II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Banjir Banjir adalah peristiwa meluapnya air yang menggenangi permukaan
tanah, dengan ketinggian melebihi batas normal. Banjir umumnya terjadi pada saat aliran air melebihi volume air yang dapat ditampung dalam sungai, danau, rawa, drainase, tanggul, maupun saluran air lainnya pada selang waktu tertentu (Rahayu et al. 2009). Penyebab terjadinya banjir dapat diklasifikasikan dalam dua kategori. Sebab alamiah berupa: curah hujan, pengaruh fisiografi, erosi, sedimentasi, kapasitas sungai, kapasitas drainase yang tidak memadai, dan pengaruh air pasang. Sebab tindakan manusia berupa: berubanya kondisi daerah aliran sungai, sampah, kawasan kumuh, perencanaan sistem pengendalian banjir yang tidak tepat, dan kerusakan bangunan pengendali banjir (Kodoatie dan Sugianto 2002). Faktor alamiah menyangkut kondisi alam yang menyebabkan terjadinya banjir dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu: faktor kondisi alam yang relatif statis yaitu: geografi, topografi, dan geometri alur sungai antar lain: kemiringan dasar sungai, penyempitan alur sungai, pengaruh kelokan sungai. Faktor peristiwa alam yang dinamis seperti: curah hujan yang tinggi, kondisi pasang surutnya air laut, turunnya permukaan tanah, dan kelongsoran tebing (Siswoko 2002). 2.2.
Pengendalian Banjir Penanggulangan bencana banjir adalah upaya yang dapat dilakukan baik
oleh pemerintah, masyarakat, dan pengambil kebijakan lainnya (stakeholder)
9
dalam rangka menanggulangi bencana banjir baik yang dilakukan sebelum terjadinya banjir, pada saat terjadi, maupun setelah terjadi banjir (Rahayu et al. 2009). Pengendalian banjir merupakan suatu hal yang utama bagi pemerintah DKI Jakarta. Proses pengendaliannya harus dilaksanakan secara menyeluruh dari hulu ke hilir. Upaya tersebut dilakukan dengan melibatkan pemerintah pusat dan daerah karena banjir tidak mengenal batas wilayah administrasi. Mitigasi banjir adalah semua tindakan atau upaya untuk mengurangi dampak dari suatu bencana banjir. Upaya mitigasi ini biasanya ditujukan untuk jangka waktu yang panjang. Secara umum jenis-jenis mitigasi dapat dikelompokkan kedalam mitigasi struktural dan mitigasi non struktural (Rahayu et al. 2009). 2.2.1 Mitigasi Struktural Mitigasi struktural adalah upaya-upaya pengurangan risiko bencana yang lebih bersifat fisik (Rahayu et al. 2009). Upaya-upaya mitigasi struktural banjir yang dilakukan oleh pemerintah antara lain: a. Perbaikan dan peningkatan sistem drainase. b. Normalisasi fungsi sungai dapat berupa pengerukan, sudetan, dan pelebaran. c. Relokasi pemukiman di bantaran sungai. d. Pengembangan bangunan pengontrol tinggi muka air. e. Tanggul, pintu, pompa, waduk dan sistem polder. f. Perbaikan kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS). 2.2.2. Mitigasi Non-Struktural Mitigasi non struktural adalah segala upaya pengurangan risiko bencana yang dilakukan yang bersifat non fisik, organisasional, dan sosial kemasyarakatan
10
(Rahayu et al. 2009). Upaya-upaya mitigasi non struktural banjir yang dilakukan pemerintah antara lain: a. Membuat master plan pembangunan yang berbasis pengurangan risiko bencana. b. Membuat peraturan daerah (PERDA) mengenai penanganan risiko bencana banjir yang berkelanjutan. c. Mengembangkan peta zonasi banjir. d. Mengembangkan sistem asuransi banjir. e. Membangun/memberdayakan sistem peringatan dini banjir. f. Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai bencana banjir melalui pendidikan dan pelatihan. g. Mewujudkan budaya masyarakat dalam menjaga fungsi sistem pembuangan air (drainase) dan pengendalian banjir. h. Mewujudkan budaya masyarakat yang tidak membuang sampah/limbah ke sungai. i. Melakukan gerakan penghijauan/penanaman kembali tumbuh tumbuhan di lahan kosong. Dahulu mitigasi struktural lebih diutamakan dibandingkan dengan mitigasi non-struktural. Namun, saat ini banyak negara maju mengubah pola pengendalian banjir dengan lebih dulu mengutamakan mitigasi non-struktural lalu mitigasi struktural (Kodoatie dan Sjarief 2008). 2.2.3. Normalisasi Sungai Normalisasi sungai adalah menciptakan kondisi sungai dengan lebar dan kedalaman tertentu. Sungai mampu mengalirkan air sehingga tidak terjadi luapan
