II. KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
Teori-teori belajar, media pembelajaran, konsep pembelajaran, media Picture in The Box dalam proses pembelajaran IPS, penggunaan media Picture in The Box dalam pembelajaran IPS, pembuatan media Picture in The Box, pengertian Pendidian Ilmu Pengetahuan Sosial, aktivitas belajar, hasil belajar, penelitian yang relevan, dan kerangka pikir penelitian.
2.1 Teori – Teori Belajar [
Berdasarkan aliran psikologi banyak teori-teori belajar yang terus berkembang. Namun demikian dalam penelitian ini hanya akan menggunakan beberapa teori yang relevan dengan pengembangan media Picture in The Box sebagai media pembelajaran, seperti teori belajar Behaviorisme, Kognitif, Konstruktivisme, dan Humanism.
2.1.1 Teori Belajar Behaviorisme
Menurut teori ini tingkah laku manusia tidak lain dari suatu hubungan antara perangsang-jawaban atau stimulus-respon sebanyak-banyaknya. Siapa yang
16 menguasai hubungan stimulus-respon sebanyak-banyaknya ialah orang pandai atau berhasil dalam belajar. Pembentukan hubungan stimulus-respson dilakukan melalui ulangan-ulangan (Sagala, 2012: 42).
Tokoh teori behaviorisme yang terkenal adalah Thorndike dengan teori belajar connectionism. Tokoh teori behaviorisme lainya adalah Pavlov dengan teori Classical Conditioning atau stimulus substitusion. Menurut Thorndike dalam Sagala, (2012: 42) mengemukakan tiga prinsip atau hukum dalam belajar yaitu sebagai berikut. 1. Hukum kesiapan (Law of readiness), yaitu belajar akan berhasil apabila individu memiliki kesiapan untuk melakukan perbuatan tersebut. 2. Hukum latihan (Law of exercise), yaitu belajar akan berhasil apabila banyak latihan dan ulangan. 3. Hukum pengaruh (Law of effect), yaitu belajar akan bersemangat apabila mengetahui dan mendapatkan hasil yang baik.
Prinsip-prinsip belajar menurut teori behaviorisme yang dikemukakan oleh Harley dan Davis dalam Sagala (2012: 43) yang banyak dipakai adalah. 1. Proses belajar dapat terjadi dengan baik apabila siswa ikut terlibat secara aktif didalamnya. 2. Materi pelajaran diberikan dalam bentuk unit-unit kecil dan diatur sedemikian rupa sehingga hanya perlu memberikan suatu respon tertentu saja. 3. Tiap-tiap respon perlu diberi umpan balik secara langsung sehingga siswa dapat dengan segera mengetahui apakah respon yang diberikan betul atau tidak. 4. Perlu diberikan penguatan setiap kali siswa memberikan respon apakah bersifat positif atau negatif. Penguatan yang bersifat positif akan lebih baik karena memberikan pengalaman yang menyenangkan bagi siswa, sehingga ia ingin mengulang kembali respon yang telah diberikan.
17 Menurut konsep pembelajaran behaviorisme, seorang anak yang belajar dengan giat dan dia dapat menjawab semua pertanyaan dalam ulangan atau ujian, maka pendidik memberikan penghargaan anak itu dengan nilai yang tinggi, pujian, atau hadiah. Berkat pemberian penghargaan ini, maka anak akan belajar lebih rajin dan lebih semangat lagi. Jadi suatu respon diperkuat oleh penghargaan berupa nilai yang tinggi dari kemampuannya menyelesaikan soal-soal ujian. Diharapkan pendidik dapat memberikan penghargaan positif terhadap respon apapun dari peserta didik.
Berdasarkan teori behaviorisme, seorang pendidik harus mampu menciptakan kondisi belajar yang dapat membangkitkan respon peserta didik berupa motivasi untuk selalu meningkatkan kemampuan intelektualnya yang diiringi dengan perubahan tingkah laku. Relevansi media Picture in The Box sebagai media pembelajaran dengan teori behaviorisme adalah dengan adanya media Picture in The Box dalam proses pembelajaran dapat menjadi stimulus yang dapat menarik perhatian dan merangsang kemampuan berfikir peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar. Selain itu konsep-konsep yang terdapat dalam media Picture in The Box akan membuat peserta didik terus mencari dan memahami konsepkonsep yang disajikan dan pada akhirnya akan meningkatkan pengetahuan peserta didik.
2.1.2 Teori Belajar Kognitif
Teori belajar kognitif merupakan suatu teori belajar yang lebih mementingkan proses belajar itu sendiri. Belajar tidak hanya sekedar melibatkan hubungan antara
18 stimulus dan respon, lebih dari itu belajar melibatkan proses berfikir yang sangat kompleks. Menurut teori ini pengetahuan dibangun dalam diri seorang individu melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Proses ini tidak berjalan terpisah-pisah tetapi mengalir, bersambung-sambung menyeluruh (Riyanto, 2010: 9).
Belajar Gestalt menekankan pemahaman atau insight dan pengamatan sebagai suatu alternative. Berkat pengalaman seorang siswa akan mampu mencapai pengamatan yang benar-benar objektif sebelum mencapai pengertian. Suatu keseluruhan terdiri atas bagian-bagian yang mempunyai hubungan yang bermakna satu sama lain. Dalam belajar siswa harus memahami makna hubungan antar satu bagian dengan bagian yang lainnya (Sagala, 2012: 47-48).
Belajar bukanlah aktivitas reaktif mekanistis belaka, tetapi juga adanya pemahaman terhadap perangsang yang datang yang tengah dihadapi diwaktu seseorang melakukan aktivitas belajar. Menurut teori Gestalt perbuatan belajar itu tidak berlangsung seketika, tetapi berlangsung berproses kepada hal-hal yang esensial, sehingga aktivitas belajar itu akan menimbulkan makna yang berarti (meaningfull). Sebab itu dalam proses belajar, makin lama akan timbul suatu pemahaman yang mendalam terhadap materi pelajaran yang dipelajari, manakala perhatian makin ditujukan kepada obyek yang dipelajari itu telah mengerti dan dapat apa yang dicari (Sagala, 2012: 49).
Tahap-tahap perkembangan kognitif manusia menurut Jean Piaget dalam Hergenhahn (Waluyo, 2014: 18) dapat dijelaskan sebagai berikut.
19 1. Tahap Sensorimotor stage (dari lahir sampai 2 tahun). Bercirikan tidak ada bahasa, interaksi dengan lingkungan adalah interaksi sensorimotor dan hanya berkaitan dengan keadaan saat ini. Anak-anak pada tahap ini bersikap egosentris. Anak berusaha memperoleh pengalaman melalui eksplorasi dengan indera dan gerak motorik. 2. Tahap Preoperational (sekitar 2 - 7 tahun). Tahap ini terbagi menjadi dua yang meliputi: - pemikiran Prakonseptual (sekitar 2 – 4 tahun ) pada tahap ini mulai membentuk konsep sederhana, mulai mengklasifikasi benda-benda tertentu berdasarkan kemiripanya. - periode pemikiran Intuitif (sekitar 4 – 7 tahun ) pada tahap ini anak-anak memecahkan problem secara intuitif, bukan berdasarkan kaidah logika. 3. Tahap Concrete operations (sekitar 7 – 11 atau 12 Tahun). Pada tahap ini anak mengembangkan kemampuan untuk mempertahankan (konservasi). Selama tahap ini proses pemikiran diarahkan pada kejadian riil yang diamati oleh anak. 4. Tahap Formal operations (11 atau 12 Tahun ke atas). Pemikiran proses berfikir tak lagi bergantung hanya pada hal-hal yang langsung dan riil. Pemikiran pada tahap ini semakin logis. Anak sudah mampu melihat masalah dari berbagai sudut pandang dan mencari solusi kemungkinan dalam memecahkan masalah, berfikir berdasarkan hipotesis, merekonstruksi sejumlah informasi secara sistematis, menggunakan rasio dan logika, memahami arti simbolik, dan membuat perkiraan di masa depan serta berusaha mencari solusi berbagai problem kehidupan yang tiada berkesudahan.
20 Keterkaitan teori belajar kognitif dengan penelitian pengembangan ini adalah media Picture in The Box dapat mengarahkan pola berfikir anak untuk memahami, memecahkan, dan menjabarkan konsep-konsep yang terdapat dalam media Picture in The Box sebagai suatu proses memecahan masalah. Media Picture in The Box dapat meningkatkan pemahaman, minat, mengarahkan proses pembelajaran, mengarahkan perhatian, dan meningkakan prestasi belajar peserta didik.
2.1.3 Teori Belajar Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah salah satu aliran filsafat yang mempunyai pandangan bahwa pengetahuan yang kita miliki adalah hasil konstruksi atau bentukan diri kita sendiri. Dengan kata lain, kita akan memiliki pengetahuan apabila kita terlibat aktif dalam proses penemuan pengetahuan dan pembentukan dalam diri kita. Konstruktivisme berpandangan bahwa pengetahuan merupakan perolehan individu melalui keterlibatan aktif dalam menempuh proses belajar (Pribadi, 2010: 157). Duffy dan Cunningham dalam Pribadi (2010: 159) mengemukakan dua hal yang
menjadi
essensi
dari
pandangan
konstruktivistik
dalam
aktivitas
pembelajaran. 1. Belajar lebih diartikan sebagai proses aktif membangun daripada sekedar proses memperoleh pengetahuan. 2. Pembelajaran merupakan proses yang mendukung proses pembangunan pengetahuan daripada hanya sekedar mengkomunikasikan pengetahuan.
21 Proses belajar yang berlandaskan pada teori belajar konstruktivisme dilakukan dengan memfasilitasi siswa agar memperoleh pengalaman belajar yang dapat digunakan untuk membangun makna terhadap pengetahuan yang sedang dipelajari. Guru tidak lagi berperan sebagai seorang yang menyiapkan diri untuk melakukan presentasi pengetahuan di depan kelas, tetapi merancang dan menciptakan pengalaman-pengalaman belajar yang dapat membantu siswa memberi makna terhadap konsep-konsep dan ilmu pengetahuan yang sedang dipelajari. Guru perlu melatih siswa agar mampu mengaitkan, membuat rasional, dan memaknai konsep-konsep yang dipelajari (Pribadi, 2010: 161-162).
Salah satu kegiatan memfasilitasi peserta didik adalah dengan menyediakan media pembelajaran yang tepat. Teori belajar konstruktivisme dijadikan sebagai dasar teori dalam penelitian pengembangan ini, bahwa dengan media Picture in The Box diharapkan dapat menggali pemahaman peserta didik tentang konsep-konsep yang akan dibelajarkan, mengembangkan sikap ingin tahu peserta didik dan merekonstruksi sebuah konsep menjadi pengetahuan baru bagi peserta didik.
