3
II.
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi Tanaman Singkong (Manihot utilissima) Singkong (Manihot utilissima), termasuk dalam Kingdom Plantae atau
tumbuh-tumbuhan, Divisi Spermathophyta atau tumbuhan berbiji, Sub divisi Angiospermae atau berbiji tertutup, Kelas Dicotyledoneae atau biji berkeping dua, Ordo Euphorbiales, Family Euphorbiaceae, Genus Manihot, dan Spesies Manihot utilissima pohl dan Manihot esculenta Crantz sin. Singkong merupakan tanaman pangan yang berasal dari benua Amerika berupa perdu, memiliki nama lain ubi kayu, singkong, kasepe, dan dalam Bahasa Inggris cassava. Singkong termasuk famili Euphorbiaceae yang umbinya dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat dan daunnya dikonsumsi sebagai sayuran. Di Indonesia, singkong menjadi bahan pangan pokok setelah beras dan jagung (Lidiasari et al., 2006). Singkong merupakan umbi atau akar pohon yang panjang dengan diameter dan tinggi yang beragam tergantung dari varietas singkong yang ditanam. Daging umbinya berwarna putih kekuning-kuningan. Umbi singkong tidak tahan disimpan lama meskipun di dalam lemari pendingin. Gejala kerusakan ditandai dengan keluarnya warna biru gelap akibat terbentuknya asam sianida yang bersifat racun bagi manusia. Umbi singkong merupakan sumber energi yang kaya karbohidrat, namun sangat miskin protein. Sumber protein terdapat pada daun singkong karena mengandung asam amino dan metionin. Singkong merupakan salah satu sumber pati. Pati merupakan senyawa karbohidrat yang kompleks. Sebelum difermentasi, pati diubah menjadi glukosa, karbohidrat yang lebih sederhana. Dalam penguraian pati diperlukan bantuan cendawan Aspergillus sp. Cendawan ini akan menghasilkan enzim alfaamilase dan glikoamilase yang akan berperan dalam mengurai pati menjadi glukosa atau gula sederhana. Setelah menjadi gula baru difermentasi menjadi etanol (Kusumastuti, 2007).
4
2.2
Syarat Tumbuh Singkong Meningkatnya produktifitas tanaman singkong akan dipengaruhi oleh
beberapa aspek karakteristik lahan yang menjadi syarat tumbuh. Bappenas (2009) mengeluarkan beberapa persyaratan tumbuh singkong berdasarkan iklim, media tanam, dan ketinggian. 2.2.1 Iklim Kondisi iklim yang menjadi syarat tumbuh singkong adalah : a) Curah hujan antara 1.500-2.500 mm/tahun. b) Suhu udara minimal sekitar 100C. Bila suhunya di bawah 100C menyebabkan pertumbuhan tanaman sedikit terhambat, menjadi kerdil karena pertumbuhan bunga yang kurang sempurna. c) Kelembaban udara optimal antara 60-65%. d) Sinar matahari yang dibutuhkan sekitar 10 jam/hari terutama untuk kesuburan daun dan perkembangan umbinya. 2.2.2 Media Tanam Media tanam yang menjadi syarat tumbuh singkong adalah : a) Tanah yang paling sesuai adalah tanah yang berstruktur remah, gembur, tidak terlalu liat dan tidak terlalu poros serta kaya bahan organik. Tanah dengan struktur remah mempunyai tata udara yang baik, unsur hara lebih mudah tersedia dan mudah diolah. Pertumbuhan tanaman ketela pohon akan lebih baik dengan menggunakan tanah yang subur dan kaya bahan organik baik unsur makro maupun mikronya. b) Jenis tanah yang sesuai adalah jenis alluvial, latosol, podsolik merah kuning, mediteran, grumusol dan andosol. c) Derajat keasaman (pH) tanah yang sesuai berkisar antara 4,5-8,0 dengan pH ideal 5,8. Pada umumnya tanah di Indonesia ber-pH rendah (asam), yaitu berkisar 4,0-5,5, sehingga seringkali dikatakan cukup netral bagi suburnya tanaman ketela pohon.
