II. STUDI PUSTAKA DAN KERANGKA PENELITIAN
2.1. Peran Institusi dalam Ekonomi Van den Berg (2001), mengemukakan bahwa alasan mengapa institusi diperlukan adalah karena individu, kelompok atau perusahaan mempunyai dua pilihan cara untuk memperkaya dirinya yaitu dengan memproduksi sesuatu yang berharga atau dengan mengambil sesuatu yang berharga dari orang lain. Tetapi kesejahteraan nasional hanya meningkat jika ada peningkatan produksi, transfer kekayaan (termasuk kekayaan alam) hanya berperan sebagai redistribusi dari output yang telah ada. Masyarakat secara keseluruhan hanya meningkat standar hidupnya jika output perkapita meningkat. Jadi institusi akan mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat jika ia dapat mengarahkan usaha-usaha masyarakat pada aktivitas produktif.
Institusi mempunyai pengaruh yang besar terhadap kinerja ekonomi,
sebagaimana dikemukakan oleh Coase (1998) di dalam Menard (2000), yang mengutip Adam Smith sebagai berikut : “produktivitas ekonomi tergantung pada spesialisasi, tetapi spesialisasi hanya mungkin kalau pertukaran (exchange) dan biaya pertukaran lebih murah, makin banyak spesialisasi makin produktif sebuah sistem ekonomi. Sedangkan biaya pertukaran (biaya transaksi) sangat tergantung pada institusi yang bekerja di suatu negeri, oleh karena itu institusi akan menentukan kinerja ekonomi”.
Yeager, (1999) mengemukakan bahwa dalam pendekatan lama, para ahli ekonomi umumnya menggunakan empat factor utama sebagai hipotesis untuk menjelaskan
15
sumber kemajuan ekonomi suatu negara. Faktor tersebut adalah sumberdaya manusia (human capital), sumberdaya alam, kepadatan penduduk dan teknologi. Akan tetapi hasil-hasil penelitian mengindikasikan bahwa faktor-faktor penjelas tersebut tidak secara konsisten menjelaskan hubungannya dengan kemajuan ekonomi. Oleh karena itu ada faktor lain yang turut berpengaruh, yang dalam berbagai model yang digunakan selama itu sering dianggap sebagai faktor residu. Faktor dimaksud adalah institusi. Hasil Penelitian Keefer dan Shirley (2000) yang diilustrasikan pada gambar 5, menyimpulkan bahwa negara dengan kualitas institusi yang tinggi dan kualitas kebijakan makroekonomi rendah mempunyai pertumbuhan ekonomi dua kali lipat dari pada negara yang memiliki kebijakan makroekonomi baik tetapi institusinya buruk.
Gb.1 Institusi, Kebijakan dan Pertumbuhan
3 2 GDP riil Perkapita
Kualitas Institusi
1 0
Tinggi Rendah
-1 Tinggi
Rendah
Kebijakan Ekonom i
Gambar 5. Hubungan antara Kualitas Institusi dan Kualitas Kebijakan Ekonomi dengan Pertumbuhan Ekonomi. (Sumber Keefer dan Shirley, 2000)
16
Sementara itu Knack dan Keefer (2000) dalam Fereira (2004) mengaitkan antara keamanan hak-hak property dan kontrak dengan pertumbuhan ekonomi. Keamanan hak-hak dimaksud diambil dari indeks International Country Risk Guide (ICRG) 1 yang mengukur berbagai dimensi tentang keamanan hak property dan kemanjuran (efficacy) penegakan suatu kontrak. Terdapat hubungan yang signifikan antara ICRG dengan pertumbuhan ekonomi, yaitu bahwa setiap kenaikan satu standar deviasi indeks ICRG akan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi lebih dari 1.2 persen pertahun. Dengan demikian semakin efektif institusi yang mengatur hak-hak properti cenderung semakin tinggi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dalam kaitannya dengan pengelolaan hutan Wells (1997) menyatakan bahwa insentif untuk konservasi biodiversitas hanya akan efektif apabila didukung oleh kerangka institusional yang tepat. Disamping peraturan yang dirancang secara seksama
juga
diperlukan
organisasi
yang
mempunyai
kemampuan
untuk
melaksanakan, memantau, menegakan (enforcing) dan mengevaluasi kebijakan tersebut pada tingkat lokal, nasional atau internasional. Ferreira (2004) melakukan studi antar negara untuk mencari penjelasan atas perdebatan “perdagangan-lingkungan hidup” dengan cara melakukan explorasi interaksi antara perdagangan internasional dengan factor-faktor institusional dan dampaknya pada laju deforestasi dunia. Hasilnya menunjukkan bahwa perdagangan bebas tidak berpengaruh secara langsung terhadap deforestasi, pengaruh perdagangan tersebut baru signifikan ketika faktor-faktor institusi dimasukkan ke dalam model. 1
Hal-hal yang diukur adalah keamanan hak-hak kepemilikan dan kemanjuran penegakan kontrak : aturan main, resiko pengambil-alihan, pembatalan kontrak oleh pemerintah, korupsi dan kualitas birokrasi.
17
Hal ini mempertegas bahwa faktor-faktor institusional mempunyai pengaruh yang lebih dominan dari pada perdagangan bebas terhadap laju deforestasi di dunia. Pendapat ini mempertegas bahwa institusi adalah komponen penting yang dapat digunakan untuk menjelaskan kemajuan di bidang kehutanan yang merupakan salah satu pendukung ekonomi Indonesia. Lebih dari itu adalah penegakan aturan main itu merupakan landasan yang penting untuk menciptakan insentif perilaku produktif. Dari sisi pandang ini dapat dipahami bahwa institusi merupakan faktor penting dalam mempengaruhi pilihan perilaku seseorang, masyarakat atau populasi tertentu yang selanjutnya berpengaruh terhadap kinerja, termasuk terhadap deforestasi yang terjadi di suatu negara.
2.2. Pengertian Institusi Ekonomi Banyak ahli ekonomi (North, 2000; Werin, 2000; Williamson, 2000;) di dalam Menard, (2000) yang menempatkan Ronald Harry Coase sebagai tokoh penting peletak dasar teori Ekonomi Institusi. Namun Ronald H Coase sendiri menyebutkan bahwa istilah “the New Institutional Economics” dikemukakan untuk pertama kali oleh Oliver Williamson.
North, (2000) menyatakan bahwa dalam kehidupan
masyarakat politik atau perekonomian telah ada struktur, dan struktur-struktur itu adalah fungsi-fungsi yang dibuat oleh manusia yang mengatur hubungan-hubungan antar manusia di dalam masyarakat yang bersangkutan. Struktur dimaksud terdiri dari campuran yang rumit antara aturan-aturan, norma-norma, konvensi-konvensi, dan perilaku karena kepercayaan (behavioral belief), yang kesemuanya membentuk caracara bagaimana orang-orang bertindak untuk mencapai tujuannya. Lebih lanjut ia
18
mengelaborasi bahwa proses-proses pembentukan struktur sesungguhnya diawali dari adanya keyakinan tentang sesuatu, kemudian diterjemahkan ke dalam institusi, dan kemudian institusi diterjemahkan ke dalam cara-cara perkenomian bekerja (berperilaku) dari waktu ke waktu.
Rutherford, (1994) mendefinisikan institusi
sebagai : “a regulatory of behaviour or a rule that is generally accepted by members of a social group, that specifies behaviour in specific situations, and that is either self-policed or policed by external authority”.
Menurut Hayami and Ruttan (1985), institusi adalah aturan-aturan yang berlaku di masyarakat atau organisasi yang memfasilitasi koordinasi antara orang-orang yang terlibat, dengan cara membantu mereka untuk membentuk harapan dimana setiap orang dapat secara rasional mempergunakannya untuk berhubungan dengan yang lainnya. Dalam hubungan-hubungan ekonomi aturan main ini mempunyai peranan yang penting dalam menciptakan harapan tentang hak untuk menggunakan sumberdaya pada aktivitas ekonomi dan harapan tentang pembagian aliran pendapatan yang diperoleh dari aktivitas ekonomi dimaksud. Institusi pada percakapan sehari-hari sering dimaknai sebagai sebuah organisasi seperti pemerintah, universitas, perusahaan, yayasan, organisasi keagamaan, dan lainlain. Talcott Parsons (1940) di dalam Hodgson (1998), menegaskan bahwa institusi bukanlah struktur organisasi semata : ”Ia adalah pola normatif yang menentukan apa yang mesti dilakukan, pada suatu komunitas tertentu, cara-cara bertindak atau hubungan-hubungan sosial yang dianggap tepat, legal atau yang diharapkan. Aoki
19
(2000) menganalogikannya dengan sebuah permainan, ia mengambil pernyataan dari Adam Smith : ”Dalam sebuah papan catur besar tentang masyarakat manusia, setiap “single piece’ (orang) mempunyai prinsip jalannya masing-masing, dan secara keseluruhan berbeda dengan apa yang mungkin dipilih oleh pembuat peraturan untuk memuaskan mereka sendiri.
Dalam analogi ini ekonomi memandang institusi sebanding dengan pemain, aturan main, dan hasil dari permainan itu. Namun demikian North (1990) menyarankan agar institusi diidentifikasikan sebagai aturan main, dan dibedakan (as distinct from) dari pemain itu sendiri. Menurutnya terdapat aturan formal dan informal. Aturan formal – perdefinisi – tidak dapat diubah atau dibuat oleh pemain pada saat yang bersangkutan sedang bermain, tetapi aturan itu sudah ditetapkan sebelum permainan dimulai. Aturan dimaksud menjadi insentif bagi para pemain mengenai bagaimana melakukan transaksi, memilih inovasi, dan akhirnya meningkatkan permintaan akan perubahan aturan main itu. Kemudian terjadilah negosiasi yang akan diputuskan di ‘pasar politik’, berdasarkan aturan main politik dan akhirnya jadilah aturan baru. Ditegaskan oleh North (1990) bahwa “ Adalah politik yang akan menentukan dan memaksakan (enforces) aturan ekonomi dari suatu permainan”.
North (2000) di
dalam Menard (2000) menyampaikan bahwa aturan informal adalah sama pentingnya dengan aturan formal. Dengan demikian North menegaskan bahwa institusi memiliki tiga komponen yaitu aturan formal, aturan informal dan mekanisme penegakan. Lebih tegas lagi ia memandang bahwa ketidakmampuan masyarakat untuk membangun efektivitas dan menurunkan ongkos penegakan inilah yang dianggap sebagai faktor
20
kunci sehingga menyebabkan negara dunia ketiga masih terbelakang sampai sekarang (North, 1990). Dapat dijelaskan disini bahwa institusi adalah aturan main yang dapat bersifat formal atau informal yang akan memberikan pilihan perilaku produktif atau perilaku yang hanya bersifat transfer kekayaan. Institusi menjadi ‘infrastruktur’ yang diperlukan untuk menjalin hubungan-hubungan berbagai pihak yang terlibat dalam suatu sistem perekonomian dan menjadi pedoman berperilaku dalam mencapai tujuan. Jika kebijakan makroekonomi sebagai resep untuk mencapai tujuan, maka institusi sebagai prosedur operasional yang harus diikuti oleh para pelakunya. Apakah orang-orang atau para pelakunya akan bertindak sesuai dengan aturan main, sangat dipengaruhi oleh efisiensi biaya pelaksanaan aturan itu dan kemampuan penegakan aturan itu sendiri. Jika untuk menjalankan aturan main itu menimbulkan biaya-biaya transaksi yang terlalu mahal, maka aturan itu cenderung dilanggar,. Jika pelanggaran banyak terjadi maka aturan itu cenderung tidak berlaku, dan jika hal-hal ini terjadi maka institusi menjadi tidak efektif, sehingga institusi tidak mampu mengarahkan orang-orang berperilaku produktif, akibatnya kinerja ekonomi akan menurun karena akan lebih banyak orang memilih melakukan transfer kekayaan melalui tindakan mengambil kekayaan dari pihak lain. Keadaan seperti itu menurut Van den Berg, (2001) sebagai kondisi yang dapat mendorong terjadinya bencana ekonomi, jika penegakan hukum lemah maka dengan batasan “rational behaviour” sebagai konsep berfikir untuk memaksimumkan keuntungan sendiri pada suatu situasi tertentu, terciptalah insentif untuk bertindak tidak produktif dan melawan hukum, dan tidak terjadi peningkatan kesejahteraan
21
karena
tidak ada tambahan produksi.
