8
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Definisi Sampah Pengertian sampah yang umum digunakan di Indonesia mengikuti konsep
dari Lembaga Penelitian Universitas Indonesia (2003) yakni sampah merupakan limbah padat atau setengah padat yang berasal dari kegiatan manusia yang terdiri dari bahan organik dan anorganik, dapat dibakar dan tidak dapat dibakar, yang tidak termasuk kotoran manusia. Sedangkan Tchobanoglous (1997) menyatakan bahwa sampah intinya adalah benda sisa yang tidak dipakai dan harus dibuang. Arconin 2007, mendefinisikan sampah sebagai limbah padat yang terdiri dari zat organik dan anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan dan melindungi investasi pembangunan. Pembahasan sampah selalu dikaitkan dengan sumber, komposisi, dan karakteristiknya. Hal ini penting karena berkaitan dengan teknis operasional pengelolaan dan pengolahan sampah di suatu wilayah, khususnya dalam menentukan sistem yang tepat dan fasilitas yang diperlukan. Dilihat dari sumbernya, Peavy, Rowe, dan Tchobanoglous (1986) membagi menjadi 4 kelompok: sampah yang berasal dari pemukiman, sampah komersial, sampah industri, dan sampah alami. Sampah pemukiman merupakan jumlah terbesar dari total timbulan sampah di kota-kota besar. Jumlah dan kepadatan sampah sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis, iklim, jumlah penduduk, jumlah fasilitas komersial dan industri, status sosial masyarakat dan pola konsumsi. Menurut Peavy et al (1985) status sosial dan keragaman aktivitas masyarakat juga mempengaruhi karakteristik timbulan sampah. Masyarakat dengan status sosial yang tinggi cenderung menghasilkan sampah yang lebih besar daripada masyarakat yang status sosialnya lebih rendah.
2.2.
Pengelolaan Sampah dan Permasalahannya Pengelolaan sampah adalah serangkaian kegiatan yang melaksanakan
pewadahan sampah, pengumpulan sampah, pemindahan sampah, pengangkutan sampah, pengolahan sampah, serta pembuangan akhir sampah. Tujuan
9
pengelolaan sampah adalah untuk mengubah sampah menjadi bentuk yang tidak mengganggu dan menekan volume, sehingga mudah diatur. Menurut Clark (1977) banyak cara yang dapat ditempuh dalam pengelolaan sampah di antaranya yang dianggap terbaik hingga sekarang adalah sistem penimbunan dan pemadatan secara berlapis (sanitary landfill) untuk mencegah sampah tidak terekspos lebih dari 24 jam. Apabila air permukaan terserap ke dalam lapisan tanah, melalui lapisan sampah, maka akan terbentuk cairan yang disebut lindi (leachete) yang mengandung padatan terlarut dan zat lain sebagai hasil perombakan bahan organik oleh mikroorganisme tanah. Air lindi tersebut meresap ke lapisan tanah atas dan akhirnya masuk ke dalam air tanah. Menurut Slamet (1994), pengelolaan sampah dapat dilihat mulai dari sumbernya sampai pada tempat pembuangan akhir. Usaha pertama adalah mengurangi sumber sampah dari segi kuantitas maupun kualitasnya dengan meningkatkan pemeliharaan dan kualitas barang, meningkatkan efisiensi penggunaan bahan baku, dan meningkatkan penggunaan bahan yang dapat terurai secara alami. Semua usaha ini memerlukan kesadaran dan peran masyarakat. Selain itu, Notoatmojo (1997) menambahkan bahwa cara-cara pengelolaan sampah yang baik, bukan saja untuk kepentingan kesehatan saja, melainkan juga untuk keindahan lingkungan, antara lain dengan: 1.
Pengumpulan dan pengangkutan sampah. Pengumpulan sampah menjadi tanggung jawab masing-masing rumah tangga atau institusi yang menghasilkan sampah. Oleh sebab itu, mereka harus membangun tempat khusus untuk mengumpulkan sampah. Kemudian dari tempat pengumpulan, sampah diangkut ke TPS dan selanjutnya ke TPA.
2.
Pemusnahan dan pengolahan sampah. Pemusnahan dan atau pengolahan sampah padat ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain sebagai berikut:
a.
