II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Manajemen Teknologi Definisi umum teknologi adalah segala daya dan upaya yang dapat dilaksanakan oleh manusia berdasarkan ilmu pengetahuan untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan manusia melalui rancang bangun suatu produk dan proses yang baru, atau pencarian ilmu yang baru, sehingga tercapai taraf hidup yang lebih baik. Kemajuan teknologi mempunyai pengaruh besar terhadap manajemen operasi, dan penerapannya memerlukan pengetahuan tentang manajemen teknologi (Handoko 2000; Gumbira-Sa’id et al. 2001). Terdapat dua kategori umum mengenai teknologi, yaitu 1) teknologi keras, meliputi ilmu pengetahuan alam, rekayasa teknik, dan matematika; 2) teknologi lunak, meliputi ilmu dan proses bisnis yang mengarah kepada produk-produk yang layak jual. Pengembangan teknologi dalam bidang agribisnis harus dilaksanakan selaras antara empat komponen teknologi (THIO) dan kondisi budaya masyarakat Indonesia (Gumbira-Sa’id 2001). Menurut Gaynor (1991), manajemen teknologi merupakan keterkaitan antara perekayasaan, ilmu pengetahuan, dan manajemen perencanaan, pengembangan, dan penerapan teknologi yang handal untuk membentuk dan menyempurnakan strategi dan tujuan operasi organisasi. THIO berinteraksi secara dinamis dan simultan dalam rangka keberhasilan kinerja perusahaan. Mengabaikan salah satu komponen akan
13
melemahkan kemampuan perusahaan dalam persaingan bisnis. Kombinasi komponen teknologi yang digunakan oleh masing-masing perusahaan berbeda tergantung jenis produksi dan jasanya. Oleh karena itu diperlukan pengelolaan teknologi (THIO) yang tepat (Gumbira-Sa’id et al. 2001). Menurut Khalil (2000), analisis kekuatan dan kelemahan suatu teknologi yang dimiliki oleh sebuah organisasi atau pemeriksaan teknologi perlu dilakukan untuk membantu mengetahui posisi teknologi perusahaan dalam persaingannya. Analisis tersebut meliputi teknologi produk, teknologi produksi, teknologi jasa, dan teknologi pemasaran. Selain itu, secara umum tujuan pelaksanaan audit teknologi adalah untuk memanfaatkan secara maksimal penggunaan teknologi serta mengurangi dampak negatifnya (Djajadiningrat et al. 2007). Garcia-Arreola (1996), diacu dalam Khalil (2000), mengembangkan model audit teknologi (TAM) yang mencakup wilayah penting yang
harus
dipertimbangkan dalam audit teknologi. Tujuan TAM adalah : 1) untuk menetapkan status teknologi, 2) untuk mengoptimalkan peluang yang dimiliki, dan 3) untuk memperoleh kapabilitas perusahaan yang lebih kuat. TAM terdiri dari tiga tingkat model, dengan masing-masing tingkat berisi fungsi yang lebih khusus. Tingkat pertama terdiri dari enam kategori. Pada tingkat kedua terdapat dua puluh wilayah penilaian, sedangkan pada tingkat ketiga (terakhir) terdapat empat puluh tiga elemen penilaian. Model TAM (Garcia-Arreola 1996, diacu dalam Khalil 2000), berbasis pada enam kategori seperti diuraikan di bawah ini : 1. Lingkungan teknologi. Strategi yang berhasil biasanya diterapkan dalam lingkungan yang memelihara kelompok kerja, kreativitas, dan fleksibilitas.
14
Faktor-faktor lingkungan bisnis yang diuji termasuk kepemimpinan, adopsi strategi, struktur organisasi, budaya teknologi, dan manajemen sumber daya manusia. 2. Kategorisasi teknologi. Hal yang penting untuk dievaluasi adalah tingkat pengetahuan perusahaan dan apresiasi teknologinya, yaitu teknologi canggih, dan teknologi yang inovatif (baru). 3. Pasar dan pesaing. Hubungan antara pemasok, saluran distribusi, pelanggan, dan pesaing dapat berubah dengan kreasi dan adopsi teknologi baru. Keputusan bisnis mencakup harga, seleksi saluran distribusi, kedudukan produk, dan lain-lain. 4. Proses inovasi. Inovasi yang terjadi memberikan kondisi yang lebih layak bagi perusahaan. Keputusan bisnis dalam area ini adalah alokasi sumber daya, sistem penggajian, waktu pelepasan produk, dan lain-lain. 5. Fungsi nilai tambah. Teknologi yang dibawa ke pasar melalui aktivitas rantai nilai tambah yang menambah nilai produk akhir, seperti penelitian dan pengembangan, pabrik, penjualan, dan distribusi. Mutu dan fleksibilitas diperlukan untuk memenuhi permintaan pasar. Evaluasi keputusan bisnis dalam area ini termasuk tinjauan investasi modal, mekanisme pembuatan kebijaksanaan, struktur organisasi, pembiayaan, metodologis, dan lain-lain. 6. Akuisisi dan eksploitasi teknologi. Keefektifan teknologi tergantung pada keberhasilan dalam penerapannya. Keputusan bisnis untuk akuisisi dan eksploitasi teknologi berpatokan pada keberhasilan organisasi, yang mencakup modal investasi, seleksi pasangan aliansi, dan sebagainya.
15
Pada Gambar 2 diperlihatkan struktur TAM yang berisi kategori, wilayah penilaian, dan elemen-elemen penilaian. Audit teknologi berdasarkan keenam kategori yang terindikasi tersebut di atas akan sangat kompleks prosesnya. Daftar pemeriksaan pada Tabel 1 dapat membantu auditor melalui proses TAM. Pada setiap elemen dibuat pertanyaan dengan penilaian secara kuantitatif berskala lima, dari sangat baik sampai dengan rendah. Skala 5 adalah sangat baik, 4 baik, 3 rata-rata, 2 di bawah rata-rata, 1 rendah. Nilai secara keseluruhan dihitung dengan menjumlahkan seluruh nilai dari masing-masing elemen. Audit teknologi diulang secara periodik, minimal sekali dalam setahun tergantung pada perencanaannya. Jika hasil audit tidak memuaskan, maka perusahaan yang diaudit tersebut disarankan untuk mengubah strategi kegiatannya. B. Pola Kemitraan dan Manajemen Rantai Pasokan Strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan membesarkan dinamakan kemitraan (Hafsah 2000). Menurut David (2002), kemitraan atau konsorsium sementara terbentuk dari adanya usaha patungan (joint venture) dua perusahaan atau lebih dengan tujuan kapitalisasi atau pemanfaatan beberapa peluang. Kemitraan terdiri dari organisasi yang terpisah dengan penguasaan modal dalam bentuk yang baru.
16
1.0 Lingkungan Teknologi
2.0 Kategorisasi Teknologi
1.1 Pimpinan Ekskutif
3.0 Pesaing dan Pasar
4.0 Proses Inovasi
5.0 VAFS
6.0 TAEP
2.1 Teknologi Produk
3.1 Kebutuhan Pasar
4.1 Gerakan Ide
5.1 R dan D
6.1 Akuisisi
Teknologi Internal Teknologi Eksternal Teknologi Dasar KecenderunganTeknologi
- Penaksiran Pasar - Teknologi Pemasaran
- Intrapreneurship - Entrepreneurship
- Tim - Portofolio Jastifikasi - Analisis Berhasil/ Bangkrut
- Metode akuisisi - Modal Investasi
1.2 Strategi Teknologi
2.2 Teknologi Proses
3.2 Kesiapan Pesaing
4.2 Penggerak Teknologi
-
- Tekmologi Internal - Teknologi Eksternal - Teknologi Dasar - KecenderunganTeknologi
- Penaksiran Pesaing - Benchmarking
- Ilmu Pendorong - Pasar Penarik
- Kemajuan Proses
4.3 Konsep Pasar
5.3 Teknologi Peduli Lingkungan
- teknologi sebagai prioritas - keterlibatan manajer
-
Strategi Corporate Tujuan Deployment
1.3 Struktur Organisasi -
2.3 Teknologi Pemasaran
Bagan Organisasi Kelompok kerja
-
Inovasi Pemasaran Konsep Produk-
- Waktu Impas dan biaya impas
J
1.4 Budaya Teknologi -
Pembelajaran Organisasi Komunikasi Perubahan manajemen
1.5 Tenaga Kerja -
5.2 Operasional Teknologi
- Produk hijau - Analisis penjualan Produk
6.2 Transfer Teknologi
- Prosedur Transfer - Transfer Tenaga Kerja
6.3 Eksploitasi untuk Laba
6.4 Proteksi Teknologi
Keterangan : VAFs : Value Added Functions TAEP : Technology Acquisition and Exploitation R & D : Research and Development
Perekrutan Pelatihan Pemberian wewenang Sistem penggajian
Gambar 2. Struktur Model Audit Teknologi/ TAM (Garcia-Arreola 1996, diacu dalam Khalil 2000) 17
Tabel 1. Daftar Pemeriksaan dalam Model Audit Teknologi/TAM (Khalil 2000) Wilayah Penaksiran 1.1
Orientasi dan Kepemimpinan puncak
1.2
Strategi teknologi
1.3 1.4
1.5
Struktur Organisasi Kemajuan budaya teknologi Manusia (tenaga kerja)
2.1
Teknologi jasa/produk
2.2
Teknologi proses
2.3
Teknologi dalam pemasaran
3.1 3.2
Keperluan pasar Status pesaing
4.1
Generasi ide
4.2
Penggerak teknologi
4.3
Konsep untuk pasar
5.1
R dan D
Elemen 1. Lingkungan Teknologi -Teknologi merupakan prioritas utama dalam strategi bisnis. -Keterlibatan manajer dalam budaya teknologi perusahaan. - Strategi perusahaan dalam pencapaian visi perusahaan. -Tujuan dengan kemantapan standar teknologi -Deployment : komunikasi dalam organisasi. - kejelasan bagan organisasi. - kemandirian kelompok kerja. - Budaya sebagai faktor strategis - Pembelajaran organisasi - Kebebasan komunikasi dalam organisasi - Keefektifan perubahan manajemen. - Perekrutan tenaga kerja baru - Pelatihan tenaga kerja. - Empowerment : keterlibatan tenaga kerja - Sistem penggajian
Peringkatan Rendah Baik Sekali 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1
2
3
4
5
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
2. Kategrisasi Teknologi - Teknologi internal kekuatan/ keberaniannya. -Teknologi eksternal strategis - Teknologi dasar dalam posisi persaingan - Trends teknologi kompetensi utama -Teknologi internal untuk proses -Teknologi eksternal untuk proses -Penaksiran teknologi dasar -Trends teknologi proses kunci produk utama -Inovasi pemasaran yang agresif -Konsep produk-jasa kepuasan pelanggan.
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
3. Pasar dan pesaing - Sistem penaksiran pasar -Teknologi pemasaran - Penaksiran pesaing secara periodik - Benchmarking proses-proses internal
1 1 1 1
2 2 2 2
3 3 3 3
4 4 4 4
5 5 5 5
1 1 1 1
2 2 2 2
3 3 3 3
4 4 4 4
5 5 5 5
1
2
3
4
5
1 1 1
2 2 2
3 3 3
4 4 4
5 5 5
4. Inovasi proses - Intrapreneurship seluruh tingkat organisasi -Enterpreneurship konsisten dengan strategi. - Ilmu pengetahuan pendorong - Pasar penarik dari kesenjangan dan peluang pasar - Waktu impas dan biaya impas sesuai pasar
5. Fungsi nilai tambah -Fungsi silang kelompok - Portofolio penelitian dan pemgembangan - Analisis keberhasilan/ kebangkrutan
18
Tabel 1. Daftar Pemeriksaan dalam Audit TAM (Khalil 2000) (lanjutan) Wilayah Penaksiran 5.2 5.3
Operasi Teknologi peduli lingkungan
Elemen - Perbaikan variabel penting dari proses - Proses dan produk hijau - Analisis siklus hidup produk
Peringkatan 1 1 1
2 2 2
3 3 3
4 4 4
5 5 5
- Metode akuisisi - Ketepatan modal investasi - Prosedur transfer - Transfer tenaga kerja - Eksploitasi untuk keuntungan sesuai strategi teknologi dan klasifikasi teknologi
1 1 1 1
2 2 2 2
3 3 3 3
4 4 4 4
5 5 5 5
1
2
3
4
5
-Proteksi inovasi proses
1
2
3
4
5
6. Akuisisi dan eksploitasi
teknologi 6.1 6.2 6.3
6.4
Akuisisi Teknologi Transfer teknologi Eksploitasi untuk keuntungan Proteksi
Menurut Hunger dan Wheelen (2001), usaha patungan dari dua atau lebih organisasi secara terpisah adalah untuk tujuan-tujuan strategis berikut: 1) menciptakan kesatuan bisnis yang independen dan mengalokasi kepemilikan; 2) tanggungjawab operasional; 3) tanggungjawab atas risiko yang timbul; dan 4) imbalan finansial bagi tiap-tiap anggota, disertai perlindungan otonominya. Usaha patungan memberikan cara sementara untuk menggabungkan kekuatan-kekuatan mitra kerja sehingga dapat dicapai hasil bernilai lebih tinggi bagi kedua belah pihak. Perencanaan pengembangan agroindustri berbasis ayam broiler yang berdaya saing di pasar global memerlukan koordinasi vertikal antar setiap tingkatan usaha di sepanjang rantai agroindustri ayam broiler. Melalui koordinasi vertikal setiap tantangan yang mungkin timbul, antara lain sebagai akibat dari fluktuasi harga bahan baku dan harga daging ayam di pasaran, maka keberlanjutan pasokan, jumlah pasokan, mutu produk, dan keterbatasan permodalan, dapat diatasi dengan baik. Selain itu, biaya transaksi dapat
19
dikurangi, dan biaya produksi ternak, serta harga produk olahan lebih rendah (USDA 2003). Koordinasi vertikal tersebut akan membentuk manajemen rantai pasokan (supply chain management atau SCM) ayam broiler, didefinisikan sebagai konsepsi manajemen yang secara terus-menerus mencari sumber-sumber fungsi bisnis yang memiliki kompetensi baik dari dalam maupun luar perusahaan untuk digabungkan menjadi satu rantai pasokan. Tujuannya adalah untuk
memasuki
sistem
pasokan
yang
berdaya
saing
tinggi
dan
memperhatikan kebutuhan pelanggan, yang berfokus pada pengembangan solusi inovatif dan sinkronisasi aliran produk, jasa dan informasi. Dengan demikian tercipta sumber nilai pelanggan yang bersifat spesifik (Miranda & Widjaja-Tunggal 2003). Jaringan manajemen rantai pasokan melibatkan banyak perusahaan yang bersifat independen, namun sepakat untuk bekerja sama jangka panjang tanpa harus bersaing secara tidak sehat, sebagai dasar pengembangan keunggulan kompetitif
kelompok.
Pendekatannya
ditekankan
pada pengembangan
kepercayaan, informasi dan minat bersama antar anggota kelompok (Gattorna & Walters 1996, diacu dalam Herman 2002). Perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam SCM diharapkan dapat memperoleh manfaat nilai tambah secara adil sebagai akibat kegiatan bisnis melalui kemitraan tersebut. Definisi nilai tambah produk menurut Gumbira-Sa’id dan Intan (2000), adalah nilai yang tercipta dari kegiatan mengubah input pertanian menjadi produk pertanian, atau yang tercipta dari kegiatan mengolah hasil pertanian menjadi produk akhir. Dalam pendekatan SCM dapat diidentifikasi pekerjaan kunci
20
dalam bisnis dan tahap berikutnya identifikasi lokasi yang tepat agar setiap pekerjaan tersebut dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Menurut Lee et al. (2011), pembaharuan teknologi informasi merupakan hal penting untuk meningkatkan efisiensi dan keamanan rantai pasokan, namun tidak selalu diadopsi oleh para pihak yang bekerjasama, tergantung tingkat pengaruh keamanan terhadap efisiensi. Jika keamanan tidak cukup kuat pengaruhnya terhadap peningkatan efisiensi, kendala yang mungkin timbul adalah insentif yang tidak cukup untuk berinvestasi, sehingga diperlukan sekurang-kurangnya satu stakeholder
berinvestasi. Namun, jika keamanan cukup kuat
pengaruhnya, sanksi terhadap pelanggaran keamanan akan lebih efektif tanpa pengadaan teknologi baru untuk mengendalikan ketidakpastian akibat intervensi eksternal. Ditinjau dari aspek sistem, agribisnis terdiri dari beberapa subsistem antara lain : 1) Subsistem Pengadaan dan penyaluran sarana produksi, 2) Subsistem produksi primer, 3) Subsistem pengolahan, 4) Sub-sistem pemasaran dan dilengkapi lembaga penunjang (Gumbira-Sa’id dan Intan 2001). Peternakan ayam ras sebagai suatu sistem agribisnis meliputi industri hulu hingga ke hilir. Agroindustri hulu peternakan berfungsi untuk memasok sarana produksi dalam budidaya ternak, yakni industri pembibitan, industri pakan, industri obat-obatan/vaksin, dan industri peralatan peternakan, serta kegiatan perdagangannya. Kegiatan agroindustri hilir adalah kegiatan pengolahan hasil ayam ras, beserta kegiatan perdagangannya. Gambar 3 memperlihatkan hubungan antar komponen dalam konsep sistem agribisnis ayam ras (Saragih 1998).
