II. TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian dan Konsep Strategi dalam Pemerintahan Daerah Strategi merupakan aspek penting dalam organisasi, karena dengan strategi akan dapat menentukan sejauhmana suatu tujuan organisasi mengalami keberhasilan ataupun kegagalan. Strategi merupakan sejumlah sarana atau jalur tindakan (means) yang perlu ditemukan oleh suatu organisasi secara aktif, guna mewujudkan sasaran organisasi. Strategi bersifat umum dan mendukung eksistensi organisasi. Selain itu strategi juga diperlukan untuk mengantisipasi perubahan-perubahan
lingkungan
yang
terjadi.
Dalam
hal
ini
Kotten
( Salusu,1996;104) menyatakan bahwa tipe-tipe strategi adalah : a. Corporate strategi (strategi organisasi), strategi ini berkaitan dengan perumusan misi, tujuan, nilai-nilai dan inisiatif strategi baru. Pembatasan diperlukan yaitu apa yang dilakukan dan untuk siapa. b.
Program strategy (strategi program), strategi ini lebih memberikan perhatian pada implikasi strategik dari suatu program tertentu.Apa kiranya dampaknya apabila suatu program tertentu dilancarkan atau diperkenalkan, apa dampaknya bagi sasaran organisasi.
c.
Resource support strategy (strategi pendukung sumberdaya), strategi sumberdaya ini memusatkan perhatian pada memaksimalkan pemanfaatan sumberdaya esensial yang tersedia guna meningkatkan kreativitas kinerja sumberdaya itu dapat berupa tenaga, keuangan, teknologi dsb.
d.
Institusi strategy (strategi kelembagaan), fokus strategi institusional adalah menggambarkan kemampuan organisasi untuk melaksanakan inisiatif-inisiatif strategik. Dilain pihak Stoner (1986;118) menyatakan bahwa ”Strategi adalah
program yang luas untuk mencapai tujuan organisasi, berarti bagaimana cara melaksanakan misinya”. Ada tiga hal penting yang secara khusus perlu diperhatikan dalam lingkup manajemen strategis, yaitu : 1. Strateginya sendiri, yang meliputi rumusan arah organisasi, sarana untuk mencapai hal tersebut, dan dukungan dari daya saing yang kuat. 2. Keberhasilan aplikasi strategi yang mencakup pembahasan tentang penerapan strategi untuk memperoleh hasil paling efektif. 3. Inovasi (upaya pembaharuan) atas strategi yang ada, agar organisasi tetap mampu memberi tanggapan pada berbagai perubahan yang ada, sehingga strategi dapat diubah atau diperbaharui dalam aplikasinya. Dalam pengelolaan perubahan strategi, dapat ditemukan beberapa model strategi (Chaffee, 1985) yang digolongkan menjadi tiga pilihan pendekatan, yaitu : a. Pendekatan strategi linier, dimana pendekatan ini terpusat pada perencanaan dengan sasaran dan uraian tentang sarana pencapaiannya sebagai hasil pengambilan keputusn strategis. Adapun rumusannya adalah ”strategi sebagai suatu penentu sasaran dasar jangka panjang bagi satu organisasi, dan adopsi merupakan jalur tindakan serta alokasi sumber daya yang diperlukan untuk mewujudkan sasaran tersebut” (Chandler, 1962).
9
b. Pendekatan strategi adaptif, berhubungan dengan pemikiran konsep pertambahan (incrementalism). Adapun rumusannya adalah ”strategi berkaitan dengan pengembangan satu kecocokan aktif antara peluang dan resiko, telah ditemukan dalam lingkungan usaha, dilengkapi dengan kemampuan
organisasi
dan
sumberdaya
yang
diperlukan
untuk
mengeksploitasi peluang tersebut”. (Hofer,1973). c. Pendekatan strategi interpretif, berkaitan dengan hubungan antara organisasi dengan lingkungannya, dimana kendalinya berada di tangan manajer yang memegang peta kognitif tentang gambaran dunia yang diharapkan mampu untuk menjelaskan apa organisasi dimaksud dengan melalui wajah organisasi serta menyediakan tanggapan yang sesuai (Weick, 1983). Dalam hal itu kultur dan nilai organisasi memegang peranan penting sebagai motivasi manajemen. Dan keberhasilan masa lalu perlu dikembangkan lebih lanjut sebagai jawaban atas terjadinya perubahan lingkungannya. Untuk itulah diperlukan aspek kepemimpinan strategis, harus ikut bertanggungjawab secara langsung dalam mengarahkan organisasi. Dia harus paham tentang sasaran jangka panjang dan strategi yang ditetapkan, selanjutnya perlu diaplikasikan melalui struktur organisasi yang juga dipilih oleh kepemimpinan strategis. Selanjutnya tanggungjawab utama lainnya adalah melakukan komunikasi kepada semua pihak. Sebagai organisasi yang besar, Pemerintah Kabupaten Karawang yang merupakan bagian dari pemerintahan daerah menjalankan fungsinya sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat 3 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai berikut :
10
Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Dilain pihak berdasarkan
