II. TINJAUAN PUSTAKA Toksisitas dan Toleransi Aluminium pada Tanaman Toksisitas Al. Aluminium bukanlah unsur esensial bagi pertumbuhan tanaman. Saat kelarutan aluminium meningkat seiring dengan turunnya pH hingga di bawah 5 unsur ini menjadi penting untuk diperhatikan karena menjadi toksik bagi tanaman. Bentuk-bentuk aluminium di dalam tanah dapat berupa ion trivalen yaitu Al(H2O)63+ atau disebut juga Al3+, bentuk hidroksida seperti Al(OH)+2, Al(OH)2+, Al(OH)3, Al(OH)4-, atau berasosiasi dengan berbagai senyawa organik dan anorganik seperti PO4-3, SO4-2,F-, asam-asam organik, protein dan lipid (Delhaize & Ryan 1995). Al3+ merupakan bentuk yang paling toksik dan mendominasi di lahan asam di bawah pH 4.5 (Matsumoto 2000). Tanah masam sendiri terjadi karena adanya pencucian kation-kation basa dari tanah yang dipicu oleh praktek-praktek pertanian dan adanya hujan asam (Kennedy 1992). Oleh karena itu, untuk melihat pengaruh fitotoksik Al sebaiknya digunakan Al dalam bentuk Al3+, pH media 4 dan kekuatan ioniknya rendah (Kinraide 1991) Aluminium terlarut bereaksi dengan dinding dan membran sel akar serta membatasi perluasan dinding sel sehingga menghentikan pemanjangan akar. Terhentinya pemanjangan akar
merupakan ciri utama dari toksisitas aluminium.
Jaringan akar merupakan bagian pertama dari tanaman yang mengalami keracunan aluminium, terutama diujung akar sehingga mengalami pemendekan dan menebal. Akar menjadi berwarna kecoklatan terutama pada akar utama serta terjadi pertumbuhan akar lateral yang gemuk dan pendek dengan percabangan yang tidak bagus (Sasaki et al. 1994; Ryan et al. 1993). Selain itu Al3+ ini juga dapat memasuki sel melalui simplas setelah merusak membran sel akar dan terkadang bereaksi dengan senyawa fosfor dan mengganggu metabolisme fosfor pada tanaman. Akumulasi Al dalam sitoplasma memberi asumsi bahwa toksisitas terjadi karena terbentuknya kompleks Al – ligan (Ryan et al. 1995). Toksisitas aluminium melalui simplas disebabkan karena Al mengikat sangat kuat terhadap senyawa donor O2 seperti Pi, nukleotida RNA, DNA, protein, asam karboksilat, fosfolipid, asam poligalakturonat, heteropolisakarida, lipopolisakarida, flavanoid, antosianin dan lain-lain (Haug 1984; Martin 1986). Konsentrasi Al yang kecil saja dalam simplas berpotensi menjadi fitotoksik. Al3+ mengikat 107 kali lebih
5
kuat daripada Mg2+ terhadap ATP, sehingga jumlah Al3+ kurang dari nanomolar sekalipun dapat menghambat Mg2+ pada situs P (Martin 1988). Aluminium juga diduga menghambat proses pembelahan sel dan menghalangi metabolisme asam nukleat (yaitu menghalangi reproduksi bahan genetik) pada tanaman (Helyar 1998). Menurut Matsumoto (1991) Al yang berada dalam bentuk polimer (Al3+) memiliki muatan positif yang besar serta memiliki banyak situs pengikatan. Polimer ini dapat mengikat fosfat pada kedua utas DNA sehingga mengakibatkan gagalnya pemisahan DNA utas ganda saat proses replikasi. Toleransi Al. Pada prinsipnya ada dua mekanisme toleransi tanaman terhadap cekaman Al menurut Taylor (1991), yaitu : pertama adalah mekanisme eksternal yakni dengan mencegah Al masuk ke dalam simplas dan mencapai daerah metabolik yang peka, sedangkan yang kedua adalah mekanisme internal yakni dengan imobilisasi, kompartementasi atau detoksifikasi saat Al masuk ke dalam simplas Mekanisme toleransi Al pada tanaman bervariasi baik antar maupun intra spesies. Faktor genetik berperan penting