5
2.2.3 Ketinggian Tempat Ketinggian tempat yang baik dan ideal untuk tanaman ketela pohon antara 10-700 mdpl, sedangkan toleransinya antara 10-1.500 mdpl. Jenis ketela pohon tertentu dapat ditanam pada ketinggian tempat tertentu untuk dapat tumbuh optimal. 2.3
Singkong Sebagai Biodiesel Bioetanol merupakan hasil fermentasi dari tanaman yang mengandung
pati, gula dan serat selulosa. Beberapa tanaman yang berpotensi sebagai penghasil etanol adalah aren dengan potensi produksi 40.000 liter per hektar per tahun, jagung (6.000 liter), biji sorgum (4.000 liter) dan singkong (7.800 liter) (Fortuna, 2008). Singkong merupakan tanaman pangan dan perdagangan (crash crop). Sebagai tanaman perdagangan, singkong menghasilkan pati, gaplek, tepung singkong, etanol, gula cair, sorbitol, tepung aromatik, dan pellet. Sebagai tanaman pangan, singkong merupakan sumber karbohidrat bagi sekitar 500 juta manusia di dunia. Singkong merupakan penghasil kalori terbesar dibandingkan dengan tanaman lain perharinya. Data nilai kalori berbagai tanaman penghasil karbohidrat disajikan pada Tabel 1 dan data potensi beberapa tanaman sebagai bahan baku etanol disajikan pada Tabel 2. Tabel 1. Nilai kalori berbagai tanaman penghasil karbohidrat No. Jenis Tanaman Nilai Kalori (kal/ha/hari) 250 x 103 1 Singkong 200 x 103 2 Jagung 176 x 103 3 Beras 114 x 103 4 Sorgum 110 x 103 5 Gandum
6
Tabel 2. Potensi beberapa tanaman sebagai bahan baku etanol No. Jenis Tanaman Hasil Panen (ton/ha/tahun) Etanol (liter/ha/tahun) 1-6 400-2.500 1 Jagung 10-50 2.000-7.000 2 Singkong 40-120 3.000-8.500 3 Tebu 10-40 1.200-5.000 4 Ubi Jalar 3-12 1.500-5.000 5 Sorgum 20-60 2.000-6.000 6 Sorgum manis 10-35 1.000-4.500 7 Kentang 20-100 3.000-8.000 8 Bit Tabel 2 menunjukkan bahwa singkong merupakan tanaman penghasil etanol kedua setelah tebu. Hal ini menunjukkan bahwa singkong memiliki potensi yang cukup bagus sebagai tanaman bahan baku etanol. Bit tidak dipertimbangkan karena tidak dapat berproduksi optimal di Indonesia sehingga tidak ekonomis. Keunggulan singkong dibanding tebu adalah masa panen singkong relatif lebih singkat dan biaya produksi lebih murah. Singkong yang akan digunakan sebagai bahan Fuel Grade Ethanol (FGE) disarankan memiliki kadar pati tinggi, potensi hasil tinggi, tahan cekaman biotik dan abiotik, dan fleksibel dalam usaha tani dan umur panen (Yakinudin, 2010). 2.4
Pati Tanaman Singkong Pati merupakan karbohidrat berupa polisakarida yang terbentuk dari
tanaman hijau melalui proses fotosintesis. Untuk mengetahui kadar karbohidrat dalam singkong, Tabel 3 menunjukkan komposisi kimia singkong. Bentuk pati berupa kristal bergranula yang tidak larut dalam air pada temperatur ruangan. Pati memiliki perbedaan bentuk dan ukuran granula tergantung pada jenis tanamannya. Tabel 3 menunjukkan bahwa dalam singkong terdapat 34 gram karbohidrat. Karbohidrat tersebut merupakan polisakarida yang berarti pati, sehingga dapat dikatakan bahwa dalam singkong terdapat 34 gram pati.
