( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.netBAB II TINJAUAN TEORETIS A. Pembelajaran 1. Pengertian Pembelajaran Kata “pembelajaran” adalah terjemahan dari “instruction” yang banyak dipakai dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat. Pembelajaran merupakan istilah yang baru dalam dunia pendidikan. Konsep pembelajaran merupakan konversi dari istilah proses belajar mengajar selama ini digunakan. Jadi konsep pembelajaran sendiri mengandung unsur belajar dan mengajar. Belajar pada hakikatnya adalah suatu aktivitas yang mengharapkan perubahan tingkah laku (behavioral change) pada individu yang belajar. Perubahan tingkah laku tersebut terjadi karena usaha individu yang bersangkutan. Belajar dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti: bahan yang dipelajari, faktor instrumental, lingkungan, dan kondisi individual si pembelajar. Faktor-faktor tersebut diatur sedemikian rupa, sekaligus berpengaruh membantu tercapainya kompetensi secara optimal. Belajar merupakan tindakan, dan prilaku siswa yang kompleks. Sebagai tindakan, maka belajar hanya dialami oleh siswa sendiri. Siswa adalah penentu terjadinya atau tidak terjadinya proses pembelajaran.
Beberapa pakar memberikan definisi tentang belajar. Menurut Witting belajar adalah perubahan yang relatif menetap, terjadi dalam segala macam/keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai hasil pengalaman. Ibnu Maskawaih seorang filosof Islam secara khusus mengakui peranan syariat agama merupakan faktor yang dapat meluruskan karakter, yang membiasakan manusia untuk melakukan perbuatan yang baik, sekaligus mempersiapkan diri mereka untuk menerima kearifan, mengupayakan kebajikan, dan mencapai kebahagiaan melalui berfikir, dan penalaran yang akurat. Senada dengan Ibnu Maskawaih, pakar pendidikan Islam, Naquib al-Attas juga mengemukakan bahwa tujuan mencari ilmu (belajar) adalah untuk menanamkan kebaikan atau keadilan dalam diri manusia sebagai seorang manusia, dan individu, bukan hanya sebagai seorang warga Negara ataupun anggota masyarakat, sehingga yang perlu ditekankan dalam pendidikan adalah nilai manusia sebagai manusa sejati, sebagai warga kota, sebagai warga Negara dalam kerajaannya yang mikro, sebagai suatu yang bersifat spiritual, bukanlah nilai manusia sebagai entitas fisik yang diukur dalam konteks pragmatis, dan utilitarian berdasarkan kegunaannya bagi negara, masyarakat, dan dunia. Menurut Muhibbin Syah, mengajar pada dasarnya merupakan suatu usaha untuk menciptakan kondisi atau sistem lingkungan yang mendukung, dan memungkinkan untuk berlangsungnya pembelajaran. Kalau belajar milik siswa, maka mengajar sebagai kegiatan
guru. Menurut Winarno Surachmad, mengajar adalah menyampaikan pengetahuan kepada siswa. Menurut pengertian ini, berarti tujuan belajar dari siswa itu hanya sekedar ingin mendapatkan, dan menguasai pengetahuan. Sebagai konsekuensi pengertian semacam ini dapat membuat suatu kecenderungan anak menjadi pasif, karena hanya menerima informasi atau pengetahuan yang diberikan oleh gurunya sehingga pengajarannya bersifat teacher centered, jadi gurulah yang memegang posisi kunci dalam proses pembelajaran di kelas. Guru menyampaikan pengetahuan, agar siswa mengetahui tentang pengetahuan yang disampaikan oleh guru. Oleh karena itu, pengajaran seperti ini ada juga yang menyebutkan dengan pengajaran yang intelektualistik. Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa menanamkan pengetahuan kepada siswa dengan suatu harapan terjadi proses pemahaman. Dalam proses ini pula siswa mengenal, dan menguasai budaya bangsa untuk kemudian dapat memperkaya. Hal ini berarti berkat intelektualnya, siswa dapat menciptakan sesuatu yang baru. Mengajar diartikan sebagai suatu aktivitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya, dan menghubungkan dengan baik, sehingga terjadi proses belajar atau dikatakan mengajar sebagai upaya menciptakan kondisi yang kondusif untuk berlangsungnya kegiatan belajar bagi para siswa. Kondisi itu diciptakan sedemikian rupa sehingga membantu perkembangan anak secara optimal, baik jasmani maupun rohani, baik
fisik maupun mental. Pengertian mengajar seperti ini memberikan petunjuk bahwa fungsi pokok dalam mengajar itu adalah menyediakan kondisi yang kondusif, sedang yang berperan aktif dan banyak melakukan kegiatan adalah siswa, dalam upaya menemukan, dan memecahkan masalah, dan yang belajar adalah siswa itu sendiri dengan kegiatannya sendiri, sementara guru dalam hal ini membimbing. Dalam membimbing, dan menyediakan kondisi yang kondusif itu, sudah barang tentu guru tidak dapat mengabaikan faktor atau komponen-komponen lain dalam proses pembelajaran, termasuk bagaimana dirinya sendiri, keadaan siswa, alat-alat peraga atau media, metode, dan sumber-sumber. Konsep mengajar ini dalam pandangan Suparno, memberikan indikator bahwa pengajarannya bersifat pupil centered. Sehingga tercapainya suatu hasil yang optimal sangat tergantung oleh kegiatan siswa itu sendiri. Dengan kata lain, tercapainya tujuan pembelajaran atau hasil pengajaran, itu sangat dipengaruhi oleh bagaimana aktivitas siswa di dalam belajar. Pembelajaran adalah pemindahann pengetahuan dari seseorang yang mempunyai pengetahuan kepada orang lain yang belum mengetahui. Pengetahuan yang dipindahkan tersebut berasal dari dua sumber, yakni: sumber Ilahi dan sumber manusiawi. Pemindahannya dilakukan melalui proses pembelajaran, dimana terjadi interaksi antara pengajar sebagai katalisator dengan pelajar sebagai katalis. Pelajar secara kontinyu menyempurnakan diri sehingga mampu menjadi katalis yang semakin meningkat kemampuannya. Agar proses pembelajaran berlangsung baik dibuatlah suatu system pengajaran yang berorientasi pada tujuan (goel oriented) yang telah ditetapkan dalam
pendidikan Islam. Karena sebetulnya merupakan salah satu komponen dalam sistem pengajaran. Wina Sanjaya lebih lanjut menjelaskan bahwa terdapat beberapa karakteristik penting dari istilah pembelajaran, yaitu: 1. Pembelajaran berarti membelajarkan siswa. 2. Proses pembelajaran berlangsung dimana saja 3. Pembelajaran berorientasi pada pencapaian tujuan. Sejalan dengan pembelajaran sebagai suatu proses, Abdul Rachman Shaleh mengartikan bahwa: “Proses pembelajaran adalah interaksi yang bernilai positif antara siswa dan pendidik yang bertujuan adanya perubahan ke arah peningkatan kemampuan siswa. Terlaksananya proses pembelajaran yang baik adalah tercapainya efektivitas pembelajaran, dimana siswa merupakan pusat dari kegiatan pembelajaran. Dalam praktik dunia pendidikan di sekolah atau madrasah didapatkan siswa sebagai pembelajar, bertindak belajar mata pelajaran selama waktu atau jam pelajaran tertentu. Guru sebagai pengajar di kelas berusaha membelajarkan siswa dengan menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar. Setelah proses pembelajaran dalam masa pelajaran, diadakan evaluasi hasil belajar. 2. Komponen Pembelajaran Pembelajaran sebagai suatu proses pasti mempunyai usaha agar dapat mengembangkan situasi, dan kondisi dalam pelaksanaan pembelajaran sehingga dapat
mencapai tujuan secara optimal. Nana Sudjana menjelaskan secara singkat komponen pembelajaran yang mendasar, yaitu: a. Kemana proses tersebut akan diarahkan b. Apa yang harus dibahas dalam proses tersebut c. Bagaimana cara melakukannya d. Bagaimana mengetahui berhasil tidaknya proses tetrsebut. Singkatnya, ada lima komponen pembelajaran yang harus didesain guru dalam melaksanakan tugas pembelajaran, yaitu: tujuan, bahan, metode, dan alat, serta penilaian. Sedangkan Syaiful Bahri Djamarah, dan Aswan Zain lebih mengembangkan tujuh komponen pembelajaran, yaitu: tujuan, bahan pelajaran, kegiatan pembelajaran, metode, alat, dan sumber, serta evaluasi. Lebih meluas lagi dalam hal ini, apa yang dikenal dengan silabus sebagai rencana yang mengatur kegiatan pembelajaran, pengelolaan kelas, dan penilaian hasil belajar di kelas untuk mencapai suatu kompetensi. Ella Yulaelawati menggambarkan delapan komponen silabus, sebagai berikut: Tabel 1. Komponen Silabus, dan Penjelasannya No. 1.
Komponen Silabus Tujuan
Penjelasan Tujuan mencerminkan upaya memproduksi hasil belajar yang bertahan lama setelah siswa menyelesaikan kegiatan
pembelajaran. 2.
Kompetensi Dasar
Penempatan komponen kompetensi dasar dalam silabus sangat disarankan, hal ini berguna untuk mengingatkan para guru seberapa jauh tuntutan target kompetensi yang harus dicapainya.
3.
Hasil Belajar, dan
Hasil belajar mencerminkan kemampuan siswa dalam
Indikator
memenuhi suatu tahapan pencapaian pengalaman belajar dalam satu kompetensi dasar. Hasil belajar dapat dirinci sebagai indikator. Indikator merupakan rincian hasil belajar yang lebih spesifik.
4.
Kegiatan
Pembelajaran memuat rangkaian kegiatan siswa yang
Pembelajaran
dikelola secara sistematis, dan menyeluruh untuk mencapai tujuan pembelajaran.
5.
Materi
Cantumkan materi pokok yang sesuai dengan standard kompetensi mata pelajaran.
6.
Alokasi Waktu
Penentuan alokasi waktu disesuaikan dengan kompetensi, kedalaman, dan keluasan materi untuk mencapai hasil belajar.
7.
Sarana, dan Sumber Sarana, dan sumber mencakup alat, bahan, serta sumber
Belajar
yang bermanfaat untuk mempermudah siswa mencapai suatu kompetensi melalui kegiatan pembelajaran.
8.
Penilaian
Penilaian merupakan serangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan hasil belajar secara berkesinambungan, menyeluruh, sistematis, serta untuk menggunakan informasi tersebut dalam pengambilan keputudan.
