI) adalah dalam konteks pemenuhan sebagian kebutuhan manusia. Bahkan, pada saat bidang-bidang ilmu lain terus berkembang melahirkan ilmu-ilmu baru lainnya di lapisan yang lebih tinggi, bidang agronomi jika akan dipertahankan keberadaannya hanya akan berubah dalam kecanggihan teknologi sebagai hasil kemumpunan keilmuannya. Dalam konteks ini kita perlu menempatkan bioteknologi tanaman sebagai pendukung kecanggihan teknologi dan kemumpunan keilmuan di bidang agronomi atau lebih spesifik lagi di Departemen Agronomi dan Hortikultura. Tidak perlu ada Bagian Bioteknologi Tanaman; bioteknologi tanaman berperan memperkuat taraf kecanggihan ketiga bagian yang dikemukakan di Butir 8, yakni Bagian Pemuliaan Tanaman, Bagian Benih Tanaman, dan Bagian Produksi Tanaman. Lampira 1 menyiratkan bahwa pada waktu Departemen Agronomi merumuskan arah pengembangan laboratoriumnya (atau bagian menurut IPBBHMN) tahun 1980, bidang bioteknologi tanaman belum terfikirkan kehadirannya sebagai laboratorium/bagian. Hal ini mungkin disebabkan oleh perkembangan bioteknologi tanaman hingga tahun 1980 itu yang baru menekuni teknologi kultur jaringan daripada rekayasa genetik atau biologi mulekular --- dalam konteks ini bioteknologi tanaman memang lebih tepat ditempatkan di Lapisan VII, bukan di Lapisan V). Di sisi lain, pemanfaatan ilmu-ilmu baru di lapisan yang lebih tinggi itu tampaknya malah akan ”memperlonggar” peran bidang agronomi, yang berarti akan ”mendukung” batasan agronomi yang kini ada sebagai suatu kebutuhan karena akan semakin bersinggungan dengan ranah ekonomi, khususnya bidang agribisnis, lebih khusus lagi yang menyangkut keuntungan ekonomi yang didapat petani. Dengan demikian, kegamangan yang dikemukakan di Butir 2 telah terjawab pula meskipun belum lengkap. Mengenai hal ini akan diteruskan di Butir 14. 2.1.2.4. Bagian Pertanian Terpadu (Berbasis Tanaman) di Departemen Agronomi dan Hortikultura 1. Selain hal-hal yang dikemukakan terdahulu hingga didapatnya alternatif bagian yang dapat dibentuk, masih terdapat wacana lain yang perlu mendapat perhatian, yaitu wacana tentang sistem pertanian terpadu (SITANDU). Di bidang pendidikan bersistem major-minor di IPB, secara normatif supporting courses dapat diramu untuk membentuk “kompetensi minor” pertanian terpadu. Namun, secara praktik hal ini belum tentu dapat terlaksana karena ada kemungkinan terkendala oleh jadwal kuliah yang hingga saat ini masih berorientasi fakultas (sehingga jadwal kuliah ”bertabrakan”), atau terkendala oleh karena adanya keperluan mata kuliah prasyarat untuk mata kuliah yang akan dipilih sebagai supporting courses --- dan yang ini pun akan terkendala oleh jadwal perkuliahan, selain dapat meningkatkan jumlah sks yang harus diambil oleh mahasiswa. 