9 II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Ransum Sapi Perah Tujuan utama pemberian pakan pada sapi perah adalah menyediakan ransum yang ekonomis serta dapat memenuhi kebutuhan hidup pokok, kebuntingan dan produksi susu induk, serta kebutuhan untuk pertumbuhan bagi ternak muda.
Agar terpenuhinya produksi yang maksimal maka perlu
terpenuhinya kebutuhan pakan, dengan kuantitas maupun kualitas yang baik. Dengan kata lain, hal ini adalah terpenuhinya kecukupan gizi sesuai dengan kebutuhan ternak, tidak kekurangan ataupun berlebihan (Krishna, 2009). Beberapa pendekatan perlu menjadi pertimbangan dalam rangka mengembangkan sistem pemberian pakan sapi perah di Indonesia, yaitu : (a) Efisiensi ekosistem rumen tidak dapat dikarakterisasi dengan hanya menganalisis bahan pakan, (b) Nilai konsumsi bahan pakan sering kali tidak berkorelasi posistif dengan nilai kecernaan, namun lebih banyak dipengaruhi oleh ada/tidaknya pakan suplemen yang ditambahkan, (c) Ketersediaan asam amino tidak dapat diartikan berasal dari kandungan protein pakan, dan (d) Nilai energi pakan dan efisiensi pemanfaatannya sangat dipengaruhi oleh keseimbangan energi, asam lemak berantai panjang (long chain fatty acids) dan asam amino yang diserap oleh ternak (Krishna, 2009). Agar pengaruh penyajian pakan suplemen terhadap produktivitas ternak dapat diprediksi lebih akurat, maka dirasa sangat penting untuk memperhatikan
10 adanya hambatan-hambatan yang berkaitan dengan metabolisme pakan. Hambatan tersebut antara lain : jumlah ketersediaan
yang sedikit dari asam
amino, energi glukogenik, dan asam lemak terbang (volatile fatty acids = VFA) hasil fermentasi di rumen. Keterbatasan-keterbatasan tersebut menurunkan produksi susu. Produksi susu ternak sapi perah dipengaruhi oleh konsumsi pakan (feed intake) dimana faktor ini sangat bergantung pada nilai kecernaan dan kapasitas suatu bahan pakan untuk memasok nutrien yang dibutuhkan oleh ternak pada level produksi tertentu. Dengan demikian, ada dua faktor yang perlu dipertimbangkan, yaitu (a) Jumlah dan keseimbangan nutrien yang dibutuhkan, dan (b) Ketersediaan nutrien secara kuantitatif yang berasal dari pakan. Selanjutnya keseimbangan nutrien dipengaruhi oleh : (a) Jumlah komponen pakan yang tidak mengalami perubahan oleh mikroba rumen dan diserap (asam amino, glukosa, asam lemak berantai panjang), (b) Laju produksi hasil akhir fermentasi, (c) Fase fisiologis ternak (bunting, laktasi, pertumbuhan) dan (d) Faktor lingkungan (penyakit, parasit, temperatur, dan kelembapan). Sedangkan ketersediaan nutrien sangat dipengaruhi oleh : (a) Ekosistem mikroba rumen yang mempengaruhi ketersedian protein mikroba rumen, VFA dan energi glukogenik, dan (b) Komposisi kimia dan bentuk fisik pakan yang mempengaruhi jumlah protein, pati, asam lemak rantai panjang yang lolos dari fermentasi rumen. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sebagian pakan sapi perah terdiri atas bahan pakan berupa hasil ikutan pertanian (agricultural byproducts), terutama selama musim kemarau. Suplementasi untuk ternak yang sedang laktasi
11 dan diberi pakan basal hasil ikutan pertanian harus ditujukan guna mengoreksi ketidak-seimbangan nutrien untuk produksi susu.
