II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jamur Merang Jamur merang (Volvariella volvaceae) termasuk dalam kingdom Mycetae, Divisi Amastigomycota dan sub divisi Basidiomycotina, kelas Basidiomycetes, subkelas
Holobasidiomycetes,
ordo
Agaricales,
famili Plutaceae,
genus
Volvariella dan species Volvariella volvaceae (Sinaga, 2000). Warna tudung jamur merang bermacam-macam yaitu putih bersih, abu-abu dan hitam. Perbedaan warna ini disebabkan oleh bibit yang berbeda, pengaruh penyinaran dan sirkulasi udara. Jamur dengan warna tudung hitam lebih banyak diminati pasar ekspor. Jamur merang merupakan salah satu jamur yang dapat tumbuh pada temperatur yang cukup tinggi. Pertumbuhan vegetatif pada suhu 32-340C, dimana jamur ini tumbuh dengan cepat dalam waktu sekitar 8-10 hari mulai dari pembenihan hingga panen (Chang et al., 2004). Berbagai macam sumber selulosa dapat digunakan sebagai media tumbuh jamur merang, namun Volvariella volvaceae tetap dikenal dengan nama jamur merang.
Media yang dapat
digunakan untuk menumbuhkan jamur merang adalah tumpukan merang, limbah kapas, sorgum, gandum, jagung, tembakau, limbah sayuran, ampas tebu, sabut kelapa, daun pisang, eceng gondok, ampas sagu, atau serbuk gergaji (Sinaga, 2000). Selain itu menurut Widiyastuti (2007) juga bisa menggunakan ampas aren atau kardus bekas.
2.2. Fase Pertumbuhan dan Umur Panen Jamur Merang Pertumbuhan basidiokarp jamur merang secara kasar dibagi menjadi 6 tahap yaitu jarum pentul (pinhead) yang merupakan tahap awal pertumbuhan jamur, kancing kecil (tiny button), kancing (button) yang masih berbentuk bulat kecil. Kemudian dilanjutkan dengan fase telur (egg), yang mulai berbentuk oval, dilanjutkan dengan pemanjangan (elongation), dan dewasa (mature). Pada fase dewasa, jamur sudah berupa volva, stripe, dan pileus (Sinaga, 2000). Bentukbentuk fase pertumbuhan jamur merang dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Fase perkembangan jamur merang, yaitu (A) fase kancing, (B) fase telur, (C) fase pemanjangan, dan (D) fase dewasa Jamur merang sudah dapat dipanen setelah berumur 10-14 hari sejak tanam. Panen dilakukan setiap hari hingga tanaman berumur sebulan. Namun setelah panen 4-5 kali, diistirahat selama 2-3 hari sebelum dipanen kembali (Suharjo, 2007).
Pemanenan jamur merang umumnya dilakukan
sebelum fase
pemanjangan atau pada fase kancing (Sinaga, 2000), namun pemanenan pada fase telur akan mendapatkan aroma paling baik dan paling tepat untuk pemasaran (Stamet, 1993). Jamur merang pada fase telur berukuran sebesar telur burung puyuh hingga sebesar telur ayam dengan berat per buah sekitar 10-150 gram. Pemanenan jamur merang sangat mudah tetapi harus dilakukan secara hati-hati menggunakan tangan atau pisau tajam yang tidak berkarat setelah dicuci dengan alkohol. Keberhasilan pemasaran sangat ditentukan oleh penanganan pascapanen yang tepat, karena akan dapat mempertahankan karakteristik jamur merang supaya tetap segar hingga ke konsumen dan tahan lama. Saat yang paling tepat untuk memanen jamur merang adalah pada fase kancing dan fase telur karena lebih disukai oleh konsumen. Kandungan gizi jamur merang dapat dilihat pada Tabel 1.