Menurut Van den Berg (2001), bencana
ekonomi disebabkan oleh sikap rasional sebagai reaksi atas insentif yang disediakan oleh institusi yang cacat. Kegagalan ekonomi seperti kelaparan, kemiskinan dan pengangguran adalah akibat dari institusi yang menyediakan insentif untuk orangorang rasional untuk berperilaku merusak bukan berbuat yang konstruktif. Perilaku rasional yang dimaksudkan oleh ekonom adalah bahwa orang-orang akan mengambil yang terbaik pada situasi dimana mereka berada. Orang-orang yang rasional berupaya mengurangi kerusakan di dalam situasi yang buruk dan mengambil keuntungan pada kesempatan baik. Dalam konteks penelitian ini, yang dimaksudkan sebagai institusi ekonomi adalah institusi pengelolaan hutan alam yang berupa hasil-hasil inovasi dalam bentuk peraturan-peraturan pengelolaan hutan alam yang dimaksudkan untuk mengarahkan perilaku para pelaku usaha kehutanan untuk mencapai tujuan kegiatan ekonomi yang berupa pengelolaan hutan lestari dan memperoleh keuntungan.
2.3. Institusi dan Hak Properti Di dalam ilmu ekonomi hak properti merujuk kepada satu kesatuan kepemilikan yang menentukan hak pemilik, keistimewaan, dan pembatas penggunaan sumberdaya (Tietenberg, 1992).
Hayami dan Ruttan (1985) menekankan bahwa pengaturan
tentang hak-hak properti merupakan bagian dari dasar ekonomi institusi. Sedangkan Tietenberg (1992) berpandangan bahwa pada pasar ekonomi yang berfungsi dengan baik, struktur hak properti dapat efisien jika memiliki empat karakter yaitu (a) Universality, dimana semua sumberdaya dimiliki secara privat, dan semua hak
22
terdefinisikan dengan baik; (b) Exclusivity, semua manfaat dan biaya yang timbul akibat kepemilikan dan penggunaan sumberdaya berada pada pemiliknya, dan hanya kepada pemiliknya, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui penjualan kepada pihak lain; (c) Trasnferability, semua hak properti harus dapat dipindahtangankan dari satu pemilik ke pemilik yang lain melalui pertukaran yang bersifat sukarela; dan (d) enforceability, hak properti harus aman dari pengambilan secara paksa atau perambahan oleh orang lain. sumberdaya
milik
negara,
seperti
Dalam kaitannya dengan pemanfaatan
hutan,
Schlager
dan
Ostrom
(1992)
mengemukakan bahwa dalam pelaksanaannya, hak properti (property right) dapat dijabarkan menjadi bentuk access dan withdrawal, management, exclusion dan alienation.
Berdasarkan konsep Ostrom ini maka ragam strata kepemilikan hak
adalah sebagai berikut : Tabel 2. Hak-hak yang Terikat Berdasarkan Posisi Kelompok Masyarakat
Strata Hak Access and Withdrawal Management Exclusion Alienation
PEMILIK (Owner)
PENGELOLA (Proprietor)
PENYEWA (Claimant)
PENGGUNA (Autorized User)
X
X
X
X
X X X
X X
X
Sumber : Schlager dan Ostrom (1992). Property Right Regimes and Natural Resources : A Conceptual Analysis. Land Economic 68(3) :249-262, di dalam Kartodihardjo (1999)
Yang dimaksudkan sebagai Access adalah hak untuk memasuki areal atau sumberdaya tertentu yang telah ditetapkan batas-batasnya secara fisik, withdrawal
23
adalah hak untuk memanfaatkan atau memanen produk dari sumberdaya tertentu. Management adalah hak untuk mengubah / memanipulasi sumberdaya menjadi produk tertentu dan hak untuk mengatur manfaatnya. Exclusion diartikan sebagai hak untuk menentukan siapa yang akan mendapatkan dan yang tidak mendapat akses dan hak menentukan cara tersebut dapat dialihkan. Sedangkan alienation diartikan sebagai hak untuk menjual dan atau menyewakan sumberdaya tersebut. Keberadaan hak-hak tersebut perlu dilindungi agar dapat bekerja secara efisien. Van den Berg, (2001) menyatakan jika hukum dan penegakan hukum tidak memadai maka orang-orang yang rasional akan bertindak memanfaatkan atau mengambil yang berharga dari orang lain, bukan memproduksinya sendiri. Di negara-negara yang hak propertinya didefinisikan secara jelas dan ditegakkan secara ketat, kejahatan jarang terjadi, orang-orang rasional akan lebih cenderung beraktivitas produktif daripada mencuri. Oleh sebab itu keamanan properti dapat mempunyai pengaruh kepada kinerja ekonomi suatu negara. Ferreira (2004) mengutip berbagai studi yang dilakukan oleh Gordon (1954), Schaefer (1957), Dasgupta dan Heal (1979) dan Munro dan Scott (1985), dan menarik kesimpulan bahwa batasan yang tidak lengkap tentang hak atas properti (property rights) dan kepemilikan yang tidak aman berdampak buruk terhadap hutan yang mempunyai kontribusi pada deforestasi. Ketika hutan berada dalam kondisi open access para pihak akan berpandangan dan bertindak secara miopik dengan tidak mempertimbangkan ekternalitas negatif yang ditanggung oleh pihak lain atas aktivitas yang ia lakukan, dan tindakan itu akan menyebabkan ekstraksi atas sumberdaya melebihi kapasitas optimalnya. Penegakan hukum yang lemah atas hak property
24
membuat hutan beresiko tinggi untuk dirambah, diambil alih oleh pihak lain atau dikonversi, direspon oleh pihak lembaga keuangan dengan tingkat suku bunga tinggi. Hal ini mendorong orang untuk tidak melakukan investasi pada tanaman hutan, mengurangi minat untuk melakukan pengelolaan hutan dengan intensitas yang lebih tinggi (Mendelsohn, 1994) dan mendorong pemanenan yang lebih sering pada tanaman hutan (Clark, 1990). Kepemilikan yang tidak aman berpengaruh pada pengurangan investasi ekonomi dalam arti luas, dalam hal-hal tertentu juga menyebabkan dis-investasi, meningkatkan kerusakan hutan dan konversi lahan hutan. Ketidak-amanan itu juga dapat mendorong alokasi yang tidak efisien karena adanya kendala akses terhadap kredit bagi para petani yang tidak mempunyai hak property dan ketiadaan pasar formal atas lahannya untuk melakukan transaksi kepada pihak lain yang mempunyai produktivitas marginal yang lebih tinggi (Jaramillo dan Kelly 1997, dalam Ferriera, 2004). Studi antar Negara yang dilakukan oleh Deacon (1994); Bohn dan Deacon (2000) dalam Ferreira (2004) membuktikan secara nyata pandangan ini. Indikator-indikator kualitas institusi dan proxi atas aturan main menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap deforestasi, dimana negara-negara dengan kualitas institusi buruk cenderung mengalami laju deforestasi yang lebih tinggi. Yin (2003), mempelajari inovasi institutional yang terjadi di China yang dimulai pada tahun 1978. Perubahan inovatif yang dimaksud adalah perubahan organisasi produksi dan tenurial lahan dari sistem kolektif menjadi sistem tanggung jawab keluarga (HRS : Houshold Responsibility System) dan pengenalan mekanisme pasar melalui perubahan bertahap dari batasan kuota dan penetapan harga menuju kepada
25
transaksi komoditas berdasarkan harga pasar.
Respon atas perubahan tersebut
berbeda antara China bagian utara dan China bagian selatan. Di wilayah pertanian bagian utara-tengah, termasuk Henan, Shandong dan wilayah sekitarnya, penanaman yang luas telah terjadi meskipun wilayah ini adalah daerah pertanian non-hutan. Bukan hanya perkebunan dan pohon-pohon pelindung telah dibangun, tetapi juga pohon-pohon komersial telah ditanam di lahan pertanian. Hasilnya adalah penutupan hutan meningkat dari 5 persen pada 1977 menjadi 12,5 persen pada tahun 1999. Selain itu sejumlah besar pepohonan telah ditanam di seluruh wilayah, sehingga dapat mengatasi masalah kelangkaan suplai kayu lokal dan kebutuhan bahan bakar. Sebaliknya di wilayah hutan bagian selatan yang merupakan daerah berhutan termasuk provinsi-provinsi di selatan Sungai Yangtze, tidak ada progress yang nyata dalam membangun hutan baru. Yin menyimpulkan bahwa aturan panenan dan pemasaran kayu di China Selatan telah mencegah para petani menikmati manfaat dari perubahan institusi. Sebaliknya kombinasi perbaikan hak tanah dan penghapusan kontrol dan distorsi pasar membuat petani merespon dan mempengaruhi kondisi pasar. Sebagai hasilnya pohon, buah-buahan, minyak, peneduh dan pohon-pohon pelindung banyak di tanam di lahan pertanian, sehingga hutan berkembang pesat di daerah yang secara tradisional merupakan daerah pertanian. Selain itu kebijakan yang stabil dan terduga juga menjadi faktor penentu yang berpengaruh. Sedangkan di Indonesia, Kartodiharjo (1998) mendapatkan bahwa pengusahaan hutan negara melalui HPH, tidak memberikan wewenang kepada perusahaan untuk menentukan management, exclusion dan alienation terhadap sumberdaya hutan yang dikelolanya. Perusahaan hanya berhak atas kayu dengan berbagai kewajiban, dengan
26
pengaturan yang seperti ini menyebabkan perusahaan tidak menjalankan prinsip pengelolaan hutan lestari dengan baik sehingga resiko kerusakan hutan tinggi. Berbagai studi-studi tersebut di atas menunjukkan bahwa peraturan berpengaruh kuat terhadap kepastian akan hak properti atas hutan dan hasil hutan, dan kepastian hak-hak tersebut menjadi faktor penting insentif atau disinsentif untuk perkembangan investasi yang selanjutnya mempengaruhi perkembangan hutan dan kelestariannya.
