BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa tinjauan pustaka berupa hasil penelitian, jurnal maupun artikel yang pernah ditulis oleh peneliti lain. Penelitian mengenai kaitan antara The Green Belt Movement dan lingkungan hidup di Kenya pernah dilakukan oleh Desi Efrika Devita dan Tri Joko Waluyo tahun 2014 dalam penelitian yang berjudul “Pengaruh Gerakan Sabuk Hijau (The Green Belt Movement) terhadap Kebijakan Pemerintah Kenya dalam Menjaga Keasrian Lingkungan Hidup di Kenya”. Dalam penelitian tersebut dibahas pengaruh The Green Belt Movement diawali dengan memaparkan kondisi dan kerusakan lingkungan hidup yang terjadi di Kenya seperti krisis kayu bakar, deforestasi dan pertanian subsisten. Selain itu dalam penelitian yang dilakukan oleh Devita dan Waluyo ini menggunakan perspektif Green Thought yang menumbuhkan kesadaran mengenai masalah-masalah kelangkaan sumber daya, hujan asam, penipisan ozon dan pemanasan global. Dalam pembahasannya, dibahas kerusakan lingkungan di Kenya dan aspek yang menyebabkan kerusakan lingkungan, permasalahan yang terjadi terhadap perkembangan organisasi The Green Belt Movement di Kenya baik dari kalangan pemerintah dan masyarakat. Walaupun penelitian ini memiliki kesamaan dari segi negara dan isu yang dibahas, namun penelitian ini lebih menekankan peran The Green Belt Movement terhadap perempuan khususnya terkait isu gender dalam penyelamatan lingkungan
8
9
di Kenya yang dilihat dari perspektif ekologi dan feminisme. Selain itu dalam penelitian ini hanya mengambil satu masalah lingkungan yang terjadi di Kenya yaitu deforestasi yang salah satunya berpengaruh dalam pemenuhan kayu bakar bagi kaum perempuan Kenya. Penelitian Devita dan Waluyo akan membantu penulis dalam memahami pengaruh The Green Belt Movement dalam menjaga keasrian lingkungan hidup di Kenya yang salah satunya adalah masalah deforestasi di Kenya. Penelitian kedua yang penulis gunakan sebagai kajian pustaka adalah “Ekofeminisme dan Peran Perempuan dalam Lingkungan” ditulis oleh Tri Marhaeni Pudji Astuti di tahun 2012. Penelitian Astuti ini membahas tentang ekofeminisme sebagai sebuah gerakan yang muncul di kalangan perempuan di berbagai profesi sebagai akibat dari adanya ketidakadilan terhadap perempuan yang selalu dimitoskan dengan alam. Penelitian tersebut mengemukakan berbagai contoh peran perempuan dalam lingkungan hidup di berbagai negara. Pembahasan tentang lingkungan juga terkait dengan ekofeminisme sebagai implikasi kesadaran feminis yang tinggi di kalangan ilmuwan perempuan di perguruan tinggi di berbagai belahan dunia. Penelitian Astuti dapat membantu penulis dalam memberikan gambaran terkait kesadaran para perempuan feminis terhadap eksploitasi alam dan berperan dalam penyelamatan lingkungan hidup sehingga tercipta kehidupan yang ecofriendly dan women-friendly. Bagian akhir tulisan Astuti membahas implementasi dan kenyataan peran perempuan dalam lingkungan sekitar pada tataran lokal terdekat misalnya di
10
negara Jerman, Bukirna Faso, Korea dan Venezuela. Penelitian tentang “Ekofeminisme dan Peran Perempuan dalam Lingkungan” ini bisa memberikan gambaran tentang ekofeminisme dan gerakan perempuan dalam lingkungan seperti permasalahan yang akan dibahas di penelitian ini. Penelitian Astuti akan membantu dalam mengkaji permasalahan lingkungan yang dihadapi perempuan dengan studi kasus di Kenya yang ditinjau dengan perspektif Ekofeminisme. Tinjauan pustaka yang terakhir digunakan adalah penelitian yang berjudul “Dimensi Politik Gerakan Perempuan: Suatu Survey Kepustakaan” yang ditulis Machya Astuti Dewi tahun 2001. Dalam penelitiannya Machya Astuti Dewi berupaya mengkaji fenomena gerakan perempuan di beberapa negara dengan melihat isu-isu dan kepentingan apa yang diperjuangkan oleh kaum perempuan yang berkisar di antara masalah-masalah hak politik dan hukum bagi perempuan, kekerasan terhadap perempuan, kesempatan dan diskriminasi kerja, partisipasi politik dan representasi politik perempuan. Machya Astuti Dewi juga menuliskan dalam konteks politik seperti apa gerakan itu muncul dan berkembang. Ada beragam isu yang diperjuangkan perempuan. Perbedaan isu perempuan yang direpresentasikan menjadi penanda adanya perbedaan kepentingan perempuan. Selain itu konteks politik pendorong gerakan perempuan diantaranya adalah rezim otoritarian. Penelitian Machya Astuti Dewi ini akan membantu penulis dalam membahas fenomena gerakan perempuan melalui organisasi The Green Belt Movement dengan mengambil isu lingkungan sebagai gerakan perempuan dan politik di Kenya.