Ditanam (landfill), yaitu pemusnahan sampah dengan membuat lubang di tanah, kemudian sampah dimasukkan dan ditimbun dengan tanah.
b.
Dibakar (incenerator), yaitu pemusnahan sampah dengan jalan membakar di dalam tungku pembakaran (incenerator).
10
c.
Diolah menjadi pupuk kompos (composting), yaitu pengolahan sampah menjadi pupuk kompos, khususnya untuk sampah organik. Sistem pengelolaan sampah yang banyak dilakukan saat ini adalah sistem
sanitary landfill. Sistem ini didukung berbagai kegiatan yang memperhatikan aspek kesehatan lingkungan seperti pemasangan geomembran dan geotekstile sebagai dasar konstruksi, drainase air lindi, ventilasi, cover soil, dan lain lain. Sistem ini memang dapat meminimalkan timbulnya bau, penyakit, dan kerusakan lingkungan, tetapi memiliki risiko yang tidak dapat dihindarkan seperti terbentuknya gas metan, H2S, NH3, dan air lindi (leachete). Perpindahan gas dan air lindi dari landfill ke lingkungan sekitarnya akan menyebabkan dampak yang serius pada lingkungan, misalnya timbulnya ledakan-ledakan akibat konsentrasi gas metan yang tinggi di udara, kerusakan pada tanaman akibat gas H2S dan NH3 yang merusak sistem pernafasan tanaman, bau yang tidak sedap, pencemaran air dan tanah dan efek pemanasan global (Ibnu Umar, 2009).
2.3.
Kebijakan Pengolahan Sampah di Provinsi DKI Jakarta Institusi atau lembaga pengelola yang menangani kebersihan di Provinsi
DKI saat ini dilaksanakan oleh tiga institusi, yaitu instansi pemerintah, masyarakat, dan swasta. Pihak yang berpartisipasi dalam tahap pengumpulan, pengangkutan, pengolahan sampai pembuangan akhir adalah pihak swasta. Pengelolaan TPST dilaksanakan oleh Dinas Kebersihan Provinsi DKI melalui Unit Pelaksana Teknis TPST, yang terdiri dari (1) seksi operasional; (2) seksi sarana dan prasarana; (3) seksi STA; (4) seksi keamanan dan ketertiban; (5) Kasubag tata usaha. Pola umum penanganan sampah Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta didasarkan pada: 1.
Master Plan Penanganan Kebersihan Provinsi DKI Jakarta 1989 - 2005 Pola umum penanganan sampah adalah kumpul – angkut – buang (musnahkan melalui sistem sanitary landfill).
2.
Review Master Plan yang dituangkan dalam action plan 2005-2015. Berdasarkan Review Master Plan yang dituangkan dalam action plan terdapat satu sub sistem yang disebut Intermediate Treatment Fasility (ITF) yang akan
11
dibangun di setiap daerah pelayanan. Fungsi ITF ini adalah untuk mereduksi jumlah sampah sebelum residunya dibuang ke TPST.
2.4.
Aspek Hukum Pelaksanaan pembuangan sampah ke TPST Bantargebang dilakukan atas
dasar kerjasama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Pemerintah Kota Bekasi, sebagai penguasa teritori. Dasar hukum yang melandasi kerjasama beroperasinya TPA Bantargebang adalah sebagai berikut: 1. Perjanjian kerjasama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Pemerintah Kota Bekasi Nomor 96 Tahun 1999 serta Nomor 168 Tahun 1999 Tanggal 31 Desember 1999 tentang Pengolahan Sampah dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi. 2. Perjanjian kerjasama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Pemerintah Kota Bekasi Nomor 127 Tahun 2000 serta Nomor 227 Tahun 2000 Tanggal 17 Oktober 2000 tentang Addendum Pertama. 3. Perjanjian kerjasama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Pemerintah Kota Bekasi Nomor 22 Tahun 2002 serta Nomor 41 Tahun 2002 Tanggal 31 Januari 2002 tentang Addendum Kedua Perjanjian Kerjasama Pengolahan Sampah dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah di Kecamatan Bantar Gebang, Kota Bekasi. 4. Perjanjian kerjasama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Pemerintah Kota Bekasi Tanggal 02 Juli 2004, dalam Perjanjian Tambahan (Addendum) Kedua atas Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Pemerintah Kota Bekasi tentang Pemanfaatan Lahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Bantar Gebang, Kota Bekasi sebagai tempat pembuangan dan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) dengan menerapkan teknologi modern yang ramah lingkungan. 5. Perjanjian Tambahan (Addendum) Kedua atas Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Pemerintah Kota Bekasi tentang Pemanfaatan Lahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Bantar Gebang, Kota Bekasi sebagai Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) tanggal 03 Juli 2007.