2.4. Institusi dan Perversi Kekuasaan (Perversion of Power) Scott (2008) membangun konsep institusi yang terdiri dari elemen-elemen regulatif, normatif dan kognitif yang secara bersama-sama dikaitkan dengan kegiatan dan sumberdaya, serta menjadikan kehidupan sosial yang mapan dan bermakna. Dalam pandangan ini institusi dijalankan oleh gabungan dari struktur sosial, aktivitas sosial dan sumberdaya material, sebagaimana tabel 3 berikut ini. Tabel 3 Tiga Pilar-Pilar Institusi Dimensi Basis Kepatuhan Basis Perintah Mekanisme Logika Indikator
Pengaruh
Regulatif Kelayakan (expedience) Aturan hukum Paksaan Instrumentalitas Aturan, Hukum, Sanksi Efek jera / tidak bersalah Sanksi Hukum
Tiga Pilar Normatif Cultural koqnitif Kewajiban Terima apa adanya sosial Saling pengertian Harapan yang Skema resmi mengikat Normatif Meniru Kepatutan Menurut adat Certifikasi, Kepercayaan masyarakat, Akreditasi Logika umum untuk berbuat, isomorphisme Malu / Bangga Kepastian / Kebingungan
Berlandaskan Basis moral Legitimasi Sumber : Scott, W Richard. 2008.
Kelengkapan, pengakuan, dukungan budaya
27
Berger dan Luckman (1967) di dalam Scott (2008), institusi itu “mati” jika hanya ditampilkan dalam bentuk penunjukan verbal dan obyek-obyek fisik saja. Semua penampilan tersebut kehilangan realitas subyektifnya, kecuali dihidupkan di dalam tingkah laku nyata manusia. Selanjutnya Scott (2008) dan Sewel (1992) agar institusi dapat hidup, maka harus dikaitkan atau dilekatkan pada sumberdaya : jika tidak diberdayakan atau diwariskan oleh sumberdaya hampir pasti institusi akan dibuang atau dilupakan, seperti halnya sumberdaya yang tanpa pola-pola kultural yang mengatur penggunaannya hampir pasti akan menghilang atau membusuk. Giddens (1979,1984) dan Sewel (1992) di dalam Scott (2008) menekankan pentingnya menyertakan sumberdaya (material dan manusia) ke dalam setiap konsep struktur sosial sedemikian rupa sehingga dapat memperhitungkan kekuasaan yang tidak simetrik. Agar aturan dan norma menjadi efektif maka harus didukung dengan kekuatan sanksi. Sebaliknya mereka yang memegang kekuasaan atas sumberdaya memerlukan wewenang dan legitimasi untuk menggunakannya. Menurut Scott (2008), pilar regulatif berupa konsep regulasi yang meliputi kapasitas untuk membuat aturan, memeriksa kepatuhan pihak lain terhadap aturan, dan jika diperlukan memberikan sanksi – penghargaan atau hukuman - dalam rangka mempengaruhi perilaku kedepan selanjutnya. Pemaksaan, sanksi dan respon yang layak adalah inti pilar regulatif, tetapi mereka sering terhalang oleh aturan yang ada, baik formal maupun informal. Oleh sebab itu North (1990) menekankan perlunya penegakan aturan dijalankan oleh “pihak ketiga” yang bukan pelaku itu sendiri. Hal ini pula yang menjadi perhatian Skocpol (1985) di dalam Van den Berg (2001), bahwa negara sebagai pihak yang membuat aturan membangun kepentingannya
28
sendiri dan menjalankannya secara otonomi dan terpisah dari aktor-aktor sosial lainnya. Disini letak penting aspek regulatif institusi membangun kembali batasan peran negara sebagai : pembuat aturan, wasit dan penegak peraturan. Van den Berg (2001), menengarai bahwa negara atau pemerintah sebagai “pihak ketiga” disatu sisi diperlukan untuk memfasilitasi transaksi yang semakin kompleks untuk menggapai kesejahteraan yang lebih tinggi bagi setiap anggota masyarakatnya, namun di sisi lain ada bahaya atas kekuasaan yang terpusat pada pemerintah yang akan mengarah kepada “perversi kekuasaan” (perversion of power) untuk memberikan keuntungan kepada sekelompok orang-orang atas beban pihak-pihak yang lain. Sejalan dengan kekhawatiran atas terjadinya perversi kekuasaan, North (1987), menengarai bahwa dalam sejarah, sistem politik cenderung tidak membuat institusi yang efisien, karena alasan bahwa membatasi transaksi (fokus, previliledge), akan memudahkan memungut pajak atau mengeksploitasi para pihak untuk kepentingannya, disamping itu institusi yang efisien tidak menguntungkan kelompok tertentu yang penting bagi keberlangsungan penguasa atau oligarchi. Keberadaan perversi kekuasaan perlu mendapatkan perhatian, terutama kecenderungan birokrasi untuk memperversi kekuasaannya sebagaimana dinyatakan oleh Osborn dan Plastrik, (2001) bahwa birokrasi cenderung memperkuat kekuasaannya, dan mengingat bahwa salah satu peran pemerintah adalah membuat peraturan, maka peraturan menjadi salah satu bentuk alat yang diciptakan untuk memperkuat kekuasaan. Bila terdapat aturan yang mengandung perversi, akan sulit mengharapkan pemerintah menghapuskannya secara sukarela karena menurut Jepperson, (1991) di dalam Scott, (2008) sebagai tatanan social, institusi secara relatif resisten terhadap
29
perubahan, cenderung diwariskan antar generasi, dipelihara dan direproduksi. Demikian pula dalam pandangan Scott (2008), kesulitan birokrasi dapat pula terjadi akibat mereka juga terhalang oleh aturan-aturan formal maupun informal. Pentingnya memperhatikan keberadaan perversi kekuasaan di dalam institusi karena peran institusi yang penting dalam sebuah sistem. Schmid, (1987) dalam Kartodiharjo (1998) berpendapat bahwa bentuk institusi mempunyai implikasi terhadap inisiatif dan kemampuan suatu organisasi untuk menjalankan penegakan peraturan (law enforcement) guna mengatasi permasalahan free rider 2, dan permasalahan lainnya. Sebagaimana disampaikan terdahulu bahwa keberadaan perversi kekuasaan sejalan dengan memfasilitasi terjadinya free riding. Dengan demikian keberadaan perversi kekuasaan menjadi sumber terjadinya transaksi biaya tinggi dan kesulitan dalam menegakkan aturan. Dalam pandangan North (1990) ketidakmampuan masyarakat untuk membangun efektivitas dan menurunkan ongkos penegakan adalah faktor kunci yang mempengaruhi kinerja ekonomi suatu negara. Hal yang senada dikemukakan juga oleh Costanza, et al (2001) bahwa kegagalan pengelolaan sumberdaya alam berhubungan dengan ketidakmampuan sistem manusia membangun kontrol yang efektif terhadap persediaan (tegakan hutan) dan aliran (produksi). Williamson (1985) menekankan bahwa bila kesepakatan dicapai, muncul kendala-kendala ex post yang tak terduga yang akan membuka peluang perilaku opportunistik, membuat penegakan (enforcement) sulit dilakukan dan mendorong para mitra untuk membuat penyesuaian atau menjadikan konflik.
2
Free rider adalah individu atau kelompok masyarakat yang ikut menikmati atau memanfaatkan barang dan atau jasa tetapi tidak ikut menanggung biaya produksi atau pengadaannya.
30
Dari berbagai pandangan tersebut, tergambar bahwa perversi kekuasaan dapat berbentuk pemberian hak-hak monopoli maupun berupa peraturan-peraturan yang memberikan legitimasi kewenangan pemerintah untuk mengatur dan mengurusi berbagai hal hingga ke tingkat detail yang kadang kala menjadi domain privat. Hirakuri (2003), meneliti implementasi hukum kehutanan di Brazil dan Finlandia. Ia mempelajari penegakan dan kepatuhan terhadap hukum pengelolaan hutan, melalui analisa penegakan instrumen-instrumen seperti peraturan-peraturan dan pendekatan orientasi pasar, serta faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan. Dijelaskan bahwa sebagian besar peraturan kehutanan di Brazil berupa peraturan administratif (administrative acts) yang kurang stabil karena mudah diubah tanpa persetujuan konggres. Kepatuhan yang penuh hampir dipastikan tidak pernah terjadi. Meskipun sertifikasi dapat membawa perkembangan positif, namun sejarah kelangkaan kontrol yang efisien dan monitoring yang efektif terhadap praktek logging menyebabkan terjadinya “predatory logging”. Sementara di Findlandia keadaan berbalikan dengan Brazil. Pemerintah hanya mengatur hal-hal pokok yang berhubungan dengan pengelolaan hutan, tetapi tingkat kepatuhannya amat sangat tinggi.
Terdapat enam faktor yang dianggap punya
pengaruh besar atas keberhasilan tersebut, yaitu : insentif ekonomi, bimbingan kehutanan, kelembagaan manajemen dan kerjasama, hutan-hutan skala kecil, rencana pengelolaan hutan dan sertifikasi. Di Indonesia, Kartodihardjo (1998) mendapatkan bahwa institusi pengusahaan hutan alam belum mampu mengarahkan perilaku perusahaan untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari. Perusahaan yang memiliki kinerja baik kurang dari 20 %,
31
sebagian terbesar berkinerja buruk. Kinerja yang buruk mengindikasikan bahwa terdapat pelanggaran atas peraturan yang berlaku. Diketahui pula bahwa pemerintah daerah tidak mampu mengendalikan perilaku perusahaan. Kelemahan dalam penegakan aturan diindikasikan dengan adanya produksi illegal dan ekspor log illegal. Dikemukakan pula bahwa kegagalan penegakan tersebut juga disebabkan oleh konsesi yang terlalu luas, di luar kapasitas perusahaan untuk mengamankannya. Sebagaimana telah dikemukakan oleh Costanza et al, (2008) bahwa salah satu faktor penyebab kegagalan pengelolaan sumberdaya alam adalah mismatch of scale, yaitu pengambilan keputusan yang didasarkan pada informasi yang bersumber dari skala yang berbeda. Anggapan bahwa skala besar (luas) adalah kumpulan dari skala kecil yang digabungkan adalah menafikan adanya faktor-faktor lain yang timbul akibat penggabungan tersebut. Thiele (1994) menyatakan bahwa unit pengusahaan hutan yang terlalu luas menyebabkan berkurangnya insentif bagi pemegang HPH untuk mencegah kegiatan perladangan dan pencurian kayu serta menyebabkan sumberdaya hutan mengalami idle. Institusi yang berlaku di bidang pengusahaan hutan di Indonesia sebelum reformasi memberikan insentif penguasaan areal hutan yang sangat luas. Kartidihardjo (1998) mendapati bahwa selain unit-unit pengelolaan yang luas juga terjadi konglomerasi, sehingga melampaui kapasitas perusahaan untuk melakukan kontrol terhadap konsesinya.