penjelasan atas Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan pula bahwa urusan yang menjadi kewenangan daerah, meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar, sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait erat dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah. Ini berarti bahwa pemerintah daerah diantaranya mengemban amanah untuk melakukan dan meningkatkan pelayanan dan pemberdayaan serta peran serta masyarakat. Pemerintah daerah dituntut meningkatkan layanannya terhadap masyarakat sehingga IPM daerah meningkat dan dapat memenuhi standar yang ditetapkan. Pentingnya strategi dirasakan dalam penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah yang merupakan penjabaran dari visi, misi dan program kepala daerah untuk 5 tahun yang penyusunannya berpedoman pada RPJP daerah dengan memperhatikan RPJM nasional. RPJM daerah itu sendiri memuat arah kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan daerah, kebijakan umum, dan program satuan kerja perangkat daerah, lintas satuan kerja perangkat daerah, program kewilayahan disertai rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. Adapun untuk lebih jelas hal tersebut
11
tersirat dalam pasal 151 Bab VII Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai berikut : 1. Satuan kerja perangkat daerah menyusun rencana strategis yang selanjutnya disebut Renstra-SKPD memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program dan kegiatan pembangunan sesuai dengan tugas dan fungsinya, berpedoman pada RPJM daerah dan bersifat indikatif. 2. Renstra-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dirumuskan dalam bentuk rencana kerja satuan kerja perangkat daerah yang memuat kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah daerah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat. Dengan demikian strategi mempunyai peranan yang sangat penting dalam penentuan keberhasilan pencapaian sasaran dan tujuan organisasi Pemerintah Kabupaten Karawang khususnya Satuan Pelaksana Program Raksa Desa dalam mensinergikan Program Raksa Desa.
Strategi Pemberdayaan Masyarakat dan Kelembagaan Banyak pelajaran yang dapat diambil dari kondisi hasil pembangunan selama ini, antara lain harus disadari bahwa Bangsa Indonesia masih memiliki kesempatan untuk keluar dari keterpurukan akibat krisis moneter dan diperlukan visi dan misi serta komitmen yang jelas dari seluruh elemen bangsa untuk diimplementasikan melalui strategi-strategi yang tepat. Hal tersebut perlu diawali dengan menelusuri struktur sosial yang berkembang dalam kehidupan masyarakat yang selama ini melembaga dengan mengedepankan pemberdayaan sebagai inti
12
pendekatan pembangunan, dimana pendekatan tersebut mendekati pada proses demokratisasi dan penegakan HAM serta terfokus pada pembangunan berbasis masyarakat (community based develompent). Menurut Rothman dan Tropman dalam Isbandi (2003), secara konseptual, sedikitnya ada lima prinsip dasar dan konsep pembangunan berbasis masyarakat (community based development-CBD), yaitu : 1. Untuk mempertahankan eksistensinya, CBD memerlukan break-event dalam setiap kegiatan yang dikelola. 2. Konsep CBD selalu melibatkan partisipasi masyarakat baik dalam perencanan maupun pelaksanaan program termasuk pengawasan. 3. Dalam melaksanakan CBD, antara kegiatan pelatihan dan pembangunan fisik merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. 4. Dalam
mengimplementasikan
CBD
harus
dapat
memaksimalkan
sumberdaya (resources), khususnya dalam hal dana, baik yang berasal dari pemerintah, swasta, maupun sumber-sumber lainnya, seperti dana dari sponsor pembangunan sosial. 5. Organisasi CBD harus lebih memfungsikan diri sebagai ”katalis” yang menghubungkan antara kepentingan pemerintah yang bersifat makro dan kepentingan masyarakat yang lebih bersifat mikro. Dalam mencapai visi pengembangan masyarakat, perlu dikembangkan model-model yang diarahkan pada pembangunan masyarakat, dimana menurut Jack Rothman dalam Isbandi (2003) menyusun dan merumuskan tiga model dalam praktek pembangunan masyarakat, yaitu :
13
a. Model Pengembangan Lokal (Locality Development Model), model pembangunan lokal mensyaratkan bahwa perubahan dalam masyarakat dapat dilakukan secara oftimal bila melibatkan partisipasi aktif yang luas dari spektrum masyarakat tingkat lokal, baik dalam penentuan tujuan maupun pelaksanaan tindakan perubahan. Tujuan yang ingin dicapai adalah mengembangkan kemampuan masyarakat agar dapat berfungsi secara integratif. Strategi yang digunakan ialah mencari cara untuk dapat memotivasi warga masyarakat agar terlibat aktif dalam proses perubahan. Partisipasi aktif seluruh warga masyarakat dalam pembangunan itulah yang menjadi tujuan utama proses perubahan. b. Model Perencanaan Sosial (Social Planning Model), model ini menganggap betapa penting menggunakan cara perencanaan yang matang dan perubahan yang terkendali untuk mencapai tujuan akhir secara rasional. Perencanaan dilakukan dengan sadar dan
rasional, dalam pelaksanaannya dilakukan
pengawasan yang ketat untuk melihat perubahan yang terjadi. Sasaran atau tujuan utama model in adalah menciptakan, menyusun, dan memberikan bantuan baik yang bersifat materi maupun pelayanan yang berbentuk jasa kepada masyarakat. Oleh karenanya yang ingin dikembangkan yaitu kemampuan
dan
kecakapan
masyarakat
dalam
memecahkan
permasalahannya melalui usaha yang terencana, terarah dan terkendali. Strategi yang digunakan adalah mengumpulkan atau mengungkapkan faktafakta dan data mengenai permasalahan kemudian mengambil tindakan yang rasional dan feasible.