2.1.4 Teori Belajar Humanistis
Proses belajar harus bermuara pada manusia itu sendiri. Teori belajar humanis adalah teori belajar yang paling abstrak, yang paling mendekati dunia fisafat dari pada pendidikan dan proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada ide belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada belajar secara apa adanya, seperti apa yang kita amati dalam dunia keseharian. Wajar jika teori ini sangat bersifat eklektik. Teori apapun dapat
22 dimanfaatkan asal tujuannya untuk memanusiakan manusia (mencapai aktualisasi diri) dapat tercapai (Riyanto, 2010: 17).
Pendapat tentang teori humanistis yaitu Bloom dan Rathwohl dalam Riyanto (2010: 17), menunjukkan apa yang mungkin dikuasai (dipelajari) oleh siswa yang tercakup dalam tiga kawasan sebagai berikut. 1. Kognitif, yang terdiri dari enam tingkatan: a. pengetahuan mengingat (menghafal), b. pemahaman (menginterprestasikan), c. aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan suatu masalah), d. analisis (menjabarkan suatu konsep), e. sintesis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh), f. evaluasi (membandingkan nilai-nilai, ide, metode, dan sebagainya). 2. Psikomotor, yang terdiri dari lima tingkatan: a. peniruan (menirukan gerak), b. penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan gerak), c. petepatan (melakukan gerak dengan benar), d. perangkaian (melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar), e. naturalisasi (melakukan gerak secara wajar). 3. Efektif, yang terdiri dari lima tingkatan: a. pengenalan (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu), b. merespons (aktif berpartisipasi), c. penghargaan (menerima nilai-nilai, setiap pada nilai-nilai tertetu), d. pengorganisasian (menghubung-hubungkan nilai-nilai yang dipercaya), e. pengalaman (menjadi nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidup).
Rogers dalam bukunya Freedom to Learn, menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip belajar humanistic yang penting diantaranya sebagai berikut. 1. Manusia itu mempunyai kemampuan untuk belajar secara alami. 2. Belajar yang signifikan terjadi apabila subject matter dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksudnya sendiri. 3. Belajar yang menyangkut suatu perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri dianggap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya. 4. Tugas-tugas belajar yang mengancam diri adalah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil. 5. Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.
23 6. Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya. 7. Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggung-jawab terhadap proses belajar (Soemanto,1990: 139).
Teori humanistis digunakan sebagai landasan teori dalam penelitian ini yakni dengan menggunakan media Picture in The box, peserta didik dapat menjabarkan suatu konsep dan menggabungkan suatu konsep menjadi suatu konsep yang utuh. Dengan demikian melalui pembelajaran dengan media Picture in The Box peserta didik dirangsang untuk aktif berpartisipasi dalam proses pembelajaran, sehingga peserta didik akan mendapat pengalaman kongkrit dalam kegiatan belajar.
2.2 Media Pembelajaran
Media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan minat serta perhatian siswa. Dengan demikian, proses belajar mengajar terjadi (Daryanto, 2011: 140).
Menurut Daryanto (2011: 11-15), ada beberapa tinjauan tentang landasan penggunaan media pembelajaran antara lain sebagai berikut. 1. Landasan filosofis, yaitu dengan penggunaan media pembelajaran siswa dihargai harkat kemanusiaannya diberi kebebasan untuk menentukan pilihan, baik cara maupun alat belajar sesuai dengan kemampuannya. Dengan demikian, penerapan teknologi tidak berarti dehumanisasi. Jika guru menganggap siswa sebagai anak manusia yang memiliki kepribadian, harga diri, motivasi, dan memiliki kemampuan pribadi yang berbeda dengan yang lain, maka baik menggunakan media hasil teknologi baru atau tidak, proses pembelajaran yang dilakukan akan tetap menggunakan pendekatan humanis. 2. Landasan psikologis, yaitu dengan memperhatikan komplek dan uniknya proses belajar, maka ketepatan pemilihan media dan metode pembelajaran
24 akan sangat berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Disamping itu, persepsi siswa juga sangat mempengaruhi hasil belajar. Oleh sebab itu, dalam pemilihan media, disamping memperhatikan kompleksitas dan keunikan proses belajar, memahami makna persepsi serta faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap penjelasan persepsi hendaknya diupayakan secara optimal agar proses pembelajaran dapat berlangsung secara efektif. Kajian psikologis menyatakan bahwa anak akan lebih mudah mempelajari hal yang kongkrit ketimbang yang abstrak. Berkaitan dengan hubungan yang kongkrit dan abstrak dan kaitanya dengan penggunaan media pembelajaran, ada beberapa pendapat antara lain: (1) Jerome Bruner, mengemukakan bahwa dalam proses pembelajaran hendaknya menggunakan urutan dari belajar dengan gambar atau film, kemudian ke balajar dengan simbol; (2) Charles F.Haban, mengemukakan bahwa sebenarnya nilai sebuah media pembelajaarn terletak pada nilai realistiknya dalam proses penanaman konsep; (3) Edgar Dale, membuat jenjang kongkrit-abstrak dengan dimulai dari siswa yang berpartisipasi dalam pengalaman nyata, kemudia menuju siswa sebagai pengamat kejadian nyata, dilanjutkan ke siswa sebagai pengamat terhadap kejadian yang disajikan dengan media, dan terakhir siswa sebagai pengamat kejadian yang disajikan dengan simbol. 3. Landasan teknologis, mengemukakan bahwa teknologi pembelajaran adalah teori dari praktek rancangan, pengembangan, penerapan, pengelolaan, pengolahan dan penilaian proses dan sumber belajar. Jadi, teknologi pembelajaran merupakan proses kompleks dan terpadu yang melibatkan orang, prosedur, ide, peralatan dan organisasi untuk menganalisis masalah, mencari cara pemecahan, melaksanakan, mengevaluasi dan mengelola pemecahan masalah dalam situasi dimana kegiatan belajar itu mempunyai tujuan dan terkontrol. Dalam teknologi pembelajaran, pemecahan masalah dilakukan dalam bentuk kesatuan komponen-komponen sistem pembelajaran yang telah disusun dalam fungsi disain atau seleksi, dan dalam pemanfaatan serta dikombinasikan sehingga menjadi sistem pembelajaran yang lengkap. 4. Landasan empiris, temuan-temuan penelitian menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara penggunaan media pembelajaran dan karakteristik belajar siswa dalam menentukan hasil belajar siswa. Artinya, siswa akan mendapatkan keuntungan yang signifikan bila ia belajar dengan menggunakan media yang sesuai dengan karakteristik tipe atau gaya belajarnya. Siswa yang memiliki tipe belajar visual akan lebih memperoleh keuntungan jika pembelajaran menggunakan media visual, seperti gambar, diagram, video, atau film. Sementara siswa yang memiliki tipe belajar auditif, akan lebih suka belajar dengan media audio, seperti radio, rekaman suara, atau ceramah guru.
Berdasarkan teori tersebut, jelaslah bahwa penggunaan media pembelajaran yang tepat, sesuai dengan materi yang diajarkan serta sesuai dengan karakteristik
25 peserta didik akan berpengaruh secara signifikan terhadap hasil belajar yang diperoleh oleh peserta didik.
2.3 Fungsi dan Manfaat Media Pembelajaran
Oleh karean proses pembelajaran merupakan proses komunikasi dan berlangsung dalam suatu sistem, maka media pembelajaran menempati posisi yang cukup penting sebagai salah satu komponen sistem pembelajaran. Tanpa media, komunikasi tidak akan terjadi dan proses pembelajaran sebagai proses komunikasi juga tidak akan bisa berlangsung secapa optimal.
Media memiliki fungsi sebagai pembawa informasi dari sumber (guru) menuju penerima (siswa). Adapun metode adalah prosedur untuk membantu siswa dalam menerima dan mengolah informasi guna mencapai tujuan pembelajaran (Daryanto , 2011: 7). Dengan demikian, fungsi media dalam proses pembelajaran dapat ditunjukkan pada gambar berikut.
Gambar 2.1 Fungsi Media Dalam Proses Pembelajaran (Daryanto, 2011:7).
26 Penggunaan media dalam proses pembelajaran mempunyai manfaat yang dapat menarik minat dan memotivasi belajar peserta didik. Hal ini sejalan dengan pendapat Nana Sudjana dan Ahmad Rivai (Sudjana dan Rivai, 2011:2), mengenai manfaat media pembelajaran dalam proses belajar siswa adalah sebagai berikut. 1. Pengajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar. 2. Bahan pengajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami oleh siswa, dan memungkinkannya menguasai dan mencapai tujuan pembelajaran. 3. Metode mengajar akan lebih bervariasi, tidak semata-mata komunikasi verbal melalui penuturan kata-kata oleh guru, sehingga siswa tidak bosan dan guru tidak menghabiskan tenaga, apalagi kalau guru mengajar pada setiap jam pelajaran. 4. Siswa dapat lebih banyak melakukan kegiatan belajar, sebab tidak hanya mendengarkan uraian guru, tetapi juga aktivitas lain seperti mengamati, melakukan, mendemontrasikan, memerankan, dan lain-lain.
Menurut Gerlach dan Ely dalam Daryanto (2011: 8), kelebihan
mengemukakan tiga
kemampuan media, yang merupakan petunjuk mengapa media
digunakan dan apa saja yang dapat dilakukan oleh media yang mungkin guru tidak mampu melakukannya. 1. Fiksatif (fixative property), artinya dapat menangkap, menyimpan, dan menampilkan kembali sutu objek atau kejadian. Dengan kemampuan ini, objek atau kejadian dapat digambar, dipotret, direkam, difilmkan, kemudian dapat disimpan dan pada saat diperlukan dapat ditunjukkan dan diamati kembali seperti kejadian aslinya. 2. Manipulatif (manipulatif property), artinya media dapat menampilkan kembali objek atau kejadian dengan berbagai macam perubahan (manipulasi) sesuai keperluan, misalnya diubah ukurannya, kecepatannya, warnanya, serta dapat pula diulang-ulang penyajiannya. 3. Distributif (distributive property), media mampu menjangkau audien yang besar jumlahnya dalam satu kali penyajian secara serempak, misalnya siaran TV atau Radio.