2.5. Institusi dan Status Asset Tegakan Hutan Alam Meiler dan Meiners, (1986) di dalam Kartodihardjo, menjelaskan bahwa orientasi perilaku perusahaan komersial berpusat pada mencari keuntungan dan meminimalkan
32
resiko. Menurut Hampton (1989) untuk memaksimumkan keuntungan, perusahaan akan meningkatkan likuiditas dengan mengkonversi aset menganggur (idle) menjadi uang tunai (cash) dan dengan meminimumkan biaya produksi. Untuk meminimumkan resiko usaha, perusahaan mengatur komposisi terbaik penggunaan jenis-jenis aset yang dimiliki, dan menentukan cara terbaik menggunakan aset melalui peningkatan efisiensi dan meminimumkan penggunaan asset yang tidak perlu
Usaha kehutanan
banyak melibatkan pengeluaran jangka panjang untuk membiayai penanaman pohon yang akan memerlukan waktu bertahun-tahun untuk dapat dipanen. Biaya penanaman pohon adalah biaya yang dikeluarkan dalam rangka membangun “pabrik” yang diharapkan dapat menghasilkan stok yang dapat ditransaksikan. Keterlibatan pengeluaran jangka panjang dalam usaha kehutanan, memerlukan jaminan keamanan atas investasi yang ditanamkan dalam bentuk tegakan hutan, dan jaminan atas hak untuk dapat melakukan transaksi atas hasil yang diperoleh. Sebagaimana dikemukakan oleh Tietenberg (1992) bahwa salah satu karakteristik hak properti yang efisien adalah adanya karakter transferability, maka dalam usaha kehutanan sangat diperlukan adanya jaminan bahwa pengeluaran jangka panjang dapat diperhitungkan sebagai investasi yang dapat diakumulasikan sebagai asset yang dapat ditransaksikan. Mengingat bahwa dalam usaha kehutanan yang melibatkan pengelolaan hutan, membangun tegakan hutan adalah inti dari pekerjaan ini, oleh sebab itu jaminan untuk dapat menjadikan pengeluaran jangka panjang sebagai investasi yang dapat diakumulasikan sebagai asset yang dapat ditransaksikan adalah merupakan hal yang sangat penting. Kegagalan memberikan jaminan akan hal ini dapat menjadi disinsentif untuk membangun hutan yang baik. Van den Berg (2001) mengemukakan
33
bahwa pengakuan asset memberikan lebih banyak pilihan, karena asset dapat diakumulasikan sebagai alat penyimpan kekayaan, dapat dikonversikan ke dalam jenis asset lainnya atau dikonsumsi sejalan dengan perkembangan kebutuhan, sehingga memberikan insentif terhadap inovasi dan investasi. Pengalaman yang terjadi di Mexico seabad yang lalu dapat menjadi pelajaran berharga, seperti yang dicontohkan oleh Van den Berg (2001), pada tahun 1920-an Pemerintah Mexico melakukan reformasi agraria dengan menyita lahan dari para tuan tanah dan membagikannya kepada masyarakat melalui pengelolaan lahan secara kolektif kepada
masyarakat Ejidos yang terletak di Mexico berbatasan dengan
Guatemala. Setiap anggota masyarakat diberikan hak untuk bercocok tanam dan memanen hasilnya, meskipun dapat diwariskan kepada anaknya dan tetap diijinkan menggunakan tanahnya sepanjang masih bersedia menanam, tetapi tanah tetap menjadi milik kolektif,. Mereka diijinkan sebagai pengguna permanen tetapi tidak diberikan hak properti yang berupa hak transfer. Sejalan dengan kemajuan zaman, generasi muda banyak yang beralih profesi dan bermigrasi ke tempat lain. Karena definisi hak properti yang tidak lengkap, maka segala investasi yang ditanamkan di lahan tersebut tidak dapat ditransaksikan melainkan menjadi milik komunal. Investasi tidak dapat diakumulasikan menjadi asset dan tidak dapat ditransaksikan sehingga investasi tersebut tidak dapat memfasilitasi perpindahan profesi anak-anak mudanya, bahkan menjadi beban tetap (fixed cost) bagi kepindahaanya. Investasi yang berupa tanaman keras, bangunan tidak bergerak harus ditinggalkan sebagai bentuk biaya kepindahannya.
34
Di dalam system pengusahaan hutan Indonesia, dikemukakan oleh Kartodihardjo (1998) bahwa stok tegakan hutan tidak tercatat sebagai asset perusahaan maupun asset Negara. Dengan menggunakan konsep Meiler dan Hampton tersebut di atas, maka tegakan hutan berada dalam posisi sebagai asset menganggur sehingga beresiko untuk dikonversi secepatnya menjadi uang tunai.
2.6. Institusi dan Penguasaan Informasi Informasi yang tidak seimbang (asymetric information) secara teori dianggap menjadi penyebab kegagalan kebijakan dan kegagalan pasar (Pindyck & Rubinfeld, 2001). Informasi yang tidak berimbang atau tidak benar tersebut dapat melahirkan kesepakatan yang melanggar aturan legal atau kolusi antara pelaksana dan pengawas dalam mengambil keputusan diterima atau tidaknya hasil pekerjaan (Williamson, 1985). Costanza, et al (2008) juga mengemukakan bahwa sebab lain dari kegagalan pengelolaan sumberdaya alam adalah karena keputusan didasarkan pada informasi agregat pada skala yang salah, meskipun informasi itu ada pada skala yang benar. Adanya informasi yang tidak simetrik ini dapat menimbulkan masalah-masalah yang berupa salah pilih mitra kerja (adverse selection problem), bahaya karena kerusakan moral (moral hazard) dan masalah antara induk dan agen (principal-agent problems). Pindyck, et al (2001), menggambarkan masalah salah pilih dengan mengambil contoh masalah yang dihadapi oleh perusahaan asuransi dan kartu kredit. Perusahaan tidak mengetahui secara pasti kualitas dari calon pelanggannya yang berupa resiko klaim kesehatan dan resiko tidak membayar tagihan. Pelanggan keduanya dapat dibedakan kedalam pelanggan baik yang memiliki resiko rendah, dan
35
pelanggan buruk yang memiliki resiko tinggi. Karena ketidak-tahuan perusahaan, maka perusahaan menetapkan tarif tunggal berdasarkan peluang resiko rata-rata, sehingga pelangggan yang masuk terdiri dari pelanggan baik dan buruk. Dengan kebijakan tarif ini, pelanggan dalam kategori buruk, mendapat insentif lebih besar dari pada pelanggan baik untuk mengikuti program asuransi atau kartu kredit, sehingga perusahaan menanggung resiko klaim atau gagal bayar yang tinggi. Untuk mempertahankan viabilitasnya perusahaan menaikkan tarifnya, dan pada akhirnya hanya pelanggan-pelanggan buruk yang terjaring dalam programnya. Selanjutnya Pindyck, et al (2001), menjelaskan problem moral hazard terjadi bila satu pihak yang tindakannya tidak dapat diamati mempengaruhi peluang atau sifat pembayaran transaksi tertentu. Jika satu pihak (pertama) dalam mendapatkan hak pihak lain (kedua) disertai syarat atau kewajiban kepada pihak kedua, dan pihak lain tersebut tidak dapat diawasi perilaku terkait syarat atau kewajiban tersebut oleh pihak kedua, maka pihak pertama akan melakukan tindakan-tindakan yang menyebabkan resiko beban pihak kedua semakin besar. Misalnya seseorang yang bekerja pada majikannya akan diberikan gaji tertentu dengan syarat harus menghasilkan tingkat produksi dengan jumlah dan kualitas tertentu, apabila majikan tidak dapat mengawasi maka pekerja akan mengurangi pemenuhan kewajibannya, sehingga majikan menanggung beban per-unit produksi yang lebih tinggi. Sedangkan
Principal Agent Problems adalah masalah yang muncul apabila
manager (agen) tetap berbuat untuk mencapai tujuannya meskipun ketika perbuatan ini dilakukan menurunkan keuntungan pemilik perusahaan (principal). Masalah ini akan terjadi pada situasi pengaturan hubungan dimana prestasi atau kesejahteraan
36
seseorang (pemilik) bergantung kepada perbuatan pihak lain (agen). Jika pemilik tidak mempunyai cukup informasi, atau biaya untuk mendapatkan informasi terlalu mahal, maka pemilik kehilangan kendali atas perjanjian yang disepakati. Ascher (1993) Pemerintah Indonesia tidak menguasai data dan informasi tentang
potensi hutan alam produksi di Indonesia, pengetahuan yang dimiliki pemerintah relatif terbatas. Kartodihardjo (1998), menyimpulkan bahwa ketersediaan informasi mengenai sumberdaya hutan alam pada pemerintah rendah, yang menyebabkan ketidak-pastian dalam pengukuran hasil kerja atau kinerja (performance). Pemerintah belum mengetahui secara lengkap kondisi hutan (batas kawasan, potensi hutan, riap) pada saat hutan tersebut diserahkan pengelolaannya kepada pemegang HPH. Pemerintah mendapatkan informasi riap berdasarkan pemantauan data Petak Ukur Permanen (PUP) di setiap areal HPH/IUPHHK. Pusat Penelitan dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam (P3HKA) adalah lembaga yang bertugas memantau dan mengolah data PUP serta merekomendasikan kepada pemerintah besarnya riap pada areal tertentu. Menurut Haruni, Rinaldi dan Wahjono (2010) data Laporan PUP yang diterima oleh P3HKA terus menurun dari tahun ke tahun, seperti pada Tabel 4. Hal ini sesungguhnya menunjukkan bahwa pemerintah tidak mempunyai cukup informasi untuk menetapkan riap, dan pemerintah tidak mampu menegakkan aturan kewajiban perusahaan untuk melaporkan data PUP. Dengan kebijaksanaan ini timbul resiko akibat ketidak-tepatan informasi potensi hutan, yang berupa tindakan-tindakan melanggar aturan main seperti yang dikemukakan oleh Wiliamson (1985) tersebut diatas.
37
Tabel 4. Perkembangan Jumlah Laporan PUP sampai dengan Tahun 2009 Lap ke 1 2 3 4 5 6 7 8
TAHUN PENGIRIMAN 95 55 53 3
111
96 45 37 42 3 1
128
97 35 20 30 26 3
98 20 13 10 22 14 1
114
80
99 10 9 8 10 8 2 1 48
00 5 4 5 3 7 5
29
01 1 5 1 1 2 4 2 1 17
02 2 1 1 2 1 1 8
03 5 1 3
04 5 1
Jml 05
06
3
2 1 1
07 3 2
08 4
09 2 2
5
4
4
1 1 1 11
6
3
5
186 150 109 67 35 15 5 3 573
Sumber : Haruni, Rinaldi, dan Wahyono (2010)
2.7. Institusi dan Biaya Transaksi Menurut North (1991) biaya transaksi (transaction cost) adalah biaya untuk mengukur nilai atribut barang dan jasa (information cost) yang dipertukarkan, biaya melindungi hak atas barang (exclusion cost), dan biaya untuk menetapkan kontrak/ perjanjian (contractual cost) serta biaya untuk menjalankan perjanjian (policing cost). Menurut Schmid (1987) biaya transaksi merupakan salah satu karakteristik inherent sumberdaya alam, yang secara alami memberikan bentuk interdependensi antar individu atau kelompok masyarakat yang terlibat. Lebih lanjut Schmid (1987) mengatakan bahwa institusi akan dapat efektif dijalankan jika institusi tersebut mampu
mengendalikan
karakteristik
inherent
sumberdaya
alam
tersebut.
