6
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Keanekaragaman Hayati
Keanekaragaman hayati merupakan keanekaragaman di antara makhluk hidup dari semua sumber, termasuk di antaranya daratan, lautan, dan ekosistem akuatik (perairan) lainnya, serta komplek-komplek ekologi yang merupakan bagian dari keanekaragamannya, mencakup keanekaragaman dalam spesies, antara spesies dengan ekosistem (Konvensi PBB, 1994).
Menurut Indrawan, Ricard, dan Supriatna (2007), keanekaragaman hayati dapat digolongkan menjadi tiga tingkatan: 1. Keanekaragaman genetik. Variasi genetik dalam satu spesies, baik diantara populasi-populasi yang terpisah secara geografis, maupun di antara individuindividu dalam satu populasi. 2. Keanekaragaman spesies.
Semua spesies di bumi, termasuk bakteri dan
protisia serta spesies dari Kingdom bersel banyak (tumbuhan, jamur, hewan, yang multiseluler). 3. Keanekaragaman komunitas.
Komunitas biologi yang berbeda serta
asosiasinya dengan lingkungan fisik (ekosistem) masing-masing. Keanekaragaman spesies atau jenis dapat digunakan untuk menandai jumlah spesies dalam suatu daerah tertentu atau sebagai jumlah spesies diantara jumlah
7
total individu yang ada. Hubungan ini dapat dinyatakan secara numerik sebagai indeks keragaman. Jumlah spesies dalam suatu komunitas adalah penting dari segi ekologi karena keragaman spesies akan bertambah bila komunitas semakin stabil.
Gangguan yang parah menyebabkan penurunan yang nyata dalam
keragaman (Michael, 1994: Firdaus, Setiawan, dan Rustiati, 2013).
Keanekaragaman jenis burung dapat digambarkan sebagai kekayaan atau jumlah jenis burung yang ditemukan pada suatu kawasan, dimana secara morfologi dan biologi berbeda antara jenis yang satu dengan jenis lain. Dalam ekologi umumnya keanekaragaman hayati mengarah pada komposisi dari satu profil habitat yang mendukung
derajat
kelimpahan
satwa
liar
dengan
tipe
habitatnya.
Keanekargaman jenis burung mengandung beragam manfaat dan memerankan berbagai fungsi, sehingga pelestariannya menjadi sangat penting baik ditinjau dari sudut ekonomi, sosial, pendidikan, dan budaya (Alikodra, 1990; Kapisa, 2011).
B. Burung
Burung adalah salah satu kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia. Struktur vegetasi merupakan salah satu faktor kunci yang mempengaruhi kekayaan spesies burung pada tingkat lokal (Purnomo, Jamaksari, Bangkit, Pradityo, dan Syafrudin, 2009).
Burung memiliki ciri khusus antara lain tubuhnya terbungkus bulu, mempunyai dua pasang anggota gerak (ekstrimitas), anggota anterior mengalami modifikasi sebagai sayap, sedang sepasang anggota posterior disesuaikan untuk hinggap dan berenang, masing-masing kaki berjari empat buah, terbungkus oleh kulit yang
8
menanduk dan bersisik.
Mulutnya memiliki bagian yang terproyeksi sebagai
paruh atau sudu (cocor) yang terbungkus oleh lapisan zat tanduk.
Rangka burung sangat kokoh tetapi ringan, kebanyakan dari tulang yang besar berongga. Di dalam tulang tersebut disokong oleh jaringan penopang. Pada tulang dadanya yang berlunas dalam melekat otot-otot terbang yang kokoh yang menggerakkan sayap ke atas dan ke bawah (Ensiklopedia Indonesia Seri Fauna, 1989).
C. Habitat
Habitat merupakan suatu lingkungan tertentu dengan kondisi tertentu dimana suatu spesies atau komunitas hidup.
Habitat yang baik akan mendukung
perkembangbiakan organisme hidup di dalamnya secara normal.
Habitat
memiliki kapasitas tertentu untuk mendukung pertumbuhan populasi suatu organisme. Kapasitas untuk mendukung pertumbuhan populasi suatu organisme disebut daya dukung habitat (Irwanto, 2006).