21
Kemitraan memiliki ciri dan karakteristik dasar yang berbeda berdasarkan jenis dan ukuran bisnis yang dikelola. Faktor-faktor kunci dalam kemitraan adalah : 1) Perpaduan antara berbagai pihak yang bermitra dengan proses-proses pasokan pelanggan; 2) Tingkat kerjasama yang tinggi di antara pihak yang bermitra; 3) Keterlibatan para pihak yang bermitra dalam tahap awal proyek; 4) Hubungan yang luas dari setiap pihak yang bermitra dengan para pelanggan yang berbeda; dan 5) Hubungan jangka panjang antara produsen dalam kemitraan dengan para pelanggan (Hermawati et al. 2002).
Subsistem agribisnis hulu ayam ras (produksi dan penyaluran sapronak)
Subsistem agribisnis budidaya ayam ras
Subsistem agribisnis hilir ayam ras
- Industri pembibitan - Industri pakan - Industri obat-obatan/ vaksin - Industri peralatan
Usaha ternak ayam ras
- Industri pengolahan - Kegiatan perdagangan
-
Subsistem jasa penunjang agribisnis ayam ras Transportasi Perkreditan Asuransi Penelitian dan pengembangan Kebijakan Pemerintah
Gambar 3. Konsep Sistem Agribisnis Ayam Ras (Saragih 1998) Keberhasilan kemitraan sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan para pihak terhadap pelaksanaan kegiatan dan etika bisnis (Hafsah 2000). Menurut Mariotti (1993) yang diacu Hafsah (2000), terdapat enam dasar etika bisnis yaitu : 1) Karakter, integritas, dan kejujuran; 2) Kepercayaan; 3) Komunikasi
22
yang terbuka; 4) Adil; 5) Keinginan pribadi dari pihak yang bermitra; dan 6) Keseimbangan antara insentif dan risiko. Jika enam dasar etika bisnis tersebut dapat dilaksanakan dalam kemitraan, maka keberhasilan dalam bermitra akan dapat dicapai baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Kemitraan dapat dikembangkan secara lebih luas dan berhasil, sesuai kriteria-kriteria yang disarankan oleh Gattorna dan Walters (1996) dalam Herman (2002), sebagai unsur penting dalam hubungan antar organisasi, meliputi hal-hal berikut : 1) Keunggulan individu : setiap mitra harus mempunyai kemampuan untuk dapat berkontribusi pada nilai hubungan dalam kemitraan. 2) Kepentingan : hubungan antar mitra harus sesuai dengan tujuan strategis setiap mitra. 3) Saling ketergantungan : harus ada kebutuhan dari setiap anggota kemitraan terhadap mitra lainnya. Secara ideal masing-masing sebaiknya mempunyai aset dan keahlian yang bersifat komplementer. 4) Penanaman modal : apabila masing-masing anggota menanam modal di perusahaan mitranya, maka diperlukan komitmen jangka panjang. 5) Informasi : informasi bersama merupakan bagian penting dari berhasil suatu kemitraan. Informasi meliputi tujuan spesifik dan individual, data teknis, data kinerja dan informasi tentang perubahan lingkungan. 6) Integrasi : setiap mitra mengembangkan hubungan dan fasilitas untuk mempermudah kerjasama, pada berbagai tingkatan organisasi sesuai keperluan.
23
7) Institusionalisasi : hubungan diformalkan dengan tanggung jawab dan proses pengambilan keputusan yang jelas. 8) Integritas : setiap anggota harus memperlakukan mitranya dengan saling menghargai, jujur, dan saling mempercayai. Menurut Gumbira-Sa’id (2001), prinsip-prinsip kemitraan sebagai pedoman dalam pembentukan dan operasi kemitraan, adalah : 1) saling ketergantungan dan saling membutuhkan; 2) saling menguntungkan antar para partisipan kemitraan; 3) transparansi; 4) kemitraan dibentuk berdasarkan perjanjian dan kesepakatan bersama dari semua partisipan; 5) alih pengetahuan dan pengalaman terutama untuk pembinaan; 6) pertukaran informasi; 7) berkeadilan; 8) kemitraan yang terbentuk harus dapat menjadi sarana untuk saling memperkuat dan saling melengkapi antar para partisipan kemitraan; 9) pemahaman harus mampu memberikan dorongan agar masingmasing partisipan memahami wewenang dan tanggung jawabnya; 10) para partisipan harus mampu dan mau melakukan proses belajar; 11) kemitraan yang terbentuk harus dilembagakan; dan 12) kemitraan yang terbentuk harus dapat dikelola dengan menerapkan fungsi-fungsi manajemen yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengawasan, evaluasi, dan pengendalian. Menurut Chaharsooghi dan Heydari (2010), kuantitas pesanan dan point pemesanan kembali adalah dua tantangan utama dalam manajemen rantai pasokan persediaan, dapat melalui kredit bagi anggota hilir sehingga para pihak memiliki insentif untuk berpartisipasi berdasarkan daya tawar mereka, meningkatkan keuntungan jaringan secara keseluruhan serta profitabilitas masing-masing anggota.
24
Menurut Hermawati et al. (2002), tingkat efektifitas kemitraan sangat ditentukan oleh besarnya tingkat interaksi antar unit yang bermitra. Interaksi tersebut umumnya mencakup unsur-unsur yang berhubungan dengan pasokan, antara lain : 1) Bahan baku; 2) Teknologi; 3) Modal kerja; 4) Bahan pendukung; dan 5) Tenaga kerja. Selanjutnya, aktifitas kemitraan dalam berbagai bentuk interaksi tersebut ditentukan oleh beberapa faktor, di bawah ini (Hermawati et al. 2002): 1) Elemen Produk, meliputi mutu, daya guna, isi produk, asesori, struktur, ecolabel, sanitary and hygiene, phytosanitary dan kontinuitas, 2) Elemen Pemasaran, meliputi distribusi, harga, cara menyerahkan, cara pembayaran, lokasi dan waktu transaksi, lokasi dan waktu penyerahan, alat transportasi, alat promosi, 3) Elemen Budaya atau Etik, meliputi kepercayaan, tanggung jawab, dan pemenuhan komitmen, 4) Elemen Pelayanan, meliputi kecepatan dan ketepatan layanan, serta layanan purna-jual. Womack et al. (1990) melakukan penelitian untuk mengukur potensi kemitraan mencapai keberhasilan pada industri alat angkut (vehicle) Jepang, menggunakan faktor-faktor kunci ke dalam tujuh belas faktor kunci seperti terlihat pada Tabel 2. Potensi keberhasilan kemitraan untuk dapat berhasil diukur berdasarkan jumlah nilai dari ketujuh belas faktor kunci tersebut. Nilai dibuat lima kategori (sangat kurang, kurang, rata-rata, baik, sangat baik) bagi setiap faktor kunci dan dikumpulkan melalui wawancara responden. Jika jumlah nilai kurang dari 30 maka tidak ada kemitraan, nilai di atas 30 sampai
25
dengan 50 berarti ada masalah dalam kemitraan, nilai di atas 50 sampai dengan 70 adalah kemitraan potensial, dan nilai di atas 70 adalah kemitraan yang baik. Tabel 2. Faktor-faktor kunci keberhasilan kemitraan Industri Alat Transportasi (Womack et al. 1990) No. Faktor-faktor keberhasilan Nilai 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Memilih mitra Keinginan untuk menjadi mitra Kepercayaan Karakter dan etika Impian strategis Kecocokan budaya Arah yang konsisten Informasi bersama Tujuan dan minat bersama Risiko ditanggung bersama secara adil Keuntungan dinikmati bersama secara adil Sumber daya cukup sesuai Waktu kerjasama disepakati dan cukup panjang Disponsori oleh manajemen puncak Keterikatan pada ketentuan Pengertian dasar yang sama tentang nilai yang dibawa oleh mitra ke dalam kemitraan Aturan, kebijaksanaan dan pengukuran kinerja yang mendukung kemitraan
Jumlah
Data dikumpulkan melalui wawancara, dan kelayakan untuk setiap faktor dinilai dengan tingkat skor : 1 = sangat kurang 2 = kurang 3 = rata-rata 4 = baik 5 = sangat baik
JF
Catatan : JF < 30 = tidak ada kemitraan, 30 < JF < 50 = ada masalah dalam kemitraan, 50 < JF < 70 = kemitraan potensial, JF > 70 = kemitraan yang baik.
Penerapan kemitraan di Indonesia selama ini meliputi berbagai pola, salah satu di antaranya adalah Pola-Inti-Plasma. Kemitraan dengan pola IntiPlasma adalah pola hubungan kemitraan antara kelompok mitra usaha sebagai plasma dengan perusahaan inti yang bermitra (Hafsah 2000; Gumbira-Sa’id 2001). Klausul-klausul dalam ikatan perjanjian antara plasma dan inti sebaiknya merupakan hasil pembicaraan kedua pihak hingga tercipta sebuah solusi. Menurut Craig dan Grant (2002), dalam beberapa hal, hubungan kemitraan dirumuskan dalam kontrak tertulis yang memuat sifat dan tanggung jawab hubungan kemitraan. 26
C. Komponen-komponen Teknologi Pemilihan teknologi mempunyai dampak terhadap semua bagian operasi, terutama dalam desain pekerjaan (Handoko 2000). Pemilihan teknologi yang diperlukan dalam bisnis umumnya dipengaruhi hal-hal berikut : jenis teknologi (sederhana sampai dengan canggih), prospek, cara penerapan dan pasarnya, jumlah modal yang harus ditanamkan untuk setiap tahap pengembangan, cara penanaman modal, mutu, spesifikasi dan jenis produk, kapasitas produksi, mudah dalam operasionalnya, ketersediaan energi, telah teruji tingkat keberhasilannya, tidak mencemari lingkungan dan nilai tambah produk yang dihasilkan (Brown 1994; Hubeis 1997; Sutojo 2000; GumbiraSa’id dan Intan 2001). Teknologi tepat guna mampu meningkatkan efisiensi kegiatan produksi, mempercepat proses produksi dan mengurangi jumlah limbah, sehingga dapat menekan harga pokok per satuan produk (Sutojo 2000). Menurut Wikipedia (2010), teknologi tepat guna adalah teknologi yang dirancang bagi suatu masyarakat tertentu agar dapat disesuaikan dengan aspek-aspek lingkungan, keetisan, kebudayaan, sosial, politik, dan ekonomi masyarakat yang bersangkutan, sehingga dapat menghemat sumber daya, mudah dirawat, dan berdampak polutif yang minimal terhadap lingkungan. Istilah teknologi tepat guna umumnya digunakan untuk menjelaskan teknologi sederhana yang dianggap cocok bagi negara-negara berkembang atau kawasan perdesaan yang kurang berkembang di negara-negara industri maju, dan bercirikan solusi "padat karya", untuk mencapai tujuan secara efektif di suatu tempat tertentu.
27
Terdapat empat komponen tekonologi untuk mengkonversi input menjadi output yaitu perangkat teknologi (technoware), sumber daya manusia (humanware), perangkat informasi (inforware), dan perangkat organisasi (orgaware) yang saling berkaitan satu komponen dengan komponen lainnya dalam satu kesatuan operasional perusahaan. Ke-empat komponen teknologi tersebut, disingkat THIO, diuraikan di bawah ini : 1. Perangkat Teknologi (Technoware) Menurut Handoko (2000), pemilihan teknologi sering dipandang sebagai suatu masalah dalam penganggaran modal (capital budgeting) dan melibatkan manajemen operasi, manajemen puncak dan keuangan. Assauri (1999), menyatakan suatu perusahaan memiliki keunggulan bersaing jika produk yang dihasilkan mengikuti perkembangan kemajuan dan pelaksanaan produksi secara efektif dan efisien, serta mutu produk standar, sehingga dapat ditawarkan dengan harga yang lebih rendah atau harga yang bersaing. Menurut Hurun dan Setyanto (2002), teknologi rendah atau sederhana umumnya memiliki ciri peralatan sederhana, proses sederhana, tidak membutuhkan tingkat mutu sumber daya manusia yang tinggi serta diterapkan oleh industri kecil dan rumah tangga. Teknologi menengah atau madya umumnya bercirikan penggunaan mesin dan peralatan pada tingkat sederhana hingga semi otomatis, namun tenaga kerjanya relatif banyak dengan mutu sedang. Pada umumnya diterapkan oleh usaha kecil, menengah, koperasi dan rumah tangga. Teknologi tersebut mengarah kepada teknologi tepat guna. Teknologi tinggi umumnya bercirikan penggunaan mesin dan peralatan
28
otomatis sampai dengan ultra modern, sumber daya manusia bermutu tinggi, proses pengolahan dan tingkat kerumitan teknologi sangat tinggi. Teknologi tinggi, umumnya diterapkan oleh usaha skala menengah dan besar, karena membutuhkan investasi yang mahal. Usaha kecil menengah (UKM) yang umumnya menggunakan teknologi sederhana dan madya memiliki efisiensi yang lebih tinggi dan dapat berperan sebagai mitra untuk meningkatkan efisiensi usaha skala besar dan menengah. Peternakan rakyat mempunyai peranan penting dalam sistem industri perunggasan di Indonesia yang umumnya menggunakan teknologi tepat guna dan berskala kecil. Salah satu strategi untuk meningkatkan efisiensinya adalah melalui kemitraan bisnis. Upaya yang dapat dilakukan peternak adalah mengkombinasikan manajemen budidaya yang efektif dan sarana produksi ternak (sapronak) yang baik. Baik tidaknya performa broiler diketahui dari perhitungan indeks performa (IP) yang memasukkan unsur rerata bobot, daya hidup, feed conversion ratio (FCR), dan umur ayam. IP merupakan gambaran / evaluasi menyeluruh atas keberhasilan peternak. FCR yang diraih peternak sebagai representasi mutu sapronak dan profesionalitas manajemen budidaya. FCR dapat dikonversi untuk menggambarkan korelasi antara biaya dengan semua hal, mulai dari mortalitas, pertumbuhan, dan hasil panen (Setyawan, 2009). Untuk menghitung IP dapat menggunakan manual CPIN (2007) dengan rumus sebagai berikut : Rata-rata bobot panen x (100-persentase kematian) IP = ---------------------------------------------------------------- x 100 Rata-rata umur panen x FCR Semakin besar angka IP berarti semakin baik hasil produksinya.