Uraian ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Tujuan Tujuan menekankan pada hal sebagai berikut: 1) Keterkaitan tujuan dengan standar kompetensi lulusan yang telah ditetapkan 2) Indikator hasil belajar yang diharapkan dapat dicapai setelah kegiatan pembelajaran 3) Kelulusan, kedalaman materi 4) Pertimbangan terhadap alokasi waktu, dan sumber belajar 5) Dapat dilaksanakan untuk mencapai ketuntasan belajar 6) Keterkaitan yang jelas antara pengalaman belajar, dan hasil belajar yang diharapkan. b. Kompetensi Dasar Beberapa kompetensi yang ditampakkan, yaitu aspek, subaspek, standar
kompetensi, kompetensi dasar, indikator, dan materi pokok. c. Hasil Belajar dan Indikator Hasil belajar merupakan fokus kinerja yang mencerminkan keluasan, dan kedalaman, serta kerumitan kompetensi yang dirumuskan dalam pengetahuan, perilaku, keterampilan, sikap, dan nilai yang dapat diukur dengan menggunakan berbagai teknik penilaian. Sedangkan indikator menjelaskan gagasan kunci tentang kinerja siswa yang dapat ditunjukkan melalui tulisan, presentasi, dan kinerja dalam tes atau tugas yang dihasilkan siswa. d. Kegiatan Pembelajaran Ada tiga hal pokok dalam kegiatan pembelajaran, yaitu: pre tes, proses, dan post tes. Mulyasa menjelaskan secara ringkas berikut ini: 1) Pretest Fungsi pre tes yaitu, (a) untuk menyiapkan siswa dalam proses pembelajaran, karena mereka akan terfokus pada soal-soal yang mereka jawab, (b) untuk mengetahui tingkat kemajuan siswa sehubungan dengan proses pembelajaran yang dilakukan dengan membandingkan pretes dengan post tes, (c) untuk mengetahui kemampuan awal yang dimiliki siswa mengenai bahan ajaran yang dijadikan topik dalam proses pembelajaran, (d) untuk mengetahui darimana seharusnya proses pembelajaran dimulai, tujuan mana yang telah dikuasai. 2) Proses
Proses sebagai kegiatan dari pelaksanaan proses pembelajaran, yakni bagaimana tujuan belajar direalisasikan melalui modul. Proses pembelajaran dikatakan efektif apabila seluruh siswa terlibat secara aktif, baik mental, fisik, maupun sosial. Kualitas pembelajaran dapat dilihat dari segi proses, dan dari segi hasil. Apabila seluruhnya atau setidaknya sebagian besar (75%) siswa terlibat secara aktif, baik fisik, mental, maupun sosial dalam proses pembelajaran, dan terjadi perubahan perilaku yang positif. 3) Post tes Fungsi post tes, antara lain: a) Untuk mengetahui tingkat penguasaan siswa terhadap kompetensi yang telah ditentukan, baik individu maupun kelompok, b) Untuk mengetahui kompetensi, dan tujuan yang dapat dikuasai oleh siswa, serta kompetensi, dan tujuan-tujuan yang belum dikuasainya, c) Untuk mengetahui siswa yang perlu mengikuti kegiatan remedial, dan yang perlu mengikuti kegiatan pengayaan, serta untuk mengetahui tingkat kesukaran belajar, d) Sebagai bahan acuan untuk melakukan perbaikan terhadap kompinen-komponen modul, dan proses pembelajaran yang tidak dilaksanakan. Tidak kalah pentingnya dalam kegiatan pembelajaran, yaitu metode yang digunakan guru bervariasi sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Winarno Surakhmad dalam Syaiful
Bahri Djamarah dan Aswan Zain mengemukakan lima faktor yang mempengaruhi penggunaan metode mengajar, sebagai berikut: a. Tujuan dengan berbagai jenis fungsinya, b. Anak didik yang berbagai tingkat kematangannya, c. Situasi yang berbagai keadaannya, d. Pribadi guru serta kemampuan profesionalnya yang berbeda-beda. e. Materi Ella Yulaelawati memberikan rambu-rambu bahwa materi dapat diperdalam secara kontekstual dengan memperhatikan hal-hal berikut: 1. Kebenaran materi secara keilmuan, 2. Kebermanfaatan materi sesuai usia, kebutuhan, dan potensi siswa, 3. Menarik siswa sehingga mendorong rasa ingin tahu, dan memotivasi siswa untuk mempelajarinya lebih lanjut. Sementara itu Dimyati dan Mudjiono menjelaskan bahwa isi atau materi adalah semua pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai, dan sifat yang berorganisasi dalam mata pelajaran/bidang studi. Sedangkan pengalaman belajar dapat diartikan sebagai kegiatan belajar tentang atau belajar bagaimana disipllin berfikir dari suatu disiplin ilmu. Dengan demikian, jelaslah bahwa baik materi/isi kurikulum, maupun pengalaman belajar harus dipikirkan, dan dikaji, serta diorbanisasikan dalam pengembangan kurikulum. f. Alokasi Waktu
Penentuan besarnya alokasi waktu disesuaikan dengan tujuan pembelajaran, kedalaman, dan keluasan materi, serta kemanfaatannya bagi siswa, potensi, dan kondisi sekolah/daerah.Dalam proses pembelajaran pendidikan agama Islam di sekolah terbagi menjadi dua: proses belajar intrakurikuler, dan proses belajar ekstrakurikuler. Untuk kegiatan intrakurikuler, waktu proses 2 jam pelajaran atau sekitar 2 x 45 menit, dengan kurikulum yang sudah disusun oleh Kementerian Agama. Sedangkan untuk pengajaran ekstrakurikuler, dilakukan di luar jam sekolah atau pada jam-jam ekstra yang difasilitasi sekolah. Kegiatan pengajaran jenis ini biasanya melalui organisasi ekstra keagamaan yang ada di sekolah yang umum disebut ROHIS (Rohani Islam). g. Sarana dan Sumber Belajar 1) Sarana Sarana berfungsi memindahkan terjadinya proses pembelajaran. Lebih lanjut, Ella Yulaelawati menjelaskan ciri-ciri sarana sebagai berikut: a) Menarik perhatian, dan minat siswa b) Meletakkan
dasar-dasar
untuk
memahami suatu hal secara konkret yang
sekaligus
mencegah
atau
mengurangi verbalisme c) Merangsang tumbuhnya pengertian, dan pengembangan nilai-nilai
d) Berguna, dan berfungsi ganda e) Sederhana, mudah digunakan, dan dirawat, dapat dibuat sendiri oleh guru atau diambil dari lingkungan sekitarnya. 2) Sumber Belajar S. Nasution secara ringkas menentukan sumber belajar, yaitu masyarakat, dan kebudayannya, anak dengan minat, serta kebutuhannya, serta pengetahuan yang telah dikumpulkan oleh umat manusia sebagai hasil pengalamannya, dan telah disusun secara sistematis oleh para ilmuwan dalam sejumlah disiplin ilmu. h. Penilaian Penilaian atau evaluasi disebut juga evaluasi hasil pembelajaran. Dalam evaluasi ini disusun butir-butir soal untuk mengukur pencapaian tiap tujuan khusus yang telah ditentukan. Untuk tiap tujuan khusus, minimal disusun satu butir soal. Menurut lingkup luas bahan, dan jangka waktu belajar dibedakan antara evaluasi formatif, dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif ditujukan untuk menilai penguasaan siswa terhadap tujuan-tujuan belajar dalam jangka waktu yang relatif pendek. Tujuan utama dari evaluasi formatif sebenarnya lebih besar ditujukan untuk menilai proses pengajaran. Sedangkan, evaluasi sumatif ditujukan untuk menilai penguasaan siswa terhadap tujuan-tujuan yang lebih luas sebagai hasil usaha belajar dalam jangka waktu yang cukup lama, satu semester, satu tahun,
atau selama jenjang pendidikan. Evaluasi sumatif mempunyai fungsi yang lebih luas dari pada evaluasi formatif. Dalam kurikulum pendidikan dasar, dan menengah, evaluasi sumatif dimaksudkan untuk menilai kemajuan belajar siswa (kenaikan kelas, kelulusan ujian), serta menilai efektivitas program secara menyeluruh. 3. Pendekatan dalam Pembelajaran Guru dalam mengajar harus pandai menggunakan pendekatan secara arif dan bijaksana, bukan sembarangan yang bisa merugikan siswa. Pandangan guru terhadap siswa akan menentukan sikap perbuatan. Seorang guru tidak selalu mempunyai pandangan yang sama dalam hal menilai siswa. Hal ini akan mempengaruhi pendekatan yang guru ambil dalam pengajaran. Ada beberapa pendekatan yang dikemukakan oleh Syaiful Bahri Djamarah untuk membantu guru dalam memecahkan berbagai permasalahan: a. Pendekatan individual, dalam
kelas
b e r ma c a m- ma c a m kelompok
siswa
dengan prilaku yang berbeda-beda. M a s ing- ma s ing memiliki karakteristik
tersendiri
yang
berbeda dengan siswa yang lainnya. b. P e n d e k a t a n kelompok,
hal
ini
didasari bahwa siswa adalah
sejenis
makhluk
homo
socius, yakni makhluk y
a
n
g
b e rk e c e nd e runga n untuk hidup bersama. Dengan
pendekatan
kelompok diharapkan dapat dan
ditumbuhkan dikembangkan
rasa sosial yang tinggi pada diri setiap siswa. c. Pendekatan bervariasi, jika
guru
hanya
menggunakan metode sukar
satu biasanya
menciptakan
suasana kelas yang kondusif. Jika terjadi perubahan,
suasana
kelas sulit dinormalkan kembali. Ini sebagai tanda ada gangguan dalam proses interaksi edukatif.
Akibatnya
pembelajaran menjadi kurang efektif. Karena permasalahan
yang
dihadapi
siswa
biasanya
bervariasi,
maka
pendekatan
yang digunakan pun akan dengan
lebih
tepat
pendekatan
yang bervariasi pula. d. Pendekatan edukatif, setiap tindakan, sikap dan perbuatan yang guru lakukan harus bernilai
pendidikan,
dengan tujuan untuk mendidik siswa agar menghargai
norma
hukum, norma sosial, dan norma agama. Dari beberapa pendekatan yang telah disebutkan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa, guru diharuskan menciptakan suatu pendekatan. Karena jika guru hanya mengajar di dalam kelas saja, belum dijamin akan terbentuknya kepribadian siswa yang berakhlak mulia. Sangat dibutuhkan pendekatan dalam proses pembelajaran di dalam kelas, agar perbedaan daya serap siswa bisa diatasi. Begitu banyak siswa yang berilmu dan mempunyai keterampilan, tetapi belum tentu berakhlak mulia. Namun demikian, bukan berarti tidak diperlukan, tentu saja yang diharapkan siswa yang mempunyai ilmu pengetahuan, dan keterampilan, serta beraklak mulia.