7
Tabel 3. Komposisi kimia singkong Komponen Kadar /100 gram Kalori 146 kal Air 62,5 gram Phospor 40 gram Karbohidrat 34 gram Kalsium 33 mg Vitamin C 30 mg Protein 1,2 gram Besi 0,7 mg Lemak 0,3 gram Vitamin B1 0,06 mg Berat yang dapat dimakan 75 mg (Sumber : BSN, 1996) Pati mengandung 10% air pada RH 54% dan 20oC. Pada umumnya pati tersusun dari 25% amilosa dan 75% amilopektin. Amilosa merupakan polimer berbentuk panjang dan lurus dan sedikit cabang (kurang dari 1%) (Nwokocha, 2008) dengan berat molekul 50.000-200.000 g/mol. Unit-unit glukosa terhubung oleh ikatan α-1,4 pada molekul amilosa. Molekul amilosa berbentuk helix dan bersifat hidrofobik. Amilopektin memiliki bentuk yang bercabang dan memiliki berat molekul 107-109 g/mol bergantung pada jenis tanamannya. Pati terbentuk dari monomer-monomer glukosa. Berdasarkan Wikipedia, amilosa merupakan polisakarida yang tersusun dari glukosa sebagai monomernya. Tiap-tiap monomer terhubung dengan ikatan 1,6-glikosidik. Amilosa merupakan polimer tidak bercabang yang bersama-sama dengan amilopektin menjadi komponen penyusun pati. Amilosa sebagai fraksi pati yang larut dalam air, tetapi tidak larut dalam N-butanol atau pelarut organik polar lainnya, tersusun dari rantai lurus D-glukosa yang berkaitan a -1,4 dengan derajat polimerasi antara 100-400, berwarna biru tua dengan iodine. Amilosa menyusun sekitar 20% dari pati serealia, tetapi hanya 1% dalam jagung dan sorgum. 2.5
Lahan Lahan merupakan bagian dari bentang alam yang mencakup pengertian
lingkungan fisik termasuk iklim, topografi, hidrologi, bahkan keadaan vegetasi alami
yang
semuanya
secara
potensial
akan
berpengaruh
terhadap
8
penggunaannya. Lahan dalam pengertian yang lebih luas termasuk yang sudah dipengaruhi oleh berbagai aktifitas manusia ( FAO, 1976). 2.5.1 Karakteristik Lahan Karakteristik lahan mencakup beberapa faktor yang dapat diukur atau ditaksir, seperti lereng, curah hujan, tekstur tanah, air tersedia, dan sebagainya. Sifat-sifat tersebut saling berinteraksi, karena itu apabila karakteristik lahan digunakan secara langsung dalam evaluasi lahan maka akan menimbulkan kesulitan. Untuk itulah diperlukan adanya perbandingan antara lahan dan penggunaannya dalam pengertian kualitas lahan. Masing-masing kualitas lahan mempunyai keragaman tertentu yang berpengaruh terhadap kesesuaian untuk penggunaan tertentu. Setiap kualitas lahan dapat terdiri dari satu atau lebih karakteristik lahan (FAO, 1976). Penentuan karakteristik lahan yang berhubungan dengan tanah seperti tekstur, kedalaman efektif, KTK, kejenuhan basa, reaksi tanah (pH), unsur hara (N, P2O5, K2O). Sitorus (1985), mengemukakan bahwa karakteristik lahan pada sistem penggunaan lahan jarang yang bersifat langsung. Contohnya, pertumbuhan tanaman tidak secara langsung dipengaruhi oleh curah hujan atau tekstur tanah tetapi dipengaruhi oleh ketersediaan air, dan unsur hara. 2.5.2 Kualitas Lahan Kualitas lahan adalah sifat-sifat yang kompleks dari satuan lahan. Masingmasing kualitas lahan mempunyai kondisi tertentu yang berpengaruh terhadap kesesuaiannya bagi penggunaan tertentu. Kualitas lahan kadang-kadang dapat diduga atau diukur secara langsung di lapang, tetapi pada umumnya ditetapkan dari pengertian karakteristik lahan. Kualitas lahan menunjukkan sifat-sifat lahan yang mempunyai pengaruh nyata terhadap kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu. Satu jenis kualitas lahan dapat disebabkan oleh beberapa karakteristik lahan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). 2.5.3 Klasifikasi Lahan Klasifikasi lahan adalah pengaturan satuan-satuan lahan ke dalam berbagai kategori berdasarkan sifat-sifat lahan atau kesesuaiannya untuk berbagai
9
