5
II.
TINJAUAN METODOLOGI PENGUMPULAN DATA PRODUKTIVITAS KOMODITAS HORTIKULTURA
2.1. Pendahuluan Komoditas hortikultura yang mencakup sayuran, buah-buahan, tanaman hias dan obat-obatan merupakan salah satu komoditas unggulan sektor pertanian karena dapat memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap devisa negara. Bahkan beberapa komoditas hortikultura, seperti cabe dan bawang merah sangat besar pengaruhnya terhadap tingkat inflasi.
Oleh karena itu, perencanaan dan penanganan komoditas
hortikultura secara tepat akan dapat memberikan dampak yang sangat baik bagi perekonomian Indonesia. Di lain pihak, ketersediaan data/statistik hortikultura untuk keperluan perencanaan masih dianggap jauh dari yang diharapkan, baik dari keakuratan/ kualitas data maupun dari segi ketepatan waktu. Oleh karena itu, mulai tahun 2001, Pusat Data dan Informasi Pertanian (Pusdatin) Departemen Pertanian, sebagai salah satu instansi yang berkepentingan dalam menunjang penyediaan data pertanian, merasa perlu untuk melakukan perbaikan statistik hortikultura, terutama yang berkaitan dengan data luas panen, produksi, dan produktivitas. Selama ini pengumpulan data hortikultura dilakukan dengan pencacahan lengkap melalui Survei Pertanian (SP) dengan periode bulanan (menggunakan kuesioner SPIIA) maupun triwulanan (SP -IIB, SP-IIIA, dan SP -IIIB). Pengumpulan data dilakukan oleh mantri tani di seluruh kecamatan di Indonesia. Namun hasil pengumpulan data ini masih mengandung berbagai kelemahan, baik yang bersifat teknis metodologi maupun yang bersifat non-teknis. Dari sisi non-teknis, komoditas hortikultura belum dianggap sebagai komoditas strategis seperti halnya padi, sehingga pengumpulan datanya memiliki skala prioritas yang rendah, yang pada akhirnya menurunkan motivasi mantri tani da lam mengumpulkan data.
Dari sisi teknis metodologi, pengumpulan data
hortikultura masih disamakan dengan padi palawija, padahal karakteristik komoditas hortikultura sangatlah berbeda dan jauh lebih kompleks. Oleh karena itu, kajian dan pengembangan metodologi pengumpulan data luas panen, produksi, dan produktivitas komoditas hortikultura sangat mendesak untuk dilakukan. Dari segi metode pengumpulan data dan teknis pengukurannya di lapangan, data luas panen secara relatif lebih mudah dilakukan dan data yang diperoleh umumnya
6
memiliki kualitas yang memadai.
Hal ini tidak sejalan dengan data produksi dan
produktivitas, yang umumnya kualitasnya diragukan karena sulitnya melakukan pengukuran di lapangan.
Oleh karena itu, kajian khusus terutama yang berkaitan
dengan data produktivitas sangat perlu dilakukan. Khusus untuk komoditas sayuran, yang menjadi fokus ujicoba pengembangan metodologi, produktivitas didefinisikan sebagai produksi dibagi dengan luas panen dalam sekali musim panen. Luas panen berarti luasan yang dipanen, tidak termasuk luas pematang, jalan, dan saluran air yang lebar. Sedangkan dalam plot contoh, produktivitas didefinisikan sebagai produksi dibagi dengan luas plot contoh yang bersangkutan. Untuk komoditas buah-buahan, terutama yang berpohon besar seperti mangga, rambutan, dan durian, produktivitas biasanya dinyatakan sebagai produksi per pohon per musim panen. Dengan pertimbangan bahwa produk hortikultura sangat banyak dan perilakunya sangat kompleks, maka pengembangan metodologi masih difokuskan pada komoditas prioritas yang meliputi: lima komoditas sayuran (bawang merah, kentang, kol/kubis, cabe/lombok, tomat), dan enam komoditas buah-buahan (mangga, manggis, rambutan, jeruk, pisang, salak). Ujicoba metodologi pengumpulan data hortikultura di lima kabupaten di propinsi Jawa Barat, yang dilakukan oleh Pusdatin pada tahun 2001, memberikan hasil yang sangat berbeda, baik dengan hasil Survei Pertanian (SP) maupun dengan hasil survei/ubinan (khusus untuk data produktivitas).