4. Peran Guru dalam Pembelajaran Guru adalah salah satu komponen dalam proses pembelajaran yang ikut berperan dalam usaha pembentukan sumber daya manusia yang potensial dibidang pembangunan. Oleh karena itu guru merupakan salah satu unsu dibidang kependidikan yang harus berperan serta secara aktif, dan menempatkan kedudukannya sebagai tenaga professional, sesuai dengan tuntutan masyarakat yang semakin berkembang. Dalam arti khusus dapat dikatakan bahwa pada setiap diri guru, terletak tanggung jawab untuk membawa para siswa menuju kedewasaan atau taraf kematangan tertentu. Hubungan antara guru dan siswa selama proses pembelajaran
tidak dapat
dipisahkan, karena merupakan faktor yang sangat menentukan keberhasilan suatu pembelajaran. Jika seorang guru tidak mampu menarik perhatian siswa untuk menekuni pelajarannya, maka tidak dapat menciptakan hasil yang diinginkan. Dengan demikian, guru harus menciptakan situasi hubungan seperti orang tua dan anak. Ada beberapa sifat yang harus dimiliki oleh seorang guru/pembina, agar mereka dapat menjadi teladan bagi siswanya, yaitu: a. b. c. d. e. f. g.
Bersih dan suci lahir batin Memiliki sifat lemah lembut dan berbudi luhur Ramah, santun, dan menjauhi sifat bengis Memiliki hati yang penuh kasih sayang Bersifat fleksibel Menjauhi sifat amarah Berlaku moderat
h. Membatasi diri dalam memberikan nasihat yang baik i. Sabar dan pemaaf j. Jujur, adil, dan bijaksana k. Ikhlas l. Bertanggung jawab m. Bertaqwa Guru memiliki andil yang sangat besar terhadap pembelajaran di sekolah dan sangat berperan dalam membantu perkembangan siswa untuk mewujudkan tujuan hidupnya. Minat, bakat, kemampuan, dan potensi-potensi yang dimiliki oleh siswa tidak dapat berkembang secara optimal tanpa bantuan guru. Dalam kaitan ini, guru perlu memperhatikan siswa secara individual, karena antara satu siswa dengan yang lain memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Penggunaan metode yang tepat dapat meningkatkan motivasi belajar siswa sehingga mengurangi atau mempersiapkan dirinya dalam menghadapi kendala-kendala yang ada dalam rangka pencapaian tujuan pembelajaran yang diharapkan. Karena jika dilihat dari faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tercapainya tujuan pembelajaran selain faktor guru, faktor kesadaran siswa mempunyai posisi yang tidak kalah pentingnya. Hal inilah yang menjadi harapan elemen-elemen pembelajaran, sehingga proses pembentukan akhlak kepada siswa dapat berjalan secara alami. Oleh karena itulah penguasaan materi pelajaran bukanlah akhir dari proses pembelajaran, akan tetapi hanya sebagai tujuan untuk pembentukan tingkah laku siswa. Artinya, sejauhmana materi pelajaran yang dikuasai siswa dalam membentuk pola prilaku
siswa itu sendiri. Untuk itulah dalam memperlancar proses pembelajaran maka metode pembelajaran sangat dibutuhkan, karena merupakan salah satu cara menerapkan nilai-nilai ajar yang dapat menanamkan akhlak dalam diri siswa. Guru dapat diteladani oleh siswa melalui dua cara; yakni: pengaruh langsung yang tidak disengaja, seperti keilmuan, kepemimpinan, keikhlasan, keramahan, dan sebagainya, serta pengaruh yang disengaja, seperti memberikan contoh membaca yang baik kemudian ditiru oleh siswa, atau memperagakan cara shalat yang sempurna untuk ditiru oleh siswa, dan sebagainya. Guru mempunyai kewajiban untuk menyampaikan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan, tidak hanya melalui pembelajaran di kelas, tetapi yang lebih penting adalah menampilkan perannya sebagai sosok yang mampu ditaati dan dicontoh. Metode keteladanan sangat kondusif untuk menumbuhkembangkan keimanan dan ketakwaan siswa dalam rangka melahirkan akhlak mulia. Dalam pembelajaran, metode dan tujuan pembelajaran memiliki hubungan yang sangat erat. Semakin baik metode yang digunakan, semakin efektif pula pencapaian tujuan. Ini tidak berarti bahwa metode yang baik akan menjamin hasil yang baik secara otomatis, sebab metode bukanlah satu-satunya kunci kesuksesan. Oleh karena itu, penggunaan metode tetap harus memperhatikan faktor-faktor lainnya, seperti tujuan yang hendak dicapai, kondisi siswa, kemampuan guru, dan sebagainya. Seorang guru dituntut kreativitasnya dalam menumbuhkan rasa percaya diri
siswanya agar berani dan bertanggung jawab dalam belajar. Misalnya, guru mengajikan pertanyaan, lalu siswa menjawab dan ternyata jawaban itu salah, maka guru perlu memberikan motivasi kepada siswa dengan cara penguatan verbal, yaitu pujian atau dorongan yang diucapkan oleh guru untuk respon atau tingkah laku. Ucapan tersebut dapat berupa kata-kata; jawabannya sudah hampir benar atau dengan cara menampakkan mimik yang cerah, dengan senyum, mengangguk, acungan jempol, tepuk tangan. Semua cara tersebut merupakan bentuk pemberian penguatan agar siswa bangkit motivasinya (rasa percaya diri). Jika dibandingkan dengan guru yang mengatakan bahwa jawaban kamu salah, secara tidak langsung perasaan siswa tersebut malu, atau teman-temannya yang lain takut untuk menjawab, jangan sampai jawaban yang dikatakannya juga salah. Apabila hal ini terjadi pada diri siswa maka tujuan yang diharapkan tentu tidak akan tercapai. Guru diharapkan dapat memberikan kemudahan belajar bagi seluruh siswa, agar mereka dapat mengembangkan potensinya secara optimal. Untuk itu guru harus kreatif, professional, dan menyenangkan dengan memposisikan diri sebagai: a. Orang tua yang penuh kasih sayang kepada siswanya. b. Teman, tempat mengadu, dan mengutarakan perasaan bagi para siswanya. c. Fasilitator yang selalu siap memberikan kemudahan, dan melayani siswa sesuai minat, kemampuan dan bakatnya. d. Memberikan sumbangan pemikiran kepada orang tua untuk dapat mengetahui permasalahan yang dihadapi siswa dan memberikan saran pemecahannya. e. Memupuk rasa percaya diri, berani dan bertanggung jawab. f. Membiasakan siswa untuk saling bersilaturahmi dengan orang lain secara wajar. Untuk memenuhi tuntutan di atas, guru harus mampu memaknai pembelajaran serta
menjadikan pembelajaran sebagai ajang pembentukan kompetensi dan perbaikan kualitas pribadi siswa. Untuk kepentingan tersebut, maka dalam Undang Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dijelaskan bahwa tugas utama seorang guru adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi siswa. Apabila guru tidak mengoptimalkan perannya dalam proses pembelajaran, maka ia bisa saja melakukan kesalahan-kesalahan dalam menunaikan tugasnya. Dan yang lebih fatal lagi jika kesalahan-kesalahan itu dianggap sebagai sesuatu yang wajar, padahal sekecil apapun kesalahan yang dilakukan guru, akan berdampak negatif terhadap perkembangan siswa. Paling tidak ada 7 (Tujuh) kesalahan yang sering dilakukan guru dalam pembelajaran, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Mengambil jalan pintas dalam pembelajaran. Menunggu siswa berprilaku negatif. Menggunakan destruktif disiplin. Mengabaikan kebutuhan-kebutuhan khusus (perbedaan individu siswa). Merasa diri paling di kelasnya. Tidak adil (deskriminatif). Memaksa hak siswa.
