II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Bumbu rujak Rujak manis adalah semacam salad. Rujak manis terdiri dari campuran
beberapa potongan buah segar dengan dibumbui saus manis pedas. Pada umumnya bumbu rujak manis terbuat dari gula merah, kacang tanah, terasi, bawang putih, dan asam jawa. Masing-masing produsen bumbu rujak ada yang masih menggunakan komponen tersebut untuk membuat bumbu rujak namun ada sebagian produsen yang sudah berinovasi dalam membuat bumbu rujak. Pengelola UKM Adiguna Harapan di Karangasem, Bali sudah mulai berinovasi dalam memproduksi bumbu rujak, pengelola hanya menggunakan madu salak, dengan bumbu tambahan seperti cabai, garam, dan terasi. Madu salak merupakan cairan hasil dari rebusan dalam proses pembuatan manisan salak. Proses pembuatan manisan salak adalah dengan merebus 25 kg buah salak ditambahkan dengan 5 kg gula pasir dan direbus selama 2 jam. Selama proses pemasakan manisan salak akan menghasilkan cairan, cairan tersebut yang disebut dengan madu salak dan digunakan sebagai bahan utama dalam pembuatan bumbu rujak UKM Adiguna Harapan. Menurut pengelola UKM tersebut, madu salak memiliki peranan penting dalam produksi bumbu rujaknya yaitu madu salak adalah sebagai pengawet alami bumbu rujak.
6
7
2.2
Umur simpan Menurut Hine (1997), umur simpan mengandung pengertian rentang
waktu antara saat produk mulai diproduksi sampai dengan produk tersebut dikonsumsi dan mutu produk masih memenuhi syarat untuk dikonsumsi. Umur simpan adalah waktu dimana semua karakteristik utama dari makanan tetap diterima untuk dikonsumsi. Dengan demikian, umur simpan mengacu pada waktu yang dimana makanan tetap tinggal pada pengecer dan konsumen sebelum umur simpan menjadi tidak dapat diterima (Robertson, 2010). Oleh karena itu, produsen makanan harus memberikan perhatian besar terhadap penentuan umur simpan ini. Ellis (1994), mengemukakan bahwa pengetahuan akan umur simpan produk pangan dan penanganan akan bahan pangan sangatlah penting. Umur simpan produk pangan dapat diartikan sebagai waktu antara produksi dan pengemasan produk dengan waktu saat produk mencapai titik tertentu yang tidak dapat diterima dibawah kondisi lingkungan tertentu. Selama penyimpanan dan distribusi, produk pangan terbuka pada kondisi lingkungan. Faktor-faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban, kandungan oksigen, dan cahaya dapat memicu beberapa reaksi yang dapat menyebabkan penurunan mutu produk tersebut. Sebagai konsekuensinya adalah produk pangan dapat ditolak oleh konsumen. Oleh karena itu, pemahaman yang baik terhadap reaksireaksi yang dapat menyebabkan penurunan mutu produk pangan menempati prioritas untuk pengembangan prosedur spesifik guna mengevaluasi umur simpan produk pangan (Singh, 1994).
8
Faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan bahan pangan yang dikemas adalah keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen dan kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal dan fisik (Labuza, 1982). 2.3
Penentuan parameter mutu Dalam penelitian yang dilakukan oleh (Swadana, 2014), penentuan
parameter mutu minuman berperisa apel yaitu minuman berperisa apel disimpan dalam suhu 45oC dan dilakukan analisis awal sebelum masa penyimpanan (Total Asam Tertitrasi, Warna, pH, Total padatan terlarut, Kadar vitamin C, dan Total mikroba). Penentuan parameter mutu melalui uji organoleptik dilakukan setiap 7 hari sekali mulai dari hari ke-0 sampai panelis menolak. Pengujian organoleptik meliputi warna, kenampakan, aroma apel, aroma asam, serta rasa menggunakan metode Hedonic Scale Scoring. Minuman berperisa apel dinyatakan tidak layak dikonsumsi karena 65,83% panelis menolak untuk melakukan uji organoleptik. Ketika mutu minuman ditolak, maka dilakukan analisis Total Asam Tertitrasi, Warna, pH, Total padatan terlarut, Kadar vitamin C, dan Total mikroba. Dalam penelitian yang dilakukan oleh (Wijaya, 2007), penentuan parameter mutu produk kopi instan formula didasarkan pada perubahan mutu produk selama penyimpanan. Parameter mutu yang digunakan meliputi kadar air, warna kopi bubuk dan seduhannya, dan waktu penyeduhan. Masa simpan produk yang diujikan adalah 21 bulan pada suhu 30oC; 14 bulan pada suhu penyimpanan 45oC; dan 12 bulan untuk penyimpanan pada suhu 50oC dengan parameter kritis yang digunakan adalah kadar air, nilai titik air kritisnya sebesar 17,83%.