dalam menentukan toleransi tersebut. Toleransi Al pada gandum (Triticum aestivum) dikendalikan oleh sejumlah kecil gen dominan mayor dan gen-gen ini telah dimanfaatkan di dalam program pemuliaan untuk merakit kultivar yang toleran terhadap cekaman Al (Johnson et al. 1997). Ada tiga jenis asam organik yang sering ditemukan dalam tanaman yang toleran terhadap cekaman Al yaitu asam sitrat, asam oksalat dan asam malat. Sebagai contoh respon tanaman terhadap cekaman Al adalah gandum yang mengeluarkan malat, Snapbeans, jagung, Cassia toru dan kedelai yang melepas sitrat, Buckwheat (Fagopyrum esculentum) yang mengeluarkan oksalat dan Triticale, Rapeseed, lobak, oats dan Rye yang mengeluarkan malat dan sitrat. Mekanisme toleransi terhadap cekaman Al dengan menggunakan asam organik ini dibagi ke dalam dua bentuk yaitu detoksifikasi eksternal dan internal bahkan beberapa spesies tanaman menggunakan kedua bentuk mekanisme tersebut. Beberapa tanaman dapat mengakumulasi Al pada daun dan akarnya tanpa menunjukkan gejala keracunan. Spesies tanaman toleran Al ini mempunyai mekanisme untuk mengubah Al dalam bentuk non toksik di dalam tanaman yaitu sebuah mekanisme yang membiarkan Al masuk ke dalam tanaman dan melewati membran kemudian baru mengubahnya menjadi bentuk non toksik. Teh dan
6
hydrangea telah dikenal sebagai akumulator Al. Daun teh tua dapat mengakumulasi Al hingga 30000 mg kg-1 berat kering (Matsumoto et al. 1976), dan akumulasi Al di daun hydrangea mencapai di atas 3000 mg kg-1 (Ma et al. 1997). Melastoma malabathricum dan Vaccinium macrocarpon yang beradaptasi baik pada pH rendah mengakumulasi Al dalam level yang tinggi baik di daun maupun di akar (Osaki et al. 1997). Meskipun banyak bukti yang menunjukkan keterkaitan asam organik dalam mekanisme toleransi Al pada tanaman, ada beberapa spesies yang menunjukkan mekanisme yang sama sekali tidak berkaitan dengan asam organik. Bachiaria decumbans, salah satu jenis yang sangat toleran terhadap cekaman Al, tidak mengeluarkan asam organik dalam merespon Al sehingga diyakini bahwa spesies ini pasti memiliki mekanisme yang berbeda dalam menghadapi Al di level toksik pada larutan tanah (Wenzl et al 2001). Arabidopsis mutan (alr1) meningkatkan pH yang diinduksi oleh Al dengan segera di sekitar ujung akar yang dapat menurunkan aktivitas Al3+ (Dengenhardt et al. 1998). Kultivar gandum yang sangat toleran Al (Atlas) mempunyai mekanisme pelepasan fosfat sebagai mekanisme toleransi Al-nya (Pellet et al. 1996). Berbeda dengan pelepasan malat, pelepasan posfat ini bersifat konstitutif tanpa dipengaruhi adanya induksi Al untuk mengaktifkannya. Mekanisme lainnya adalah sintesis protein spesifik yang diinduksi oleh cekaman oksidatif dan cekaman Al. Cekaman Al menginduksi ekspresi beberapa gen seperti gen penyandi peroxidase, glutathione S-transferase dan blue-copper protein. Overekspresi beberapa protein tersebut pada Arabidopsis telah meningkatkan toleransi tanaman terhadap Al sebagaimana peningkatan toleransi terhadap cekaman oksidatif (Ezaki et al. 2000). Penemuan
ini semakin menguatkan adanya mekanisme peningkatan toleransi Al
selain dari mekanisme pelepasan asam organik. Menurut Richard et al. (1998) ekspresi dari gen GST, Peroxidase dan Blue Copper binding protein dipengaruhi oleh aktifitas spesies oksigen aktif (AOS) H2O2 saat tanaman mengalami cekaman. Tanaman yang mampu melepaskan asam organik sebagai mekanisme toleransi terhadap Al ternyata juga resisten terhadap cekaman oksidatif. Protein Heterotrimerik G sub unit α Protein heterotrimerik G adalah protein peripheral membran plasma yang menghadap ke permukaan interior sel (menghadap ke sitosol), merupakan reseptor
