II KAJIAN KEPUSTAKAN
2.1
Ayam Ras Petelur Ayam ras petelur adalah jenis ayam yang sangat efisien untuk menghasilkan
telur (Yamesa, 2010). Tipe ayam ras petelur pada umumnya dibagi menjadi dua macam yaitu tipe ringan dengan ciri warna bulu putih bersih, badan ramping serta berjengger merah dan tipe medium yang mempunyai ciri berukuran sedang lebih besar dari tipe ayam ras petelur ringan, bulu berwarna coklat, telur yang dihasilkan cukup banyak dan selain itu menghasilkan daging yang cukup banyak, sehingga ayam ini disebut ayam tipe dwiguna (Rasyaf,2001). Asal usul ayam petelur adalah mula-mula Red Jungle Fowl didomestikasi dengan tujuan untuk menghilangkan gen resesif sifat liar sehingga terjadi perubahan fenotipe atau penampilan, kemudian dilanjutkan dengan program breeding secara terus menerus menuju pada ayam yang menjadi tujuan domestikasi yaitu produksi telur tinggi (Hutt, 1949). Sementara ayam ras petelur di Indonesia berasal dari berbagai pembibit luar negeri, diantaranya strain : Lohmann dan Hyline dari pembibit Erich Wesjohann Group sedangkan Isa Brown, Bovans, Dekalb, dan Hisex dari pembibitan Hendrix Poultry Breeder (Scanes dkk., 2004). Strain ayam ras petelur yang digunakan dalam persilangan ini adalah strain Lohman. Strain adalah sekelompok ayam yang dihasilkan oleh breeder farm melalui proses pemuliabiakan untuk tujuan ekonomis tertentu (Suprijatna, dkk. 2005). Strain ini berasal dari Jerman pada 1972, bobot tubuh ayam ini cukup berat, sehingga ayam ini disebut dengan ayam dwiguna. Ayam ini umumnya mempunyai
warna bulu cokelat, jengger merah, dan menghasilkan telur berwarna cokelat, mempunyai daya tahan yang baik terhadap lingkungan, dapat memberikan respon terhadap faktor lingkungan yang bervariasi, dan daya hidup diatas 93,3% (PT. Multi Breeder Adirama Indonesia, 2005). Ayam strain Lohman jenis kelamin jantan dipelihara 8-9 minggu dengan performan sebagai berikut : Table 1. Standar performa produksi ayam jantan tipe medium strain Lohman. Umur (minggu) Konsumsi pakan (gram) Bobot badan (g/ekor) 1 70 72 2 90 145 3 140 230 4 200 335 5 290 480 6 350 650 7 425 750 8 600 850 9 700 950 Sumber : Rama Jaya Farm (2009) 2.2.
FCR 0,97 1,10 1,30 1,49 1,65 1,75 2,09 2,55 3,02
Ayam Lokal (Kampung) Ayam lokal atau ayam buras (bukan ras) adalah hasil domestikasi dari
spesies ayam hutan Gallus gallus atau Red Jungle Fowl yang berasal dari Pulau Jawa, Pulau Sumatra hingga Kepulauan Nusa Tenggara (Hutt, 1949; Jull, 1951; Rasyaf, 1994). Proses domestikasi menyebabkan perubahan pada kulit penutup, otot, timbunan lemak, dan otak (Hutt, 1949). Karakteristik morfologi ayam lokal atau ayam buras adalah kulit berwarna putih, kuning, dan campuran, shank berwarna putih, kuning, hitam, hijau, dan campuran, warna bulu adalah hitam, putih, kekuningan, kecoklatan, merah tua, dan campuran (Budiwati, 1982; Rasyaf, 1994).