Pemberian pakan sumber
bypass protein misalnya dapat meningkatkan konsumsi pakan dan produksi susu, akan tetapi untuk menyeimbangkan kualitas energi, lemak dalam tubuh harus dimobilisasi dan kekurangan glukosa harus diperoleh dari cadangan dalam tubuh untuk memproduksi laktosa. Dalam kondisi ini bobot badan ternak sapi perah cenderung turun dan pemberian pakan berupa sumber lemak dapat memperkecil laju penurunan bobot badan tersebut. Penambahan sumber karbohidrat, -misalnya pati-, pada pakan tersebut mampu menyeimbangkan rasio asam amino dengan energi dan hal ini dapat mencegah mobilisasi lemak tubuh. 2.1.1 Silase Biomassa Jagung Pembuatan silase (ensiling) adalah tindakan pengawetan hijauan berkadar air tinggi yang berprinsip pada fermentasi yang terkontrol dalam suasana anaerob sehingga dihasilkan asam laktat yang menyebabkan kondisi asam. Pada kondisi asam yang rendah tidak terjadi perubahan nutrien yang signifikan. Pada pembuatan silase akan diperoleh hijauan awetan yang kualitasnya mendekati bahan bakunya, tidak terjadi penurunan kualitas yang signifikan, dan yang spesifik ialah masih banyak mengandung air (succulent) (Ristianto, 2015). Pembuatan silase ini memiliki keuntungan dan kerugian yang diantaranya disajikan pada Tabel 1.
12 Tabel 1. Keuntungan dan Kerugian Silase Keuntungan Kerugian a. Jika proses silase berhasil akan a. Membutuhkan silo (tempat pembuatan dihasilkan hijauan pakan awetan silase) dan peralatan lainnya sehingga yang tetap berkualitas tinggi membutuhkan modal yang cukup mirip bahan asalnya yang besar, banyak mengandung air (succulent) b. Dapat disimpan lama selama b. Membutuhkan banyak peralatan dan masih dalam silo, banyak tenaga, c. Memanfaatkan hasil limbah yang c. Kemungkinan gagal ada sehingga tidak sulit dicerna menjadi lebih dapat diberikan pada ternak, mudah untuk dicerna, kegagalan silase hanya dapat diketahui saat panen, yaitu saat pembongkaran silo, d. Proses dan pemberian pakan d. Bila silase diambil dari silo harus dapat diberikan secara mekanis, segera diberikan pada ternak, karena mudah rusak, e. Pembuatan silase tidak sangat e. Tidak dapat dibawa jauh (untuk tergantung pada cuaca, perbekalan dikapal misalnya), selain berat karena kadar air masih tinggi, juga karena mudah rusak, kecuali kalau punya silo-silo mini, f. Tidak mengandung indoparasit, f. Pemberian pada ternak perlu adaptasi karena sifatnya yang asam sehingga kalau ternak langsung makan berlebihan dapat terjadi acidosis, g. Sedikit terjadi kehilangan zat g. Tidak baik digunakan secara makanan/nutrisi karena berselang-seling (inteermittent), rontoknya daun, kerusakan akibat sinar matahari (misalnya, kerusakan karoten), respirasi yang berkepanjangan (perombakan karbohidrat mudah larut), dan hidrolisis protein dapat dicegah, h. Memungkinkan penggunaan h. Kandungan air dalam silase masih tanah kembali lebih besar (untuk banyak sehingga harus dapat tumpang sari/double cropping), memeberikan perlakuan lain dalam pemberian silase tersebut, i. Terkadang digunakan untuk i. Memberikan aroma yang tidak sedap di menaikkan palatabilitas hijauan sekitar pembuatan dan penyimpanan kering, silase,
13
Lanjutan Tabel 1. Keuntungan dan Kerugian Silase Keuntungan Kerugian j. Dibandingkan hay ancaman j. Tidak menguntungkan bila bahaya kebakaran lebih kecil, pembuatannya jauh dari kandang karena terkendala oleh transportasi, k. Tanaman yang kurang subur atau k. Umur simpan menjadi berkurang kurus (weedy) dapat dibuat setelah silo dibuka. silase dengan baik (Ristianto, 2015).