7
membran sel yang berfungsi sebagai mediator penyampai pesan/signal dari luar sel (eksternal) ke molekul efektor sehingga menghasilkan respon intraseluler (Fujisawa et al. 2001). Protein heterotrimerik G terdiri dari subunit α, β, γ (Fujisawa et al. 2001). Masing-masing subunit tersebut terdiri dari 20 α, 6 β, 12 γ yang masing-masing berat molekulnya adalah 42, 35, 10 kilo Dalton (kD) pada mamalia (Hamm 1998). Subunit α memiliki 380 asam amino yang memiliki kesamaan pada tiap Gα (Bischoff et al. 1999). Protein heterotrimerik G disebut protein G karena mengikat mononucleotide GDP dan GTP. Subunit α merupakan subunit yang mengatur pertukaran GTP-GDP pada mamalia (Fujisawa et al. 2001). Pada hewan/mamalia terdapat 4 famili subunit α yaitu Gs (stimulatory) yang mengaktifkan enzim adenil siklase (cAMP), Gi (inhibitor) yang menghambat adenil siklase, Gq mengaktifkan phospholipase Cβ (PLCβ), Gt (bovin transducin) merangsang pembelahan cGMP (Ma 1994). Gα pada tanaman memiliki homologi yang sama dengan mamalia. Ada kemungkinan βγ mempunyai peranan secara langsung dalam meregulasi efektor dan interaksinya dengan reseptor (Ma 1994). Saat inaktif subunit α berikatan dengan GDP dan berasosiasi dengan βγ membentuk kompleks. Ketika ligan terikat pada permukaan sel reseptor, reseptor menjadi aktif dan mengkatalisis perubahan ikatan GDP pada subunit α menjadi GTP. Hal tersebut menyebabkan terjadinya perubahan komformasi subunit α sehingga akhirnya berpisah dengan βγ (disosiasi). Subunit α akan meregulasi efektor dengan cara berikatan pada efektor dan mengaktifkan signal transduksi seperti pada adenilat siklase. Protein heterotrimerik G kembali tidak aktif ketika GTP diubah menjadi GDP dan subunit α kembali berasosiasi dengan βγ (Ma 1994). Subunit α dari protein G terdapat pada plasma membran Arabidopsis (Weiss et al. 1997), padi (Iwasaki et al. 1997) dan tembakau (Peskan & Muller 2000). Protein heterotrimerik G sub unit α atau Gα mengaktifkan kanal Ca2+ pada membran plasma tomat (Aharon et al. 1998), meningkatkan level IP3 kedelai (Legendre et al. 1993) dan meningkatkan spesies oksigen aktif (AOS) H2O2 pada kultur sel kedelai (Legendre et al. 1992). Protein heterotrimerik G berperan dalam meregulasi ketahanan terhadap pathogen (Aharon et al. 1998; Beffa et al. 1995; Legendre et al. 1993), regulasi
8
lintasan biosintesis benzo phenathridine alkaloid (Mahady et al. 1998), dan regulasi kanal K+ pada sel mesofil (Fairley-Grenot & Asmann 1991; Li & Asmann 1993). Protein heterotrimerik G meregulasi banyak efektor yang ada dibawahnya seperti adenilat siklase, PLC, dan efektor transducin (Ma 1994). PLC menghidrolisis PIP2 menjadi 2 buah second messengers yaitu IP3 dan DAG. IP3 dapat mengikat reseptor membran seperti kanal Ca2+, melepas Ca2+ dari reticulum endoplasmik ke dalam sitosol sehingga level Ca2+ meningkat. Peningkatan Ca2+ di sitoplasmik memproduksi protein kinase C (PKC), DAG berperan dalam mengaktifkan protein kinase C (Mc Laughlin et al. 1996; Krauss 2001 ). Membran plasma sel akar yang kaya akan fosfatase yang berbentuk pospolipid merupakan target utama Al3+ (Matsumoto 2000). Al3+ berinteraksi dengan lipid membran plasma dan dengan enzim yang mengikat metal (Jones & Kochian 1996). Al3+ dapat menyebabkan sitotoksik yang kronik pada tanaman, hewan dan mikroorganisme,