Lahan basah merupakan ekosistem produktif yang mempunyai sejumlah fungsi dan manfaat yang bernilai penting bagi manusia. Lahan basah adalah daerah peralihan antara sistem perairan dan sistem daratan.
Tumbuhan yang hidup
umumya adalah hidrofita, substratnya berupa tanah hidrik yang tidak dikeringkan serta berupa bahan bukan tanah dan jenuh atau tertutup dengan air dangkal pada suatu waktu selama musim pertumbuhan setiap tahun. Lahan basah umumnya tempat yang kaya akan keanekaragaman hayati (Rahmad, 2010; Rohadi, dan Harianto, 2011).
9
Satwa liar membutuhkan pakan, air, dan tempat berlindung dalam hidupnya dari teriknya panas matahari dan pemangsa serta tempat untuk bersarang, beristirahat dan memelihara anaknya.
Seluruh kebutuhan tersebut diperolehnya dari
lingkungan atau habitat dimana satwa liar hidup dan berkembangbiak. Suatu habitat yang baik akan menyediakan seluruh kebutuhan satwa liar untuk hidup dan berkembangbiak secara normal, sehingga menjamin kelestarian satwa liar tersebut dalam jangka panjang.
D. Lahan Basah
Lahan basah merupakan daerah peralihan antara sistem perairan dan sistem daratan. Tumbuhan yang hidup umumya adalah hidrofita, substratnya berupa tanah hidrik yang tidak dikeringkan serta berupa bahan bukan tanah dan jenuh atau tertutup dengan air dangkal pada suatu waktu selama musim pertumbuhan setiap tahun (Rahmad, 2010; Rohadi dan Harianto, 2011).
Lahan basah daratan meliputi daerah yang jenuh atau tergenang oleh air yang pada umumnya bersifat tawar (dapat pula asin tergantung pada faktor-faktor edafik dan sejarah geomorfoliginya) baik secara permanen maupun musiman, terletak di darat atau dikelilingi oleh daratan, dan tidak terkena pengaruh air laut. Tipe lahan basah yang termasuk kelompok ini antara lain: danau, telaga, sungai, air terjun, rawa air tawar, danau-danau musiman, kolam dan rawa yang asin di daratan (Nirarita, Wibowo, dan Padmawinata, 1996; Judih, 2006).
Menurut Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (2006), lahan rawa adalah lahan yang sepanjang tahun, atau selama waktu yang
10
panjang dalam setahun, selalu jenuh air (saturated) atau tergenang (waterlogged) air dangkal. Lahan rawa sering disebut dengan berbagai istilah, seperti “swamp”, “marsh”, “bog” dan “fen”, masing-masing mempunyai arti yang berbeda. 1. Swamp adalah istilah umum untuk rawa, digunakan untuk menyatakan wilayah lahan, atau area yang secara permanen selalu jenuh air, permukaan air tanahnya dangkal, atau tergenang air dangkal hampir sepanjang waktu dalam setahun umumnya air tidak bergerak, atau tidak mengalir. 2. Marsh adalah rawa yang genangan airnya bersifat tidak permanen, namun mengalami genangan banjir dari sungai atau air pasang dari laut secara periodik, debu dan liat sebagai muatan sedimen sungai sering kali diendapkan dengan tanah yang selalu jenuh air, dengan genangan relatif dangkal. 3. Bog adalah rawa yang tergenang air dangkal, permukaan tanahnya tertutup lapisan vegetasi yang melapuk, khususnya lumut spaghnum sebagai vegetasi dominan, yang menghasilkan lapisan gambut (bereaksi) masam. 4. Fed adalah rawa yang tanahnya jenuh air, ditumbuhi rumputan rawa sejenis “reeds”, “sedges”, dan “rushes”, tetapi air tanahnya bereaksi alkalis, biasanya mengandung kapur (CaCO3) atau netral. Umumnya membentuk lapisan gambut subur yang bereaksi netral.
Beberapa ciri dari tipe ekosistem rawa adalah ekosistem yang tidak terpengaruh oleh iklim, terdapat pada daerah dengan kondisi tanah yang selalu tergenang air tawar, pada daerah yang terletak di belakang hutan mangrove dengan jenis tanah aluvial, dan organosol (Santoso, 1996).