12
6. Perjanjian Kerjasama Pengoperasian TPST Bantargebang antara Pemerintah Kota Bekasi dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Nomor 07/Tahun 2009 tanggal 03 Juli 2009.
2.5.
Aspek Lingkungan Kebijakan dan peraturan yang berlaku dalam pengelolaan TPA adalah
Undang-undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 23 Tahun 1997 dan Undang-undang No. 18 Tahun 2008, yaitu Undang-undang mengenai Persampahan. Kegiatan
TPA
menurut
dokumen
AMDAL
diperkirakan
akan
mempengaruhi komponen fisik-kimia, biologi, sosial ekonomi, dan kesehatan masyarakat. Namun dengan pemantauan yang dilakukan secara berkala, permasalahan tersebut bisa ditekan. Berikut ini adalah uraian dampak dari kegiatan operasional TPA Bantargebang. 1. Penurunan kualitas udara akibat meningkatnya kandungan debu yang disebabkan oleh pengangkutan, pembongkaran, dan penumpukan sampah. Dampak ini dapat dikelola dengan melakukan penyiraman berkala di jalan penghubung, pengaturan kecepatan kendaraan, penghijauan, dan melengkapi operator alat berat dengan APD. 2. Peningkatan kebisingan yang disebabkan oleh pengangkutan, pembongkaran dan penumpukan sampah. Dampak ini dapat dikelola dengan memelihara alat berat sehingga kondisi baik dan tidak bising, membuat daerah penyangga, sabuk hijau, dan taman, dan melengkapi operator dengan APD. 3. Penurunan kualitas air permukaan (Sungai Ciketing & Sungai Sumur Batu). 4. Penurunan kualitas air tanah yang disebabkan oleh leachete. Dampak ini dapat dikelola dengan melapisi dinding landfill dengan geotekstil, membangun sistem perpipaan di dasar landfill untuk menampung leachete, melakukan cover soil, dan membangun Instalasi Pengolahan Air Sampah (IPAS). 5. Gangguan pada habitat biota air yang disebabkan oleh pencemaran air oleh leachete. Dampak ini dikelola dengan cara-cara seperti yang duraikan pada nomor 4.
13
6. Meningkatnya peluang usaha dan kesempatan kerja dengan adanya akivitas pembongkaran sampah di TPA khususnya bagi pemulung. Dampak ini dikelola dengan memberikan kesempatan kerja kepada para pemulung, melakukan pengaturan terhadap para pemulung, bekerjasama dengan Kanwil Depkop dan PKK untuk membentuk koperasi pemulung di TPA. 7. Penurunan kesehatan masyarakat di sekitar lokasi TPA yang disebabkan oleh tumpukan sampah yang menjadi wadah vektor penyakit berkembang biak. Dampak ini dikelola dengan menyemprotkan desifektan secara berkala, melakukan cover soil, melengkapi pekerja TPA dengan APD, dan melakukan kerjasama dengan Kanwil dan Dinas Kesehatan DKI Jakarta dalam mengevaluasi kesehatan. 8. Timbulnya keresahan dan konflik sosial terutama masyarakat pemulung yang disebabkan oleh persaingan dan perebutan lahan kerja antar kelompok pemulung. Dampak ini dapat dikelola dengan memberikan kesempatan yang sama kepada kelompok-kelompok pemulung yang bekerja di TPA, membina mereka untuk saling bekerja sama, melembagakan peraturan kerja untuk menertibkan pemulung. 9. Peningkatan
kepadatan
lalu
lintas
dan
kemacetan
akibat
kegiatan