Ayam lokal yang lebih dikenal dengan ayam kampung memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan. Ada beberapa jenis ayam lokal yang sudah dikenal dan mempunyai potensi yang tinggi, dan pada umunya merupakan ternak khas dari satu daerah misalnya ayam Kedu dan ayam Pelung. Ayam Kedu dapat ditemukan di Jawa Tengah berpotensi sebagai tipe petelur. Ayam Pelung dengan suara kokok yang jantan yang panjang dan berirama (untuk kesenangan) dapat ditemukan di Jawa Barat, dapat diarahkan sebagai tipe pedaging. Sedangkan ayam kampung yang digunakan dalam penelitian ini adalah ayam Bangkok. Ayam Bangkok sebenarnya ayam introduksi dari Bangkok (Thailand). Meskipun ayam Bangkok bukan ayam asli Indonesia, tetapi kini telah menjadi salah satu jenis ayam lokal karena sudah lama berada di Indonesia dan dikawinkan dengan ayam asli (ayam kampung). Keturunannya yang dikenal dengan nama Bangkok turunan tidak lagi sebesar ayam Bangkok asli, namun masih memiliki kelincahan, ketahanan tubuh, dan ketangguhan seperti tetuanya. Ayam Bangkok mempunyai ciri diantaranya, postur tubuh tegap besar, tinggi mencapai 50-60 cm, jengger tidak bergerigi dan terbagi menjadi tiga baris, paha gepeng tapi kokoh dan kulit berwarna kemerah-merahan (Setyo, 1996). Ayam Bangkok jantan dewasa mempunyai berat 3 - 4,5 kg, sedangkan yang betina berat badannya antara 1,6 – 2 kg dengan produksi telur 12 butir per periode peneluran (Rahmat, 2003). 2.3
PersilanganTernak Perkawinan silang (crossing) adalah perkawinan ternak dari bangsa yang
berbeda (Hardjosubroto, 1994). Persilangan antara dua bangsa dapat menghasilkan keturunan yang mempunyai perwujudan yang lebih baik dibandingkan rerata kedua bangsa aslinya (Jull, 1951). Persilangan dapat mengkombinasikan gen-gen yang
sangat berbeda dari sumber-sumber yang sangat berbeda, karena setiap tetua mempunyai gen-gen dominan dalam keadaan heterozygot (Robinson, 1996). Hal ini dikarenakan beberapa gen dominan diperoleh dari tetua pejantan dan gen dominan lain dari tetua lainnya dan kebanyakan gen-gen dominan mempunyai efek yang menguntungkan, maka keturunan yang diperoleh akan mempunyai beberapa sifat yang lebih baik dibandingkan dengan tetua mereka (Smyth, 1988). Secara teknis persilangan dikerjakan dengan maksud 1) penggabungan beberapa sifat yang semula terdapat pada dua bangsa yang berbeda kedalam satu bangsa silangan, 2) pembentukan bangsa baru, 3) grading up, dan 4) pemanfaatan heterosis (Hardjosubroto, 1994). Keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari perkawinan silang diantaranya adalah peningkatan kecepatan pertumbuhan, efisiensi makanan yang lebih besar, daya tetas yang tinggi, dan berkurangnya kematian yang disebabkan adanya peningkatan kekuatan pada tubuhnya (Robinson, 1996). Tujuan dari persilangan adalah menghasilkan individu yang mencirikan kedua sifat dari tetuanya (Nesheim, 1979). Peneliti lain juga mengungkapkan bahwa perkawinan silang digunakan untuk mengkombinasikan sifat yang diinginkan dari kedua tetua terhadap penampilan keturunannya. Keturunan baru yang dihasilkan akan memiliki keunggulan dibandingkan dengan rerata penampilan kedua tetuanya (Lasley, 1978). Guna melihat kualitas hasil persilangan dapat dilihat dari performa ternak. Performa produksi yang harus diamati meliputi bobot badan setiap minggunya, pertambahan bobot badan, konsumsi pakan selama pemeliharaan dan konversi pakan (North dan Bell, 1990).