penggunaan (Sitorus, 1985). Dalam klasifikasi lahan diperlukan faktor-faktor yang berhubungan dengan sifat-sifat lahan secara umum. Sifat-sifat lahan ini dibedakan antara karakteristik lahan dan kualitas lahan (FAO, 1976) 2.5.4 Pengertian Kesesuaian Lahan Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini (present) atau setelah diadakan perbaikan (improvement). Lebih spesifik lagi kesesuaian lahan tersebut ditinjau dari sifat-sifat fisik lingkungannya, yang terdiri atas iklim, tanah, topografi, hidrologi dan/atau drainase sesuai untuk usaha tani atau komoditas yang produktif (Djaenudin et al., 2003). Kesesuaian lahan terbagi menjadi dua, yaitu kesesuaian lahan aktual dan kesesuaian lahan potensial (Hardjowigeno, 1994). Kesesuaian lahan aktual merupakan kesesuaian lahan menurut kondisi yang ada saat ini atau kondisi lahan sekarang, belum mempertimbangkan masukan yang diperlukan untuk mengatasi faktor pembatas yang ada. Faktor pembatas tersebut ada yang bersifat permanen dan tidak memungkinkan atau tidak ekonomis untuk diperbaiki, serta ada faktor pembatas yang dapat diatasi atau diperbaiki dan secara ekonomis masih menguntungkan. Kesesuaian lahan potensial menggambarkan keadaan lahan yang dicapai apabila dilakukan usaha-usaha perbaikan. Usaha perbaikan yang dilakukan harus sejalan dengan tingkat penilaian kesesuaian lahan yang akan dilaksanakan. Dalam pelaksanaannya perlu dirinci faktor-faktor ekonomi yang disertakan dalam menduga biaya yang diperlukan untuk perbaikan-perbaikan tersebut. Alur logik penilaian kesesuaian lahan (FAO, 1976) disajikan pada Gambar 1 di bawah ini.
10
BMG/GIS
Survai Tanah
Data
Kualitas Lahan
Penelitian Dasar
Data Persyaratan Agro-ekologi Tanaman
“matching”
Kesesuaian Aktual/fisik Manajemen Produksi Kendala Agro-
Kesesuaian Lahan Potensial pada Tingkat Manajemen Produksi
Gambar 1. Alur logik penyusunan kesesuaian lahan (FAO, 1976) Penilaian kesesuaian lahan dapat dilakukan dengan menggunakan hukum minimum yaitu membandingkan antara kualitas lahan dan karakteristik lahan sebagai parameter dengan kriteria kelas kesesuaian lahan yang telah disusun berdasarkan persyaratan penggunaan lahan atau persyaratan tumbuh tanaman. Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut FAO (1976) terdiri dari empat kategori, yaitu: 1. Kesesuaian lahan pada tingkat ordo menunjukkan apakah suatu lahan sesuai atau tidak untuk penggunaan tertentu. Dikenal dua ordo, yaitu: Ordo S (sesuai): lahan yang termasuk ordo ini adalah lahan yang dapat digunakan dalam jangka waktu yang tidak terbatas untuk suatu tujuan yang telah dipertimbangkan. Keuntungan dari hasil pengelolaan lahan itu akan memuaskan setelah dihitung dengan
11
masukan yang diberikan, tanpa atau sedikit resiko kerusakan terhadap sumberdaya lahannya. Ordo N (tidak sesuai): lahan yang termasuk ordo ini adalah lahan yang mempunyai kesulitan sedemikian rupa, sehingga mencegah penggunaannya untuk suatu tujuan yang telah direncanakan. Lahan dapat digolongkan sebagai lahan tidak sesuai digunakan bagi suatu usaha pertanian karena berbagai penghambat, baik secara fisik (lereng yang sangat curam) atau secara ekonomi (keuntungan yang didapat lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan). 2. Kesesuaian lahan pada tingkat kelas menunjukkan kesesuaian dari ordo dan pembagian lebih lanjut dari ordo tersebut. Banyaknya kelas dibagi dalam tiga kelas ordo S dan dua kelas dalam ordo N, yaitu: Kelas S1: Sangat sesuai, artinya lahan tidak mempunyai pembatas yang besar untuk pengelolaan yang diberikan, atau hanya mempunyai pembatas yang tidak secara nyata berpengaruh terhadap produksi dan tidak akan menaikkan masukan yang telah biasa diberikan. Kelas S2: Cukup sesuai, artinya lahan mempunyai pembataspembatas yang agak besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produk atau keuntungan dan meningkatkan masukan yang diperlukan. Kelas S3: Sesuai marjinal, artinya lahan mempunyai pembataspembatas yang besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi dan keuntungan atau lebih meningkatkan masukan yang diperlukan. Kelas N1: Tidak sesuai pada saat ini, artinya lahan mempunyai pembatas yang lebih besar, tetapi masih memungkinkan untuk diatasi dengan modal yang lebih besar dan tidak bisa diperbaiki dengan modal normal. Keadaan pembatas sedemikian besarnya, sehingga mencegah penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang.