Dengan mencermati pandangan tentang peran guru dalam pembelajaran dan untuk meminimalisir kesalahan guru dalam melaksanakan tugas mengajar, maka menurut hemat penulis, di era globalisasi saat ini paling tidak ada 7 peran yang harus dimiliki oleh guru dalam proses pembelajaran, sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yakni: a. Guru Sebagai Pendidik
Guru sebagai pendidik menjadi tokoh bagi siswa dan lingkungannya. Oleh karena itu guru harus memiliki standar kualitas pribadi, seperti tanggung jawab, wibawa, mandiri, dan disiplin. Guru harus mengetahui serta memahami nilai, norma moral, dan sosial, serta berusaha berprilaku dan berbuat sesuai norma tersebut. Ketika guru menyampaikan ajaran moral hendaknya bertitik tolak dari lubuk hatinya dengan tulus, sehingga siswa pun akan menerima dengan hati yang tulus pula. Penyatuan kata dan perbuatan dituntut dari guru, bukan lain perkataan dengan perbuatan. b. Guru Sebagai Pengajar Sejak adanya kehidupan, sejak itu pula tugas mengajar dimulai, Sebagai pengajar pertama adalah Allah swt., seperti digambarkan dalam Q.S. al-Baqarah (2): 31:
zN¯=tæur tPy#uä uä!$oÿôF{$# $yg¯=ä. §NèO öNåkyÎztä n?tã Ïps3Í´¯»n=yJø9$# tA$s)sù ÎTqä«Î6/Rr& Ïä!$yJór'Î/ ÏäIwàs¯»yd bÎ) öNçFZä. tûüÏ%Ï»|¹ ÇÌÊÈ Terjemahnya: Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!. Tugas mulia ini telah diwariskan kepada manusia, yakni ulama, karena hanya ulama yang dapat takut kepada Allah swt. Hal ini telah dijelaskan dalam Q.S. Fathir (35):28:
3…… $yJ¯RÎ) Óy´øs ©!$# ô`ÏB
ÍnÏ$t6Ïã (#às¯»yJn=ãèø9$# 3 cÎ) ©!$# îÍtã îqàÿxî ÇËÑÈ Terjemahnya: Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. Abd. Muin Salim berpendapat bahwa kata ulama pada ayat di atas, termasuk di dalamnya adalah guru. Ilmu pada hakikatnya berarti berbekas, yakni berbekas dihati, berbekas dipikiran, dan berbekas dalam perbuatan. Guru yang berhasil adalah guru yang mengajar dengan memberikan bekas pada hati, pikiran, dan perbuatan siswa untuk melakukan kebaikan di atas dunia ini. Sehubungan dengan penjelasan tersebut di atas maka penulis berpendapat bahwa ketika guru mulai mengajar seharusnya mengajak siswa untuk berdoa bersama-sama dan apa yang dilakukan mulai dari awal hingga menutup pelajaran diniatkan sebagai ibadah kepada Allah swt. Agar hasil ajar dapat memberikan bekas pada hati, pikiran dan perbuatan siswa dalam kehidupan kesehariannya. c. Guru sebagai pembimbing Guru dapat diibaratkan sebagai pembimbing perjalanan yang berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya bertanggung jawab atas kelancaran perjalanan. Dalam perjalanan tidak hanya menyangkut fisik tetapi juga perjalanan mental, emosional, kreativitas, moral dan spiritual yang lebih dalam dan kompleks. Sebagai pembimbing, guru harus merumuskan tujuan secara jelas, menetapkan waktu perjalanan, menetapkan jalan
yang harus ditempuh, menggunakan petunjuk perjalanan, serta menilai kelancarannya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan siswa. Sebagai pembimbing guru harus bertanggung jawab terhadap apa yang dia lakukan dalam perjalanan untuk membawa siswa sampai kepada tujuan dengan selamat. d. Guru sebagai pengarah Peran guru sebagai pengarah sangat penting dalam proses pembelajaran, karena menyangkut esesni pekerjaan mendidik yang membutuhkan kemahiran sosial, menyangkut performance dalam personalisasi diri dan sosialisasi diri. Sebagai pengarah, guru hendaknya dapat mendorong siswa agar bergairah dan aktif belajar. Untuk itu guru perlu menganalisis faktor background yang membuat siswa malas belajar dan menurun prestasinya. Motivasi dapat efektif bila dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan siswa, penganekaragaman cara belajar, dan penganekaragaman cara memberi penguatan, dan sebagainya. Dalam kegiatan ini, guru sebagai pengarah harus mampu membangkitkan motivasi belajar dengan memperhatikan prinsi-prinsip berikut : (a) Siswa akan bekerja keras kalau memiliki minat dan perhatian terhadap pekerjaannya. (b) Memberikan tugas yang jelas dan dapat dimengerti. (c) Memberikan penghargaan terhadap hasil kerja dan prestasi siswa. (d) Menggunakan hadiah dan hukuman secara efektif dan tepat. (e) Memberikan penilaian dengan adil dan transparan. Guru dalam mengarahkan kepada siswa hendaknya memperhatikan minat dan
kondisi psikologis siswa, agar penguatan yang diberikan dapat efektif, sehingga siswa dapat bergairah belajar. e. Guru sebagai pelatih Dalam proses pembelajaran memerlukan latihan keterampilan, baik intelektual maupun motorik, sehingga menuntut guru untuk bertindak sebagai pelatih, karena tanpa latihan seorang siswa tidak akan mampu menunjukkan penguasaan kompetensi dasar, dan tidak akan mahir dalam berbagai keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan materi standar. Oleh Karena itu, guru harus berperan sebagai pelatih dalam pembentukan kompetensi dasar siswa sesuai potensinya masing-masing. f. Guru sebagai penilai atau mengevaluasi Guru melakukan penilaian atau mengevaluasi siswa dalam proses pembelajaran sangat penting, dan dapat dipandang sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan proses pembelajaran. Hal ini karena dengan evaluasi dapat diketahui apakah proses pembelajaran tersebut telah mencapai tujuan atau belum. Dengan evaluasi juga akan diketahui faktor-faktor apa saja yang menjadikan penyebab proses pembelajaran tersebut berhasil dan faktor-faktor apa saja yang menjadikan penyebab tidak atau belum berhasil. Dengan diketahuinya hal-hal tersebut, akan dapat dijadikan sebagai titik tolak dalam mengadakan perbaikan proses pembelajaran. Disini fungsi evaluasi juga untuk mengetahui apakah penanaman akhlak itu sudah efektif atau belum. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa evaluasi tidak dapat
terpisahkan dengan keseluruhan proses pembelajaran. Dari uraian di atas, tampak bahwa peran guru dalam proses pembelajaran sangat penting dalam mewujudkan siswa yang menguasai ilmu pengetahuan dan tekhnologi serta berakhlak mulia. Oleh karena itu guru dituntut untuk harus lebih dahulu berakhlak mulia. Hal ini sangat penting karena telah diperingatkan oleh Allah swt. Bahwa jika kamu beriman mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat, ketahuilah bahwa sangat dimurkai disisi Allah jika kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan. Sebagaimana firman Allah swt. Dalam Q.S. al-Shaf ayat 2-3:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä zNÏ9 cqä9qà)s? $tB w tbqè=yèøÿs? ÇËÈ uã92 $ºFø)tB yYÏã «!$# br& (#qä9qà)s? $tB w cqè=yèøÿs? ÇÌÈ Terjemahnya : Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. Quraish Shihab mengatakan bahwa ayat di atas adalah kecaman terhadap orang munafik, bukan kecaman terhadap orang-orang mukmin, karena sifat orang-orang mukmin sedemikian tinggi sehingga mereka tidak perlu dikecam. Ayat tersebut juga mengecam orang yang imannya masih lemah, yaitu lemah tekad walaupun mereka bukan munafik. Karena itu ayat di atas menggunakan kata allazi>na a>manu> bukan al-mu’minu>n.
Melalui ayat inilah mereka dididik sehingga akhirnya mencapai peringkat keimanan yang tinggi (mu’minu>n). Sedangkan Sayyid Quthb mengatakan bahwa ayat tersebut terlihat penyatuan akhlak pribadi dengan kebutuhan masyarakat, juga mengandung sanksi dari Allah swt. Serta kecaman terhadap orang beriman yang mengucapkan apa yang mereka tidak kerjakan. Ini menggambarkan sisi pokok dari kepribadian seorang muslim, yakni kebenaran dan istiqa>mah (konsistensi) serta kelurusan sikap, dan bahwa batinnya sama dengan lahirnya, pengamalannya sesuai dengan ucapannya. Mencermati uraian di atas maka seorang guru harus mempunyai tekad yang kuat dalam memperbaiki perilakunya, sesuai ucapan dengan perbuatannya, dan konsisten dalam menjalankan tugasnya, agar dapat mencapai tingkat mu’minu>n. B. Pendidikan Agama Islam 1. Pengertian Pendidikan Agama Islam Pendidikan agama Islam merupakan usaha sadar dan terencana untuk menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran diri atau latihan. Pendidikan agama Islam pada hakikatnya merupakan sebuah proses, dalam perkembangannya juga dimaksudkan sebagai rumpun mata pelajaran yang diajarkan di sekolah maupun perguruan tinggi. Pelajaran pendidikan agama Islam ini jelas dituntut kepatuhan mengikuti aturan dan
kewajiban agama yang dianutnya. Siswa akan belajar untuk membedakan perbuatan yang baik dan yang buruk. Pelajaran agama akan memberikan pengertian akan norma-norma kehidupan, memupuk rasa bersyukur, puas, toleransi, serta disiplin. Dalam pelajaran agama, seorang siswa juga diarahkan pada pertanggungjawaban individual sekaligus sebagai anggota masyarakat. Dalam agama seseorang akan memperoleh dari apa yang dikerjakan. Pendidikan agama Islam berkenaan dengan tanggung jawab bersama. Oleh karena itu, usaha yang secara sadar dilakukan oleh guru mempengaruhi siswa dalam rangka pembentukan manusia beragama yang diperlukan dalam pengembangan kehidupan beragama dan sebagai salah satu sarana pendidikan nasional dalam rangka meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Haidar Putra Daulay, mengemukakan bahwa pendidikan Islam pada dasarnya adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia, baik yang berbentuk jasmani, maupun rohani. Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan agama Islam adalah suatu aktivitas atau usaha tindakan dan bimbingan yang dilakukan secara sadar, sengaja, dan terencana yang mengarah pada terbentuknya kepribadian anak didik yang sesuai dengan norma-norma yang ditentukan oleh ajaran agama. Pendidikan agama Islam juga merupakan upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan siswa untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani, bertaqwa, dan berakhlak mulia dalam mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya yaitu
kitab suci al-Qur’an dan al-Hadis, melalui kegiatan bimbingan pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman. Terbentuknya kepribadian yakni pendidikan yang diarahkan pada terbentuknya kepribadian muslim, kepribadian muslim adalah pribadi yang ajaran Islam nya menjadi sebuah pandangan hidup, sehingga cara berpikir, merasa, dan bersikap, sesuai dengan ajaran Islam. Pendidikan agama Islam itu adalah usaha berupa bimbingan, baik jasmani, maupun rohani kepada anak didik menurut ajaran Islam, agar kelak dapat berguna menjadi pedoman hidupnya untuk mencapai kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.
2. Tujuan Pendidikan Agama Islam Adapun tujuan pendidikan agama Islam pada sekolah adalah untuk meningkatkan keyakinan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan siswa tentang agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim yangberiman dan bertaqwa kepada Allah swt. berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Tujuan pendidikan agama Islam tersebut jelas langsung mengarah pada pencapaian tujuan pendidikan nasional, sebagaimana dirumuskan dalam GBHN 1993 adaah untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, berdisiplin, beretos kerja,
professional, bertanggung jawab, dan produktif, serta sehat jasmani dan rohani. Menyadari akan urgensinya dalam kehidupan bangsa ini, maka dalam pasal 3 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk
berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan pendidikan nasional ini selaras dengan tujuan pembangunan nasional, bahkan juga dengan ajaran agama Islam itu sendiri. Sehubungan dengan itu, dalam pasala 36 dan 37 Undang Undang tersebut, ditegaskan pula bahwa kurikulum disususn antara lain dengan memperhatikan iman, taqwa, dan akhlak mulia, serta wajib berisi pendidikan agama, terutama untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah. Uraian di atas seharusnya menjadi refleksi bagi semua pihak yang terlibat dalam pendidikan, dan khususnya pendidikan agama Islam, untuk terus melakukan introspeksi dan evaluasi diri, sehingga dapat ditemukan solusi strategis yang tepat dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan agama di sekolah. Strategi yang efektif semakin dibutuhkan di sekolah untuk meningkatkan kualitas hasil pembelajaran pendidikan agama Islam. Terlebih dewasa ini, di mana godaan dan hambatan untuk menginternalisasi nilai-nilai agama semakin meningkat. Sementara problem kehidupan juga semakin kompleks.