11
E. Pergerakan Burung
Pergerakan adalah suatu strategi dari individu ataupun populasi untuk menyesuaikan dan memanfaatkan keadaan lingkungannya agar dapat hidup dan berkembang biak secara normal. Pergerakan individu yang menyebar dari tempat tinggalnya, biasanya secara perlahan-lahan dan mencangkup wilayah yang tidak begitu luas disebut dispersal.
Menurut Alikodra (1990) salah satu bentuk
pergerakan satwa liar terutama burung adalah migrasi. Migrasi adalah gerakan pindah secara musiman diantara dua wilayah geografis (Mac Kinnon dkk, 1998).
Migrasi dapat dibedakan menjadi tiga (Alikodra, 1990), yaitu : a. Migrasi musiman adalah migrasi yang terjadi karena perubahan iklim dengan cara menurut garis lintang dan ketinggian tempat maupun secara lokal. b. Migrasi harian biasanya disebut juga dengan pergerakan harian yang disebabkan oleh pergerakan berbagai jenis satwa liar termasuk burung dalam jangka waktu 24 jam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Mereka
mempunyai tempat-tempat yang jelas untuk tempat tidur, berlindung, mencari makan dan air, dan tempat berkembang biak. c. Migrasi perubahan bentuk adalah migrasi yang biasa terdapat pada serangga yang mempunyai beberapa tingkat kehidupan (telur-larva-stadium dewasa).
Pola pergerakan lainnya adalah nomad, yaitu pergerakan individu ataupun populasi yang tidak tetap dan sulit dikenali secara pasti. Hal ini berbeda dengan kegiatan migrasi, dimana migrasi merupakan pergerakan yang dilakukan dengan arah dan rute yang tetap mengikuti kondisi lingkungan dan akan kembali ke wilayah asalnya.
12
Pergerakan satwa liar, baik dalam skala sempit maupun luas merupakan usaha untuk memenuhi tuntutan hidupnya. Burung membutuhkan suatu koridor untuk melakukan
pergerakan
keanekaragaman.
yang
dapat
menghubungkan
dengan
sumber
Penyebaran suatu jenis burung menyesuaikan dengan
kemampuan pergerakkannya atau kondisi lingkungan seperti pengaruh luas kawasan, ketinggian tempat dan letak geografis. Burung merupakan kelompok satwaliar yang paling merata penyebarannya, ini disebabkan karena kemampuan terbang yang dimilikinya (Alikodra, 2002; Syafrudin, 2011).
F. Gangguan dan Ancaman Terhadap Burung
Kebutuhan untuk menggunakan ruang dalam batas-batas lingkungannya merupakan daya dukung kemampuan suatu daerah untuk mendukung kehidupan suatu populasi sampai pada ukuran maksimum dan pada kepadatan ini populasi mungkin berhenti berkembang biak. Namun yang lebih sering terjadi adalah populasi dalam suatu periode tertentu akan melebihi daya dukung sumber daya yang terbatas, sehingga terjadi penurunan populasi yang disebabkan oleh meningkatnya kematian, menurunnya ketersediaan makanan, dan imigrasi, sehingga tingkat populasi akan menjadi lebih rendah (Whitten, Soeriaatmadja, dan Afiff, 1999).
Menurut Alikodra (1999) satwa liar sering kali menjadi salah satu sumberdaya alam yang terpengaruh karena adanya kegiatan pembangunan, namun tidak semua kegiatan pembangunan mempunyai pengaruh terhadap satwa liar. Persiapan lahan untuk berbagai macam kegiatan pembagunan dengan cara menebang pohon,
13
ataupun memotong pohon secara selektif seringkali merusak telur-telur burung atau menimbulkan kematian burung-burung muda yang berada di luar sarangsarang mereka, jika tempat-tempat sarang tidak tersedia maka burung-burung dewasa akan menghilang dari kawasan ini.
Menurut Jarulis (2007), kehadiran jenis-jenis burung pada wilayah terfragmen menunjukan kemampuannya dalam menggunakan habitat dan sumber daya yang ada.
Perubahan ini terjadi karena adanya gangguan
sehingga jenis-jenis burung harus merubah pola aktivitasnya untuk mendapatkan tempat berlindung, tempat mencari makan, tempat berm ain, dan tempat berkembang biak, penampakan struktur vegetasi dalam suau habitat berhubungan dengan kedatangan jenis-jenis burung.