14
c. Model Aksi Sosial (Sosial Action Model), model ini menekankan betapa pentingnya penanganan kelompok penduduk yang tidak beruntung secara terorganisasi, terarah dan sistematis. Model ini bertujuan mengadakan perubahan yang mendasar didalam lembaga utama atau kebiasaan masyarakat. Adapun langkah yang ditempuh dengan menggerakkan golongan
masyarakat tertentu guna terlibat aktif dalam mengadakan
perubahan. Tujuannya yaitu mengubah sistem atau kebijakan pemerintah secara langsung dalam rangka menanggulangi masalah yang mereka hadapi. Strateginya adalah mengadakan usaha-usaha yang lebih terorganisir untuk mencapai tujuan atau target tertentu, melalui tindakan yang lebih terorganisir dan terarah, golongan-golongan tersebut mampu memperoleh kekuatan dan tujuan yang diinginkan. Selanjutnya prinsip kesetaraan bagi para stakeholder merupakan sebuah kunci keberhasilan dalam membangun kemitraan. Akan tetapi menurut kenyataan di lapangan, masyarakat lokal sebagai stakeholder berada pada posisi paling lemah sehingga diperlukan pemberdayaan. Pemberdayaan mengandung makna ”membantu”
komunitas
dengan
sumberdaya,
kesempatan,
keahlian
dan
pengetahuan agar kapasitas komunitas meningkat sehingga dapat berpartisipasi untuk menentukan masa depan warga komunitas. Oleh karenanya pemberdayaan menjadi tujuan pengembangan masyarakat. Dengan kata lain pemberdayaan mengandung tiga komponen penting yaitu power sharing, partisipasi dan keberlanjutan.
15
Langkah awal dari pemberdayaan masyarakat adalah pencerahan. Pencerahan masyarakat merupakan buah dari upaya-upaya pelayanan publik yang difasilitasi oleh pemerintah sebagaimana gambaran berikut :
Masyarakat
Pencerahan
Pemberdayaan
Partisipasi
Gambar 1. Proses Pemberdayaan Masyarakat
Merujuk uraian di atas, posisi masyarakat sebagai subjek bukan objek dari program pembangunan sehingga diharapkan dengan pemberdayaan tercipta kedirian dan peran serta atau partisipasi masyarakat menjadi meningkat. Melalui proses pendampingan diharapkan akan dapat meningkatkan kemampuan masyarakat lokal, sehingga pada saatnya nanti mereka akan dapat memiliki peran yang sebanding dengan stakeholder lainnya. Menurut Bina Desa (1998) ciri-ciri masyarakat kuat adalah : (1) Kedirian, tidak mudah dipengaruhi. (2) Kritis dalam menghadapi persoalan. (3) Teguh dan konsisten dalam menjalankan cita-cita komunitas. (4) Solidaritas dan kesetiakawanan. (5) Kemadirian. (6) Gender persfektif. (7) Kemampuan dalam mengelola sumberdaya alam. (8) Kooperatif (9) Replikatif (10) Non eksklusif. Untuk menuju masyarakat lokal yang kuat ada beberapa upaya atau langkah-langkah strategis dalam pemberdayaan masyarakat yang dilakukan melalui kegiatan pendampingan, diantaranya adalah : a. Pembentukan dan pengorganisasian sistem kelembagaan, kegiatan ini diawali dengan pembentukan kelompok-kelompok dampingan, melalui mekanisme kelompok akan dibangun konsensus-konsensus atau komitmen 16
bersama untuk menyelesaikan persoalan komunitas. Antar kelompok juga akan membentuk jaringan kerjasama baik dibidang kegiatan usaha produktif, sharing pengetahuan dan pengalaman, informasi dan yang lebih penting adalah dalam rangka me nghimpun kekuatan bersama sehingga mereka memiliki daya tawar (bargaining position) yang lebih kuat. b. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia, hal ini dilakukan melalui kegiatan pelatihan, belajar bersama, diskusi kelompok, diklat, magang, study banding, seminar dll. c. Menciptakan dan mengembangkan usaha produktif, kegiatan usaha produktif diarahkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat yang berarti penguatan masyarakat dibidang ekonomi. Jenis kegiatannya bisa mengembangkan usaha produktif yang sudah ada atau membuka bidang usaha yang baru. d. Mengembangkan sistem informasi kampung, nilai-nilai strategis yang sesungguhnya dari mengembangkan sistem informasi kampung adalah penguatan masyarakat lokal dibidang informasi. Sistem informasi ini sangat membantu masyarakat lokal dalam pembentukan jaringan antar lembaga atau kelompok yang telah terorganisir melalui kegiatan pendampingan masyarakat. Sistem informasi yang dikembangkan juga akan menjadikan masyarakat lokal mampu mengakses informasi ke dunia luar. Kekuatan masyarakat lokal dalam mengakses informasi dapat mempengaruhi seluruh aktifitas mereka yang pada akhirnya akan bermuara pada sustainable tidaknya komunitas mereka.