11
2.2 Kerangka Konseptual Di dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa konsep dan satu teori yang akan mengkaji peranan The Green Belt Movement dalam mengatasi permasalahan deforestasi yang dialami Komunitas Perempuan Kenya: 2.2.1
Konsep Peranan NGO Menurut Sushant (2010), Non Govermental Organization (NGO) dapat
diklasifikasikan ke dalam berbagai jenis berdasarkan faktor-faktor yang berbeda seperti orientasi atau tingkat kerjasama. Jenis-jenis NGO dapat dikelompokkan menjadi NGO yang berorientasi amal (charitable orientation), berorientasi layanan (service orientation), berorientasi partisipatif (participatory orientation) dan berorientasi pemberdayaan (empowering orientation). Berdasarkan tingkatannya, NGO dapat dikelompokkan menjadi organisasi berbasis komunitas (community-based organization), organisasi berskala kota (city wide organization), NGO nasional (national NGOs) dan NGO internasional (international NGOs) (Sushant, 2010). Pentingnya kesadaran publik dan keterlibatan NGO dalam perlindungan lingkungan sudah diakui secara luas di seluruh dunia. NGO telah mengambil sejumlah langkah untuk mempromosikan debat dan diskusi tentang isu-isu lingkungan, di luar lingkup luas media populer dan sistem pendidikan. Advokasi dan
kesadaran
penting
dalam
mempromosikan
konsep
pembangunan
berkelanjutan, konservasi sumber daya alam dan restorasi sumber daya alam. NGO dapat meningkatkan kepekaan para pembuat kebijakan tentang kebutuhan dan prioritas lokal. NGO sering bekerjasama dengan para pembuat kebijakan
12
untuk membuat kebijakan tentang kepentingan masyarakat miskin dan lingkungan dalam satu kesatuan. Dalam memberikan fasilitas pelatihan, baik di tingkat masyarakat dan pemerintah, NGO memainkan peran penting. Mereka juga dapat memberikan kontribusi yang signifikan dengan melakukan penelitian dan publikasi tentang isu-isu lingkungan dan pembangunan. Hal ini diperlukan untuk mendorong NGO lokal di berbagai negara yang mampu menyediakan dukungan terkait kebutuhan yang diperlukan masyarakat lokal (Agarwal, 2008, p.933). Environmental Non Govermental Organization (ENGO) adalah NGO yang aktivitasnya berfokus pada isu lingkungan. Jumlah ENGO terutama di negara berkembang semakin meningkat sekitar 2.230 ENGO diperkirakan tahun 1980an (Samuel & Thanikachalam, 2003, p.433). The Green Belt Movement termasuk dalam NGO yang bergerak di bidang lingkungan. Terdapat enam peran penting NGO menurut UNEP (2003), yaitu development
and
operation
of
infrastructure,
supporting
innovation,
demonstration and pilot projects, facilitating communication, technical assistance and training, research monitoring and evaluation dan advocacy for and with the poor. A. Development and Operation of Infrastructure Peran NGO dalam hal ini adalah organisasi yang berbasis masyarakat. Dimana NGO bekerjasama dalam mengembangkan dan membangun perumahan, menyediakan dan memelihara infrastruktur seperti toilet umum dan layanan pengumpulan limbah. Selain itu NGO juga dapat mengembangkan usaha yang berbasis perekonomian masyarakat. Dalam banyak kasus, NGO memerlukan