11
dari sungai tersebut (Pemerintah provinsi DKI 2010). Kegiatan normalisasi sungai berupa membersihkan sungai dari endapan lumpur dan memperdalamnya agar kapasitas sungai dalam menampung air dapat meningkat. Hal ini dilakukan dengan cara mengeruk sungai tersebut di titik-titik rawan tersumbatnya aliran air. Upaya pemulihan lebar sungai merupakan bagian penting dari program normalisasi sungai karena meningkatkan kapasitas sungai dalam menampung dan mengalirkan air ke laut. Kepadatan penduduk yang terus meningkat karena Jakarta menjadi sumber mata pencaharian, menyebabkan berdirinya permukiman ilegal. Bantaran sungai menjadi sasaran utama bagi rumah-rumah ilegal ini. Semakin banyak rumah yang dibangun di bantaran sungai, akan semakin sempit sungai tersebut dan semakin rendah kemampuannya untuk menampung air. Masyarakat yang tinggal di bantaran sungai perlu direlokasi ke tempat lain, sehingga program normalisasi sungai untuk menanggulangi banjir dapat dilakukan. Menurut Maryono dalam Masyhuri (2007) pengembangan sungai-sungai di Indonesia dalam 30 tahun terakhir ini mengalami peningkatan pembangunan fisik yang relatif cepat. Pembangunan fisik tersebut misalnya pembuatan sudetan, pelurusan, pembuatan tanggul sisi, dan pembetonan tebing, baik sungai kecil maupun besar. Hal ini menyebabkan terjadinya percepatan aliran menuju hilir dan sungai bagian hilir akan menanggung aliran yang lebih besar dalam waktu yang lebih cepat dibanding sebelumnya. Perbaikan sungai akan memberikan pengaruh maksimal dua hingga empat kali lipat, itu pun jika proses pelebaran atau pengerukan sebesar dua kali lipatnya dapat berjalan lancar (Kodoatie dan Sjarief 2008). Pelebaran sungai harus dipertahankan sampai ke lokasi sungai paling hilir. Gambar 1 menunjukan skema sederhana proses normalisasi sungai:
12
b h Q1
Q2
b
2b
a. diperlebar dua kali
h
debit Q1
debit
2h
h
debit kembali
2-4Q1
keQ1
dikeruk
sedimentasi
b
b
b. diperdalam dua kali keterangan: Q1 = debit air (m3/s) h = kedalaman sungai (m) b = lebar sungai (m) Gambar 1. Skema proses normalisasi sungai 2.2.4. Manfaat Ekonomi Sungai Daerah aliran sungai (DAS) dapat dipandang sebagai suatu ekosistem yang menghasilkan produk berupa barang dan jasa. Barang yang dihasilkan oleh komponen sungai dapat diukur berupa produktivitas, sedangkan jasa merupakan produk ekonomis dari sungai yang tidak dapat diukur. Oleh karena itu dalam pengelolaan DAS diperlukan adanya keseimbangan antara kepentingan ekosistem dengan kepentingan ekonomi sehingga dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan.
13
Penentuan nilai ekonomi sumberdaya alam merupakan hal yang sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam mengalokasikan sumberdaya alam yang semakin langka. Valuasi ekonomi bermanfaat untuk mengilustrasikan hubungan timbal balik antara ekonomi dan lingkungan (Yunus 2005). Konsep nilai bermacam-macam, karena menyangkut berbagai macam tujuan yang berkaitan dengan keberadaan sumberdaya alam dan lingkungan. Menurut KNLH (2007) Nilai lingkungan secara keseluruhan atau total economic value (TEV) dibagi menjadi: (a) nilai guna (use value) yang terdiri dari direct use value dan indirect use value, (b) nilai berbasis bukan pemanfaatan (non use value) yang terdiri dari option value, existence value, dan bequest value. Ada pun nilai manfaat ekonomi dari sungai yaitu 1.
Manfaat langsung (direct use value) Manfaat langsung adalah manfaat dari barang dan jasa suatu sumberdaya yang secara langsung dapat dimanfaatkan seperti, ikan dan air sungai itu sendiri.
2.
Manfaat tidak langsung (indirect use value) Manfaat tidak langsung merupakan manfaat barang dan jasa yang ada karena keberadaan suatu sumberdaya yang secara tidak langsung dapat diambil dari sumberdaya alam tersebut seperti, manfaat sungai sebagai pencegah banjir dan nilai estetikanya.