29
a. Pemilihan Lokasi Peternakan Persyaratan lokasi dan kandang peternakan yang ideal adalah : 1) lokasi terletak di daerah yang jauh dari keramaian atau pemukiman penduduk, 2) lokasi terpilih bersifat menetap, artinya tidak mudah terganggu oleh keperluan-keperluan lain selain untuk usaha peternakan, 3) mudah terjangkau sarana transportasi dan pusat-pusat pemasaran, 4) terdapat sumber air (Andhika 2008). Secara fisik, kandang yang baik adalah bangunan yang disesuaikan dengan perlengkapan dan peralatannya, biaya rendah, tahan lama, dan dapat mengatur dan memodifikasi lingkungan dengan baik. Pengendalian fluktuasi udara di dalam kandang dengan baik akan memperbaiki FCR dan tingkat pertumbuhan ayam. Arah kandang dibuat membujur dari timur ke barat untuk mengurangi pengaruh langsung sinar matahari yang berlebihan (Cobb 2008). b. Perkandangan Kandang ayam pedaging dibuat berdasarkan sifat dan kemampuan ayamnya. Secara praktis kandang ayam pedaging dibuat mirip dengan kandang yang digunakan pada pembesaran ayam petelur komersial. Kandang ternak ayam yang ada di dunia umumnya adalah konvensional (open-sided), yaitu membebaskan aliran udara melalui kandang untuk tujuan ventilasi kandang. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam penggunaan kandang adalah lantai kandang dengan sistem litter atau cage (North & Bell 1990). Menurut Zulkifli dan Khatijah (1998), penggunaan kandang dengan lantai litter pada pemeliharaan ayam broiler dapat mencegah terjadinya lepuh
30
dada dan kaki. Laporan hasil penelitian yang dilakukan oleh Shakila dan Naidu (1998), menyatakan bahwa penggunaan bahan kulit kopi, kulit padi, potongan jerami, dan serbuk gergaji sebagai litter kandang dalam pemeliharaan ayam broiler, menghasilkan pertambahan bobot badan yang berbeda. Pertambahan bobot badan paling rendah ditunjukkan oleh ayam yang ditempatkan pada kandang dengan penggunaan serbuk gergaji, namun tidak terdapat perbedaan efisiensi pakan, dan tingkat kematian dari semua jenis perlakuan bahan dasar litter kandang. Lebar kandang sebaiknya empat sampai tujuh meter, guna memudahkan pengawasan dan menjaga udara kandang tetap bersih dengan adanya sirkulasi udara secara baik. Dinding kandang dapat terbuat dari bahan kawat burung dengan tinggi maksimal 3 (tiga) meter, dan tinggi kandang disarankan maksimal 6 (enam) meter. Panjang kandang dipengaruhi kombinasi banyak faktor, disesuaikan dengan panjang lahan membujur dari arah timur ke barat (North & Bell 1990; Cobb 2008). c. Peralatan Peralatan yang digunakan dalam produksi ayam broiler meliput i alat persediaan air minum, tempat pakan, timbangan, alat sanitasi kandang dan peralatan, alat pemanas, alat pengangkut, alat penerangan, dan sekat kandang. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam penggunaan peralatan bagi peternak plasma (yang termasuk teknologi tepat guna) dijelaskan sebagai berikut (CPIN 2007; Cobb 2008) :
31
1) Sistem pemberian air minum Menjaga kebersihan, ketersediaan air dengan temperatur normal dan tingkat aliran yang memadai merupakan perihal pokok untuk produksi unggas yang baik. Ayam dengan tingkat konsumsi air yang tidak memadai akan menurunkan konsumsi pakan dan berakibat performa ayam turun. Ayam seharusnya tidak berjalan lebih dari 2,5 m untuk mencapai air. Mutu air sangat penting bagi budidaya unggas, kepastian bahwa air minum tersebut mengandung mineral atau bahan organik yang dapat ditolerir bagi ayam harus selalu dijaga. Satu buah tangki berkapasitas 1.000 liter dan satu drum berkapasitas 100 liter diperlukan untuk menampung air minum sebelum dialirkan ke masing-masing tempat minum untuk setiap pemeliharaan 5.000 ekor. Pengisian tangki dapat menggunakan pompa air dengan kapasitas 100 l/menit. Sistem pemberian air minum terdiri dari sistem terbuka dan tertutup. Sistem terbuka menggunakan tempat minum berbentuk memanjang, ukuran 2,4 m (Trough), tipe kubah (Dome Type), dan cangkir (Cups), sistem tertutup menggunakan tempat minum berbentuk Drip-Type Nipples. Penggunaan tempat minum per seribu ekor sesuai tipenya secara berturut-turut adalah empat buah, enam belas buah, sembilan puluh empat buah dan sembilan puluh empat buah. Lebar sisi tempat minum untuk setiap ayam adalah 2 cm. Penggunaan tempat minum (bentuk kubah) yang ideal umumnya satu buah tempat minum untuk 50 sampai dengan 100 ekor. Penempatan tempat minum dalam kandang harus tepat, terutama pada pemeliharaan ayam masa awal. Menurut Stamps dan Andrews (1995), peralatan minum yang diuji-cobakan
32
terdiri dari Automatic satellite, Plasson, dan Plasson plastik pada produksi ayam broiler tidak berpengaruh terhadap bobot badan, konversi pakan, dan mortalitas ayam. 2) Sistem pemberian pakan Ruang tempat pakan dalam sistem pemberian pakan merupakan hal mutlak untuk diperhatikan. Kekurangan ruang tempat pakan akan mengurangi tingkat pertumbuhan dan bobot ayam yang tidak merata. Distribusi pakan dan kedekatan tempat pakan dengan ayam adalah kunci untuk mencapai target tingkat konsumsi pakan. Tempat pakan dibuat dengan mempertimbangkan volume pakan dan meminimalkan pakan yang terbuang, serta penempatan dalam penggunaannya harus disesuaikan dengan umur ayam untuk memastikan tumpahan minimum dan akses yang optimal bagi burung. Dasar tempat pakan harus sejajar dengan punggung ayam, dan tingginya diatur dengan rantai derek. Sistem pemberian pakan otomatis yang utama dan cocok bagi broiler adalah : 1) Pan feeders dengan kapasitas 45-80 ekor per pan, 2) Flat chain dengan kebutuhan 2,5 cm per ekor, dan 3) Tube feeders berdiameter 38 cm untuk 70 ekor (AA 2009). Menurut North dan Bell (1990), tempat pakan yang digunakan untuk membesarkan anak ayam broiler terdiri dari dua tahap; tahap pertama, tempat pakan digunakan untuk memberi makan anak ayam umur beberapa hari pertama (satu sampai empat hari), dalam bentuk : 1) kotak anak ayam, 2) tempat pakan khusus yang tertutup (Feeder lids), 3) tempat pakan plastik (Plastic feeders). Tahap kedua, jenis tempat pakan digunakan bagi anak ayam umur lima hari terdapat beberapa tipe, yaitu : 1) tempat pakan
33
sederhana (hand feeders) dalam bentuk memanjang (1,2 – 1,8 m) dan bentuk tabung dengan diameter 20-40 cm dan tinggi 0,6 m; 2) tempat pakan otomatis (automatic feeders) terdapat banyak tipe, secara garis besar diklasifikasikan sebagai trough and chain, conveyor-and-pan sistem, tube and trough sistem, dan tube and tube sistem. Neves et al. (2010) melaporkan hasil penelitiannya tentang perbandingan tiga tipe tempat pakan yang paling disukai broiler, bahwa ayam broiler makan dalam waktu lebih lama di tempat pakan tipe Tube (214 + 28 detik) dari pada tipe Fenix (123 + 17 detik) dan tipe Automatic (77 + 29 detik). Hal ini kemungkinan karena pada tempat pakan tipe Tube tidak terdapat grid partisi di bagian atasnya, sehingga lebih disukai ayam. 3) Peralatan pendukung (alat sanitasi, pemanas, dan penerangan) Kebersihan kandang dan lingkungan kandang yang bebas dari bibit penyakit ayam, merupakan persyaratan penting dalam pengelolaan peternakan untuk menjaga lingkungan kandang tetap bersih dan ternak terhindar dari penyakit yang berasal dari mikro-organisme penyebab penyakit dan kutu. Pembersihan kandang dapat dilakukan dengan metode cepat, yang murah dan sederhana. Perlengkapan kandang seperti tempat pakan, minum, pemanas, dan lainnya dipindahkan segera setelah panen selesai untuk dibersihkan. Pencucian kandang menggunakan alat pembersih bertekanan tinggi atau siraman steam dan soda (North & Bell 1990; Cobb 2008; AA 2009). Performa ayam yang optimal dapat diperoleh dari lingkungan kandang yang konsisten, terutama bagi anak ayam diperlukan suhu lantai dan ruang kandang yang sesuai. Kebutuhan kapasitas pemanas dipengaruhi oleh suhu
34
lingkungan, penutup atap, dan tirai kandang. Terdapat dua sistem dasar indukan bagi broiler, yaitu spot brooding atau induk buatan setempat dan whole house brooding atau induk buatan menyeluruh (AA 2009). Induk buatan setempat memerlukan lingkaran atau sekat pelindung anak ayam dengan tinggi 45-50 cm untuk melindungi anak ayam dari aliran udara dingin, serta menjaga agar anak ayam tetap dekat dengan pemanas, pakan dan air minum (North & Bell 1990) . Kepadatan anak ayam pada hari pertama adalah 60 ekor per m2, untuk 750 ekor membutuhkan indukan berbentuk lingkaran dengan diameter 4 m. Alat pemanas digunakan untuk membesarkan DOC sampai dengan umur kurang lebih 14 hari tergantung suhu kandang (lingkungan). Gambar 4a; 4b; 4c; dan 4d, memperlihatkan keadaan sebaran anak ayam akibat dari responnya terhadap suhu indukan. Kehangatan bagi anak ayam yang ideal ditandai dengan anak ayam menyebar secara merata dalam indukan (Gambar 4b). Jika anak ayam bergerombol di bawah alat pemanas, maka hal ini menandakan suhu indukan kurang panas (Gambar 4c). Sebaliknya, jika anak ayam menjauhi alat pemanas menandakan suhu kandang terlalu panas (Gambar 4a), dan jika anak ayam menyebar hanya pada bagian indukan tertentu, kemungkinan karena pengaruh pencahayaan yang tidak merata, perlu dibenahi agar cahaya merata (Gambar 4d). Untuk mengatasi suhu kandang agar ideal bagi anak ayam dapat dilakukan dengan menaikkan alat pemanas jika suhu kandang terlalu panas dan menurunkannya jika suhu kandang kurang panas (North & Bell 1990; AA 2009).
35
4a
4c
4b
4d
Gambar 4. Penyebaran Anak Ayam Akibat Suhu Indukan (AA 2009)
Gordon (1997) melaporkan, bahwa lama pencahayaan berpengaruh nyata terhadap tingkat kematian, konsumsi pakan, dan bobot hidup ayam broiler pada masa pertumbuhan (umur 22-49 hari). Pada pencahayaan selama 8 jam per hari, tingkat kematian dan konsumsi pakan lebih rendah dari pada pencahayaan 20 jam per hari, namun bobot hidupnya lebih rendah (16,9 %). Berdasarkan hasil temuan tersebut, penerapan lama pencahayaan dalam pembesaran anak ayam broiler disarankan untuk disesuaikan dengan sasaran bobot hidup panen. Menurut CPIN (2007), secara umum broiler tumbuh pada 23 jam penyinaran per hari. Anak ayam umur sehari diberikan penerangan adalah 20 lux (2 watt bola lampu per 2,66 m2), setelah satu minggu dikurangi secara
36
bertahap menjadi 5 – 10 lux. Terdapat tiga macam program pencahayaan sebagai berikut (CPIN 2007) : 1) Program Penambahan Lama Penyinaran (Photoperiod)
untuk ayam
broiler yang dipelihara sampai bobot badan di atas 2 kg (panen dengan bobot badan rata-rata di atas 2 kg) (Tabel 3). Tabel 3. Program Penambahan Lama Penyinaran Ruangan Kandang Broiler Bobot Panen Rata-rata di Atas Dua kg Umur Ayam (Hari) 0–3 4–7 8 – 14 15 – 21 22 – 28 29 – dijual/panen Sumber : CPIN (2007).
Lama Penerangan (Jam) 23 18 14 16 18 23
Lama Gelap (Jam) 1 6 10 8 6 1
2) Program Pengurangan Lama Penyinaran (Photoperiod) untuk ayam broiler yang dipelihara sampai bobot badan 2 kg (panen antara 1 kg sampai 2 kg) (Tabel 4). Tabel 4. Program Penambahan Lama Penyinaran Ruangan Kandang Broiler Bobot Panen Antara Satu sampai dengan Dua kg Umur Ayam (Hari) 0–7 8 – 21 22 – dijual/panen Sumber : CPIN (2007).
Lama Penerangan (Jam) 23 16 23
Lama Gelap (Jam) 1 8 1
3) Program Pencahayaan Intermitten (terang-gelap) pada kandang tertutup sesuai untuk ayam yang dipelihara sampai dengan umur 42 hari (Tabel 5).
37
Tabel 5. Program Pencahayaan Intermitten (terang-gelap) sampai dengan Umur Ayam 42 hari Umur Ayam (Hari) a. 0–3 4 – 35 36 – 42 b. 0–7 8 – 21 21 - dijual Sumber : CPIN (2007).
Lama Penerangan (Jam) 23 5 23 24 23 2(1)
Lama Gelap (Jam) 1 1 (terang/gelap secara bergantian) 1 0 1 2(3) (terang/gelap bergantian)
d. Pemeliharaan Pemeliharaan ayam broiler dimulai dari bibit umur sehari (day old chick disingkat DOC) sampai dengan dijual. Umur ayam yang siap jual tergantung kepada permintaan pasar, biasanya antara lima sampai dengan tujuh minggu dengan bobot hidup 1,2 – 1,8 kg per ekor (North & Bell 1990; Cobb 2008). Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pemeliharaan ayam broiler meliputi suhu ruangan kandang; tingkat kepadatan ayam; pemberian ransum dan minum; serta pemilihan strain DOC, diuraikan sebagai berikut : 1) Suhu ruangan kandang Ayam termasuk hewan homeoterm, yaitu hewan yang dapat menjaga suhu tubuh agar tetap konstan. Hewan-hewan homeoterm secara terus menerus memproduksi panas yang dapat dilepaskan ke lingkungan. Kecepatan hilangnya panas tergantung perbedaan suhu tubuh dengan suhu lingkungan. Mekanisme yang efisien hanya terjadi pada temperatur lingkungan di antara batas tertentu. Suhu lingkungan di mana tidak berpengaruh terhadap produksi panas atau metabolisme energi hewan disebut kisaran suhu thermoneutral.
38
Kisaran suhu thermoneutral untuk ayam broiler adalah 12,80C – 23,90C (Sturkie 1976; North & Bell 1990). Suhu ruangan kandang konvensional 210C bagi ayam broiler menghasilkan kemampuan produksi yang optimal dan menunjukkan hasil yang sama sampai dengan suhu 26,7 0C (Hruby & Coon 1993). Sesuai acuan yang dibuat oleh Cobb (2008), bahwa kebutuhan suhu dan kelembaban kandang yang sesuai bagi ayam broiler dipengaruhi oleh umur ayamnya. Tabel 6 memperlihatkan kebutuhan suhu dan kelembaban kandang yang sesuai bagi ayam broiler. Tabel 6. Suhu dan Kelembaban Ruangan Kandang yang Sesuai bagi Broiler Suhu Umur Ayam Kelembaban Relatif 0 0 (hari) (%) C F 0 32 – 33 90 – 91 30 – 50 7 29 – 30 84 – 86 40 – 60 14 27 – 28 81 – 85 50 – 60 21 24 – 26 75 – 79 50 – 60 28 21 – 23 70 – 73 50 – 65 35 19 – 21 66 – 70 50 – 70 42 18 64 50 – 70 49 17 63 50 – 70 56 16 61 50 – 70 Sumber : Cobb (2008) 2) Tingkat kepadatan ayam Jumlah ayam yang dapat dipelihara pada suatu luasan kandang tertentu bervariasi tergantung kepada umur panen, tipe kandang dan iklim setempat saat pemeliharaan ayam. Untuk kandang terbuka dengan ventilasi alami, kepadatan ayam adalah 15 kg bobot hidup per m2. Untuk kandang tertutup dengan aliran udara yang dapat diatur, kepadatan ayam dapat mencapai 25–30 kg bobot hidup per m2. Bobot hidup ayam yang semakin besar,
39
membutuhkan tingkat kepadatan yang semakin kecil, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 7 yang memperlihatkan acuan tingkat kepadatan ayam disesuaikan dengan bobot hidup ayam (CPIN 2007). Tabel 7. Kepadatan Ayam Berdasarkan Bobot Hidup Saat Panen Bobot Hidup (kg) 0,80 – 0,99 1,00 -1,19 1,20 – 1,39 1,40 – 1,59 1,60 – 1,89 > 1,90 Sumber : CPIN (2007)
Kepadatan Ayam (ekor/m2) 11,0 – 11,1 10,0 – 10,5 9,0 – 9,5 8,0 – 8,5 7,5 – 8,0 7,0 – 7,5
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sahroni (2001), menunjukkan bahwa pemeliharaan ayam pedaging sistem litter pada lingkungan yang bersuhu 23,233,20C dan kelembaban 69,2-90,3%, menunjukkan bahwa tingkat kepadatan delapan ekor per m2 lebih baik dibandingkan sepuluh dan tiga belas ekor per m2 luas lantai kandang. 3) Pemberian ransum dan air minum Menurut Cobb (2008), pakan ayam broiler umumnya berbentuk tepung (mash), crumbles, dan pellets. Bentuk pellet lebih mudah penanganan dalam penggunaannya dari pada bentuk tepung, dan menghasilkan efisiensi produksi, serta tingkat pertumbuhan ayam yang lebih baik. Kebutuhan nutrisi secara umum berkurang dengan bertambahnya umur ayam. Ketersediaan energi dan nutrisi esensial yang seimbang dalam formulasi pakan broiler, bertujuan untuk produksi broiler yang sehat dan efisien. Komponen nutrisi dasar yang
40
dibutuhkan unggas adalah air, asam amino, energi, vitamin dan mineral (Cobb 2008). Kandungan gizi ransum ayam dianjurkan seimbang antara kandungan energi metabolis (ME) dengan protein (Wahyu 1985; North & Bell 1990). Perbandingan antara kalori dan protein (C/P Ratio) bagi ayam broiler umur 02 minggu adalah adalah 58 ME per lb dan umur 3 – 7 minggu adalah 75 ME per lb (North & Bell 1990). Widyani et al. (2001) melaporkan hasil penelitiannya bahwa kadar protein 15 % dengan kadar energi 2900 kkal per kg ransum menghasilkan kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan kadar protein 17, 19, 21, dan 23 dengan kadar energi 3100 dan 3300 kkal per kg. Hasil penelitian Widyani et al. (2001), melaporkan konversi ransum oleh ayam broiler yang diberi ransum dengan kandungan protein 19 % dan energi 3300 kkal per kg dalam pemeliharaan sampai dengan umur enam minggu adalah adalah 1,6. Menurut Waryanto (2005), bobot badan broiler umur 35 hari di Indonesia pada tahun 2004-2005 sudah dapat mencapai kurang lebih 2.000 gram per ekor dengan konversi ransum sekitar 1,60. Konsumsi air minum ayam pada suhu normal (210C) adalah 1,6 – 1,8 kali konsumsi pakan. Suhu di atas 210C akan meningkatkan kebutuhan air minum rata-rata 6,5 % setiap kenaikan satu derajat Celcius (CPIN 2007). Tabel 8 memperlihatkan jumlah konsumsi air per 1000 ekor ayam. Mutu air minum sangat penting untuk diperhatikan dalam produksi broiler mengingat konsumsinya hampir dua kali dari jumlah konsumsi pakan. Pada Tabel 9 diperlihatkan mutu air minum dengan kandungan mineral dan bakteri yang dapat ditolerir bagi ayam broiler.