Karakterisitik inherent yang dimaksudkan oleh Schmid antara lain adalah biaya eksklusi yang umumnya tinggi, skala ekonomi, dan keterkaitan antar generasi. Kartodiharjo (1998) mendapatkan situasi selama periode 1989 – 1995 terdapat penambahan dan atau penggantian peraturan di bidang pengusahaan hutan sebanyak 132 peraturan Di dalam setiap Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang
38
Pemberian HPH, setiap pemegang HPH diwajibkan untuk melaksanakan sejumlah aktivitas yang pelaksanaannya diatur oleh peraturan tersebut diatas. Ascher (1993), Dauvergne (1994),King, (1996), Ross, (1996), Darusman, (1997) dalam Kartodiharjo (1998) . Karena pemerintah tidak memiliki informasi lengkap yang diperlukan sebagai landasan penyusunan dan pelaksanaan kontrak (Ascher, 1993), maka bentuk kontrak tidak dapat mengatasi sifat biaya transaksi tinggi, bahkan sebaliknya menimbulkan biaya transaksi yang harus ditanggung pemegang HPH
2.8. Institusi dan Konflik Kepentingan Peraturan menentukan kondisi lingkungan kerja bagi individu atau organisasi. Sedangkan kondisi lingkungan menyediakan tatanan kesempatan (opportunity sets) tertentu. Setiap individu / organisasi melakukan respon terhadap tatanan kesempatan yang tersedia, untuk memaksimumkan apa yang diinginkan (Shaffer, 1980, dalam Kartodiharjo, 1998). Williamson (1985)
menekankan bahwa bila kesepakatan
dicapai, muncul kendala-kendala ex post yang tak terduga yang akan membuka peluang perilaku opportunistik, membuat penegakan (enforcement) sulit dilakukan dan mendorong para mitra untuk membuat penyesuaian atau menjadikan konflik. Sebagaimana diingatkan oleh Scokpol (1985) didalam Van den Berg (2001) bahwa diperlukan pembatasan peran negara agar tidak masuk terlalu jauh dalam urusanurusan bisnis tingkat mikro, karena negara sebagai pihak yang membuat aturan membangun kepentingannya sendiri dan menjalankannya secara otonomi dan terpisah dari
aktor-aktor
sosial
lainnya.
Sejalan
dengan
ini
pula
North
(1987),
mengkhawatirkan adanya konflik kepentingan peran pemerintah dalam membangun
39
institusi mengingat bahwa dalam sejarah, sistem politik cenderung tidak membuat institusi yang efisien, karena alasan pragmatis untuk memudahkan memungut pajak atau mengeksploitasi para pihak untuk kepentingannya, disamping itu institusi yang efisien juga tidak menguntungkan kelompok tertentu yang dianggap penting bagi keberlangsungan kekuasaannya atau oligarchi. Oleh karenanya dalam pandangan Van den Berg (2001), dan Stiglitz (2000), pemerintah perlu mengambil peran sebagai regulator dan sebagai penegak aturan. Dalam konsep North (1990), agar institusi dapat efisien harus ada pemisahan antara aturan main dengan pemainnya. Pemerintah sebagai pihak pembuat aturan main dan sebagai wasit dalam permainan ini, tidak dapat sekaligus menjadi pemain untuk menghindari adanya konflik kepentingan.. Berdasarkan konsep-konsep tersebut di atas, penting memperhatikan perilaku pemerintah dalam membangun institusi melalui kewenangannya untuk membuat peraturan dan menegakkannya. Pemisahan peran sebagai pemain dan pembuat aturan main diperlukan agar tidak menimbulkan aturan-aturan main yang mengandung konflik kepentingan. Van den Berg (2001), dan Osborn dan Plastrick (2001), mengingatkan bahwa bukan saja karena birokrasi cenderung memperkuat kekuasaannya,
namun juga perlu dipahami bahwa pemegang kekuasaan juga
cenderung mencari cara-cara yang paling menguntungkan bagi kepentingannya meskipun atas beban pihak lain. Pemisahan yang jelas ini juga sangat diperlukan agar pemerintah dapat menegakkan aturan secara efektif, adanya konflik kepentingan dapat mengakibatkan pemerintah lemah dalam menegakkan aturan Kartodihardjo (1998), mendapati fakta bahwa peraturan pengusahaan hutan mereduksi kebijaksanaan pengelolaan hutan menjadi pengaturan manajemen hutan.
40
Adanya karakteristik dan konflik kepentingan aktor-aktor yang terlibat seperti pemegang HPH, masyarakat di dalam dan di sekitar hutan, sampai saat ini belum teratasi.
Banyaknya jumlah peraturan yang berisi tentang prosedur teknik dan
administrasi pelaksanaan pekerjaan dapat diartikan bahwa peraturan pengusahaan hutan adalah penjabaran implementasi teknologi 3 daripada implementasi institusi. Disampaikan lebih lanjut bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukannya (Kartodiharjo, 1998) kepentingan-kepentingan normatif yang seharusnya dapat dilaksanakan pemerintah
telah bergeser. Kedua pihak, yaitu pemerintah dan
pemegang HPH terbawa dalam situasi opportunism yaitu sikap atau tindakan yang didefinisikan oleh Williamson (1985) sebagai dominannya kepentingan individu dengan cara tipu muslihat yang seringkali diikuti oleh sifat menipu dan mencuri. Penyebab terjadinya sikap oportunis tersebut adalah kurangnya informasi, khususnya informasi yang diperlukan untuk memperhitungkan upaya-upaya yang diperlukan untuk memperbaiki terjadinya kesalahan pelaksanaan pekerjaan, serta adanya distorsi kebijaksanaan atau ketidaksesuaian kebijaksanaan dengan tujuan yang akan dicapai.
2.9. Peran Pemerintah dan Kebijakan Publik Studi ekonomi membedakan antara ekonomi makro dan ekonomi mikro, keduanya mempunyai fokus perhatian yang berbeda, pengambil keputusan ekonomi makro dan 3
Definisi “teknologi” adalah sebagai berikut : a system based on the application of knowledge, manifested in physical objects and organizational forms, for the attainment of specific goals. Dengan tambahan penjelasan sebagai berikut : 1). Successful technological development requires the presence of effective demand, 2). Only market force can produce technological innovation, 3). Science does not always play the decisive role in the development of technology, ….. most technology have been developed and applied with little scientific input. 4). Technology differs from science in the type and depth of knowledge that is required. …. technology is not applied science. (Rudi Volti, 1992 dalam Kartodiharjo,H. 1998).
41
pengambil keputusan ekonomi mikro dilakukan oleh orang-orang yang berbeda. Mankiw (2000), menjelaskan ekonomi makro sebagai disiplin studi ekonomi yang mempelajari perekonomian secara menyeluruh, dan ekonomi makro dimaksudkan untuk menjelaskan kejadian-kejadian ekonomi dan untuk merumuskan kebijakankebijakan dalam rangka meningkatkan kinerja ekonomi. Sedangkan ekonomi mikro adalah disiplin studi ekonomi yang mempelajari bagaimana perusahaan atau individu membuat keputusan dan bagaimana para pembuat keputusan (individual) tersebut saling berinteraksi. Dalam pandangan Pindyck (2001) ekonomi mikro adalah cabang ilmu ekonomi yang berhubungan dengan unit-unit ekonomi individual, - seperti konsumen, perusahaan, pekerja dan investor, - dan juga pasar dimana individuindividu tersebut saling berhubungan. Sedangkan makro ekonomi adalah cabang ilmu ekonomi yang berhubungan dengan variable-variabel ekonomi secara agregat. Dua teori tersebut dapat menjadi awal untuk memposisikan peran pemerintah dan pelaku usaha dengan baik. Pada abad ke 19 dan 20 terjadi dikotomi sistem ekonomi yang dianut oleh negara. System yang pertama adalah pandangan laissez fair yang dikemukakan oleh John Stuard Mill, agar pasar bersaing sempurna, pemerintah tidak perlu turut campur tangan dalam kegiatan ekonomi, biarkan pelaku bisnis yang memutuskan sendiri. Pemerintah seharusnya tidak mengatur atau mengontrol perusahaan. Pandangan yang kedua berdasarkan pemikiran Karl Max dan lain-lain yang memandang penting keterlibatan pemerintah dalam kegiatan ekonomi untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Pandangan kedua ini didasarkan pada kondisi masyarakat yang tidak sama, seperti perbedaan tingkat pendapatan dan adanya orangorang yang menganggur yang tidak diuntungkan dalam sistem pasar bersaing
42
sempurna. Akan tetapi paham tentang pemerintahan yang kuat mengalami titik balik ke arah melemahnya negara pada tahun 1980-an, yang ditandai dengan dimulainya privatisasi pada pertengahan 1985, hingga runtuhnya negara-negara sosialis. Fukuyama, (1992) dalam Nugroho (2008), menyatakan bahwa persaingan (paham ekonomi) telah selesai dengan kalahnya paham sosialis-komunis dari paham liberaliskapitalis, sejarah telah selesai dan tinggal satu jalan yaitu liberalis-kapitalis. Pada tahun yang sama Osborne dan Gaebler (1992) mengajukan konsep Reinventing Government, yang menyarankan pengurangan peran pemerintah terhadap kegiatan ekonomi. Dalam pandangan Boaz (1996) di dalam Nugroho (2008) keterlibatan pemerintah harus seminimal mungkin sehingga dikatakan bahwa the best government is the least government. Pandangan ini diterima secara luas sejak Bank Dunia dan IMF menerima konsep Washington Concensus pada tahun 1992 untuk digunakan sebagai instrumen pembenahan perekonomian negara-negara anggotanya. Keterlibatan pemerintah dalam aktivitas ekonomi memang masih menjadi perdebatan, namun Van den Berg (2001) dan North (1990) memposisikan bahwa peran pemerintah masih tetap diperlukan namun secara selektif. Dalam pandangan Osborne dan Gaebler (1992), dikatakan bahwa pemerintah hanya perlu mengarahkan (steering) dan tidak perlu menjalankan (rowing). Apabila dikaitkan dengan konsep makro-mikro tersebut di atas, maka pemerintah sebaiknya berkonsentrasi pada urusan-urusan ekonomi makro, dan tidak menjalankan urusan-urusan di tingkat ekonomi mikro tetapi menfasilitasi agar ekonomi mikro dapat bergerak. Perkembangan selanjutnya, paham melemahkan negara berkembang kearah ekstrim yang berupa menyerahkan keseluruhan ekonomi kepada mekanisme pasar.
43
Kesadaran baru timbul setelah peristiwa 11 September 2001, dimana gedung WTC di Amerika Serikat dihancurkan oleh teroris. Peristiwa ini menyadarkan banyak pihak bahwa swasta tidak dapat melindungi rakyat, karena swasta lebih tertarik untuk melindungi dirinya sendiri. Perubahan pandangan antara lain dikemukakan oleh Francis Fukuyama dan Milton Friedman sebagai berikut : “Selama lebih dari satu generasi, kecenderungan dari politik dunia adalah melemahkan negara, …….. Persoalan utama dalam politik dunia tidak lagi bagaimana merampingkan negara, melainkan bagaimana membangunnya. Bagi masing-masing masyarakat dan komunitas global, meluruhnya negara bukanlah awal utopia melainkan malapetaka …..”(Fukuyama ,2005 dalam Nugroho, 2008)
Perubahan pandangan juga dikemukakan oleh Milton Friedman dalam pernyataan yang sampaikan pada wawancara yang dikutip oleh Fukuyama (2005) dalam Nugroho (2008), sebagai berikut : “…. Satu dekade sebelumnya ia menyerukan tiga kata bagi negara-negara yang mengalami transisi dari sosialisme, yaitu : swastanisasi, swastanisasi, dan swastanisasi. Namun saya salah, ‘apa yang benar adalah bahwa pemerintahan yang berdasarkan hukum mungkin lebih mendasar daripada swastanisasi’ ”.