5
Tabel 1 Hasil analisis nutrisi jamur merang di Laboratorium Food and Nutrition Research Institute Philipine Kandungan gizi per 100 g jamur merang Air (%) Energi (kal) Protein (g) Lemak (g) Total karbohidrat (g) Serat (g) Abu (g) Kalsium (g) Fosfor (mg) Besi (mg) Thiamin (mg) Riboflavin (mg) Niacin (mg) Asam askorbat (mg)
Kondisi segar 87.7 39.0 3.8 0.6 6.0 1.2 1.0 3.0 94.0 1.7 0.11 0.17 8.3 8.0
Dikeringkan pada 105⁰C 14.9 274.0 16.0 0.9 64.6 4.0 3.6 51.0 223.0 6.7 0.09 1.06 19.7 -
Sumber : Julianti (1997)
Standar mutu jamur yang sesuai dengan SNI 01-6945-2003, mencakup ciri khas jamur merang seperti pada Tabel 2. Tabel 2 Ciri khas kultivar jamur merang segar (Volvariella volvaceae) No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Komponen Ukuran Bobot (g) Bentuk Kulit Warna Daging Aroma
Ciri Khas Kecil sampai besar 100 – 400 Bulat atau lonjong dan tidak bertangkai Halus, berbulu tipis Putih bersih Tebal Tidak bau
Sumber : SNI 01-6945-2003
2.3. Perubahan Fisiologis Lepas Panen Jamur Merang Jamur merang setelah panen akan mengalami perubahan-perubahan yang dapat menurunkan mutunya, terutama bila penanganannya kurang tepat atau kurang hati-hati.
Jamur merang, memiliki kandungan air yang sangat tinggi
sehingga bersifat mudah rusak atau perishable. Perubahan-perubahan yang dapat terjadi adalah pengerutan, pemekaran, pencoklatan (browning), berair, kehilangan air, perubahan tekstur, aroma dan flavor. Perubahan-perubahan tersebut dapat terjadi karena proses metabolisme, 6
reaksi-reaksi kimia, atau pertumbuhan mikroorganisme kontaminan yang terus berlangsung dalam jaringan selama penyimpanan/pasca panen. Perubahan-perubahan tersebut didahului oleh peningkatan laju respirasi, dan penghentian suplai nutrien yang akan mempercepat sejumlah reaksi yang irreversibel sehingga akan menyebabkan kerusakan pada jamur (Cho et al., 1982).
Proses Respirasi Respirasi merupakan metabolisme penting yang harus diperhatikan pada jamur merang segar, karena akan terus berlangsung setelah proses pemanenan. Pada proses respirasi, terjadi perubahan-perubahan pada kandungan nutrisi jamur merang yang akan mengakibatkan perubahan fisiknya pula. Respirasi merupakan pemecahan senyawa kompleks, terutama pati menjadi molekul sederhana seperti karbondioksida, air, dan energi, serta terjadinya kehilangan substrat. Besar kecilnya respirasi dapat diukur dengan menentukan jumlah substrat yang hilang, O2 yang digunakan, CO2 yang dikeluarkan, panas yang dihasilkan, dan energi yang timbul (Pantastico,1986).
Metabolisme ditujukan untuk memenuhi
keperluan-keperluan yang dibutuhkan oleh bahan pangan tersebut agar dapat melangsungkan kehidupan pasca panennya, terutama dalam bentuk energi. Laju respirasi produk segar merupakan indikator yang baik terhadap aktivitas metabolisme jaringan dan merupakan pedoman potensi masa simpan produk segar (Pantastico, 1986). Makin cepat laju respirasinya berarti makin cepat pula terjadi pemecahan senyawa kompleks yang menandakan semakin cepatnya terjadi penurunan mutu jamur merang.
Laju respirasi jamur merang pada beberapa
tingkat suhu disajikan pada Tabel 3.
Nilai RQ jamur merang lebih dari 1,
menunjukkan bahwa respirasi yang terjadi menggunakan substrat yang mengandung O2, yaitu asam-asam organik. Tabel 3 Laju respirasi dan nilai RQ jamur merang Suhu (⁰C) 10 28
Laju respirasi (ml/kg-jam) Produksi CO2 Konsumsi O2 40.111 26.065 480.808 345.500
Sumber : Julianti, 1997
7
RQ 1.54 1.39
Perubahan Kadar Air Jamur merang memiliki kandungan air yang tinggi yaitu sekitar 87,7%. Laju respirasi yang cepat akan menyebabkan kehilangan air yang cepat pula. Laju kehilangan air tergantung pada 1) struktur dan kondisi jamur, 2) suhu dan RH lingkungan, dan 3) gerakan udara dan tekanan udara. Evaporasi terjadi lebih lambat pada fase kancing, kemudian meningkat pada fase berikutnya dan paling cepat pada saat pemekaran tudung (Cho et al., 1982). Pengaruh utama kehilangan air adalah susut bobot yang memperlihatkan ciri fisik terjadinya pelayuan dan pengerutan, dengan tekstur yang liat. Pemekaran Tudung Aktivitas metabolisme yang terus terjadi pada jamur merang setelah panen akan mengakibatkan mekarnya tudung, yang akan menyebabkan peningkatan kadar protein dan lemak serta penurunan nilai energi. Pemekaran tudung pada jamur merang adalah hal yang harus dihindari, karena dapat menurunkan mutu yang sekaligus menurunkan harga jualnya.