Kebiasaan menanam dan menggunakan rumput potong sebagai pakan sapi perah dilakukan oleh calon peternak sapi perah pada lahan subur dengan kondisi iklim yang mendukung.
Oleh karena itu, pada mulanya koperasi susu dan
peternak rakyat mengikuti perwilayahan pengusaha swasta dan misionaris yang menempatkan usahanya di dataran tinggi atau pegunungan dengan lahan rumput yang subur. Selain menggunakan hijauan rumput gajah, perusahaan juga menggunakan tanaman jagung muda, baik dalam bentuk segar maupun silase (Krishna, 2009). Tanaman jagung (Zea mays L.) termasuk ke dalam famili rumputrumputan (Gramineae). Tanaman ini di Indonesia sudah dikenal sejak 400 tahun yang lalu, yang pertama kali dibawa oleh bangsa Portugis dan Spanyol. Jagung merupakan tanaman penting kedua setelah padi yang sebagian besar ditanam di Pulau Jawa terutama di Jawa Timur (Suprapto, 2001). Secara umum penggunaan jagung di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu : (1) konsumsi langsung, (2) bahan baku pakan ternak, (3)
14 bahan baku industri pangan dan (4) kebutuhan lainnya. Dewasa ini integrasi tanaman jagung dengan ternak di beberapa daerah mulai dikembangkan. Keuntungan yang bisa diperoleh adalah produksi ternak meningkat, petani dapat memanfaatkan ternak untuk membajak lahan yang akan ditanami jagung, kotoran (feses) dapat dijadikan pupuk pada lahan tanaman jagung dan limbah dari tanaman jagung dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak (Heri dan Krisnan, 2009). Perkembangan pemanfaatan jagung mengalami perubahan orientasi yaitu bahwa tanaman jagung sengaja ditanam pada umur tertentu sebagai pakan. Hasil litbangyasa di Nusa Tenggara Barat berupa teknologi spesifik lokasi budidaya jagung untuk
pakan dan pangan dapat dimanfaatkan oleh peternak
khususnya peternak sapi, melalui pemanfaatan biomasa jagung mulai dari umur 30 hari, 45 hari, 75 hari, sampai panen, sebagai pakan ternak, sehingga dapat meningkatkan bobot badan sapi secara cepat. Bentuk pemanfaatan biomassa tersebut di antaranya yaitu biomassa jagung untuk pakan ternak sapi, jagung muda untuk pangan masyarakat, silase untuk cadangan pakan ternak (Baiq, dkk., 2012).
15 2.1.2 Rumput Gajah Berdasarkan klasifikasi botani rumput gajah memiliki taksonomi sebagai berikut : Division
: Spermatophita
Subdivisio
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonea
Ordo
: Glumifora
Famili
: Gramineae
Subfamili
: Panicodea
Genus
: Pennisetum
Species
: Pennisetum purpureum
Nilai gizi rumput gajah sebagai hijauan makanan ternak ditentukan oleh zat-zat makanan yang terdapat di dalamnya dan kecernaannya (Marpaung, 2012). Rumput gajah (Pennisetum purpureum) merupakan tanaman pakan ternak yang sangat responsif terhadap pemupukan berat yaitu pada dosis 40 ton pupuk kandang/ha/tahun, 800 kg urea.ha-1.tahun-1, 200 kg KCl ha-1.tahun-1 dan 200 kg TSP.ha-1.tahun-1 (Yohanis, dkk., 2013). Rumput gajah juga sebagai tanaman konservasi lahan, terutama di daerah bertopografi pegunungan dan berlereng (Yohanis, dkk., 2013). Rumput gajah dan rumput raja merupakan hijauan pakan yang disukai ternak. Kedua jenis rumput ini merupakan tipe tanaman tahunan yang dapat ditanam secara monokultur dan tumpangsari dengan legum,