Akibatnya, agama disatu sisi semakin dibutuhkan, namun pada saat yang sama masyarakat (sebagian) juga sedang mengalami pendangkalan penghayatan dan pengalamannya terhadap agama. Sedangkan secara khusus tujuan pendidikan agama Islam telah tercapai apabila: e. Siswa telah memiliki pengetahuan secara fungsional tentang agama Islam serta me nga ma lk a nn y a dalam kehidupan sehari-hari. f. Siswa menyakini tentang kebenaran ajaran agama Islam dan menghormati orang lain. Meyakini agamanya. g. Siswa mempunyai gairah untuk beribadah. h. Siswa mampu membaca kitab al-Qur’an dan menyalinnya serta b e r u s a h a memahaminya. i. Siswa memiliki sifat kepribadian muslim (berakhlak mulia). j. Siswa rajin belajar, giat bekerja, gemar berbuat baik, dan menolong sesamanya. k. Siswa dapat mensyukuri nikmat yang Allah berikan
baik berupa kesehatan, kehidupan, dan harta kekayaan. l. Siswa dapat m e m a h a m i , menghayati, dan mengambil hikmah, serta manfaat dari peristiwa- peristiwa tarikh Islam. m. Siswa mampu menciptakan suasana rukun dalam kehidupan beragama, b e r ma s ya r a k a t , berbangsa, dan bernegara. C. Konsep Akhlak 1. Pengertian Akhlak Secara etimologi “akhlak” berasal dari bahasa arab, jamak dari bentuk mufradatnya “kha>laqa” yang menurut bahasa diartikan; Budi pekerti, perangai, tingkah laku, tabiat. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata “akhlak” diartikan budi pekerti atau kelakuan. Sedang dalam bahasa Inggris diartikan “ethnic” dan ethos, ethikos atau etika dalam bahasa Yunani. Kata tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan “khalqun” yang berarti kejadian, yang juga erat hubungannya dengan Kha>lik yang berarti pencipta; demikian pula dengan makhluqun yang berarti diciptakan. Dalam ensiklopedi Islam, al-khu
pekerti, 2) kebiasaan atau adat, 3) keperwiraan, kesatriaan, kejantanan, 4) agama, dan 5) kemarahan (al-Ga>dab). Dasamping kata “akhlak“ terdapat pula istilah “ilmu akhlak”. Ilmu akhlak adalah ilmu yang menentukan antara batas baik dan buruk, terpuji dan tercela, tentang perkataan dan perbuatan manusia lahir dan batin. Dengan perkataan, ilmu akhlak adalah: n. Menjelaskan arti baik dan buruk o. Menerangkan yang
apa
seharusnya
dilakukan p. Menunjukan untuk
jalan
melakukan
perbuatan q. Menyatukan tujuan di dalam perbuatan Jadi, ilmu akhlak adalah ilu yang mempersoalkan baik buruknya amal. Amal terdiri atas perkataan, perbuatan atau kombinasi keduanya dari segi lahir dan batin. Sekalipun definisi akhlak netral, belum menunjukkan kepada baik dan buruk, tapi umumnya apabila kata tersebut sendirian dan tidak dirangkaikan dengan sifat tertentu, maka yang dimaksud adalah akhlak yang baik (mulia). Misalnya bila seseorang berperilaku tidak
sopan, akan dikatakan kepadanya “kamu tidak berakhlak”, padahal tidak sopan itu akhlaknya, dalam hal ini sopan santun. Akhlak tumbuh menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri, yaitu ilmu yang memiliki ruang lingkup dan pokok bahasan, tujuan, rujukan, dan aliran para tokoh yang mengembangkan. Dalam hubungannya dengan akhlak, terdapat beberapa istilah yang sering disejajarkan dengan istilah tersebut, yaitu etika, moral, dan susila. Beberapa pengertian secara etimologi yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dipahami bahwa dalam akhlak tercakup pengertian terciptanya keterpaduan antara kehendak Kha>lik (Tuhan) dengan prilaku seseorang terhadap orang lain dan lingkungannya, baru mengandung nilai akhlak yang hakiki manakala tindakan dan prilaku tersebut berdasarkan kepada kehendak Kha>lik (Tuhan). Jadi, akhlak bukan saja merupakan tata aturan atau norma yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan bahkan dengan alam semesta sekalipun. Zakiyah Daradjat mengemukakan bahwa, akhlak secara kebahasan bisa baik atau buruk, tergantung tata nilai yang dipakai sebagai landasannya, meskipun secara sosiologi di Indonesia kata akhlak sudah mengandung konotasi baik, jadi orang yang berakhlak berarti orang yang berakhlak baik (mulia). Dalam al-Qur’an disebutkan, Q.S. as-Syuara/25:137:
÷bÎ) !#x»yd wÎ) tûüÏ9¨rF{$# ÇÊÌÐÈ
ß,è=äz
Terjemahnya: (agama kami) Ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu.
Sedang Ahmad Amin mengemukakan bahwa akhlak adalah kehendak yang dibiasakan, artinya kehendak itu bila membiasakan sesuatu, kebiasaan itu dinamakan akhlak. Menurutnya, kehendak adalah ketentuan dari beberapa keinginan manusia setelah imbang, sedangkan kebiasaan meruoakan perbuatan yang diulang-ulang sehingga mudah melakukannya. Masing-masing dari kehendak dan kebiasaan ini mempunyai kekuatan dan gabungan, dari kekuatan itu menimbulkan kekuatan yang lebih besar, kekuatan yang besar inilah yang bernama akhlak mulia. Dari definisi di atas, penulis dapat memahami bahwa tampaknya tidak ada pertentangan satu sama lain, semua pengertian mempunyai kemiripan dan saling melengkapi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah suatu perbuatan yang sudah mengkristal dalam jiwa seseorang yang muncul secara spontan tanpa ada dorongan dari luar sebagai refleksi dari sikap batin. Berdasarkan pengertian yang ada tentang akhlak, Abuddin Nata merumuskan 5 (lima) ciri khas akhlak sebagai berikut: 1) Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga menjadi kepribadiannya. Jika dikatakan si Fulan dermawan, maka sifat kedermawanannya tersebut sudah mendarah daging, kapan dan dimanapun sifatnya itu dibawa, sehingga menjadi menjadi identitas yang membedakannya dengan oorang lain.
2) Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah tanpa pemikiran, misalnya orang yang shalat lima waktu sudah mendarah daging dalam dirinya, maka pada saat panggilan shalat datang, ia tidak merasa berat lagi untuk mengerjakannya. 3) Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dalam diri seseorang yang mengerjakannya tanpa ada tekanan dari luar. Perbuatan dalam hal ini dilakukan atas dasar kemauan dan keputusan orang yang bersangkutan. 4) Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau rekayasa. 5) Perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan dengan ikhlas semata-mata karena Allah swt. Dengan demikian, pemahaman akhlak mulia seseorang yang mengerti benar akan kebiasaan prilaku yang diamalkan dalam pergaulan semata-mata kepada Allah swt. Dan tunduk kepada-Nya. Olehnya itu, seseorang yang sudah memahami akhlak mulia, maka dalam bertingkah laku akan timbul dari hasil perpaduan antara hati nurani, pikiran, perasaan, bawaan, dan kebiasaan, serta yang menyatu membentuk suatu kekuatan tindakan akhlak mulia yang dihayati dalam kenyataan hidup kesehariaan. Perlu dipahami pula bahwa dalam perkembangan ilmu pengetahuan sering ditemukan beberapa istilah yang mempersamakan dan mensejajarkan antara akhlak, moral, etika, dan susila. Istilah etika dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti watak kesusilaan
atau adat. Sedang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, serta tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Adapun istilah moral berasal dari bahasa latin “mores” yang berarti adat kebiasaan. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai ajaran tentang baik dan buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya. Dengan demikian, moral dapat dikatakan ajaran kesusilaan. Jika diperhatikan istilah-istilah tersebut di atas, tampak bahwa istilah akhlak, etika, moral, dan susila, memiliki titik persamaan, yaitu menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia dalam rangka menentukan baik buruknya. Semua istilah tersebut menghendaki terciptanya keadaan masyarakat yang baik, teratur, aman, damai, dan tenteram dilihat dari fungsi dan peranannya, dapat dikatakan bahwa etika, moral, susila, dan akhlak adalah sama. Dengan demikian, M. Yatimi Abdullah mengemukakan bahwa berakhlak, beretika dan bermoral pada dasarnya memiliki kesamaan, sehingga adab atau teta cara beretika (berakhlak); yakni cara bergaul, bertingkah laku, bertatakrama maupun berkenalan kepada sesama manusia. Dalam hal ini, adab beretika (berakhlak) dapat dibedakan ke dalam dua pendekatan. Pertama, memandang perbuatan seseorang itu baik atau buruk, adil atau tidak adil, jujur atau tidak jujur. Jika perbuatan itu sesuai dengan prinsip dan aturan agama, berarti perbuatan itu baik, adil, dan jujur. Kedua, memandang seseorang dari perbuatan pelaku itu sendiri. Seorang bisa jadi orang jahat, tidak adil, dan tidak jujur seperti yang telah
dilakukan dan orang yang diperlakukanlah yang menilai perbuatan tersebut. Jadi tingkah laku yang sudah diperbuatnya itulah yang menjadi ukuran. Meskipun istilah-istilah tersebut memiliki titik temu dan persamaan, namun memiliki sisi perbedaan antara akhlak, etika, moral, dan susila terletak pada yang dijadikan parameter dan standar nilai yang dipergunakan untuk menentukan yang baik dan yang buruk. Jika dalam etika, penilaian baik buruk berdasarkan pendapat akal pikiran sedang pada moral dan susila berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum di tengah masyarakat (urf’), maka pada akhlak yang digunakan untuk menentukan baik dan buruk adalah al-Qur’an dan hadis-hadis shahih. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa etika, moral, dan susila berasal dari produk rasio dan budaya masyarakat yang secara selektif diakui sebagai yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia. Sementara akhlak berasal dari wahyu, yakni ketentuan berdasarkan petunjuk al-Qur’an dan hadis shahih. Mengingat akhlak berdasar pada wahyu, sementara wahyu itu sifatnya mutlak, absolut, dan tidak dapat diubah, maka dengan sendirinya akhlak itu juga sifatnya mutlak, absolut, dan tidak dapat diubah. 2. Macam-macam Akhlak Adapun akhlak yang dilihat dari segi macamnya terbagi menjadi dua, yaitu: a. al-akhla>k al-Mahmu>dah (ahlak baik/terpuji): yaitu perbuatan baik terhadap Tuhan, sesama manusia dan makhluk-makhluk lainnya. Al-Gh}azali dalam bukunya berjudul “ajaran-ajaran akhlak” membagi al-akhla>k
al-mahmu>dah menjadi empat macam: 1) Berkata benar kecuali berbohong yang dibenarkan karena ada kebijakannya yaitu untuk mendamaikan dua orang yang berselisih, untuk orang yang mempunyai dua istri dan untuk kepentingan dalam peperangan. 2) Perlunya kesabaran baik ukepentingan duniawi maupun akhirat. 3) Perlunya tawakal, menyerahkan diri kepada Allah disini setelah berusaha. 4) Ikhlas yang ditunjukan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan yang berkenaan dengan kemasyarakatan. Syech Mustafa Al-Ghalayani menyebutkan dalam bukunya berjudul “Bimbingan Menuju Akhlak yang Luhur” menyebutkan bahwa al-akhla>k al-mahmu>dah terdiri dari 16 macam : Berani maju ke depan, sabar dan tabah, ikhlas, harapan, berani membela dan mempertahankan kebenaran, berjuang demi keselamatan umum, berbuat kemuliaan (hati sanubarinya penuh dengan keperwiraan, mengjak lawan dan kawan untuk berlaku jujur dan lurus), waspada, kebangsaan (mempertahankan dan membangun keluhuran tanah airnya), kemauan yang keras (tidak mudah putus asa), benar dalam perbuatan, berlaku sedang (i’tidal), dermawan, melaksanakan kewajiban, dapat dipercaya, tolong- menolong, memperbagus pekerjaan, berusaha kemudian tawakal, percaya pada diri sendiri dan fanatik (berpegang teguh pada ajaran agama Allah).