Perubahan Warna Perubahan warna pada jamur merang adalah salah satu parameter yang paling menentukan mutu.
Perubahan warna dapat disebabkan akibat reaksi
pencoklatan enzimatis atau pertumbuhan bakteri pembusuk seperti Pseudomonas tolasii (Julianti, 1997).
Proses pengupasan, pencucian, adanya kerusakan
mekanis, dan senesensi juga mempengaruhi perubahan warna pada jamur merang. Jamur merang yang disimpan pada suhu kamar akan cepat mengalami perubahan warna menjadi coklat (Julianti, 1997). Pada jamur terdapat enzim polifenol oksidase, sehingga kehadiran 02 dan substrat akan mengkatalisa oksidasi komponen fenolik menjadi quinon yang berwarna coklat, kemudian bergabung dengan asam amino derivatif membentuk kompleks melanoidin yang berwarna coklat dan disebut dengan pencoklatan enzimatis. Reaksi ini dapat dikontrol dengan penginaktifan enzim oleh panas, S0 2 atau perubahan pH akibat penambahan asam (Cho et al., 1982).
Reaksi
pencoklatan pada jamur dapat dikontrol dengan penyimpanan pada suhu rendah (Julianti, 1997). 8
Penyimpangan Bau Oksidasi lemak yang terjadi karena kehadiran asam-asam lemak tak jenuh pada jamur merang dapat menyebabkan penyimpangan bau. Hal yang sama juga dapat diakibatkan oleh oksidasi protein dan berkembangnya mikroorganisme pembusuk (Cho et al., 1982). 2.4. Pembekuan Pembekuan merupakan proses menghilangkan panas pada produk pangan dan mempertahankan suhu penyimpanannya di bawah titik beku. Pembekuan memiliki pengaruh yang menguntungkan pada produk pangan, yaitu dengan penurunan suhu akan memperlambat reaksi biokimia serta menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen yang menyebabkan penurunan mutu, seperti reaksi oksidasi lemak, denaturasi protein, atau aktivitas enzim hidrolitik (Tucker, 2008). Perubahan nutrisi dan kualitas organoleptik pada produk pangan akan sangat kecil dengan melakukan pembekuan.
Pembekuan juga dapat
mengurangi penggunaan bahan pengawet untuk memperpanjang umur simpan, karena mampu mencegah perkembangan mikroorganisme (Evans, 2008). Prinsip pembekuan adalah memindahkan air dari matriks produk pangan dengan membentuk kristal es. Kristal es yang terdapat dalam jaringan produk pangan akan menyebabkan air sisa yang tidak membeku akan meningkat konsentrasinya dengan padatan terlarut, sehingga dapat menurunkan Aw. Sebagian besar mikroorganisme tidak dapat hidup pada Aw di bawah 7,0 (Evans, 2008). Pada proses pembekuan kandungan air produk pangan mengalami perubahan bentuk menjadi kristal-kristal es, yang mengakibatkan peningkatan konsentrasi sehingga dapat menurunkan aktivitas air (Aw) pada produk pangan (Fellows, 2000).