27 Menurut Daryanto, (2011: 4-5) secara umum media mempunyai kegunaan antara lain. 1. Memperjelas pesan agar tidak terlalu verbalistis. 2. Mengatasi keterbatasan ruang, waktu, tenaga, dan daya indra. 3. Menimbulkan gairah belajar, interaksi lebih langsung antara murid dengan sumber belajar. 4. Memungkinkan anak belajar mandiri sesuai dengan bakat dan kemampuan visual, auditori, dan kinestiknya. 5. Memberi rangsangan yang sama, mempersamakan pengalaman dan menimbulkan persepsi yang sama. 6. Proses pembelajaran mengandung lima komponen komunikasi, guru (komunikator), bahan pembelajaran, media pembelajaran, siswa (komunikan) dan tujuan pembelajaran.
Penggunaan media dalam pembelajaran IPS sangat dibutuhkan karena karakteristiknya kontekstual. Dalam hal ini, kehadiran media pembelajaran mempunyai arti yang cukup penting, antara lain: (a) memperjelas sajian pesan dan tidak terlalu bersifat verbalistik, (b) mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera, misalnya: (1) objek yang terlalu besar dapat digantikan dengan relialitas, gambar, film bingkai, (2) konsep yang terlalu luas, seperti: gunung berapi, gempa bumi, iklim, dan lain-lain dapat divisualisasikan dalam bentuk film, film bingkai, gambar, dan lain-lain (Sanaky, 2009: 36). [
Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pada dasarnya fungsi dan manfaat madia pembelajaran adalah meningkatkan motivasi belajar, penyampai informasi, menarik minat peserta didik, membuat materi yang abstrak menjadi kongkrit dan untuk menciptakan pembelajaran yang efektif serta meningkatkan mutu pendidikan yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik.
28 2.4 Jenis-Jenis Media Pembelajaran
Menurut Sanjaya (2008: 170-171), media pembelajaran memiliki karakteristik masing-masing, seperti. 1. Dilihat dari sifatnya media dapat dibagi kedalam. 1. Media auditif, yaitu media yang hanya dapat didengar saja, atau media yang hanya memiliki unsur suara, seperti radio dan rekaman suara. 2. Media visual, yaitu media yang hanya dapat dilihat saja, tidak mengandung unsur suara. Yang termasuk kedalam media ini adalah film slide, foto, transparansi, lukisan, gambar, dan berbagai bentuk bahan yang dicetak seperti media grafis dan lain sebagainya. 3. Media audiovisual, yaitu jenis media yang selain mengandung unsur suara juga mengandung unsur gambar yang bisa dilihat, misalnya rekaman video, berbagai ukuran film, slide suara, dan lain sebagainya. Kemampuan media ini dianggap lebih baik dan lebih menarik, sebab mengandung kedua unsur jenis media yang pertama dan kedua. 2. Dilhat dari kemampuan jangkauannya, media dapat pula dibagi ke dalam. 1. Media yang memiliki daya input yang luas dan serentak seperti radio dan televisi. Melalui media ini siswa dapat mempelajari hal-hal atau kejadian-kejadian yang aktual secara serentak tanpa harus menggunakan ruang khusus. 2. Media yang mempunyai daya input yang terbatas oleh ruang dan waktu seperti film slide, film, video, dan lain sebagainya. 3. Dilihat dari cara atau teknik pemakaiannya, media dapat dibagi ke dalam. 1. Media yang diproyeksikan seperti film, slide, film strip, transparansi dan lain sebagainya. Jenis media yang demikian memerlukan alat proyeksi khusus seperti film proyektor untuk memproyeksikan film, slide proyektor untuk memproyeksikan film slide, operhead projector (OHP) untuk memproyeksikan transparansi. Tanpa dukungan alat proyeksi semacam ini, tidak akan berfungsi apa-apa. 2. Media yang tidak diproyeksikan seperti gambar, foto, lukisan, radio, dan lain sebagainya.
Klasifikasi lain dari media pengajaran dalam Nana Sudjana dan Ahmad Rivai (2011: 3) adalah sebagai berikut. 1. Media Grafis/ Media Dua Dimensi seperti gambar, foto, grafik, bagan/diagram, poster, kartun, komik dan lain-lain. 2. Media Tiga Dimensi yaitu dalam bentuk model padat (solid model), model penampang, model susun, model kerja, mockup, diorama dan lain-lain.
29 3. Media Proyeksi seperti slide, film strips, penggunaan OHP dan lain-lain. 4. Penggunaan lingkungan sebagai media pengajaran.
Bedasarkan uraian tersebut, maka jenis media yang akan dikembangkan dalam penelitian ini adalah jenis media visual berupa gambar dikemas dalam bentuk kartu yang berisi konsep materi yang diajarkan, disesuaikan dengan konsep dan materi pembelajaran.
2.5 Media Gambar
Kajian psikologi menyatakan bahwa anak akan lebih mudah mempelajari hal yang konkrit daripada yang abstrak. Berkaitan dengan hubungan konkrit-abstrak dan kaitannya dengan penggunaan media pembelajaran ada beberapa pendapat antara lain. Pertama, Jerome Bruner mengemukakan bahwa dalam proses pembelajaran hendaknya menggunakan urutan dari belajar dengan gambar atau film kemudian belajar dengan simbol, yaitu menggunakan kata-kata. Kedua, Charles F. Haban, mengemukakan bahwa sebenarnya nilai dari media terletak pada tingkat realistiknya dalam proses penanaman konsep. Ketiga,Edgar Dale membuat jenjang konkrit-abstrak dengan dimulai dari siswa yang berpartisipasi dalam pengalaman nyata kemudian menuju siswa sebagai pengamat kejadian nyata, dilanjutkan ke siswa sebagai pengamat terhadap kejadian yang disajikan dengan media dan terakhir siswa menjadi pengamat kejadian yang disajikan dengan simbol (Daryanto, 2011: 12).
Ada beberapa tinjauan tentang landasan penggunaan media pembelajaran, antara lain landasan filosofis, psikologis, teknologis, dan empiris. Dalam landasan empiris, terkait dengan media visual yaitu gambar (Daryanto, 2011: 15) menjelaskan tentang temuan-temuan penelitian menunjukkan bahwa terdapat
30 interaksi antara penggunaan media pembelajaran dan karakteristik belajar siswa dalam menentukan hasil belajar siswa. Artinya, siswa akan mendapatkan keuntungan yang signifikan bila ia belajar dengan menggunakan media yang sesuai dengan karakteristik tipe atau gaya belajarnya. Siswa yang memiliki tipe belajar
visual
akan
lebih
memperoleh
keuntungan
jika
pembelajaran
menggunakan media visual, seperti gambar, diagram, video, atau film. Sementara siswa yang memiliki tipe belajar auditif, akan lebih suka belajar dengan media audio, seperti radio, rekaman suara, atau ceramah guru.
Media gambar, merupakan media visual yang berkaitan dengan panca indra penglihatan. Persentase kemampuan daya serap manusia dari pengguna alat indra adalah penglihatan 82%, pendengaran 11%, penciuman 1%, pencecapan 2,5%, dan perabaan 3,5% (Daryanto, 2011: 13). Berdasarkan persentase tersebut, peran panca indra penglihatan sangat besar dalam kehidupan manusia. Media gambar sebagai media visual membutuhkan panca indra penglihatan untuk mengamati dan mempelajari gambar-gambar, sehingga sesuai dengan kemampuan daya serap manusia yang lebih besar bila menggunakan panca indra penglihatan. Kesesuain antara media gambar sebagai media pembelajaran dan kemampuan daya serap manusia (peserta didik) akan berdampak positif terhadap hasil belajar siswa.
Menurut Djamarah dan Zain, media berbasis visual adalah media yang hanya mengandalkan
indra
penglihatan.
Media
berbasis
visual
(image
atau
perumpamaan) memegang peran yang sangat penting dalam proses belajar mengajar. Media visual dapat memperlancar pemahaman dan memperkuat ingatan. Visual dapat pula menumbuhkan minat siswa dan dapat memberikan
31 dukungan antara isi materi pelajaran dengan dunia nyata. Agar menjadi efektif, visual sebaiknya ditempatkan pada konteks yang bermakna dan siswa harus berinteraksi dengan visual (image) itu untuk meyakinkan terjadinya proses informasi (http://bagawanabiyasa.wordpress.com).
Bentuk umum dari media gambar terangkum dalam pengertian dari media grafis. Karena media gambar merupakan bagian dari pembuatan media grafis. Nilai media grafis terletak pada kemampuan dalam menarik perhatian, minat dalam menyampaikan jenis informasi tertentu secara cepat. Peran utamanya adalah memvisualisasikan fakta-fakta dan gagasan dalam bentuk yang ringkas dan padat. Dengan kata lain, media grafis dapat didefinisikan sebagai media yang mengkombinasikan fakta dan gagasan secara jelas, kuat dan terpadu, melalui kombinasi pengungkapan kata-kata dan gambar. Media ini sangat tepat untuk tujuan menyampaikan informasi dalam bentuk rangkuman yang dipadatkan. Dengan demikian, media grafis yang baik hendaknya mengembangkan daya imajinasi atau citra anak didik. Daya imajinasi dapat ditimbulkan dengan menata dan menyusun unsur-unsur visual dalam media pembelajaran (Sudjana dan Rivai, 2011: 20).
Pengertian media grafis tersebut, dapat disimpulkan bahwa media gambar merupakan bagian yang utuh dari media grafis, karena pada dasarnya media gambar
merupakan
kumpulan
dari
beberapa
titik
dan
garis
yang
memvisualisasikan gambar sebuah benda atau seorang tokoh yang dapat memperjelas kita dalam memahami benda atau tokoh tersebut.
32 Sadiman (2010: 29) mengemukakan bahwa di antara media pendidikan, gambar/foto adalah media yang paling umum dipakai. Dia merupakan bahasa yang umum, yang dapat dimengerti dan dinikmati di mana-mana.
Pada dasarnya media gambar memiliki beberapa kelebihan: ”(1) bersifat konkret. Gambar atau foto dapat dilihat oleh peserta didik dengan lebih jelas dan realistis menunjukkan materi atau pesan yang disampaikan, (2) mengatasi ruang dan waktu. Untuk menunjukkan gambar jenis batuan pembentuk muka bumi, gunung berapi, patahan, lipatan dan lain-lain tidak perlu melihat objek yang sesungguhnya melainkan cukup melihat gambar atau fotonya saja, (3) meminimalisasi keterbatasan pengamatan mata. Untuk menerangkan objek tertentu yang sulit untuk diamati maka digunakanlah gambar atau foto, (4) dapat memperjelas suatu masalah. Gambar memungkinkan suatu masalah dipahami secara sama, (5) murah harganya dan mudah diperoleh” (Hamalik, 1994: 63). [
Dale dalam Subana (1998: 322) menjabarkan bahwa guru dapat menggunakan gambar untuk memberikan gambaran tentang sesuatu sehingga penjelasannya lebih kongkrit bila diuraikan dengan kata-kata. Melalui gambar, guru dapat menterjemahkan ide-ide abstrak dalam bentuk yang lebih realistis. Dalam membuat paragraf, siswa bisa menyusun kata-kata dari gambar yang dilihat.
