II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pembelajaran Konstruktivisme
Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan di kelompokkan dalam teori pembel-ajaran konstruktivis (constructivist theories of learning). Teori konstruktivis ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan in-formasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan mere-visinya apabila aturan-aturan itu tidak sesuai. Teori ini berkembang dari kerja Pia-get, Vygotsky, teori-teori pemrosesan informasi, dan teori psikologi kognitif yang lain, seperti teori Bruner (Nur dalam Trianto, 2010).
Menurut Von Glasersfeld (Sardiman, 2007) konstruktivisme adalah salah satu fil-safat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Pengetahuan bukanlah suatu imitasi dari kenyataan (reali-tas). Von Glasersfeld menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan. Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Tetapi pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenya-taan melalui kegiatan seseorang.
Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi, akomodasi dan ekuilibrasi. Asimilasi ialah proses penambahan informasi baru dengan stuktur kognitif yang ada. Akomodasi ialah penyesuaian stuktur kognitif terhadap situasi baru, dan equilibrasi ialah penye-suaian kembali yang terus dilakukan antara asimilasi dan akomodasi (Bell, 1994)
Secara sederhana konstruktivisme merupakan konstruksi dari kita yang mengeta-hui sesuatu. Pengetahuan itu bukanlah suatu fakta yang tinggal ditemukan, mela-inkan suatu perumusan yang diciptakan orang yang sedang mempelajarinya. Bet-tencourt menyimpulkan bahwa konstruktivisme tidak bertujuan mengerti hakikat realitas, tetapi lebih hendak melihat bagaimana proses kita menjadi tahu tentang sesuatu (Suparno, 1997)
B. Learning Cycle 3 Phase (LC 3E)
Learning Cycle merupakan model pembelajaran yang dilandasi oleh filsafat kon-struktivisme. Karplus (Wena, 2009) menyatakan bahwa pembelajaran siklus meru-pakan salah satu model pembelajaran dengan pendeketan konstruktivis. Siklus belajar merupakan salah satu model pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis yang pada mulanya terdiri atas tiga tahap, yaitu: a). Eksplorasi (Exploration) b). Pengenalan Konsep (Concept Introduction), dan c). Penerapan Konsep (Concept Application)
Pada tahap eksplorasi, siswa diberi kesempatan untuk memanfaatkan panca inde-ranya semaksimal mungkin dalam berinteraksi dengan lingkungan melalui kegia-tan-kegiatan seperti melakukan eksperimen, menganalisis artikel, mendiskusikan fenomena alam atau perilaku sosial, dan lain-lain. Dari kegiatan ini diharapkan timbul ketidakseimbangan dalam struktur mentalnya (cognitive disequilibrium) yang ditandai dengan munculnya pertanyaanpertanyaan yang mengarah pada ber-kembangnya daya nalar tingkat tinggi (high level reasoning) yang diawali dengan kata-kata seperti mengapa dan bagaimana. Munculnya pertanyaan-pertanyaan ter-sebut sekaligus merupakan indikator kesiapan siswa untuk menempuh fase penge-nalan konsep (explaination).
Pada fase penjelasan konsep (explaination), diharapkan terjadi proses menuju kesetimbangan antara konsep-konsep yang telah dimiliki siswa dengan konsep-kon-sep yang baru dipelajari melalui kegiatan-kegiatan yang membutuhkan daya nalar seperti menelaah sumber pustaka dan berdiskusi. Pada fase terakhir, yakni pene-rapan konsep (elaboration), siswa diajak menerapkan pemahaman konsepnya me-lalui berbagai kegiatan-kegiatan seperti problem solving atau melakukan percoba-an lebih lanjut. Penerapan konsep dapat meningkatkan pemahaman konsep dan motivasi belajar karena siswa mengetahui penerapan nyata dari konsep yang me-reka pelajari (Karplus dan Their dalam Fajaroh dan Dasna, 2007). Hal ini didu-kung dengan pendapat Gagne (1975) bahwa proses belajar yang baik diawali dari fase motivasi. Jika motivasi tidak ada pada siswa, sulit akan diharapkan terjadi proses belajar dalam diri mereka. Dari motivasi ini akan lahirlah harapan-harapan terhadap apa yang dipelajarinya. LC 3E melalui kegiatan dalam tiap fase mewadahi siswa untuk secara aktif mem-bangun konsep-konsepnya sendiri dengan cara berinteraksi dengan lingkungan fisik maupun sosial. Hudojo dalam Fajaroh dan Dasna (2007) mengemukakan bahwa:
Implementasi LC 3E dalam pembelajaran sesuai dengan pandangan konstruk-tivis: 1. siswa belajar secara aktif. Siswa mempelajari materi secara bermakna de-ngan bekerja dan berpikir. Pengetahuan dikonstruksi dari pengalaman sis-wa, 2. informasi baru dikaitkan dengan skema yang telah dimiliki siswa. Infor-masi baru yang dimiliki siswa berasal dari interpretasi individu, 3. orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang merupakan pemecahan masalah. Cohen dan Clough dalam Fajaroh dan Dasna (2007) menyatakan bahwa LC 3E merupakan strategi jitu bagi pembelajaran sains di sekolah menengah karena da-pat dilakukan secara luwes dan memenuhi kebutuhan nyata guru dan siswa. Dili-hat dari dimensi guru, penerapan strategi ini memperluas wawasan dan mening-katkan kreativitas guru dalam merancang kegiatan pembelajaran.