Pengawetan pada bahan pangan dapat dicapai dengan
menggabungkan suhu rendah dan menurunkan Aw. Proses pembekuan membutuhkan energi untuk digunakan dalam perubahan fase dari air menjadi es, yang sering disebut dengan panas laten kristalisasi. Yang paling penting dalam pembekuan adalah laju pembekuan yang digunakan untuk menghilangkan panas pada produk pangan dalam waktu yang sesingkat mungkin. Pada bahan pangan segar, panas dari respirasi juga harus diperhitungkan. Pada bahan pangan yang banyak mengandung air, memiliki panas spesifik sebesar 9
4200J kg-1 K-1 dan panas laten sebesar 335 kJ kg-1 (Fellows, 2000). Pindah panas pada bahan pangan umumnya secara konveksi, yaitu pindah panas antara udara pembeku dengan permukaan bahan pangan Proses pembekuan dimulai dari permukaan bahan pangan yang langsung berhubungan dengan media pembeku padat (misalnya heat exchanger plates pada suhu -30⁰C hingga -40⁰C, dry ice pada suhu -78,5⁰C, cairan kriogenik nitrogen pada suhu -196⁰C).
Permukaan bahan pangan akan membeku lebih cepat
dibandingkan bagian dalamnya, karena panas pada bagian dalam harus melalui permukaan dengan konduksi (Evans, 2008).
Proses pembekuan sangat
dipengaruhi oleh laju pembekuan bahan pangan, dimana durasi proses pembekuan tergantung pada laju pembekuan (⁰C/menit), sesuai dengan definisi yang dinyatakan oleh International Institute of Refrigeration dalam Thorne (1989), yaitu perbedaan antara suhu awal dan suhu akhir dibagi dengan waktu pembekuan.
Waktu pembekuan adalah waktu yang dibutuhkan dari awal
pembekuan hingga suhu akhir pembekuan tercapai. Laju pembekuan mempengaruhi kualitas bahan pangan, dimana pada laju pembekuan lambat terjadi pertumbuhan kristal es yang lebih cepat dibandingkan dengan pembentukan kristal esnya, sehingga menghasilkan kristal es yang besar dan dapat merusak jaringan bahan pangan. Sedangkan pada laju pembekuan cepat, terjadi pembentukan kristal es yang lebih cepat daripada pertumbuhan kristal esnya, sehingga terbentuk kristal es berukuran kecil, seperti diilustrasikan pada Gambar 2. Pada pembekuan dengan laju yang rendah, kristal es akan terbentuk di daerah interselular, kemudian merusak dan memecah dinding sel yang berdekatan. Air yang berada dalam sel akan keluar menuju kristal es yang membesar, karena es memiliki tekanan uap air yang lebih kecil daripada bahan pangan. Akibat air yang keluar dari dalam sel, menyebabkan sel terdehidrasi dan rusak dengan meningkatnya konsentrasi larutan dan rusaknya dinding sel. Bila bahan pangan beku tersebut di-thawing, sel tidak akan kembali menjadi bentuk dan besarnya semula. Bahan pangan akan menjadi lebih lunak dan bagian dalam sel akan keluar melalui dinding sel yang rusak, yang disebut dengan istilah drip loss.
10
Gambar 2 Pengaruh laju pembekuan terhadap jaringan tanaman (a) pembekuan lambat (b) pembekuan cepat (Sumber : Fellow, 2000) Pada pembekuan cepat, kristal es yang terbentuk berukuran kecil, baik di dalam atau di daerah interselular. Kerusakan fisik sel yang terjadi sangat kecil dan perbedaan tekanan uap air tidak terjadi, sehingga dehidrasi sel yang terjadi juga sangat kecil. Hal tersebut menyebabkan tekstur bahan pangan tetap terjaga dalam kondisi yang baik.
Namun pembekuan yang terlalu cepat dapat
menyebabkan jaringan terbelah atau pecah. Kisaran suhu yang dapat menyebabkan kerusakan permanen berada pada 1⁰C hingga -5⁰C.
Bahan pangan yang melalui proses pembekuan harus
melampaui kisaran suhu tersebut dalam waktu yang relatif cepat.
Untuk
mendapatkan pembentukan kristal es yang kecil, suhu 0⁰C dan -3,9⁰C harus dilampaui dalam waktu kurang dari 30 menit (Evans, 2008). Proses pembekuan secara umum dapat diklasifikasikan berdasarkan laju pembekuannya.
Menurut Alvarest, et al. (1997) laju pembekuan di bawah
0,5˚C/menit termasuk dalam pembekuan lambat, dan 2˚C/menit termasuk dalam laju pembekuan cepat.
Sedangkan menurut Delgado et al. (2005), laju
pembekuan dibagi menjadi 3, yaitu seperti ditampilkan pada Tabel 4.
