BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lamivudin (3TC) Lamivudin (2’-deoxy-3’-thiacytidine) yang memiliki bentuk dan warna berupa kristal putih atau hampir putih memiliki nama IUPAC yaitu 4-amino-1[(2R,5S)-2-(hydroxymethyl)-1,3-oxathiolan-5-yl]-2(1H)-pyrimidinone,
dengan
rumus kimia C8H11N3O3S (229.26 g/mol). Rumus struktur lamivudin ditunjukkan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Struktur Kimia Lamivudin
Lamivudin dengan titik leleh antara 172-174ºC, memiliki kelarutan dalam air sekitar 70 mg/mL dengan suhu 20ºC. Nilai pH larutan lamivudin 1% (b/v) dalam air adalah sekitar 6,9 dan pKa yang ditentukan oleh UV adalah 4,30 (GlaxoSmithKline, 2003 dalam de Villiers, 2006; Ontario, 2006; USFDA, 2005). Lamivudin merupakan suatu analog nukleosida buatan dengan aktivitas in vitro melawan HIV-1 yang bersifat sinergis dengan berbagai analog nukleosida antiretrovirus (termasuk zidovudin dan stavudin) terhadap strain HIV-1 baik yang sensitif maupun yang resisten zidovudin (Katzung, 2004). Lamivudin (seperti agen-agen antiretroviral lainnya) paling baik digunakan dalam terapi kombinasi 5
6
yang sepenuhnya mengganggu replikasi virus untuk mengurangi turunan dari mutan yang resisten. Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian kombinasi kedua obat tersebut dapat memberikan manfaat. Namun, strain HIV-1 yang resisten terhadap lamivudin maupun zidovudin juga telah diisolasi (Katzung, 2004). Setelah pemberian oral, lamivudin diabsorbsi secara cepat. Bioavailabilitas oral melebihi 80%. Lamivudin memiliki volume distribusi 1,3 L/kg, kadar serum puncak sebesar 1,5±0,5 µg/mL, dan peningkatan protein < 36%. Dengan adanya makanan, dapat menurunkan konsentrasi maksimum (Cmaks) lamivudin tetapi tidak menurunkan area dibawah kurva (Area under Curve–AUC) secara signifikan. Waktu untuk mencapai puncak (tmaks) adalah 3,2 jam dan pada keadaan puasa adalah 0,9 jam. Pada anak, rerata waktu eliminasi adalah 2,5 jam, sementara waktu paruh intrasel dari metabolit 5’-trifosfat aktif adalah 10,5-15,5 jam pada barisan sel Hepatitis B Virus (HBV). Lamivudin sebagian besar dieliminasi tanpa perubahan dalam urin, dan dosisnya harus diturunkan pada pasien dengan berat badan rendah (150 mg 2 kali sehari jika berat badan ≤ 50 kg3; 2 mg/kg 2 kali sehari jika berat badan < 50 kg3) (Charles, 2010; Katzung, 2004; USFDA, 1995). Lamivudin dapat disimpan pada suhu kamar. Berdasarkan data dari Scientific Discussion (2006), telah dilakukan pengujian terhadap stabilitas pada tiga batch skala produksi selama 12 bulan pada suhu 30ºC kelembaban 60% dan selama 6 bulan pada suhu 40ºC kelembaban 75%. Data stabilitas yang telah dihasilkan mendukung spesifikasi waktu penyimpanan selama 2 tahun jika produk disimpan pada atau di bawah 30ºC. (Lamivudine: Scientific Discussion, 2006). Nguyen, et al., (1995) telah melakukan studi tentang efektivitas pengawet dan stabilitas kimia dari lamivudin dalam formulasi cairan oral. Stabilitas kimia
7
suatu obat dipengaruhi oleh pH, dan pada penelitian tersebut ditemukan bahwa terjadinya perubahan stabilitas dari lamivudin ketika pH meningkat dari 4,5 sampai 7,5 (Nguyen, et al., 1995 dalam de Villers, 2006). Efek samping yang dapat terjadi yakni sakit kepala, insomnia, diare, muntah, pancreatitis (dalam rentang: 0.3% - 18%; presentase lebih tinggi pada pasien anak), nyeri abdomen, muntah, batuk, nyeri tenggorokan, infeksi (termasuk telinga, hidung dan tenggorokan), pusing, depresi, panas, dingin, kemerahan pada kulit, peningkatan lipase, kram pada abdomen (Charles, 2010; Katzung, 2004).