9
Dalam penelitian yang dilakukan oleh (Sandana, 2014), penentuan parameter mutu sirup pala diamati secara berkala mulai hari ke-0 hingga hari ke28 melalui uji organoleptik yang meliputi rasa, bau, dan warna serta parameter lainnya seperti pH, kadar gula, total khamir, dan viskositas. Dalam penelitian yang dilakukan oleh (Jodi, 2015), penentuan parameter mutu tepung bumbu ayam goreng diamati secara berkala setiap 10 hari sekali melalui pengamatan terhadap warna, kadar air, viskositas, aroma bawang, aroma cabai, dan aroma merica. 2.4
Pendugaan umur simpan Umur simpan suatu produk akan berubah apabila terjadi perubahan dalam
komposisi produk tersebut, pengaruh lingkungan terhadap produk atau sistem pengemasan produk (Robertson, 1993). Salah satu kendala yang sering dihadapi industri pangan dalam penentuan masa kadaluarsa adalah waktu. Pada prakteknya ada lima pendekatan yang dapat digunakan untuk menduga masa simpan, yaitu: 1) nilai pustaka, 2) distribution turn over, 3) distribution abuse test, 4) consumer complaints, dan 5) accelerated shelf-life testing (ASLT) (Hariyadi, 2004a). Data yang diperlukan untuk menentukan umur simpan produk yang dianalisis di laboratorium dapat diperoleh dari analisis atau evaluasi sensoris, analisis kimia dan fisik, serta pengamatan kandungan mikroba (Koswara, 2004). Penentuan umur simpan dengan menggunakan faktor organoleptik dapat menggunakan parameter sensori (warna, flavor, aroma, rasa, dan tekstur) terhadap tekstur dengan skala 0-10, yang mengindikasikan tingkat kesegaran suatu produk (Gelman et al., 1990).
10
Adapun penentuan umur simpan suatu produk dilakukan dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen. Selain itu juga dilakukan dengan mengamati perubahan yang terjadi pada produk selama selang waktu tertentu. Perubahan yang terjadi dapat mengindikasikan adanya penurunan mutu produk tersebut. Maka dari itu, pengujian atribut produk perlu dilakukan untuk menentukan daya simpannya. Hasil atau akibat berbagai reaksi kimiawi yang terjadi didalam produk makanan bersifat irreversible (tidak dapat dipulihkan kembali) selama penyimpanan sehingga pada waktu tertentu hasil reaksi mengakibatkan mutu makanan tidak dapat diterima kembali. Pengaruh kadar air dan aktivitas air sangat penting sekali dalam menentukan daya awet dari bahan pangan karena keduanya mempengaruhi sifat-sifat fisik dan sifat fisika-kimia, perubahan-perubahan kimia, kebusukan oleh mikroorganisme dan perubahan enzimatis, terutama pada bahan pangan yang tidak diolah (Buckle et al., 1987). Selain itu, pendugaan umur simpan dapat diketahui melalui metode yang dilakukan. Terdapat dua metode yang dapat dilakukan untuk mengetahui umur simpan produk pangan, antara lain: 2.4.1 Metode konvensional ESS (Extended Storage Studies) yang sering disebut juga sebagai metode konvensional adalah penentuan tanggal kadaluarsa dengan jalan menyimpan suatu produk pada kondisi normal sehari-hari dan dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya hingga mencapai tingkat mutu kadaluarsa. Pendugaan umur simpan produk dilakukan dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai
11