pengangkutan sampah ke TPA. Dampak ini dapat dikelola dengan membuat jalan penghubung alternatif ke TPA, melengkapi rambu-rambu lalu lintas, meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja guna menghindari antrean armada yang panjang, melakukan perbaikan, pemeliharaan, dan penggantian alat berat yang sudah tua, dan menambah karyawan TPA. 10. Peningkatan peluang terjadinya kecelakaan kerja akibat aktivitas pemulung di TPA. Dampak ini dapat dikelola dengan menerapkan aturan yang ketat terhadap pemulung untuk bekerja dengan tertib, membuat tanda-tanda larangan bekerja bagi pemulung pada titik-titik yang berbahaya, menentukan titik-titik tertentu pembongkaran sampah, sehingga para pemulung dan operator alat berat tidak saling terganggu. 11. Berkurangnya nilai estetika akibat aktivitas pemulung sampah yang membangun gubuk-gubuk dan penumpukan sampah di lahan pemukiman mereka dan di sepanjang jalan masuk ke TPA. Dampak ini dapat dikelola
14
dengan menata lokasi penumpukan sampah para pemulung dan membuat tanda-tanda larangan menumpuk sampah dan membangun gubuk pada lokasi tertentu terutama di pinggir jalan penghubung. 12. Timbulnya persepsi positif masyarakat terhadap keberadaan dan aktivitas TPA Bantargebang akibat tersedianya peluang usaha dan lapangan kerja. Dampak ini dapat dikelola dengan melaksanakan upaya-upaya pengelolaan lingkungan dari berbagai aspek dengan baik dan konsisten. 13. Penuhnya TPA Bantargebang sebelum habis usia operasionalnya akibat jumlah sampah yang masuk melebihi kapasitas. Dampak ini dapat dikelola dengan mempercepat pembangunan TPA Sampah Ciangir Tangerang, mengkonversi sampah menjadi kompos, melakukan diversifikasi sampah yang dimanfaatkan oleh pemulung dan sortasi (pemilahan) sampah. (Sumber: Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan TPA Bantargebang, 1997. Lihat juga Lampiran 1, 2, dan 3)
2.6.
Sanitary Landfill Terminologi sanitary landfill kali pertama digunakan pada tahun 1930-an,
yang berarti memapatkan sampah padat dengan menggunakan alat berat dan kemudian melapisinya dengan tanah. Praktik ini bahkan sudah digunakan di dalam kebudayaan Yunani 2.000 tahun yang lalu, hanya tanpa pemapatan. Saat ini metode ini merupakan pilihan yang paling populer, dibandingkan dengan daur ulang, insinerasi, dan pengomposan, karena kesederhanaan dan versatilitasnya. Sebagai contoh, metode ini tidak sensitif terhadap bentuk, ukuran, ataupun berat suatu materi sampah; jauh berbeda dengan pengomposon dan insinerasi yang membutuhkan sampah dalam bentuk seragam atau memiliki kandungan kimia yang seragam. Ada tiga prosedur dasar dalam pelaksanaan sanitary landfill, yaitu menyebarkan sampah padat secara berlapis; memapatkannya semaksimal mungkin; dan menutupnya dengan tanah pada sore hari. Metode ini meminimalkan perkembangbiakan tikus dan serangga di TPST, mengurangi ancaman kebakaran tak terduga, mengurangi bau, mencegah perkembangan vektor penyakit seperti lalat, dan media untuk pertumbuhan vegetasi.