16 sehingga dapat diperoleh manfaat maksimal. Pertumbuhan rumput ini relatif lebih cepat, daun-daun dan perakarannya dapat menahan erosi. Rumput gajah memiliki tipe tahan lindungan, respon terhadap pemupukan, serta membutuhkan tingkat kesuburan tanah yang tinggi. Penanaman rumput raja dapat tumbuh di dataran rendah hingga dataran tinggi (Mufarihin, 2012). 2.1.3 Konsentrat Konsentrat merupakan pakan tambahan utama pada sapi perah. Walaupun kualitas bahan pakan konsentrat pada umumnya lebih baik dibandingkan dengan bahan pakan hijauan, namun kualitasnya sangat variatif tergantung pada jenis bahan baku, musim, dan tempat asal sumber konsentrat tersebut. Kualitas konsentrat yang baik yaitu mengandung TDN 75% atau lebih dengan kandungan protein 16% atau lebih. Namun, pada kenyataannya dari hasil pemeriksaan ditemukan beberapa konsentrat, terlihat bahwa kualitasnya relatif rendah dengan kandungan TDN di bawah 55% dan kandungan protein di bawah 13%. (Krishna, 2009) Pemberian konsentrat untuk setiap jenis ternak berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh bobot badan ternak, kualitas pakan hijauan yang diberikan, produksi susu yang ingin dicapai dan kualitas konsentrat (Ajeng, 2011). Konsentrat berdasarkan sifat karakteristik fisik dan kimianya, serta penggunaannya dapat digolongkan ke dalam kelas empat dan lima. Kelas empat adalah konsentrat sumber energi sedangkan kelas lima adalah sumber protein. Konsentrat sumber energi adalah bahan pakan dengan kandungan serat
17 kasar kurang dari 18 % atau dinding sel kurang dari 35 % dan protein kasar kurang dari 20 % (Zakariah, 2012). 2.1.4 Hay Daun Kaliandra Pembuatan hijauan kering (hay making) merupakan kegiatan pengeringan atau tindakan yang dilakukan untuk mengurangi kadar air hijauan pakan segar. Kadar air yang semula sekitar 80% menjadi hanya sekitar 20% agar hijauan pakan dapat tahan lama untuk disimpan tanpa adanya perubahan yang berarti atau signifikan pada kandungan nutrisinya (Ristianto, 2015). Penggunaan kaliandra sebagai pakan tunggal berdampak negatif terhadap ketersediaan nutrien. Tanin kaliandra dapat melindungi protein dari proses perombakan oleh mikroba rumen dan proses enzimatis dalam usus, sehingga dapat menurunkan pemanfaatan nutrien oleh ternak (Firdus dan Wina, 2004).
Pembuatan hay ini memiliki
keuntungan dan kerugian yang diantaranya disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Keuntungan dan Kerugian Hay Keuntungan a. Mudah membuatnya,
Kerugian a. Sangat tergantung pada cuaca, pada cuaca yang jelek (banyak turun hujan) dapat dipastikan akan dihasilkan hay yang jelek atau berkualitas rendah, b. Tidak membutuhkan tenaga dan b. Apabila kurang kering saat perlatan yang banyak, pembuatannya, dalam penyimpanan dapat berjamur, terjadi pemanasan (heating), atau bahkan terjadi kebakaran spontan (spontaneous combastion), c. Pemberian hay pada ternak tidak c. Penurunan nutrisi yang cukup berarti membutuhkan adaptasi, terutama pada pro vitamin A dan bahan karbohidrat mudah larut,
18 Lanjutan Tabel 2. Keuntungan dan Kerugian Hay Keuntungan Kerugian d. Hay yang dihasilkan, langsung d. Jika pengeringan dilakukan di ladang, dapat diketahui kualitasnya, akan mengganggu (menghambat) pekerjaan selanjutnya. e. Hay dapat disimpan lama atau dibawa ke tempat yang jauh sebagai bekal dalam perjalanan, misalnya dalam kapal angkutan antar pulau atau bahkan antar benua, f. Hay kadang-kadang dibtuhkan untuk suplementasi ternak yang diberi silase yang berkadar air tinggi, g. Hay yang berkualitas tinggi misalnya yang dibuat dari legume dapat digunakan sebagai pakan untuk mengurangi pemberian konsentrat, h. Hay dapat digunakan untuk menstimulasi (mempercepat) pertumbuhan rumen pada pemeliharaan pedet, i. Hay yang berkualitas baik dapat digunakan sebagai bahan dagangan (dijualbelikan), bahkan dapat digunakan sebagai komoditas ekspor. (Ristianto, 2015).