terjadi perubahan yang tidak dapat lagi diterima oleh konsumen (Budijanto et al., 2010). 2.4.2 Metode akselerasi Menurut Labuza (1982), meningkatnya suhu kelembaban udara pada kondisi penyimpanan bahan pangan basah dapat digunakan sebagai metode untuk mempersingkat waktu perkiraan umur simpan suatu produk pangan (metode akselerasi). Adanya faktor yang dapat menimbulkan terjadinya kerusakan pada produk dapat dilakukan penentuan tentang masa simpannya dengan menggunakan metode ASLT (Accelerated Shelf-Life Testing) yang dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu model kadar air kritis menggunakan kurva sorpsi isotermis dan model Arrhenius. Pendugaan umur simpan dengan pendekatan model kadar air kritis umumnya digunakan untuk produk pangan yang relatif mudah rusak akibat terjadinya penyerapan kadar air dari lingkungan. Dalam metode kadar air kritis, kerusakan produk didasarkan pada kerusakan akibat terjadinya penyerapan maupun penguapan air dari lingkungan penyimpanan hingga mencapai batas yang tidak dapat diterima secara organoleptik. Kadar air pada kondisi dimana produk pangan mulai tidak diterima secara organoleptik disebut kadar air kritis, batas penerimaan tersebut didasarkan pada standar mutu organoleptik produk. Metode ASLT merupakan metode yang menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat mempercepat (Accelerated) terjadinya reaksi-reaksi penurunan mutu produk pangan. Keuntungan metode ini yaitu waktu pengujian yang relatif singkat, namun tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tinggi (Arpah, 2001). Metode akselerasi pada dasarnya adalah metode kinetik yang disesuaikan untuk produk pangan tertentu. Model yang diterapkan pada penelitian
12
ini menggunakan pendekatan empiris dengan bantuan persamaan Arrhenius, yaitu cara pendekatan yang menggunakan teori kinetika yang pada umumnya mempunyai orde nol atau satu untuk produk pangan (Arpah, 2001). Metode
Arrhenius
merupakan
pendugaan
umur
simpan
dengan
menggunakan metode simulasi. Untuk menganalisa penurunan mutu dengan metode simulasi diperlukan beberapa parameter, yaitu harus ada parameter yang diukur secara kuantitatif dan parameter tersebut harus mencerminkan keadaan mutu yang akan terjadi pada kondisi ini (Syarif dan Halid, 1993). Lebih lanjut Syarif dan Halid (1993), menjelaskan bahwa suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan mutu makanan. Semakin tinggi suhu penyimpanan, maka laju reaksi berbagai senyawa kimia akan semakin cepat. Oleh karena itu dalam menduga kecepatan penurunan mutu selama penyimpanan perlu memperhitungkan faktor suhu. Dalam penyimpanan makanan, suhu ruangan penyimpanan berubah dari waktu ke waktu, keadaan suhu penyimpanan seperti ini dapat mempermudah pendugaan laju penurunan mutu makanan dengan persamaan Arrhenius. Asumsi yang digunakan untuk model Arrhenius ini adalah perubahan faktor mutu hanya ditentukan oleh satu macam pereaksi saja, tidak terdapat pereaksi lain yang mengakibatkan perubahan mutu. Proses perubahan mutu tidak dianggap sebagai akibat dari proses-proses yang terjadi sebelumnya, suhu penyimpanan tetap atau dianggap konstan. Persamaan Arrhenius menunjukkan ketergantungan laju reaksi deteriorasi terhadap suhu. Keadaan suhu ruang penyimpanan sebaiknya tetap dari waktu ke waktu, tetapi sering kali keadaan suhu penyimpanan berubah-ubah (Syarif dan Halid, 1993).