Kemampuan gambar dapat berbicara banyak dari seribu kata, hal ini mempunyai makna bahwa gambar merupakan suatu ilustrasi yang memberikan pengertian dan penjelasan yang amat banyak dan lengkap dibandingkan kita hanya membaca dan memberikan suatu kejelasan pada sebuah masalah karena sifatnya yang lebih
33 konkrit (nyata). Beberapa kelebihan media gambar dalam pembelajaran adalah: 1) sifatnya konkret, 2) gambar dapat mengatasi batasan ruang dan waktu, 3) media gambar dapat mengatasi keterbatasan pengamatan kita (Sadiman, 2010: 30).
Sedangkan
tujuan
penggunaan
gambar
dalam
pembelajaran
adalah:
(1) menerjemahkan simbol verbal, (2) mengkonkritkan dan memperbaiki kesankesan yang salah dari ilustrasi lisan, (3) memberikan ilustrasi suatu buku, dan (4) membangkitkan motivasi belajar dan menghidupkan suasana kelas (Sadiman, 2010: 30).
2.6 Media Picture in The Box
Sebuah media yang dirancang dengan kreatif, umumnya akan meningkatkan daya tarik isi pesan atau informasi yang terdapat di dalamnya. Sebagai contoh, media gambar akan membuat informasi dan pengetahuan yang dikomunikasikan menjadi lebih menarik. Daya tarik pesan dan informasi akan meningkat jika disampaikan dengan menggunakan gambar atau visual (Pribadi, 2011: 101).
Media Picture in The Box merupakan media visual yang berjenis gambar. Media Picture in The Box memuat gambar-gambar tentang fenomena alam dan sosial yang berisi materi kajian pembelajaran IPS SMP/MTs di kelas VII semester ganjil. Gambar-gambar tersebut berukuran 10 cm X 7 cm, lalu diletakkan dalam kotak sebagai kemasannya. Efektivitas penggunaan media Picture in The Box sebagai media atau alat bantu dalam proses pembelajaran sesuai dengan pendapat yang dikemukan oleh Levie & Lentz dalam Arsyad (2014: 20-21) bahwa fungsi
34 media pembelajaran, khususnya media visual, yaitu memiliki (a) fungsi atensi, (b) fungsi efektif, (c) fungsi Kognitif, dan (d) fungsi konpensatoris. Dijelaskan sebagai berikut.
1. Fungsi atensi media visual merupakan inti, yaitu menarik dan mengarahkan perhatian siswa untuk berkonsentrasi kepada isi pelajaran yang berkaitan dengan makna visual yang ditampilkan atau menyertai teks materi pelajaran. Media gambar dapat menenangkan dan mengarahkan perhatian mereka kepada pelajaran yang akan mereka terima. Dengan demikian, kemungkinan untuk memperoleh dan mengingat isi pelajaran semakin besar. 2. Fungsi afektif media visual dapat terlihat dari tingkat kenikmatan siswa ketika belajar (atau membaca) teks yang bergambar. Gambar atau lambang visual dapat menggugah emosi dan sikap siswa, misalnya emosi yang menyangkut masalah sosial. 3. Fungsi kognitif media visual terlihat dari temuan-temuan penelitian yang mengungkapkan bahwa lambang visual atau gambar memperlancar pencapaian tujuan untuk memahami dan mengingat informasi atau pesan yang terkandung dalam gambar. 4. Fungsi kompensatoris media pembelajaran terlihat dari hasil penelitian bahwa media visual yang memberikan konteks untuk memahami teks membantu siswa yang lemah dalam membaca untuk mengorganisasikan ingormasi dalam teks dan mengingatnya kembali.
Media Picture in The Box adalah media sederhana yang dapat dibuat sendiri oleh pendidik. Gambar-gambar dapat diperoleh melalui pengaksesan di internet, lalu di bawa ke percetakan untuk dicetak dengan menggunakan kertas atau bahan yang agak tebal agar tidak mudah rusak. Dalam satu sub-sub tema dapat terdiri dari 10 sampai 20 gambar. Pada Kurikulum 2013, pembelajaran IPS kelas VII SMP/MTs dikembangkan selama satu tahun yang mencakup 34 minggu dengan beban belajar perminggu 4 X 40 menit. Untuk memfasilitasi peserta didik menguasai Kompetensi Dasar (KD), digunakan buku peserta didik yang berbasis pada 13 KD dan dikemas dalam empat tema. Tema-tema tersebut adalah.
35 1. Keadaan Alam dan Aktivitas Penduduk Indonesia 2. Keadaan Penduduk Indonesia 3. Potensi dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam 4. Dinamika Interaksi Manusia (Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan, 2014: 4).
Penelitian pengembangan media Picture in The Box dilakukan pada semester ganjil dengan tema, sub tema, dan sub-sub tema pada tabel berikut.
Tabel 2. 1 Tema, Sub Tema, dan Sub-sub Tema Pada Pembelajaran IPS Kelas VII Semester Ganjil Kurikulum 2013.
Tema Tema 1. Keadaan Alam dan Aktivitas Penduduk Indonesia
Sub tema
Sub-sub Tema
A. Letak Wilayah dan Pengaruhnya Bagi Keadaaan Alam Indonesia. 1. 2. B. Keadaan Alam Indonesia 3. 1. C. Kehidupan Sosial Masyarakat Indonesia pada Masa Praaksara, HinduBudha, dan Islam
Semester 1
2. 3.
Keadaan Alam Indonesia Bentuk Muka Bumi dan Aktivitas Penduduk Indnesia Keragaman Flora dan Fauna di Indonesia. Kehidupan Masyarakat Praaksara Kehidupan Masyarakat Masa Hindu dan Budha Kehidupan Masyarakat Indonesia Masa Islam
D. Konektivitas Antar Ruang dan Waktu Tema 2. Keadaan Penduduk Indonesia
A. Asal Usul Penduduk Indonesia B. Ciri atau Karakteristik Penduduk Indonesia
1. 2.
Jumlah dan Kepadatan Penduduk Indonesia Komposisi Penduduk
C. Mobilitas Penduduk Antar Wilayah di Indonesia D. Pengertian dan Jenis Lembaga Sosial Sumber: Buku Guru IPS SMP/MTs (Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan, 2014: 4-5).
36 Penelitian pengembangan media Picture in The Box, akan mengambil materi pada. 1. Tema 1. Keadaan Alam dan Aktivitas Penduduk Indonesia Sub tema: keadaan alam Indonesia. Sub-sub tema: keragaman flora dan fauna Indonesia. Menggunakan pendekatan saintifik, model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) maka permasalahan yang harus dipecahkan oleh peserta didik adalah “Persebaran Flora dan Kerusakan Hutan Indonesia”. Media yang digunakan adalah media Picture in The Box (Media 1: Persebaran Flora dan Kerusakan Hutan Indonesia). 2. Tema 1. Keadaan Alam dan Aktivitas Penduduk Indonesia. Sub tema: keadaan alam Indonesia. Sub-sub tema: keragaman flora dan fauna Indonesia. Menggunakan pendekatan saintifik, model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) maka permasalahan yang harus dipecahkan oleh peserta didik adalah “Persebaran Fauna dan Fauna Langka yang Semakin Langka”. Media yang digunakan adalah media Picture in The Box (Media 2: Persebaran Fauna dan Fauna Langka yang Semakin Langka). 3. Tema 2. Keadaan Penduduk Indonesia. Sub tema: ciri atau karakteristik penduduk Indonesia. Sub-sub tema: jumlah dan kepadatan penduduk Indonesia. Menggunakan
pendekatan saintifik,
model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) maka permasalahan yang harus dipecahkan oleh peserta didik adalah “Kepadatan Penduduk dan Permasalahannya”. Media yang digunakan adalah media Picture in The Box (Media 3: Kepadatan Penduduk dan Permasalahannya).
37 4. Tema 2. Keadaan Penduduk Indonesia. Sub tema: ciri atau karakteristik penduduk Indonesia. Sub-sub tema: komposisi tingkat pendidikan di Indonesia. Menggunakan
pendekatan
saintifik, model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) maka permasalahan yang harus dipecahkan oleh peserta didik adalah “Rendahnya Tingkat Pendidikan dan Permasalahannya”. Media yang digunakan adalah media Picture in The Box (Media 4: Rendahnya Tingkat Pendidikan dan Permasalahannya).
2.7 Dasar Pengembangan Media Picture in The Box
Dasar pengembangan media Picture in The Box adalah hasil dari analisis kebutuhan berupa pengetahuan tentang ketersediaan media, karakteristik siswa (gaya belajar), pandangan tentang media visual berupa gambar, pendekatan dan model pembelajaran IPS di Kurikulum 2013. a. Hasil Dari Analisis Kebutuhan. Berdasarkan hasil wawancara dengan pendidik mata pelajaran IPS diperoleh kesimpulan bahwa pemahaman peserta didik terhadap materi pelajaran IPS masih kurang ditandai dengan hasil belajar yang rendah. Hal ini dikarenakan masih sedikitnya media yang dapat digunakan dalam penyampaian materi pelajaran IPS, sehingga pendidik mata pelajaran IPS menyimpulkan perlunya dikembangkan suatu media yang dapat membantu peserta didik maupun pendidik dalam mempelajari materi mata pelajaran IPS di kelas VII.
38 b. Pemilihan Media Visual. Pemilihan media visual dalam penelitian ini didasari oleh karekteristik umum peserta didik. Karakteristik peserta didik yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah gaya belajar dan usia peserta didik. DePorter dan Hernacki dalam Halim (2012: 143) menyatakan bahwa gaya belajar seseorang adalah kombinasi dari cara seseorang dalam menyerap informasi, kemudian mengatur serta mengolah informasi tersebut menjadi bermakna. Kemampuan menyerap informasi setiap siswa cenderung berbeda berdasarkan modalitas belajarnya. Ada siswa memiliki kecendrungan menyerap informasi lebih maksimal melalui indra penglihatan (visual), ada juga yang maksimal menyerap informasi melalui indra pendengaran (auditorial), sementara yang lain maksimal menyerap informasi melalui aktifitas fisik atau tubuh (kinestetik atau belajar somatis). Upaya guru mengenali modalitas belajar siswa (visual, auditorial, atau kinestik) sangat diharapkan dalam membantu memaksimalkan fungsi dominasi otak siswa sebagai bentuk kemampuan mengatur dan mengelola informasi melalui berbagai aktifitas fisik dan mental.
