II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kajian Terdahulu Kedelai Edamame Edamame yang memiliki nama latin Glycin max(L)Merrill
atau yang
biasa disebut sebagai kedelai jepang. merupakan jenis tanaman sayuran yang bentuknya hampir sama dengan tanaman kacang kedelai, namun terdapat perbedaan yaitu ukuran edamame yang lebih besar dibandingkan dengan kacang kedelai biasa. Edamame biasa dikonsumsi dalam bentuk polongan yang sudah direbus. Tanaman edamame merupakan jenis tanaman semusim yang memiliki bentuk semak rendah, tegak, berdaun lebat. Tinggi tanaman edamame berkisar antara 30 sampai dengan 50 cm. Jenis tanaman edamame yang pernah dikembangkan di Indonesia yaitu jenis Ocumani, Tsuronoko, Tsurumidori, Taiso, dan Ryokkoh (Samsu 2001). Ada beberapa penelitian terdahulu mengenai edamame diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Feifi (2008) yang mengkaji mengenai kajian manajemen rantai pasokan pada produk dan komoditas kedelai edamame di PT Saung Mirwan. Rantai pasok edamame yang terjalin di PT Saung Mirwan terdiri dari mitra tani, PT Saung Mirwan, dan retailer. Pola aliran produk dan komoditas edamame, pertama dimulai dari petani yang bertindak sebagai pemasok, yang membudidayakan tanaman edamame. Selanjutnya hasil panen yang ada di petani dikirim ke PT Saung Mirwan. Selanjutnya melakukan proses sortasi, pengemasan dan penyimpanan dilakukan oleh PT Saung Mirwan. Proses selanjutnya adalah PT Saung Mirwan langsung mendistribusikan produknya ke customer, sekaligus PT Saung Mirwan berperan sebagai distributor. Nilai tambah terbesar pada rantai pasok produk dan komoditas edamame adalah yang diterima oleh PT Saung Mirwan 24,1 persen untuk edamame curah dan 28,09 persen untuk edamame dalam kemasan. Selanjutnya retailer mendapatkan nilai tambah sebesar 10-20 persen. Penelitian selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan Fadholi (2005) yang mengkaji mengenai pelaksanaan kemitraan antara PT. Saung Mirwan dengan mitra tani edamame di Desa Sukamanah, Kecamatan Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Fadholi (2005) melakukan evaluasi terhadap jalannya kemitraan yang dilakukan oleh PT. Saung Mirwan dengan mitra tani edamame. 23
Fadholi (2005) menyatakan bahwa, kemitraan yang dilakukan oleh PT. Saung Mirwan dengan mitra tani edamame adalah jenis kemitraan Prima Madya. Kemitraan prima madya merupakan kemitraan yang terjadi dalam jangka menengah dan panjang. Kemitraan ini memiliki sistem dimana pihak inti hanya berperan dalam menampung hasil panen, memberikan bimbingan teknis dan melakukan penyuluhan. Berdasarkan analisis tingkat kepuasan yang diteliti oleh Fadloli (2005), tingkat kepuasan mitra tani edamame dalam melakukan kemitraan dengan PT Saung Mirwan hasilnya belum sepenuhnya memuaskan mitra tani edamame. Alasan sebagian petani kurang merasa puas, dikarenakan kualitas benih yang kurang bermutu, kurangnya bantuan dalam penanggulangan hama pengganggu tanaman, dan penetapan standar produksi pada pelayanan pasca panen yang fluktuatif. Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya tentang edamame adalah dari segi tempat penelitian yaitu di PT Saung Mirwan dan objek yang dikaji yaitu komoditi edamame, sedangkan perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya tentang edamame yaitu dari sisi pembahasan. Penelitian ini lebih menitikberatkan untuk melihat tingkat efisiensi usahatani petani mitra PT Saung Mirwan dalam melakukan kegiatan budidaya edamame. 2.2. Kajian Terdahulu Pendapatan Usahatani dan Kemitraan Praktek kegiatan kemitraan di sektor pertanian sudah banyak dilakukan, seperti yang diungkapkan oleh Aryani (2005) yang melakukan penelitian tentang pengaruh kemitraan terhadap pendapatan usahatani yang terjalin antara PT. Garuda Food dengan petani kacang tanah di Desa Palangan, Situbondo, Jawa Timur. Alat analisis yang dipergunakan adalah analisis deskriptif dan analisis pendapatan usahatani. Aryani menjelaskan bahwa praktek kemitraan antara PT. Garuda Food dengan petani kacang tanah sudah berlangsung lama. Kemitraan ini dilengkapi dengan suatu perjanjian antara PT. Garuda Food dengan petani mitra. Kontrak tersebut berisi mengenai harga beli yang ditentukan PT. Garuda Food, penggunaan bibit, dan waktu panen. PT. Garuda Food menekankan kepada petani untuk menggunakan bibit jenis Garuda 2, dan Gajah. Sedangkan untuk waktu panen PT. Garuda Food memberikan arahan kepada petani untuk memanen pada 24