12
Kelas N2: Tidak sesuai untuk selamanya, artinya lahan mempunyai pembatas
permanen
yang
mencegah
segala
kemungkinan
penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang. 3. Kesesuaian lahan pada tingkat sub-kelas menunjukkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang harus dijalankan dalam masing-masing kelas. Setiap kelas dapat terdiri dari satu atau lebih sub-kelas, tergantung dari jenis pembatas yang ada. Jenis pembatas yang ada ini ditunjukkan dengan simbol huruf kecil yang ditempatkan setelah simbol kelas. Contohnya kelas S2 yang mempunyai pembatas kejenuhan basa (n) menjadi sub-kelas S2n. Dalam satu sub-kelas dapat mempunyai satu atau lebih simbol pembatas, dimana pembatas yang paling dominan ditulis paling depan. 4. Kesesuaian lahan pada tingkat unit menunjukkan perbedaanperbedaan besarnya faktor penghambat yang berpengaruh dalam pengelolaan suatu sub-kelas. Pemberian simbol dalam tingkat unit dilakukan dengan penambahan angka-angka yang dipisahkan oleh strip dari simbol sub-kelas, contohnya S3r-2. Unit dalam satu subkelas jumlahnya tidak terbatas. 2.6
Boundary Line Methods Boundary line methods adalah metode penarikan batas, dimana garis
pembungkus dari diagram sebar menunjukkan hubungan antara produksi dan kualitas lahan. Garis tersebut membatasi data aktual lapang, sehingga sangat kecil peluangnya akan ditemukan data di luar garis tersebut. Garis batas ini menggambarkan hasil yang dapat terjadi pada produksi optimum dengan faktorfaktor pertumbuhan tertentu dan dapat digunakan untuk menetapkan kualitas lahan yang sesuai untuk mendapatkan produksi yang optimum. Diagram sebaran hasil yang direncanakan untuk mengatasi faktor pertumbuhan tanaman umumnya mencapai puncak pada tingkat optimum dari faktor pertumbuhan tertentu, dimana garis pembatas memisahkan data dari situasi nyata dan tidak nyata. Penggambaran seperti ini sangat bermanfaat dalam mendiagnosa kemungkinan perolehan produksi maksimum yang konsisten dengan nilai apapun dari faktor pertumbuhan tertentu yang dapat ditentukan (Walworth et al., 1986).
13
2.7
Metode Pembatasan Minimum Keseluruhan sifat fisik yang sesuai dari area lahan untuk tipe penggunaan
lahan diambil dari yang paling membatasi kualitas lahan, yaitu kualitas lahan yang nilainya paling buruk. Metode ini memiliki keuntungan yaitu sederhana. Mengacu pada Hukum Minimum (Law of the minimum) Liebig bahwa jika tingkat kualitaskualitas lahan tergambar menurut suatu standar satuan pengurangan hasil dan faktor-faktor hasil ini tidak saling berhubungan (Alvyanto, 2010), maka dengan metoda ini akan diperoleh kelas yang sesuai. Praktek FAO secara umum, S1 sesuai untuk 80-100% dari hasil yang optimum, S2 pada 60-80%, dan S3/N pada 25-60%. Tetapi beberapa faktor fisik tidak mempengaruhi hasil, mereka hanya membuat pengelolaan menjadi lebih sulit. Kerugiannya adalah metoda ini tidak membedakan antara area lahan dengan beberapa pembatas dan hanya memiliki satu pembatas, selama pembatas maksimum sama (FAO, 1976 dalam Rossiter, 1994).