Dengan demikian, jika pada mulanya terdapat dua pandangan ekstrim tentang sistem ekonomi negara yaitu sistem yang memberikan posisi kuat kepada negara seperti yang dianut oleh negara sosialis-komunis dan sistem yang memberikan posisi kuat kepada swasta (liberal-kapitalis), maka saat ini dan selanjutnya terdapat sistem ketiga yang menjadikan negara dan swasta sama-sama kuat. Sebagaimana telah
44
dipahami secara umum, bahwa syarat adanya negara yaitu ada wilayah, ada penduduk dan ada pemerintahan. Oleh sebab itu sistem ketiga dimaknai sebagai pemerintahan yang kuat dan penduduk sebagai pelaku ekonomi yang kuat. Sistem ini memerlukan pembagian tugas yang jelas, yaitu apa yang seharusnya dikerjakan oleh pemerintah dan apa yang lebih baik dikerjakan oleh swasta, serta instrumen untuk mencegah pemerintahan yang totaliter. Sebagaimana dikemukakan oleh North (1990) dan Van den Berg (2001), bahwa pemerintah memang diperlukan tetapi terlalu berbahaya jika kekuasaannya terlalu besar dan terakumulasi pada suatu kelompok tertentu. Drucker (1984) dalam Nugroho (2008), menyatakan bahwa para ekonom telah terjebak pada obsesi bahwa negara harus menyejahterakan seluruh isi negara, sehingga lebih banyak berfikir tentang ‘apa yang seharusnya dilakukan pemerintah’ dan tidak mendiskusikan tentang ‘apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah’. Dalam pandangan Drucker (1984) pemerintah dapat melakukan tiga kegiatan usaha yaitu : (1) usaha yang bersifat monopoli, (2) usaha yang bersifat selamanya harus ada, dan (3) usaha yang dianggap sebagai simbul suci dan ultimate. Dijelaskan lebih lanjut bahwa usaha yang bersifat monopoli adalah jenis usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak, dan untuk menjalankannya hanya ada satu pilihan yang tidak mungkin ada persaingan, maka usaha ini lebih baik dijalankan oleh pemerintah karena ‘pemegang saham’ dari usaha ini adalah seluruh rakyat. Pada masa lalu barangkali apa yang dikemukakan oleh Drucker ini mengandung kebenaran, namun perkembangan mutakhir hampir tidak ada jenis usaha yang sepenuhnya hanya menyangkut hajat hidup orang banyak dan tidak dimungkinkan adanya pesaing, oleh sebab itu dalam hal pilihan ini lebih tepat digunakan pendapat Osborne dan Gaebler
45
bahwa pemerintah lebih baik steering rather than rowing. Sementara dua jenis usaha lainnya masih dianggap relevan seperti mengelola keamanan nasional, menarik pajak dan hal-hal yang menyangkut moral sosial dan tidak diperjual-belikan. Pengarahan (steering) oleh pemerintah dilakukan melalui kebijakan publik (public policy), dalam hal ini digunakan difinisi yang dikemukakan oleh Prof. Thomas R Dye (1995, dalam Nugroho, 2008), kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan oleh pemerintah, dan hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil berbeda. Dalam definisi ini tercermin wilayah kompetensi pemerintah yaitu : Pertama, kebijakan publik berkaitan dengan pembuatan dan penegakan aturan main tentang hubungan antar warga dan hubungan antara warga dengan pemerintah. Kedua, kebijakan publik adalah keputusan yang mengatur kehidupan bersama atau kehidupan publik dalam rangka mencapai tujuan yang dicita-citakan bersama dan bukan mengatur kehidupan orang-perorang atau kelompok. Ketiga, kebijakan publik dibuat oleh organisasi publik yang dalam pengertian tersebut adalah pemerintah. Keempat, kebijakan publik juga dicirikan oleh manfaat yang dihasilkan, yaitu apabila produk/manfaat yang dihasilkan lebih banyak dinikmati oleh pengguna
tidak
langsung (indirect beneficieries) daripada pengguna lansungnya, atau dengan kata lain nilai eksternalitasnya tinggi Kelima, yang dimaksudkan sebagai pemerintah dalam konteks pembuatan kebijakan publik adalah organisasi-organisasi publik yang berwenang membuat dan menegakkan aturan publik. Nugroho (2008), mengemukakan bahwa rentetan kebijakan publik sangat banyak, mulai dari ketetapan MPR hingga ke peraturan-peraturan pelaksanaannya, namun dapat dibedakan dalam tiga kelompok kebijakan publik yaitu :
46
(1) kebijakan makro yaitu kebijakan publik yang bersifat umum atau mendasar yang dituangkan dalam bentuk Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Presiden dan Peraturan Daerah; (2) kebijakan meso atau kebijakan tingkat menengah yang berupa aturan pelaksanaan yang dapat diterbitkan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota; dan (3) kebijakan mikro adalah kebijakan yang mengatur pelaksanaan atas kebijkan publik tingkat meso dan makro. Dalam hal tertentu terdapat pengecualian atas pengaturan hirarki dimaksud, atas dasar pertimbangan efisiensi organisasi, kebijakan makro dan meso dapat saja mengatur pelaksanaan apabila kebijakan tersebut tidak memerlukan aturan lebih lanjut, dan bila formulasi kebijakannya sendiri sudah menimbulkan hight cost economy, maka dikhawatirkan pelaksanaannya juga akan hight cost economy pula. Hubungan makro-meso dan mikro juga dapat ditinjau dari cakupan atau jangkauan wilayah yang dilayani oleh kebijakan publik, dan jenis urusan yang diatur sebagai urusan bersama atau urusan individu/golongan. Kebijakan yang mempunyai cakupan luas berhubungan erat dengan urusan-urusan bersama, sedangkan kebijakankebijakan yang cakupannya sempit biasanya menyangkut urusan individu/golongan. Hubungan ini dapat digambarkan dalam kuadran kebijakan publik pada Gambar 6 Dengan demikian dapat dipahami bahwa tugas pemerintah yang utama adalah membuat kebijakan publik yang menyangkut hal-hal yang menjadi urusan bersama, dan menjankan penegakan hukum untuk melindungi kepentingan setiap warga negara, individu, atau kelempok. Dalam bidang kebijakan pemerintah bertanggung jawab pada tingkat makro dan meso, sedangkan dibidang penegakan hukum pemerintah berkewajiban melindungi setiap warga negara (mikro).
47
Organisasi masyarakat Organisasi Publik
Penanggung jawab pertama
Lingkup Isu/Urusan/Masalah Pribadi dan/atau Masyarakat/Bersama golongan Kuadran I Kuadran II Operasional Perusahaan
Gotong Royong, Pemeliharaan lingkungan kampung
Kuadran III
Kuadran IV
Tindak Kejahatan yang memerlukan lembaga peradilan negara
Kebijakan Publik
Gambar 6. Kuadran Kebijakan Publik (diadopsi dari Nugroho, 2008)
Dalam pandangan Goldman (2004) hubungan makro-meso-mikro adalah merujuk kepada kebijakan dan institusi yang mengatur dan mempengaruhi aktivitas pembangunan di semua sektor. Pembangunan dan pertumbuhan umumnya dikaitkan dengan ekonomi tingkat makro dan menggunakan pendekatan “top-down”, tetapi akhir-akhir ini pendekatan tersebut telah dikombinasikan dengan pendekatan “bottum up”. Secara sederhana Goldman mendifinisikan setiap tingkatan makro-meso dan mikro berdasarkan kewilayahannya sebagai berikut : (1) institusi dan kebijakan Makro adalah kebijakan yang mempunyai cakupan wilayah pengaruh yang luas dan dilakukan oleh institusi tingkat nasional atau global; (2) institusi dan kebijakan Meso adalah kebijakan yang mempunyai cakupan wilayah pengaruh di tengah-tengah (intermediate) dan dilakukan oleh institusi tingkat provinsi atau distrik; dan (3) institusi dan kebijakan Mikro adalah kebijakan yang
48
mempunyai cakupan wilayah pengaruh yang berhubungan langsung dengan masyarakat langsung (grass roots), komunitas dan individu, dan dilakukan oleh institusi tingkat masyarakat, kimunitas atau individu. Dengan demikian kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang mengatur urusan bersama dan berhubungan dengan variabel-variable agregat serta mencakupi wilayah yang luas dan menengah. Dalam konteks kehutanan Indonesia yang mempunyai wilayah luas dan keanekaragaman ekosistem hutan, kondisi infrastruktur serta kondisi sosial ekonomi yang beragam, maka dalam konteks penelitian ini batasan tentang makro-meso dan mikro dirumuskan sebagai berikut : (1) kebijakan publik tingkat makro meliputi wilayah nasional dan provinsi, variabelvariable yang digunakan sebagai dasar kebijakan adalah variable agregat nasional, antar provinsi, dan antar kabupaten yang dilakukan oleh organisasi pemerintah nasional dan organisasi pemerintah provinsi; (2) kebijakan publik tingkat meso meliputi wilayah kabupaten atau kota, variabel-variable yang digunakan sebagai dasar kebijakan adalah variable agregat kabupaten atau kota, dan antar Kesatuan Pengelolaan hutan yang dilakukan oleh organisasi pemerintah daerah tingkat kabupaten/kota; dan (3) kebijakan tingkat mikro menyangkut urusan yang mengatur individu yang dilakukan oleh organisasi unit pengelolaan hutan terkecil atau perusahaan-perusahaan kehutanan. Pemerintah sebagai aktor pengambil kebijakan publik dituntut untuk dapat berindak secara efektif, akan tetapi banyak kejadian bahwa peran pemerintah tersebut tidak berjalan secara efektif. Stiglitz (2000), menekankan adanya empat faktor yang menyebabkan kegagalan pemerintah yaitu : (1) keterbatasan informasi, sebagai
49
konsekwensi banyaknya aktivitas urusannya menjadi rumit dan sulit diamati, pemerintah tidak mampu mendapatkan seluruh informasi yang diperlukan; (2) keterbatasan kontrol terhadap respon pasar privat, pemerintah hanya mempunyai rentang kendali yang kecil atas semua tindakan yang dilakukan terlebih lagi terhadap aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh individu baik orang maupun perusahaan; (3) keterbatasan kontrol terhadap birokrasi, undang-undang banyak menyerahkan pengaturan hal-hal teknis dan pelaksanaannya kepada lembaga eksekutif sehingga tidak jarang bahwa apa yang dikehendaki oleh undang-undang sering tidak sesuai dengan yang dipraktekkan. Kegagalan ini dapat terjadi karena ketidak jelasan maksud undang-undang dan dapat pula karena birokrasi kurang mendapat insentif untuk melaksanakannya; dan (4) pelemahan oleh proses politik, meskipun pemerintah mempunyai kapasitas untuk melaksanakannya, namun keputusan untuk bertindak seringkali menghadapi kesulitan tersendiri. Para politisi sering kali hanya berfikir untuk kepentingan kelompok tertentu dan kadang kala memandang persoalan yang kompleks dengan cara yang sangat sederhana berdasarkan keterbatasan pengetahuan yang ia miliki saja, sehingga tidak benar-benar menyelesaikan masalah atau mencapai tujuan yang sesungguhnya.