41
Tabel 8. Konsumsi Air untuk Seribu Ekor Ayam Broiler (pada suhu 210C) Umur Ayam (hari) 7 14 21 28 35 42 49 56 Sumber : CPIN (2007)
Konsumsi Air (liter) 58-65 102-115 149-167 192-216 232-261 274-308 309-347 342-385
Tabel 9. Mutu Air Minum yang dapat Ditolerir bagi Budidaya Broiler Bahan Total bahan padat terlarut Khlorida pH Nitrat Sulfat Besi Kalsium Tembaga Magnesium Mangan Seng Fluorida Merkuri Timah Faecal Coliform Sumber : CPIN (2007).
Kandungan dalam Air Minum 300-500 ppm 200 mg/l 6-8 45 ppm 200 ppm 1 mg/l 75 mg/l 0,05 mg/l 30 mg/l 0,05 mg/l 5 mg/l 0,06 mg/l 0,002 mg/l 0,05 mg/l 0
4) Day Old Chicks/ DOC Menurut Ditjennak (2010), strain ayam ras di dunia saat ini dihasilkan oleh tiga perusahaan genetik besar yaitu Hendrix Genetic, Aviagen, dan Tyson Food. Pemeliharaan ayam broiler Grand Parent Stock (GPS) di industri unggas Indonesia sejak tahun 2005 sampai dengan sekarang tidak mengalami perubahan yaitu strain Hubbard, Ross, Lohman Meat, Cobb, dan Hybro PG+, sedangkan untuk Parent Stock (PS) broiler, strain yang digunakan adalah Hubbard, Cobb, Ross, Hybro PG+, Hubbard JA 57, Hubbard Flex, dan AA
42
Plus. Impor GPS broiler sejak tahun 2009 sampai saat ini terdapat kecenderungan didominasi oleh strain Cobb, yaitu sekitar 70 %.
Terdapat
lima perusahaan yang memelihara GPS Cobb yaitu PT. Galur Prima Cobbindo, PT. Charoen Pokphand Indonesia, PT. Wonokoyo Jaya Corporindo, PT. Bibit Indonesia, dan PT. Ayam Manggis. Karakteristik serta keunggulan strain broiler di Indonesia antara lain (CJ 2007) adalah sebagai berikut : Strain Cobb (1) Titik tekan pada perbaikan FCR (2) Pengembangan genetik diarahkan pada pembentukan daging dada (3) Mudah beradaptasi dengan lingkungan tropis (heat stress) (4) Produksi efisien (Bobot badan 1,8 – 2 kg; FCR 1,65). Strain Hybro (1) Fokus terhadap kekuatan dan daya hidup (2) Menjaga keseimbangan antara sifat broiler dan breeder (3) Performa baik pada iklim tropis (4) Fokus pengembangan genetik pada hasil/produk karkas. Strain Ross (1) FCR lebih efisien (2) Laju pertumbuhan lebih cepat (3) Daya hidup lebih baik (4) Fokus pengembangan genetik pada kekuatan kaki sebagai penyeimbang bobot badan.
43
e. Perawatan kesehatan dan pencegahan penyakit Dalam dunia praktis pemeliharaan ayam broiler umumnya menggunakan all-in,all-out system, yaitu hanya satu umur broiler di lahan dan pada waktu yang sama. Semua DOC mulai dipelihara pada hari yang sama, dan akan dijual pada hari yang sama pula. Selama pemeliharaan ayam, alas kandang (litter) harus dijaga agar selalu kering dengan cara segera mengganti litter yang basah. Kebersihan kandang harus dijaga setiap saat, karena kebersihan merupakan hal penting yang utama untuk kesehatan. Setelah kandang kosong segera mulai dibersihkan, dan diperbaiki bila ada kerusakan. Desinfektan digunakan pada tahap berikutnya dengan cara menyemprotkannya melalui sprayer setelah kandang bersih. Kandang perlu diistirahatkan guna memutus siklus terjangkitnya penyakit. Masa istirahat yang normal dari satu masa produksi ke masa produksi berikutnya adalah tujuh hari sampai dengan empat belas hari, tergantung indikasi jenis penyakit yang dapat berjangkit terindikasi. Dengan demikian periode pemeliharaan berikutnya dapat dimulai dengan keadaan kandang yang bersih dan bebas dari penyakit (North & Bell 1990). Sejak munculnya wabah Avian Influenza (AI) di Indonesia pada pertengahan tahun 2003, istilah biosekuriti menjadi sangat terkenal di kalangan peternak ayam. Prinsip dari biosekuriti mencakup tiga hal utama yaitu : 1) meminimumkan keberadaan agen penyebab penyakit, 2) meminimumkan kesempatan agen penyakit berhubungan dengan induk semang, dan 3) membuat lingkungan sedemikian rupa sehingga tidak kondusif untuk kehidupan agen penyakit. Isolasi kandang terhadap kontak langsung dari pihak
44
luar perlu dilakukan untuk mencegah penyakit masuk ke dalam kawasan ternak. Hal ini dapat dilakukan dengan larangan masuk bagi orang yang tidak berkepentingan ke dalam kandang, pencelupan atau penyemprotan desinfektan pada kendaraan, barang, atau orang yang akan masuk ke kandang atau lokasi kandang (Indartono & Widodo 2005; Cobb 2008). Perusahaan ternak dengan program pengendalian penyakit yang baik akan menghasilkan broiler yang sehat. Program pencegahan penyakit meliputi: 1) Pencegahan cekaman (stress), 2) Manajemen, 3) Pasokan air yang bagus, 4) Tes darah, 5) Sanitasi, 6) Vaksinasi, 7) Pengawasan Coccidiosis, 8) Pengawasan terhadap serangga dan hewan liar lainnya, 9) Tingkat kematian ayam, dan 10) Pengawasan polusi (North & Bell 1990; Indartono & Widodo 2005; dan Cobb 2008). Pencegahan penyakit lebih baik dari pada mengobati. Program vaksinasi lebih dianjurkan untuk dapat dilaksanakan dalam rangka pencegahan penyakit (North & Bell 1990). Vaksinasi AI pada ayam broiler apabila diperlukan dapat divaksin sekali dalam hidupnya pada umur 8 – 12 hari sebanyak 0,25 ml dengan suntikan subkutan di bawah kulit pada leher bagian belakang sebelah bawah (Indartono & Widodo 2005; Cobb 2008). Vaksinasi terhadap jenis penyakit lainnya dilakukan pada masa pemeliharaan, seperti penyakit New Castle Disease (ND) pada hari ketiga dan diulang pada hari ke-21, dan Gumboro pada umur 14-21 hari (North & Bell 1990; Cobb 2008; AA 2009). 2. Sumber Daya Manusia (Humanware) Unsur-unsur penyusun sumber daya manusia (humanware) adalah hal-hal yang berhubungan langsung dengan tugas dan kewajiban pekerja, serta hal-hal
45
yang dapat mendukung kemampuannya dalam berkarya atau bekerja, meliputi pengetahuan, keterampilan/keahlian, kebijakan, kreativitas, prestasi, dan pengalamannya (Harjanto 1996; Alkadri et al. 2001; Gumbira-Sa’id et al. 2001; Sharif 2006). Tenaga kerja sebagai komponen manusia merupakan faktor produksi yang penting untuk keberhasilan suatu usaha melalui efisiensi kerja dan penekanan biaya produksi (Assauri 1999; Mangkuprawira 2003). Faktor penting dalam rangka peningkatan produktivitas tenaga kerja adalah tingkat pendidikannya. Menurut Mangkuprawira (2003), pelaku bisnis pertanian di Indonesia memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Berdasarkan data BPS (2009), tingkat pendidikan penduduk berumur 10 tahun ke atas didominasi tamatan Sekolah Dasar (SD) yaitu 31,19 % pada tahun 2007. Lulusan terbesar ke dua adalah tamatan Sekolah Menengah (SM) ke atas (23,37 %). Jika diperhatikan perkembangan tingkat pendidikan penduduk dari tahun 1994 sampai dengan 2007 terdapat peningkatan persentase pada tingkat pendidikan Sekolah Menengah ke atas. Pada tahun 1994 tamatan SD dengan persentase adalah 31,97 %, sedangkan tamatan SM ke atas adalah 13,83 %. Tingkat
pendidikan
tersebut
menjadi
faktor penting
dalam rangka
meningkatkan produktivitas kerjanya. Perkembangan dunia bisnis yang cepat dewasa ini (abad 21) yang didukung perkembangan teknologi informasi yang pesat berakibat terjadi perubahan paradigma pengelolaan sumberdaya manusia dalam organisasi. Manusia yang semula hanya dipandang sebagai tenaga kerja saja, pengelolaannya berkembang menjadi manajemen sumberdaya manusia, dan
46
perkembangan terakhir manusia dipandang sebagai “aset” dengan istilah human capital (Suhariadi 2007; Prabowo 2007). Penelitian yang dilakukan Bontis et al. (2000), diacu dalam Setyawan dan Kuswati (2006), menemukan adanya proses transformasi organisasi dari perusahaan konvensional menjadi perusahaan berbasis pengetahuan. Peran pengetahuan yang dimiliki manusia menjadi penting. Penelitian yang dilakukan oleh Nurmianto et al. (2006), tentang perancangan penilaian kinerja karyawan berdasarkan kompetensi Spencer dengan metode Analytical Hierarchy Process, menggunakan tujuh faktor kompetensi yang terbagi ke dalam dua variabel kemampuan yaitu kemampuan manajerial dan kemampuan teknik. Penelitian tersebut menghasilkan hirarki faktor dalam kemampuan manajerial (0,200) adalah disiplin (0,318), melayani (0,285), berprestasi (0,151), proaktif (0,140), dan komitmen pada organisasi (0,102). Hirarki faktor dalam kemampuan teknik (0,800) adalah memimpin (0,500), dan kerjasama (0,500). Faktor disiplin menjadi faktor utama dalam kemampuan teknik. a. Potensi kreativitas Kreativitas adalah sebuah fenomena interaksi dan komunikasi sosial. Dalam lingkungan bisnis yang dinamis saat ini, kreativitas merupakan faktor kunci untuk keberhasilan ekonomi dari organisasi dalam pengembangan kompetitif jangka panjang. Aktualisasi kreativitas karyawan adalah inovasi dalam perusahaan. Perusahaan yang melakukan peningkatan kecepatan transformasi ide-ide kreatif dalam inovasi merupakan tuntutan dalam kompetisi (Dubina 2005).
47
Penilaian
potensi
kreativitas
dapat
melalui
aspek
kecerdasan,
kemampuan teknis, inisiatif, dan motivasi. Gibson et al. (1996), menyatakan bahwa kreativitas dapat berasal dari kecerdasan atau kemampuan seseorang yang berasal dari bawaan dan keterampilan berasal dari hasil latihan. Individu dapat belajar menjadi kreatif. Kemampuan adalah seseorang dapat mengerjakan sesuatu yang berhubungan dengan mental atau fisik, sedangkan keterampilan
adalah
kompetensi
yang
berhubungan
dengan
tugas.
Kemampuan dan keterampilan mempunyai peran penting dalam perilaku dan kinerja individu. Sebuah organisasi dapat membantu mengembangkan kreativitas karyawan melalui : 1) menyangga risiko dari keputusan kreatif, 2) interval waktu organisasi dalam penyelesaian masalah, 3) intuisi, 4) sikap inovatif dari setiap karyawan dalam menyelesaikan masalah, 5) susunan organisasi inovatif, yaitu memberi kesempatan berinteraksi dengan banyak manajer dan pembimbing. Untuk meningkatkan penguasaan ketrampilan dan teknik pelaksanaan pekerjaan tertentu, terperinci, dan rutin memerlukan pelatihan. Pengembangan dibutuhkan untuk menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi yang menyangkut banyak aspek, seperti keilmuan, pengetahuan, kemampuan, sikap, dan kepribadian. Standarisasi di sektor agribisnis merupakan ukuran tingkat mutu produk dan tingkat kompetensi pekerja, sehingga kompetensi atau mutu karyawan merupakan faktor yang sangat penting dalam pencapaian standar mutu (Mangkuprawira 2003).
48
b. Orientasi prestasi Orientasi prestasi adalah keinginan selalu berprestasi dengan cara meningkatkan produktivitas ESCAP (1988), diacu dalam Alkadri et al.(2001). Teori prestasi dari McClelland dalam Handoko (1997), karyawan yang berorientasi
prestasi
mempunyai
karakteristik
tertentu
yang
dapat
dikembangkan, yaitu : 1) menyukai pengambilan risiko yang moderat, suka tantangan, dan bertanggung jawab, 2) menetapkan tujuan-tujuan prestasi yang layak dengan perhitungan risiko yang dapat timbul, 3) memiliki tingkat kebutuhan yang kuat atas umpan balik dari apa yang dikerjakannya, 4) memiliki ketrampilan dalam perencanaan jangka panjang dan kemampuan organisasional. Kebutuhan atas prestasi dapat meningkat melalui pelatihan dan pengalaman. Faktor yang berpengaruh terhadap prestasi seseorang adalah motivasi, kemampuan individu dan persepsi peranan. Ketiga faktor tersebut saling berhubungan
(Handoko
1997).
Indrawati
(2006),
melaporkan
hasil
penelitiannya bahwa faktor pengetahuan, keterampilan, dan motivasi secara simultan berpengaruh adalah 20,5 % terhadap kinerja guru matematika Sekolah Menengah Atas (SMA). Faktor sikap, inisiatif, kreativitas, inovasi sangat mendukung keberhasilan pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Seseorang yang memiliki rasa kemampuan akan mempengaruhi persepsi, motivasi, dan prestasinya. Keberhasilan-diri mempunyai peran penting dalam motivasi dan kinerjanya (Gibson et al. 1996). Produktivitas kerja khususnya pada kegiatan agribisnis dapat ditingkatkan dengan penyediaan iklim kerja yang kondusif melalui kepemimpinan, sistem upah,
49
kondisi kerja, jaminan kerja jangka panjang, dan sebagainya (Mangkuprawira 2003). Wardani (2009), melaporkan hasil penelitiannya tentang pengaruh kompensasi, keahlian dan motivasi kerja terhadap prestasi kerja karyawan pada PT. Pembangkit Jawa Bali Unit Pembangkit Muara Tawar, menemukan pengaruh yang signifikan secara bersama-sama dari ke-tiga variabel tersebut terhadap prestasi kerja karyawan. Jumlah pembayaran kepada karyawan dalam bentuk pengupahan dan balas jasa lainnya merupakan suatu ukuran nilai atau karya mereka atas pelaksanaan tugas dan tanggung jawab yang diberikan (Umar 2003). Sistem insentif dari perolehan laba digunakan dalam pemberian insentif kepada karyawan kontrak berdasarkan peningkatan kinerjanya diterapkan di Sub Dinas Pengairan, Dinas Pekerjaan Umum, Kota Probolinggo (Nurmianto, Siswanto, dan Sapuwan 2006). c. Orientasi afiliasi Orientasi afiliasi dapat diukur berdasarkan kemampuan bekerjasama dan bertanggung jawab (Alkadri et al. 2001). Berdasarkan teori prestasi McClelland, bahwa kebutuhan sosial akan afiliasi adalah perhatian yang tinggi atas pengadaan, pemeliharaan, dan perbaikan hubungan sosial. Dengan demikian kebutuhan afiliasi berisi adanya keinginan untuk bersahabat, lebih mementingkan aspek-aspek pekerjaan pribadinya, ingin disukai dan diterima orang lain, lebih senang bekerjasama dari pada situasi kompetitif, senang bergaul, berusaha mendapat persetujuan dari orang lain, melaksanakan tugastugas secara lebih efektif bila bekerja dengan orang lain dalam suasana
50
kerjasama (Reksohadiprodjo & Handoko 1992; Gibson et al. 1996; Munandar 2001). Pola hubungan antar tenaga kerja bersifat hubungan ketergantungan, yaitu saling memerlukan dan saling mempengaruhi. Kelompok dapat memenuhi kebutuhan akan afiliasi bagi tenaga kerja untuk berhubungan dengan orang lain, rasa diperhatikan, dan diterima dalam kelompok. Kelompok dapat memotivasi anggotanya untuk mencapai prestasi yang bermutu. Dalam proses pemecahan masalah, jika data yang diperlukan tersebar pada beberapa orang, maka kelompok merupakan wadah untuk dapat menghasilkan gagasan baru dan jawaban yang kreatif (Munandar, 2001). d. Kapasitas menanggung risiko Menurut Reksohadiprodjo dan Handoko (1992) serta Hermawati et al. (2002), keinginan mengambil tugas yang dapat bertanggung jawab secara pribadi berhubungan dengan kebutuhan prestasinya. Sikap untuk berani menanggung risiko atas keputusan perbuatan pribadi seseorang berhubungan dengan kebutuhan kekuasaan bagi dirinya. Kebutuhan kekuasaan tercermin pada seseorang yang ingin mempunyai pengaruh atas orang lain, peka terhadap struktur pengaruh antar pribadi atau kelompok atau organisasi. Organisasi yang mempunyai prestasi merupakan kriteria dalam memilih organsasi untuk dimasukinya. Sebagai anggota dalam kemitraan, peternak selalu berusaha untuk aktif menjalankan kebijaksanaan perusahaan inti, dan mencoba membantu orang lain walaupun tidak diminta. Keberanian menanggung risiko juga berhubungan dengan adanya pribadi yang selalu
51
mencoba menguasai orang lain dengan mengatur perilakunya, membuat orang lain terkesan, menjaga regulasi dan kedudukannya. Hal ini akan menjadi sifat dasar yang mempunyai implikasi pengembangan usaha khususnya ayam broiler melalui kemitraan dengan faktor kunci adalah : 1) tingkat kerjasama yang tinggi, 2) hubungan yang luas dengan para pihak, dan 3) hubungan jangka panjang. e. Orientasi integritas waktu Penghargaan terhadap waktu merupakan hal penting dalam manajemen organisasi. Integritas terhadap waktu dapat diartikan berdisiplin dalam bekerja. Di Jakarta Industrial Estate Pulogadung/JIEP (2010), sikap disiplin dijadikan salah satu dari sepuluh nilai kerja dalam etos kerja bagi seluruh insan JIEP. Disiplin diartikan tepat waktu dalam melakukan setiap tugas, mematuhi sistem dan kebijakan serta menegakkan peraturan yang berlaku. Karyawan di berbagai negara umumnya tidak biasa bekerja berdasarkan jadwal kerja dari jam ke jam. Penghargaan terhadap waktu
cenderung
dipengaruhi oleh budaya yang dianutnya. Budaya Barat menilai waktu merupakan sumber daya terbatas, sehingga harus digunakan secara bijaksana. Pandangan terhadap waktu yang demikian menghasilkan sikap tidak sabar atas segala sesuatu yang bersifat penundaan dan mencoba menyesuaikan sedapat mungkin aktivitas dengan waktu yang tersedia (Gibson et al. 1996). 3. Komponen Inforware Perangkat informasi tersusun atas unsur-unsur informasi yang berkaitan dengan ketiga komponen lainnya (technoware, humanware, dan orgaware).