C. Keterampilan Proses Sains Hartono (Fitriani, 2009) mengemukakan bahwa: Untuk dapat memahami hakikat IPA secara utuh, yakni IPA sebagai proses, produk dan aplikasi, siswa harus memiliki kemampuan KPS. Dalam pembe-lajaran IPA, aspek proses perlu ditekankan bukan hanya pada hasil akhir dan berpikir benar lebih penting dari pada memperoleh jawaban yang benar. KPS adalah semua keterampilan yang terlibat pada saat berlangsungnya proses sains. KPS terdiri dari beberapa keterampilan yang satu sama lain berkaitan dan sebagai prasyarat. Namun pada setiap jenis keterampilan proses ada pe-nekanan khusus pada masing-masing jenjang pendidikan.
Menurut Hariwibowo (Fitriani, 2009): Keterampilan proses adalah keterampilan yang diperoleh dari latihan kemam-puankemampuan mental, fisik, dan sosial yang mendasar sebagai penggerak kemampuankemampuan yang lebih tinggi. Kemampuan-kemampuan menda-sar yang telah dikembangkan dan telah terlatih lama-kelamaan akan menjadi suatu keterampilan, sedangkan pendekatan keterampilan proses adalah cara memandang anak didik sebagai manusia seutuhnya. Cara memandang ini dija-barkan dalam kegiatan belajar mengajar memperhatikan pengembangan penge-tahuan, sikap, nilai, serta keterampilan. Ketiga unsur itu menyatu dalam satu individu dan terampil dalam bentuk kreatifitas.
Anonim (Nur, 1998) : Buku Petunjuk Pelaksanaan Proses Belajar Mengajar Kurikulum 1984 Pendi-dikan Menengah Kejuruan menjabarkan keterampilan proses menjadi tujuh keterampilan. Tujuh keterampilan itu dijabarkan lagi menjadi sejumlah kete-rampilan spesifik seperti berikut ini: 1. Mengamati Melihat, mendengar, merasa, meraba, membaui, mencicipi, mengecap, menyimak, megukur, membaca. 2. Mengklasifikasikan Mencari persamaan, mencari perbedaan, membandingkan, mengkontraskan, mencari dasar penggolongan. 3. Menginterprestasikan Menaksir, memberi arti, memproposisikan, mencari hubungan ruang/waktu, menemukan pola, menarik kesimpulan, menggeneralisasi. 4. Meramalkan Mengantisipasi (berdasarkan kecenderungan, pola, atau hubungan antar data atau informasi) 5. Menerapkan
Menggunakan (informasi, kesimpulan, konsep, hokum, teori, sikap, nilai atau keterampilan dalam situasi lainnya), menghitung, menentukan variabel, mengendalikan variabel, menghubungkan konsep, merumuskan pertanyaan penelitian, menyusun hipotesis, membuat tabel. 6. Merencanakan Menentukan masalah/obyek yang akan diteliti, menentukan tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian, menentukan sumber data/informasi, menentukan cara analisis, menentukan langkah-langkah pengumpulan data/informasi, menentukan alat, bahan dan sumber kepustakaan, menentukan cara melakukan penelitian. 7. Mengkomunikasikan Berdiskusi, mendeklamasikan, mendramakan, bertanya, merenungkan, mengarang, meragakan, mengungkapkan/melaporkan (dalam bentuk lisan, tulisan, gambar, gerak atau penampilan).
