3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sapi Perah
Sapi perah yang dipelihara di Indonesia pada umumnya adalah Friesian Holstein (FH) dan Peranakan Friesian Holstein (PFH) (Siregar, 1993). Sapi FH memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki berwarna putih, kepala panjang dan tidak menghadap atau menjulur ke depan, pada dahi terdapat warna putih berbentuk segitiga, produksi susunya tinggi, serta sifatnya tenang dan jinak. Sapi Friesian Holstein mempunyai masa laktasi panjang dan produksi susu tinggi, serta produksi susu yang baik, namun demikian produksi susu per ekor per hari pada sapi perah FH di Indonesia relatif rendah jika dibandingkan dengan produksi susu di negara asalnya (Dematawewa et al., 2008). Menurut Diwyanto et al. (2007) produksi susu sapi FH di Indonesia berkisar antara 2.400 - 3.000 liter per laktasi. 2.2. Pakan Sapi Perah
Bahan pakan atau pakan sapi perah adalah bahan-bahan yang dapat diberikan kepada sapi perah, baik berupa bahan organik atau bahan anorganik, sebagian atau seluruhnya dapat dicerna tanpa menganggu kesehatan, dengan tujuan untuk kelangsungan hidupnya secara normal. Pakan adalah suatu bahan yang dimakan oleh hewan yang mengandung energi dan zat-zat gizi (atau
4
keduanya) di dalam ternak. Bahan pakan dengan kandungan zat-zat pakan yang dapat dicerna tinggi pada umumnya tinggi pula nilai nutriennya (Lubis, 1992; Hartadi et al., 1997). Miller (1979) menyatakan bahwa nutrien dibutuhkan ternak untuk: 1) Pemenuhan kebutuhan hidup pokok (maintenance), 2) Pertumbuhan atau penggemukan, 3) Sintesis dan sekresi susu, dan 4) Bekerja atau mengerjakan sesuatu yang melebihi normal. Blakely dan Bade (1991) menyatakan bahwa dalam ransum sapi perah harus diperhatikan imbangan protein dan energi, jika energi di dalam ransum berlebihan maka akan menyebabkan penurunan efisiensi penggunaan pakan dan cenderung disimpan dalam tubuh dalam bentuk lemak tubuh. 2.3. Kebutuhan Zat Pakan Sapi Perah Laktasi
McDonald et al. (1988) menyatakan bahwa zat-zat gizi yang diperlukan sapi perah untuk kebutuhan hidup pokok maupun untuk produksi adalah energi, protein, mineral, dan vitamin. Zat gizi tersebut dapat terpenuhi didasarkan pada konsumsi bahan kering pakan. Kelly (2002) menyatakan bahwa pakan yang kaya nutrien sangat bermanfaat untuk memelihara keseimbangan fungsi jaringan tubuh dan menghasilkan energi yang tinggi, sehingga sapi mampu melaksanakan proses metabolisme secara baik. Kebutuhan zat–zat pakan guna memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi susu sapi perah laktasi disajikan pada Tabel 1 dan 2.
5
Tabel 1. Kebutuhan BK Pakan Sapi Perah Laktasi (Kearl, 1978) Bobot Badan (kg) 350 400 450 500 -------------------(kg)--------------- -------------------(% bobot badan)--------------0 2,25 2,20 2,15 2,10 10 2,60 2,50 2,40 2,30 15 2,95 2,80 2,65 2,50 20 3,25 3,10 2,95 2,80 25 3,55 3,40 3,25 3,10 30 3,85 3,70 3,55 3,40 35 4,20 4,00 3,80 3,60 Produksi Susu dalam 4% FCM
Tabel 2. Kebutuhan Zat Pakan Sapi Perah Per Hari (Kearl, 1978) Bobot Badan (kg) 350 400 450 500 550 Kadar lemak (%) 2,5 3,0
TDN Kg 2,85 3,15 3,44 4,72 4,00
PK Ca P ------------------ (g) ----------------341 14 11 373 15 13 403 17 14 430 18 15 461 20 16
0,260 0,282
72 77
2,4 2,5
1,65 1,70
3,5
0,304
82
2,6
1,75
4,0
0,326
87
2,7
1,80
4,5
0,344
92
2,8
1,85
Kebutuhan Nutrien per kg Produksi Susu
2.3.1. Kebutuhan bahan kering pakan
Parakkasi (1999) menyatakan bahwa, salah satu yang mempengaruhi konsumsi adalah kualitas pakan, pakan yang berkualitas baik mempunyai tingkat konsumsi relatif tinggi dibanding pakan yang berkualitas rendah. Sapi perah
6