2.2 Validasi secara Spektroskopi UV-Vis 2.2.1 Validasi Validasi metode analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya (Harmita, 2004 ; Gandjar dan Rohman, 2013). Sesuai ISO/IEC 17025 (2005) dalam buku analisis obat oleh Gandjar dan Rohman (2013) menyebutkan bahwa, validasi metode analisis ditujukan untuk menjamin bahwa metode analisis memenuhi spesifikasi yang dapat diterima sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Hal ini dilakukan untuk menjamin bahwa setiap pengukuran serupa yang dilakukan pada waktu yang akan dating akan menghasilkan nilai terhitung yang cukup dekat atau sama dengan nilai sebenarnya dari jumlah analit yang terdapat dalam sampel (Gandjar dan Rohman, 2013). Validasi metode analisis terdiri dari beberapa rangkaian percobaan yang bertujuan untuk memastikan bahwa metode analisis yang diuji telah memenuhi
8
persyaratan yang telah ditetapkan dalam penerapan analitik. Hasil uji validasi analitik dinyatakan sebagai ketepatan, ketelitian, batas deteksi, batas kuantitasi, rentang linieritas, kekhasan dan ketangguhan (Sahara, 2008). A. Ketepatan (accuracy) Ketepatan (accuracy) adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil analis dengan kadar analit yang sebenarnya. Kecermatan dinyatakan sebagai persen perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan. Kecermatan hasil analis sangat tergantung kepada sebaran galat sistematik di dalam keseluruhan tahapan analisis. Oleh karena itu untuk mencapai kecermatan yang tinggi hanya dapat dilakukan dengan cara mengurangi galat sistematik tersebut seperti menggunakan peralatan yang telah dikalibrasi, menggunakan pereaksi dan pelarut yang baik, pengontrolan suhu, dan pelaksanaannya yang cermat, taat asas sesuai prosedur (Harmita, 2004). B. Ketelitian (precision) Ketelitian adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dari rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang pada sampel-sampel yang diambil dari campuran yang homogen (Harmita, 2004). Ketelitian juga dapat dikatakan sebagai suatu derajat keterulangan dari suatu metode analisis. Ketelitian metode analisis dilakukan dengan menentukan kadar sejumlah sampel homogen secara berulang– ulang. Data yang diperoleh dari validasi ketelitian dapat ditentukan simpangan bakunya dan koefisien variasinya. Parameter dari ketelitian adalah nilai koefisien variasi tidak lebih dari 2% (Harmita, 2004; Gandjar dan Rohman, 2013; Skoog, 1992).
9
C. Linearitas Linearitas adalah kemampuan metode analisis yang memberikan respon yang secara langsung atau dengan bantuan transformasi matematik yang baik, proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel. Linearitas juga merupakan kemampuan suatu metode untuk memperoleh hasil-hasil uji yang secara langsung proporsional dengan konsentrasi analit pada kisaran yang diberikan. Linearitas suatu metode merupakan ukuran sebarapa baik kurva kalibrasi
yang
menghubungkan antara absorbansi (y) dengan konsentrasi (x). Linearitas dapat diukur dengan pengukuran tunggal pada konsentrasi yang berbeda-beda. Data yang diperoleh selanjutnya dapat ditentukan nilai kemiringan (slope), intersep, dan koefisien korelasinya (r2) (Harmita, 2004 ; Gandjar dan Rohman, 2013). Linearitas paling baik dievaluasi dengan pengamatan visual terhadap suatu plot yang menyatakan hubungan antara fungsi konsentrasi analit dengan absorbansi yang diukur. Pada uji linearitas, paling tidak digunakan enam konsentrasi yang berbeda. Pada keadaan normal, linieritas diperoleh ketika nilai koefisien determinasi (r2) ≥ 0,997 (Gandjar dan Rohman, 2013). D. Batas deteksi (LoD) dan batas kuantisasi (LoQ) Batas deteksi (LoD) adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi meskipun tidak selalu dapat dikuantifikasi. Batas deteksi merupakan batas uji yang spesifik menyatakan apakah analit di atas atau di bawah nilai tertentu. Batas deteksi yang paling umum digunakan dalam kimia analisis adalah bahwa batas deteksi merupakan kadar analit yang masih memberikan respon
10
sebesar respon blangko (yb) ditambah dengan tiga simpangan baku blanko (3Sb) (Harmita, 2004 ; Gandjar dan Rohman, 2013). Batas kuantitasi (LoQ) merupakan parameter pada analisis renik dan diartikan sebagai kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih dapat ditentukan dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima pada kondisi operasional metode yang digunakan. Sebagaimana batas deteksi, batas kuantifikasi juga diekspresikan sebagai konsentrasi (dengan akurasi dan presisi yang dilaporkan) (Harmita, 2004 ; Gandjar dan Rohman, 2013).