Perbedaan hasil yang terjadi diduga
antara lain karena: (1) Metode penentuan kabupaten/kecamatan/desa contoh yang dirasakan belum tepat, (2) Masih banyaknya kendala dalam aspek pengukuran, seperti: pengetahuan dan keseriusan para pengumpul data yang belum sepenuhnya sesuai dengan yang diharapkan, sifat komoditas hortikultura itu sendiri yang sangat kompleks, dan faktor -faktor teknis lainnya; (3) Penggunaan ukuran ubinan 10x10 rumpun untuk menghitung produktivitas yang diadopsi dari hasil kajian Tim Expert JICA terhadap komoditas padi masih perlu dikaji apakah sudah tepat jika diterapkan untuk komoditas sayuran; (4) Penggunaan metode pohon pengamatan untuk menghitung produktivitas komoditas buah-buahan juga masih perlu dikaji apakah sudah tepat. Pada tahun 2002-2004, Pusdatin melakukan uji coba kembali di daerah propinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Ujicoba ini menfokuskan pengembangan untuk
7
komoditas sayuran dengan penekanan pada evaluasi prosedur percontohan, proses pengukuran, dan penentuan ukuran plot optimum. Beberapa ha sil ujicoba yang telah dilakukan disajikan pada Sub Bab 2.6 dan 2.7. 2.2. Metode Penarikan Contoh Dalam Sub-bab ini akan dibahas metodologi pengumpulan data produktivitas hortikultura yang sedang dikembangkan dan diujicoba oleh Pusdatin Deptan, yang pada tahun 2002 diujicobakan di Propinsi Jawa Tengah. Metode pengumpulan data produktivitas hortikultura dilakukan melalui metode survei sampling plot pengamatan 10 x 10 rumpun untuk sayuran, dan pohon pengamatan untuk komoditas buah-buahan. Contoh diharapkan dapat digunakan untuk pendugaan produktivitas tingkat propinsi. Oleh karena itu, tahapan pengumpulan data produktivitas ini dimulai dari penentuan kabupaten contoh, sampai dengan penentuan posisi plot pengamatan atau pohon pengamatan. Tahapan samplin g dan metode pengukurannya adalah sebagai berikut: 1.
Pemilihan kabupaten contoh Kabupaten contoh ditentukan berdasarkan data rataan luas tanam dalam tiga tahun terakhir (untuk sayuran) dan data rataan jumlah pohon menghasilkan dalam tiga tahun terakhir (untuk buah-buahan).
Kabupaten contoh diharapkan mewakili
karanteristik keragaman produktivitas kabupaten di propinsi tersebut.
Dengan
pertimbangan bahwa perbedaan tingkat produktivitas akan cukup besar pada daerah sentra produksi & non sentra, maka kabupaten yang terpilih sebagai contoh diharapkan ada yang mewakili kabupaten sentra dan kabupaten non-sentra. Yang disebut kabupaten sentra adalah kabupaten yang luas tanam bagi komoditas yang bersangkutan cukup besar dan menonjol dibandingkan kabupaten-kabupaten lain, sedang kabupaten non-sentra adalah selainnya.
Secara teknis, kabupaten sentra
dan non-sentra ditentukan berdasarkan sebaran persen (share ) luas tanam kabupaten terhadap propinsi. Jumlah kabupaten sentra dan non-sentra yang terpilih sebagai contoh ditentukan secara proposional berdasarkan persen luas tanam. Khusus pada saat ujicoba di Jawa Tengah, kabupaten contoh ditentukan secara purposive dan berdasarkan pengalaman ujicoba di Propinsi Jawa Barat ditetapkan banyaknya plot pengamatan per kabupaten sebesar 40 plot.
8
2.
Pemilihan kecamatan contoh Kecamatan contoh ditentukan berdasarkan proporsi luas tanam triwulan yang lalu (untuk sayuran) dan proporsi jumlah pohon menghasilkan triwulan yang sama tahun yang lalu. Jumlah plot yang harus dialokasikan kepa da setiap kecamatan mengikuti formula berikut:
ni = pi * n , dan pi =
Li ∑ Li
dengan: ni = jumlah plot pengamatan kecamatan ke-i pi = proporsi luas tanam kecamatan ke -i n = jumlah plot seluruh kabupaten Li = luas tanam atau banyaknya pohon menghasilkan kecamatan ke -i Catatan: jumlah minimal plot pada kecamatan terpilih adalah 3. Oleh karena itu, untuk kecamatan yang alokasinya dibawah 2 akan didrop, sedangkan kecamatan yang lebih dari 2 tetapi kurang dari 3 akan ditambah 1 sehingga menjadi 3. Jika alokasi masih di bawah jumlah yang ditetapkan, sisa plot akan dialokasikan pada kecamatan yang mendapat pembulatan alokasi ke bawah yang paling besar, dan seterusnya sampai jumlah plot total sama dengan n. 3.
Pemilihan desa contoh Desa contoh juga ditentukan berdasarkan nilai proporsi luas tanam baru triwulan sebelumnya atau jumlah pohon menghasilkan triwulan yang sama tahun lalu. Jumlah contoh target untuk tiap desa ditentukan secara proporsional terhadap luas tanam baru atau jumlah pohon menghasilkan di desa tersebut. Jumlah contoh minimum untuk tiap komoditi per desa terpilih adalah sebanyak 2 plot. Dengan demikian, jika dari hasil perhitungan diperoleh jumlah contoh pada suatu desa lebih kecil dari 2, maka jumlah contoh tersebut harus ditambah menjadi 2 atau dikurangi sehingga jumlah contohnya menjadi 0.