2. Dalam waktu dekat ini, di jalur penelitian dan pemberdayaan pada masyarakat (LPPM), kemungkinan besar SITANDU akan mendapat tempat sebagai pusat baru yang bernama Pusat Pertanian Terpadu dan Agroforestri. Apakah mungkin SITANDU berada sebagai bagian di IPB, seperti halnya ”minor pertanian terpadu” melalui pengambilan supporting courses di jalur pendidikan major-minor?. SITANDU layak sebagai salah satu bagian di IPB karena alasan sebagai berikut: (1) bagian memiliki ranah yang berbeda dengan pusat di LPPM; (2) SITANDU memiliki basis keilmuan tersendiri seperti halnya agronomi, yaitu meramu ilmu-ilmu yang kini menjadi ranah fakultas-fakultas tertentu di IPB (Faperta, Faperikan dan Kelautan, Fapet, Fahutan, dan Fateta), tidak semata-mata menggunakan masing-masing ilmu itu secara parsial; (3) SITANDU dapat dikembangkan di masing-masing fakultas tersebut karena dalam tataran praktis berbisnis, harus ada core business sehingga menjadi logis jika ada Bagian Pertanian Terpadu Berbasis Tanaman di Faperta, Bagian Pertanian Terpadu Berbasis Ternak di Fapet, Bagian Pertanian Terpadu Berbasis Perikanan (Darat/Laut) di Faperikan dan Kelautan, Bagian Pertanian Terpadu Berbasis Agroforestri di Fahutan, atau Bagian Pertanian Terpadu Berbasis Agroindustri di Fateta jika kelima fakultas itu tetap ada; (4) SITANDU merupakan praktik bertani yang lazim di kalangan petani Indonesia, yang oleh karena itu memerlukan dukungan aspek keterpaduan ilmu dalam pengembangannya; (5) dengan semakin besarnya kepedulian pemerintah dan masyarakat terhadap SITANDU (akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan), Bagian Pertanian Terpadu (yang berbasis mana pun) akan dapat berkiprah dalam tridharma perguruan tinggi di tingkat departemen tempatnya berada. Memang masih tersisa pertanyaan, di departemen mana yang paling tepat masing-masing bagian ber-icon pertanian terpadu itu berada di kelima fakultas itu. Jika di Departemen Agronomi dan Hortikultura, tepatkah ada Bagian Pertanian Terpadu (Berbasis Tanaman)? Jika http://kecubung6.com - ::: kecubung6.com :: : :: Prof. DR. Ir. Wahju Qamara Mugnisjah, Powered M.Agr. by ::Mambo : :: © copyleft 2006 :::
Generated: 29 January, 2017, 14:49
kita masih tetap mengikuti pendekatan perunutan bidang agronomi sebagaimana yang telah dibahas di atas, khususnya dalam hubungannya dengan batasan agronomi sebagaimana yang dikritiki di Butir 12, SITANDU sangat layak untuk dipertimbangkan kehadirannya di Departemen Agronomi dan Hortikultura. 3. Dengan terminologi keberlanjutan menjadi bagian dari batasan agronomi, produksi tanaman yang berpendekatan konvensional, lebih-lebih monokultur (nonpertanian organik), tidak akan pernah mencapai keberlanjutan itu. Hanya SITANDU yang berbasis tanaman yang akan memberikan harapan pencapaian batasan agronomi itu. Memang keberlanjutan sistem produksi tanaman tidak dapat serta-merta dijadikan salah satu kriteria untuk membentuk bagian. Namun, jika Bagian Pertanian Terpadu Berbasis Tanaman diwacanakan, lebih-lebih sehubungan dengan kontribusinya bagi pembangunan usaha tani yang penuh resiko, bagian tersebut akan berperan banyak karena dalam banyak kasus, usaha tani tanaman lebih beresiko daripada usaha tani ternak dan ikan, lebih-lebih jika dibandingkan dengan agroindustri yang diakui malah memberikan nilai tambah bagi agribisnis di tingkat hulunya. Dengan pertanian terpadu, jika perancangannya dilakukan dengan baik, kita dapat memperkecil resiko usaha tani, bahkan dapat meningkatkan frekuensi perolehan hasil panen dan pendapatan daripada yang dicapai hanya dengan melakukan pertanaman ganda. 