11
Tabel 4 Klasifikasi laju pembekuan No 1. 2. 3.
Jenis Pembekuan Pembekuan lambat Pembekuan komersial Pembekuan cepat
Laju pembekuan 0,02-0,2˚C/menit 0,2-0,83˚C/menit >0,83˚C/menit
Sumber : Delgado et al. (2005)
Menurut Alvarez, et al. (1997), pembekuan cepat memiliki hasil yang baik pada tekstur kentang, wortel, cranberries, dan blackberries. Pada wortel yang dibekukan secara cepat mampu mempertahankan ketegaran (firmness) dengan lebih baik. Proses pembekuan dilakukan hingga panas di bagian terdalam dari bahan pangan telah hilang atau telah beku. Tahapan proses pembekuan dijelaskan pada Gambar 3. Pada tahap AS, bahan pangan dibekukan hingga di bawah titik beku.
Gambar 3 Grafik waktu dan suhu selama proses pembekuan (Sumber : Fellows, 2000) Pada titik S, air masih berupa larutan, walaupun berada di bawah titik beku (disebut fenomena supercooling) hingga 10⁰C. Pada tahap SB, suhu akan meningkat secara cepat mencapai titik beku dimana kristal es mulai terbentuk dan panas laten kristalisasi dilepaskan. Tahap BC merupakan pelepasan panas dari bahan pangan dengan laju yang sama, panas laten dihilangkan seiring dengan pembentukan es dan suhu mulai stabil.
Tahap CD, larutan mulai jenuh dan
mengkristal. Pada tahap DE, kristalisasi air dan larutan masih terjadi. Waktu yang dibutuhkan (t f) ditentukan oleh laju penghilangan panas. Pada tahap EF, suhu es akan turun hingga mencapai suhu freezing. 12
Pada suhu pembekuan
komersil, terdapat sejumlah air yang tidak membeku, yang jumlahnya tergantung pada jenis dan komposisi bahan pangan, serta suhu penyimpanan (Fellows, 2000). Bahan pangan segar memiliki kandungan air dan titik beku yang berbedabeda tiap komoditas, seperti dapat dilihat pada Tabel 5. Kadar air yang tinggi pada sayuran dan buah menyebabkannya rentan terhadap kristal es yang terbentuk dan thawing, dibandingkan dengan bahan pangan yang lain. Sayuran lebih tahan terhadap pembekuan dibandingkan dengan buah berdasarkan karakteristik yang dimiliki. Tabel 5 Kandungan air dan titik beku pada beberapa bahan pangan Bahan Pangan Sayuran Buah Daging Ikan Susu Telur
Kandungan Air (%) 78 – 92 87 – 95 55 – 70 65 – 81 87 74
Titik Beku (⁰C) -0,8 s/d -2,8 -0,9 s/d -2,7 -1,7 s/d -2,2 -0,6 s/d -2,0 -0,5 -0,5
Sumber : Fellows, 2000
Jaringan buah dan sayuran memiliki struktur sel yang rentan terhadap peningkatan volume kristal es sehingga menyebabkan kerusakan pembekuan yang irreversible.
Kerusakan yang terjadi pada jaringan bahan pangan akibat
pembekuan dapat menyebabkan hilangnya fungsi membran sel, gangguan pada sistem metabolisme, denaturasi protein, perpindahan kandungan air dari intrasel menuju ekstrasel secara tetap, reaksi enzim, dan kerusakan jaringan yang cukup parah. Terdapat 4 jenis kerusakan yang disebabkan oleh pembekuan menurut Sun et al. (2002), yaitu : 1.
Kerusakan dingin (chilling damage), disebabkan karena jaringan kontak dengan suhu dingin.