9
4.
Pendaftaran/listing dusun dan petani a.
Pendaftaran dan pemilihan dusun contoh Pendaftaran dusun/blok dimaksudkan untuk mendapatkan kerangka dusun/ blok hortikultura dalam suatu desa terpilih. Dusun/blok yang didaftarkan harus memiliki jumlah petani hortikultura lebih besar atau sama dengan jumlah plot yang ditargetkan. Pemilihan dusun/blok contoh dilakukan secara acak dengan peluang proporsional terhadap jumlah petani.
b.
Pendaftaran dan pemilihan petani contoh Setelah dusun/blok contoh ditentukan maka dilakukan pendaftaran petani hortikultura yang lahannya ada di dusun/blok tersebut. Seperti halnya pendaftaran (listing) dusun/blok, kegiatan pendaftaran petani juga dilakukan oleh Mantri Tani dengan menggunakan Formulir SPH.PP. Tujuan dari listing ini adalah untuk mendapatkan kerangka contoh sebagai bahan penarikan contoh petani untuk pengambilan plot pengamatan.
Sumber informasi
mengenai petani- petani pada suatu dusun/blok contoh yang akan melakukan panen hortikultura pada triwulan bersangkutan antara lain adalah PPL, Kepala Desa, Kepala Dusun. 5.
Pemilihan bidang dan petak lahan Pemilihan bidang lahan atau petak lahan dilakukan secara acak. Jika petani contoh memiliki bidang lahan lebih dari satu, maka Matri Tani harus melakukan penomoran terhadap bidang-bidang tersebut, kemudian melakukan pemilihan bidang lahan secara acak. Penomoran bidang dilakukan secara urut searah jarum jam, dimulai dari bidang lahan yang paling dekat dengan rumah petani.
6.
Penentuan plot pengamatan dan penentuan pohon pengamatan Penentuan plot pengamatan (untuk sayuran) dan pohon pengamatan (untuk buahbuahan) diawali dengan penentuan titik pangkal sumbu.
Titik pangkal sumbu
ditentukan di titik Barat Daya dari bidang/petak lahan. Setelah titik pangkal sumbu ditentukan, pada penentuan plot pengamatan dilanjutkan dengan penentuan jumlah tanaman pada sumbu-x dan sumbu-y, kemudian dilakukan pengacakan titik awal
10
plot pengamatan 10x10 tanaman. Sedangkan pada penentuan pohon pengamatan dilanjutkan dengan penomoran pohon yang akan menghasilkan/panen dalam masa pengamatan. Penomoran pohon menggunakan kaidah obat nyamuk untuk jarak tanam yang tidak teratur, dan kaidah spiral untuk jarak tanam teratur. Setelah itu dilakukan pemilihan contoh secara acak terhadap pohon yang telah dinomori untuk memilih tiga tanaman contoh. Catatan: Untuk lahan yang sangat luas (di atas 100x100 langkah), penomoran tanaman yang akan menghasilkan/panen dapat dilakukan menggunakan petak bayangan yang luasnya sekitar 100x100 langkah di wilayah titik pangkal sumbu. 7.
Pengukuran hasil plot pengamatan dan pohon pengamatan Pada saat dilakukan panen, produksi dan luas plot pengamatan 10x10, serta produksi dari tiga pohon pengamatan harus ditimbang/diukur. Untuk menentukan luas plot 10x10 tanaman, dilakukan pengukuran terhadap 11 baris tanaman di sumbu-x dan 11 lajur tanaman sumbu-y, dan masing-masing dilakukan tiga kali pengukuran yaitu di bagian pinggir kanan & kiri dan bagian tengah. Gambaran secara ringkas tahapan percontohan dan metode pengukuran
produktivitas tersebut disajikan pada Gambar 1. Dari hasil ujicoba tahun 2002 dapat disimpulkan bahwa prosedur percontohan ini dapat dikerjakan/diterapkan dengan baik oleh petugas lapangan.
11
Propinsi Kabupaten yang dipilih adalah kabupaten yang mewakili sentra dan non sentra produksi hortikultura dengan terlebih dahulu dilakukan pengelompokan
Kabupaten Kecamatan yang dipilih adalah kecamatan yang secara proposional memberikan plot contoh minimal 3 plot
Kecamatan Desa yang dipilih adalah desa yang secara proposional memberikan plot contoh minimal 2 plot
Desa
Pendaftaran/Listing
Dilakukan pemilihan dusun/blok lahan secara acak dari desa terpilih
`
Dusun/Blok Dilakukan pemilihan petani secara acak dari dusun/blok lahan terpilih
Petani Dilakukan pemilihan bidang/petak lahan secara acak dari bidang/petak petani contoh
Bidang/Petak Diambil satu plot pengamatan
Plot Rumpun/Pohon
Gambar 1
Bagan prosedur pengambilan contoh pada ujicoba pengumpulan data produktivitas hortikultura tahun 2002
12
2.3. Jenis -Jenis Formulir yang Digunakan Untuk mempermudah dan menyeragamkan proses penentuan contoh, dan pengumpulan data hasil pengukuran produktivitas, maka disediakan formulir standar. Beberapa jenis formulir yang digunakan dalam ujicoba pengumpulan data produktivitas komoditas tanaman hortikultura ini disajikan pada Tabel 1, sedangkan bentuk isian formulir-formulir tersebut dapat dilihat di Pusat Data dan Informasi Pertanian (2002). Tabel 1 No.