4. Beranjak dari perunutan yang ”menemukan” bidang agronomi, serta argumentasi yang dikemukakan dalam Butir 14, dapat disimpulkan bahwa Bagian Pertanian Terpadu (Berbasis Tanaman) mendapatkan tempat di Departemen Agronomi dan Hortikultura. Bahkan, kehadiran bagian ini lebih kuat daripada Bagian Ekofisiologi Tanaman (atau dibagi dua: Bagian Ekologi Tanaman dan Bagian Fisiologi Tanaman), Bagian Gulma, dan Bagian Bioteknologi Tanaman. Selain itu, bidang agronomi mendapat tempat pula di bagian ini sebagaimana halnya di bagian-bagian lain yang telah dikemukakan. 5. Ranah SITANDU di LPPM (sebagai Pusat) harus berbeda dengan yang ada di Fakultas/Departemen (sebagai Bagian). Dengan pembentukan departemen dan pusat-pusat di LLPM yang kini ditempuh, Bagian Pertanian Terpadu (yang berbasis apa pun) di fakultas hendaknya berfokus pada core business komoditinya masing-masing sebagaimana yang dikemukakan di Butir 13 (tanaman budidaya, ternak, ikan, tanaman hutan, atau agroindustri). Dengan demikian, pertanian terpadu yang berupa/berada di Pusat Pertanian Terpadu dan Agroforestri (LPPM) menekuni seluruh komoditi (apa pun) sebagai core business-nya. SITANDU yang ditekuni di pusat (LPPM) sebaiknya dapat mendukung atau dapat dimanfaatkan dalam proses pendidikan major-minor, sedangkan SITANDU yang ditekuni di bagian (suatu departemen/fakultas) seharusnya dapat mendukung atau dimanfaatkan oleh proses pendidikan tersebut. Pusat (LPPM) tidak perlu mengasuh suatu mata kuliah, sedangkan bagian harus mengasuh suatu mata kuliah sebagai konsekuensi dari harus mengembangkan keilmuan yang diampunya. Namun, kenyataannya, kita telah merumuskan Kurikulum Kompetensi Agronomi dan Hortikultura berdasarkan mata-mata kuliah dan bagian-bagian yang kini ada. Jika bagianbagian baru dibentuk, termasuk di dalamnya ada Bagian Pertanian Terpadu (Berbasis Tanaman), kita harus memikirkan bagi ”warisan” aset Departemen Budi Daya Pertanian sekarang berikut mata-mata kuliah asuhannya. Setidaknya, Bagian Pertanian Terpadu (Berbasis Tanaman) dapat mengasuh mata-mata kuliah yang menunjukkan keterpaduan suatu sistem produksi tanaman, baik yang indigenus maupun yang impor. 6. Sebagai ringkasan, bergantung pada kriteria (dan alasan yang dapat diangkat menjadi kriteria)-nya, bagian-bagian yang perlu diwacanakan kehadirannya di Departemen Agronomi dan Hortikultura adalah sebagai berikut: Bagian Pemuliaan Tanaman, Bagian Benih Tanaman, Bagian Produksi Tanaman, Bagian Ekofisiologi Tanaman (atau dibagi dua: Bagian Ekologi Tanaman dan Bagian Fisiologi Tanaman), Bagian Gulma, Bagian Bioteknologi Tanaman, dan Bagian Pertanian Terpadu (Berbasis Tanaman). Kriteria yang dapat diajukan, tetapi memerlukan pemeringkatan, dapat mencakupi (seluruh atau sebagian) hal-hal sebagai berikut: (1) (runutan) kesejarahan dalam perkembangan bidang agronomi; (2) cakupan periodisasi kegiatan produksi tanaman yang menjadi ranahnya; (3) fungsi produk yang dihasilkan dalam budi daya tanaman; (4) keberlanjutan sistem produksi tanaman yang menjadi ranah pengembangan keilmuannya; (5) ada atau tidaknya dukungan bagi program pendidikan major-minor; (6) jumlah mata kuliah yang diasuh; (7) dosen yang menjadi anggotanya ada yang layak menjadi kepala meskipun bukan guru besar; (8) jumlah dosen yang menjadi