Dari pendapat mengenai macam-macam al-akhla>k al-mahmu>dah tersebut dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya akhlakul mahmudah adalah segala perbuatan rohani dan jasmani yang dapat membawa ketenangan, ketentraman dan kebahagiaan serta kejayaan dalam kesastraan lahiriyah dan batiniyah di dunia dan akhirat yang dapat memberikan dampak positif bagi dirinya, keluarganya serta lingkungannya. b. al-akhla>k al-mazmu>mah (akhlak buruk/tercela): yaitu perbuatan buruk terhadap Tuhan, sesama manusia dan mahluk-mahluk lainnya. Adapun menurut Al-Gh}azali bahwa al-akhla>k al-mazmu>mah ada lima macam, diantaranya adalah: 1) Sifat pemurah yang menggunakan kekuatan untuk menolak yang tidak disukai dengan melampaui batas. Adapun marah yang tidak melampaui batas (marah pertengahan) adalah kemarahan yang terpuji karena marahnya dikendalikan oleh akal dan agama. 2) Sifat dengki (hasut) yaitu usaha untuk menghilangkan bentuk kenikmatan dari pihak musuhnya dan juga merasa senang terhadap penderitaan orang lain. 3) Sombong, Gh}azali membagi sombong dalam tiga macam, sombong kepada Allah, sombong terhadap para rosul dan sombong kepada sesame sesama manusia. 4) Penyakit lidah (lisan) yang meliputi kesalahan, pembicaraan, bohong (dusta), ghibah (menjelek-jelekkan orang lain), memfitnah, munafik, lancang pembicaraan, menambah dan mengurangi serta menceritakan cacat orang lain.
5) Ria, perbuatan berpura-pura agar dihormati dan disegani. Syech Mustafa Al-Ghalayani dalam bukunya berjudul “Bimbingan menuju akhlak yang luhur” menyebutkan bahwa al-akhla>k al-mazmu>mah terdiri dari sepuluh macam, yaitu: Sifat Nifa>q (plin-plan), berputus asa, sifat licik (penakut), bekerja tanpa perhitungan, lengah, tertipu oleh perasaannya sendiri, keroyalan, pemborosan, rindu kepemimpinan dan dengki atau iri hati. Berdasarkan pendapat mengenai al-akhla>k al-mazmu>mah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya al-akhla>k al-mazmu>mah adalah segala perbuatan rohani dan jasmani yang membawa kehinaan di dunia dan di akhirat. Obyek dalam pendidikan akhlak adalah perbuatan manusia yang disengaja, kemudian perbuatan tersebut ditentukan apakah perbuatan tersebut baik atau buruk, sedangkan yang menentukan perbuatan tersebut baik atau buruk harus para ahlinya yang mengerti tentang ajaran agama dan ketentuan itu berdasarkan kepada ajaran al- Qur’an dan Hadis. Sehubungan dengan hal ini Ahmad Amin mengemukakan dalam bukunya kitab Al-Akhlak. Bahwa obyek ilmu akhlak adalah seluruh perbuatan manusia yang disengaja atau (al-af’a>l, al-insa>niyyah, al ira>diyah)”. Pendapat di atas menunjukan dengan jelas bahwa obyek pembahasan ilmu akhlak adalah tentang perbuatan semua manusia untuk selanjutnya diberikan penilaian apakah
perbuatan itu baik atau buruk. Diantara perbuatan-perbuatan manusia yang mengacu kapada kebaikan: 1) al-khair, ini digunakan untuk menunjukan sesuatu yang baik oleh seluruh umat manusia, seperti berakal, adil, keutamaan dan segala sesuatu yang bermanfaat. 2) al-mahmu>dah, perbuatan ini dikerjakan untuk menunjukan sesuatu yang utama sebagai sebab akibat dari melakukan sesuatu yang disukai oleh Allah SWT. 3) Adapun perbuatan ini lebih menuju kepada perbuatan batin. 4) al-kari>mah, suatu perbuatan yang terpuji yang ditampakan dalam kenyataan hidup sehari-hari, seperti menafkahkan harta di jalan Allah, berbuat baik kepada kedua orang tua, dan lain sebagainya. 5) al-birr, ini juga termasuk salah satu akhlak yang mulia karena perbuatan yang dilakukan berhubungan dengan ketenangan jiwa dan akhlak yang baik dalam hal ini termasuk perbuatan yang baik yaitu yang digunakan sebagai sifat Allah dan sifat manusia. Adapun sifat Allah maksudnya bahwa Allah akan memberikan balasan pahala yang besar pada manusia yang taat kepadanya sedangkan sifat manusia itu adalah ketaatannya kepada Allah dalam menjalankan segala perintahnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa segala perbuatan yang mengacu kepada kebaikan menunjukan bahwa kebaikan dalam pandangan Islam itu meliputi kebaikan yang
bermanfaat bagi fisik, akal, rohani, jiwa, kesejahteraan di dunia dan diakhirat serta akhlak yang mulia. Untuk menghasilkan kebaikan yang demikian itu maka kita harus melakukan perbuatan tersebut dengan tulus dan ikhlas semata-mata hanya untuk mendapatkan kridhaan dari Allah swt., dan perbutan akhlak bisa dikatakan baik apabila perbuatan yang dilakukan itu dengan sebenarnya dan dengan kehendak sendiri bukan karena ingin mendapat pujian dari orang lain. Setiap perbuatan bisa dikatakan baik dan buruk ditentukan oleh perbuatan orang tersebut, terutama niatnya dan penilaian tersebut harus berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah dan sesuai dengan nilai budaya yang berkembang dalam masyarakat. Sebagaimana Ahmad Amin menyatakan bahwa hubungan akhlak adalah memberi nilai suatu perbuatan bahwa ia baik atau buruk menurut niatnya. Dengan demikian bahwa segala perbuatan harus didahului dengan niat, bila niatnya itu jelek maka perbuatannya itupun dikatakan jelek, sedangkan bila perbuatannya baik maka penilaiannya akan baik pula.
D. Pembelajaran yang Efektif 1. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang Efektif Masalah mengajar telah menjadi persoalan para ahli pendidikan sejak dahulu sampai sekarang. Pengertian mengajar mengalami perkembangan sesuai dengan kemajuan
ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Setiap guru seharusnya dapat mengajar di depan kelas. Bahkan mengajar itu perlu dapat dilakukan pada sekelompok siswa atau sekelompok orang di luar kelas atau dimana saja. Mengajar merupakan salah satu komponen dari kompetensi-kompetensi. Setiap guru harus menguasai dan terampil melaksanakan tugas mengajar itu, agar dapat mencapai sasaran proses pembelajaran. Guru dan siswa merupakan komponen sentral dalam usaha pengajaran. Keduanya memiliki tujuan yang hendak dicapai, yaitu sesudah mengikuti proses pembelajaran, siswa dapat menguasai sejumlah pengetahuan, keterampilan, dan sikap tertentu sesuai dengan isi proses pembelajaran tersebut. Usaha pencapaian tujuan itu akan menghasilkan mutu siswa yang biasa disebut sebagai hasil belajar; hasil belajar kemudian dinilai agar diperoleh feed back guna rethinking berbagai komponen yang saling terkait, yang terdapat dalam usaha pengajaran tersebut. Untuk mengetahui lebih jelas tentang proses pembelajaran dalam konteks pendidikan agama Islam perlu diperjelas dua terminology kunci; belajar, dan mengajar, menguasai, dan mengembangkan bahan pelajaran. Komponen-komponen yang terlibat, antara lain; pelajar, materi yang diajarkan, dan metode yang digunakan dalam memberikan pelajaran. Paradigma mengajar pada umumnya adalah penyerahan kebudayaan berupa pengalaman-pengalaman kecakapan kepada siswa yang diajar, atau usaha mewariskan
kebudayaan masyarakat pada generasi yang berikut sebagai generasi penerus. Dalam hal ini, Nampak sekali bahwa aktivitas mengajar itu terletak pada guru, siswa hanya mendengarkan dan menerima saja apa yang diberikan oleh guru. Siswa yang baik adalah yang duduk diam, mendengarkan ceramah guru dengan penuh perhatian, tidak bertanya, tidak mengemukakan masalah, semua bahan pelajaran yang diberikan guru ditelan mentah-mentah tanpa diolah di dalam jiwa, dan tanpa diragukan kebenarannya secara mutlak. Siswa percaya begitu saja akan kebenaran kata-kata gurunya. Semua yang dikatakan guru pasti benar, jiwanya tidak kritis, siswa tidak ikut aktif menetapkan apa yang diterimanya. Mengajar yang efektif adalah mengajar yang dapat membawa belajar siswa efektif pula. Untuk melaksanakan kegiatan mengajar yang efektif dapat kita cermati pendapat yang dikemukakan oleh Roestiyah, bahwa untuk melaksanakan kegiatan belajar yang efektif diperlukan syarat-syarat antara lain: r. mengarahkan untuk
belajar
siswa aktif,
baik mental maupun fisik, s. guru
harus
me mp e r guna k a n
banyak metode, t. m e m b a n g k i t k a n motivasi siswa, u. tersedianya kurikulum yang kondusif, v. guru
perlu
mempertimbangkan pada
perbedaan
individual siswa, w. selalu
membuat
perencanaan pembelajaran, x. m e m b a n g k i t k a n sugesti
bagi
siswa
untuk giat belajar, y. memiliki
keberanian
dan kewibawaan, z. menciptakan suasana yang demokratis di sekolah,
aa. m e m b e r i k a n ransangan
kepada
siswa untuk berfikir, ab. semua pelajaran yang diberikan siswa
kepada perlu
diintegrasikan, ac. m e n g h u b u n g k a n pelajaran kehidupan
dengan nyata
dimasyarakat, ad. m e n c i p t a k a n k e ma nd iria n, kepercayaan diri, dan tanggung jawab pada siswa, dan ae. m e m b e r i k a n p e mb e la ja r a n remedial.