Jenis-jenis formulir yang digunakan dalam ujicoba pengumpulan data produktivitas hortikultura tahun 2002
Formulir
Kegunaan
Dikerjakan Oleh
1.
SPH.DSKb
Mendapatkan kabupaten contoh
Petugas propinsi
2.
SPH.DSKc
Mendapatkan kecamatan contoh
Petugas kabupaten
3.
SPH.DSD
Mendapatkan desa contoh
Mantri Tani
4.
SPH.PD
Mendapatkan dusun contoh
Mantri Tani
5.
SPH.PP
Mendapatkan petani hortikultura
Mantri Tani
6.
SPH.DS
Daftar contoh dan jadwal pengamatan
Mantri Tani
7.
SPH.S
Pengumpulan data di tingkat petani pada
Mantri Tani
sayuran hasil ubinan 8.
SPH.RKS
Rekap hasil ubinan sayuran yang
Petugas kabupaten
dilaporkan Mantri Tani 9.
SPH.B
Pengumpulan data di tingkat petani pada
Mantri Tani
buah-buahan hasil pohon amatan 10.
SPH.RKB
Rekap hasil pohon amatan buah-buahan
Petugas kabupaten
yang dilaporkan Mantri Tani 11.
SPH.SBU
Pengumpulan data di tingkat petani pada sayuran dan buah-buahan yang dipanen berulang kali
Mantri Tani/Petani
13
2.4. Analisis Data Semua data yang dikumpulkan melalui formulir-formulir tersebut di atas dianalisis di propinsi dengan menggunakan program analisis yang telah disediakan oleh Pusdatin.
Program tersebut memberikan dugaan produktivitas tingkat propinsi dan
kabupaten. Dugaan rataan produktivitas sayuran pada kabupaten ke-i dirumuskan sebagai berikut: n
Xi =
∑X
ij
j =1
. Lij
n
∑L j =1
ij
Dimana: Xi
Dugaan rataan produktivitas sayuran di kabupaten ke -i.
Xij
Dugaan rataan produktivitas sayuran di kecamatan ke -j, kabupaten ke -i.
Lij
Luas tanam baru triwulan yang lalu (sayuran) menghasilkan triwulan yang sama tahun yang lalu di kecamatan ke-j, kabupaten ke -i. Dan X ij diduga dengan persamaan: n
X
ij
=
X ijk ∑ k =1 m ij
dengan: Xijk
Hasil produktivitas sayuran di desa ke-k, kecamatan ke-j, kabupaten ke -i.
mij
Jumlah plot ubinan di kecamatan ke-j, kabupaten ke -i. Sedangkan dugaan rataan produktivitas sayuran di propinsi dirumuskan sebagai
berikut: p
X =
∑
i=1
X i.L i p
∑
i =1
Dimana:
Li
14
X
Dugaan rataan produktivitas sayuran atau produksi per pohon buah-buahan di propinsi.
Xi
Dugaan rataan produktivitas sayuran atau produksi per pohon buah-buahan di kabupaten ke-i.
Li
Luas tanam baru triwulan yang lalu (sayuran) atau jumlah pohon menghasilkan triwulan yang sama tahun yang lalu di kabupaten ke-i.
2.5. Metode Ubinan dan Pencacahan Rumpun (Rumpun Counting, RC) Statistik pertanian merupakan salah satu statistik yang tertua yang diterapkan di Indonesia.