D. Lembar Kerja Siswa (LKS)
Media pembelajaran yang digunakan dalaam pembelajaran ini berupa Lembar Kerja Siswa (LKS). Pada proses belajar mengajar, LKS digunakan sebagai sarana pembelajaran untuk menuntun siswa mendalami materi dari suatu materi pokok atau submateri pokok mata pelajaran yang telah atau sedang dijalankan. Melalui LKS siswa harus mengemukakan pendapat dan mampu mengambil kesimpulan. Dalam hal ini LKS digunakan untuk meningkatkan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran. Menurut Sriyono (1992), LKS adalah salah satu bentuk program yang berlandaskan atas tugas yang harus diselesaikan dan berfungsi sebagai alat untuk mengalihkan pengetahuan dan keterampilan sehingga mampu mempercepat tumbuhnya minat siswa dalam mengikuti proses pembelajaran.
Menurut Sudjana (Djamarah & Zain, 2000) fungsi LKS adalah : a) Sebagai alat bantu untuk mewujudkan situasi belajar mengajar yang efektif. b) Sebagai alat bantu untuk melengkapi proses belajar mengajar supaya lebih menarik perhatian siswa. c) Untuk mempercepat proses belajar mengajar dan membantu siswa dalam menangkap pengertian pengertian yang diberikan guru. d) Siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar sebab tidak hanya mendengarkan uraian guru tetapi lebih aktif dalam pembelajaran. e) Menumbuhkan pemikiran yang teratur dan berkesinambungan pada siswa. f) Untuk mempertinggi mutu belajar mengajar, karena hasil belajar yang dicapai siswa akan tahan lama, sehingga pelajaran mempunyai nilai tinggi.
Menurut Sriyono (1992) LKS dibagi ke dalam 3 jenis, yaitu : a) LKS Fakta, LKS ini merupakan tugas yang sifatnya hanya mengarahkan siswa untuk mencari fakta atau hal-hal yang berhubungan dengan bahan yang akan diajarkan. b) LKS Pengkajian, LKS ini merupakan penggalian pengertian tentang bahan ke arah pemahaman, dapat berupa tugas, baik untuk bereksperimen maupun untuk mengamati. c) LKS Pemantapan/Kesimpulan, LKS ini sifatnya untuk memantapkan materi pelajaran yang telah dikaji dalam diskusi kelas dimana kebenaran atau kesimpulannya telah ditemukan dan diterima oleh semua peserta diskusi, dapat berupa tugas untuk mengarang, merangkum, membuat paper menyusun bagan yang dikerjakan secara individual.
Menurut Prianto dan Harnoko (1997), manfaat dan tujuan LKS antara lain: a) b) c) d) e) f)
Mengaktifkan siswa dalam proses belajar mengajar. Membantu siswa dalam mengembangkan konsep. Melatih siswa untuk menemukan dan mengembangkan proses belajar mengajar. Membantu guru dalam menyusun pelajaran. Sebagai pedoman guru dan siswa dalam melaksanakan proses pembelajaran. Membantu siswa memperoleh catatan tentang materi yang dipelajari melalui kegiatan belajar. g) Membantu siswa untuk menambah informasi tentang konsep yang dipelajari melalui kegiatan belajar secara sistematis.
Fungsi LKS sebagai alat untuk melatih siswa untuk menemukan dan mengem-bangkan proses belajar mengajar, didukung dengan pendapat Bell (1991) bahwa pengulangan merupakan prinsip belajar yang berpedoman pada pepatah “latihan menjadikan sempurna”. Dengan pengulangan, maka daya-daya yang ada pada individu seperti mengamati, memegang, mengingat, menghayal, merasakan, dan berpikir akan berkembang.
LKS yang digunakan untuk meningkatkan keaktifan siswa dalam proses pembe-lajaran adalah berupa LKS eksperimen dan LKS noneksperimen.
a. LKS eksperimen LKS eksperimen adalah LKS yang berisi tujuan percobaan, alat, bahan, lang-kah kerja, pernyataan, hasil pengamatan, pertanyaan-pertanyaan, dan kesim-pulan akhir dari percobaan yang dilakukan pada materi pokok yang bersang-kutan.
b. LKS noneksperimen Dalam materi kesetimbangan kimia, tidak dilakukan eksperimen. Oleh karena itu, untuk memudahkan siswa memahami teori tersebut dapat digunakan me-dia berupa LKS noneksperimen. LKS noneksperimen dirancang sebagai media teks terprogram yang menghubungkan antara hasil percobaan yang telah dilakukan dengan konsep yang harus dipahami. Siswa dapat menemu-kan konsep pembelajaran berdasarkan hasil percobaan dan soal-soal yang dituliskan dalam LKS noneksperimen tersebut.