52
Menurut Setyawan dan Kuswati (2006), pengembangan teknologi informasi sangat berpengaruh terhadap peran manajemen sumberdaya manusia dalam suatu perusahaan dan mentransformasi fungsi administratif menjadi fungsi strategis. Internet dan fasilitas on-line mengakibatkan hubungan antara pusatpusat bisnis dunia menjadi semakin lancar. Menurut Arthur (1996) diacu dalam Setyawan dan Kuswati (2006), perusahaan berbasis pengetahuan memanfaatkan informasi secara tepat sehingga dapat meningkatkan mutu kinerjanya. Dengan demikian tercipta basis yang kuat untuk menghadapi pesaing. Sulisworo (2009), menyatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya untuk proses produksi suatu perusahaan tergantung kepada informasi yang berhasil dikumpulkan oleh perusahaan yang bersangkut an. Menurut ESCAP (1988) diacu dalam Alkadri et al. (2001), kriteria penilaian Inforware terdiri dari : 1) akses informasi, yaitu seberapa banyak informasi
yang
dimiliki
dan
seberapa
banyak
yang
dimanfaatkan,
2) keterkaitan informasi, yaitu berhubungan sumber-sumber dan para pengguna suatu sistem informasi; 3) pembaharuan informasi, yaitu bertujuan untuk menjamin validitas informasi dari waktu ke waktu, 4) kemampuan berkomunikasi, yaitu bentuk-bentuk komunikasi yang digunakan. Menurut Umah dan Wiratmadja (2008), untuk penilaian komponen inforware dapat dilakukan dengan kemudahan
mengukur
pengulangan
berdasarkan kriteria penilaian
informasi,
keterkaitan,
meliputi
pembaharuan,
dan
kemudahan mengkomunikasikan.
53
a. Akses Informasi Teknologi informasi diperlukan untuk pengawasan dan perencanaan ke depan. Davis (1998) menyatakan bahwa sub-sistem informasi diperlukan untuk mendukung pengendalian operasional, pengendalian manajemen dan perencanaan strategis. Menurut Lowenberg-DeBoer (1996), industri pertanian berbeda dengan segmen ekonomi lainnya, sehingga untuk mencapai keuntungan optimum bagi perusahaannya membutuhkan metode dan pengetahuan yang dapat membantu menyimpan data yang dikumpulkan dan mengubahnya dalam memperbaiki keputusan manajemen. Menurut Brown (1994), masing-masing perusahaan akan mempunyai informasi sendiri sesuai yang diperlukan, hal ini akan berubah seiring berjalannya waktu. Namun sebagian besar perusahaan agroindustri membutuhkan kepastian tipe-tipe informasi fisik dan finansial dari beberapa sumber. Menurut Poentarie (2009), informasi dapat diakses dengan cara : 1) bermedia (mediated) yang terdiri dari media cetak (surat kabar, majalah, dan lainnya), media elektronik (radio, televisi), media luar ruang (spanduk, poster, baliho), dan media baru (internet), 2) non media (interpersonal) yakni komunikasi langsung dengan pihak keluarga dan lingkungan yang terdiri atas kawan-kawan dekat dan akrab yang dikenal sebagai sebaya. b. Keterkaitan Informasi Munandar (2001) menyatakan bahwa informasi dapat diperoleh dari internal dan eksternal organisasi. Menurut Ortmann et al. (1993) dan Patrick (1993), permintaan petani atas informasi meningkat seiring dengan
54
meningkatnya tingkat ketidak-stabilan pasar, teknologi produksi yang lebih kompleks, serta besarnya keperluan untuk perencanaan dan pengawasan finansial. Informasi mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Perusahaan tidak mempunyai waktu yang panjang dalam memanfaatkan informasi yang dibutuhkan untuk membantu pembuatan keputusan. Hal ini berkaitan dengan waktu kejadian bisnis dan waktu informasi diterima. Dewasa ini internet dan jaringan telekomonikasi yang lain telah dipergunakan secara luas. Jumlah informasi yang layak bagi organisasi dan individu meningkat (Turban et al. 2003). Internet memberi peluang pengumpulan informasi dan data yang luas dan beragam, sehingga perlu disaring dan diseleksi untuk mendapatkan informasi dan data yang tepat dan relevan (Alkadri et al. 2001). Informasi yang layak untuk petani skala besar lebih digunakan untuk produksi dari pada untuk keputusan finansial dan pemasaran. Konsultan merupakan sumber informasi yang paling penting bagi petani skala besar. Hal ini karena berhubungan dengan pertanian yang lebih beragam dan struktur finansial yang lebih kompleks (Ortmann et al. 1993; Patrick 1993). Patrick dan Ullerich (1996), melaporkan hasil penelitiannya bahwa sumber informasi internal seperti catatan-catatan atau anggaran, penggarap lahan, atau peminjam modal, mempunyai tingkat kepentingan yang tinggi dalam keputusan finansial dan pemasaran. Informasi yang telah terkumpul selanjutnya diklasifikasikan dan diasosiasikan ke dalam kategori tertentu berdasarkan pengguna dan bidang kegiatannya (Alkadri et al. 2001). Informasi mengenai buku manual peralatan, jadwal operasional produksi, dan diagram alur proses produksi adalah
55
sebagian informasi yang berkaitan dengan technoware. Informasi mengenai biodata karyawan, penilaian prestasi kerja karyawan, dan hasil psikotes karyawan adalah sebagian informasi yang berkaitan dengan humanware. Adapun informasi mengenai buku hukum ketenagakerjaan dari pemerintah, buku aturan perusahaan, surat kontrak kerja karyawan, laporan keuangan perusahaan, dan catatan prosedur kerja adalah sebagian informasi yang berkaitan dengan orgaware (Gumbira-Sa’id et al. 2001). Informasi internal dapat bersumber dari laporan kegiatan perusahaan. Kegiatan bisnis dalam suatu perusahaan yang perlu dibuat laporannya, meliputi : pemesanan, produksi, persediaan, perlengkapan, personalia, dan pemasaran (Brown 1994; Turban et al. 2003). Untuk menjamin barang-barang maupun bahan-bahan dipergunakan dalam berproduksi secara efisien, maka perlu dilakukan administrasi atas persediaannya (Assaury 1999). Menurut Turban et al. (2003), seluruh informasi tentang tenaga kerja dimuat dalam dokumen personel Human Resources Management (HRM). Informasi tersebut mencakup ketrampilan dan pengalaman masing-masing, hasil ujian, nilai prestasi dan kompensasi lembur. Setelah produk dihasilkan maka perlu dilakukan kegiatan pemasaran, yaitu menyalurkan hasil produksi ke pasar tertentu dengan suatu perencanaan atau jadwal pengiriman (Kartasapoetra 1992). c. Kemampuan Komunikasi Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membawa dampak yang besar pada perkembangan peradaban manusia. Kemampuan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi sangat diperlukan. Organisasi-organisasi
56
akan dihadapkan pada kebutuhan untuk mendapatkan pekerja yang memiliki kompetensi teknologi informasi dan komunikasi. Kompetensi tersebut diartikan kemampuan
untuk
mengakses,
menganalisa,
mengevaluasi
dan
mengkomunikasikan informasi, pengetahuan dan pesan dalam berbagai bentuk serta bekerja dengan komputer dan teknologi informasi untuk mencapai tujuan
(Sitompul 2004). Menurut Listiani (2009), pustakawan memerlukan berbagai macam pengetahuan dalam upaya penyediaan informasi yang bermutu, antara lain : 1) pengetahuan buku sumber informasi (bibliograpic control), 2) pengetahuan pemilihan media yang tepat (a sense media), dan 3) pengetahuan isi koleksi. 4. Perangkat Organisasi (Orgaware) Selain tiga komponen yang telah diuraikan di atas, komponen orgaware juga merupakan komponen penting dalam suatu perusahaan. Upaya untuk mengetahui faktor-faktor penting dalam operasional suatu usaha khususnya usaha ternak broiler perlu dilakukan. Menurut UN-ESCAP (1989), untuk mengetahui perangkat organisasi dapat melalui penilaian orgaware yang didasarkan pada kriteria-kriteria sebagai berikut : 1) kemampuan pemimpin untuk
memotivasi,
yaitu
kemampuan
organisasi
untuk
memotivasi
pegawainya melalui kepemimpinan yang efektif dinilai berdasarkan tujuan organisasi dan visi manajemen puncak; 2) otonomi bekerja, yaitu diukur dari pendelegasian, sistem kerja informal, dan upaya-upaya untuk mendorong wirausaha internal; 3) pengarahan, yaitu diukur melalui ketepatan waktu, perencanaan, pemikiran strategis, dan pengawasan kinerja; 4) keterlibatan, yaitu dinilai dari aspek kebanggaan dalam afiliasi, komunikasi internal
57
organisasi yang baik, peluang pengembangan, dan kepatuhan pegawai terhadap peraturan-peraturan; 5) cakupan stakeholders, yaitu terdiri dari langganan, pemegang saham, pegawai, pemasok, pemerintah, pemodal, dan masyarakat; 6) iklim inovasi, yaitu diukur melalui aspek evaluasi kinerja, orientasi penelitian dan pengembangan, perspektif internasional, orientasi teknologi, serta kepekaan terhadap perubahan dalam lingkungan bisnis; 7) integritas organisasi, yaitu berdasarkan kesetiaan pada meritokrasi sejati dan etika bisnis. Laporan hasil penelitian Umah dan Wiratmadja (2008), menerangkan bahwa kandungan teknologi komponen orgaware berpengaruh secara langsung namun secara statistik tidak signifikan dalam peningkatan nilai tambah produk Mebel IKM di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Perangkat organisasi terdiri dari lima unsur, yaitu : 1) konvensi kerja (berkaitan dengan peraturan dan hukum ketenagakerjaan), 2) organisasi kerja (misalnya struktur organisasi dan job description yang jelas), 3) fasilitas kerja (misalnya kemudahan dalam mengikuti kegiatan pelatihan, kemudahan dalam pengeluaran biaya kesehatan), 4) evaluasi kerja (misalnya adanya rapat mingguan/bulanan/tahunan untuk membahas kemajuan kinerja perusahaan dan pergerakan keuntungan yang diperoleh perusahaan), 5) modifikasi kerja (misalnya melakukan merger atau aliansi dengan perusahaan lain yang mempunyai kinerja yang baik dan teknologi yang tinggi, sehingga kehidupan organisasi dapat lebih dinamis) (Gumbira-Sa’id et al. 2001). Menurut Cui et al.(2011), kemitraan antar perusahaan berpengaruh terhadap strategi perubahan sumber daya yang digunakan oleh perusahaan yang bermitra dan
58
meningkatkan daya saing dari waktu ke waktu. Namun, perubahan daya saing tersebut mempengaruhi adanya kecenderungan pemutusan kemitraan. a. Kepemimpinan Kepemimpinan dalam suatu organisasi yang kompleks melaksanakan fungsi konstruktif melalui tiga sub-proses sebagai berikut : 1) menetapkan arah, yaitu mengembangkan suatu visi ke depan, 2) mengarahkan orang-orang, yaitu
mengkomunikasikan
cara
untuk
bekerjasama
dalam
kesatuan
pemahaman visi dan pencapaiannya, 3) memotivasi dan memberi inspirasi, yaitu menjaga orang-orang agar bergerak ke arah yang benar sesuai tujuan yang ditetapkan (Kotter 1990, diacu dalam Tika 2006). Para peneliti telah mendefinisikan dua gaya kepemimpinan, yaitu : 1) gaya yang berpusat pada tugas, 2) gaya yang berpusat pada karyawan. Gaya kepemimpinan yang berpusat pada tugas adalah gaya kepemimpinan dimana manajer mengarahkan dan mengawasi bawahan secara tertutup untuk menjamin bahwa tugas dilaksanakan sesuai yang diinginkan, sedangkan gaya kepemimpinan yang berpusat pada karyawan adalah gaya kepemimpinan di mana manajer memotivasi bawahan untuk melaksanakan tugasnya dan memberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan, menciptakan suasana persahabatan dan menyenangkan, saling mempercayai dan menghormati di antara anggota kelompok. Gaya kepemimpinan yang berpusat pada tugas akan menimbulkan tekanan dan akan dilawan dengan kemangkiran, pergantian karyawan, keluhan, dan sikap yang buruk (Gibson et al. 1996; Handoko 1997). Gaya kepemimpinan yang tepat ditentukan oleh corak persoalan yang
59
dihadapi oleh macam keputusan yang harus diambil (Munandar 2001). Hasil penelitian Sutanto dan Stiawan (2000), indikasi turunnya semangat dan kegairahan kerja ditunjukkan dengan tingginya tingkat absensi dan perpindahan karyawan. Hal itu timbul sebagai akibat dari kepemimpinan yang tidak disenangi. Menurut Davis dalam Handoko (1997), terdapat empat ciri atau sifat
utama yang
mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan
kepemimpinan organisasi adalah : 1) kecerdasan, 2) kedewasaan dan keluasan hubungan sosial, 3) motivasi diri dan dorongan berprestasi, dan 4) sikap hubungan manusiawi. b. Otonomi kerja Struktur pekerjaan tercermin dalam struktur perusahaan dan bentuknya tergantung pada skala usaha dan jaringan bisnis, serta jenis usahanya. Perubahan struktur yang mungkin terjadi berkaitan dengan perubahan kapasitas produksi, persaingan pasar, teknologi, dan sebaran jumlah karyawan. Jika perusahaan lebih banyak menggunakan teknologi padat modal, maka bentuk struktur perusahaan akan semakin ramping dengan jumlah karyawan yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan perusahaan yang beorientasi padat karya (Mangkuprawira 2003). Clegg (1996) diacu dalam Setyawan dan Kuswati (2006), pada awal abad ke-20 organisasi bisnis lebih banyak menerangkan sistem birokrasi model Max Webber, oleh karena pengaruh perkembangan teknologi informasi yang pesat dewasa ini kemudian berkembang menjadi pemikiran baru menjadi organisasi yang lebih fleksibel dan ramping.
60
Proses mengatur dan mengalokasikan pekerjaan, wewenang, dan sumber daya di antara anggota organisasi bertujuan untuk dapat mencapai sasaran organisasi. Sasaran yang berbeda memerlukan struktur yang berbeda pula. Bagan organisasi menggambarkan bagian-bagian yang telah ditetapkan. Pembagian kerja adalah pemerincian tugas pekerjaan agar setiap individu dalam organisasi bertanggung jawab untuk dan melaksanakan sekumpulan kegiatan yang terbatas (Stoner et al. 1996; Handoko 1997). Menurut Reksohadiprodjo dan Handoko (1992), variabel-variabel kunci yang menentukan desain struktural organisasi adalah : 1) strategi organisasi, 2) lingkungan yang melingkupinya, 3) teknologi yang digunakan, dan 4) orang-orang yang terlibat dalam organisasi. Organisasi merupakan alat untuk pencapaian tujuan harus disusun dan beroperasi
berdasarkan
ketentuan-ketentuan
formal
dan
perhitungan-
perhitungan efisiensi. Efektivitas suatu organisasi tergantung pada seberapa jauh organisasi tersebut berhasil dalam pencapaian tujuannya. Menurut teori kontingensi, efektivitas organisasi tergantung pada kecocokan struktur organisasi dengan tugas-tugas yang harus dilaksanakan dan kondisi lingkungannya (Kasim 1993). Organisasi sebagai wadah untuk mewujudkan tujuan bersama secara terorganisir membutuhkan adanya struktur organisasi yang merupakan pola formal tentang bagaimana orang dan pekerjaan dikelompokkan. Masalah yang berkaitan dengan struktur keorganisasian adalah pelimpahan wewenang (delegation of authority). Konsep desentralisasi berhubungan dengan pelimpahan wewenang sampai kepada tingkat yang paling rendah dalam hirarki manajerial. Hak yang dilimpahkan tersebut adalah
61
untuk mengambil keputusan tanpa persetujuan dari manajer yang lebih tinggi. Manajer dimotivasi untuk lebih berkreasi dalam suasana persaingan dan akan dibandingkan dengan teman sejawat atas dasar ukuran prestasi. Dengan demikian manajer mampu melaksanakan otonomi yang lebih luas untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Keputusan untuk melaksanakan desentralisasi dipengaruhi oleh faktor-faktor keorganisasian, misalnya : jumlah tenaga kerja, ukuran organisasi, dan mekanisme pengendalian (Gibson et al. 1996; Munandar 2001). Terdapat tiga komponen yang perlu dipertimbangkan dalam menetapkan struktur organisasi
yaitu
kompleksitas,
formalisasi,
dan sentralisasi.