umur 90-100 hari setelah tanam. Harga yang ditetapkan oleh PT. Garuda Food untuk dibayarkan kepada petani adalah sebesar Rp 6.730. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Aryani (2005) disimpulkan bahwa praktek kemitraan antara PT. Garuda Food dengan petani mitra kacang tanah di Desa Palangan merupakan praktek kemitraan yang saling menguntungkan kedua belah pihak dan saling memberikan manfaat bagi keduanya. Selain itu kesimpulan lainnya adalah pendapatan usahatani petani mitra PT. Garuda Food lebih besar daripada petani non mitra. Hal ini karena dipengaruhi perbedaan harga beli antara kacang tanah petani mitra yang dibeli oleh PT. Garuda Food dengan petani non mitra yang dibeli oleh tengkulak. Selain itu perbedaan juga dipengaruhi waktu panen. Waktu panen petani mitra yang lebih lama dibandingkan petani non mitra menyebabkan produksi kacang tanah lebih besar dibanding petani non mitra. Kajian mengenai kemitraan yang dihubungkan dengan pendapatan usahatani juga dilakukan oleh Prastiwi (2010) dengan topik evaluasi kemitraan dan analisis pendapatan usahatani ubi jalar Kuningan dan ubi jalar Jepang pada PT Galih Estetika. Alat analisis dipergunakan adalah Index Performance Analysis (IPA), analisis pendapatan usahatani, dan analisis R/C rasio. Petani yang dijadikan sampel terdiri dari 30 orang dengan rincian 15 orang petani mitra ubi jalar Kuningan dan 15 orang petani mitra ubi jalar Jepang. Hasil yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh Prastiwi (2010) adalah kemitraan yang terjalin antara PT Galih Estetika dengan petani ubi jalar menggunakan pola Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA), namun dengan menerapkan sistem jual beli biasa bukan dengan sistem bagi hasil. Prastiwi (2010) juga melakukan analisis terhadap pendapatan usahatani petani ubi jalar Kuningan dan juga petani ubi jalar jepang. Hasil dari analisis pendapatan usahatani tersebut adalah pendapatan usahatani ubi jalar kuningan memberikan pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan tunai yang lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan usahatani ubi jalar jepang. Pendapatan atas biaya tunai usahatani ubi jalar Kuningan yaitu sebesar Rp 10.664.078 per Ha per musim tanam, sedangkan pendapatan atas biaya tunai ubi jalar jepang yaitu sebesar Rp 4.975.497 per hektar per musim tanam. Selain itu nilai R/C rasio 25
terhadap biaya tunai untuk usahatani ubi jalar kuningan adalah sebesar 3,104, sedangkan nilai R/C rasio untuk ubi jalar jepang adalah sebesar 1,645. Jika dilihat dari kedua nilai R/C rasio, maka usahatani ubi jalar jepang dan ubi jalar kuningan dikatakan layak. Hal yang sama juga dilakukan oleh Damayanti (2009) yang melakukan penelitian mengenai keberhasilan pelaksanaan kemitraan antara petani semangka di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah dengan CV Bimandiri
dalam