2.2.2 Spektroskopi UV-Vis Spektroskopi merupakan interaksi antara radiasi elektromagnetik (REM) dengan sampel. Jika panjang gelombang REM yang digunakan bersesuaian dengan panjang gelombang ultraviolet-visibel maka disebut dengan spektroskopi ultraviolet-visibel (UV-Vis), dan jika panjang gelombang REM yang digunakan bersesuaian dengan panjang gelombang infra merah, maka disebut dengan spektroskopi infra merah, dan sebagainya (Gandjar dan Rohman, 2013). Radiasi elektromagnetik adalah suatu bentuk energi dengan sifat-sifat gelombang dan partikel. Sifat-sifat optis radiasi elektromagnetik dapat digambarkan dengan cahaya sebagai gelombang. Beberapa interaksi yang terjadi yakni antara radiasi elektromagnetik dengan materi atau absorpsi seperti absorpsi dan emisi dengan menggunakan cahaya sebagai suatu partikel (Gandjar dan Rohman, 2013). Metode analisis spektrofotometri ultraviolet-sinar tampak memanfaatkan fenomena absorpsi sinar radiasi elektromagnetik di daerah ultraviolet ( λ = 200-
11
380 nm) oleh larutan sampel (anorganik maupun organik). Spektrum UV-Vis disebut juga spektrum elektronik, karena terjadi sebagai hasil interaksi radiasi UV-Vis terhadap molekul yang mengakibatkan molekul tersebut mengalami transisi elektronik. Adanya gugus berikatan rangkap terkonjugasi juga mengakibatkan adanya radiasi elektromagnetik di daerah UV-Vis (Mulja dan Syahrani, 1990). Penyerapan radiasi UV-Vis terjadi melalui eksitasi elektron dalam suatu molekul obat ke level energi yang lebih tinggi. Transisi terjadi dari keadaan vibrasional bawah dalam keadaan dasar suatu molekul ke salah satu level vibrasional apapun dalam keadaan tereksitasi. Transisi dari energi keadaan dasar tunggal ke salah satu dari sejumlah keadaan tereksitasi memberikan spektrum UV-Vis yang lebar. Jenis transisi nπ* dan transisi ππ* merupakan transisi yang paling cocok untuk analisis senyawa obat karena sesuai dengan panjang gelombang antara 200-700 nm, dan panjang gelombang ini secara teknis dapat diaplikasikan pada spektrofotometer. Untuk memungkinkan terjadinya transisi nπ* dan transisi ππ*, senyawa obat harus mempunyai gugus fungsional yang tidak jenuh sehingga ikatan rangkap dalam gugus tersebut memberikan orbital phi yang diperlukan (Gandjar dan Rohman, 2013). Gugus fungsi seperti –OH, -NH2, dan –Cl yang mempunyai elektronelektron valensi bukan ikatan disebut auksokrom yang tidak menyerap radiasi pada panjang gelombang lebih besar dari 200 nm, tetapi menyerap kuat pada daerah ultraviolet jauh. Bila suatu auksokrom terikat pada suatu kromofor, maka pita serapan kromofor bergeser ke panjang gelombang yang lebih panjang (efek batokromik) dengan intensitas yang lebih kuat. Efek hipsokromik adalah suatu
12
pergeseran pita serapan ke panjang gelombang lebih pendek, sering kali terjadi bila muatan positif dimasukkan ke dalam molekul dan bila pelarut berubah dari non polar ke pelarut polar (Dachriyanus, 2004). Suatu obat dapat menyerap sinar UV dalam jumlah yang maksimal di satu pelarut dan akan menyerap secara minimal di pelarut yang lain. Perubahanperubahan nyata spektrum ini secara eksklusif karena gambaran sifat-sifat pelarut, sifat pita serapan, dan sifat solut. Dengan demikian, pemilihan pelarut yang digunakan dalam spektroskopi UV-Vis merupakan sesuatu yang penting. Kriteria untuk pelarut yang baik adalah (1) pelarut tersebut harus tidak menyerap radiasi UV di daerah yang sama dengan daerah spektrum senyawa yang akan dianalisis, (2) pengaruh pelarut terhadap struktur halus dan tajam pada pita serapan, (3) kemampuan pelarut untuk mempengaruhi panjang gelombang sinar yang akan diabsorpsi melalui stabilisasi baik keadaan dasar atau keadaan tereksitasi (Gandjar dan Rohman, 2013). Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam analisis spektrofotometri ultraviolet (Gandjar dan Rohman, 2013), antara lain : 1. Pemilihan panjang gelombang maksimum Panjang gelombang yang digunakan untuk analisis kuantitatif adalah panjang gelombang dimana terjadi serapan maksimum. Untuk memperoleh panjang gelombang serapan maksimum, dilakukan dengan membuat kurva hubungan antara absorbansi dengan panjang gelombang dari suatu larutan baku pada konsentrasi tertentu. 2. Pembuatan kurva kalibrasi
13
Dibuat seri larutan baku dari zat yang akan dianalisis dengan berbagai konsentrasi. Masing-masing absorbansi larutan dengan berbagai konsentrasi diukur, kemudian dibuat kurva yang merupakan hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi. Bila hukum Lambert-Beer terpenuhi, maka kurva kalibrasi berupa garis lurus. 3. Pembacaan absorbansi Absorbansi yang terbaca pada spektrofotometer hendaknya antara 0,2 sampai 0,8. Pernyataan ini merupakan anjuran dari anggapan yang menyatakan bahwa pada kisaran nilai absorbansi tersebut memiliki kesalahan fotometrik yang terjadi paling minimal. Spektrofotometer adalah alat untuk mengukur transmitans atau serapan suatu sampel sebagai fungsi panjang gelombang. alat ini terdiri dari spectrometer yang menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer sebagai alat pengukuran intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi (Khopkar, 1990 ; Day dan Underwood, 1981). Instrumen untuk spektrofotometer UV-Vis pada umumnya terdiri dari lima komponen, yaitu : sumber radiasi, monokromator, wadah sampel, detector, dan rekorder (Kopkar, 1990 ; Gandjar dan Rohman, 2013 ; Day dan Underwood, 1981), seperti skema berikut :
Sumber radiasi
Monokromator
Sampel
Detektor
Gambar 2.2 Skema Spektrofotometer UV-Vis
Rekorder
14
1. Sumber sinar Sumber sinar atau lampu terdiri dari dua lampu yang terpisah, yang secara bersama-sama mampu menjangkau keseluruhan daerah spectrum ultraviolet dan tampak. Untuk sinar tampak, digunakan lampu tungsten. Lampu ini terbuat dari logam tungsten. Lampu tungsten mengemisikan sinar pada panjang gelombang 350-2000 nm, karenanya cocok untuk kalorimetri. Untuk senyawa-senyawa yang menyerap di spektrum daerah ultraviolet, digunakan lampu deuterium. Suatu lampu deuterium merupakan sumber energi tinggi yang mengemisikan sinar pada panjang gelombang 200-370 nm dan digunakan untuk semua spektroskopi dalam daerah spectrum ultraviolet. 2. Monokromator Pada
kebanyakan
pengukuran
kuantitatif,
sinar
harus
bersifat
monokromatik, yakni sinar dengan satu panjang gelombang tertentu. Hal ini ditujukan dengan melewatkan sinar polikromatik (sinar dengan beberapa panjang gelombang) melalui suatu monokromator. Terdapat dua jenis monokromator dalam spektrofotometer modern, yakni prisma dan kisi difraksi (Gandjar dan Rohman, 2013). Prisma merupakan suatu lempeng kuarsa yang membiaskan sinar yang melewatinya. Banyaknya pembiasan tergantung pada panjang gelombang sinar, dengan demikian sinar putih dapat terpecah ke dalam warna penyusunpenyusunnya melalui suatu prisma. Prisma selanjutnya akan berputar untuk memilih panjang gelombang tertentu yang diperlukan untuk pengujian (Gandjar dan Rohman, 2013).