15
Ada tiga tahapan dekomposisi di dalam sebuah landfill. Pertama fase aerobik. Sampah padat yang dapat diuraikan secara biologis bereaksi dengan O2 dan membentuk CO2 dan H2O. Temperatur pada tahap ini meningkat 16.7 oC lebih tinggi dari lingkungan. Asam lemah terbentuk di dalam air dan berbagai mineral terlarut di dalamnya. Tahap selanjutnya adalah fase aerobik, di dalamnya mikroorganisme yang tidak membutuhkan oksigen menguraikan sampah menjadi hidrogen, amonia, karbondioksida, dan asam anorganik. Pada tahap ketiga, dengan didukung oleh jumlah air yang cukup dan suhu yang hangat, akan dihasilkan gas metan. Perbandingan kasar gas CO2 dan metana yang dihasilkan tahap ini adalah 50:50. Gas CO2 memiliki berat jenis lebih besar dari udara sehingga cenderung tinggal di dasar landfill, sedangkan gas metan yanh berat jenisnya lebih ringan cenderung naik ke permukaan landfill, dan bisa terbakar bila tidak dikendalikan. Sistem pengendalian produksi gas metan berlangsung pasif maupun aktif. Pada sistem pasif, gas metan dilepaskan ke udara secara alami dengan membuat lubang ventilasi. Pada sistem aktif, diterapkan sebuah mekanisme yang dapat berupa sumur recovery, pipa pengumpul gas, pembakar gas, atau penampung gas. Menurut El-fadel et al. (1997) dan Samorn et al. (2002) hendaknya TPA dioperasikan dengan sistem sanitary landfill yang dilengkapi dengan instalasi recovery gas, sistem pengolahan dan pengumpulan gas, penghalang hidrolik seperti ekstraksi dan sumur pantauan, sumur relief dan parit drainase sebagai sistem pengumpulan air lindi, yang akan mempercepat proses pembusukan. Tempat Pemusnahan Akhir (TPA) Sampah Bantargebang dengan luas 110.3 Ha (efektif untuk pembuangan sampah 89.3 Ha) sudah menggunakan metode sanitary landfill , tetapi sejak 5 Desember 2009 pengelolanya yang baru, yaitu PT. Godang Tua Jaya joint operation dengan PT. Navigat Organic Energy Indonesia, menawarkan konsep baru, yaitu kombinasi antara sistem sanitary landfill dan teknologi modern yang ramah lingkungan. Kombinasi ini diharapkan menjadikan TPST Bantargebang sebagi pusat industri daur ulang sampah yang akan menghasilkan produk-produk bermanfaat seperti: pupuk kompos, biji plastik dan produk-produk turunannya, serta listrik. (Lihat mekanisme pemusnahan sampah di TPST Bantargebang pada halaman selanjutnya.)
16
TPA SUMBER SAMPAH
MEKANISME PEMUSNAHAN SAMPAH DI TPA SANITARY LANDFILL BANTAR GEBANG DIPERGU NAKAN KEMBALI
TPA
PROSES PEMUSNAHAN SAMPAH DI TPA PENGENDALIAN GAS METAN
TPS RUMAH TINGGAL PASAR TEMPORER
STASIUN TRANSFER
PD. Pasar JAYA
PENIM BANGAN
MEMPEROLEH DATA BERAT. SAMPAH YG DIANGKUT, DARI SUMBERNYA
KOMER SIAL INDUSTRI
PEMBONG KARAN
PENURUNAN SAMPAH ANTARA LAIN MENGGUNAKAN EXCAVATOR
PENYEBAR AN/ PEMADATAN
PERATAAN SAMPAH DGN BULDOZER DAN PEMADATAN DENGAN COMPACTOR
PENUTUPAN HARIAN/ BERKALA
PENUTUPAN SAMPAH DNG TANAH, KETEBALAN RATA-RATA 15 cm
B3 JALAN
PENYALURAN AIR SAMPAH DIOLAH SENDIRI PPLI
INSTALASI PENGOLAHAN AIR SAMPAH (IPAS)
Gambar 2. Mekanisme Pemusnahan Sampah
PENUTUPAN AKHIR
DENGAN TANAH, SETELAH MEN CAPAI KE TINGGIAN YG DIREN CANAKAN
17
Prosedur sanitary landfill di TPA meliputi pekerjaan konstruksi, drainase, operasional penutupan sampah dengan tanah merah (cover soil), pembuatan jalan precast, penghijauan, pembuatan ventilasi dan pengelolaan air bersih. Konstruksi sanitary landfill, terdiri dari: a.
Pembentukan muka tanah, yaitu untuk mengalirkan air lindi maupun air hujan menuju saluran yang direncanakan, maka pada permukaan tanahnya dibentuk kemiringan 5%.
b.
Pelapisan kedap air, yaitu untuk mencegah masuknya air lindi ke dalam tanah, maka dasar timbunan sampah diberi lapisan impermeable seperti geotextile atau geomembrane.
c.
Pengumpulan dan pengolahan air lindi.
2.7. Pengelolaan Sampah Secara Terpadu Pengelolaan sampah secara terpadu pada intinya adalah memadukan 3 cara pengolahan
sampah,
yaitu:
pengomposan
(composting),
mendaur
ulang
(recycling), dan melakukan pembakaran (combusting), dengan melibatkan masyarakat (Tchobanoglous, 1993).