13
Menurut Arpah (2001), persamaan Arrhenius menujukkan ketergantungan laju reaksi deteriorasi terhadap suhu yang dirumuskan sebagai berikut : k = k o . e−Ea /RT
(1)
ln k = ln k o − (Ea/RT)
(2)
Ea
1
ln k = ln k o − {( R ) . (T )}
(3)
Keterangan : k
= Konstanta laju reaksi pada suhu T
ko
= Konstanta pre-eksponensial
Ea
= Energi aktivasi (kal/mol)
T
= Suhu mutlak (oK)
R
= Konstanta gas (1,986 kal/mol K) Berdasarkan persamaan nomer 2, diperoleh kurva berupa garis linier pada
plot ln k terhadap (1/T) dengan slope –Ea/R seperti Gambar 1.
Gambar 1. Kurva hubungan nilai ln k dengan slope (-Ea/RT) pada persamaan Arrhenius. Interpretasi Ea (energi aktivasi) dapat memberikan gambaran mengenai besarnya pengaruh suhu terhadap reaksi. Nilai Ea diperoleh dari slope grafik garis lurus hubungan ln k dengan (1/T). Energi aktivasi yang besar menunjukkan
14
perubahan nilai ln k yang besar dengan hanya perubahan beberapa derajat dari suhu, sehingga nilai slope akan besar (Arpah, 2001). Lebih lanjut, besarnya nilai energi aktivasi dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu: a. Kecil (Ea 2-15 Kal/mol), kerusakan produk diakibatkan karena kerusakan karotenoid, klorofil atau oksidasi asam lemak. b. Sedang (Ea 15-30 Kal/mol), kerusakan produk diakibatkan karena kerusakan vitamin, kerusakan pigmen yang larut air dan reaksi Maillard. c. Besar (Ea 50-100 Kal/mol), kerusakan produk diakibatkan karena denaturasi enzim, inaktivasi mikroba dan sporanya. Dari rumus diatas akan diperoleh nilai ko, sedangkan umur simpan dapat diperoleh dengan rumus:
t = (Ao − At )/k
(4)
orde nol t = (ln Ao − ln At )/k
(5)
orde satu keterangan : t
= prediksi umur simpan (hari)
Ao
= parameter mutu awal produk
At
= parameter mutu akhir produk
k
= konstanta penurunan mutu
Penurunan mutu yang mengikuti orde reaksi nol merupakan penurunan mutu yang bersifat konstan yaitu reaksi kerusakan enzimatik, pencoklatan enzimatik, dan
15
reaksi oksidasi. Orde reaksi satu meliputi ketengikan, pertumbuhan mikroba, offflavour, kerusakan vitamin, dan penurunan mutu vitamin (Wulandari, 2014). Menurut Wijaya (2007), semakin sederhana model yang digunakan untuk menduga umur simpan, maka semakin banyak asumsi yang dipakai. Asumsiasumsi yang digunakan dalam pendugaan metode Arrhenius adalah: 1.
Perubahan faktor mutu hanya ditentukan oleh satu macam reaksi saja.
2.
Suhu selama penyimpanan tetap atau dianggap tetap. Dalam penelitian Wulandari (2014), tentang mengembangkan minuman
sari tebu dalam kemasan cup dan menduga umur simpannya menggunakan metode Arrhenius. Parameter yang diujikan untuk menentukan umur simpan adalah angka lempeng total, pH, perubahan warna, dan sensori. Penentuan umur simpan dilakukan dengan menyimpan sampel pada inkubator dengan tiga suhu akselerasi yang berbeda, yaitu 35oC, 45oC, dan 55oC selama lima minggu. Parameter kritis yang digunakan untuk menentukan umur simpan adalah parameter pH. Sampel memiliki pH awal 4.22 dan memiliki nilai pH kritis 4.09. Persamaan regresi linier didapatkan sebesar y = -2947.9641x + 4.0277 dan energi aktivasi sebesar 5854.6567 kal/mol. Berdasarkan hasil pengujian didapatkan umur simpan produk untuk penyimpanan pada suhu 5oC, 30oC, 35oC, 45oC, dan 55oC berturut-turut adalah 22.4 minggu, 9.5 minggu, 8 minggu, 5.9 minggu, dan 4.5 minggu.