Kompleksitas mempertimbangkan tingkat diferensiasi dalam organisasi, termasuk di dalamnya tingkat spesialisasi atau pembagian kerja, jumlah tingkatan di dalam hirarki organisasi. Formalisasi merupakan tingkat sejauh mana perilaku para pegawai terikat kepada peraturan dan prosedur dalam sebuah organisasi. Organisasi yang kecil atau usaha perorangan mempunyai derajat formalisasi yang rendah. Semakin besar organisasi akan semakin majemuk
organisasinya
dan
cenderung
makin
besar
pula
derajat
formalisasinya. Sentralisasi mempertimbangkan di mana letak pusat pengambilan keputusan, apakah cenderung ke arah sentralisasi atau sebaliknya cenderung desentralisasi (Reksohadiprodjo & Handoko 1992; Gibson et al. 1996; Munandar 2001; Robbins 1995, diacu dalam Nasution 2002). Faktorfaktor yang mempengaruhi penerapan struktur organisasi antara lain sebagai berikut :
62
1) Skala usaha Menurut James dan Akrasanee (1993), secara resmi terdapat definisi pengelompokan industri ke dalam kelompok industri sebagai berikut : a) industri skala besar, b) industri skala menengah, c) industri skala kecil, d) industri rumah tangga. Jika perusahaan didefinisikan menurut jumlah pekerja, maka : a) suatu perusahaan skala kecil mempekerjakan satu sampai sepuluh pekerja, b) suatu perusahaan skala menengah mempekerjakan sepuluh sampai lima puluh pekerja, c) suatu perusahaan skala besar mempekerjakan lima puluh pekerja atau lebih. Menurut Hubies (1997); Hafsah (2000), pengelompokan industri berdasarkan besarnya modal menurut Undangundang RI No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, industri kecil adalah industri yang memiliki aset tidak lebih dari Rp. 200.000,00 (tidak termasuk tanah dan bangunan pada awal usaha), atau omzet per tahun adalah Rp. 1.000.000,00 (satu milyar rupiah). Namun operasional di lapangan dapat dikategorikan atas usaha menengah yaitu perusahaan dengan omzet per tahun adalah Rp. 750.000,00 – Rp. 1.000.000,00, usaha mandiri dengan omzet per tahun adalah Rp. 100.000.000 – Rp. 700.000.000,00 dan usaha tangguh dengan omzet Rp. 50.000.000,00 – Rp. 100.000.000,00. Perbedaan skala usaha yang didefinisikan sebagaimana tersebut di atas membawa dampak kepada tingkat penerapan teknologi organisasi. Semakin kecil skala usaha akan semakin sederhana tingkat penerapan teknologi organisasinya. Hal ini berkaitan dengan perbedaan teknologi perangkat keras yang digunakan, jumlah karyawan dan strategi perusahaan (Handoko 1997).
63
2) Pembagian kerja Organisasi dalam suatu perusahaan membutuhkan perencanaan yang tepat untuk menempatkan orang-orang yang sesuai tujuan perusahaan (Handoko 1997). Pembagian kerja adalah pemerincian tugas pekerjaan agar setiap individu dalam perusahaan bertanggung jawab untuk dan melaksanakan sekumpulan kegiatan yang terbatas, sehingga perusahaan dapat mencapai tujuan secara efisien dan efektif. Pembagian kerja sebaiknya sesuai standar kemampuan pekerja secara individu. Beban pekerjaan sebaiknya tidak terlalu berat dan juga tidak terlalu ringan. Jika terlalu berat akan berakibat pekerja tidak dapat menyelesaikan pekerjaan yang ditugaskan, sebaliknya jika beban pekerjaan terlalu ringan akan berakibat timbulnya waktu menganggur, tidak efisien dan terjadi pemborosan. Industri dengan skala usaha yang berbeda akan terjadi perbedaan dalam pengelompokan, pengaturan serta pembagian tugas-tugas atau pekerjaan di antara individu dalam perusahaan sehingga tujuan perusahaan dapat dicapai secara efisien (Handoko 1997). Menurut Rasyaf (2002), peternakan skala besar di mana tiap unit produksi mempunyai beberapa kandang dan tiap kandang dipertanggungjawabkan seorang pekerja maka tiap kandang harus ada keterikatan dalam satu koordinasi yang dipimpin oleh seorang staf, sedangkan peternakan skala kecil seorang pengelola kandang harus terikat ke dalam satu aktivitas dengan aktivitas lainnya secara terpadu. 3) Jumlah karyawan Untuk menentukan jumlah karyawan dalam suatu perusahaan tergantung kepada skala usaha dan tingkat teknologi perangkat keras yang digunakan.
64
Skala usaha yang semakin besar akan menggunakan pekerja yang semakin banyak (James dan Akrasanee 1993). Menurut Suharno (2003), tugas-tugas administrasi umum, pengadaan dan pemasaran bagi peternak kecil, masih dapat ditangani sendiri oleh keluarga peternak. Akan tetapi bagi peternak yang besar (lebih dari sepuluh ribu ekor) maka sudah harus dilakukan pembagian tugas, sehingga kebutuhan karyawan bertambah. Penentuan jumlah karyawan harus dilakukan secara hati-hati. Peternakan ayam yang masih menggunakan peralatan manual, satu orang pekerja kandang mampu menangani dua ribu ekor ayam per periode produksi. Namun peternakan yang modern dengan peralatan otomatis, satu orang pekerja kandang mampu menangani delapan ribu ekor per periode produksi. c. Pengarahan Pengarahan merupakan suatu kegiatan untuk mengintegrasikan usahausaha para anggota dari suatu organisasi, sehingga tercapai tujuan-tujuan pribadi dan organisasi (Terry 2000). Kemampuan manajer untuk memotivasi, mempengaruhi, mengarahkan dan berkomunikasi dengan para bawahannya akan menentukan efektifitas manajer. Pengarahan dapat dilakukan oleh manajer kepada bawahannya dengan memotivasi bawahannya untuk bersedia mengikutinya. Pengarahan mengharuskan manajer untuk berkomunikasi dengan bawahannya agar tujuan kelompok dapat dicapai (Handoko 1997). Pengawasan didefinisikan sebagai proses untuk menjamin bahwa tujuantujuan organisasi dan manajemen tercapai. Hal ini berkaitan dengan cara membuat kegiatan sesuai yang direncanakan, dengan demikian menunjukkan
65
hubungan yang erat antara perencanaan dan pengawasan (Handoko 1997). Definisi pengawasan yang dikemukakan oleh Mockler dalam Handoko (1997), pengawasan manajemen adalah suatu usaha sistematik untuk menetapkan
standar
pelaksanaan
dengan
tujuan-tujuan
perencanaan,
merancang sistem informasi umpan balik, membandingkan kegiatan nyata dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya, menentukan dan mengukur penyimpangan-penyimpangan, serta mengambil tindakan koreksi untuk menjamin bahwa sumber daya perusahaan dipergunakan secara efektif dan efisien. Standar yang umum digunakan dalam pengawasan terdapat tiga bentuk, yaitu : 1) standar fisik, meliputi kuantitas barang atau jasa, mutu produk; 2) standar moneter, mencakup biaya tenaga kerja, biaya penjualan, laba kotor, pendapatan penjualan, dan sejenisnya; 3) standar waktu, meliputi kecepatan produksi atau batas waktu suatu pekerjaan harus diselesaikan. Pengawasan yang efektif harus memenuhi kriteria-kriteria utama sebagai berikut : 1) mengawasi kegiatan dengan benar, 2) tepat waktu, 3) biaya yang efektif, 4) tepat-akurat, dan 5) dapat diterima oleh yang bersangkutan. f. Iklim inovasi Proses inovasi teknologi sangat mendukung penerapan manajemen teknologi, terutama dengan peranan penelitian dan pengembangan untuk menentukan strategi teknologi yang tepat. Tekanan preferensi konsumen akan mendorong aktifitas inovasi teknologi. Tekanan konsumen dalam hal harga, mutu, bentuk atau citra akan menentukan arahan strategi bisnis perusahaan, dan pengaruhnya terhadap usaha pengembangan komponen dan kemampuan
66
teknologi (Gumbira-Sa’id et al. 2001). Produktivitas organisasi dapat pula ditingkatkan melalui kewirausahaan internal. Kewirausahaan mencakup upaya mengawali perubahan dalam berproduksi sebagai tanggapan atas perubahan dunia bisnis dan memanfaatkannya sebagai suatu kesempatan. Fungsi wirausahawan adalah mengorganisasikan sumber daya produktif baru untuk memperluas pasokan (Stoner et al. 1996). Strategi teknologi produk yang dipilih oleh industri kecil, hendaknya sesuai dengan strategi pemilihan pasar dan produk melalui tahapan penguasaan teknologi yang ada, keterpaduan teknologi, pengembangan teknologi dan penelitian dasar. Penguasaan teknologi tersebut tidak lepas dari proses alih teknologi yang bersifat horizontal dan vertikal (Hubeis 1997). Penguasaan teknologi oleh industri kecil dipengaruhi oleh proses alih teknologi (Hubeis 1997). Proses alih teknologi terjadi karena adanya perbedaan kondisi teknologi antara perusahaan satu dan perusahaan lainnya. Pelaksanaan alih teknologi membutuhkan perencanaan yang sangat matang dan terintegrasi dengan tujuan dan core technology yang dimiliki suatu perusahaan. Alih teknologi dapat mengeksploitasi dan meningkatkan produktivitas sumber daya yang tersedia, serta memanfaatkan faktor produksi yang ada di suatu perusahaan (Gumbira-Sa’id et al. 2001). Menurut Brown (1994), alih teknologi dalam bentuk yang sederhana dapat terjadi pada perusahaan yang mempekerjakan pekerja trampil atau membeli peralatan baru yang efektif terintegrasi dalam operasi. Menurut Gumbira-Sa’id et al. (2001), alih teknologi secara vertikal terjadi mulai dari aktivitas penelitian dan pengembangan sampai dengan tahap implementasi dan
67
eksploitasi suatu inovasi. Dalam alih teknologi secara vertikal terdapat aliran ilmu pengetahuan dari pihak investor kepada tenaga kerja lokal, baik melalui on the job training atau off-job training (formal training). Alih teknologi secara horizontal terjadi dari satu lingkungan operasional ke lingkungan operasional yang lain. Lingkungan dapat bersifat nasional maupun internasional. Alih teknologi secara horizontal dan vertikal dapat terjadi bersamaan dalam suatu perusahaan. Mekanisme alih teknologi melalui joint venture lebih mengarah pada kerja sama atau kemitraan dalam hal manajemen. g. Integritas Organisasi Integritas organisasi dinilai berdasarkan kesetiaan dan etika bisnis. Untuk mengetahui posisi di mana perusahaan dijalankan, maka memerlukan pengetahuan kondisi bisnis secara riil. Sebagai gambaran perkembangan populasi ayam broiler dalam negeri diuraikan di bawah ini : Permintaan daging ayam meningkat adalah 8,0 persen per tahun. Pertumbuhan permintaan tersebut berasal dari petambahan penduduk adalah 1,8 persen per tahun dan pertumbuhan konsumsi per kapita adalah 5,9 persen. Sementara produksi daging ayam meningkat 12,6 persen per tahun selama periode 1969-1997 dan selanjutnya menurun menjadi 7,68 persen per tahun selama periode 1997-2003 (Balitbangtan 2005). Berdasarkan data statistik tahun 2004-2007 (Ditjennak 2009), pertumbuhan rata-rata per tahun populasi ayam ras pedaging (broiler) selama periode tersebut adalah 2,3 persen (Tabel 10). Pelandaian pertumbuhan populasi tersebut kemungkinan akibat
68
pengaruh kasus wabah penyakit AI (flu burung) yang melanda Indonesia pada tahun 2003. Budidaya ayam broiler di Indonesia pada setiap propinsi mengalami peningkatan. Produksi terbanyak di propinsi Jawa Barat dengan populasi tahun 2008 sebanyak 417.373,600 ekor seperti diperlihatkan pada Tabel 11. Tabel 10. Perkembangan Populasi Ayam Broiler 2000-2008 No.
Tahun
No.
Tahun
2000
Populasi (000 ekor) 530.874
6
2005
Populasi (000 ekor) 811.189
1 2
2001
621.870
7
2006
797.527
3
2002
865.075
8
2007
891.659
4
2003
847.744
9
2008
1.075.885
5
2004
778.970
Sumber : Ditjennak (2009)
Keempat komponen teknologi (THIO) sebagaimana diuraikan di atas berinteraksi secara dinamis dan simultan, saling melengkapi satu dengan lain serta dibutuhkan cara simulasi di setiap proses transformasi untuk mengubah input menjadi output dengan variasi dan tingkat kompleksitas yang berbedabeda. Penerapan keempat komponen tersebut secara tepat akan menghasilkan kinerja perusahaan yang baik sehingga perusahaan mempunyai kemampuan yang kuat dalam persaingan bisnis. Komponen
Technoware
adalah
inti
dari
proses
transformasi.
Technoware ini dikembangkan, diinstal, dan dibangun oleh humanware dengan
menggunakan
Penggunaan
inforware
technoware
yang
tergantung
telah
kepada
terkumpul
sebelumnya.
penggunaan
humanware.
Humanware mempunyai peran kunci di dalam proses transformasi. 69
Tabel 11. Populasi Ayam Broiler Nasional pada Setiap Propinsi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Propinsi
2004 (ribu ekor) 904,1 38.045,3 12.804,1 25.239,1 6.831,3 16.408,0 1.811,9 24.903,0 137,0 328.015,5 50.356,3 17.326,0 162.781,0 4.942,7 7.853,7 2.752,9 147.481,3 2.187,6 19.480,6 22.097,8 1.352,7 2.718,3 5.673,8 772,0 97,5 1.230,6 373,8 6.864,8 438,5 88,0 0 0
NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jabar Jateng DIY Jatim Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultra Maluku Papua Babel Banten Gorontalo Malut Kepri Irja Barat Sulbar TOTAL 778.969,8 Sumber : Ditjennak (2009). Keterangan : *data sementara.
2005 (ribu ekor) 1.057,4 35.568,2 11.357,8 27.441,0 9.694,4 14.920,0 1.591,3 21.747,2 182,0 352.434,3 62.043,4 20.971,7 142.602,4 5.363,1 8.848,5 625,0 15.139,3 2.436,3 19.964,6 25.828,6 1.459,4 2.238,4 12.765,5 820,1 80,9 733,0 4.639,7 6.475,8 379,5 84,3 469,6 774,8 451,0 811.188,7
Tahun 2006 (ribu ekor) 1.538,3 42.763,5 12.749,0 20.965,8 11.539,1 15.842,0 1.833,0 21.094,6 124,3 343.954,1 61.258,1 25.360,3 119.525,1 5.317,2 9.804,9 45,8 14.889,7 3.200,4 20.624,1 26.292,2 1.406,9 2.358,0 12.326,0 896,0 111,2 981,1 5.287,4 7.684,7 384,2 270,0 6.284,7 342,1 473,6 797.527,4
2007 (ribu ekor) 1.692,1 78.152,1 13.308,1 27.491,9 6.804,1 15.914,0 1.904,5 15.033,7 115,0 377.549,1 64.552,8 4.834,5 148.854,8 4.846,6 1.727,8 9,4 13.939,3 3.860,4 21.534,5 23.832,2 1.550,4 6.132,8 13.826,1 924,5 114,2 1.396,0 6.097,1 26.405,6 1.930,6 147,4 6.206,9 868,8 102,0 891.659,3
Humanware menyebabkan technoware menjadi lebih produktif.
2008* (ribu ekor) 1.346,3 42.891,6 14.202,6 30.679,9 6.910,1 13.747,4 5.423,4 15.879,6 68,0 417.373,6 54.643,2 5.128,5 140.006,0 4.975,5 1.339,5 244,1 18.917,9 3.941,7 19.860,8 26.941,6 1.623,4 4.213,9 14.575,8 957,8 119,9 1.465,7 5.213,8 40.011,6 1.347,6 129,4 6.878,9 891,6 67,1 902.052,4
Landasan
bekerjanya Humanware, tergantung pada inforware yang tersedia. Orgaware mengkoordinasi inforware, humanware dan technoware dalam suatu proses transformasi agar proses berlangsung dengan efisien (Alkadri et al. 2001; Gumbira-Sa’id et al. 2001; Sulisworo 2009). Menurut Khalil (2000), analisis kekuatan dan kelemahan suatu teknologi yang dimiliki oleh sebuah organisasi 70
atau pemeriksaan teknologi (technology audit) perlu dilakukan untuk membantu mengetahui posisi teknologi perusahaan dalam persaingannya. Analisis tersebut meliputi teknologi produk, teknologi produksi, teknologi jasa, dan teknologi pemasaran. D. Strategi Bisnis Masing-masing komponen teknologi THIO mempunyai peranan yang penting dalam suatu bisnis, sehingga mengabaikan salah satu komponen dapat melemahkan komponen teknologi yang lain dalam penerapan di suatu perusahaan.