Pada tahun 1950-an, salah satu devisi di BPS telah mencoba membuat
perencanaan, mengumpulkan, mengolah, dan mempublikasikan data pertanian. Salah satu data pertanian yang paling penting adalah statistik tentang padi. Statistik padi terdiri dari luas area dan hasil produksi yang dilaporkan oleh petugas kantor kecamatan. Sampai tahun 1960-an metodologi pengumpulan data area didasarkan pada laporan administratif dari tingkat desa, sedangkan data produksi didasarkan pada produktivitas lahan yang dilaporkan dalam laporan pajak yang dibuat oleh kantor pajak (Maksum, 1999). Menyadari bahwa data produksi yang dilaporkan oleh kantor pajak cenderung berbias ke bawah (under-estimate), maka pada tahun 1970-an, BPS mencoba mengembangkan metodologi dengan survei hasil pada plot contoh yang dilakukan pada beberapa propinsi. Alat yang digunakan adalah tambang yang dapat mengcover 10m x 10m dan 5m x 5m. Petak dan plot dipilih secara acak. Sejak itulah BPS menggunakan metode baru ini. Setelah beberapa tahun mengaplikasikan metode tersebut, timbul pertanyaan tentang keakuratan metode dengan penggunaan tambang dalam proses pengukuran. Disamping itu, para Mantri Statistik ternyata merasa kesulitan/keberatan melakukan pemanenan de ngan ukuran 10m x 10m atau 5m x 5m. Oleh karena itu, BPS kemudian mencoba membuat metode baru dengan ukuran yang lebih kecil yaitu 2.5m x 2.5m dengan pilot project di Yogyakarta. Dari hasil ujicoba tersebut diperoleh kesimpulan bahwa nilai dugaan ketiga metode tersebut tidak berbeda nyata. Oleh karena itu, untuk kepraktisannya dapat dipilih 2.5m x 2.5m. Selanjutnya dilakukan pengembangan alat, yang tidak lagi menggunakan tambang tetapi besi, yang blueprint rancangannya
15
dikerjakan oleh IPB. Disamping it u, telah dilakukan studi lain oleh ahli FAO dari Korea yang menggunakan ukuran 1m x 1m dengan alat bambu. Tetapi hasilnya kurang memuaskan karena secara statistika nilai dugaannya cenderung berbias ke atas (over estimate ). Walaupun tingkat akurasi dan kepraktisan metode 2.5m x 2.5m dapat diterima, namun muncul masalah baru, yaitu alat yang digunakan terlalu berat untuk dibawa ke dalam plot pada lahan sawah yang becek. Oleh karena itulah, BPS bekerjasama dengan Ditjen Tanaman Pangan dan Hortikultura dan Pusdatin Departemen pertanian, melalui project ASTIT (JICA) mencoba untuk mencari metode alternatif yang lebih praktis (Maksum, 1999). Metode pengumpulan data produktivitas padi yang sedang diuji coba diusahakan tidak menggunakan alat yang cukup berat seper ti pada plot 2.5m x 2.5m. Metode tersebut diberi nama Pencacahan Rumpun (Rumpun Counting, RC) yang membutuhkan alat meteran dan timbangan saja.
Dan seperti halnya pada plot 2.5m x 2.5m,
pengumpulan datanya lakukan melalui pendekatan rumah tangga pertania n. Di dalam implementasi metode RC, petugas lapangan harus mengukur jarak antar rumpun dan membuat plot dengan ukuran 10x10 rumpun. Ujicoba dilakukan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Hasil evaluasinya menunjukkan bahwa metode RC ternyata memberikan hasil yang relatif sama dengan hasil survei yang digunakan saat ini (Sugiyono, 2001). Kajian lebih lanjut menunjukkan bahwa metode ubinan lebih baik pada keadaan area tumbuh per-rumpun kecil (jarak tanam kecil), sedangkan metode RC lebih baik untuk tanaman dengan area tumbuh per-rumpun besar (jarak tanam besar) (Yulianto, 2001). Hasil kajian lain yang dilakukan oleh Pusdatin Deptan pada tahun 2003, yang mencoba membandingkan metode RC 10x10, RC 5x5, dan Ubinan 2.5mx2.5m pada tanaman kentang dan tomat menunjukkan bahwa secara umum metode RC 10x10 dan RC 5x5 masih lebih baik dibandingkan dengan metode ubinan 2.5mx2.5m (Pusat Data dan Informasi Pertanian, 2003). Metode RC belum diterapkan, dan baru akan diterapkan untuk pengumpulan data produktivitas tanaman padi.
Sedangkan pada pengumpulan data produktivitas
hortikultura, baik metode ubinan, metode RC, maupun pohon pengamatan (untuk buah-
16
buahan) belum pernah diterapkan. Bahkan untuk metode pohon pengamatan belum pernah ada kajian secara khusus untuk menduga produktivitas tanaman buah-buahan.
2.6.
Ujicoba Penentuan Ukuran Petak Optimum Tahun 2003 Pusdatin Deptan, bekerjasama dengan BPS dan Dirjen Hortikultura telah
melakukan serangkaian ujicoba metodologi pendugaan produktivitas hortikultura khususnya berkaitan dengan penentuan ukuran petak optimum. Ujicoba tersebut telah dilakukan pada tahun 2003 dan tahun 2004. Berikut ini akan disajikan metodologi dan hasil dari ujicoba tersebut. Ujicoba untuk penentuan ukuran petak optimum yang dilaksanakan pada tahun 2003 bertujuan untuk membandingkan metode rumpun counting 10 x 10 rumpun (RC10x10) , metode rumpun counting 5 x 5 rumpun (RC-5x5), dan metode ubinan 2.5 m x 2.5 m (UB-2.5x2.5). Komoditas yang menjadi objek ujicoba adalah kentang dan tomat, tetapi tulisan ini hanya akan membahas hasil ujicoba komoditas kentang.