16
2.5
Ordo reaksi Ordo reaksi menyatakan besarnya pengaruh konsentrasi pereaksi pada laju
reaksi. Ordo persamaan laju reaksi hanya dapat ditentukan secara eksperimen dan tidak dapat diturunkan dari koefisien persamaan reaksi. 2.5.1 Reaksi ordo nol Penurunan mutu ordo reaksi ke-0 adalah penurunan mutu yang konstan. Reaksi yang termasuk pada ordo ke-0, laju reaksinya tidak tergantung pada konsentrasi pereaksinya, dengan kata lain reaksi berlangsung dengan laju yang tetap. Jenis reaksi ordo ke-0 tidak terlalu umum terjadi. Tipe kerusakan yang mengikuti kinetika reaksi ordo ke-0 meliputi reaksi kerusakan enzimatis, pencoklatan enzimatis, dan oksidasi. Persamaan laju reaksi orde nol dinyatakan sebagai: 𝐴 − 𝐴0 = −𝑘0 . 𝑡
(6)
2.5.2 Reaksi ordo satu Pada reaksi ordo ke-1, kecepatan reaksi berbanding lurus dengan konsentrasi reaktan (Anonim, 2012). Persamaan laju reaksi ordo ke-1 dinyatakan sebagai: ln 𝐴 = ln[𝐴0 ] − 𝑘1 𝑡
(7)
2.5.3 Penentuan orde reaksi Menurut Pratiwi (2009), laju atau kecepatan perubahan mutu setiap parameter yang diuji berbeda-beda. Jika laju kerusakannya terjadi secara konstan atau linier maka mengikuti ordo reaksi ke-0. Namun jika laju kerusakannya terjadi secara tidak konstan, secara logaritmik atau eksponensial maka mengikuti ordo
17
reaksi ke-1. Pemilihan ordo reaksi dapat dilihat dengan mengelompokkan data penurunan mutu mengikuti ordo ke-0 dan ordo ke-1 lalu dibuat regresi liniernya. Ordo reaksi ditentukan dengan melihat nilai koefisien R2 yang lebih besar. Penentuan ordo reaksi dilakukan pada masing-masing parameter mutu yang diamati. Pemilihan ordo reaksi dilakukan dengan memplotkan nilai rata-rata (skor) parameter mutu selama penyimpanan sebagai sumbu y dan waktu penyimpanan (dalam hari) sebagai sumbu x pada 3 suhu penyimpanan berbeda. Analisis regresi linier dan non-linier digunakan dalam menentukan ordo reaksi dari parameter mutu. Penurunan mutu yang mengikuti ordo reaksi nol merupakan penurunan mutu yang bersifat konstan yaitu reaksi kerusakan enzimatik, pencoklatan enzimatik, dan reaksi oksidasi. Penurunan mutu yang mengikuti ordo reaksi ke-1 meliputi ketengikan, pertumbuhan mikroba, off-flavour, kerusakan vitamin, dan penurunan mutu vitamin (Wulandari, 2014). 2.6
Penentuan parameter kritis Menurut Kusnandar (2011), penentuan parameter kritis dapat dilakukan
dengan melihat kriteria-kriteria dalam pemilihan parameter kritis yaitu: 1) Parameter mutu yang paling cepat mengalami penurunan selama penyimpanan yang ditunjukkan dengan nilai koefisien k mutlak atau nilai koefisien korelasi (R2) paling besar; 2) Parameter mutu yang paling sensitif terhadap perubahan suhu yang dilihat dari energi aktivasi (Ea) yang paling rendah; 3) Bila terdapat lebih dari satu parameter mutu yang memenuhi kriteria, maka dipilih parameter mutu yang memiliki umur simpan lebih pendek.