sehingga
menyebabkan
penghambatan
perpanjangan
akar
(elongation). Apex akar (tudung akar, sel meristem dan zone perpanjangan) mengakumulasi lebih banyak Al, serta mengalami kerusakan yang lebih parah dibandingkan dengan jaringan akar yang telah dewasa dan berperan dalam mekanisme respon terhadap Al (Matsumoto 2000; Delhaize & Ryan 1995). Mekanisme toleran terhadap Al pada gandum terjadi dengan cara mengkelat Al3+, imobilisasi Al3+ pada dinding sel, meningkatkan pH disekitar akar dan mengeluarkan Al dari sitoplasma (Taylor 1991). Al menghambat pertumbuhan dan perpanjangan akar squash (Curcubita maxima putch) dengan mengubah metabolisme polisakarida dinding sel di daerah non elongation sama seperti di daerah elongation (Van et al. 1994). Genotipe kedelai toleran mengakumulasi Al dalam jumlah rendah pada sel meristem dan sel diferensiasi pada ujung akar dan dinding sel (Silva et al. 2000). Akibat cekaman Al tanaman mengeluarkan asam organik dari apex akar ke rhizosfer yang berfungsi untuk mengkelat ligan Al, seperti eksudasi sitrat (Pineros et al. 2002), malat pada gandum (Triticum aestivum) (Ryan et al. 1995; Tang et al. 2002), sitrat pada jagung (Zea mays) (Pellet et al. 1995), snapbean (Miyasaka et al. 1991), asam malat pada gandum (Delhaize & Ryan 1995), oksalat pada buckwheat (Ma et al. 1997).
9
Cekaman aluminium juga diketahui menginduksi beberapa gen yang berhubungan dengan sistem pertahanan terhadap pathogen (defense-response) seperti peroksidase, GST dan blue copper binding protein (AtBCB) pada Arabidopsis thaliana (Richard et al. 1998). Gen yang berhubungan dengan toleransi Al Pada kedelai, beberapa gen yang ekspresinya diinduksi oleh Al telah diisolasi. Pada kultivar yang peka terhadap cekaman Al yaitu Lumut, enam klon cDNA yang ekspresinya diinduksi Al telah diisolasi (Anwar et al. 2000). Dari kultivar toleran yaitu Slamet, menggunakan teknik penapisan diferensial terhadap mRNA dari akar tanaman yang mendapat cekaman Al telah diisolasi satu klon (Yuniati 2000). Untuk menganalisis gen-gen tersebut lebih lanjut, pustaka genom kedelai kultivar Lumut dan Slamet telah dikonstruksi (Suharsono 2002, 2007) dalam fage λ sebagai vektor. Salah satu gen yang penting dalam sistem toleransi tumbuhan terhadap cekaman Al adalah peroksidase. Peroksidase termasuk ke dalam enzim golongan oksidoreduktase yaitu enzim yang mengkatalis reaksi oksidasi-reduksi. Molekulmolekul toksik seperti superoksida dan radikal hidroksida terkumpul di dalam sel bersamaan dengan adanya oksigen. Molekul-molekul toksik ini merupakan produk intermediate dari respirasi aerobik namun dibatasi jumlahnya di dalam sel oleh sejumlah enzim. Superoksida dipecahkan oleh SOD dimana dalam proses tersebut dihasilkan hidrogen peroksida (H2O2) yang kemudian diuraikan oleh peroksidase. Peroksidase memecahkan H2O2 menjadi air ketika mengoksidasi sejumlah substrat. Dengan demikian peroksidase adalah enzim golongan oksidoreduktase yang menggunakan H2O2 sebagai akseptor elektron untuk mengkatalis berbagai reaksi oksidatif. Peroksidase juga membutuhkan kofaktor untuk melakukan aktivitas enzimatisnya yaitu heme sehingga peroksidase disebut juga heme dependent peroxidase. Heme adalah kompleks antara ion besi dan molekul protoporphyrin IX (Ferriprotoporphyrin IX). Berdasarkan kemiripan sekuen dan strukturnya, heme dependent peroxidase dibedakan ke dalam 2 famili yaitu : 1) peroksidase hewan dan 2) peroksidase tanaman, fungi dan bakteri. Famili peroksidase tanaman terdiri dari 3 kelas yang dibedakan berdasar struktur dan fungsinya. Kelas I terdiri dari peroksidase intraseluler yang