E. Kerangka Pemikiran
Pembelajaran melalui Learning Cycle 3E, terutama dalam membelajarkan materi kesetimbangan kimia, merupakan pembelajaran siklus belajar mengharuskan sis-wa membangun sendiri pengetahuannya dengan memecahkan permasalahan yang dibimbing oleh guru. Model pembelajaran ini memiliki tiga langkah sederhana, yaitu fase eksplorasi (exploration), fase penjelasan konsep (explaination), dan fase penerapan konsep (elaboration). 1. Fase eksplorasi (exploration), siswa diberi kesempatan untuk bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil tanpa pengajaran langsung dari guru untuk menguji prediksi, melakukan dan mencatat pengamatan melalui kegiatan praktikum. Pada fase ini terjadi proses asimilasi yaitu proses penambahan informasi baru dengan stuktur kognitif yang ada. Pada tahap ini siswa akan mengalami ketidakseimbangan struktur kognitif (cognitive disequilibrium). Siswa akan mengalami kebingungan dan mempunyai rasa keingintahuan yang tinggi terhadap fakta baru yang mengarah pada berkembangnya daya nalar tingkat tinggi yang diawali dengan kata-kata seperti mengapa dan bagaimana. Munculnya pertanyaan-pertanyaan tersebut sekaligus merupakan indikator kesiapan siswa untuk menempuh fase pengenalan konsep (explaination).
2. Fase penjelasan konsep (explaination), siswa lebih aktif untuk menentukan atau mengenal suatu konsep berdasarkan pengetahuan yang diperoleh sebe-lumnya di dalam fase eksplorasi. Pada fase ini terjadi proses akomodasi yaitu penyesuaian stuktur kognitif terhadap situasi baru. Siswa akan mencari tahu jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana sehingga terjadi proses me-nuju kesetimbangan antara konsep-konsep yang telah dimiliki siswa dengan konsep-konsep yang baru dipelajari, begitu seterusnya sehingga terjadi kese-timbangan antara struktur kognitif dengan pengetahuan yang baru (ekuilibra-si). 3. Fase penerapan konsep (elaboration). Pada fase ini siswa diajak untuk menerapkan konsep pada contoh kejadian yang lain, baik yang sama ataupun yang lebih tinggi tingkatannya.
Pembelajaran kimia yang demikian memberikan pengalaman belajar pada siswa sebagai proses dengan menggunakan sikap ilmiah agar mampu memiliki pemaha-man melalui faktafakta yang mereka temukan sendiri, sehingga mereka dapat menemukan konsep, hukum, dan teori, serta dapat mengaitkan dan menerapkan pada realistis kehidupan.
Dengan berpikir apabila pembelajaran seperti ini diterapkan pada pembelajaran kimia di kelas diharapkan siswa dapat meningkatkan keterampilan mengkomuni-kasikan dan juga penguasaan konsep, sehingga keterampilan mengkomunikasikan dan penguasaan konsep siswa menggunakan pembelajaran ini akan lebih baik bila dibandingkan dengan keterampilan mengkomunikasikan dan penguasaan konsep siswa yang dibelajarkan melalui pembelajaran konvensional.
F. Anggapan Dasar Anggapan dasar dalam penelitian ini adalah:
1). Siswa kelas XI semester ganjil SMA Al-Kautsar Bandar Lampung tahun pelajaran 2011/2012 yang menjadi objek penelitian mempunyai kemampuan dasar yang sama dalam keterampilan mengkomunikasikan dan penguasaan konsep. 2). Faktor-faktor lain yang mempengaruhi peningkatan keterampilan mengkomunikasikan dan penguasaan konsep siswa kelas XI semester ganjil SMA AlKautsar Bandar Lampung tahun pelajaran 2011/2012 diabaikan.
G. Hipotesis Umum Sebagai pemandu dalam melakukan analisis maka perlu disusun hipotesis umum. Hipotesis umum dalam penelitian ini jika kedua kelas eksperimen diberi pembe-lajaran yang berbeda maka hasil keterampilan proses sainsnya akan berbeda pula.
Hipotesis umum dalam penelitian ini adalah: Pembelajaran melalui model Learning Cycle 3E lebih efektif daripada pembel-ajaran konvensional.