2.4
Performa Pertumbuhan Performa atau penampilan ekspresi potensi ternak secara mendasar
dipengaruhi oleh dua faktor utama yang saling terkait satu dengan yang lainnya, yakni faktor genetik dan lingkungan termasuk didalamnya manejemen pemeliharaan secara menyeluruh (Syukur, 2006). Faktor genetik bersifat baka dan dapat diwariskan dari tetua (pejantan atau induk) kepada keturunannya sedangkan faktor lingkungan bersifat tidak baka dan tidak diwariskan. Performa ternak akan ditentukan oleh kemampuan genetik dan kemampuan beradaptasi dangan lingkungan (Engel, 1990). Peneliti lain menambahkan bahwa faktor genetik ditentukan oleh susunan gen dan kromosom yang dimiliki individu tadi. Oleh karena itu faktor genetik sudah ada sejak terjadinya pembuahan atau bersatunya sel telur dengan sel sperma, sedangkan faktor lingkungan bergantung pada kapan dan dimana individu tadi berada (Hardjosubroto, 1994). Dijelaskan lebih lanjut bahwa performa dari suatu sifat tergantung pada gen-gen yang dimiliki ternak, tetapi keadaan lingkungan yang menunjang diperlukan untuk memberi kesempatan penampilan suatu sifat secara penuh. Didukung oleh pendapat peneliti lain yang menyatakan bahwa performa individu-individu dalam suatu populasi disebabkan oleh adanya variansi genotip (VG) dan variasi lingkungan (VE) yang bersama-sama membentuk variansi fenotip (VP) keadaan ini dapat dirumuskan sebagai berikut: VP = VG + VE (Falconer, 1981). Berdasarkan sifatnya, performa individu dapat dibedakan atas sifat kualitatif dan sifat kuantitatif. Sifat kualitatif adalah sifat yang tidak bisa diukur tetapi dapat dibedakan dan dikelompokan secara tegas, misalnya warna bulu,
bentuk jengger, ada tidaknya tanduk dan sebagainya (Hardjosubroto, 1994; Syukur, 2006). Sedangkan sifat kuantitatif adalah sifat yang dapat diukur, misalnya konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, dan konversi pakan (Skrbic dan Lukic, 2009). 2.5
Konsumsi Ransum Ransum adalah makanan yang disusun dari berbagai jenis bahan pakan yang
disediakan bagi ternak untuk 24 jam, sudah dihitung (dikalkulasi) sebelumnya berdasarkan kebutuhan nutrisi dan energi yang diperlukan dan siap diberikan pada ternak (Sinaga, 2009). Konsumsi ransum sangat dipengaruhi oleh berat badan dan umur ternak, konsumsi ransum akan semakin meningkat dengan meningkatnya berat badan ternak. Jumlah ransum yang dikonsumsi juga akan bertambah dengan bertambahnya umur ternak. Konsumsi ransum adalah total jumlah ransum yang dimakan ternak atau kelompok ternak dalam periode waktu tertentu, biasanya dalam satuan waktu satu hari (Forbes, 1986). Konsumsi ransum dipengaruhi oleh kandungan energi, dimana dengan meningkatnya kandungan energi sedangkan protein tetap atau sebaliknya akan meningkatkan jumlah konsumsi ransum (Tilman dkk., 1991), kemudian Wiharto (1999) menambahkan
bahwa banyak sedikitnya konsumsi ransum
tergantung pada bangsa ayam, temperatur lingkungan, tahap produksi, perkandangan, pemberian ransum, kedalaman wadah ransum, cara penempatan wadah ransum, kandungan energi dalam ransum dan tingkat penyakit dalam kandang. Pakan ternak di Indonesia pada umumunya disusun berdasarkan data yang direkomendasikan oleh badan peneliti dari luar negeri, misalnya National Research
Council (NRC) karena di Indonesia belum tersedia data persyaratan nutrient untuk ternak secara lengkap. Ayam lokal yang dipelihara secara tradisional umur 0-6 minggu membutuhkan protein 19-21 % dan energi metabolisme 2700-3000 kcal /kg, kemudian pada umur 6-15 minggu memerlukan protein 19-21 % dan energi metabolisme 2640 kcal/kg (NRC, 1994). Pemberian ransum tergantung pada fase pertumbuhan atau periode produksi ayam petelur, yang terdiri atas periode pra produksi dan periode produksi (layer). Periode pra produksi ayam petelur dibagi menjadi tiga fase pemeliharaan yang ditentukan oleh umur yaitu fase awal (starter) umur 0-6 minggu, fase pertumbuhan (grower) umur 7-12 minggu dan fase remaja (pullet) umur 13-20 minggu (Kashavarz, 1998). Selanjutnya ayam memasuki fase produksi (layer). Pertumbuhan ayam layer membutuhkan pakan dengan ransum yang mengandung protein kasar 17%, energi 2800 kkal/kg, kalsium 0,90%, phosphor 0,40%, dan asam amino methionine 0,28%, lysine 0,80%, threonine 0,64%, thryptophan 0.16% dengan konsumsi pakan ayam layer sampai umur 10 minggu 3024 g/ekor. Selanjutnya disebutkan, untuk mencapai berat badan sebesar 900 gram pada ayam layer sampai umur 10 minggu, dibutuhkan konsumsi pakan dengan jumlah 3045 gram (dengan ransum yang mengandung ME 2800 kkal/kg dan protein kasar 17%) dengan konsumsi protein sejumlah 517,65 gram dan konsumsi energi sejumlah 8526 kkal (NRC, 1994). 2.6