Selain cara mengajar efektif dan keterampilan dasar mengajar, guru juga harus mengetahui dan memahami prinsip-prinsip mengajar, sebab siswa yang diajar adalah sekelompok makhluk hidup yang memerlukan bimbingan dan pembinaan menuju kedewasaan. Siswa setelah mengalami proses pendidikan dan pembelajaran diharapkan telah menjadi manusia dewasa yang sadar akan tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, dan kepada Tuhan Yang Maha Esa. 2. Metode Pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang Efektif Metode berarti jalan untuk mencapai tujuan. Jalan itu bermacam-macam, begitu juga dengan metode. Metode pembelajaran merupakan cara guru mengorganisir pembelajaran, dan cara siswa belajar. Metode pembelajaran berkaitan dengan pendekatan yang digunakan, misalnya apabila guru menggunakan pendekatan expository teaching, maka metode yang digunakan adalah ceramah. Tidak ada metode yang terbaik untuk segala mata pelajaran. Mungkin ada metode yang terbaik, tapi hanya untuk pelajaran tertentu dan oleh guru tertentu. Metode pembelajaran dapat diklasifikasikan menjadi: strategi pengorganisasian, strategi penyampaian, dan strategi pengolahan pembelajaran. Dalam konteks pembelajaran pendidikan agama Islam, strategi pengorganisasian adalah metode untuk mengorganisasi isi bidang studi pendidikan agama Islam yang dipilih untuk pembelajaran. Pengorganisasian isi bidang studi mengacu pada kegiatan pemilihan isi, penataan isi, pembuatan diagram, skema, format, dan sebagainya.
Strategi penyampaian pembelajaran pendidikan agama Islam adalah metode penyampaian pembelajaran pendidikan agama Islam yang dikembangkan untuk membuat siswa dapat merespon dan menerima pelajaran pendidikan agama Islam dengan mudah, cepat, dan menyenangkan. Oleh karena itu, penetapan strategi penyampaian perlu menerima dan merespon masukan dari siswa.Strategi penyampaian mencakup lingkungan fisik, guru atau orang, dan bahan-bahan pembelajaran lain. Dengan kata lain, media pembelajaran merupakan satu komponen penting dan menjadi kajian utama dalam strategi ini. Strategi penyampaian ini berfungsi sebagai penyampai isi pembelajaran kepada siswa, dan menyediakan informasi yang diperlukan siswa untuk menampilkan unjuk kerja. Strategi pengelolaan pembelajaran adalah metode untuk menata interaksi antara siswa
dengan
komponen-komponen
metode
pembelajaran
yang
lain,
seperti
pengorganisasian dan penyampaian isi pembelajaran. Strategi pengelolaan pembelajaran berupaya untuk menata interaksi siswa dengan memperhatikan empat hal, yaitu: a. Penjadwalan kegiatan pembelajaran yang menunjukkan tahap-tahap kegiatan yang harus ditempuh siswa dalam pembelajaran; b. Pembuatan catatan kemajuan belajar siswa melalui penilaian yang komprehensif dan berkala selama proses pembelajaran berlangsung maupun sesudahnya; c. Pengelolaan motivasi siswa dengan menciptakan cara-cara yang mampu meningkatkan motivasi belajar siswa;
d. Kontrol belajar yang mengacu kepada pemberian kebebasan untuk memilih tindakan belajar sesuai karakteristik siswa. Adapun metode-metode pembelajaran PAI yang berorientasi pada nilai, intinya ada empat metode, yaitu: metode dogmatik, metode deduktif, metode induktif, dan metode reflektif. Pertama, metode dogmatik adalah metode untuk mengajarkan nilai kepada siswa dengan jalan menyajikan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang harus diterima apa adanya tanpa mempersoalkan hakikat kebaikan atau kebenaran itu sendiri. Metode ini dianggap kurang mampu mengembangkan kesadaran rasional siswa dalam memahami dan menghayati nilai-nilai kebenaran. Bila siswa menghayati dan menerima suatu kebenaran maka penerimaannya cenderung bersifat dangkal dan terpaksa, karena takut pada otoritas orang tua, guru atau lainnya. Kedua, metode deduktif adalah cara menyajikan nilali-nilai kebenaran (ketuhanan dan kemanusiaan) dengan jalan menguraikan konsep tentang kebenaran itu agar dipahami oleh siswa. Metode ini bertolak dari kebenaran sebagai teori atau konsep yang memiliki nilai-nilai baik, selanjutnya ditarik beberapa contoh kasus terapan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, atau ditarik ke dalam nilai-nilai lain yang lebih khusus atau sempit ruang lingkupnya. Metode in mempunyai kelebihan, terutama bagi siswa yang masih taraf pemula dalam mempelajari nilai, karena mereka akan terlebih dahulu akan diperkenalkan
beberapa konsep atau teori tentang nilai secara umum, kemudian ditarik rincian-rincian yang lebih khusus dan mendetail, serta dikaitkan dengan kasus-kasus yang terjadi di masyarakat. Ketiga, Metode induktif adalah sebagai kebalikan dari metode deduktif, yakni dalam membelajarkan nilai, mulai dengan mengenalkan kasus-kasus dalam kehidupan sehari-hari, kemudian ditarik maknanya yang hakiki di dalam nilai-nilai kebenaran yang melingkupi segala kehidupan manusia. Metode ini cocok diterapkan untuk siswa yang telah memiliki kemampuan berfikir abstrak, sehingga mampu membuat kesimpulan dari gejala-gejala konkrit untuk diabstrakkan. Sedangkan kelemahannya, kadang-kadang dalam mengembalikan berbagai kasus yang sama, diberikan nilai yang berbeda-beda sehingga membingungkan siswa. Oleh karena itu, dalam penerapan metode ini perlu menjaga konsistensi penggunaan criteria pada kasus yang serupa. Keempat, metode reflektif merupakan gabungan dari penggunaan metode deduktif dan induktif, yakni membelajarkan nilai dengan jalan mondar-mandir antara memberikan konsep secara umum tentang nilai-nilai kebenaran, kemudian melihatnya dalam kasus sehari-hari, dikembalikan kepada konsep teoritiknya yang umum (dalam kebenaran agama). Metode ini dapat mengatasi kekurangan metode deduktif dan induktif, yang kadang kala kurang konsisten dalam menerapkan criteria untuk masing-masing kasus yang serupa. Menggunakan metode ini guru harulanjutnya dalam menguasai teori-teori atau konsep-konsep secara umum tentang nilai-nilai kebenaran, dan sekaligus dituntut untuk memiliki daya penalaran yang tinggi untuk mengembalikan setiap kasus dalam tataran
konsep nilai itu. Selanjutnya dalam proses pembelajaran dan pendidikan bisa digunakan berbagai metode sesuai situasi dan kondisi. Pertama, metode dialog (al-hiwa>r). Metode dialog adalah suatu metode pendidikan yang dilakukan dengan percakapan atau tanya jawab antara dua orang atau lebih secara komunikatif mengenai suatu topik. Metode ini banyak digunakan oleh Nabi Muhammad saw. untuk menyampaikan ajaran Islam kepada sahabat/umatnya. Seperti bisa dilihat pada hadis Nabi saw. yang menerangkan tentang Iman, Islam, dan Ihsan. Redaksi al-Qur’an sendiri lebih banyak bersifat dialogis dan komunikatif daripada penyampaian melalui doktrin-doktrin formal, seperti dalam kisah-kisah, perumpamaan-perumpamaan, dan penggambaran keajaiban. Metode dialogis ini memberikan kesempatan yang luas kepada siswa untuk berfikir kritis dan objektif dalam masalah-masalah yang diajarkan, sehingga diperoleh pengetahuan yang signifikan bagi diri dan sosialnya. Kedua, metode cerita (al-qis}a>s}). Metode cerita dimaksudkan untuk memberi pengetahuan dan perasaan keagamaan kepada siswa. Al-Qur’an dan Hadis Nabi lebih banyak meredaksikan kisah untuk menyampaikan pesan-pesannya, Seperti kisah-kisah malaikat, para nabi, umat terkemuka pada zaman dahulu, dan sebagainya; dimana di dalam kisah-kisah itu tersimpan nilai-nilai pedagogis-religious, yang memungkinkan siswa mampu meresapinya melalui nalar intelek dan nalar religiusnya. Siswa diberi kebebasan untuk menafsirkan dan menginterpretasikan nilai-nilai yang dikandung dalam kisah-kisah tersebut.