13
bantuan teknis atau saran dari lembaga pemerintah atau NGO tingkat yang lebih tinggi dalam menjalankan peran ini. B. Supporting Innovation, Demonstration and Pilot Projects NGO memiliki keuntungan memilih tempat tertentu untuk proyek-proyek yang inovatif dan menentukan terlebih dahulu lamanya waktu yang diperlukan untuk pelaksanaan proyek, mengatasi beberapa kekurangan yang dihadapi pemerintah dalam hal ini. NGO juga bisa menjadi pilot untuk proyek-proyek pemerintah yang lebih besar berdasarkan kemampuan mereka untuk bertindak lebih cepat daripada birokrasi pemerintah. C. Facilitating Communication NGO menggunakan metode komunikasi interpersonal untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Dalam peran ini NGO berkomunikasi ke tingkat pembuatan kebijakan oleh pemerintah. NGO dapat memfasilitasi komunikasi dari masyarakat ke pemerintah dan dari pemerintah kepada masyarakat. Komunikasi kepada pemerintah terkait dengan hal menginformasikan tentang apa yang dipikirkan oleh orang lokal. Sedangkan informasi dari pemerintah terkait dengan rencana yang akan dilakukan pemerintah kepada masyarakat. Selain itu NGO juga memiliki peran dalam berbagi informasi secara horizontal yaitu dengan jaringan antara organisasi yang melakukan pekerjaan yang sama. D. Technical Assistance and Training Lembaga pelatihan dan NGO dapat mengembangkan bantuan dan pelatihan teknis dan pelatihan kapasitas yang digunakan untuk membantu pemerintah dan masyarakat.
14
E. Research, Monitoring and Evaluation Mendokumentasikan
kegiatan
dan
melakukan
monitoring
secara
partisipatif dengan berbagi hasil dengan masyarakat dan staf yang menjalankan program. F. Advocacy for and with the Poor Dalam beberapa kasus, NGO menjadi juru bicara bagi masyarakat miskin dan berusaha untuk mempengaruhi kebijakan dan program pemerintah atas nama mereka. Hal ini dapat dilakukan melalui berbagai cara mulai dari demonstrasi dengan cara berpartisipasi dalam forum publik dan perumusan kebijakan pemerintah. Selain itu juga berperan dalam mempublikasikan hasil penelitian dari studi kasus yang dialami orang-orang marjinal. Dengan demikian NGO memainkan peran sebagai pendukung masyarakat dalam melaksanakan program pemerintah, agitator dan mediator (UNEP, 2003, pp. 4-5). 2.2.2
Konsep Pemberdayaan Perempuan Pemberdayaan perempuan menjadi agenda penting dalam deklarasi untuk
aksi dalam Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk semua tahun 1990, Konferensi PBB tahun 1992 tentang Lingkungan dan Pembangunan, Konferensi Hak Asasi Manusia tahun 1993, Konferensi Internasional tahun 1994 tentang Kependudukan dan Pembangunan, Pertemuan Dunia untuk Pembangunan Sosial dan Konferensi Regional tahun 1995 tentang Perempuan. Hal ini meningkatkan apresiasi dan pemahaman tentang pentingnya perempuan dalam proses pembangunan (United Nations Population Information Network, n.d).