17
Selanjutnya Desa menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, pasal 1, butir 12 adalah : ”Kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurusi kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diatur dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Sedangkan dalam pasal 206, desa mempunyai kewenangan antara lain mencakup : 1. Urusan pemerintahan yang sudah ada dan berdasarkan hak asal usul desa. 2. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa. 3. Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah propinsi dan atau pemerintah Kabupaten/Kota. 4. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh perundang-undangan diserahkan kepada desa.
2.3. Kronologis dan Dasar Hukum Kebijakan Program Raksa Desa Perubahan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, disamping karena adanya perubahan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 juga memperhatikan beberapa Ketetapan MPR dan Keputusan MPR, seperti Ketetapan MPR
Nomor:
IV/MPR/2000
tentang
Rekomendasi
Kebijakan
Dalam
Penyelenggaraan Otonomi Daerah, dan Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2002
18
tentang
Rekomendasi
Atas
Laporan
Pelaksanaan
Putusan
Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia oleh Presiden, DPA, DPR, BPK dan Mahkamah Agung dan pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: 5/MPR/2003 tentang Penugasan kepada MPR-RI untuk menyampaikan Saran Atas Laporan Pelaksanaan Keputusan MPR-RI oleh Presiden, DPR, BPK, dan MA pada Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2003. Sejalan dengan amanat Tap MPR tersebut serta adanya perkembangan dalam peraturan perundang-undangan dibidang Keuangan Negara yaitu Undangundang Nomor 17 tahun 2003 tantang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-undang nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara serta Undang-undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, menyebabkan terjadinya perubahan dalam sistem pengelolaan keuangan negara. Di dalam Undang-undang mengenai Keuangan negara, terdapat penegasan dibidang pengelolaan keuangan yaitu bahwa kekuasaan pengelolaan keuangan negara adalah sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan, dan kekuasaan pengelolaan keuangan negara dari Presiden sebagian diserahkan kepada Gubernur/Bupati/Walikota selaku Kepala Pemerintahan Daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili Pemerintah Daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Ketentuan tersebut berimplikasi pada pengaturan pengelolaan
keuangan
daerah,
yaitu
bahwa
Gubernur/Bupati/Walikota
bertanggungjawab atas pengelolaan keuangan daerah sebagai bagian dari kekuasaan Pemerintahan Daerah. Dengan demikian pengaturan pengelolaan dan
19
pertanggungjawaban
pengelolaan
keuangan
daerah
ataupun
penyusunan,
pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pengawasan dan pertanggungjawaban keuangan daerah melekat dengan pengaturan pemerintahan daerah sebagaimana diamanatkan pada pasal 194 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sejalan dengan dinamika perubahan pengelolaan keuangan daerah baik mekanisme dan prosedurnya sebagaimana diuraikan di atas, maka prinsip utama yang perlu ditekankan dalam perbaikan konsepsi pengelolaan keuangan daerah ke depan adalah mendudukan kembali makna dari prinsip pengelolaan keuangan atau anggaran publik yaitu ”apa yang menjadi kewajiban dari masyarakat (pajak atau retribusi dan aspek pembebanan lainnya) akan menjadi hak bagi pemerintah, dan apa yang menjadi kewajiban pemerintah (pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat) akan menjadi hak bagi masyarakat”. Jadi dengan prinsip ”dari rakyat untuk rakyat” akan menjadi spirit hidup atau jiwa dari semua kebijakan pengelolaan keuangan publik yang ditopang oleh akuntabilitas, transparansi, dan profesionalisme yang menjadi dasar bagi keberhasilan pengelolaan keuangan atau anggaran daerah yang tentunya hal tersebut akan
mendukung citra dan
kredibilitas pemerintahan daerah dimata masyarakatnya. Pada hakekatnya pemberian kekuasaan di bidang pengelolaan keuangan daerah merupakan salah satu unsur penting dalam mewujudkan cita-cita pelaksanaan otonomi daerah. Untuk menjamin pemerintahan daerah dapat menjalankan tugas pokok dan fungsinya secara efektif dalam koridor perkembangan lingkungan strategis yang dihadapi saat ini serta perspektif ke depan dibidang pengelolaan keuangan daerah, maka perlu dibuatkan landasan
20
berpijak yang komprehensif dengan memperhatikan permasalahan keuangan secara umum serta praktek-praktek permasalahan pengelolaan keuangan daerah yang terjadi. Pemahaman dan implementasi atas permasalahan lingkup pengelolaan keuangan daerah akan menjadi
dasar dalam menetapkan arah
kebijakan dan strategi pelaksanaan selanjutnya. Prioritas kebijakan dan program penanggulangan
kemiskinan yang
menjadi prioritas adalah peningkatan peran pemerintah dalam penghormatan dan perlindungan hak-hak dasar masyarakat miskin, pemantapan dan penajaman berbagai upaya pemenuhan hak-hak dasar khususnya melalui program penciptaan lapangan kerja dan usaha, peningkatan layanan pendidikan dan kesehatan serta pemenuhan kebutuhan pangan, pengembangan sistem informasi manajemen, memperkuat sistem monitoring dan evaluasi serta asistensi kepada pemerintah daerah dalam penanggulangan kemiskinan melalui pendekatan hak dasar rakyat merupakan keharusan untuk dilaksanakan. Secara nasional arah kebijakan penanggulangan kemiskinan tahun 2006 diarahkan pada berbagai regulasi dan pengembangan program yang memiliki dampak luas terhadap penghormatan, perlindungan dan pemenuhan kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, perumahan, air bersih, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan tindak kekerasan serta partisipasi dalam kehidupan sosial politik. Selain itu untuk mendukung pemenuhan hak-hak dasar rakyat miskin secara bertahap, kebijakan penanggulangan kemiskinan diarahkan pada perwujudan keadilan dan kesetaraan gender, dan pengembangan wilayah melalui percepatan pembangunan perdesaan, pembangunan perkotaan, percepatan kawasan pesisir, dan pembangunan kawasan tertinggal.