Berdasarkan tahap-tahap perkembangan kognitif manusia menurut Jean Piaget, peserta didik kelas VII SMP yang umumnya berusia 13 tahun berada pada tahap Formal Operations (11 atau 12 tahun ke atas). Pada tahap ini, pemikiran proses berfikir tak lagi bergantung hanya pada hal-hal yang langsung dan riil saja tetapi semakin logis. Anak sudah mampu melihat masalah dari berbagai sudut pandang dan mencari solusi kemungkinan dalam memecahkan
masalah,
berfikir berdasarkan
hipotesis, merekonstruksi
sejumlah informasi secara sistematis, menggunakan rasio dan logika,
39 memahami arti simbolik, dan membuat perkiraan di masa depan serta berusaha
mencari
solusi
berbagai
problem
kehidupan
yang
tiada
berkesudahan.
Pengembangan media visual berupa gambar yang bernama Picture in The Box sangat tepat dengan perkembangan kognitif manusia dan gaya belajar visual yang dimiliki peserta didik kelas VII di SMPN 1 Kotabumi. Hal ini ditegaskan pula oleh Halim (2012: 149) yang menyatakan bahwa siswa yang bergaya belajar visual dapat dilihat dari ciri-ciri utama yaitu menggunakan modalitas belajar dengan kekuatan indra mata. Umumnya orang bergaya visual dalam menyerap informasi menerapkan strategi visual yang kuat dengan gambar dan ungkapan yang berciri visual. c. Pendekatan dan Model Pembelajaran IPS. Berdasarkan
Kurikulum
2013,
pembelajaran
IPS
harus
disajikan
menggunakan pendekatan ilmiah (saintifik/scientific), dan menggunakan model yang dianjurkan dalam kurikulum 2013, yaitu discovery-inquiry based learning, problem based learning, dan project based learning.
Pembelajaran dengan pendekatan saintifik dapat didefinisikan sebagai pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa sehingga peserta didik secara aktif mengonstruk konsep, hukum, atau prinsip melalui tahapan-tahapan mengamati, merumuskan pertanyaan, mengumpulkan informasi, mengolah informasi dan menarik kesimpulan serta mengomunikasikan kesimpulan (5M). Langkah-langkah tersebut dapat dilanjutkan dengan mencipta (Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan RI, 2014: 8).
40 Pembelajaran dengan pendekatan saintifik antara lain didasarkan pada prinsip pembelajaran sebagai berikut.
1. Berpusat pada peserta didik. 2. Memberi kesempatan pada peserta didik untuk mengkonstruk konsep, hukum, dan prinsip. 3. Mendorong terjadinya peningkatan kecakapan berpikir peserta didik. 4. Meningkatkan motivasi belajar peserta didik. 5. Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk melatih kemampuan dalam komunikasi (Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan RI, 2014: 8-9). Secara umum pembelajaran dengan pendekatan saintifik dilakukan dengan langkah-langkah.
1. Peserta didik melakukan pengamatan atas suatu fenomena yang berupa gambar/video, lingkungan sekitar untuk mengidentifikasi hal-hal yang ingin diketahui dari hasil pengamatan. 2. Peserta didik merumuskan pertanyaan berdasarkan hal-hal yang ingin diketahui peserta didik pada saat melakukan pengamatan. 3. Mengumpulkan data atau informasi dengan berbagai teknik, seperti: membaca Buku Peserta Didik, mencari di internet, wawancara dengan nara sumber atau melakukan pengamatan di lapangan. 4. Menganalisis data atau informasi yang diperoleh dari berbagai sumber untuk menjawab pertanyaan yang telah dirumuskan sampai diperoleh suatu kesimpulan atas jawaban dari pertanyaan yang telah dirumuskan. 5. Mengomunikasikan kesimpulan dengan cara mempresentasikan di depan kelas, menempel kesimpulan pada dinding kelas atau tempat yang telah disediakan sebagai wahana belajar peserta didik. 6. Pengorganisasian materi IPS dalam Kurikulum 2013 dilakukan secara terpadu. Model pendekatan terpadu, memadukan berbagai disiplin ilmu sosial sedemikian rupa sehingga batas-batas antara disiplin ilmu yang satu dengan lainnya menjadi tidak tampak. Pendekatan terpadu pada hakikatnya merupakan pendekatan pembelajaran yang memungkinkan peserta didik baik secara individual maupun kelompok aktif mencari, menggali, dan menemukan konsep serta prinsip secara holistic dan autentik. Melalui pengembangan materi terpadu, peserta didik dapat memperoleh pengalaman langsung sehingga dapat menambah kekuatan untuk menerima, menyimpan, dan memproduksi kembali pengetahuan yang dipelajarinya (Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan RI, 2014: 9).
41 Model-model pembelajaran yang direkomendasikan di dalam standard proses adalah Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM), Pembelajaran Berbasis Proyek (PBP), dan Discovery-Inquiry (DI). Ketiga model tersebut diharapkan dapat memperkuat penerapan pendekatan saintifik dalam pembelajaran.
[
Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) atau dalam bahasa Inggris disebut
Problem Based Learning (PBL) adalah pembelajaran yang menggunakan masalah nyata sebagai konteks atau sarana bagi peserta didik untuk mengembangkan keterampilan menyelesaikan masalah dan berpikir kritis serta membangun pengetahuan baru. Dalam pembelajaran berbasis masalah, peserta didik secara individual maupun kelompok, menyelesaikan masalah nyata tersebut dengan menggunakan strategi atau pengetahuan yang telah dimiliki. Secara kritis, peserta didik menemukan masalah, mengevaluasi kesesuaian strategi dan solusi, dan mengomunikasikan simpulan. Tujuan utama PBM bukanlah penyajian sejumlah besar fakta kepada peserta didik, melainkan pada pengembangan kemampuan peserta didik untuk berpikir kritis, menyelesaikan masalah, dan sekaligus mengembangkan pengetahuannya (Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan RI, 2014: 10).
Berdasarkan pendekatan dan model pembelajaran berbasis masalah (PBM) yang ada dalam Kurikulum 2013, maka media visual yaitu gambar (Picture in The Box) sangat tepat digunakan sesuai dengan langkah-langkah dalam pendekatan saintifik yang pertama yaitu: peserta didik melakukan pengamatan dan mempelajari suatu fenomena yang berupa gambar, kedua: melalui hasil pengamatan dan mempelajari gambar tersebut, peserta didik mengumpulkan suatu pertanyaan, ketiga: untuk
42 mengidentifikasi hal-hal yang ingin diketahui dari hasil pengamatan, peserta didik mencatat fakta-fakta atau mengumpulkan data/informasi, keempat: kegiatan mengasosiasi yaitu peserta didik merumuskan simpulan hasil dari curah pendapat terkait permasalahan yang ditampilkan, kelima: peserta didik mengomunikasikan hasil kegiatan curah pendapat di depan kelas dan pada lembar kegiatan. Sedangkan untuk pembelajaran berbasis masalah (PBM), media Picture in The Box juga sangat tepat karena sebagai sarana memunculkan fenomena alam dan sosial berupa gambar-gambar yang merupakan masalah dan harus dipecahkan peserta didik.
2.8 Konsep Pembelajaran
Seorang pendidik dalam rangka mentransfer pengetahuan kepada peserta didik memerlukan suatu proses pembelajaran. Proses pembelajaran dalam dunia pendidikan diharapkan peserta didik dapat memperolah pengetahuan serta pengalaman agar dapat merubah tingkah laku yang dapat berguna dalam kehidupannya.
Pembelajaran adalah membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan. Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik. Konsep pembelajaran menurut Corey dalam Sagala (2012: 61) adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau
43 menghasilkan respon terhadap situasi tertentu, pembelajaran merupakan subset khusus dari pendidikan. Menurut Dimyati dan Mudjiono dalam Sagala (2012: 62), pembelajaran adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat siswa belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar.
Berdasarkan uraian diatas dapat dijelaskan bahwa pembelajaran adalah rangkaian suatu proses belajar yang difasilitasi oleh pendidik dalam rangka meningkatkan kemampuan berfikir untuk mendapatkan pengetahuan baru, meningkatkan kreativitas dan merubah prilaku peserta didik atau pembelajaran sebagai proses belajar yang dibangun oleh pendidik untuk mengembangkan kreatifitas berfikir peserta didik, serta dapat meningkatkan kemampuan mengkonstruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi pelajaran.
Sesuai dengan Permendikbud Nomor 54 Tahun 2013 tentang Standar Kompetensi Lulusan, Permendikbud Nomor 64 Tahuni 2013 tentang Standar Isi, dan Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tentang standard proses, mengemukakan sejumlah prinsip pembelajaran sebagai berikut.
1. Dari peserta didik diberi tahu menuju peserta didik mencari tahu. 2. Dari guru sebagai satu-satunya sumber belajar menjadi belajar berbasis aneka sumber belajar. 3. Dari pendekatan tekstual menuju proses sebagai penguatan penggunaan pendekatan ilmiah. 4. Dari pembelajaran berbasis konten menuju pembelajaran berbasis kompetensi. 5. Dari pembelajaran parsial menuju pembelajaran terpadu. 6. Dari pembelajaran yang menekankan jawaban tunggal menuju pembelajaran dengan jawaban yang kebenarannya multi dimensi.
44 7. Dari pembelajaran verbalisme menuju keterampilan aplikatif; peningkatan dan keseimbangan antara keterampilan fisikal (hardskills), dan keterampilan mental (softskills). 8. Pembelajaran yang mengutamakan pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sebagai pembelajar sepanjang hayat (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2014: 6).
2.8.1 Media Picture in The Box Dalam Proses Pembelajaran IPS
Sebagai media komunikasi visual, gambar dapat diterapkan sebagai alat bantu pendidikan dan mampu menyampaikan informasi secara efektif dan efisien. Seperti diketahui, gaya belajar terdiri atas gaya visual, auditori, dan kinestetik. Gaya belajar visual merupakan gaya belajar yang lebih mengandalkan indra visual untuk menyerap informasi.