15
Kisi difraksi merupakan kepingan kecil gelas bercermin yang di dalamnya terdapat sejumlah garis yang berjarak sama yang terpotong-potong beberapa ribu per millimeter kisi, untuk memberikan struktur yang nampak seperti suatu sisir kecil. Jarak antar potongan kurang lebih sama dengan panjang gelombang sinar sehingga berkas sinar monokromatik akan terpisah sesuai dengan panjang gelombangnya oleh suatu kisi. Kisi selanjutnya akan diputar untuk memilih panjang gelombang yang diinginkan dalam pengujian. 3. Wadah sampel (kuvet) Wadah sampel atau kuvet harus terbuat dari bahan yang tembus radiasi pada panjang gelombang yang diukur. Kuvet yang umum digunakan adalah yang terbuat dari kuarsa untuk spektrofotometer UV, dan kuvet plastic dapat digunakan untuk spektrofotometer sinar tampak. Umumnya tebal kuvet adalah 10 mm, tetapi yang lebih kecil ataupun yang lebih besar dapat digunakan. 4. Detektor Setelah sinar melalui sampel, maka penurunan intensitas apapun yang disebabkan oleh absorpsi diukur dengan suatu detektor. Detektor biasanya merupakan kepingan elektron yang disebut tabung pengganda foton yang beraksi untuk mengubah intensitas berkas sinar ke dalam sinyal elektrik yang dapat diukur dengan mudah, dan juga beraksi sebagai suatu pengganda untuk meningkatkan kekuatan sinyal. Sinar masuk ke tabung dan mengenai katoda. Hal ini akan melepaskan elektron yang akan tertarik pada suatu anoda. Ketika elektron menyerang atau mengenai anoda, maka akan melepaskan beberapa elektron yang tentunya akan tertarik pada anoda di atas, dan proses ini akan terulang. Pada cara ini, suatu aliran elektron dihasilkan dan sinyal dikuatkan.
16
Begitu sinyal elektrik meninggalkan tabung pengganda foton, maka sinyal elektrik tersebut akan menuju perekam untuk menampilkan spectrum serapannya. Kebanyakan spektrofotometer modern saat ini dihubungkan dengan komputer sehingga dimungkinkan untuk penyimpanan sejumlah data. 5. Rekorder Rekorder merupakan alat perekam sinar yang diserap oleh sampel sehingga menghasilkan absorbans. Rekorder spektrofotometer UV-Vis dapat berupa galvanometer atau suatu alat digital yang dilengkapi dengan komputer.
2.3 Stabilitas Puyer 2.3.1 Definisi stabilitas Stabilitas didefinisikan sebagai kemampuan suatu produk untuk bertahan dalam batas yang ditetapkan dan sepanjang periode penyimpanan dan penggunaan, sifat dan karakteristiknya sama dengan yang dimilikinya pada saat produk dibuat (Depkes RI, 1995). Sedangkan stabilitas obat berarti kemampuan bentuk sediaan farmasi untuk mempertahankan, sifat fisik, kimia, terapi dan mikroba selama masa penyimpanan dan penggunaan oleh pasien (Anonim, 2010). Ketidakstabilan formulasi obat dapat dideteksi dalam beberapa hal dengan suatu perubahan dalam penampilan fisik, warna, bau, rasa, dan tekstur dari formulasi tersebut, sedangkan dalam hal
lain perubahan kimia dapat terjadi
namun tidak dapat dibuktikan sendiri atau secara visual dan hanya dapat dipastikan dengan analisis kimia (Ansel, 2011).