Ujicoba
tersebut mengambil lokasi sentra produksi kentang dan tomat di propinsi Jawa Barat (Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut) dan propinsi Jawa Tengah (Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo). Pada setiap kabupaten dipilih empat kecamatan sebagai lokasi ujicoba , sedangkan pada setiap kecamatan ditetapkan sebanyak dua petak contoh. Ukuran petak contoh ditetapkan minimal 16 m x 16 m. Oleh karena itu, petak contoh ini dipilih dari laha n petani di kecamatan tersebut yang luas lahannya lebih dari 16 m x 16 m, dan yang siap panen pada masa ujicoba. Posisi petak contoh yang berukuran 16 m x 16 m pada lahan petani terpilih ditentukan secara acak. Setiap petak contoh dibagi menjadi enam segmen, dua segmen untuk metode RC10x10, dua segmen untuk metode RC-5x5, dan dua segmen untuk metode UB-2.5x2.5. Prosedur pembagian segmennya adalah sebagai berikut: (1) bagi petak contoh menjadi 4 bagian yang sama besar, (2) pilih secara acak dua segmen yang berseberangan untuk metode RC-10x10, (3) bagi dua segmen sisanya masing-masing menjadi dua bagian searah dengan arah kemiringan, dan pilih secara acak satu segmen untuk metode RC5x5, dan satu segmen untuk metode UB-2.5x2.5. Penentuan posisi plot pada masing-
17
masing segmen ditentukan secara acak.
Contoh layout pembagian segmen petak
contoh disajikan pada Gambar 2.
8m
8m
8m
RC-10x10
RC-5x5
UB-2.5x2.5 Arah kemiringan
8m
RC-5x5
UB-2.5x2.5
RC-10x10
Gambar 2 Contoh layout pembagian segmen petak contoh Dari setiap petak contoh diukur luas dan produksi (produktivitas) dari seluruh petak (16 m x 16 m), produktivitas metode RC-10x10 ulangan 1 dan ulangan 2, produktivitas metode RC-5x5 ulangan 1 dan ulangan 2, serta produktivitas metode UB2.5x2.5 ulangan 1 dan ulangan 2. Hasil pengukuran ini selanjutnya dianalisis untuk menjawab dua pertanyaan berikut ini: (1) Apakah benar ketiga metode tersebut menghasilkan rataan produktivitas yang sama dengan rataan produktivitas seluruh petak?; (2) Manakah metode yang lebih efisien, RC-10x10, RC-5x5 ataukah UB2.5x2.5? Untuk menjawab pertanyaan (1) digunakan uji-t berpasangan dengan hipotesis berikut: H0: µd =0 lawan H1: µd≠0
18
Hasil pengujian pada taraf nyata 5% untuk masing-masing metode pada propinsi Jawa Barat dan Propinsi Jawa Tengah disajikan pada Tabel 2. Tabel 2
Pengujian hasil produktivitas metode RC-10x10, RC-5x5, dan UB-2.5x2.5 terhadap hasil produktivitas seluruh petak 16x16
Metode
Rataan Beda 1.57
t
Nilai-p
Keputusan
1.19
0.254
Terima H0
Jawa Tengah
-1.71
-1.65
0.119
Terima H0
Gabungan
-0.07
-0.08
0.939
Terima H0
Jawa Barat
-0.51
-0.29
0.774
Terima H0
Jawa Tengah
2.17
0.79
0.440
Terima H0
Gabungan
0.83
0.52
0.610
Terima H0
Jawa Barat
8.78
6.53
0.000
Tolak H0
Jawa Tengah
7.03
5.41
0.000
Tolak H0
Gabungan
7.91
8.47
0.000
Tolak H0
Propinsi Jawa Barat
RC-10x10
RC-5x5
UB-2.5x2.5
Secara teori, plot yang diukur dengan metode RC-10x10, RC-5x5, dan UB2.5x2.5 merupakan contoh acak dari petak keseluruhan, sehingga hasil pengujiannya seharusnya mengarah kepada penerimaan H0. Namun, hasil pengujian yang disajikan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa pendugaan produktivitas dengan metode UB-2.5x2.5 ternyata menghasilkan rataan produktivitas yang berbeda nyata dan cenderung lebih besar dibandingkan dengan rataan produktivitas keseluruhan petak.
Hasil ini
memberika n indikasi bahwa metode UB-2.5x2.5 masih memberikan hasil pengukuran produktivitas yang berbias.