Media pembelajaran yang berupa gambar yaitu Picture in The Box adalah media pembelajaran yang potensial. Aspek visual yang mengoptimalkan mata untuk mengamati dan mempelajari gambar-gambar dan teks yang disertakan. Sehingga media Picture in The Box dapat digunakan peserta didik untuk mengenali konsep.
Media pembelajaran memiliki peran yang sangat penting dalam pembelajaran IPS. Hal tersebut dikarenakan pelajaran IPS adalah pelajaran yang mengintegrasikan materi sejarah, ekonomi dan geografi ditambah dengan materi yang berhubungan dengan kehidupan sosial peserta didik. Oleh karena itu dalam satu topik pembelajaran, diperlukan media pembelajaran yang sesuai dengan materi yang akan diajarkan termasuk materi lain yang merupakan bidang kajian yang tercakup didalamnya.
45 Meningkatkan aktivitas dan kreativitas peserta didik di dalam proses pembelajaran sangat dibutuhkan adanya media /alat bantu yang sesuai dengan bahan yang akan diajarkan. Penerapan kurikulum baru sekarang ini juga mengarisbesarkan tentang perlunya meningkatkan aktivitas dan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran dengan berbagai kegiatan. Kegiatan itu tentu saja dapat terlaksana dengan adanya media /alat bantu. Jadi jelasnya bagi kita bahwa penggunaan media pendidikan juga harus didasarkan pada analisa kurikulum (Rusyana, 2009: 89).
Dari hasil penelitian Seth Spaulding dalam Sudjana dan Rivai (2011: 12) tentang bagaimana siswa belajar melalui gambar-gambar, dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Ilustrasi gambar merupakan perangkat pengajaran yang dapat menarik minat belajar siswa secara aktif. 2. Ilustrasi gambar merupakan perangkat tingkat abstrak yang dapat ditasirkan berdasarkan pengalaman di masa lalu, melalui penafsiran katakata. 3. Ilustrasi gambar membantu para siswa membaca buku pelajaran terutama dalam menafsirkan dan mengingat-ingat isi materi teks yang menyertainya. 4. Dalam booklet, pada umumnya anak-anak lebih menyukai setengah atau satu halaman penuh bergambar, disertai beberapa petunjuk yang jelas. Lebih baik lagi apabila lebih dari separuh isi booklet itu memuat ilustrasi gambar. 5. Ilustrasi gambar harus dikaitkan dengan kehidupan nyata, agar minat para siswa menjadi efektif. Menurut Munir (2012: 262-263), prinsip-prinsip pemakaian gambar pada setiap kegiatan pembelajaran, antara lain. 1. Pergunakanlah gambar untuk tujuan-tujuan pengajaran yang spesifik, yaitu dengan cara memilih gambar tertentu yang akan mendukung penjelasan inti pelajaran atau pokok-pokok pelajaran.
46 2. Padukan gambar-gambar kepada pelajaran, sebab keefektifan pemakaian gambar-gambar di dalam proses belajar mengajar memerlukan keterpaduan. 3. Pergunakan gambar seefektif mungkin. 4. Kurangi penambahan kata-kata pada gambar. 5. Mendorong pernyataan yang kreatif, melalui gambar-gambar para siswa akan didorong untuk mengembangkan keterampilan berbahasa lisan dan tulisan, seni grafis dan bentuk-bentuk kegiatan lainnya. 6. Mengevaluasi kemajuan kelas, bisa juga dengan memanfaatkan gambar baik secara umum maupun secara khusus.
Media visual berupa gambar atau Picture in The Box yang akan dikembangkan dalam penelitian ini adalah gambar tentang fenomena alam dan fenomena sosial yang menjadi kajian materi pelajaran IPS yang dibuat dalam bentuk kartu berukuran 10 cm x 7 cm lalu diletakkan dalam kotak seukuran kartu tersebut. Dalam satu sub-sub tema bahasan terdapat 10 sampai 20 kartu tergantung materi yang akan dikaji. Setiap kotak memiliki satu sub-sub tema yang dituangkan dalam kartu bergambar tersebut. Masing-masing kartu berisi gambar tentang fenomenafenomena tersebut. Kemudian setiap kelompok peserta didik memperoleh satu kotak kartu lalu peserta didik secara berkelompok mendiskusikan untuk menjawab permasalahan dan memberi solusi tentang fenomena yang terjadi dengan panduan gambar-gambar tersebut. Gambar hanya merupakan simbol, tugas peserta didik untuk mengartikan gambar tersebut sehingga menjadi lebih bermakna.
2.8.2 Penggunaan Media Picture in The Box Dalam Pembelajaran IPS
Picture in The Box adalah media pembelajaran dalam bentuk kartu bergambar yang berukuran 10 x 7 cm. Gambar-gambar tersebut merupakan rangkaian pesan yang disajikan mengenai fenomena-fenomena alam dan sosial. [[
47 Landasan teoritis penggunaan media Picture in The Box mengacu pada pendapat Levie & Levie (Arsyad, 2014: 12) yang menyatakan bahwa stimulus visual membuahkan hasil belajar yang lebih baik untuk tugas-tugas seperti mengingat, mengenali, mengingat kembali, dan menghubung-hubungkan fakta dan konsep.
Baugh (Arsyad, 2014: 13), menyatakan perbandingan pemerolehan hasil belajar melalui indera pandang dan indera dengar sangat menonjol perbedaanya. Kurang lebih 90% hasil belajar seseorang diperoleh melalui indera pandang, dan hanya sekitar 5% diperoleh melalui indera dengar dan 5% lagi dengan indera lainnya. Sementara itu, Dale (Arsyad, 2014: 13), memperkirakan bahwa pemerolehan hasil belajar melalui indera pandang berkisar 75%, melalui indera dengar sekitar 13%, dan melalui indera lainnya sekitar 12%.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, penggunaan media Picture in The Box dalam pembelajaran IPS dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik karena media Picture in The Box merupakan media visual yang dalam proses pembelajaran dominan menggunakan indera pandang. Peserta didik menggunakan indera pandang untuk mempelajari, mengamati, dan menghubungkan konsep gambar-gambar dan teks yang terdapat dalam media Picture in The Box. Langkahlangkah yang harus dilakukan dalam menggunakan media Picture in The Box sebagai berikut. 1. Mempersiapkan ruang kelas. Sebelum media picture in the box dibagikan, pendidik sebaiknya memperhatikan kondisi kelas. Apakah kelas cukup cahaya?. Karena Picture
48 in The Box adalah media visual yang
membutuhkan intensitas cahaya di
ruangan yang cukup. Hal tersebut penting karena media Picture in The Box akan dipegang dan diamati oleh peserta didik dari posisi duduk manapun. 2. Mempersiapkan peserta didik. Dalam pembelajaran, peserta didik dapat didesain dengan berbagai macam pola pengaturan. Jika menggunakan media Picture in The Box maka peserta didik disiapkan dengan cara mengelompokkan secara heterogen tanpa memisahkan peserta didik berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Masingmasing kelompok terdiri 5 dan 6 orang. 3. Mempersiapkan pertanyaan dan penugasan yang mengaktifkan peserta didik. Pendidik mempersiapkan bentuk penugasan (LKPD) yang dapat melibatkan peserta didik secara aktif dalam pembelajaran dengan menggunakan media Picture in The Box. Media Picture in The Box tidak berarti sepenuhnya milik pendidik
sebagai alat bantu untuk menjelaskan materi umum, pelibatan
peserta didik untuk mencari konsep dan pemahaman secara mendalam melalui interaksi aktif harus dilakukan oleh pendidik. 4. Penggunaan media Picture in The Box saat pembelajaran berlangsung. a. Kartu-kartu gambar di letakkan dalam kotak dengan ukuran yang sama dengan ukuran kartu. Dalam satu kotak terdapat 10 sampai 20 kartu bergambar sesuai dengan sub-sub tema. b. Pendidik menjelaskan cara penggunaan media Picture in The Box kepada peserta didik. c. Kotak-kotak yang berisi kartu bergambar tersebut diberikan kepada setiap kelompok beserta Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD). Setiap anggota
49 kelompok menjawab semua permasalahan yang terdapat pada LKPD, kemudian dengan bantuan media Picture in The Box, peserta didik mengamati dan mempelajari, menanya, mengumpulkan data/informasi, mengasosiasi, dan mengomunikasikan untuk menjawab permasalahan yang diberikan. d. Masing-masing kelompok mempresentasikan hasil diskusinya.
2.9 Pembuatan Media Picture in The Box
Media Picture in The Box merupakan media pembelajaran sederhana dan dapat dibuat sendiri oleh pendidik. Menurut Arsyad (2014: 103-108), dalam proses pembuatan media pembelajaran sederhana itu harus diperhatikan unsur-unsur desain tertentu, antara lain. 1. Kesederhanaan Secara umum kesederhanaan itu mengacu kepada jumlah elemen yang terkandung dalam suatu visual. Jumlah elemen yang lebih sedikit memudahkan siswa untuk menangkap dan memahami pesan yang disajikan. Kalimat harus ringkas tetapi padat dan mudah dimengerti. 2. Keterpaduan Keterpaduan mengacu pada hubungan yang terdapat diantara elemenelemen visual yang ketika diamati akan berfungsi secara bersama-sama. Elemen-elemen itu harus saling terkait dan menyatu sehingga membantu pemahaman pesan dan informasi yang dikandungnya. 3. Penekanan Konsep yang disajikan memerlukan penekanan terhadap salah satu unsur yang terpenting, dengan menggunakan ukuran, hubungan-hubungan perspektif warna atau ruang. 4. Keseimbangan Bentuk yang dipilih sebaiknya menempati ruang penayangan yang memberikan persepsi keseimbangan meskipun tidak seluruhnya simetris. 5. Bentuk Bentuk yang aneh dan asing bagi siswa dapat membangkitkan minat dan perhatian. Oleh karena itu, pemilihan bentuk sebagai unsur visual dalam penyajian pesan perlu diperhatikan.
50 6. Garis Garis digunakan untuk menghubungkan unsur-unsur sehingga dapat menuntun perhatian siswa untuk mempelajari suatu urutan khusus. 7. Tekstur Tekstur adalah unsur visual yang dapat menimbulkan kesan kasar atau halus yang dapat digunakan untuk penekanan unsur. 8. Warna Warna digunakan untuk memberi kesan pemisahan, penekanan, untuk membangun keterpaduan, mempertinggi tingkat realisme objek, menunjukkan persamaan dan perbedaan, serta menciptakan respons emosional tertentu.