17
2.3.2 Definisi puyer Puyer atau pulveres atau serbuk bagi adalah serbuk yang dibagi dalam bobot yang kurang lebih sama dengan yang dibungkus kertas perkamen atau bahan pengemas lainnya yang cocok. Sediaan obat dalam bentuk puyer memiliki keuntungan dan kerugian. Keuntungan dari sediaan puyer yakni (1) lebih mudah terdispersi dan lebih larut daripada sediaan yang dipadatkan, (2) anak-anak atau orang tua yang sukar menelan kapsul atau tablet, lebih mudah menggunakan obat dalam bentuk puyer, (3) masalah stabilitas yang sering dihadapi dalam sediaan cair tidak ditemukan dalam sediaan puyer, (4) obat yang tidak stabil dalam suspense atau larutan air dapat dibuat dalam bentuk puyer, (5) obat yang volumenya terlalu besar untuk dibuat tablet atau kapsul dapat dibuat dalam bentuk puyer, (6) dan dokter lebih leluasa dalam memilih dosis yang sesuai dengan keadaan penderita. Kerugian sediaan puyer adalah bentuk sediaan ini tidak tertutup, sehinggga kemungkinan adanya rasa dan bau yang tidak enak, seperti pahit, sepet, amis dan lengket di lidah, serta terkadang menjadi lembab atau basah pada penyimpanan. (Putra, 2012). Cara pembagian puyer yang paling banyak dilakukan di apotek adalah secara visual, karena cepat dan praktis. Namun cara ini memungkinkan terjadinya variasi dalam bobot dan kandungan puyer karena keterbatasan dalam kemampuan pengamatan secara visual, ketelitian, dan ketrampilan, serta keterbatasan waktu dalam menyiapkan suatu sediaan di apotek (Anief, 2000; Himawati, et al., 2003). Selain itu, terjadinya variasi atau ketidakstabilan pada suatu sediaan puyer juga dikarenakan beberapa faktor diantaranya adalah suhu penyimpanan, pH,
18
kandungan air, cahaya, bentuk sediaan farmasi, konsentrasi, ketidakcocokan obat, dan oksigen (Connors, et al., 1986 dalam Yuwono dan Oetari, 2004).
2.3.3 Jenis stabilitas Menurut Farmakope Indonesia IV, terdapat lima jenis stabilitas yang umum dikenal, yakni (DepkesRI, 1995): 1. Stabilitas kimia adalah setiap zat aktif yang mempertahankan keutuhan kimiawi dan potensi yang tertera pada etiket dalam batas yang dinyatakan. 2. Stabilitas fisika adalah mempertahankan sifat fisika awal, termasuk penampilan, kesesuaian, keseragaman, disolusi dan kemampuan untuk disuspensikan. 3. Stabilitas mikrobiologi adalah mempertahankan sterilitas atau resistensi terhadap pertumbuhan mikroba sesuai dengan persyaratan yang dinyatakan. Zat antimikroba yang ada mempertahankan efektivitas dalam batas yang ditetapkan. 4. Stabilitas terapi adalah mempertahankan efek terapi dari suatu obat. 5. Stabilitas toksikologi adalah mempertahankan sifat toksik dari suatu obat dan tidak terjadi peningkatan bermakna dalam toksisitas. Evaluasi kestabilan fisika dan kimia dari zat obat murni merupakan salah satu kegiatan yang penting dalam kerja preformulasi. Kestabilan kimia dari zat obat dapat mengambil banyak bentuk, karena obat-obat yang digunakan sekarang
19
adalah dari konstituen kimia yang beraneka ragam dan masing-masing dengan gugus
kimia
yang
relatif
memiliki
kecenderungan
berbeda
terhadap
ketidakstabilan kimia. Secara kimia proses kerusakan yang paling sering adalah hidrolisis dan oksidasi (Ansel, 2011). Temperatur dan pH merupakan penentu utama dalam kestabilan obat yang cenderung mengalami peruraian hidrolitik. Hidrolisis dari kebanyakan obat tergantung pada konsentrasi relatif dari ion hidroksil dan ion hidronium, dan pH pada masing-masing obat stabil secara optimal. Proses hidrolisis kemungkinan besar merupakan proses tunggal yang paling penting karena peruraian obat terutama karena sejumlah besar zat obat adalah ester-ester atau mengandung gugus lain seperti amida tersubstitusi, lakton dan laktam, yang rentan terhadap proses hidrolitik (Ansel, 2011). Secara farmasi, oksidasi dari suatu zat obat yang rentan kebanyakan terjadi bila zat tersebut dijaga dalam keadaan selain kering serta adanya oksigen, dipaparkan ke cahaya, atau dikombinasikan dalam formulasi dengan zat-zat kimia lainnya tanpa melihat pada pengaruhnya terhadap proses oksidasi dengan tepat. Adanya oksigen dan paparan cahaya dapat mengoksidasi suatu obat selama penyimpanan sehingga akan mempengaruhi kestabilan daripada obat tersebut (Ansel, 2011). Banyak faktor yang dapat mempengaruhi stabilitas suatu obat atau bahan obat, beberapa diantaranya adalah bentuk sediaan, bahan tambahan, pH medium dan kelarutannya (Connors, et al., 1986 dalam Yuwono dan Oetari, 2004).