Proses pengomposan dilakukan terhadap
sampah organik biasanya dilakukan dengan bantuan mikroorganisme, baik dalam keadaan aerob maupun anaerob. Sedangkan daur ulang (recycling) dilakukan terhadap sampah anorganik seperti plastik, kertas, dan logam. Sampah sisa dari kedua proses ini dibakar melalui incenerator. Pengelolaan sampah secara terpadu ini dapat mereduksi sampah sampai 96%. Sisa pembakaran berupa residu hanya tinggal 4%, dan residu yang berbentuk abu ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan.
Keberhasilan pengelolaan sampah secara terpadu tergantung dari
partisipasi masyarakat, sebagai penghasil utama sampah. Partisipasi masyarakat ini dapat berupa pemilahan antara sampah organik dan anorganik dalam proses pewadahan di sumber sampah, atau melalui pembuatan kompos dalam skala individu dan mengurangi penggunaan barang (material), Bebasari, 2001. Menurut Kholil (2005), untuk menghindari ketergantungan pada lahan, penanganan sampah kota harus dilakukan pada upaya pengurangan di sumber dengan pendekatan 3 R ( reduce, reuse, dan recycle ), dan pengolahan di TPS secara terpadu berbasis zero waste dengan sistem 3 R + 1 (reduce, reuse, recycle
18
dan inceneration). Hasil simulasi model yang dilakukan menunjukkan bahwa dengan sistem penanganan terpadu berbasis zero waste di TPS dapat mereduksi volume sampah sampai 96 % – 98 %, dan mereduksi biaya operasional sampai 65.9 %.
2.8.
PRA dan FGD
2.8.1. PRA ( Participatory Rural Appraisal ) PRA adalah suatu metode pendekatan yang digunakan dalam melakukan pengkajian/penilaian/penelitian untuk memahami keadaan desa/wilayah/lokalitas tertentu dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Melalui PRA tim peneliti bersama masyarakat bisa secara cepat dan sistematis mengumpulkan informasi untuk: (a) analisis umum tentang topik khusus yang perlu penilaian; (b) studi kelayakan; (c) mengidentifikasi dan memprioritaskan proyek tertentu; dan (d) mengevaluasi proyek/program yang dilaksanakan di pedesaan (Bhandori, 2003). Menurut Robert Chambers , orang yang mengembangkan metode PRA, metode dan teknik dalam PRA terus berkembang, sehingga sangat sulit untuk memberikan definisi final tentang PRA. Menurutnya PRA merupakan metode dan pendekatan pembelajaran mengenai kondisi dan kehidupan desa/wilayah/lokalitas dari, dengan dan oleh masyarakat sendiri dengan catatan: (1) pengertian belajar, meliputi kegiatan menganalisis, merancang dan bertindak; (2) PRA lebih cocok disebut metode-metode atau pendekatan-pendekatan (bersifat jamak) daripada metode dan pendekatan (bersifat tunggal); dan (3) PRA memiliki beberapa teknik yang bisa kita pilih, sifatnya selalu terbuka untuk menerima cara-cara dan metodemetode baru yang dianggap cocok. Teknik-teknik yang banyak dipakai meliputi: mengkaji data sekunder, observasi langsung, wawancara semi-struktur, FGD (focus group discussions), metode social rating, analysis group discussion (AGD), innovation assessment, mapping, transects, seasonal calendar, profil historis, analisis kehidupan sosial, pengamatan terlibat, membuat diagram-diagram, dan mengumpulkan kategorikategori lokal, istilah lokal dan sebagainya. Sedangkan perangkat yang digunakan meliputi: triangulasi, tim multidisiplin, belajar bersama masyarakat, analisis on the spot, dan menjaga bias selama studi berlangsung. Melalui PRA para peneliti