Dalam proses pembelajaran, pendidik dapat membuat sendiri media pembelajaran sederhana yang dapat berupa gambar atau foto. Menurut Hamalik (1994: 67-68), sebelum membuat media gambar terlebih dahulu memperhatikan keaslian gambar, kesederhanaan, bentuk item, dan artistik. Media gambar sebagai bagian dari media pembelajaran sederhana sering dipergunakan karena nilai ekonomis dan kepraktisannya.
Media pembelajara Picture in The Box yang dihasilkan dalam penelitian ini, memiliki prinsip pengembangan media gambar secara garis besar berkaitan dengan bentuk maupun isi sebagai berikut. 1. Komponen penting yang dikaitkan dengan media pembelajaran adalah media Picture in The Box adalah penyampai pesan secara visual dari rangkaian gambar dan kalimat yang berbentuk deskriptif. Dari mengamati dan mempelajari
gambar
tersebut,
peserta
didik
dapat
terbantu
untuk
mengumpulkan sejumlah pertanyaan, informasi, dan mengasosiasikannya, kemudian mengomunikasikannya di depan kelas. 2. Dari segi gambar, media pembelajaran Picture in The Box terdiri dari gambar fenomena-fenomena alam, sosial, dan manusia yang terdapat di lingkungan
51 sekitar maupun yang lebih luas lagi. Sebagai media pembelajaran, media Picture in The Box menekankan pada kejelasan gambar, pewarnaan, kemenarikan, dan pemakaain bahasa yang mudah dipahami sebagai kesinambungan antara kalimat dengan gambar. Dengan demikian media Picture in The Box sebagai media pembelajaran memiliki konsep sederhana namun jelas dari segi visualnya. 3. Dari segi bentuk, media pembelajaran Picture in The Box yang dikembangkan berbentuk kartu-kartu dengan ukuran 7 cm X 10 cm dari bahan fiber. Desain kartu yang dikembangkan adalah gambar, tulisan, dan warna. 4. Dari segi isi, media Picture in The Box menceritakan tentang persebaran flora dan kerusakan hutan Indonesia, persebaran fauna dan fauna langka yang semakin langka, kepadatan penduduk dan permasalahannya, dan rendahnya tingkat pendidikan dan permasalahannya.
Teknik Pembuatan Media Picture in The Box, sebagai berikut. 1. Menentukan langkah pengembangan media, yaitu Borg dan Gall. 2. Menentukan langkah desain produk media, yaitu desain Dick & Carey. 3. Menentukan jenis dan komponen media yang akan dibuat, yaitu. Jenis media: media visual berupa gambar. Bahan dasar media: fiber. Ukuran: 7 cm x 10 cm. Jumlah gambar (Satu media Picture in The Box pada satu pertemuan): 10 sampai 20 gambar.
52 Sumber media: buku materi pelajaran IPS kelas VII, downloads internet. Produksi media: percetakan. 4. Mengakses di internet gambar-gambar yang dibutuhkan sesuai dengan tema, sub tema dan permasalahan yang akan dipecahkan oleh peserta didik. 5. Setelah melakukan uji coba produk, lalu dicetak. Memerlukan jasa percetakan. 6. Gambar yang telah dicetak berbentuk kartu lalu diletakkan dalam kotak berukuran kartu tersebut. 7. Menentukan langkah-langkah penggunaan media (membuat buku panduan penggunaan media bagi pendidik).
Penelitian pengembangan media Picture in The Box dalam proses pembelajaran IPS SMP kelas VII hanya dilakukan di satu sekolah, tetapi langkah-langkah penelitian pengembangan media Picture in The Box pada mata pelajaran IPS SMP ini dilakukan sampai langkah kesembilan dari prosedur pengembangan Borg and Gall. Tahap pengembangan produk media Picture in The Box dalam pembelajaran IPS SMP kelas VII berdasarkan pada langkah-langkah prosedur pengembangan desain instruksional dari Dick and Carey yang meliputi sepuluh langkah.
2.10 Pengertian Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
Pengertian Pendidikan IPS di Indonesia sebagaimana yang terjadi di sejumlah negara pada umumnya masih dipersepsikan secara beragam. Namun, definisi yang sudah lama dirumuskan sebagai hasil adopsi dan adaptasi dari gagasan global reformers adalah definisi dari Prof. Nu’man Somantri (Sapriya, 2009: 11)
53 yang mendefinisikan Pendidikan IPS dalam dua jenis, yakni pendidikan IPS untuk persekolahan dan Pendidikan IPS untuk perguran tinggi sebagai berikut. 1. Pendidikan IPS adalah penyederhanaan atau adaptasi dari disiplin ilmuilmu sosial dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan. 2. Pendidikan IPS adalah seleksi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan.
Pengertian Pendidikan IPS yang pertama berlaku untuk pendidikan dasar dan menengah, sedangkan yang kedua berlaku untuk perguruan tinggi atau LPTK. Perbedaan dari dua definisi ini terletak pada istilah “penyederhanaan” untuk pendidikan dasar dan menengah, sedangkan untuk perguruan tinggi ada istilah “seleksi”. Menurut Somantri (Sapriya, 2009: 11), istilah penyederhanaan digunakan pada PIPS pendidikan dasar dan menengah dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa tingkat kesukaran bahan harus sesuai dengan tingkat kecerdasan dan minat peserta didik, sedangkan tingkat kesukaran untuk perguruan tinggi adalah sama dengan tingkat kesukaran perguruan tinggi.
2.11 Aktivitas Belajar
Belajar merupakan salah satu faktor penting dalam proses pendidikan. Dengan belajar manusia akan dapat meningkatkan kemampuannya baik dibidang pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang dapat bermanfaat bagi dirinya dalam masyarakat.
54 Proses dalam belajar dituntut adanya suatu aktivitas yang harus dilakukan oleh peserta didik sebagai usaha untuk meningkatkan hasil belajar. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Hamalik (2006: 171) yang menyatakan bahwa pengajaran yang efektif adalah pengajaran yang menyediakan kesempatan siswa belajar sendiri atau melakukan aktivitas.
Kegiatan pembelajaran menghendaki aktivitas siswa seoptimal mungkin. Aktivitas ini menyangkut aktivitas yang bersifat fisik maupun mental. Dalam kegiatan belajar kedua aktivitas ini harus selalu ada, aktivitas peserta didik dalam belajar bukan hanya secara individual tetapi juga dalam kelompok sosial. Aktivitas peserta didik dalam kelompok membuahkan interaksi dalam kelompok. Interaksi dikatakan maksimal bila interaksi itu terjadi antara pendidik dan peserta didik, dan antara peserta didik dengan peserta didik dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.
Berdasarkan pendapat tersebut, aktivitas belajar dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan fisik maupun mental yang dilakukan secara sadar oleh seseorang dan mengakibatkan adanya perubahan dalam dirinya. Aktivitas peserta didik dalam belajar akan berpengaruh terhadap hasil belajar peserta didik.
Selain usaha yang dilakukan oleh peserta didik, peran serta guru sangat dibutuhkan agar selama proses pembelajaran aktivitas siswa meningkat, yaitu dengan memberikan arahan, motivasi, dan fasilitas dalam belajar. Fasilitas dalam belajar, seperti menggunakan media yang menarik. Selanjutnya Dimyati dan Mudjiono (2009: 63) mengatakan bahwa untuk dapat menimbulkan keaktifan
55 belajar pada diri siswa, maka guru diantaranya dapat melaksanakan interaksiinteraksi berikut. 1. Menggunakan multimetode dan multimedia. 2. Memberikan tugas secara individual dan kelompok. 3. Memberikan kesempatan pada siswa melaksanakan eksperimen dalam kelompok kecil. 4. Memberikan tugas untuk membaca bahan ajar, mencatat hal-hal yang kurang jelas. 5. Mengadakan tanya jawab dan diskusi.
Menurut Arikunto (2006: 157), terdapat indikator terhadap aktivitas yang relevan dalam pembelajaran meliputi sebagai berikut. 1. Membaca buku pelajaran atau LKS. 2. Bekerjasama dengan sesama siswa dalam kelompok. 3. Ketepatan waktu mengerjakan tugas. 4. Bertanya pada guru atau siswa lain. 5. Menaggapi/berkomentar tentang masalah yang diajukan.
Menurut Paul D. Dieriech dalam Hamalik (2006: 172), aktivitas belajar dapat digolongkan menjadi delapan jenis sebagai berikut. 1. Visual Aktivities, misalnya: demonstrasi, percobaan.
membaca,
memperhatikan
gambar,
2. Oral Aktivities, misalnya mengemukakan suatu fakta, menghubungkan suatu kejadian, mengajukan pertanyaan, memberi saran, mengemukakan pendapat. 3. Listening Aktivities, misalnya: mendengarkan percakapan, diskusi, musik, dan pidato. 4. Writing angket.
penyajian
bahan,
Aktivities, misalnya: menulis cerita, karangan, laporan, dan
5. Drawing Aktivities, antara lain: menggambar, membuat grafik, chart, peta, dan diagram.
56 6. Motor Aktivities, seperti: melakukan percobaan, membuat kontruksi, model, mereparasi, bermain, berkebun, dan berternak. 7. Mental Aktivities, seperti: merenungkan, mengingat, memecahkan masalah, menganalisis, melihat hubungan, dan mengambil keputusan. 8. Emotinal Aktivities, misalnya: menaruh minat, merasa bosan, gembira, bersemangat, bergairah, berani, tenang, dan gugup. Pada penelitian ini, aktivitas belajar peserta didik diukur menggunakan skala penilaian afektif yaitu. 1. BT : Belum Terlihat, apabila peserta didik belum memperlihatkan tandatanda awal perilaku/karakter yang dinyatakan dalam indikator. 2. MT : Mulai Terlihat, apabila peserta didik sudah mulai memperlihatkan adanya tanda-tanda awal perilaku/karakter yang dinyatakan dalam indikator tetapi belum konsisten. 3. MB : Mulai Berkembang, apabila peserta didik sudah memperlihatkan berbagai tanda perilaku/karakter yang dinyatakan dalam indikator dan mulai konsisten. 4. MK : Menjadi Kebiasaaan atau membudaya, apabila peserta didik terus menerus memperlihatkan perilaku/karakter yang dinyatakan dalam indikator dan mulai konsisten (Kurnia, 2014: 1).
Belajar merupakan bagian dari aktivitas. Tidak ada belajar jika tidak ada aktivitas. Aktivitas peserta didik dalam kegiatan pembelajaran tidak hanya mendengarkan dan mencatat saja. Aktivitas belajar harus dilakukan peserta didik sebagai usaha untuk meningkatkan hasil belajar. Belajar sambil melakukan aktivitas lebih banyak mendatangkan hasil bagi peserta didik, sebab kesan yang didapatkan oleh peserta didik lebih tahan lama tersimpan di dalam benak peserta didk.