2. Kerusakan
akibat
konsentrasi
larutan
(solute-concentration
damage),
disebabkan peningkatan konsentrasi larutan pada kandungan air produk segar dan pembentukan kristal es. 3. Kerusakan
dehidrasi
(dehydration
damage),
disebabkan
peningkatan
konsentrasi larutan pada kandungan air produk segar dan perpindahan air secara osmosis dari intrasel. 13
4. Kerusakan mekanik (mechanical damage), disebabkan karena pembentukan kristal es yang berukuran besar dan keras. Sebelum proses pembekuan dilakukan, perlakuan pendahuluan terhadap bahan pangan diperlukan untuk mengurangi kandungan mikroorganisme, menghilangkan bagian yang tidak diperlukan, serta meminimalkan keragaman produk. Perlakuan pendahuluan yang umumnya dilakukan adalah pencucian atau pembersihan, sortasi, grading, atau pengupasan dan pengirisan bila diperlukan. Jenis bahan pembeku yang sering digunakan untuk pembekuan dan titik didihnya disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Jenis bahan pembeku dan titik didihnya. No. 1. 2. 3. 4. 5.
Titik Didih (˚C) -33 -10 8,9 -78,5 -196
Bahan Pembeku Amonia Sulfur dioksida Freon/Dichlorofluorometan Karbondioksida cair/padat (dryice) Nitrogen cair
Sumber : Singh et al., 2005
Amonia, sulfur dioksida, dan freon umum digunakan sebagai bahan pendingin di refrigerator, walaupun penggunaan freon sudah dilarang karena berbahaya. cryogen
Karbondioksida dan nitrogen cair umumnya digunakan sebagai pada
pembekuan
kriogenik
atau
pembekuan
sangat
cepat.
Karbondioksida padat lebih sering digunakan untuk mendinginkan produk beku ataupun produk segar pada suatu kemasan.
Menurut Swain et al. (1999),
pengunaan karbondioksida padat atau dry ice memiliki keuntungan sebagai alternatif pendingin mekanik saat distribusi produk dingin ataupun produk beku.
2.5. Thawing Thawing adalah kebalikan dari proses pembekuan, yaitu penggunaan energi oleh bahan pangan untuk melelehkan kristal es (Evans, 2008).
Thawing
merupakan suatu proses yang kritis, karena selama proses tersebut, suhu bahan pangan akan meningkat sehingga memiliki resiko untuk perkembangan mikroorganisme, namun saat ini thawing banyak dilakukan di akhir rantai pasokan, yaitu dilakukan oleh konsumen di rumah untuk langsung dimasak, sehingga mengurangi resiko bahayanya. 14
Bahan pangan yang di-thawing setelah penyimpanan beku, seharusnya memiliki karakteristik yang tidak berbeda dengan bahan pangan segar. Namun pada bahan pangan yang sangat peka, hal tersebut akan sangat sulit dicapai. Pada komoditas seperti roti, daging, ikan, dan sayuran, kualitas bahan pangan yang sudah di-thawing harus benar-benar dapat dibandingkan dengan bahan pangan segarnya (Evans, 2008) Thawing dapat dilakukan di udara terbuka atau di dalam air, dimana es akan meleleh menjadi lapisan air, dan memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan proses pembekuan (Fellows, 2000). Perubahan suhu pada proses thawing dapat dilihat pada Gambar 4. Pada tahap AB, lapisan air pada permukaan bahan pangan mulai hilang, dan pada BC, terjadi pelelehan kristal es di dalam bahan pangan, yang akan memperlihatkan kerusakan akibat pembekuan lambat, yaitu keluarnya cairan sel atau drip loss.
Gambar 4 Perubahan suhu selama thawing (Sumber : Fellows, 2000) 2.6. Perubahan Akibat Pembekuan Perubahan Fisik Perlakuan pembekuan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang mempengaruhi kualitas bahan pangan.
Perubahan yang dapat terjadi adalah
perubahan sifat fisik dan kimiawi, sehingga mempengaruhi kualitas bahan pangan beku. Perubahan fisik yang terjadi adalah : 1. Warna 2. Peningkatan volume 15
3. Perubahan bobot 4. Freeze burn 5. Sifat fungsional, seperti tekstur, konsistensi, appearance, sifat organoleptik, dan water holding capacity Perubahan Kimiawi Perubahan kimiawi juga dapat terjadi pada proses pembekuan, yaitu : 1. Terjadinya ketengikan pada bahan pangan yang berlemak 2. Kehilangan warna 3. Kehilangan flavor dan aroma 4. Kehilangan vitamin 5. Denaturasi protein
2.7. Dry ice/Karbondioksida Padat Dry ice atau es kering merupakan karbondioksida (CO2) yang berbentuk padat, merupakan salah satu refrigeran yang umum digunakan, selain nitrogen dan karbondioksida cair.