2.10. Sebab-sebab Kerusakan Hutan Laju deforestasi yang positif menunjukkan bahwa pengelolaan hutan masih belum berhasil mencapai tujuannya. Kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut dimaksudkan untuk menekan kerusakan hutan melalui praktek pengelolaan hutan yang lestari. Pengelolaan hutan adalah aktivitas yang kompleks, persoalan yang telah berlangsung
50
lama yang menambah kompleksitas permasalahannya, oleh sebab itu tidak mungkin ada solusi tunggal. Angelsen dan Kaimowitz (1999) di dalam Angelsen (2009) mengemukakan tentang hirarki penyebab deforestasi seperti pada gambar 7 .
Deforestasi
Sumber
Agen Deforestasi : Pilihan Variabel
Penyebab Langsung
Parameter2 Keputusan
Institusi
Infrastruktur
Pasar
Variable makro dan instrumen kebijakan
Teknologi
Penyebab Utama
Gambar 7. Sumber, Penyebab Langsung dan Penyebab Utama Deforestasi Sumber : Angelsen dan Kaimowitz (1999)
Sebagai sumber deforestasi adalah para pelaku yang bertindak menebang hutan, yaitu petani subsisten yang berladang berpindah, perusahaan kecil perkebunan, dan perusahaan besar perkebunan dan peternakan, dilaporkan bahwa ketiga aktor ini mempunyai kontribusi terhadap hilangnya 2/3 hutan tropika. Penyebab langsungnya adalah harga, akses pasar, teknologi pertanian, kondisi agro-ekologik dan lain sebagainya yang mempengaruhi pilihan-pilihan para pelaku deforestasi.
Dalam
model ini kebijakan untuk mengurangi deforestasi akan mempengaruhi parameter
51
keputusan melalui restrukturisasi pasar, mengenalkan teknologi baru, membangun infrastruktur dan institusi. Model Angelsen ini tidak mempertimbangkan hubungan saling mempengaruhi antara institusi, infrastruktur, pasar dan teknologi, namun demikian model ini telah dapat memberikan informasi tentang faktor-faktor yang perlu mendapat perhatian dalam membuat kebijakan publik menekan deforestasi.
2.11. Pengelolaan Hutan di Swedia Setelah konferensi Rio de Jainero pada tahun 1992, pemerintah Swedia melakukan reformasi kehutanan dengan mengubah Undang-Undang Kehutanannya sehingga pada tahun 1993 di tetapkan undang-undang baru yang dinamakan Undang-undang Kehutanan Swedia tahun 1993. Undang-undang ini mulai diberlakukan pada tahun 1994,
dalam pertimbangannya dinyatakan bahwa “Hutan adalah sumberdaya
Nasional yang harus dikelola sehingga memberikan manfaat berdasarkan kelestarian dan menjamin pelestarian keanekaragaman hayati” (Skogsstyrelsen, 1994). Undangundang kehutanan Swedia 1993 juga mengatur bahwa kepentingan produksi dan konservasi mempunyai prioritas yang sama. Kelestarian hutan bukan hanya memastikan produksi kayu dan kegunaan multiguna atas hutan saja, melainkan juga melestarikan keanekaragaman hayati. Hak kepemilikan atas hutan diakui secara jelas, sehingga terdapat hutan negara, hutan milik perorangan, hutan milik perusahaan, dan hutan milik komunitas (Nilsson, 1990)
Terhadap hutan yang dimiliki oleh negara, sejak tahun 1993 pemerintah
memberikan hak pengelolaan atas hutan negara kepada perusahaan kehutanan
52
“AssiDoman”, pemerintah memiliki saham sebesar 51 % dan sisanya 49% dijual ke pasar modal (Borealforest, 2010). Selanjutnya dijelaskan bahwa pemerintah sebagai salah satu pemilik hutan tidak terlibat langsung dalam urusan-urusan mikro. Pemerintah berkonsentrasi pada kebijakan publik untuk memajukan kehutanan di seluruh wilayah negaranya. Tugas-tugas pemerintah dalam rangka menjalankan undang-undang berupa : (1) pemberian nasehat; (2) distribusi hibah pemerintah kepada pemilik hutan yang berhasil memenuhi syarat, (3) inventarisasi hutan, (4) aktifitas informasi, (5) urusan-urusan ekologik tertentu, (6) pengaturan timber scaling, dan (7) statistik kehutanan dan peramalan sektor kehutanan. Tugas-tugas pemerintah dan perusahaan tercermin dalam perbedaan ruang lingkup perencanaan kehutanan, menurut Ericson, Hedlund dan Thalin (1992) pemerintah tidak bisa atau tidak seharusnya membuat rencana untuk aktor-aktor individual, tetapi harus ; (1) membuat aturan main, (2) mendukung para aktor, dan (3) bertanggung jawab atas kegiatan tertentu. Adapun tujuan perencanaan kehutanan tingkat nasional disebutkan sebagai : (1) Menyediakan informasi kepada para pengambil keputusan politik untuk membuat kebijakan pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya hutan, (2) untuk memberikan landasan bagi inisiasi, promosi, dukungan dan dalam hal tertentu melaksanakan pembangunan hutan, (3) memberikan informasi kepada aktoraktor finansial yang potensial, dan (4) memberikan landasan umum berupa informasi sebagai bahan diskusi berbagai pihak yang terkait. Sedangkan perencanaan di tingkat perusahaan harus diberikan fleksibilitas karena kondisi bisnis yang terus menerus berubah yang memerlukan pemutahiran rencana. Proses perencanaan harus dilihat sebagai proses yang kontinu yang memproduksi
53
pengalaman dan pengetahuan mengenai masalah yang harus dihadapi perusahaan. Oleh karenanya perencanaan pada perusahaan bukanlah sebuah skema yang dihasilkan oleh spesialis untuk mengoperasikan dengan segala resiko, melainkan hasil dialog antara spesialis dan eksekutif yang mendefinisikan tujuan atas operasional dan memberi arahan bagi eksekutif untuk mengisinya. Perencanaan pada tingkat bisnis terdiri dari (1) Perencanaan Strategis, (2) Perencanaan Jangka Panjang, dan (3) Rencana Operasional. Dijelaskan lebih lanjut bahwa perencanaan strategis berhubungan dengan masalah-masalah yang tidak diketahui dan peluang-peluang ke depan. Oleh sebab itu studi dan peramalan tentang lingkungan perusahaan di masa yang akan datang merupakan elemen fundamental dalam perencanaan strategis. Perencanaan strategis dikaitkan dengan daur produksi pada area tertentu, dan setidaktidaknya meliputi satu rotasi. Perencanaan jangka panjang merujuk pada aktivitas yang luas dan memerlukan horison waktu tiga sampai 10 tahun atau lebih. Tujuan dan arah yang ditentukan pada rencana strategik diterjemahkan dan dinyatakan secara persis dalam bentuk biaya, penerimaan, dan lokasi geografis atas kegiatan-kegiatan yang bermacam-macam. Rencana Operasional umumnya terdiri dari rencana jangka menengah (hingga 5 tahun) dan rencana jangka pendek (maksimum satu tahun). Setiap orang yang akan melakukan penebangan hutan harus menyampaikan rencana penebangannya kepada kantor kehutanan setempat untuk diberikan petunjuk terhadap hal-hal yang tidak sesuai dengan aturan, apabila dalam 15 hari tidak ada petunjuk maka penebangan dapat langsung dilaksanakan. Berdasarkan rencana tersebut pemerintah memeriksa dan menilai kondisi setelah penebangan, jika hasilnya memenuhi aturan yang berlaku misalnya jumlah minimum tegakan sisa dan minimum
54
kerusakan hutan, maka pemerintah merencanakan besarnya hibah atau subsidi yang akan diberikan kepada yang bersangkutan untuk membiayai penanaman kembali. Nilsson (1990) juga menjelaskan bahwa hal-hal yang bersifat teknis tidak diurus oleh pemerintah secara langsung melainkan didevolusikan kepada para pemilik/ pengelola hutan. Para pemilik/pengelola hutan membentuk Federasi Pemilik Hutan Swedia (Skogsagarnas Riksforbund) untuk meningkatkan pendapatan finansial para anggotanya. Tujuan tersebut dicapai dengan mengkoordinasikan perdagangan kayu dan bantuan kepada pemilik tentang teknik-teknik logging dan silvikultur. Undang-undang kehutanan swedia juga mengatur hak-hak tradisional masyarakat Swedia yang berupa akses kehutan (right of common acces) setiap orang berhak melewati hutan milik siapapun, berhak menikmati lanskap, memungut jamur dan buah berry, dengan cara-cara yang bertanggung jawab. Aktivitas berkendaraan dan berkemah lebih dari 24 jam diharuskan mendapat ijin dari pemilik/pengelola hutan.
2.12. Optimasi Produksi Multiproduk Pengelolaan hutan yang menghasilkan manfaat optimal adalah alokasi sumberdaya secara optimal sehingga dihasilkan manfaat yang maksimal. Dengan kata lain konsep pengelolaan hutan yang dikehendaki oleh Undang-undang adalah sebuah konsep produksi multiproduk (multiproducts production). Beattie dan Taylor. (1985) mengemukakan bahwa prinsip-prinsip ekonomi dalam produksi multiproduk sangat tergantung pada faktor produksinya yaitu apakah faktor produksi itu dapat dibagi (allocable factors) atau tidak dapat dibagi (non-allocable factors). Jika faktor produksi itu allocable maka untuk setiap jenis produk yang akan diproduksi dapat
55
diketahui berapa jumlah faktor produksi yang diperlukan untuk memproduksi produk yang satu dan berapa yang diperlukan untuk produk yang lainnya. Sementara itu jika faktor produksinya non-allocable maka tidak dapat diketahui jumlah yang diperlukan oleh masing-masing produk, namun terdapat jumlah minimum tertentu yang harus ada agar produk-produk tersebut dapat diproduksi. Dalam hal ini juga perlu dipahami bahwa produksi multiproduk juga dihadapkan pada hubungan saling ketergantungan (interdependensi) antara produk yang satu dengan yang lain. Hubungan-hubungan ini secara matematik digambarkan oleh Beattie dan Taylor (1985) seperti gambar 8.
x 11
P1 : F1 (y1 , y2, z , x11) = 0
y1
P2 : F2 (y1 , y2, z , x12 ) = 0
y2
z
x 12
Gambar 8. Ilustrasi Alokasi Faktor Produksi Allocable dan Non-allocable dalam Proses Produksi Multiproduk Dalam konsep ini x adalah faktor produksi yang allocable dan untuk memproduksi produk y 1 dan produk y 2 yang dilakukan melalui proses produksi P 1 dan P 2 maka x tersebut dapat dibagi menjadi x 11 yang diperlukan untuk menghasilkan y 1 dan x 12 untuk memproduksi y 2. Sedangkan faktor produksi yang
non-allocable
digunakan secara bersama-sama oleh proses produksi P 1 dan proses produksi P 2. Terdapat hubungan ketergantungan antara produksi y 1 dan produksi y 2 . Adanya
56
konsep interdependensi antara satu produk dengan produk lainnya, dalam hubungannya dengan produksi hasil hutan, konsep tersebut dapat dikaitkan dengan konsep ekosistem hutan alam. Cara pandang bahwa hutan adalah sebuah ekosistem telah diterima secara luas, pandangan ini telah diadopsi dalam undang-undang kehutanan sebagaimana tercantum dalam ayat (2) pasal 1, UU No. 41/1999 yang mendefinisikan hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem. Kedudukan hutan dalam cara pandang bangsa Indonesia telah ditem-patkan pada posisi yang sangat tinggi, dalam mukadimah undang-undang kehutanan butir (a) dan butir (b) hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan yang wajib disyukuri, diurus dan dimanfaatkan secara optimal, karena hutan juga dipandang sebagai penentu sistem penyangga kehidupan. Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Hamilton (1993), bahwa kontaminasi atas ekosistem bukan hanya menjadi racun bagi tetumbuhan dan binatang-binatang tetapi juga mengganggu proses berfungsinya ekosistem, sehingga berperan terhadap terjadinya kepunahan dan mempengaruhi sistem penyangga kehidupan. Pengelolaan hutan adalah tindakan optimasi yaitu upaya untuk menghasilkan keuntungan (manfaat) secara maksimal pada situasi kendala (constraints) pengelolaan hutan tertentu. Beattie, et al (1985) menjelaskan bahwa titik optimal terjadi saat kurva isorevenue bersinggungan dengan kurva rate of production transformation. Titik singgung dari setiap jenis produk yang disebut sebagai Output expansion path, adalah merupakan pilihan-pilihan optimal yang tersedia. Ilustrasi tentang kondisi optimal dengan menggunakan satu faktor produksi allocable dengan dua pilihan jenis produk dan kondisi pasar bersaing secara sempurna dan tidak sempurna adalah seperti gambar 9.