meningkatkan pendapatan petani. Alat analisis yang digunakan adalah analisis pendapatan usahatani, analisis deskriptif, analisis R/C rasio dan Uji MannWhitney. Petani yang dijadikan sampel terdiri dari 15 orang petani mitra dan 15 orang petani non mitra. Pelaksanaan kemitraan antara CV Bimandiri dengan petani semangka di Kabupaten Kebumen disertai dengan adanya hak dan kewajiban. Kewajiban yang harus dilakukan oleh petani adalah menanam komoditi semangka yang nantinya dijual kepada CV Bimandiri, sedangkan hak yang dimiliki oleh petani adalah mendapatkan harga jual yang layak sesuai dengan kesepakatan. Sementara itu CV Bimandiri juga memiliki kewajiban memberikan penyuluhan kepada petani dan melakukan pembayaran terhadap semangka yang dibeli dari petani, sedangkan hak dari CV Bimandiri adalah mendapatkan pasokan buah semangka secara kontinu. Selain memaparkan mengenai pelaksanaan kemitraan, Damayanti (2009) juga memaparkan mengenai analisis pendapatan usahatani. Ia membandingkan pendapatan usahatani petani mitra dan petani non mitra. Hasil dari analisis pendapatan usahatani tersebut adalah pendapatan usahatani petani mitra atas biaya total lebih besar dibandingkan dengan yang didapat oleh petani non mitra. Petani mitra memperoleh pendapatan atas biaya total sebesar Rp 5.935.667, sedangkan petani non mitra memperoleh pendapatan atas biaya total sebesar Rp 2.430.733. Perbedaan ini disebabkan oleh harga jual yang diterima petani mitra lebih tinggi dibandingkan dengan petani non mitra. Damayanti juga melakukan penghitungan nilai R/C rasio. nilai R/C rasio terhadap biaya total untuk petani mitra adalah sebesar 1,85, sedangkan untuk petani non mitra sebesar 1,4. Nilai R/C rasio dari kegiatan usaha budidaya baik
26
untuk petani mitra maupun non mitra dapat dikatakan layak, karena nilai R/C nya lebih dari 1. Penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian terdahulu yang membahas tentang kemitraan dan pendapatan usahatani. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah dari segi objek dan tempat penelitian, sedangkan persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah dari segi penggunaan alat analisis atau metode yang dipergunakan yaitu menggunakan analisis pendapatan usahatani dan R/C Rasio. 2.3. Kajian Terdahulu Fungsi Produksi Stochastic Frontier dan Efisiensi Teknis Penelitian mengenai efisiensi teknis suatu usahatani telah banyak dilakukan seperti penelitian yang dilakukan oleh Khotimah (2010) yang melakukan penelitian mengenai efisiensi teknis dan pendapatan usahatani ubi jalar di Kecamatan Cilimus Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Hasil estimasi dari parameter Maximum Likelihood untuk fungsi produksi Cobb-Douglass Stochastic Frontier menunjukan bahwa variabel yang berpengaruh nyata terhadap produksi ubi jalar adalah variabel lahan, benih/lahan, tenaga kerja/lahan, pupuk P/lahan, dan pupuk K/lahan, sedangkan variabel pupuk N/lahan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi ubi jalar. Semua variabel yang diestimasi berpengaruh positif terhadap produksi ubi jalar. Tingkat efisiensi teknis rata-rata usahatani ubi jalar adalah 0,75 atau 75 persen dari produksi maksimum, hal ini menunjukan bahwa usahatani ubi jalar di Kecamatan Cilimus telah cukup efisien dan masih terdapat peluang meningkatkan produksi sebesar 25 persen untuk mencapai produksi maksimum. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata dan positif terhadap efek inefisiensi teknis usahatani ubi jalar adalah variabel pengalaman, lama kerja di luar usahatani, dan status kepemilikan lahan. Variabel umur, pendidikan, dan pendapatan di luar usahatani berpengaruh negatif dan nyata terhadap inefisiensi teknis usahatani ubi jalar. Sedangkan variabel penyuluhan berdampak negatif dan tidak nyata terhadap inefisiensi teknis usahatani ubi jalar. Penelitian mengenai efisiensi teknis juga dilakukan oleh Sukiyono (2004) yang mengkaji mengenai analisis fungsi produksi dan efisiensi teknik usahatani 27