Dry ice memiliki titik didih yang cukup rendah, yaitu
-78,5⁰C dan langsung menyublim menjadi gas CO2, sehingga tidak menyisakan cairan seperti es batu ketika meleleh. Sifat-sifat beberapa bahan pembeku seperti pada Tabel 7. Tabel 7 Sifat-sifat bahan pembeku Sifat Densitas (kg m ) Panas spesifik (kJ kg-1 K-1) Panas laten (kJ kg-1) Total penggunaan untuk pendinginan (kJ kg-1) Titik didih (˚C) Termal konduktivitas (W m-1 K-1) Konsumsi /100g produk beku (g) -3
Nitrogen cair 784 1.04 358 690
Karbondioksida 464 2.26 352 565
-196 0.29 100 - 300
-78.5(sublimasi) 0.19 120 – 375
Sumber : Sigh et al., 2005
Dry ice merupakan produk sampingan yang dihasilkan oleh industri yang menghasilkan amonia dan nitrogen dari gas alam atau industri fermentasi skala besar. Udara dengan konsentrasi CO2 tinggi ditingkatkan tekanannya dan didinginkan hingga berubah menjadi cairan.
Setelah menjadi cairan, tekanan
diturunkan, sehingga menyebabkan suhunya menjadi sangat rendah dan merubah 16
cairan menjadi butiran es seperti salju. Butiran-butiran salju tersebut kemudian dibentuk seperti yang diinginkan oleh konsumen. Saat ini, umumnya dry ice berbentuk berupa silinder berukuran kecil seperti pelet atau berupa balok besar berukuran 50 kg. Dry ice yang dihasilkan oleh PT Petrokimia Gresik berbentuk balok berukuran 50 kg. Dry ice bisa didapatkan di distributor es krim besar, yang menggunakannya untuk mendinginkan produk supaya tetap beku. Dry ice memiliki sifat seperti es batu, bila disimpan pada suhu tinggi, akan makin cepat menyublim menjadi gas. Kecepatan sublimasi dry ice adalah 3,5% perhari (http://www.dryicesource. com) atau akan berkurang sebanyak 1/3 bagian pada penyimpanan di suhu kamar selama 12 jam. Bila pada termos biasa, akan menyublim dengan kecepatan 5-10 lb (2,25-4,5kg) pada penyimpanan selama 24 jam. Dry ice memberikan energi 2 kali lebih besar untuk mendinginkan produk per lb berat produk (1 lb = 0,45 kg) dan 3 kali lebih besar energi pendinginan per volume dibandingkan es batu biasa (H2O) (http://www.dryiceinfo.com). Dry ice sering digunakan untuk mempertahankan produk beku pada penyimpanan, seperti produk es krim. Di bidang industri, sering digunakan untuk menghancurkan atau mematahkan ubin dengan cara dikerutkan kemudian dipatahkan. Selain itu juga sering digunakan untuk membekukan air dalam saluran pipa selama dilakukan proses perbaikan pada bagian pipa yang rusak. Dry ice juga dapat digunakan untuk membuat kabut pada pementasan teater, dan pada bidang pangan sering digunakan untuk membuat minuman berkarbonasi, seperti softdrink dan bir. Dry ice juga dapat digunakan sebagai perangkap nyamuk, sebagai bahan untuk fumigasi, untuk mendinginkan dan menghambat bunga mekar saat distribusi tanaman bunga, dan untuk penyimpanan bahan pangan Namun selain memiliki manfaat yang banyak, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menangani dry ice.
Dry ice memiliki suhu yang sangat
rendah, sehingga bila tersentuh dengan kulit atau produk pangan secara langsung akan mengakibatkan kerusakan. Kulit manusia akan melekat kuat pada dry ice dan menimbulkan luka seperti luka bakar, sedangkan pada produk pangan akan mengakibatkan kerusakan atau penurunan mutu. Untuk mengantisipasi kerusakan yang terjadi dalam penanganannya, dry ice lebih baik dibungkus dengan kain atau 17
kertas koran, dan ditangani dengan menggunakan sarung tangan kain. Dry ice dapat digunakan untuk membekukan atau mendinginkan sayuran dan buahbuahan ataupun daging.
18