21
Sejalan dengan arah kebijakan penanggulangan kemiskinan, maka perlu menciptakan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Oleh karenanya pemerintah berupaya untuk mempercepat pelaksanaan reformasi birokrasi dengan agenda utamanya mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang profesional, partisipatif, berkepastian hukum, transparan, akuntabel, memiliki kredibilitas, bersih dan bebas KKN, peka dan tanggap terhadap segenap kepentingan dan aspirasi masyarakat. Dalam upaya mencapai sasaran tersebut, kebijakan penyelenggaraan negara diantaranya diarahkan untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan melalui (1) Peningkatan kualitas pelayanan publik terutama pelayanan dasar, pelayanan umum dan pelayanan unggulan. (2) Peningkatan kapasitas masyarakat untuk dapat mencukupi kebutuhan dirinya, berpartisipasi dalam proses pembangunan dan mengawasi jalannya pemerintahan. (3). Peningkatan transparansi, partisipasi dan mutu pelayanan melalui peningkatan akses dan sebaran informasi. Sebagaimana kita ketahui bahwa Pembangunan adalah usaha yang dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan guna meningkatkan kondisi yang lebih baik, terwujudnya kehidupan masyarakat yang berdaulat, mandiri, memiliki daya saing, berkeadilan, sejahtera, maju serta memiliki kekuatan moral dan etika yang baik. Pembangunan Daerah Propinsi Jawa Barat di masa yang akan datang tidak terlepas dari tuntutan dan tantangan yang diartikulasikan kedalam visi dan misi serta strategi Jawa Barat yang akseleratif tahun 2003-2008. Dalam rangka mewujudkan visi ”Akselerasi Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Guna Mendukung Pencapaian Visi Jawa Barat 2010”, perlu dilakukan upaya berkesinambungan dan berkelanjutan untuk melaksanakan pembangunan
22
daerah yang efektif dan efisien. Pendekatan pembangunan daerah yang bertumpu pada pembangunan manusia merupakan suatu landasan untuk mewujudkan visi yang sudah ditetapkan. Pembangunan manusia adalah pembangunan yang berpusat pada manusia yang menempatkan manusia sebagai tujuan akhir dari pembangunan bukan sebagai alat pembangunan. Dalam Rencana Strategis Propinsi Jawa Barat 2003-2010 dinyatakan bahwa indikator pencapaian visi Jawa Barat adalah Indeks Pembangunan Manusia yang pada tahun 2010 diharapkan mencapai nilai 80. Pengertiannya adalah Jawa Barat pada tahun 2010 dapat mensejajarkan kualitas pembangunan manusianya pada kelompok daerah kategori sejahtera. Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 mengamanatkan bahwa Pemerintah Propinsi memiliki kewajiban untuk mensejahterakan masyarakat. Pada dasarnya kewajiban untuk mensejahterakan masyarakat bukan hanya merupakan tugas Pemerintah Propinsi, namun juga merupakan tugas Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Kabupaten/Kota serta Pemerintah Desa, dunia usaha dan masyarakat. Dengan kata lain semua stakeholder pembangunan harus bersama-sama dan bersinergis memikul tanggung jawab untuk mensejahterakan masyarakat. Mewujudkan kesejahteraan masyarakat bukan tugas yang ringan, apalagi bilamana terjadi kendala atau hambatan dalam teknis pelaksanaannya seperti belum stabilnya faktor keamanan, belum pulihnya kondisi perekonomian nasional, dan faktor lainnya. Dengan mencermati hal-hal tersebut maka perlu dilakukan upaya terobosan yang tepat untuk mempercepat pencapaian sasaran melalui aktifitas pembangunan yang efektif dan efisien yang terintegrasi dan terkonsentrasi di desa. Sesuai Arah Kebijakan Umum (AKU) APBD Propinsi
23
Jawa Barat tahun 2005 dan Peraturan Pemerintah Nomor 52 tahun 2001, Pemerintah Propinsi dapat memberikan tugas pembantuan kepada Desa dan menetapkan kebijakan untuk mengarahkan pembangunan berbasis IPM ke desa melalui program yang disebut Program Raksa Desa. Dengan asumsi jika IPM desa meningkat maka akan meningkatkan IPM Kecamatan, dan jika IPM Kecamatan meningkat maka akan meningkatkan
IPM Kabupaten . Selanjutnya dengan
meningkatnya IPM Kabupaten maka akan meningkatkan
IPM Propinsi Jawa
Barat.