mampu mengkonsumsi bahan kering (BK) antara 2,25 - 4,32% dari berat badan dengan tingkat kecernaan 52 – 75% (NRC, 2001). Susanti et al. (2001) menyatakan bahwa kisaran umur dan bobot badan berpengaruh terhadap volume dan daya tampung rumen. Konsumsi BK ternak ruminansia dipengaruhi oleh jenis pakan dan kondisi ternak terutama bobot badan. Sehingga ternak yang bobot badannya rendah, konsumsi BK nya juga akan rendah begitu juga sebaliknya. Menurut Pangestu et al. (2003) tingginya rate of passage dalam saluran pencernaan berakibat rumen cepat kosong dan merangsang ternak untuk makan. 2.3.2. Konsumsi pakan
Tinggi rendahnya kandungan energi dan protein dalam pakan akan berpengaruh terhadap banyak sedikitnya konsumsi pakan yang menggambarkan palatabilitas ternak (Kamal, 1994). Tingkat konsumsi dipengaruhi oleh berbagai faktor yakni faktor hewan (bobot badan, jenis kelamin, umur, faktor genetik dan tipe bangsa sapi), faktor pakan (kecernaan dan kualitas pakan) serta faktor lingkungan. Konsumsi bahan kering pakan dipengaruhi oleh daya cerna, palatabilitas, bangsa, jenis kelamin, umur dan kondisi kesehatan ternak (Lubis, 1992; Parakkasi, 1999). Kandungan BK dan SK dalam pakan yang tinggi akan membatasi ternak untuk mengkonsumsi pakan, karena kapasitas rumen yang terbatas (McDonald et al., 1988). Arora (1995) menyatakan bahwa ransum yang memiliki koefisien
7
cerna tinggi akan meningkatkan konsumsi BK ransum, sehingga dapat mempercepat laju pengosongan rumen. Konsumsi TDN merupakan hal penting bagi tubuh ternak yang akan berpengaruh terhadap metabolisme dalam tubuh (Sutardi, 1980). Peningkatan atau penurunan konsumsi BK ransum dan PK ransum, maka akan diikuti peningkatan atau penurunan konsumsi TDN ransum ransum (Zulbadri et al., 1995). Martawidjaja et al. (1999) menyatakan bahwa konsumsi PK akan meningkat sejalan dengan peningkatan kandungan PK dalam pakan sehingga protein yang dapat dimanfaatkan semakin besar. Peningkatan PK ransum, maka akan diikuti peningkatan palatabilitas ternak dan kecernaan ransum (Muhammad, 2000). Konsumsi PK pada ternak berbanding lurus dengan konsumsi BK (Sukardi, 2005). 2.3.3. Konsumsi air
Air minum mempunyai fungsi sebagai pelarut dan penguat zat makanan, penyerapan dan pembuangan ampas hasil metabolisme, pengaturan suhu tubuh, membantu kelancaran kerja syaraf panca indera dan juga membantu dalam mensintesis air susu (Sutardi, 1980). Ensminger et al. (2006) menyatakan bahwa konsumsi air minum tergantung ukuran tubuh dan produksi susu, temperatur, dan kelembaban udara, temperatur air dan kandungan air dalam pakan. Siregar (1993) menyatakan bahwa cara paling baik untuk memenuhi kebutuhan air minum pada sapi laktasi adalah dengan menyediakan air minum secara ad libitum. Menurut Tillman et al. (1998) pembatasan air minum pada
8
ternak akan mengakibatkan kekurangan bahan pakan, terutama dalam kondisi lingkungan yan panas mempercepat hilangnya air. Menyatakan kebutuhan sapi akan air adalah sekitar 30 - 50 liter per hari, akan tetapi dalam prakteknya pemberian air minum sebaiknya diberikan ad libitum (Syarief dan Sumopratowo, 1990). Menurut Parrakasi (1999) bahwa setiap 1 liter susu membutuhkan air sebanyak 5 liter. 2.4. Biosintesis Laktosa Tiga puluh dua persen dari asam propionat yang diproduksi di rumen digunakan untuk sintesis glukosa. Glukosa diperoleh dari karbohidrat komplek melalui penguraian yang dilakukan oleh enzim–enzim dari mikroba rumen. Asam piruvat hasil dari glikolisis diubah menjadi VFA dengan proporsi asam asetat 65%, asam propionat 20%, asam butirat 10%. Asam propionat yang diabsorsi oleh rumen retikulum ditransfer ke hati dan diubah menjadi glukosa (Tillman et al., 1998). Faktor-faktor yang mempengaruhi glukosa darah adalah intake makanan, kecepatan masuknya ke dalam sel-sel otot, jaringan lemak, dan organ-organ lain serta aktivitas glukostatik di hati (Mayes, 1980). Asam