2.12 Hasil Belajar
Hasil belajar merupakan tujuan akhir dilaksanakannya kegiatan pembelajaran di sekolah. Hasil belajar dapat ditingkatkan melalui usaha sadar yang dilakukan
57 secara sistematis mengarah kepada perubahan yang positif yang kemudian disebut dengan proses belajar. Akhir dari proses belajar adalah perolehan suatu hasil belajar siswa. Hasil belajar siswa di kelas terkumpul dalam himpunan hasil belajar kelas. Semua hasil belajar tersebut merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Dari sisi guru, tindak mengajar diakhiri dengan proses evaluasi hasil belajar, sedangkan dari sisi siswa, hasil belajar merupakan berakhirnya penggalaman dan puncak proses belajar (Dimyati dan Mudjiono, 2009: 3). Menurut Sudjana (2010: 22), hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajar. Selanjutnya Warsito dalam Depdiknas (2006: 125) mengemukakan bahwa hasil dari kegiatan belajar ditandai dengan adanya perubahan perilaku ke arah positif yang relatif permanen pada diri orang yang belajar. Sehubungan dengan pendapat itu, maka Wahidmurni, Mustikawan, dan Ridho (2010: 18) menjelaskan bahwa seseorang dapat dikatakan telah berhasil dalam belajar jika ia mampu menunjukkan adanya perubahan dalam dirinya. Perubahan-perubahan tersebut di antaranya dari segi kemampuan berpikirnya, keterampilannya, atau sikapnya terhadap suatu objek. Menurut Slameto (2003: 54), ada beberapa faktor yang berhubungan dengan prestasi belajar yaitu. 1. Faktor intern, yaitu faktor yang ada dalam diri individu yang sedang belajar; a. faktor jasmaniah: kesehatan, cacat tubuh, b. faktor psikologis: intelegensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan, dan kesiapan, c. faktor kelelahan.
58 2. Faktor eksternal, yaitu faktor yang ada di luar dindividu terdiri dari; a. faktor keluarga, b. faktor sekolah, c. faktor masyarakat.
Untuk mengetahui hasil belajar seseorang dapat dilakukan dengan melakukan tes dan pengukuran. Tes dan pengukuran memerlukan alat sebagai pengumpul data yang disebut dengan instrumen penilaian hasil belajar. Menurut Wahidmurni, Mustikawan, dan Ridho (2010: 28), instrumen dibagi menjadi dua bagian besar, yakni tes dan non tes. Selanjutnya, menurut Hamalik (2006: 155), memberikan gambaran bahwa hasil belajar yang diperoleh dapat diukur melalui kemajuan yang diperoleh siswa setelah belajar dengan sungguh-sungguh. Hasil belajar tampak terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa yang dapat diamati dan diukur melalui perubahan sikap dan keterampilan. Perubahan tersebut dapat diartikan terjadinya peningkatan dan pengembangan yang lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya.
Berdasarkan pengertian tersebut, hasil belajar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hasil akhir dari proses belajar mengajar yang ditunjukkan dalam wujud angka yaitu hasil kemampuan peserta didik yang menjadi indikator kualitas dan kuantitas pengetahuan yang telah dikuasai oleh peserta didik. Untuk mencapai hasil belajar yang diharapkan ditandai dengan tingginya prestasi belajar peserta didik sesuai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) yaitu sebesar 71 yang telah ditetapkan pendidik.
59 2.13 Hasil Penelitian yang Relevan
Hasil penelitian yang sejenis dengan pokok permasalahan yang dibahas dalam proposal ini telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu. Oleh karena itu, pada bagian ini dilengkapi beberapa hasil penelitian yang ada kaitannya dengan pokok masalah ini, antara lain. Tabel 2.2 Penelitian yang Relevan N o 1
2
Nama Sudarmin Parmin (2013)
Siti Fatimah (2013)
Judul Penelitian “Pengembangan Media FlashCard IPA Terpadu Dalam Pembelajaran Model Kooperatif Tipe Student Teams Achievement Division (STAD) Tema Polusi Udara”
Metode, Model, Subjek Research and Development (R & D)
“Pengembangan Media Flash Card Dalam Pelajaran Matematika Kelas II di MI Ma’arif Sendang Kulon Progo”
Research and Development (R & D)
Model pengembangan: model procedural
Subjek penelitian: siswa kelas VIII SMP Islam Roudlotus Saidiyayah, berjumlah 22 siswa.
Model pengembangan: Kemp, Morrison, dan
Hasil penelitian Tujuan dalam peneitian ini adalah untuk mengetahui kelayakan dan keefektifan media flascard yang telah dikembangkan peneliti. Penelitian ini merupakan penelitian Research and Development. Langkah-langkah penelitian dikembangkan dengan menggunakan metode R & D yang diambil dari pendapat Sugiyono, 2009. Hasil penelitian menunjukkan bahwa media flashcard layak dan efektif diterapkan dalam pembelajaran IPA Terpadu tema Polusi udara. Hal ini terlihat dari skor kelayakan penilaian mencapai 84,17% sesuia kriteria layak menurut BSNP. Sedangkan ketuntasan klasikal yang diperoleh siswa pada uji pelaksanaan lapangan mencapai 92% yang artinya media flashcard efektif diterapkan untuk pembelajaran IPA. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa media flashcard IPA Terpadu layak dan efektif digunakan dalam pembelajaran model kooperatif tipe STAD tema polusi udara di SMP/MTs kelas VIII (http://journal.unnes.ac.id/sjn/index.pdp) .
Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengembangkan media pembelajaran matematika berbasis Flash Card pada materi pokok pembagian bilangan untuk siswa kelas II semester II, 2) mengetahui masukan dari para ahli yang terdiri dari ahli materi dan ahli media untuk mengetahui kelayakan media Flash Card.
60 Ross. Subjek penelitian: siswa kelas II MI Ma’arif Sendang Kulon Progo berjumlah 30 siswa.
3
Winda Astuti (2013)
“Pengaruh Media Kartu Bergambar Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Materi Jamur di SMA”
Eksperimen semu. Model ControlGroup PreTest-Post-Test Design. Subjek penelitian: siswa kelas X D SMA Negeri 1 Ketapang. berjumlah 30 siswa.
Hasil penelitian yang pertama yaitu 1) berhasil dikembangkan media pembelajaran Flash Card pada materi pembagian bilangan, 2) hasil penilaian media pembelajaran matematika berbasis Flash Card yang telah dikembangnkan berdasarkan penilaian ahli materi adalah Baik (B) dengan skor 4 dengan konversi skor skala lima adalah 4,00. Berdasarkan penilaian ahli media adalah Baik (B) dengan skor 4,12 dengan skor skala lima adalah 4,12. Dengan demikian, media Flash Card layak digunakan sebagai media pembelajaran matematika untuk siswa kelas II. (http://Bab%20%2C%2C%20PUSTAK A.pdf)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan media kartu bergambar terhadap hasil belajar siswa pada materi jamur di kelas X SMA Negeri 1 Ketapang. Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimen semu dengan rancangan Control-Group PreTest—Post-Test Design. Sampel penelitian adalah kelas X D (kelas eksperimen) dan kelas X C (kelas kontrol) tahun ajaran 2012/2013. Hasil analisis menunjukkan perbedaan yang signifikan antara nilai post-test siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Perhitungan effect size (ES) diperoleh nilai sebesar 1,45 dengan kriteria tinggi dan berpengaruh sebesar 42,65% terhadap hasil belajar siswa. Penggunaan media kartu bergambarmemberikan pengaruh terhadap hasil belajar siswa pada materi jamur di kelas XSMA Negeri 1 Ketapang (http://UNTAN.ac.id/pengaruh-mediakartu-bergambar)
Kesimpulan dari tabel tersebut adalah penelitian dan pengembangan media flashcard dalam pembelajaran dipandang tepat untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik, karena flashcard memiliki kelebihan yaitu: 1) flashcard berupa sejumlah kartu yang diperlihatkan secara sekilas kepada peserta didik sehingga
61 akan menarik perhatian peserta didik; (2) flashcard berisi gambar sebagai stimulus sehingga peserta didik dapat merespon dengan berbicara menggunakan kalimat berpola; dan (3) flashcard merupakan media sederhana yang sangat memungkinkan bagi guru untuk mengadakan dan mengembangkannya karena tidak memerlukan banyak waktu dan biaya.
2.14 Kerangka Pikir Penelitian
Kerangka berpikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah penting (Sugiyono, 2013: 91). Kerangka pikir penelitian ini diawali karena adanya masalah di kelas yaitu rendahnya aktivitas dan prestasi belajar peserta didik. Dilatarbelakangi dari beberapa teori, media pembelajaran merupakan salah satu cara untuk mengatasi permasalahan di atas. Dalam hal ini media visual yang berupa gambar yang akan dikembangkan sehingga aktivitas dan prestasi belajar peserta didik akan meningkat.
RENDAHNYA HASIL BELAJAR
MEDIA PEMBELAJARAN
EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN
PENGEMBANGAN MEDIA PICTURE IN THE BOX
PRODUK MEDIA PICTURE IN THE BOX
Gambar 2.2 Kerangka Pikir Penelitian
MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR
62 2.15 Hipotesis Penelitian
Menurut Sugiyono (2013: 96) hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, di mana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Berdasarkan landasan teori dan kerangka pikir, maka hipotesis penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penelitian ini menghasilkan produk media pembelajaran yang disebut media gambar di dalam kotak (Picture in The Box). Media ini akan diterapkan pada mata pelajaran IPS SMP kelas VII semester 1. 2. Penggunaan media gambar di dalam kotak (Picture in The Box) efektif dalam meningkatkan hasil belajar pada pembelajaran IPS di SMPN 1 Kotabumi Tahun Pelajaran 2014/2015.
Ho: Rata-rata hasil belajar IPS yang pembelajarannya menggunakan media Picture in The Box lebih rendah atau sama dengan hasil belajar IPS yang pembelajarannya menggunakan media bukan Picture in The Box (Peta, Atlas, Globe, Papan Tulis, LCD, Batuan). Ha: Rata-rata hasil belajar IPS yang pembelajarannya menggunakan media Picture in The Box lebih tinggi dari hasil belajar IPS yang pembelajarannya menggunakan media bukan Picture in The Box (Peta, Atlas, Globe, Papan Tulis, LCD, Batuan).