2.4. Arah dan Mekanisme Program Raksa Desa 2.4.1. Maksud dan Tujuan Program Raksa Desa Pemerintah Propinsi Jawa Barat meluncurkan Program Raksa Desa dengan maksud untuk mempercepat pencapaian peningkatan kesejahteraan masyarakat desa dengan memberdayakan pemerintah dan masyarakat desa melalui pendayagunaan sumberdaya lokal secara mandiri dan sumberdaya pembangunan secara oftimal. Sedangkan tujuan Program Raksa Desa itu sendiri yaitu : a. Meningkatkan kuantitas dan kualitas infrastruktur desa. b. Meningkatkan perekonomian masyarakat perdesaan, melalui penyediaan permodalan bagi kelompok usaha ekonomi masyarakat. c. Meningkatkan kinerja aparat kecamatan, desa atau kelurahan. d. Meningkatkan upaya pemerataan pembangunan antar wilayah di Jawa Barat. e. Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dasar. f. Meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat.
24
g. Memformulasikan kegiatan guna meningkatkan senergitas programprogram Pemerintah Propinsi maupun kabupaten/Kota yang terkoordinasi di lokasi Program Raksa Desa.
2.4.2. Strategi dan Pendekatan Sebagaimana kita ketahui bahwa desa memiliki posisi terdepan dalam struktur pemerintahan di Indonesia. Dalam hal ini desa mempunyai basis yang kuat dan mendasar baik dalam rangka otonomi maupun pembangunan. Desa juga dapat dikatakan sebagai agen pembangunan dan agen demokrasi dalam pembangunan sistem demokrasi di Indonesia. Dengan posisi tersebut, upaya memerankan desa melalui implementasi tugas pembantuan merupakan bentuk artikulasi paradigma perencanaan pembangunan
yang
mengedepankan
pendekatan
partisifatif.
Dengan
perencanaan partisipatif ini diharapkan terlaksana pembangunan yang sinergis, efisien dan efektif serta meningkatnya iklim demokrasi kepemerintahan dan pembangunan. Adapun strategi yang digunakan dalam Program Raksa Desa adalah : a. Mendorong tumbuh dan berkembangnya prakarsa dan swadaya gotong royong masyarakat, partisipasi masyarakat serta transparansi. b. Meningkatkan kapasitas kelembagaan dan organisasi yang berakar pada masyarakat desa. c. Membangun sinergi berbagai kegiatan pembangunan yang dilaksanakan di desa dalam kontek kewilayahan.
25
d. Mendorong tumbuhnya kesalehan sosial dengan wujud kesetiakawanan sosial dalam konteks pembangunan desa. e. Meningkatkan peran dan fungsi lembaga masyarakat (BPD dan LPM) terutama dalam menjalankan fungsi kontrol sosial terhadap pelaksanaan program-program pembangunan desa. Sedangkan pendekatan yang dilgunakan dalam pelaksanaan program Raksa Desa adalah : a. Pembangunan yang bertumpu pada masyarakat (Comunity Based Development). b. Bottom up planning yaitu perencanaan dari bawah artinya perencanaan untuk menentukan prioritas kegiatan yang dilakukan melalui mekanisme musyawarah perencanaan pembangunan. c. Pemberiaan kredit permodalan lebih diarahkan kepada masyarakat atau kelompok masyarakat yang memiliki usaha dalam sektor informal, mikro dan usaha kecil. d. Pembangunan infrastruktur dasar perdesaan diarahkan pada pembangunan infrastruktur yang dapat mengungkit secara signifikan pada tingkat ekonomi masyarakat serta meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan dasar kesehatan, pendidikan serta sumberdaya ekonomi. Dalam hal ini strategi ke depan (exit strategy). Program Raksa Desa perlu dipersiapkan guna keberlanjutan program. Sedangkan kalau kita kaji maka sasaran Program Raksa Desa antara lain adalah : a. Meningkatnya kuantitas dan kualitas infrastruktur perdesaan. b. Meningkatnya perekonomian masyarakat perdesaan.
26
c. Meningkatnya angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah masyarakat perdesaan. d. Meningkatnya cakupan pelayanan kesehatan dasar khususnya bagi ibu hamil dan menyusui.