Dari pengamatan di lapangan, bias tersebut diduga
diakibatkan oleh kesalahan dalam penentuan plot pengamatan. Pertanyaan kedua yang berkaitan dengan metode mana yang paling efisien dapat dijawab berdasarkan keragaman penduga dari masing-masing metode. Metode yang secara relatif memberikan ragam penduga atau ragam error yang lebih kecil dipandang sebagai metode yang lebih efisien. Pada dasarnya, hasil produktivitas plot dari setiap metode dapat dimodelkan sebagai berikut:
19
y ij = µ + τ i + ε ij
; i=1,2,…,16
dimana : yij = produktivitas pada petani ke-i dan ulangan ke-j τi = pengaruh petani ke-i ε ij = error pada petani ke-i dan ulangan ke -j. Dengan mengguna kan model di atas, diperoleh hasil analisis ragam untuk masingmasing metode tersebut sebagai berikut: Analisis Ragam untuk metode RC-10x10 Sumber Petani Galat Total
DB 15 16 31
JK 2021.2 173.4 2194.6
KT 134.7 10.8
F 12.43
P 0.000
F 12.20
P 0.000
F 5.23
P 0.001
Analisis Ragam untuk metode RC-5x5 Sumber Petani Galat Total
DB 15 16 31
JK 3000.0 262.2 3262.3
KT 200.0 16.4
Analisis Ragam untuk metode UB-2.5x2.5 Sumber Petani Galat Total
DB 15 16 31
JK 2319.5 473.4 2792.9
KT 154.6 29.6
Dari analisis ragam di atas diperoleh ragam galat (MSE) bagi metode RC-10x10 sebesar 10.8, metode RC -5x5 sebesar 16.4, dan metode UB-2.5x2.5 sebesar 29.6. Metode RC-10x10 wajar memberikan nilai MSE terkecil karena metode ini membutuhkan plot terluas, sedangkan metode RC-5x5 memberikan nilai MSE yang lebih kecil daripada metode UB -2.5x2.5 walaupun luasan plot metode UB-2.5x2.5 umumnya lebih besar daripada metode RC-5x5. Dengan mengambil metode RC-10x10 sebagai dasar pembanding (karena membutuhkan plot terluas), maka pembandingan nilai ragam error kedua metode yang
20
lain terhadap ragam error metode RC-10x10 dapat dilakukan menggunakan uji-F dengan hipotesis sebagai berikut: 1. Uji terhadap kefektifan metode RC-5x5 H0 : σ210x10 =σ25x5 lawan H1 : σ 210x10 <σ25x5 2. Uji terhadap kefektifan metode UB-2.5x2.5 H0 : σ210x10 =σ22.5x2.5 lawan H1 : σ 210x10 <σ22.5x2.5 Pengujian ke -1 menghasilkan F-hitung sebesar 1.519 dengan nilai- p sebesar 0.206. Hasil ini mengindikasikan bahwa ragam galat metode RC-10x10 dengan RC5x5 tidak berbeda nyata pada taraf 5%. Karena metode RC-5x5 membutuhkan luas plot yang lebih kecil daripada metode RC-10x10 maka metode RC-5x5 dipandang lebih efisien daripada metode RC-10x10. Sedangkan pengujian ke -2 menghasilkan F-hitung sebesar 2.741 dengan nilai-p sebesar 0.026. Hasil ini mengindikasikan bahwa ragam error metode RC-10x10 nyata lebih kecil (pada taraf nyata 5%) daripada metode UB2.5x2.5, sehingga metode RC-10x10 masih dipandang lebih baik daripada metode UB2.5x2.5. Hasil wawancara dengan para mantri tani dan pengamatan langsung yang dilakukan peneliti di lapangan menunjukkan bahwa penurunan luas plot dari metode RC-10x10 ke metode RC-5x5 cukup signifikan menurunkan kesulitan teknis, baik pada saat penentuan plot contoh maupun pada saat pengukuran hasil panen.
Dengan
demikian, berdasarkan hasil kedua pengujian tersebut di atas dan pertimbangan teknis ini dapat disimpulkan bahwa metode RC-5x5 merupakan metode yang paling baik dan efisien dibandingkan dengan kedua metode lainnya. 2.7. Ujicoba Penentuan Ukuran Petak Optimum Tahun 2004 Ujicoba untuk penentuan ukuran petak optimum juga dilaksanakan pada tahun 2004. Ujicoba tersebut dilakukan untuk membandingkan metode rumpun counting 5 x 5 rumpun (RC-5x5) dengan metode satu baris yang berukuran 10 rumpun (BS-10r). Pembandingan kedua metode ini didasari oleh dua hal: (1) Metode RC-5x5 merupakan metode yang dipandang paling baik berda sarkan hasil ujicoba tahun 2003, (2) Metode BS-10r merupakan metode yang sudah digunakan oleh beberapa negara di Asia Tenggara, misalnya Thailand.