19
dapat merasakan dampak serta memperkuat kemampuan teknis dari penilaian yang sudah dilakukan oleh masyarakat sendiri. Prinsip-prinsip dasar Participatory Rural Appraisal (PRA) terdiri dari: 1. Prinsip mengutamakan yang terabaikan (keberpihakan) Prinsip ini mengutamakan masyarakat yang terabaikan agar memperoleh kesempatan untuk memiliki peran dan mendapat manfaat dari program pembangunan. Keberpihakan ini lebih pada upaya untuk mencapai keseimbangan perlakuan terhadap berbagai golongan yang terdapat di suatu masyarakat, mengutamakan golongan paling miskin agar kehidupannya meningkat. 2. Prinsip pemberdayaan (penguatan) masyarakat Pendekatan PRA bermuatan peningkatan kemampuan masyarakat, kemampuan itu ditingkatkan dalam proses pengkajian keadaan, pengambilan keputusan dan penentuan kebijakan, sampai pada pemberian penilaian dan koreksi kepada kegiatan yang berlangsung. 3. Prinsip masyarakat sebagai pelaku dan orang luar sebagai fasilitator PRA menempatkan masyarakat sebagai pusat dari kegiatan pembangunan. Orang luar juga harus menyadari perannya sebagai fasilitator. Fasilitator perlu memiliki sikap rendah hati serta kesedian untuk belajar dari masyarakat dan menempatkan mereka sebagai narasumber utama dalam memahami keadaan masyarakat itu. Pada tahap awal peran orang luar lebih besar, namun seiring dengan berjalannya waktu diusahakan peran itu bisa berkurang dengan mengalihkan prakarsa kegiatan PRA pada masyarakat itu sendiri. 4. Prinsip saling belajar dan menghargai perbedaan Salah satu prinsip dasarnya adalah pengakuan akan pengalaman dan pengetahuan tradisional masyarakat. Hal ini bukan berarti bahwa masyarakat selamanya benar dan harus dibiarkan tidak berubah. Pengalaman dan pengetahuan masyarakat serta pengetahuan orang luar harusnya saling melengkapi dan sama nilainya, dan proses PRA sebaiknya dipandang sebagai ajang komunikasi antara kedua sistem pengetahuan itu agar melahirkan sesuatu yang lebih baik. 5. Prinsip santai dan informal Kegiatan PRA diselenggarakan dalam suasana yang bersifat luwes, terbuka, tidak memaksa dan informal. Situasi ini akan menimbulkan hubungan
20
akrab, karena orang luar akan berproses masuk sebagai anggota masyarakat, bukan sebagai tamu asing yang oleh masyarakat harus disambut secara resmi. 6. Prinsip triangulasi Salah satu kegiatan PRA adalah usaha mengumpulkan dan menganalisis data atau informasi secara sistematis bersama masyarakat. Untuk mendapatkan informasi yang kedalamannya bisa diandalkan kita dapat menggunakan triangulasi yang merupakan bentuk pemeriksaan dan pemeriksaan ulang (check and recheck) informasi. Triangulasi dilakukan melalui penganekaragaman keanggotaan tim (keragaman disiplin ilmu atau pengalaman), penganekaragaman sumber informasi (keragaman latar belakang golongan masyarakat, keragaman tempat, jenis kelamin) dan penganekeragaman teknik. 7. Prinsip mengoptimalkan hasil Prinsip mengoptimalkan atau memperoleh hasil informasi yang tepat guna menurut metode PRA adalah: a. Lebih baik kita "tidak tahu apa yang tidak perlu kita ketahui" (ketahui secukupnya saja) b. Lebih baik kita "tidak tahu apakah informasi itu bisa disebut benar seratus persen, tetapi diperkirakan bahwa informasi itu cenderung mendekati kebenaran" (daripada kita tahu sama sekali) 8.