2.1.5 Umbi Singkong Tanaman umbi singkong (Manihot esculenta crantz) termasuk ke dalam kingdom
plantae,
dicotyledonae,
divisi
famili
spermatophyta,
euphabiaceae,
subdivisi
genus
angiospermae,
manihot
dengan
kelas spesies
19 Manihot esculenta crantz. Umbi singkong yang terbentuk merupakan akar yang berubah bentuk dan fungsinya sebagai tempat penyimpanan cadangan makanan. Di Indonesia umbi singkong merupakan makanan pokok dengan urutan ketiga setelah padi dan jagung. Umbi singkong dimanfaatkan di antaranya adalah sebagai bahan makanan, industri tekstil, pakan ternak, farmasi. Pemanfaatan ini jumlahnya selama ini terus meningkat seiring dengan meningkatnya populasi konsumen, sehingga permintaan umbi singkong baik lokal maupun luar negeri cukup besar. (Heri dan Krsinan, 2009). Umbi singkong merupakan tanaman tropis yang potensial digunakan untuk ternak, yang menghasilkan biomassa sumber energi (umbi) dan protein (daun) dalam jumlah besar. Produksi umbi singkong pada
tahun 2004 mencapai
17.055.000 ton dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan lokal sebanyak 16.593.000 ton (pangan 11.883.000 ton, pakan ternak 324 ton dan penggunaan limbah dan lain-lain 4.386 ton). Sementara itu umbi singkong yang diekspor sebesar 796 ton. (FAOSTAT, 2004). Umbi singkong merupakan karbohidrat utama dan benar-benar dapat menggantikan jagung sebagai sumber energi dalam ransum ternak babi dan unggas. Kandungan karbohidrat pada umbi cukup tinggi untuk dapat digunakan sebagai sumber energi bagi ternak, sedangkan kalau dilihat dari kandungan proteinnya relatif rendah, namun kandungan asam amino dari umbi ini cukup baik untuk dapat digunakan oleh ternak pada masa pertumbuhan. (Heri dan Krisnan, 2009).
20 2.2 Produksi NH3 Protein pakan di dalam rumen akan dihidrolisis oleh enzim proteolitik mikrobia rumen menghasilkan
oligopeptida
yang kemudian mengalami
pencernaan lebih lanjut menjadi peptida, sebagian lolos degradasi rumen dan sebagian
lagi
dihidrolisis
menjadi
asam
amino.
Asam
amino
akan
mengalami deaminasi menjadi asam α keto dan NH3 (Widodo, dkk., 2012). Tingginya konsentrasi amonia menunjukkan tingginya nilai protein yang mudah didegradasi dalam ransum tersebut (Astuti, dkk., 2006). Amonia yang tidak terpakai dalam rumen akan dibawa ke hati diubah menjadi urea, sebagian dikeluarkan melalui urin dan yang lainnya dibawa ke kelenjar saliva (Marpaung, 2012). Ruminansia juga dapat memanfaatkan sumber nitrogen (N) yang bukan berasal dari protein (NPN) untuk sintesis protein tubuhnya, dimana protein mikroba mempunyai nilai hayati yang sangat tinggi. Dengan demikian pasokan asam amino tubuhnya berasal dari protein pakan dan mikroba rumen. Adanya protein mikroba inilah yang menjadi kelebihan dari ternak ruminansia. Protein pakan dan NPN yang dikonsumsi ternak ruminansia sebagian akan mengalami degradasi di dalam rumen menjadi amonia dan sebagian protein lainnya tahan terhadap degradasi rumen dan dapat mencapai pascarumen (Puastuti, 2012). Sumber amonia selain dari protein juga berasal dari NPN dan garamgaram amonium dapat digunakan untuk sintesis protein mikroba (Arora, 1995) dan kondisi tersebut tergantung pada kecepatan pemecahan nitrogen makanan,