Pertambahan Berat Badan Pertambahan berat badan merupakan salah satu akibat dari adanya
pertumbuhan yang terjadi pada tubuh ternak. Pertumbuhan dinyatakan sebagai perubahan organisme secara kuantitatif didasarkan atas perbanyakan sel,
pembesaran sel dan penambahan bahan intraselular (Sidadolog, 2001). Peneliti lain menambahkan bahwa pertumbuhan adalah perubahan ukuran yang meliputi penambahan berat hidup, bentuk dimensi linier dan komposisi tubuh termasuk perubahan komponen-komponen tubuh seperti otak, lemak, tulang, dan organ serta komponen-komponen kimia seperti air, protein, dan abu pada karkas (Soeparno, 1994). Lebih lanjut dikatakan bahwa pertumbuhan berjalan cepat pada waktu hewan masih muda, kemudian menurun pada waktu kedewasaan telah tercapai. Kecepatan pertumbuhan anak ayam dipengaruhi oleh genetik, cara pemberian pakan, kualitas pakan dan cara pemeliharaan (Siregar dkk., 1982). Sifat individu, baik kualitatif maupun sifat kuantitatif ditentukan oleh gen dan allele nya yang tersusun dalam pasangan DNA yang ditemukan dalam sel. Dua Kopi DNA yang sempurna menentukan atau mengontrol gambaran dan sifat pengembangan tubuh, fisiologi dan tingkah laku. DNA tersebut merupakan susunan kimiawi organik yang kompleks dan sangat stabil serta membawa kode-kode genetik (gen) untuk setiap sifat (Sidadolog, 2011). Kriteria pertumbuhan pada ayam dapat diukur melalui pengukuran bobot badan. Pertambahan bobot badan merupakan kenaikan bobot badan yang dicapai oleh seekor ternak selama periode tertentu. Pertambahan bobot badan diperoleh dengan pengukuran kenaikan bobot badan dengan melakukan penimbangan berulang dalam waktu tertentu misalnya tiap hari, tiap minggu, tiap bulan, atau tiap tahun (Tillman dkk., 1991). Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan adalah bangsa, tipe ayam, jenis kelamin, energi metabolis, kandungan protein, dan suhu lingkungan (Wahju, 2004).
Tabel. 2 Pertumbuhan, bobot badan dan konsumsi ransum ayam lokal Umur (minggu) 1 2 3 4 5 6 7 8
Konsumsi ransum (gram/ekor/minggu) 50 90 160 260 260 290 340 390
Bobot badan (gram/ekor/minggu) 44 40 90 70 70 110 60 70
FCR 1,14 2,25 1,78 3,71 3,71 2,64 5,67 5,57
Sumber : (Kholid, 2011, Hal: 75) 2.7
Konversi Ransum Selain pertambahan bobot badan, performa ayam dapat dilihat dari konversi
ransum. Konversi ransum didefinisikan sebagai rasio antara konsumsi ransum dengan pertambahan bobot badan yang diperoleh dalam waktu tertentu. Konversi ransum dapat digunakan untuk mengukur efisiensi penggunaan ransum (Wahju, 2004). Peneliti lain menambahkan bahwa, konversi ransum adalah perbandingan antara banyaknya ransum yang dikonsumsi pada waktu tertentu dengan kenaikan berat badan pada saat yang sama (Rasyaf, 1993). Semakin tinggi konversi ransum menunjukkan semakin banyak ransum yang dibutuhkan untuk meningkatkan bobot badan per satuan berat. Semakin rendah angka konversi ransummaka semakin baik karena penggunaan ransum semakin efisien. Faktor yang mempengaruhi besar kecilnya konversi ransum adalah kualitas ransum yang diberikan dari keserasian nilai nutrisi yang terkandung dalam ransum (Anggorodi, 1985).
Nilai konversi ransum dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain g enetik, tipe ransum
yang digunakan, feed additive yang digunakan dalam
ransum, manajemen pemeliharaan, dan suhu lingkungan (James, 2004). Kemudian Lacy dan Vest (2000) menyatakan bahwa faktor utama yang mempengaruhi konversi ransum adalah genetik, ventilasi, sanitasi, kualitas ransum, jenis ransum, penggunaan zat aditif, kualitas air, penyakit dan pengobatan serta menajemen pemeliharaan, selain itu melipui faktor penerangan, pemberian ransum, dan faktor sosial. Sedangkan Menurut Lesson (2000), semakin dewasa ayam maka nilai konversi ransum akan semakin besar.