Prinsip orientasi praktis PRA berorientasi praktis, yaitu pengembangan kegiatan. Oleh karena itu
dibutuhkan informasi yang sesuai dan memadai agar program yang dikembangkan bisa memecahkan masalah dan meningkatkan kehidupan masyarakat. Perlu diketahui bahwa PRA hanyalah sebagai alat atau metode yang dimanfaatkan untuk
mengoptimalkan
program-program
yang
dikembangkan
bersama
masyarakat. 9. Prinsip keberlanjutan dan selang waktu Metode PRA bukanlah kegiatan paket yang selesai setelah kegiatan penggalian informasi dianggap cukup dan orang luar yang memfasilitasi kegiatan keluar dari desa. PRA merupakan metode yang harus dijiwai dan dihayati oleh lembaga dan para pelaksana lapangan agar problem yang mereka akan
21
kembangkan secara terus menerus berlandaskan pada prinsip-prinsip dasar PRA yang mencoba menggerakkan potensi masyarakat. 10. Prinsip belajar dari kesalahan Terjadinya kesalahan dalam kegiatan PRA adalah suatu yang wajar, yang terpenting bukanlah kesempurnaan dalam penerapan, melainkan penerapan yang sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuan yang ada. Kita belajar dari kekurangan-kekurangan atau kesalahan yang terjadi, agar pada kegiatan berikutnya menjadi lebih baik. 11. Prinsip terbuka Prinsip terbuka menganggap PRA sebagai metode dan perangkat teknik yang belum selesai, sempurna, dan pasti benar. Diharapkan bahwa teknik tersebut senantiasa bisa dikembangkan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan setempat. Sumbangan dari mereka yang menerapkan dan menjalankannya di lapangan untuk memperbaiki konsep, pemikiran maupun merancang teknik baru yang akan sangat berguna dalam mengembangkan metode PRA.
2.8.2. FGD ( Focus Group Discussion ) Focus Group Discussion (FGD) merupakan metode khusus untuk mengorganisasi diskusi atau serangkaian diskusi. Pada FGD, diskusi difokuskan pada pertanyaan-pertanyaan spesifik. Topik FGD dapat berupa isu lingkungan, pengembangan teknologi, akseptabilitas program atau produk, atau cara mengembangkan pelayanan masyarakat (Kreuger, 1988; Stewart & Shamdasani, 1992). FGD bentuk penelitian kualitatif di mana kelompok masyarakat menyampaikan sikap, komsep, gagasan, atau solusi dari topik yang didiskusikan. FGD merupakan alat untuk mengumpulkan data kualitatif melalui forum diskusi. Topik dibahas dalam bentuk kelompok interaktif di mana setiap peserta bebas menyampaikan gagasan. Moderator harus dapat mengumpulkan informasi indepth tentang topik yang dibahas dari peserta (Budiharsono et al., 2006). Manfaat FGD adalah untuk memperoleh informasi tentang masyarakat, penduduk, organisasi, produk, atau jasa. Informasi tersebut mencakup: kebutuhan, sejarah, concerns, reaksi, persepsi, perlilaku, dan/atau masalah. FGD juga
22
digunakan untuk: 1) pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam merespons suatu program, metode, kebijakan, produk, dan jasa; 2) identifikasi masalah, kendala, biaya, atau manfaat. stimulasi creative thinking seperti solusi optimal, peluang, keterkaitan atau identifikasi dampak potensial; 3) menentukan prioritas atau batasan masalah; 4) memperoleh informasi yang lebih mendalam; 5) memperoleh gambaran budaya atau kelompok sosial yang lebih akurat; 6) melibatkan audiens baru; dan 7) memperoleh feedback lebih cepat (Morgan, 1997). Keunggulan FGD antara lain: 1) FGD memberikan penjelasan lebih, bukana hanya pada apa yang peserta pikirkan, melainkan juga mengapa mereka berpikir seperti itu; 2) Dapat mengungkapkan konsensus atau keragaman kebutuhan peserta, pengalaman, keinginan, dan asumsi; 3) Memungkinkan interaksi kelompok sehingga peserta dapat membangun konsep atau pandangan yang komprehensif lebih mendalam dari setiap ide, bukan hanya dari pandangan individual; 4) Komentar yang tidak terduga dan perspektif baru dapat ditelusuri dengan mudah; 5) Moderator dan peserta dapat mengekspresikan perasaannya secara langsung. Kelemahan FGD antara lain: 1) sampel yang sedikit sehingga memungkinkan tidak representatif; 2) semua peserta harus hadir di tempat dan waktu yang sama, hal ini sulit jika peserta berada pada cakupan wilayah yang berjauhan; 3) dapat memperoleh data kualitatif yang sangat banyak sehingga menyulitkan untuk analisis data; 4) informasi yang dikumpulkan lebih bias karena interpretasi subjektif dibanding metode kuantitatif; 5) individu yang banyak bicara dapat mendominasi diskusi. Pandangan dari peserta yang asertif kadang sulit diperoleh; dan 6) kualitas diskusi dan manfaat informasi yang diperoleh sangat bergantung pada kemampuan moderator.