cabai di Kecamatan Selupu Rejang, Kabupaten Rejang Lebong. Metode analisis yang dipergunakan adalah dengan menggunakan fungsi produksi stochastik frontier yang diestimasi dengan metode MLE. Berdasarkan hasil analisis terlihat bahwa variabel yang berpengaruh nyata terhadap usahatani cabai dengan menggunakan fungsi produksi stochastik frontier adalah variabel pupuk KCL, pupuk TSP, tenaga kerja, lahan, pestisida dan pupuk kandang, sementara itu variabel urea dan benih tidak berpengaruh nyata. Tingkat efisiensi teknis rata-rata yang dicapai petani adalah 64,68 persen. Tingkat efisiensi teknis yang paling rendah berada pada angka 7,73 persen, sementara tingkat efisiensi teknis yang paling tinggi tercapai pada angka 99,48 persen. Hasil pengujian model inefisiensi menunjukkan bahwa hanya variabel pendidikan yang berpengaruh nyata, sedangkan variabel umur dan pengalaman tidak berpengaruh nyata. Aisah (2003) juga melakukan penelitian mengenai efisiensi teknis terhadap komoditi hortikultura dengan judul analisis pendapatan dan efisiensi teknis usahatani tomat di Sukabumi, Jawa Barat. Penghitungan efisiensi teknis dilakukan dengan menggunakan analisis fungsi produksi stochastic frontier. Hasil analisis fungsi produksi stochastic frontier menunjukkan variabel lahan, benih per hektar, pupuk TSP per hektar, pupuk KCL per hektar, pupuk ZA per hektar, fungisida per hektar, insektisida per hektar dan tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap produksi tomat, sementara variabel pupuk urea dan pupuk kandang tidak berpengaruh nyata terhadap produksi tomat. Hasil analisis efisiensi teknis para petani tomat yang dijadikan responden menunjukkan nilai sebesar 0,71. Adapun untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi dalam usahatani tomat dilakukan pengujian model inefisiensi. Hasil pengujian model inefisiensi menunjukkan variabel umur petani berpengaruh nyata dan bernilai positif, sementara itu variabel banyaknya hari petani bekerja di luar usahatani dan penyuluhan menunjukkan nilai yang negatif, namun berpengaruh nyata terhadap produksi tomat. Variabel lain seperti pekerjaan istri, pendapatan total di luar usahatani, pendidikan dan pengalaman tidak berpengaruh nyata. Penelitian mengenai efisiensi usahatani juga dilakukan oleh Podesta (2009) dengan topik pengaruh penggunaan benih sertifikat terhadap efisiensi dan 28
pendapatan usahatani padi pandan wangi. Fungsi produksi stochastic frontier yang dilakukan dengan dua tahap yaitu tahapan dengan menggunakan OLS (Ordinary Least Squares) dan tahapan kedua dengan metode MLE (Maximum Likelihood). Variabel yang dipergunakan terdiri dari tujuh variabel independen penduga dalam fungsi produksi ini yaitu luas lahan, benih, pupuk N, pupuk P, pupuk K, obat cair dan tenaga kerja. Variabel yang berpengaruh nyata terhadap produksi padi bagi petani benih sertifikat yaitu hanya pupuk P. Sementara itu, hanya variabel tenaga kerja yang berpengaruh nyata bagi petani benih non sertifikat. Hasil analisis fungsi produksi dan efisiensi menunjukkan bahwa baik usahatani padi Pandan Wangi benih sertifikat maupun non sertifikat telah efisien secara teknis. Hal ini tercermin dari rata-rata nilai efisiensi teknis usahatani padi pandan wangi benih sertifikat dan non sertifikat maisng-masing sebesar yaitu 0,967 dan 0,713. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi tingkat inefisiensi teknis usahatani padi pandan wangi meliputi usia, pendidikan formal, pengalaman, umur bibit dan dummy status usahatani serta dummy pendidikan non formal. Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya mengenai efisiensi usahatani adalah dari segi penggunaan metode analisis yang dipergunakan. Penelitian ini menggunakan metode analisis fungsi produksi stochastic frontier, analisis efisiensi dan inefisiensi teknis serta melakukan analisis efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi, sedangkan perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya tentang efisiensi usahatani yaitu dari sisi lokasi penelitian dan objek yang dikaji. Berikut adalah Tabel 4 dan Tabel 5 yang menyajikan penelitian terdahulu yang dijadikan sebagai tinjauan pustaka pada penelitian ini dan ringkasan penelitian terdahulu mengenai efisiensi teknis usahatani.
29
Tabel 4. Daftar Penelitian Terdahulu yang Terkait dengan Topik Penelitian No.
Topik Bahasan
1.