15
Menurut
Warth
dan
Koparanova
(2012),
pemberdayaan
dapat
didefinisikan sebagai proses sosial multi dimensi yang membantu orang untuk mendapatkan kontrol atas kehidupan mereka sendiri. Ini adalah proses yang menumbuhkan kekuatan yakni kapasitas untuk melaksanakan pada orang, untuk digunakan dalam kehidupan mereka sendiri, komunitas mereka, dan dalam masyarakat mereka, dengan bertindak pada isu-isu yang penting bagi mereka (seperti dikutip dalam Page dan Czuba, 1999 ). Pemberdayaan dalam konteks ini berarti wanita mendapatkan lebih banyak kekuasaan dan kontrol atas kehidupan mereka sendiri. Dengan demikian, dapat dikonseptualisasikan sebagai proses penting dalam mencapai kesetaraan gender (Warth & Koparanova, 2012, p.5). Menurut United Nations Population Fund, perempuan yang berdaya memiliki rasa harga diri. Perempuan bisa menentukan pilihannya sendiri dan memiliki akses kesempatan atas sumber daya, memiliki kontrol atas hidupnya sendiri baik di dalam maupun di luar rumah. Selain itu perempuan juga memiliki kemampuan mempengaruhi arah perubahan sosial untuk tatanan sosial ekonomi yang lebih baik di skala nasional maupun internasional (Warth & Koparanova, 2012, p.6 seperti dikutip dalam UNDP, 2008). Kontribusi perempuan terhadap pembangunan berkelanjutan, pengetahuan dan keterampilan mereka harus diakui. Perempuan memiliki peran yang kuat dalam mendidik dan mensosialisasikan kepada anak-anak mereka, termasuk mengajar anak-anak mereka untuk peduli dan tanggung jawab dengan
16
memperhatikan penggunaan dan perlindungan sumber daya alam (Warth & Koparanova, 2012, p.10). Salah satu model strategi dalam pengarusutamaan isu gender dalam lingkungan adalah pemberdayaan perempuan yang mencakup aspek sebagai berikut (UNEP, n.d) : 1) Menciptakan lingkungan yang memberdayakan perempuan dan melibatkan mereka sebagai partner dalam upaya melestarikan tanah, air dan sumber daya alam. 2) Memberdayakan
perempuan
sebagai
manajer
sumber
daya
melalui
peningkatan kapasitas individual dan organisasi, dan peningkatan akses kesempatan pendidikan. 3) Meningkatkan akses perempuan terhadap informasi, proses manajemen, pelatihan dan sistem hukum. 4) Mendukung, memperkuat dan melibatkan organisasi perempuan dan jaringannya pada isu-isu lingkungan. Memfasilitasi dialog dengan para ahli gender. 5) Mempromosikan kepemimpinan dan menjamin partisipasi politik perempuan. Selain itu melibatkan perempuan muda dalam praktik kepemimpinan. 6) Meningkatkan posisi perempuan dalam otoritas dan pembuatan keputusan di semua tingkatan. Pemberdayaan perempuan adalah sebuah proses. Hal yang pertama adalah masalah sudah teridentifikasi. Ini berarti bahwa kesenjangan gender yang terjadi dimana perempuan terus berada di posisi yang kurang menguntungkan
17
diidentifikasi dan diakui sebagai penting. Dalam proses ini penting untuk berkonsultasi dengan perempuan itu sendiri untuk lebih memahami kebutuhan dan kekhawatiran mereka. Kedua, berdasarkan analisis berbasis bukti ini, langkahlangkah kunci untuk membuat lingkungan yang aman dan adil, baik melalui kebijakan terkait pengarusutamaan gender. Ketiga, untuk memberikan kontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan, perempuan harus menjadi agen perubahan dan karena itu membangun keterampilan dan kapasitas mereka sangat penting. Akhirnya, perempuan di semua tingkat kegiatan terkait pengambilan keputusan perlu dilibatkan dimana partisipasi secara penuh dan setara oleh para perempuan sangatlah penting (Warth & Koparanova, 2012, pp.10-11). Memberdayakan perempuan adalah sebuah proses yang meliputi baik penciptaan lingkungan yang kondusif bagi perempuan yang bebas dari diskriminasi, dan memperkuat kemampuan perempuan untuk mengambil kendali atas kehidupan mereka sendiri dan sepenuhnya berkontribusi untuk membawa perubahan yang dibutuhkan dalam masyarakat (Warth & Koparanova, 2012, p.23). Konsep pemberdayaan perempuan akan digunakan dalam melihat proses pemberdayaan perempuan yang dilakukan The Green Belt Movement, khususnya bagi perempuan desa dalam upaya konservasi hutan. Pemberdayaan
perempuan/women’s
empowerment
memiliki
komponen yaitu (United Nations Population Information Network, n.d) : 1. Rasa dan harga diri sebagai perempuan (women's sense of self-worth)
lima
18
2. Hak perempuan untuk memiliki dan menentukan pilihan (their right to have and to determine choices) 3. Hak untuk memiliki akses terhadap kesempatan dan sumber daya (their right to have access to opportunities and resources) 4. Hak untuk memiliki kekuatan untuk mengendalikan hidup mereka sendiri baik di dalam maupun di luar rumah (their right to have the power to control their own lives both within and outside the home) 5. Kemampuan dalam mempengaruhi arah perubahan sosial untuk menciptakan tatanan sosial ekonomi yang lebih adil secara nasional dan internasional (their ability to influence the direction of social change to create a more just social and economic order, nationally and internationally) Lima komponen pemberdayaan perempuan di atas akan digunakan untuk melihat sejauh mana dampak peran The Green Belt Movement dalam upaya pemberdayaan perempuan Kenya terhadap lingkungan di Kenya. 2.2.3
Ekofeminisme Dalam beberapa kurun waktu tertentu, kaitan antara gender dan
lingkungan dalam pembangunan semakin meningkat. Baik dari segi kebijakan maupun praktiknya. Hubungan antara gender dan lingkungan dilihat sebagai sebuah integrasi dalam organisasi sosial dan ekonomi dimana bisa memediasi hubungan antara masyarakat dan lingkungannya. Gender juga dilihat sebagai dimensi kunci dari perubahan sosial yang ada di masyarakat, terutama dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam (Masika & Joekes, n.d, p 95).