21
Komoditas yang menjadi objek ujicoba adalah kentang, bawang merah, dan tomat, tetapi karena alasan kelengkapan dan kualitas data maka tulisan ini hanya akan membahas hasil ujicoba komoditas kentang. Ujicoba tersebut mengambil lokasi sentra produksi kentang, tomat dan bawang merah pada lima kabupaten di wilayah propinsi Jawa Barat, yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut, Kabupaten Majalengka , Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Cirebon. Akan tetapi untuk komoditas kentang hanya diuji cobakan di tiga kabupaten saja, yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut, dan Kabupaten Majalengka. Pada setiap kabupaten ditetapkan sebanyak 40 plot (kecuali kabupaten Majalengka hanya dialokasikan 30 plot). Penentuan jumlah plot di setiap kecamatan dan desa, serta penentuan dusun, petani, dan petak lahan contoh mengikuti tatacara yang sudah dijelaskan pada Sub Bab 2.2. Dari setia p petak lahan contoh ditentukan secara acak letak plot untuk metode RC-5x5 dan letak plot metode BS-50r, kemudian diamati hasil produksi dan luasan plotnya. Hasil uji-t berpasangan terhadap rataan produktivitas kedua metode tersebut dengan hipotesis seperti pada sub bab 5.2 adalah sebagai berikut: Hasil uji metode RC-5x5 dengan BS-10r di kabupaten Bandung Metode N Rataan RC-5x5 40 30.43 BS-10r 40 29.50 Beda 40 0.93 T-hitung = 1.63 dan Nilai-P = 0.110
StDev 8.26 9.13 3.59
Galat baku 1.31 1.44 0.57
Hasil uji metode RC-5x5 dengan BS-10r di kabupaten Garut Metode N Rataan RC-5x5 40 27.33 BS-10r 40 26.95 Beda 40 0.38 T-hitung = 0.37 dan Nilai-P = 0.716
StDev 13.18 14.56 6.59
Galat baku 2.08 2.30 1.04
Hasil uji metode RC-5x5 dengan BS-10r di kabupaten Majalengka Metode N Rataan RC-5x5 30 31.80 BS-10r 30 28.95 Beda 30 2.85 T-hitung = 1.63 dan Nilai-P = 0.115
StDev 11.80 14.79 9.58
Galat baku 2.15 2.70 1.75
22
Dari ketiga hasil pengujian di atas dapat disimpulkan bahwa rataan produktivitas yang dihasilkan oleh kedua metode tersebut tidak berbeda nyata.
Hal ini
mengindikasikan bahwa tidak ada kecurigaan adanya bias dalam pengukuran metode BS-10r dibandingkan dengan metode RC-5x5, walaupun ada kecenderungan rataan produktivitas metode RC-5x5 lebih besar daripada metode BS-10r. Tabel 3
Pengujian kesamaan ragam rataan produktivitas yang dihasilkan metode RC-10x10 dengan BS-10r
Kabupaten Bandung Garut Majalengka
Metode RC-5x5 BS-10r RC-5x5 BS-10r RC-5x5 BS-10r
Galat baku 1.31 1.44 2.08 2.30 2.15 2.70
F 1.22
Nilai-p 0.2688
1.22
0.2688
1.57
0.1152
Dari ketiga tabel di atas juga terlihat bahwa secara umum galat baku (SE Mean) yang dihasilkan oleh metode RC-5x5 lebih kecil daripada BS-10r. Hal ini wajar karena metode RC -5x5 membutuhkan luas plot yang lebih besar daripada metode BS-10r. Namun, kalau keragaman tersebut diuji (lihat Tabel 3) ternyata keduanya tidak memberikan perbedaan yang nyata. Hal ini berarti bahwa ketelitian yang dihasilkan oleh kedua metode tersebut dapat dikatakan relatif sama. Oleh karena itu, metode BS10r dapat dijadikan metode alternatif yang cukup baik bagi metode RC-5x5. Namun demikian untuk menilai metode manakah yang lebih baik dari kedua metode tersebut perlu mendapat kajian yang lebih mendalam. Yang jelas, metode RC5x5 memberikan keragaman yang cenderung lebih kecil daripada metode BS-10r, sedangkan metode BS-10r dipandang lebih praktis dan membutuhkan luasan yang lebih kecil daripada metode RC-5x5, walaupun nilai tambah kepraktisan metode RC -5x5 ke metode BS-10r tidak sebesar nilai tambah kepraktisan metode RC-10x10 ke metode RC-5x5. Di sisi lain, ujicoba yang telah dilakukan ini belum mencakup lahan-lahan relatif sempit dan jarak tanam yang cenderung tidak sama, seperti di daerah-daerah puncak/lereng pe gunungan. Pada lahan yang sempit, sering dijumpai jumlah baris tidak mencukupi untuk membuat plot 5x5 rumpun, sehingga metode BS-10r mungkin lebih sesuai. Tetapi tidak
23
jarang juga dijumpai jarak tanam juga tidak sama, kadang-kadang jarak antar baris menyempit mengikuti bentuk lahan, sehingga penggunaan metode BS-10r dapat memberikan hasil produktivitas yang berbias atau ragam yang besar. Oleh karena itu, jika luasan petak contoh cukup untuk menerapkan plot 5x5 rumpun, metode RC-5x5 nampaknya akan memberikan hasil yang lebih stabil dibandingkan dengan metode BS-10r.