Kesiapan
keempat
komponen
teknologi
(technoware,
humanware, Inforware, dan orgaware) harus lebih dimatangkan sehingga dapat diperoleh kemitraan sehat dan saling ketergantungan. Penerapan manajemen teknologi dalam bidang agribisnis berhubungan erat dengan kegiatan operasional pertanian untuk menghasilkan produk dan jasa yang bermutu tinggi (Gumbira-Sa’id et al. 2001). Craig dan Grant (2002), membedakan pengertian strategi bisnis dengan strategi perusahaan. Strategi perusahaan berkaitan dengan keputusankeputusan ke mana bisnis seharusnya masuk dan keluar, dan bagaimana perusahaan seharusnya mengalokasikan sumber daya di antara bisnis-bisnis berbeda yang dimasukinya, sedangkan strategi bisnis berkaitan dengan caracara yang digunakan perusahaan untuk mendapatkan keunggulan persaingan di dalam setiap bisnis utamanya. Studi kelayakan bisnis perlu dilakukan setelah suatu perusahaan menetapkan strategi utamanya. Aspek-aspek dalam studi kelayakan bisnis meliputi : aspek pasar, aspek internal perusahaan, aspek
71
teknis dan teknologis, aspek sumber daya manusia, aspek manajemen, aspek keuangan, aspek persaingan dan lingkungan eksternal lainnya (Sutoyo 2000; Umar 2003). Menurut Gray et al. (2002), untuk melihat seberapa jauh calon proyek dapat dilaksanakan seharusnya studi tersebut meliputi aspek teknis, institusional, sosial, dan eksternalitas. Menurut Gray et al. (2002), terdapat sejumlah kekhususan pada proyek pertanian di Indonesia yang membedakan dengan bidang industri, sebagai berikut : 1) Pemerintah sebagai pelaksana utama, kelompok petani/peternak sebagai penerima manfaat. 2) Penciptaan manfaat bagi kelompok yang kurang diikut-sertakan dalam kegiatan proyek. 3) Keanekaragaman teknologi produksi sesuai dengan lingkungan proyek. 4) Ketidakpastian dalam produksi serta pemasaran. 5) Saling keterkaitan antara pertanian dan bidang-bidang lain. 6) Intensitas penggunaan lahan. 1. Analisis Kelembagaan Dalam mengembangkan agroindustri perlu dikaji secara tepat mengenai aspek kelembagaan. Jika dilihat dari sudut kelembagaan terdapat perbedaan yang besar dari segi budaya kelembagaan usaha (corporate culture) antara sektor budidaya dan proses pengolahannya. Di sektor budidaya perlu dikembangkan bentuk usaha yang mengandung tiga fungsi yaitu fungsi ekonomi, fungsi sosial atau budaya dan fungsi ekosistem. Oleh karena itu bentuk organisasinya harus memiliki asas kebersamaan atau bangun usaha
72
yang berwatak sosial, sedangkan di sektor proses pengolahan lebih banyak bermuatan persaingan ekonomi (private firm). Dengan demikian antara kedua lembaga di atas perlu membentuk suatu kerjasama dalam bentuk kemitraan yang saling menghidupi. Usaha membangun kemitraan adalah untuk membuka partisipasi penuh wirausaha-wirausaha kecil dan menengah bermitra dengan swasta besar sehingga dapat tercipta suasana yang harmonis, saling membutuhkan, serta saling menguntungkan (Nasution 2002). Menurut Saragih (1998), struktur agribisnis ayam ras nasional dewasa ini umumnya masih tersekat-sekat yang dicirikan oleh : 1) subsistem agribisnis hulu (industri pembibitan, pakan, dan obat-obatan), subsistem agribisnis budidaya ayam ras, dan subsitem agribisnis hilir (Rumah Potong Ayam atau Tempat Pemotongan Ayam, pedagang, industri makanan) dikuasai oleh pengusaha yang berbeda-beda, dan memiliki kekuatan yang tidak berimbang. Subsistem agribisnis budidaya dikuasai oleh peternak rakyat yang serba lemah. Sementara subsistem agribisnis hulu dan hilir dikuasai oleh perusahaan peternakan atau perusahaan di bidang peternakan yang serba kuat. Struktur agribisnis ayam ras yang tersekat-sekat demikian menimbulkan masalah transmisi dan margin ganda yang justru memperlemah agribisnis ayam ras secara keseluruhan. Dalam pengembangan pertanian terdapat permasalahan yang dihadapi petani atau peternak, salah satu masalah adalah nilai tukar komoditas pertanian yang semakin rendah (tidak menentu). Hal ini disebabkan antara lain oleh simpul dan jaringan kelembagaan dalam pembangunan pertanian selama ini belum dipertimbangkan secara optimal untuk mendukung pengembangan
73
agroindustri. Kelembagaan ini terdiri dari kelompok-kelompok tani, serta usaha kecil dan menengah terutama koperasi, serta berbagai bentuk kemitraan usaha (Nasution 2002). Kendala pengembangan industri kecil dapat disebabklan oleh faktor kemampuan yang bersifat alamiah (mental dan budaya kerja), tingkat pendidikan SDM, terbatasnya ketrampilan dan keahlian, keterbatasan modal; dan informasi pasar, volume produksi yang terbatas, mutu yang beragam, penampilan yang sederhana, infrastruktur dan peralatan yang usang, beberapa kebijaksanaan dan tingkah laku dari pelaku bisnis yang bersangkutan (Hubies 1997). 2. Evaluasi Aspek Pasar dan Pemasaran Menurut Sutoyo (2002), evaluasi aspek pasar dan pemasaran merupakan aspek terpenting dalam pelaksanaan suatu studi kelayakan proyek. Hal itu disebabkan karena keberhasilan suatu proyek yang akan dibangun harus dapat memasarkan hasil produksinya secara kompetitif dan menguntungkan. Salah satu syarat agar pemasaran produk dapat berhasil, adalah terdapat jumlah permintaan pasar yang cukup untuk menyerap produk tersebut. Di samping itu produk yang dihasilkan harus mampu bersaing secara sehat di pasar. Menurut Umar (2003), analisis aspek pasar pada dasarnya bertujuan antara lain untuk mengetahui ukuran luasnya pasar, pertumbuhan permintaan, dan peluang pasar dari produk yang bersangkutan. Fokus evaluasi aspek pasar dan pemasaran produk yang akan dihasilkan proyek yang akan dibangun mencakup tiga hal di bawah ini (Sutoyo 2000) :
74
1). Memperoleh gambaran permintaan pasar yang dapat menyerap barang atau jasa yang akan dihasilkan, 2). Memperoleh gambaran suasana persaingan di pasar pada masa yang akan datang, apakah produk yang akan dihasilkan mampu memperoleh pangsa pasar yang memadai, 3). Memperoleh gambaran tentang prospek perkembangan faktor ekstern perusahaan yang dapat mempengaruhi permintaan produk dan suasana persaingan di pasar. 3. Aspek Teknis dan Teknologis Aspek teknis dan teknologi pengusahaan agroindustri mencakup empat komponen utama yaitu : 1) Teknologi yang terkandung pada manusia, antara lain terdiri atas pengetahuan keterampilan sikap dan perilaku; 2) Teknologi yang terkandung dalam barang yang berupa mesin-mesin peralatan produk yang membantu manusia dalam melakukan aktivitasnya; 3) Teknologi kelembagaan yang terkandung dalam kelembagaan organisasi dan manajemen yang membantu manusia bekerja secara efektif dan efisien, dan 4) Teknologi yang terkandung dalam dokumen berupa informasi yang dihasilkan (GumbiraSa’id et al. 2001). Menurut Umar (2003), studi aspek teknis dan teknologi berkaitan dengan aktivitas belajar bagaimana secara teknis proses produksi akan dilaksanakan. Gray et al. (2002), menyatakan bahwa aspek teknis menyangkut masalah penyediaan sumber-sumber dan pemasaran hasil-hasil produksi.
75
Sutoyo (2000), menerangkan bahwa teknologi atau bantuan manajemen mempunyai peranan penting terhadap keberhasilan proyek bersaing dalam pemasaran hasil produksinya. Teknologi tepat guna mampu meningkatkan efisiensi kegiatan produksi, mempercepat proses produksi dan mengurangi jumlah limbah bahan baku yang dipergunakan proyek, sehingga dapat menekan harga pokok per satuan produk. Gumbira-Sa’id dan Intan (2001), menyatakan bahwa dalam pemilihan teknologi terdapat beberapa hal yang perlu dinilai dan dievaluasi, seperti kesesuaian teknologi yang digunakan untuk menghasilkan produk dengan kebutuhan pasar produk, proses pengadaan, biaya sosial, kapasitas penggunaan, kemampuan sumber daya manusia dalam pengelolaan dan pengoperasian, fleksibilitas dalam proses, ketersediaan energi, dan lain-lain. 4. Aspek Ekonomi dan Finansial Perhitungan manfaat dan biaya proyek pada dasarnya dapat dilakukan melalui dua pendekatan, tergantung pada pihak yang berkepentingan langsung dalam proyek. Analisis finansial dilakukan untuk mendapatkan perkiraan manfaat dan biaya proyek bagi pengusaha atau para pihak yang menanamkan modal dalam proyek secara langsung, sedangkan perhitungan sosial atau ekonomi adalah untuk menghitung manfaat dan biaya proyek bagi pemerintah atau masyarakat secara keseluruhan dengan adanya proyek tersebut (Gray et al. 2007). Dalam rangka mencari ukuran yang menyeluruh sebagai dasar layak atau tidaknya suatu proyek, telah dikembangkan berbagai cara yang dinamakan
76
kriteria investasi. Dalam hal ini digunakan tiga kriteria dalam analisis kelayakan usahatani, yaitu : Payback Period; Net Present Value (NPV); dan Internal Rate Return (IRR).
a. Payback Period Payback Period (periode pengembalian modal) adalah suatu periode yang diperlukan untuk menutup kembali pengeluaran investasi dengan menggunakan aliran kas. Rumus yang digunakan dalam perhitungan :
Payback Period
Total Investasi Awal = ------------------------------------- x 1 tahun laba bersih dalam tahun
Proyek dianggap layak apabila hasil perhitungan Payback Period lebih kecil dari pada masa proyek (Gitosudarmo dan Mulyono 1996; Sutoyo 2000; Gray et al. 2002). b. Net Present Value (NPV) Net Present Value (NPV) atau Nilai Sekarang Bersih adalah selisih antara Present Value (Nilai Sekarang) dari investasi dengan Nilai Sekarang dari penerimaan-penerimaan bersih (aliran kas operasional maupun aliran kas terminal) di masa yang akan datang. Untuk menghitung nilai sekarang perlu ditentukan tingkat bunga yang sesuai.
77
Rumus : n
NPV = ∑ B t – C t t t=0 (1 + i) di mana : B t = aliran kas per tahun pada periode t (Rp.). C t = investasi awal pada tahun 0 (Rp.). i = suku bunga yang digunakan (%). n = umur proyek (tahun); t = periode (tahun ke t). Proyek dianggap layak apabila hasil perhitungan NPV positif (NPV > 0). Proyek dianggap tidak layak apabila hasil perhitungan NPV negatif (NPV< 0) (Gitosudarmo dan Mulyono 1996; Sutoyo 2000; Gray et al. 2007). c. Internal Rate of Return (IRR) Metoda ini digunakan untuk mencari tingkat bunga yang menyamakan nilai sekarang dari arus kas yang diharapkan di masa yang akan datang atau penerimaan kas dengan mengeluarkan investasi awal. Rumus : IRR = i1 + NPV 1 (i2 – i1 ) NPV 1 -NPV 2 Di mana : IRR = tingkat bunga yang dicari nilainya (%). i1 = tingkat bunga yang membuat NPV negatif (%). i2 = tingkat bunga yang membuat NPV positif (%). NPV 1 = NPV positif (%); NPV 2 = NPV negatif (%). Proyek dianggap layak untuk dijalankan apabila nilai IRR lebih besar dari pada bunga bank (interest) (Gitosudarmo dan Mulyono 1996; Sutoyo 2000; Gray et al. 2007).
78
5. Analisis Risiko Menurut Ichsan et al. (2000), analisis risiko suatu investasi menunjukkan keberuntungan dan kerugian. Identifikasi berbagai dispersi pengembalian dengan berbagai kemungkinan simpangan dari pengembalian yang diharapkan dilakukan dalam analisis risiko. Salah satu metode dalam analisis risiko adalah menggunakan keuntungan rata-rata harapan sebagai indikator profitabilitas investasi dan variansi sebagai indikator risikonya. a. Nilai Harapan (E) Untuk mengukur nilai harapan dalam hal ini adalah keuntungan usaha digunakan nilai keuntungan rata-rata (mean) dari setiap periode produksi, dengan rumus sebagai berikut (Ichsan et al. 2000) : n
∑ Ei i=1
E = --------n
dimana : E = keuntungan rata-rata. Ei = Keuntungan pada periode i. n = Jumlah periode pengamatan.
b. Risiko Untuk mengukur risiko secara statistik digunakan ukuran simpangan baku atau ragam. Rumus untuk menghitung ragam adalah (Ichsan et al. 2000): n
∑ ( E i – E) i=1
V2 = ------------n
dimana : E = keuntungan rata-rata. Ei = Keuntungan pada periode i. n = Jumlah periode pengamatan. V2=Ragam keuntungan
Simpangan baku sama dengan akar dari nilai ragam, yaitu dengan rumus : V = √ v2
79
c. Hubungan risiko dengan keuntungan Untuk mendapatkan gambaran pasti dalam berinvestasi, maka perlu mempertimbangkan berapa risiko yang akan ditanggung dibandingkan dengan keuntungan yang akan diperoleh. Hubungan antara risiko dan keuntungan diukur dengan koefisien variasi (CV) dan batas bawah keuntungan (L). Koefisien variasi merupakan perbandingan antara risiko dengan nilai keuntungan yang akan diperoleh sebagai hasil dari sejumlah modal yang diinvestasikan
dalam
bisnis.
Semakin
besar
nilai koefisien
variasi
menunjukkan semakin besar risiko yang harus ditanggung investor dibandingkan dengan keuntungannya. Rumus koefisien variasi adalah (Ichsan et al. 2000) : V CV = -----E
dimana :
CV = Koefisien variasi. V = Simpangan baku. E = Keuntungan rata-rata.
Batas bawah keuntungan (L) menunjukkan nilai nominal keuntungan terendah yang mungkin diterima oleh petani. Jika nilai L > 0, maka tidak mengalami kerugian, sebaliknya jika nilai L < 0, maka mengalami kerugian. Rumus bawah keuntungan adalah (Ichsan et al. 2000) : L = E – 2V dimana : L = Keuntungan minimum. E = Keuntungan rata-rata. V = Simpangan baku.