2.4.3. Komponen Kegiatan Program Raksa Desa Program Raksa Desa merupakan bentuk artikulasi perhatian Pemerintah Propinsi Jawa Barat, yang diformulasikan dalam bentuk tugas pembantuan dari Pemerintah Propinsi kepada Pemerintah Desa. Menurut pasal 206 huruf C dan pasal 207 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 : tugas pembantuan dari pemerintah, Pemerintah propinsi dan atau Pemerintah Kabupaten/Kota disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumberdaya manusia. Tugas pembantuan pada dasarnya meliputi aspek sebagai berikut : a. Merupakan kewenangan pemberi tugas, dalam hal ni Pemerintah Propinsi Jawa Barat. b. Penerima tugas dapat menolak sebagian atau seluruhnya, bila pemberian tugas pembantuan tersebut tidak disertai pembiayaan, sarana atau prasarana serta sumberdaya manusia. c. Penerima tugas (Desa) harus mempertanggungjawabkan pekerjaannya kepada pemberi tugas (Pemerintah Propinsi Jawa Barat). Tugas pembantuan kepada desa ini diharapkan dapat membantu pemerintah dan masyarakat desa dalam mengatasi permasalahan yang ada di desa, diantaranya :
27
1. Prasarana fisik atau infrastruktur perdesaan (jalan, jembatan, irigasi dll, yang menunjang perekonomian pedesaan). 2. Perekonomian desa (permodalan, teknologi dan pemasaran). 3. Pendidikan (penurunan angka drop out dan pemberantasan buta aksara). 4. Kesehatan (penanggulangan ibu hamil atau ibu bersalin beresiko tnggi dan komplikasi kebidanan serta bayi baru lahir). Program Raksa Desa ini diarahkan pada sasaran dan kegiatan yang sesuai dengan karakteristik dan masalah yang dihadapi oleh masing-masing desa. Prioritasnya adalah segala kegiatan yang terkait dengan pencapaian IPM Jawa Barat yang meliputi aspek pendidikan, kesehatan dan daya beli. Adapun besarnya dana bantuan Program Raksa Desa yang berkaitan dengan bidang peningkatan daya beli masyarakat sebesar Rp. 100.000.000,- tiap desa, dengan proporsi 60 persen untuk kegiatan usaha ekonomi masyarakat dan 40 persen untuk kegiatan pembangunan dan pengembangan sarana prasarana dasar pedesaan.
2.4.4. Kriteria Desa Lokasi Program Raksa Desa Desa-desa di Jawa Barat memiliki karakteristik yang berbeda-beda, secara garis besar desa-desa di Jawa Barat dapat diklasifikasikan menjadi desa di daerah perkotaan dan desa di daerah pedesaan. Secara umum daerah pedesaan bercirikan struktur kegiatan penduduk berbasis agraris, kepadatan penduduk rendah, dan cara hidup maupun pola budaya yang dekat dengan pemanfaatan sumberdaya alam, tempat tinggal penduduk berkelompok, tersebar, potensi
28
tenaga kerja dengan tingkat pendidikan baik agak langka serta mempunyai sistem organisasi sederhana dengan kegiatan subsistem atau primer. Bantuan Program Raksa Desa pada dasarnya diarahkan untuk semua desa di Jawa Barat, namun dalam pelaksanaannya dilakukan secara bertahap setiap tahun sampai semua desa menerima. Desa-desa yang diprioritaskan menerima bantuan Program Raksa Desa adalah desa-desa dengan kriteria sebagai berikut : a. Desa-desa terpilih dalam satu wilayah kecamatan dan atau antar kecamatan yang diupayakan satu hamparan. b. Desa yang memiliki banyak jumlah rumah tangga berstatus Pra sejahtera dan sejahtera 1. c. Desa rawan air bersih dan sanitasi dasar. d. Desa rawan infrastruktur jalan. e. Desa rawan listrik, yang ditentukan oleh proporsi rumah tangga yang berlangganan listrik kurang dari 50 persen.
2.4.5. Prinsip Pengelolaan dan Pengorganisasian Tugas pembantuan kepada desa berupa Program Raksa Desa dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut : a. Kebijakan dan Program Raksa Desa ditetapkan oleh Pemerintah Propinsi b. Dana Program Raksa Desa bersifat specifik grant dari Pemerintah Propinsi dan disalurkan langsung kepada desa.
29
c. Tenaga pendamping yaitu berperan sebagai fasilitator kecamatan ditetapkan dan didanai oleh Pemerintah propinsi melalui SATLAK Kabupaten/Kota. d. Penentuan jenis kegiatan serta pelaksanaannya diselenggarakan oleh Desa dengan membentuk kelompok kerja sesuai dengan garis kebijakan Propinsi Jawa Barat serta memperhatikan aspirasi masyarakat desa. Secara teknis diusulkan bertahap oleh desa kepada SATLAK Kecamataan selanjutnya ke Bupati atau Walikota melalui SATLAK Kabupaten/Kota untuk memperoleh pengesahan. e. Pelaporan dan pertanggungjawaban dilakukan oleh desa dan disampaikan secara berjenjang dan atau langsung kepada SATLAK Propinsi Jawa Barat. f. Pemantauan kegiatan dilakukan oleh SATLAK Propinsi bekerjasama dengan SATLAK Kabupaten/Kota yang secara operasional dikendalikan dan dikordinasikan oleh Camat sebagai perangkat daerah Kabupaten/Kota. g. Seluruh kegiatan harus dapat dipertanggungjawabkan baik secara teknis maupun administratif, transparan dan partisipatif. h. Hasil kegiatan harus dapat dilestarikan dan dikembangkan baik oleh Pemerintah Desa maupun masyarakat. Untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan pengelolaan Program Raksa Desa
dibentuk
Satuan
Pelaksana
(SATLAK)
pada
setiap
tingkatan
pemerintahan, yaitu : 1. SATLAK Propinsi, ditetapkan oleh Gubernur Jawa Barat dimana Wakil Gubernur selaku penanggungjawab Program Raksa Desa. SATLAK
30
Propinsi diketuai oleh Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Daerah Propinsi Jawa Barat dengan beranggotakan unsur dinas terkait. 2. SATLAK Kabupaten/Kota dibentuk dan ditetapkan oleh Bupati atau Walikota,
terdiri
dari
Ketua
SATLAK
Kabupaten/Kota
dengan
beranggotakan unsur dinas terkait. Tugas dan tanggung jawab SATLAK Kabupaten/Kota
adalah
melakukan
pembinaan
dan
perencanaan,
pelaksanaan, pengendalian dan pelaporan perkembangan kegiatan. 3. SATLAK
kecamatan
dibentuk
dan
ditetapkan
dengan
Keputusan
Bupati/Walikota atas usulan Camat. SATLAK Kecamatan terdiri dari Camat selaku Ketua SATLAK Kecamatan dengan
beranggotakan unsur teknis
terkait dengan kegiatan program yang dilaksanakan di desa dan dalam pelaksanaannya di bantu oleh seorang Tenaga Pendamping Program Raksa Desa. 4. SATLAK Desa, dibentuk oleh Camat berdasarkan usulan Kepala Desa. SATLAK Desa terdiri dari Kepala Desa selaku Ketua SATLAK
Desa,
Pemegang Kas atau pengelola administrasi keuangan serta sekretaris. Dilengkapi dengan Bidang Ekonomi, Bidang Fisik/infrastruktur Desa, Bidang Pendidikan dan Bidang kesehatan.