Edamame
2. Pendapatan Usahatani dan Kemitraan
Nama Feifi (2008) Fadholi (2005) Aryani (2005) Prastiwi (2010) Damayanti (2009) Khotimah (2010)
3.
Efisiensi Usahatani
Sukiyono (2004) Aisah (2003) Podesta (2009)
Judul Kajian Manajemen Rantai Pasokan Kedelai Edamame di PT. Saung Mirwan Pelaksanaan Kemitraan antara PT. Saung Mirwan dengan Mitra Tani Edamame Pengaruh Kemitraan Terhadap Pendapatan Usahatani kacang tanah di Desa Palangan Evaluasi Kemitraan dan Analisis Pendapatan Usahatani Ubi Jalar Kuningan dan Ubi Jalar Jepang pada PT Galih Estetika Keberhasilan Pelaksanaan Kemitraan Antara Petani Semangka di Kabupaten Kebumen Efisiensi Teknis dan Pendapatan Usahatani Ubi Jalar di Kecamatan Cilimus Kabupaten Kuningan Jawa Barat Analisa Fungsi Produksi dan Efisiensi Teknik Usahatani Cabai di Kecamatan Selupu Rejang, Kabupaten Rejang Lebong Analisis Pendapatan dan Efisiensi Teknis Usahatani Tomat di Desa Karawang, Sukabumi, Jawa Barat Pengaruh Penggunaan Benih Sertifikat Terhadap Efisiensi dan Pendapatan Usahatani Padi Pandan Wangi
Alat Analisis DEA, AHP, Deskriptif Deskriptif, Thurstone, Importance Performance Analysis deskriptif dan pendapatan usahatani IPA, pendapatan usahatani, dan R/C rasio pendapatan usahatani, deskriptif, R/C rasio dan Uji Mann-Whitney analisis fungsi produksi stochastic frontier, efisiensi dan inefisiensi teknis, dan pendapatan usahatani Analisis fungsi produksi Cobb Douglas dan fungsi produksi stochastik Frontier analisis fungsi produksi stochastic frontier, efisiensi dan inefisiensi teknis, dan pendapatan usahatani analisis fungsi produksi stochastic frontier, efisiensi alokatif, efisiensi ekonomi dan pendapatan usahatani
30
Tabel 5. Penelitian Terdahulu yang Terkait dengan Efisiensi Teknis Usahatani Peneliti (Tahun) Khotimah (2010)
Komoditas
TE
Ubi jalar
0,75
Sukiyono (2004)
Cabai
0,65
Aisah (2003)
Tomat
Podesta (2009)
Padi pandan wangi
Keterangan :
* *** *****
Faktor yang mempengaruhi Produksi Lahan (+) ** Bibit/Lahan (+) ** Tenaga Kerja/Lahan (+)*** Pupuk N/Lahan (+) Pupuk P/Lahan (+) ** Pupuk K/Lahan (+)*****
Faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Umur (-) ** Pengalaman (+) *** Pendidikan (-)***** Lama kerja di luar usahatani (+) *** Pendapatan di luar usahatani (-) ** Status kepemilikan lahan (+) ***** Penyuluhan (-) Umur (-) Pendidikan (+) * Pengalaman (-)
Urea (+) TSP (-) * KCL (+) * Pupuk kandang (+) * Tenaga Kerja (-) * Benih (+) Lahan (+) * Pestisida (+) * 0,71 Lahan (+)** Umur (+)*** Benih/lahan (+)** Pekerjaan di luar usahatani (-) * TSP/lahan (+)** Penyuluhan (-) ** KCL/lahan (+)** ZA/lahan (+)** Pestisida/lahan (+)** TK/lahan(+)*** PWS PWS : Umur (-) = 0,96 Benih/lahan (+) Pendidikan Formal (-) PWNS Pupuk N/lahan (+) Pengalaman (+) = 0,71 Pupuk P/lahan (+) **** Umur bibit (-) Tenaga Kerja/lahan (+) Dumy status usahatani PWNS : (+) Benih/lahan (+) Dumy pendidikan non Pupuk P/lahan (+) formal (-) **** Tenaga kerja/lahan (+) **** = nyata pada α = 1% ** = nyata pada α = 5% = nyata pada α = 10% **** = nyata pada α = 15% = nyata pada α = 25%
16