19
Gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya perempuan dikenal memiliki sifat keibuan, lemah lembut, cantik dan emosional. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Terbentuknya perbedaan gender dikarenakan banyak hal diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat bahkan dikonstruksi secara sosial dan kultural dan melalui proses yang panjang (Fakih, 2013, pp. 8-9). Perbedaan gender telah melahirkan ketidakadilan baik bagi laki-laki maupun perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana baik laki-laki maupun perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Secara umum stereotype adalah penandaan atau pelabelan terhadap suatu kelompok tertentu yang menimbulkan ketidakadilan karena perbedaan gender tersebut (Fakih, 2013, pp.7-23). Bias gender mengakibatkan beban kerja seringkali diperkuat dan disebabkan oleh adanya pandangan atau keyakinan di masyarakat bahwa pekerjaan yang dianggap masyarakat sebagai jenis “pekerjaan perempuan” seperti semua pekerjaan domestik dianggap dan bernilai lebih rendah dibandingkan dengan jenis pekerjaan yang dianggap “pekerjaan laki-laki” serta dikategorikan sebagai “bukan produktif” sehingga tidak diperhitungkan dalam statistik ekonomi negara (Fakih, 2013, pp.7-23). Kata gender berkaitan dengan feminisme. Feminisme bukan merupakan suatu gerakan homogen yang bisa secara mudah diidentifikasi ciri-cirinya. Setiap
20
gerakan feminisme terdiri atas ideologi, perspektif serta teori yang berbeda-beda (Fakih, 2013, pp.77-78). Feminisme sebagai gerakan pada mulanya berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi serta usaha untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut (Fakih, 2013, p.99). Feminisme bukanlah perjuangan emansipasi perempuan di hadapan kaum laki-laki saja karena mereka sadar bahwa laki-laki terutama kelas proletar juga mengalami penderitaan yang diakibatkan oleh dominasi, eksploitasi serta represi dari sistem yang tidak adil. Gerakan feminis merupakan perjuangan dalam rangka mentransformasikan sistem dan struktur yang tidak adil, menuju ke sistem yang adil bagi perempuan dan laki-laki. Dengan kata lain, hakikat feminisme adalah transformasi sosial dalam arti tidak melulu memperjuangkan soal perempuan belaka (Fakih, 2013, pp.100-101). Harding (1986) dan Shiva (1989) membuat kerangka dialektika yang menjelaskan dua prinsip ideologi antara feminitas dan maskulinitas. Menurut Harding dan Shiva feminitas dan maskulinitas adalah dua ideologi yang berbeda dan kontradiktif. Feminitas adalah ideologi yang berciri kedamaian, keselamatan, kasih sayang dan kebersamaan. Sementara maskulinitas memiliki karakter persaingan, dominasi, eksploitasi dan penindasan. Sebagai prinsip, feminitas tidak mesti dimiliki oleh kaum perempuan juga maskulinitas tidak serta merta hanya dimiliki oleh laki-laki (seperti dikutip dalam Fakih, 2013, pp.100-101). Menurut Shiva (1998), justru banyak perempuan dan aktivis feminisme yang menganut ideologi maskulinitas. Maskulinitas dalam proses sejarah menjadi ideologi yang dominan.