20
Pada umumnya, faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas adalah sebagai berikut (Anonim, 2010) : 1. Suhu (temperatur), suhu tinggi dapat mempercepat reaksi oksidasi, reduksi dan hidrolisis yang menyebabkan degradasi obat. 2. Pengaruh pH memberikan peranan penting dalam dekomposisi obat. Obat asam dan basa mingguan menunjukkan kelarutan yang baik ketika mereka terionisasi dan mereka juga lebih cepat membusuk ketika mereka terionisasi. Reaksi dikatalisis oleh pH dipantau dengan mengukur tingkat degradasi terhadap pH, menjaga suhu, kekuatan ionik dan konsentrasi pelarut konstan. Beberapa buffer seperti buffer asetat, sitrat, laktat, fosfat dan askorbat yang digunakan untuk mencegah perubahan drastis dalam pH. 3. Kandungan air, air mengkatalisis reaksi kimia sebagai reaksi oksidasi, hidrolisis dan pengurangan. Air juga mendorong pertumbuhan mikroba 4. Cahaya mempengaruhi stabilitas obat melalui energi atau efek termal yang menyebabkan oksidasi. 5. Bentuk sediaan farmasi, bentuk sediaan padat lebih stabil daripada bentuk sediaan cair untuk keberadaan air. 6. Konsentrasi, laju degradasi obat adalah konstan untuk solusi dari obat yang sama dengan konsentrasi yang berbeda. Jadi, rasio bagian yang rusak ke jumlah total obat dalam larutan encer lebih besar daripada larutan pekat. 7. Ketidakcocokan obat adalah reaksi antara komponen sediaan farmasi bentuk itu sendiri atau antara komponen dan penutup wadah.
21
8. Oksigen, paparan formulasi obat untuk oksigen mempengaruhi stabilitas mereka Cahaya juga dapat bekerja sebagai katalis untuk reaksi oksidasi. Sebagai suatu fotokatalis, gelombang cahaya memindahkan energinya ke molekul-molekul obat, membuat molekul-molukul obat tersebut lebih reaktif melalui kenaikan kemampuan energi sebagai kewaspadaan terhadap percepatan proses oksidasi, preparat-preparat sensitif dikemas dalam gelas berwarna yang dapat menahan masuknya cahaya atau wadah tidak tembus cahaya (Ansel, 2011). Karena kebanyakan degradasi obat berlangsung lebih cepat pada temperatur yang lebih tinggi, maka dianjurkan untuk menyimpan obat-obat yang dapat dioksidasi dalam suatu tempat yang sejuk. Selain temperatur dan cahaya, pengaruh pH juga menjadi hal yang penting pada stabilitas (Ansel, 2011).
2.3.4 Pengujian stabilitas Ketidakstabilan formulasi obat dapat dideteksi dalam beberapa hal dengan suatu perubahan dalam penampilan fisik, warna, bau, rasa, dan tekstur dari formulasi tersebut, sedangkan dalam hal
lain perubahan kimia dapat terjadi
namun tidak dapat dibuktikan sendiri atau secara visual dan hanya dapat dipastikan dengan analisis kimia. Data ilmiah yang menyinggung kestabilan dari suatu formulasi menghasilkan suatu ramalan waktu penyimpanan (shelf-life) yang diharapkan dari produk yang diteliti tersebut dan untuk merancang kembali obat tersebut, misalnya mengubah bentuk senyawanya menjadi ester atau garam yang lebih stabil, dan juga untuk formulasi kembali bentuk sediaan tersebut. pengkajian laju perubahan kimia yang dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti konsentrasi obat
22
atau reaktan, pelarut yang digunakan, kondisi temperatur dan tekanan, dan adanya zat-zat kimia lain dalam formulasi tersebut yang disebut dengan reaksi kinetika (Ansel, 2011). Pengkajian kinetis pada umumnya dimulai dengan mengukur konsentrasi obat yang diuji pada selang waktu tertentu pada rangkaian kondisi spesifik termasuk temperatur, pH, kekuatan ion, intensitas cahaya, dan konsentrasi obat. Pengukuran konsentrasi obat pada berbagai selang waktu memperlihatkan kestabilan atau ketidakstabilan dari obat tersebut pada kondisi yang dicirikan dengan berlalunya waktu (Ansel, 2011).