57
Y2 Y2
Kurva transformasi produk
Output expantion path
Isorevenue
Y1
0
0
a. Pesaingan tidak sempurna
Y1 b. Pasar bersaing sempurna
Gambar 9. Produksi Optimal pada Pasar Bersaing Sempurna dan Tidak Sempurna
Dengan demikian produksi yang optimal terjadi apabila produksi dari setiap jenis produk berada pada titik-titik maksimum yang dapat dicapai pada kendala tertentu. Jumlah keseluruhan dari setiap tingkat produksi maksimum tersebut merupakan tingkat produksi optimal yang dapat dilakukan pada setiap unit produksi tertentu.
2.13. Metode Analisa Qualitatif dan Quantitatif Neuman (1997) menyatakan bahwa pada penelitian qualitatif, konteks merupakan aspek yang penting, artinya penelitian qualitatif akan memperhatikan hal-hal yang melingkungi obyek yang diteliti. Peristiwa yang sama yang terjadi pada konteks yang berbeda dapat mempunyai arti yang berbeda. Berbeda dengan penelitian quantitatif
58
yang menghimpun data dari berbagai kasus, pada penelitian kualitatif dapat memfokuskan pada satu atau beberapa kasus, kemudian mendalaminya hingga mendapatkan informasi secara detail. Proses imersi (imersion) memperkaya pemahaman peneliti atas konteks yang sedang ditelitinya.
Penelitian qualitatif
diawali dengan sebuah pertanyaan penelitian, sementara teori dibangun bersamaan dengan pengumpulan data, penelitian qualitatif tetap terbuka pada perubahan, sehingga dapat saja di tengah jalan terjadi perubahan pertanyaan. Penelitian qualitatif membangun
teori
dengan
membuat
perbandingan.
Penelitian
qualitatif
memperhatikan urutan kejadian, mana yang pertama, kedua dan seterusnya, karena penelitian qualitatif memperlajari satu kasus yang sama sehingga dapat diketahui isue yang berkembang, konflik yang timbul, hubungan sosial yang terjadi. Dalam mengintepretasikan data yang berupa teks atau kata-kata, peta, photo dan lain-lain, penelitian kualitatif mencari makna dari data tersebut yaitu dengan mencari tahu apa motivasi atau alasan terjadinya suatu tindakan. Hasil tersebut merupakan interpretasi tahap pertama, yang dilanjutkan dengan interpretasi tahap ke dua, menghubungkan berbagai makna tersebut, karena makna dibangun dari berbagai makna, bukan dari ruang hampa, interpretasi tahap kedua mengaitkannya dengan konteks yang sedang dihadapi pada penelitian. Beberapa penelitian dapat berhenti sampai pada interpretasi tahap kedua, namun dapat pula dilanjutkan sampai tahap ke tiga untuk membangun teori yang signifikan. Penelitian ini berhubungan dengan pendalaman makna teks yang tertuang dalam berbagai peraturan-peraturan, oleh karenanya pendekatan qualitatif lebih tepat digunakan. Disamping itu pengalaman peneliti yang telah bekerja selama lebih dari
59
20 tahun di Departemen Kehutanan, merupakan proses imersi yang mendalam yang menbantu dalam menangkap informasi guna melakukan interpretasi tahap kedua, maupun dalam menangkap makna dari interpretasi tahap pertama. Untuk memberikan pemahaman tentang pengaruh struktur terhadap perliku, disamping data qualitatif tersebut terdapat pula informasi qualitatif yang di tabulasikan menjadi data quantitatif. Guna mengetahui hubungan keeratan antara variable-variabel perilaku perusahaan, maka dilakukan analisa quantitatif dengan menggunakan uji keeratan (independent test) dengan Chi Square Test.
2.14. Kerangka Penelitian Berdasarkan berbagai informasi tersebut diatas dan untuk mencapai tujuan seperti yang disebutkan pada Bab I, maka untuk mengkaji masalah institusi yang ada dilakukan dengan mempelajari keterkaitan/respon antara struktur-perilaku dan kinerja. Gambar 10 memperlihatkan kerangka penelitian yang menggambarkan keterkaitan tersebut. Kinerja pengelolaan hutan dicerminkan oleh keberhasilannya membangun stok tegakan hutan, dan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan (rentabilitas). Kinerja tersebut merupakan respon atas perilaku perusahaan dalam menyikapi aturan main yang berlaku dan perilaku pemerintah dalam menegakkan aturan main tersebut. Sedangkan perilaku adalah respon dari struktur institusi yang dalam hal ini adalah berupa peraturan-peraturan yang diberlakukan setelah reformasi institusi kehutanan dilakukan pada tahun 1999.
60
Kinerja :
GROWING
Perilaku
Struktur :
RENTABILITAS
AFP
TAT
PAL
AKU
VMI
MO
RIV
BIN
TEK
SDM
EVA
PAK
PEL
SIL
RUS
TTG
LIK
SOL
RAS
RIA
INV
LIN
GNG
PAR
UK
KPA
STRATA HAK
STATUS ASSET
ENFORCEABILITY
KONFLIK
TRANSAKSI
INFORMASI
LUAS
TRANSFER
EXCLUDE
MANAGE
ACESSS
Gambar 10. Kerangka Penelitian “Keterkaitan Struktur, Perilaku dan Kinerja
T
61
Dalam rangka mengetahui efektifitas struktur institusi yang dibangun, maka dilakukan penelaahan atas substansi peraturan perundangan yang berlaku, dengan kerangka pemikiran pada Gambar 11.
Pilihan Efektifitas Institusi
Property Right Asymetric Information
ATURAN
Produktif
Perversion of Power Status Asset Hutan
PENEGAKAN
Aturan yg Konflik
Transfer
High Transaction cost Gambar 11. Kerangka Penelitian Substansi Peraturan
2.15. Posisi Penelitian ini dengan Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini adalah penelitian Kartodihardjo (1998), penelitian menggunakan data contoh 60 perusahaan HPH dan rentang waktu peraturan yang diteliti antara tahun 1985 sampai dengan 1995 dengan kesimpulan bahwa institusi yang berlaku pada pengusahaan hutan dengan pola HPH tidak mampu mengarahkan perilaku perusahaan untuk mengelola hutan secara lestari. Hasil penelitian ini menemukan bahwa dengan pola HPH, pemerintah dan pemerintah daerah tidak mampu mengendalikan ijin-ijin yang diberikan yang ditengarai dari banyaknya kegiatan penebangan liar. Demikian pula perusahaan tidak dapat mengontorol areal kerjanya karena konsesi yang terlalu luas.
62
Perusahaan tidak melaksanakan kewajiban yang ditunjukkan dengan biaya investasi yang terlampau rendah dibandingkan dengan rencana investasi yang dihitung berdasarkan standar yang berlaku. Dana perusahaan banyak digunakan untuk membiayai biaya transaksi yang tinggi yang timbul akibat prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah. Pemerintah menjalankan fungsinya dengan kebijakan administratif yang bersifat comand and control, mereduksi manajemen hutan menjadi manajemen teknik. Dalam hubungannya dengan perusahaan, pemerintah terjebak dalam perilaku opportunistik sehingga hal-hal yang seharusnya dapat dilakukan oleh pemeintah untuk mendorong pengelolaan hutan lestari menjadi tidak dapat dijalankan. Institusi yang dibangun dan dijalankan menimbulkan berbagai macam konflik kepentingan di lapangan seperti konflik antara perusahaan, masyarakat, pemerintah daerah dan sektor-sektor lain. Konflik-konflik ini juga berkaitan dengan batasan hak yang diberikan kepada HPH yang hanya sebagai pengguna saja. Selain Kartodihardjo (1998), terdapat Mardipriyono (2004) yang dalam penelitian pada program Master di IPB mencermati biaya transaksi yang timbul berkaitan dengan institusi pengelolaan hutan alam produksi. Sementara itu Darusman dan Bahruni (2003), mencari jawaban atas kinerja pengelolaan hutan alam produksi dari perbedaan struktur biaya produksi pada perusahaan yang mempraktekkan pengelolaan hutan lestari dan perusahaan yang tidak mempraktekkan pengelolaan hutan lestari. Berbeda dengan sebelumnya adalah penelitian ini akan mengetahui letak perbedaan pengaruh institusi sebelum tahun 1999 dengan institusi sesudah reformasi
63
institusi tahun 1999, hasil penelitian Kartodihardo (1998) menjadi informasi yang digunakan sebagai pembandingnya. Yang kedua dapat diperoleh pemahaman tentang struktur institusi yang dikehendaki oleh Undang-Undang Kehutanan yang baru yaitu UU. 41/1999, pemahaman ini akan menjadi dasar untuk mengetahui perilaku/respon pemerintah dalam menjalankan misi perubahan yang diinginkan oleh reformasi institusi. Ketiga penelitian ini berupaya untuk mengetahui posisi hirarki institusi dan kebijakan yang dibangun oleh pemerintah dalam konteks hubungan makro-meso dan mikro, dan dalam hubungan kebijakan publik-privat, sehingga dapat diperoleh penjelasan kecenderungan perilaku pemerintah. Sementara untuk mengetahui perilaku perusahaan dalam merespon institusi yang baru digunakan data hasil Penilaian Kinerja Perusahaan IUPHHK pada tingkat Unit Manajemen tahun 2008 dan 2009. Selain itu untuk mendapatkan latar belakang yang mempengaruhi perilaku, dilakukan penelitian tentang unsur-unsur yang dapat menyebabkan institusi menjadi tidak efektif, yaitu apakah institusi yang baru telah terbebas dari unsur-unsur tersebut akan menjadi fokus perhatian dari penelitian ini. Diharapkan bahwa penelitian ini dapat mengisi bagian-bagian yang belum dapat dijelaskan oleh penelitian sebelumnya dalam menjawab pertanyaan besar mengapa hutan Indonesia masih terus semakin rusak.