anggotanya; (9) ada atau tidaknya sinergi dengan pusat (LPPM); (10) ada atau tidaknya peran dalam pengembangan ilmu yang diampunya; (11) ada atau tidaknya peran dalam pembangunan pertanian berkelanjutan di Indonesia; (12) ada atau tidaknya renstra bagian dengan road map cakupan program yang jelas dan rasional; (13) ada atau tidaknya kemampuan menciptakan kegiatan, khususnya yang melembaga berupa auxilliary enterprise; (14) ada atau tidaknya peran bagi pemanfaatan aset IPB, khususnya UPT Kebun Percobaan yang berupa income-generating activities; (15) ada atau tidaknya kegiatan yang dapat menjadi show window IPB meskipun hanya mencapai titik impas; (16) kelengkapan fasilitas awal yang dimilikinya, khususnya setelah diadakan pembagian ”warisan” aset Departemen BDP kepada Departemen Agronomi dan Hortikultura dan Departemen Arsitektura Lanskap; (17) kemerataan atau kesimbangan jumlah dosen antarcalon bagian. 2.1.2.5. Implikasi 7. Implikasi dari Butir 18 adalah perlunya proses pembentukan bagian dengan urutan sebagai berikut: (1) penentuan kriteria bagian berikut peringkat unsur kriterium dan total nilai kelayakan adanya suatu bagian); à (2) pengusulan nama-nama bagian oleh staf pengajar (menjaring visi dosen tentang bagian); à (3) penetapan alternatif konfigurasi calon bagian oleh staf pengajar; à (4) penilaian/pemilihan konfigurasi bagian yang diusulkan oleh staf pengajar; à (5) pengambilan keputusan (resmi oleh Departemen) tentang konfigurasi bagian yang terpilih; à (6) pengusulan konfigurasi bagian kepada SA-IPB melalui Dekan Faperta; à (7) penempatan staf pengajar di Bagian (melalui pemilihan sendiri oleh melalui penilaian tract record–nya oleh Ketua Departemen BDP/Agronomi dan Hortikultura; à (8) pemilihan kepala bagian oleh anggotanya; à (9) pembagian aset antarbagian dan kebersatuan/kedekatan tata-letaknya dalam bagian; à (10) penugasan bagian untuk menyusun renstra/road map program kegiatan tridharmanya oleh Ketua Departemen; à (11) pengusulan oleh Ketua Departemen agar IPB menyusun Katalog IPB berkurikulum major-minor dengan menempatkan mata-mata kuliah yang ditawarkan oleh setiap Departemen menurut Bagian yang mengampunya. 2.1.3. PENUTUP 1. Sebagai exercise, berdasarkan pendekatan penelusuran bidang agronomi dan pendekatan pragmatis yang dikemukakan terdahulu, konfigurasi bagian di Departemen Agronomi dan Hortikultura yang perlu dipertimbangkan kehadirannya adalah sebagai berikut: Konfigurasi I: (1) Bagian Pemuliaan http://kecubung6.com - ::: kecubung6.com :: : :: Prof. DR. Ir. Wahju Qamara Mugnisjah, Powered M.Agr. by ::Mambo : :: © copyleft 2006 :::
Generated: 29 January, 2017, 14:49
Tanaman, (2) Bagian Benih Tanaman, dan (3) Bagian Produksi Tanaman; Konfigurasi II: (1) Bagian Pemuliaan Tanaman, (2) Bagian Benih Tanaman, (3) Bagian Produksi Tanaman, (4) Bagian Ekofisiologi Tanaman, (5) Bagian Gulma, dan (6) Bagian Bioteknologi Tanaman; Konfigurasi III: (1) Bagian Pemuliaan Tanaman, (2) Bagian Benih Tanaman, (3) Bagian Produksi Tanaman, (4) Bagian Ekologi Tanaman, (5) Bagian Fisiologi Tanaman, (6) Bagian Gulma, dan (7) Bagian Bioteknologi Tanaman; Konfigurasi IV: (1) Bagian Pemuliaan Tanaman, (2) Bagian Benih Tanaman, (3) Bagian Produksi Tanaman, (4) Bagian