3.
Manfaat pilihan (option value) Suatu nilai yang diinterpretasikan sebagai manfaat sumberdaya alam yang potensial dimasa depan, seperti, nilai biodiversity yang terdapat di sungai kemungkinan bermanfaat pada masa yang akan datang.
14
4.
Nilai keberadaan (exsistence value) Nilai yang merupakan nilai yang didasarkan pada terpeliharanya SDAL tanpa menghiraukan manfaat dari keberadaan SDAL tersebut.
5.
Nilai warisan (bequest value) Nilai yang merupakan nilai yang diberikan oleh generasi saat ini terhadap SDAL agar dapat diwariskan pada generasi mendatang.
2.3.
Pembebasan Hak Atas Tanah Pembebasan hak adalah merupakan salah satu cara dalam memperoleh
tanah untuk kepentingan pembangunan atau untuk keperluan umum. Pembebasan hak dilakukan mengingat pihak yang memerlukan tanah tidak memenuhi syarat sebagai subjek hak atas tanah yang tersedia. Upaya yang ditempuh adalah dengan cara melakukan pembebasan hak. Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah (Perpres no. 36 tahun 2005 pasal 1 ayat 6). Ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik dan atau nonfisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada pemilik tanah, bangunan, tanaman, dan atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah (Perpres no. 36 tahun 2005 pasal 1 ayat 11). Menurut pasal 15 ayat 1 Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 disebutkan bahwa dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas :
15
a. Nilai jual obyek pajak (NJOP) atau nilai nyata seharusnya dengan memperhatikan nilai jual objek pajak pada tahun berjalan berdasarkan penetapan lembaga/tim penilai harga tanah yang ditunjuk oleh panitia. b. Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang bangunan. c. Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang pertanian. Pemerintah dapat menentukan ganti rugi yang sesuai bagi masyarakat. Sesuai dengan 13 ayat (1) Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 disebutkan ganti rugi dapat berupa uang, tanah pengganti, atau pemukiman kembali. Masalah pengadaan tanah pada intinya, kondisi tidak seimbangnya antara tanah yang tersedia dengan kebutuhan akan tanah. Kebutuhan tanah semakin meningkat disebabkan karena jumlah penduduk yang selalu bertambah, serta meningkatnya pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah. Namun, jumlah tanah tetap. Oleh karena itu, dalam pengadaan perlu dilakukan secara transparan dengan tetap memperhatikan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah. 2.4.
Persepsi Terhadap Banjir Persepsi adalah proses dengan makna kita menjadi sadar akan banyaknya
stimulus yang akan mempengaruhi indra kita. Persepsi mempengaruhi rangsangan (stimulus) atau pesan apa yang kita berikan kepada mereka ketika mereka mencapai kesadaran (Devito 1997). Hasil penelitian Baskoro (2008) mengenai persepsi dan sikap masyarakat Kota Jakarta terhadap fungsi hutan di daerah hulu dalam pengendalian banjir, 78 % responden mempunyai persepsi yang sedang dan
16
14.3 % responden mempunyai persepsi baik terhadap fungsi hutan sebagai pengendali banjir. Persepsi dibutuhkan untuk mengetahui sampai sejauh mana minat atau opini masyarakat terhadap suatu objek dalam bentuk barang atau suatu kejadian. Persepsi seseorang dapat dipengaruhi oleh pekerjaan, pendidikan, jenis kelamin, dan pendapatan. 2.5.
Willingnes to Accept Willingnes to accept (WTA) kompensasi, melalui pengukuran yang terkait
dengan surplus konsumen, variasi kompensasi, dan variasi ekuivalen. WTA juga memberikan informasi variasi kompensasi terhadap penurunan kesejahteraan (Hanley dan Spash 1993). Pendekatan WTA dapat memberikan informasi tentang besarnya dana kompensasi yang bersedia diterima oleh masyarakat atas penurunan kualitas lingkungan disekitarnya. Hasil penelitian Buckley et.al (2008), mengenai rencana pembangunan jalan wisata yang melewati lahan pertanian dan peternakan masyarakat di Irlandia. Hasilnya 51 % masyarakat tidak mengijinkan pembangunan tersebut, 21 % masyarakat mengijinkan pembangunan tanpa adanya kompensasi ganti rugi, 28 % masyarakat bersedia mengijinkan pembangunan jalan melewati lahan mereka asalkan mereka mendapatkan kompensasi yang sesuai. Nilai WTA yang diharapkan masyarakat sebagai kompensasi adalah sebesar € 0.46 per m.
17