2.5. Konsep Pembangunan Manusia dalam IPM Dewasa ini untuk mengukur tingkat pencapaian upaya pembangunan manusia, UNDP atau The United Nations Development Program mengembangkan suatu indeks komposit yang memasukan unsur keberhasilan pembangunan
31
ekonomi dan keberhasilan sosial yang selanjutnya disebut Indeks Pembangunan Manusia. UNDP mendefinisikan pembangunan manusia sebagai suatu proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk. Dalam konsep tersebut penduduk ditempatkan sebagai tujuan terakhir (the ultimed end), sedangkan upaya pembangunan dipandang sebagai sarana ( principal means) untuk mencapai tujuan itu. Untuk menjamin tercapainya tujuan pembangunan manusia, empat hal pokok yang perlu diperhatikan adalah produktivitas, pemerataan, kesinambungan dan pemberdayaan. (UNDP, 1995 : 12). Dalam hal ini menurut UNDP, hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ekonomi bersifat timbal balik sedangkan hubungan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia terbukti tidak bersifat otomatis. Indeks Pembangunan Manusia merupakan salah satu alat ukur sederhana untuk mengetahui tingkat keberhasilan pembangunan sumberdaya manusia. IPM merupakan angka rata-rata dari indeks pendidikan, indeks kesehatan, dan indeks kemampuan daya beli masyarakat. IPM merupakan indeks komposit yang paling banyak digunakan sebagai salah satu alat untuk mengukur taraf kualitas fisik penduduk. Dalam hal ini, IPM akan berkaitan dengan dimensi-dimensi yang memiliki ukuran, yaitu : a. Dimensi ekonomi, perwujudannya adalah ”kehidupan yang layak” yang diukur dengan indikator pengeluaran perkapita riil, secara ringkas dapat dirumuskan sebagai tingkat daya beli masyarakat berkaitan dengan tingkat income perkapita.
32
b. Dimensi Sosial, meliputi aspek-aspek kualitas sumber daya manusia berkaitan dengan tingkat pengetahuan dengan indikator Angka Melek Huruf (AMH) dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS) serta tingkat kesehatan dengan indikator adalah Angka Harapan Hidup (AHH). Dimensi, indikator dan indeks dimensi untuk IPM dapat digambarkan sebagai berikut :
•
Dimensi :
•
Indikator :
•
Indeks Dimensi :
Umur Panjang dan sehat
Angka Harapan Hidup
Kehidupan yang layak
Pengetahuan
Angka Melek Huruf
Indeks Kesehatan
Angka Melek Huruf
Pengeluaran Perkapita riil yg disesuaikan
Indeks Pendidikan
Indeks Pendapatan
INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) Gambar 2. Dimensi, Indikator dan Indeks Dimensi IPM
Dengan
menggunakan
IPM,
UNDP
membagi
tingkatan
status
pembangunan manusia suatu wilayah kabupaten menjadi 4 golongan yaitu rendah kurang dari 50, menengah bawah antara 50-66, menengah atas antara 66-80, dan tinggi mulai 80 ke atas Dalam merumuskan kebijakan pembangunan, perlu diperhatikan tingkat pencapaian setiap tahun. Karena itu kajian tentang pencapaian upaya pembangunan manusia perlu dilakukan dalam suatu periode tertentu, yang
33
memberi kesempatan untuk mengkaji dampak dari program bagi peningkatan kapasitas dasar penduduk. Tingkat pencapaian setiap tahun menuju status pembangunan manusia yang ideal (reduction in shortfall) yang telah dihasilkan pada suatu periode merupakan validasi bagi kebijakan pembangunan yang telah diputuskan pada periode tersebut.
34