Siswa diharapkan memiliki kepekaan intelektual dan kepekaan emosional dalam pembelajaran kisah tersebut. Ketiga, metode perumpamaan (al-ams\al). Metode perumpamaan adalah suatu metode yang digunakan untuk mengungkapkan suatu sifat dan hakikat dari realitas sesuatu. Perumpamaan dapat dilakukan dengan tasybi>h, yaitu menggambarkan sesuatu dengan sesuatu yang lain yang serupa, seperti mengumpamakan sesuatu yang rasional-abstrak dengan sesuatu yang dapat diindera, seperti Allah swt. mengumpamakan berhala yang dijadikan sesembahan dan penolong oleh kaum musyrik laksana sarang laba-laba yang rapuh. Allah swt. berfirman dalam Q.S. Al-Ankabut/29: 41:
Terjemahnya: Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. dan Sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka Mengetahui”. Metode perumpamaan banyak digunakan dalam pendidikan Qur’ani dan Sunnah Nabi. Tujuan pokok metode ini adalah mendekatkan makna (hal yang abstrak) kepada pemahaman, merangsang pesan dan kesan untuk menumbuhkan berbagai perasaan ketuhanan, mendidik akal berfikir logika, menghidupkan naluri atau penghayatan hati secara mendalam. Seperti yang dilukiskan pada ayat di atas, betapa orang yang menyembah
berhala itu lemah dan tidak masuk akal karena menyembah karya sendiri; laksana rumah laba-laba yang dibangun di atas puing-puing sarangan yang rapuh. Sikap lemah dan rapuh merupakan lukisan manusia yang tak berdaya guna, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Keempat, metode keteladanan (al-uswah). Keteladanan pendidikan merupakan syarat mutlak yang harus melekat pada setiap guru. Seringkali siswa melakukan suatu tindakan bukan berdasarkan latihan, tetapi ia melakukan sesuatu yang orang lain melakukannya. Nabi saw. mendeskripsikan bahwa keteladanan merupakan cara paling efektif dalam pendidikan kepribadian siswa terutama pada siswa usia dini sampai remaja, dimana mereka mengalami fluktuasi kejiwaan yang memuncak, yaitu memuncaknya proses identifikasi kepribadian pada diri dan sosialnya. Telaah psikologis menunjukkan bahwa anak usia dini sampai remaja berada dalam situasi identifikasi kepribadian yang cenderung meniru dan mencontoh orang lain. Dalam konteks pendidikan dan pembelajaran, implementasi metode keteladanan menuntut personifikasi kepribadian guru. Begitu urgennya metode ini sehingga Al-Qur’an mengabadikan dan melukiskan pribadi Nabi saw. dalam Q.S. Al-Ahzaab/33:21:
Terjemahnya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. Kelima, metode sugesti dan hukuman (al-targi>b wa al-tarhi>b). Sugesti adalah janji yang disertai bujukan dan dorongan rasa senang kepada sesuatu yang baik. Siswa dimotivasi kearah yang baik melalui janji-janji yang memungkinkan mereka untuk diaktualisasi. Sedangkan hukuman adalah sanksi implikatif dari kesalahan dan dosa yang dilakukan siswa supaya mereka tidak mengulanginya. Kedua metode ini dimaksudkan untuk membentuk kepribadian anak didik yang baik. Ganjaran dan hukuman yang diberikan kepada siswa untuk memotivasi kearah sikap-sikap yang baik dan sekaligus mencegah prilaku-prilaku yang negative. Jika siswa berbuat baik, maka ia berhak diganjar, dan sebaliknya, jika berbuat salah maka ia berhak menerima hukuman. Ganjaran dan hukuman adalah dua sifat paedagogik untuk membangkitkan pikiran dan menimbulkan kesadaran. Keenam.
metode
nasihat/penyuluhan
(al-mau’iz}ah).
Pemberian
nasihat/penyuluhan kepada siswa adalah sesuatu yang niscaya untuk menumbuhkan kesadaran dan menggugah perasaan seta kemauan untuk mengamalkan apa yang diajakan/dipelajarai. Metode ini dimaksudkan untuk memotivasi siswa dalam melakukan yang ma’ruf dan menjauhi yang munkar. Penyuluhan bisa diartikan sebagai proses bimbingan kepada siswa sebagai subyek individu dan sosial, yang perlu diaktualisasikan potensi dan kompetensinya secara maksimal. Tentu dalam pemberian bimbingan ini seorang guru harus memperhatikan; karakteristik anak didik (kompetensi, potensi, minat, bakat,
kecerdasan dan sikapnya), kondisi lingkungan siswa (lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat), kemungkinan kemampuan dan kesempatan yang dimiliki untuk pembinaan perkembangan siswa selanjutnya, kondisi fisik dan psikis siswa termasuk yang berkaitan dengan kesulitan-kesulitan emosional yang bisa menghambat perkembangan siswa. Pemberian bimbingan dan penyuluhan dalam proses kegiatan pendidikan di sekolah bisa bersifat: 1) Memelihara (preservative), yakni membantu memelihara dan menciptakan lingkungan belajar yang kondusif sehingga siswa dapat tumbuh dan berkembang secara optimal; 2) Mencegah (preventive), yakni membantu mencegah terjadinya tindakan siswa dan civitas akademika yang tidak efektif dan efesien; 3) Menyembuhkan (curative), yakni membantu memperbaiki atau menyembuhkan kekeliruan yang telah terjadi di sekolah; dan 4) Merehabilitasi
(rehabilitation),
yakni
menindaklanjuti
sesudah
siswa
memperoleh bantuan dan bimbingan untuk diusung kearah yang lebih baik. Ketujuh, metode meyakinkan dan memuaskan (al-iqna> wa al-iqtina>). Metode meyakinkan dan memuaskan adalah metode pendidikan yang dilakukan dengan cara membangkitkan kesadaran siswa dalam melakukan suatu perbuatan. Islam adalah agama yang sesuai dengan akal pikiran dan jiwa manusia, bukan ajaran yang bersifat dogmatis. Jangan sampai siswa di dalam proses pembelajaran dan pendidikan merasa kecewa apalagi
putus asa, karena hal itu akan berakibat fatal pada kepribadian selanjutnya. Proses pembelajaran yang meyakinkan dan memuaskan akan mengantarkan siswa kearah kesadaran motivasional untuk melangsungkan kegiatan pembelajaran/belajar sepanjang masa. Kekecewaan siswa terhadap metode atau proses pembelajaran yang disampaikan guru tidak jarang membuat mereka malas belajar. Jadi, pendalaman tampilan (performance) seorang guru dalam proses pembelajaran dan pendidikan merupakan prasyarat betah-tidaknya siswa dalam belajar. Kedelapan, metode pemahaman dan penalaran (al-ma’rifah wa al-naz}ariyyah). Metode ini dilakukan dengan membangkitkan akal dan kemampuan berfikir siswa secara logik. Jika metode meyakinkan dan memuaskan lebih berorientasi kepada pembentukan kesadaran, maka dalam metode pemahaman dan penalaan ini, sasaan utamanya pada pembinaan kemampuan berfikir logik dan kritis. Jika metode meyakinkan dan memuaskan objeknya hati (qalb), maka dalam metode pemahaman dan penalaran adalah akal (‘aql). Perbedaan ini hanya bersifat koseptual, sedangkan secara operasional dalam kenyataan manusia tidak bisa dikotak-kotakkan, tetapi sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Kesembilan, metode latihan perbuatan (al-muma>rasah al-‘amaliyyah). Metode latihan perbuatan adalah melatih dan membiasakan siswa melakukan sesuatu yang baik. Melalui metode ini siswa diharapkan mengetahui dan sekaligus mengamalkan materi pelajaran yang dibelajarkan. Terminologi pendidikan modern menyebutkan metode ini sama dengan learning by doing atau eksperimentasi di lapangan. Yang mendasari metode ini
adalah ajaran Islam yang menghendaki adanya kesatuan antara ilmu dan amal, atau antara kata dan perbuatan; ilmu harus diamalkan dan amal harus didasarkan pada ilmu. Siswa diharapkan mampu mengaktualisasikan apa yang dipelajari di sekolah ke dalam dunia realitasnya. Berbagai metode pembelajaran khususnya dalam pembelajaran pendidikan agama Islam bisa diujicobakan, sesuai situasi dan kondisi riil lembaga pendidikan yang ada. Metode dan strategi hanya alat yang bisa dipakai sesuai kebutuhan masing-masing pengguna pendidikan khususnya guru dan siswa, agar mereka lebih kreatif dan rekreatif dalam menjalankan aktivitas pendidikan. Yang paling penting adalah terwujudnya kompetensi siswa yang mencerminkan keseimbangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotornya. E. Kerangka Pikir Kerangka pikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah yang penting. Kerangka berpikir dalam suatu penelitian perlu dikemukakan apabila dalam penelitian tersebut berkenaan dua variabel atau lebih. Landasan teologis dalam penyusunan tesis ini adalah al-Qur’an dan Hadis yang banyak berbicara tentang pentingnnya ilmu pengetahuan dan besarnya peranan akhlak dalam membangun, dan mengembangkan sebuah peradaban. Landasan yuridisnya adalah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Baik landasan teologis, maupun landasan yuridis dengan jiwa, dan semangatnya menghendaki agar manusia, dalam hal ini siswa, tidak hanya mampu menguasai ilmu pengetahuan semata, tetapi juga harus dibarengi dengan kebaikan sikap, dan prilaku siswa. Pencapaian tujuan pembelajaran pendidikan
agama Islam, sebagaimana
dikehendaki oleh dua landasan hukum, baik teologis, maupun yuridis, diperlukan usaha keras dengan penuh kesadaran. Hal ini disebabkan, baik siswa, guru, maupun materi ajar dalam hal ini Pendidikan Agama Islam, dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal, dan internal yang menyebabkan tujuan pembelajaran tidak tercapai secara maksimal. Guru dituntut untuk mengatasi faktor penghambat tersebut. Salah satu hal yang harus dilakukan adalah merencanakan dengan baik cara pembelajaran yang akan diterapkan di dalam kelas sebelum proses pembelajaran dimulai. Efektivitas pembelajaran yang tepat, dapat memacu minat, dan motivasi siswa untuk belajar. Dengan demikian, pencapaian tujuan pembelajaran yakni untuk meningkatkan akhlak siswa, dapat tercapai secara maksimal. Berikut penulis gambarkan kerangka piker yang digunakan dalam tesis ini:
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Landasan teologis dalam penyusunan tesis ini adalah al-Qur’an dan Hadis yang bersumber dari Allah swt. sedangkan landasan yuridisnya adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan yang bersumber dari hukum tentang pendidikan yang berlaku di Indonesia. Baik landasan teologis, maupun landasan yuridis yang telah disebutkan di atas sangat menunjang pembelajaran khususnya pembelajaran pendidikan agama Islam. Dalam pencapaian tujuan pembelajaran pendidikan agama Islam, memiliki faktor pendukung, baik internal maupun eksternal yang sangat mendukung peningkatan akhlak siswa, selain itu juga memiliki faktor penghambat/kendala, baik internal maupun eksternal. Akan tetapi, meskipun dalam pembelajaran pendidikan agama Islam mengalami kendala tapi masih bisa diminimalisir, dengan kata lain ada solusi atau jalan keluar dari kendala yang dihadapi terutama untuk meningkatkan akhlak siswa.