10
terdapat pada fungi, tanaman, archaea dan bakteri, disebut peroksidase-katalase yang menunjukkan aktivitas katalase dan peroksidase dalam spektrum yang luas dan tergantung pada konsentrasi hidrogen peroksida yang mantap. Kelas II terdiri dari ligninase dan peroksidase ekstraseluler fungi lainnya, sedangkan kelas III terdiri dari peroksidase ekstraseluler klasik tanaman seperti horseradish peroksidase. Peroksidase tanaman tersebar dalam jaringan tanaman yang ditemukan pada peroksisom. Enzim peroksidase berkaitan erat dengan sejumlah proses fisiologi yang meliputi lignifikasi, penyembuhan luka, oksidasi fenol, dan pertahanan terhadap patogen. Lignifikasi berperan sebagai mekanisme pertahanan alami tanaman terhadap cekaman biotik dan abiotik. Lignin merupakan biopolimer fenolik yang sintesisnya diinduksi oleh lingkungan dan serangan patogen (Østergaard et al. 2000). Monomer lignin berasal dari tiga hydroxycinnamyl alkohol atau monolignols yaitu p-coumaryl, coniferil dan sinaphyl. Ketiga monolignol ini menghasilkan monolignin phidroksifenil (H), guasil (G) dan syringil (S) yang bergabung membentuk polimer lignin. Polimerisasi dehidrogenase dilakukan dengan bantuan peroksidase tanaman, laccases (oksidoreduktase) atau keduanya. Peroksidase dapat mengoksidasi spektrum fenolik yang luas termasuk proses lignifikasi monomer secara in vitro (Dunford, 1991). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hiraga et al. (2001) tingginya tingkat aktivitas peroksidase pada tanaman berkaitan erat dengan peningkatan resistensi terhadap cekaman abiotik, termasuk cekaman oksidatif. Cekaman oksidatif disebabkan oleh berbagai faktor lingkungan diantaranya cekaman UV, serangan pathogen (hypersensitive reaction), herbisida dan kekurangan oksigen (Blokhina et al. 2002). Aktivitas kelompok oksigen aktif (ROS) merupakan salah satu mekanisme yang muncul pertama kali pada tanaman untuk mengatasi cekaman oksidatif khususnya untuk reoksigenasi. Pada ROS ini hidrogen peroksida (H2O2) dan superoksida (O2-) di hasilkan di sejumlah reaksi selular yang dikatalis oleh beberapa enzim seperti lipoksigenase, peroksidase, NADPH oksidase dan xanthine oksidase. Peroksidase dan katalase berperan penting dalam regulasi konsentrasi ROS di dalam sel dengan aktivasi dan deaktivasi H2O2
11
Peroksidase anionik tembakau (NtPox) dan glutathione S-transferase (parB) merupakan protein intraseluler yang digunakan untuk mendetoksifikasi kelompok oksigen reaktif (Reactive Oxygen Species). Berdasarkan penelitian Cakmak & Horst (1991) ditemukan bahwa aktivitas total peroksidase dan enzim anti-peroksidasi lainnya pada ujung akar tanaman Glycine max meningkat selama perlakuan Al. Penelitian Ezaki et al. (2000) menunjukkan bahwa peroksidase dan glutathione S-transferase tidak bertindak langsung dalam menanggulangi cekaman Al dengan mereduksi kandungan Al di dalam sel tanaman tetapi kemungkinan besar keduanya bertindak memotong lipid peroksidasi di daerah membran sel sehingga membran sel ini dapat menjaga masuknya ion Al ke dalam sitosol pada level rendah.
12