Ekofisiologi Tanaman, (5) dan Bagian Gulma; Konfigurasi V: (1) Bagian Pemuliaan Tanaman, (2) Bagian Benih Tanaman, dan (3) Bagian Produksi Tanaman, (4) Bagian Ekologi Tanaman, (5) Bagian Fisiologi Tanaman, dan (6) Bagian Gulma; Konfigurasi VI: Konfigurasi I plus Bagian Pertanian Terpadu (Berbasis Tanaman); Konfigurasi VII: Konfigurasi II plus Bagian Pertanian Terpadu (Berbasis Tanaman); Konfigurasi VIII: Konfigurasi III plus Bagian Pertanian Terpadu (Berbasis Tanaman); Konfigurasi IX: Konfigurasi IV plus Bagian Pertanian Terpadu (Berbasis Tanaman); Konfigurasi X : Konfigurasi V plus Bagian Pertanian Terpadu (Berbasis Tanaman). 2. Sebagai kelengkapan tulisan ini, bersama ini dilampirkan perjalanan sejarah laboratorium/bagian di Departemen Budi Daya Pertanian (Lampiran 1), yang merupakan perbaikan dari lampiran surat Kepala Laboratorium Ekofisiologi Tanaman bertanggal 10 Mei 2001 kepada anggotanya pada waktu pembentukan bagian mulai diwacanakan dalam rangka perubahan menuju IPBBHMN. Perbaikan tersebut dilakukan berdasarkan informasi bahwa Studio Arsitektur/Pertanaman (SK Rektor No. 111/D/1988) lahir dari Bagian Hortikultura, sedangkan Laboratorium Bioteknologi Tanaman (SK Rektor No. 009/D1992) lahir dari Laboratorium Fisiologi Tanaman. Pasal 57 Ketetapan MWA IPB No. 17/MWA-IPB/2003 tentang Anggaran Rumah Tangga IPB juga dilampirkan untuk mendapat perhatian kita bersama. Baranangsiang, 31 Maret 2005 Wahju Qamara Mugnisjah LAMPIRAN 1 LAMPIRAN 2 KUTIPAN PASAL 57 ANGGARAN RUMAH TANGGA IPB 1) Bagian adalah unsur pelaksana kegiatan akademik di Departemen. 2) Jumlah dan jenis Bagian ditetapkan dengan keputusan Rektor atas usul Dekan setelah mendapat persetujuan Senat Fakultas sesuai ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3) Bagian dipimpin oleh seorang Kepala Bagian. 4) Kepala Bagian dipilih oleh dosen dari Bagian yang bersangkutan dengan memperhatikan kriteria sebagai beriut : a. berpendidikan dan bergelar doktor; b. mempunyai jabatan akademik Guru Besar, kecuali pada Bagian yang belum mempunyai Guru Besar; c. mempunyai keahlian sesuai dengan Bagian yang bersangkutan; d. memiliki kemampuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi pada bagian yang bersangkutan; e. memahami visi dan sanggup melaksanakan misi dan tujuan Institut; f. berprestasi, berdisiplin, dan penuh dedikasi; g. menyatakan secara tertulis kesediaan dan kesanggupan untuk menjalankan tugas sebagai Kepala Bagian. 5) Tugas dan wewenang Kepala Bagian diatur lebih lanjut dengan Keputusan Rektor. 6) Kepala Bagian ditetapkan oleh Rektor atas usul Ketua Departemen melalui Dekan. 7) Kepala Bagian bertanggung jawab kepada Ketua Departemen. 8) Masa jabatan Kepala Bagian adalah 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali. 9) Tatacara pemilihan Kepala Bagian diatur lebih lanjut dengan Keputusan Rektor. [1] Bahan rapat Tim 16, Departemen Budi Daya Pertanian, pada tanggal 6 April 2005 yang diwacanakan kepada dosen di Bagian Ekofisologi Tanaman dan, secara terbatas, kepada yang lainnya di IPB
http://kecubung6.com - ::: kecubung6.com :: : :: Prof. DR. Ir. Wahju Qamara Mugnisjah, Powered M.Agr. by ::Mambo : :: © copyleft 2006 :::
Generated: 29 January, 2017, 14:49