propionat merupakan substrat
utama
glukoneogenesis
pada
ruminansia, konsentrasi glukosa darah dapat meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi asam propionat (Baiyila et al., 2002). Glukosa disintesis dari VFA yaitu asam propionat, semakin tinggi propionat yang dihasilkan, maka akan meningkatkan sintesis laktosa dan produksi susu (Muktiani et al., 2005). Laktosa dibentuk dari kondensasi satu glukosa dan satu galaktosa dimana 2 mol glukosa dibutuhkan oleh sel–sel epitel kelenjar ambing yaitu 1 unit glukosa
9
dikonversi menjadi galaktosa (Sukarini, 2000). Sintesis laktosa terjadi di apparatus golgi pada sel sekretoris kelenjar ambing. Sebanyak 80% glukosa plasma digunakan untuk sintesis laktosa, yang mana 50 - 60% diubah menjadi galaktosa terlebih dahulu (Paul dan Southgate, 1978; Adriani dan Mushawwir, 2009). 2.5. Produksi dan Kualitas Susu
Masa laktasi sapi perah umumnya berlangsung selama 305 hari atau selama 10 bulan. Masa laktasi merupakan masa dimana sapi diperah atau diambil susunya, masa ini berlangsung setelah sapi beranak. Pada awal masa laktasi produksi susu cenderung rendah dan akan terus meningkat sampai mencapai puncak laktasi yakni antara 4 – 8 minggu setelah beranak dan setelah fase puncak perlahan produksi susu akan terus menurun hingga akhir laktasi (Blakely dan Bade, 1991; Tillman et al., 1998). Imbangan hijauan dengan konsentrat berpengaruh terhadap kecernaan nutrien pakan terutama kecernaan energi dan kecernaan protein. Perbandingan hijauan dengan konsentrat dalam ransum 50% : 50% memberikan tampilan efiiensi energi yang baik. Hal ini dikarenakan imbangan tersebut mencukupi kebutuhan serat kasar ternak serta memberikan keseimbangan zat gizi untuk saluran pencernaan. Perbandingan hijauan dan konsentrat untuk mutu hijauan yang baik adalah 60% : 40%, hijauan yang mutunya kurang baik adalah 55% : 45%, hijauan yang mutunya sangat baik adalah 64% : 36% (Sudjatmogo et al., 1988; Farida, 1998).
10
Konsumsi energi dan protein sangat mempengaruhi pembentukan asam propionat dalam volatile fatty acids (VFA). Asam propionat akan diubah menjadi glukosa yang merupakan bahan pembentukan laktosa susu. Meningkatnya laktosa susu juga menyebabkan meningkatnya produksi susu, karena laktosa berperan sebagai osmoregulator di dalam ambing (Schmidt dan Van Vleck, 1974; Sutardi, 1980). Produksi susu dipengaruhi oleh faktor genetik, kondisi tubuh dan kualitas pakan. Komposisi susu sapi terdiri atas air 87% dan total solid 13%. Komponen utama susu terdiri dari air, lemak, bahan kering tanpa lemak yang tersusun dari protein, laktosa, mineral dan vitamin (Hadiwiyoto, 1992). Menurut SNI 01-3141 (BSN, 2011) syarat mutu susu segar yakni berat jenis (BJ) pada suhu 27,50C minimal 1,0270, kadar lemak minimal 3,0%, kadar bahan kering tanpa lemak minimal 7,8% dan kadar protein minimal 2,8%. 2.5.2. Kandungan Air dalam Susu
Air di dalam susu harus dipertahankan tekanan osmosanya agar isotonis dengan darah, sehingga apabila terjadi kekurangan produksi laktosa akan menyebabkan berkurangnya sekresi air ke dalam kelenjar mamae dan berdampak juga pada penurunan produksi susu (Wikantadi, 1978). Kandungan air di dalam susu sapi perah yakni sebesar 87%. Air pada susu berguna sebagai media dispersi bahan kering susu dan apabila kandungan laktosa meningkat maka kandungan air dalam susu juga meningkat (Idris, 1992). Komposisi susu terdiri dari dua komponen yaitu air dan bahan kering, bahan kering susu terdiri dari dua
11
komponen yaitu lemak dan bahan kering tanpa lemak, dimana naik turunnya persentase BK susu akan merubah persentase air (Suryahadi et al., 2003).