E. Pendekatan Sistem Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis. Banyak definisi kata
80
sistem telah dikemukakan, tetapi dalam arti luas, setiap dua atau lebih obyek berinteraksi secara kooperatif untuk mencapai beberapa tujuan fungsi, atau tujuan umum merupakan suatu sistem (Grady 2006). Pengembangan agroindustri berbasis ayam ras pedaging memerlukan kajian dengan pendekatan sistem yaitu merumuskan segala fungsi ataupun aktifitas yang harus dimengerti dalam hal bagaimana mereka mempengaruhi, maupun dipengaruhi
oleh
elemen-elemen
dan
aktifitas-aktifitas
lain
beserta
interaksinya. Hal ini bertujuan untuk mencapai keberhasilan optimal dari usaha-usaha ke arah pengembangan industrinya. Pengembangan memerlukan sebuah perencanaan yang tepat dengan memperhatikan aspek internal maupun eksternal (Nasution 2002). Suatu kegiatan usaha didirikan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan berbagai faktor yang mempengaruhi. Berbagai faktor tersebut muncul disebabkan oleh berbagai kepentingan. Kepentingan yang berbeda sebagai akibat adanya banyak pihak yang terlibat. Pihak-pihak yang terlibat tersebut membentuk sebuah sistem. Oleh karena itu untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan bagi para pihak yang terlibat secara optimal di dalam sistem tersebut, maka memerlukan suatu analisa sistem (Marimin 2004). Pengambilan keputusan manajerial dapat dibedakan menjadi dua hal penting yaitu : 1) keputusan-keputusan terprogram (programmed decisions), adalah keputusan yang sudah pernah dihadapi dan pernah dibuat sebelumnya. Keputusan tersebut terdapat prosedur atau struktur yang jelas untuk menghasilkan keputusan-keputusan yang tepat, serta merupakan jawabanjawaban yang tepat, obyektif dan dapat dipecahkan dengan berbagai aturan
81
sederhana, kebijakan, atau perhitungan numerik. 2) keputusan tidak terprogram (nonprogrammed decisions) adalah keputusan-keputusan baru, tidak biasa, dan rumit, serta belum terdapat bukti dari hasil akhir. Pengambilan keputusan perlu menciptakan atau mencari sebuah metode yang tepat karena tidak ada struktur yang pasti dan dapat diandalkan (Bateman & Snell 2008). F. Model Permodelan adalah terjemahan bebas dari istilah modelling. Permodelan dapat diartikan sebagai suatu gugus aktivitas pembuatan model. Model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual. Model adalah sebuah penyederhanaan representasi atau abstraksi dari realitas. Penyederhanaan digunakan karena suatu realitas begitu kompleks untuk disalin secara pasti, dan karena banyak kompleksitasnya tidak sesuai untuk suatu masalah khusus. Model memperlihatkan hubunganhubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dari pengaruh sebab dan akibat. Model dianggap lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang sedang dikaji (Turban 1990; Eriyatno 1999; Turban et al. 2003). Model
dapat
dibuat
melalui
bermacam-macam
abstraksi,
dan
diklasifikasikan ke dalam empat kelompok, dengan uraian sebagai berikut (Turban 1990; Eriyatno 1999; Turban et al. 2003) : 1. Model Ikonik (skala), yaitu model berupa perwakilan fisik dari suatu sistem, biasanya berdasarkan pada skala yang berbeda dari aslinya. Model
82
ikonik dapat berdimensi dua (foto, peta, cetak biru) atau tiga dimensi (prototip mesin, alat, mobil, pesawat terbang, dan lain-lain). 2. Model Analog, yaitu model yang tidak dapat dilihat seperti sistem yang nyata tetapi hanya menyerupainya. Model ini lebih dapat berkemampuan mengetengahkan karakteristik kejadian yang dikaji. Contoh : Kartu organisasi, thermometer, kurva permintaan, kurva distribusi frekuensi pada statistik, kartu stok, peta wilayah, dan lain-lain. 3. Model Matematik, yaitu model yang dinyatakan dalam bentuk angka, simbol dan rumus. Menurut Turban (1990); dan Eriyatno (1999), model ikonik dan analog tidak cocok untuk permodelan dengan hubungan yang kompleks dan atau untuk perlakuan percobaan. Model lebih abstrak yang memungkinkan adalah dengan bantuan matematika. 4. Model Mental, yaitu model yang secara jelas menguraikan bagaimana seseorang berpikir tentang sebuah situasi. Model mencakup perasaan, asumsi, hubungan, dan aliran kerja oleh individu. Sebagai contoh : model mental manajer dapat menyatakan bahwa untuk promosi pekerja lebih tua lebih baik dari pada yang lebih muda dan dengan demikian kebijaksanaan akan lebih disukai oleh seluruh tenaga kerja. Model mental berpatokan pada informasi yang digunakan dan sikap yang mana seseorang mengindahkan atau mengabaikan informasi. Salah satu dasar utama untuk mengembangkan model adalah guna menemukan peubah-peubah yang penting dan tepat. Penemuan peubah tersebut sangat erat hubungannya dengan pengkajian hubungan-hubungan yang terdapat di antara peubah-peubah dalam sebuah model (Eriyatno 1999;
83
Turban et al. 2003; Arifin 2007). Menurut Turban (1990), model matematika berisi tiga komponen dasar, yaitu : 1) variabel-variabel keputusan, 2) parameter dan variabel-variabel tidak terkendali, dan 3) variabel-variabel hasil (outcome). Pada pendekatan sistem, tahap permodelan lebih kompleks namun relatif tidak banyak ragamnya ditinjau dari jenis sistem ataupun tingkat kecanggihan model. Permodelan abstrak menerima input berupa alternatif sistem yang layak. Proses ini membentuk dan mengimplementasikan model-model matematik yang dimanfaatkan guna merancang program terpilih untuk dipraktekkan di dunia nyata pada tahap berikutnya. Output utama dari tahap ini adalah deskripsi terperinci dari keputusan yang diambil berupa perencanaan, pengendalian dan kebijakan lainnya. Tahap-tahap permodelan abstrak adalah sebagai berikut (Eriyatno 1999) : 1) Tahap Seleksi Konsep. Tahap ini merupakan tahap awal yaitu melakukan seleksi alternatif konsepsi dari tahap evaluasi kelayakan. Seleksi dilakukan untuk menentukan alternatif mana yang bermanfaat dan bernilai cukup untuk dilakukan permodelan abstraknya. Hal ini erat kaitannya dengan biaya dan kinerja dari sistem yang dihasilkan. 2) Tahap Rekayasa Model. Langkah awal dari tahap ini adalah menetapkan jenis model abstrak yang akan diterapkan, sejalan dengan tujuan dan karakteristik sistem. Selanjutnya tahap permodelan terpusat pada pembentukan model abstrak yang realistik. Tahap ini mencakup juga penelaahan teliti tentang asumsi model, konsistensi internal pada struktur
84
model, data input untuk pendugaan parameter, hubungan fungsional antar peubah kondisi aktual, dan membandingkan model dengan kondisi aktual. 3) Tahap Perumusan Model. Berdasarkan peubah-peubah terpenting hasil analisis terpilih sebagai peubah kunci dalam pengembangan model pola kemitraan dalam budidaya ayam ras pedaging. Dalam tahap implementasi, model matematik diwujudkan pada bentuk persamaan fungsi dari hubungan-hubungan dari beberapa peubah kunci. 4) Tahap Validasi. Validasi model adalah usaha menyimpulkan apakah model sistem merupakan perwakilan yang sah dari realitas yang dikaji dan dapat menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan. 5) Aplikasi Model. Para pengambil keputusan merupakan tokoh utama dalam tahap ini dimana model dioperasikan untuk mempelajari secara rinci kebijakan yang dipermasalahkan. Permasalahan yang mempunyai kemungkinan untuk dapat dibuat suatu rumusan matematik, memiliki kemungkinan pemecahannya. Seluruh atribut yang dimiliki suatu sistem, secara langsung dapat ditentukan suatu model simulasi yang ditetapkan oleh setiap kejadian masing-masing komponen sistem tersebut. Simulasi pada teknik permodelan numerik ditandai adanya penyusunan suatu model yang umumnya bersifat matematis, dengan konfigurasi seperti terlihat pada Gambar 5.
Peubah keputusan dapat
diasosiasikan dengan peubah bebas, sedangkan peubah status adalah peubah tidak bebas. Status suatu sistem dapat dilihat sebagai keseluruhan dari karakteristik sistem yang relevan dan diwujudkan melalui suatu gugus atribut
85
yang spesifik. Status sistem kemudian ditetapkan dengan cara memberikan suatu nilai yang khusus untuk setiap atribut tersebut.
Peubah keputusan (Decision Variable)
Kriteria Penampakan (Performance) MODEL MATEMATIK
Parameter sistem (Sistem Parameter)
Peubah Status (State Variable)
Gambar 5. Input-output Simulasi Model (Eriyatno 1999)
Status dari suatu sistem adalah totalitas dari semua karakteristik sistem itu sendiri, yang dapat ditentukan dengan memberikan nilai tertentu bagi setiap atribut tersebut. Peubah status yaitu jika masing-masing atribut yang mengkarakteristikkan status dari sistem dapat dikuantitatifkan sehingga peubah tertentu dapat mewakili masing-masing atribut. Peubah status yang tidak bebas (Variable Dependent) dapat dinotasikan sebagai berikut (Eriyatno 1999) : S = (s 1 ,s 2 ,s 3 ,.......s n ) Peubah
keputusan
merupakan
suatu
peubah
bebas
(variable
independent) nilainya dapat ditetapkan oleh pengambil keputusan sejak awal. Nilai tersebut tidak tergantung peubah yang lain, tetapi akan mempengaruhi status dari sistem. Dengan demikian peubah status akan tergantung pada peubah keputusan. Peubah keputusan dapat disimbulkan sebagai berikut (Eriyatno 1999) : X = (x1 ,x 2 ,x 3 ,.......xn )
86
Sistem Parameter nilainya dapat diletakkan sebelum peubah keputusan, umumnya nilai berupa konstanta fisik, parameter rancangan dan lain-lain. Sistem Parameter dinyatakan sebagai berikut : C = (c 1 ,c 2 ,c 3 ,.......c n ) Simbol matematis ketergantungan peubah status kepada sistem parameter dan peubah keputusan dapat dinyatakan sebagai berikut : S = f (C,X) Kriteria Penampakan adalah suatu tolok ukur kinerja sistem. Kinerja sistem ini dinyatakan secara simbolis sebagai berikut (Eriyatno 1999) : Y = f (S,X,C). G. Model Persamaan Struktural (Structural Equations Modelling, SEM) Dalam bentuk yang paling umum, model persamaan struktural terdiri dari dua bagian yang saling berhubungan yaitu model pengukuran dan model persamaan struktural dengan peubah laten. Model pengukuran (measurement model) menjelaskan bagaimana peubah laten tergantung atau diindikasikan oleh peubah teramati, juga menggambarkan hubungan antara peubah-peubah indikator (teramati) dengan peubah-peubah tidak teramati yang dibangunnya. Selain itu model di atas menggambarkan pula reliabilitas dan validitas dari peubah-peubah teramati (Joreskog dan Sorbom 1989, 1996). Menurut Bollen (1989); dan Wijanto (2008), model peubah laten meliputi persamaan struktural yang menjelaskan hubungan antara peubahpeubah laten, yang kemudian disebut “model persamaan struktural (SEM)” atau “model kausal”. SEM mempertimbangkan adanya dua tipe peubah laten
87
yaitu eksogenus (“independen”)
yang disimbulkan sebagai ξ 1 (xi) dan
endogenus yang dinyatakan dengan η i (eta). Persamaan dengan peubahpeubah linier dan parameter-parameter linier dapat dicontohkan sebagai berikut : η 1 = γ 11 ξ 1 + ζ 1
(2.1)
η 2 = β 21 η 1 + γ 21 ξ 1 + ζ 2
(2.2)
di mana : ζ 1 dan ζ 2 adalah vektor galat, β 21 (beta) adalah koefisien parameter struktural (peubah endogenus) yang mengindikasikan perubahan dalam nilai η 2 setelah kenaikan satu unit η 1 pada ξ 1 konstan, γ 11 (gamma) dan γ 21 adalah koefisien regresi. Persamaan (2.1) dan (2.2) dapat ditulis kembali dalam bentuk matrik sebagai berikut : η1 η2
=
0
0
β 21 0
η1 η2
+
γ 11 γ 21
ξ1
ζ1 +
ζ2
(2.3)
secara lebih kompak ditulis sebagai berikut : η = Bη + Г ξ + ζ
(2.4)
di mana : η adalah sebuah vektor m x 1 dari peubah acak laten endogenus, ξ adalah vektor n x 1 yang menyatakan n peubah laten eksogenus. B adalah koefisien matrik m x m untuk variabel endogenus laten, Г adalah koefisien matrik m x n untuk variabel eksogenus laten. Model pengukuran adalah persamaan struktural yang menyatakan keterkaitan antara peubah teramati dan laten. Dalam bentuk persamaan dapat dibuat sebagai berikut :
88
(2.6)
Seperti
x1 = λ1 ξ1 x2 = λ2 ξ1 x3 = λ3 ξ1 y1 = λ4 η1 + ε1 , y2 = λ5 η1 + ε2 , y3 = λ6 η1 + ε3 ,
+ δ1 + δ2 + δ3
y4 = λ7 η1 + ε4 ,
y 8 = λ 11 η 1 + ε 8 ,
(2.5)
y5 = λ8 η1 + ε5 , y6 = λ9 η1 + ε6 , y 7 = λ 10 η 1 + ε 7 ,
pada model peubah laten, peubah dalam model pengukuran
terdeviasi dari nilai tengahnya. Peubah x i (i = 1, 2, 3) diukur berdasarkan ξ 1 , peubah y 1 sampai y 4 diukur dari η 1 dan peubah y 5 sampai y 8 diukur dari η 2 . Koefisien λ i (lambda) adalah tingkat perubahan peubah teramati untuk satu unit perubahan peubah laten. Peubah δ i (delta) dan ε i (epsilon) adalah galat dari pengukuran untuk x i dan y i.. Persamaan (2.5) dan (2.6) dapat ditulis lebih ringkas ke dalam matriks sebagai berikut (Bollen 1989) : x = Λxξ + δ y = Λyη + ε
(2.7) (2.8)
di mana :
x =
y =
x1 λ1 δ1 x2 , Λ x = λ 2 , ξ = ξ 1 , δ = δ 2 x3 λ3 δ3
y1 y2 y3 y4 y5 , y6 y7 y8
Λy =
λ1 λ2 λ3 λ4 0 0 0 0
0 0 0 0 η1 λ5 , η = , ε = λ6 η2 λ7 λ8
(2.9a)
ε1 ε2 ε3 ε4 ε5 ε6 ε7 ε8
(2.9b)
89
H. Penelitian Terdahulu yang Relevan Beberapa kajian tentang faktor-faktor penentu untuk memperbaiki kinerja organisasi telah dilakukan, antara lain yang digunakan sebagai sumber informasi dalam penelitian ini. Nurmianto et al. (2006) melaporkan hasil penelitiannya tentang penilaian kinerja karyawan Dinas Pekerjaan Umum (PU) kota Probolinggo,
khususnya
Sub
Dinas
Pengairan
berbasis
kompetensi
menghasilkan tingkat kepentingan dari faktor-faktor yang berpengaruh yaitu : 1) kemampuan manajerial dengan koefisien estimasi 0,200, yang terdiri dari disiplin (0,318), melayani (0,289), berprestasi (0,151), proaktif (0,140), dan komitmen pada organisasi (0,102), dan 2) kemampuan teknik (0,800) terdiri dari memimpin (0,500), dan kerjasama (0,500). Dalam bidang pendidikan juga telah dilakukan kajian faktor-faktor penentu keberhasilan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) oleh Indrawati (2006). Penelitian tersebut menemukan faktor-faktor pengetahuan, keterampilan, dan motivasi secara simultan berpengaruh adalah 24 % terhadap kinerja guru matematika dalam pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) pada Sekolah Menengah Atas Kota Palembang, sedangkan keberhasilan pelaksanaan KBK dipengaruhi faktor sikap, inisiatif, kreativitas, dan inovasi. Kajian Almigo ( 2004), menemukan hubungan positif yang signifikan antara kepuasan kerja dengan produktivitas kerja, semakin tinggi kepuasan kerja yang diterima, semakin tinggi pula produktivitas kerjanya. Tampubolon (2007), melaporkan hasil penelitiannya bahwa faktor gaya kepemimpinan dan etos kerja memberikan kontribusi positif yang signifikan terhadap peningkatan kinerja pegawai organisasi. Gaya kepemimpinan diartikan sebagai perilaku dan strategi
90
dari kombinasi antara falsafah, keterampilan, sifat, dan sikap, yang sering diterapkan seorang pemimpin ketika ia mencoba mempengaruhi kinerja bawahannya. Etos kerja diartikan norma-norma yang bersifat mengikat dan ditetapkan secara eksplisit serta praktek-praktek yang diterima dan diakui sebagai kebiasaan yang wajar untuk dipertahankan dan diterapkan dalam kehidupan kekaryaan para anggota suatu organisasi. Umah dan Wiratmadja (2008) melaporkan hasil penelitiannya dengan judul “Penentuan Strategi Peningkatan Nilai Tambah Berdasarkan Penilaian Kandungan Teknologi pada Produk IKM Mebel di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta” bahwa teknologi merupakan faktor penentu dalam menciptakan keunggulan daya saing dari suatu perusahaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komponen teknologi (THIO) dan komponen utama daya saing industri kecil sektor pangan terdapat hubungan yang signifikan antara tiga komponen teknologi yaitu technoware, inforware, dan orgaware dengan tiga faktor utama daya saing yaitu faktor fleksibilitas, inovasi, dan pengiriman. Joefrie (2007) melaporkan hasil penelitiannya yang berjudul “Strategi Pengembangan Teknologi dengan Pendekatan Teknometrik dan Analytical Hierarchy Process (AHP) di Pabrik Gula Gempol Krep Mojokerto” bahwa komponen inforware terindikasi memiliki kesenjangan nilai relatif paling besar, sehingga direkomendasikan untuk menjadi prioritas dalam membuat strategi pengembangan teknologi di pabrik gula tersebut. Namun, jika dikaji dari tingkat kepentingan atau besarnya intensitas, prioritas pertama pengembangan teknologi adalah komponen technoware. Kontribusi masing-masing komponen teknologi adalah technoware adalah 0.73 dengan intensitas 0.46, orgaware adalah 0.67
91
dengan intensitas 0.33, humanware adalah 0.57 dengan intensitas 0.16, serta inforware adalah 0.40 dengan intensitas 0.05. Penelitian yang dilakukan Arsyad (2006) dengan judul “Assessment Teknologi Proses Produksi Press Tools di PT. Kenza Presisi Pratama dengan Menggunakan Pendekatan Teknometrik” menemukan tingkat kepentingan dari masing-masing komponen teknologi melalui pendekatan metode Analytical Hierarchi Process (AHP) yaitu komponen technoware dengan nilai kontnbusi adalah 0,599, yang diikuti oleh komponen humanware dengan nilai kontnbusi 0,171, selanjutnya komponen inforware dengan nilai kontribusi 0,168, dan komponen terakhir adalah orgaware dengan nilai kontribusi adalah 0,062, serta nilai Technology Contribution Coefficient (TCC) adalah 0,630. Dengan hasil tersebut menunjukkan komponen technoware merupakan komponen paling utama dalam manajemen PT. Kenza Presisi Pratama.
92