21 kecepatan absorbsi amonia dan asam-asam amino, kecepatan aliran bahan keluar
dari
rumen, kebutuhan mikroba akan asam-asam amino dan jenis
fermentasi rumen berdasarkan jenis makanan. Senyawa nitrogen seperti urea, biuret, garam amonium dapat menjadi sumber nitrogen non-protein yang dapat dikonversikan menjadi protein mikroba yang pada gilirannya akan menjadi sumber protein bagi ternak (Budi, 2012). Urea darah merupakan senyawa yang terdapat di dalam darah yang berasal dari amonia hasil dari metabolisme protein. Urea darah dihasilkan dari perombakan amonia yang diabsorpsi lewat vena portal bersama CO2 di dalam hati. Amonia yang terbentuk melalui proses deaminasi di dalam rumen akan terabsorpsi lewat vena portal dan akan diubah menjadi urea di dalam hati yang kemudian masuk sistem pembuluh darah. Kisaran kadar urea darah yang normal adalah antara 26,6 dan 56,7 mg.dl-1 (Mahesti, 2009). Kelebihan konsumsi protein kasar dapat meningkatkan konsentrasi urea di dalam plasma. Kadar urea dan amonia di dalam peredaran darah perifer pada kondisi ini meningkat dan ternak memperlihatkan gejala keracunan yang akhirnya
dapat
menyebabkan
kematian (Bakhtiar, dkk., 2013). Kelebihan
amonia rumen yang diserap melalui dinding rumen kemudian dirombak dalam hati dan dialirkan kedalam darah dapat menimbulkan keracunan yang ditandai dengan tremor, salivasi yang berlebihan, bernapas terengah-engah kembung dan tetani (Witariadi, dkk., 2012). Konsentrasi ammonia cairan rumen yang
22 optimal untuk aktifitas mikroba rumen adalah 3,57-15 mM (Satter dan Slyter 1974).
2.3 Produksi VFA VFA merupakan hasil fermentasi karbohidrat oleh mikroba rumen yang akan dimanfaatkan oleh mikroorganisme itu sendiri sebagai sumber unsur karbon untuk
sintesis
protein,
sedangkan
untuk
hewan
inang
VFA
dimanfaatkan sebagai sumber energi utama tubuh dan kerangka karbon guna biosintesis asam lemak (Alwi, dkk., 2013). Produksi
VFA
banyak dipengaruhi
oleh
kualitas
pakan
yang
dikonsumsi ternak, khususnya dalam hal kandungan serat kasar pakan. Asam asetat dan propionat merupakan komponen utama VFA hasil fermentasi dalam rumen. Secara umum jumlah produksi VFA yang utama adalah C2=65%, C3=21% dan C4=14% (McDonald, dkk., 2002). Ransum yang diberikan kepada ternak ruminansia sebagian besar terdiri dari karbohidrat (Ajeng, 2011). Produksi VFA dan proporsi jenis VFA yang dihasilkan bergantung kepada pakan yang dikonsumsi. Pada pemberian hijauan tinggi, proporsi asetat meningkat, sebaliknya pada pemberian konsentrat tinggi proporsi propionat akan meningkat (McDonald, dkk., 2002). VFA dalam rumen yang dapat mendukung pertumbuhan mikroba berkisar antara 70-150 mM (McDonald, dkk., 2002). Peningkatan produksi VFA dapat mengindikasikan kemudahan suatu nutrien dalam pakan terutama karbohidrat dan
23 protein didegradasi oleh mikroba rumen, sehingga produksi VFA di dalam rumen dapat digunakan sebagai tolak ukur fermentabilitas pakan yang berkaitan erat dengan aktivitas dan populasi mikroba rumen. Perubahan komposisi VFA di dalam rumen sangat berhubungan dengan bentuk fisik pakan, komposisi pakan, taraf dan frekuensi pemberian pakan, serta pengolahan (Tresnia, 2008).