21
Menurut Shiva (1989) hasil dari merajalelanya prinsip maskulinitas adalah kekerasan terhadap kaum miskin dan perempuan, penghancuran alam dan lingkungan, penghancuran terhadap sistem pengetahuan lainnya yang non rasionalisme. Dalam perjalanannya maskulinitas mendominasi dan hegemonik (seperti dikutip dalam Fakih, 2013, pp.100-101). Seperti
halnya
dengan
teori
yang
lain,
feminisme
mengalami
perkembangan dari masa ke masa. Para pemikir feminis berpikiran bahwa antara feminisme dan pembangunan dapat dibagi ke dalam 5 bentuk seperti dalam gambar di bawah ini. WAD Women and Development
WID Women in Development Liberal Modernization Theory Restructuring Development Programs Welfare, Equity, Antipoverty, Efficiency, Empowerment
Socialist Feminism Alternative Developmeny Dependency, Global Capitalism, Patriarchy
WED Women, Environment and Development Feminist Political Ecology Sustainable Development Gendered Knowledges, Rights, Politics
GAD Gender and Development Radical Feminism Capitalism, Patriarchy and Racism
PAD Postmodernism and Development Postmodern Feminism Postdevelopment, Different Development Representation, Discourse, Local Knowledges
Sumber : Peet dan Hartwick (2009, p.254) Gambar 2.1 Bentuk-bentuk Perkembangan Teori Feminisme Di awal tahun 1970an para feminis liberal Amerika mulai melihat teori modernisasi. Teori Women in Development (WID) mendorong perempuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi dan melibatkan para perempuan dalam proses pembangunan. Kontribusi dari para perempuan yang produktif merupakan
22
sebuah bentuk emansipasi (Hoogvelt, 1997).
Namun WID gagal menjawab
tantangan teori modernisasi tentang struktur power dan pertanyaan tentang penyebab dari opresi (Visvanathan, et al, 1997) (seperti dikutip dalam Manion, n.d, pp.2-3). Hingga akhir tahun 1970an, para feminis mulai menyadari bahwa kaum perempuan memang sudah menjadi bagian dari ekonomi (Visvanathan, et al, 1997). Konsep Women and Development (WAD) menjadi sebuah teori di tahun 1975 saat Konferensi Women and Development digelar di Meksiko, yang kemudian menjadi awal dari UN Decade of Women (Sturgeon, 1997). Teori ini kemudian menarik dari segi hubungan perempuan dalam proses pembangunan. Namun teori ini belum mampu juga menjelaskan tentang opresi yang terjadi. Baik WID dan WAD dikritisi oleh para feminis selatan dimana kedua teori ini dipandang sebagai produk feminis utara atau feminis barat yang mengarah pada neokolonialisme (Sturgeon, 1997 seperti dikutip dalam Manion, n.d, p.3). Pada tahun 1980an, fokus peran perempuan dalam pembangunan berubah menjadi perspektif sosialis. Teori Gender and Development (GAD) menawarkan sudut pandang yang lebih holistik dan mempertanyakan struktur power yang mengarah pada opresi. Di bawah teori GAD, baik laki-laki maupun perempuan menjadi agen dalam perubahan dan perempuan didorong untuk mengorganisir dirinya sebagai aktivis dan lobi untuk perubahan (seperti dikutip dalam Manion, n.d, p.3). Dalam perjalanannya, WID, WAD dan GAD dilihat terlalu antroposentrik atau terlalu terfokus pada manusia. Kemudian ideologi yang lebih holistik pun
23
dibentuk. Sebuah perspektif baru pun dibentuk untuk mengetahui kebutuhan lingkungan dan pertimbangan dalam pengaplikasian dalam model pembangunan. Women, Environment and Development (WED) muncul dan menjelaskan korelasi antara opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap lingkungan. WED mengacu pada GED (Gender, Environment and Development) dan menjadi teori di tahun 1980an (seperti dikutip dalam Manion, n.d, p.4). Ekofeminisme muncul di tahun 1970an sebagai bentuk kesadaran hubungan antara perempuan dan alam. Istilah ini dikemukakan oleh penulis Perancis, Francoise d’Eaubonne di tahun 1974 dengan mengajak wanita untuk melakukan penyelamatan lingkungan dunia. Ekofeminisme salah satu cabang feminis gelombang ketiga yang mencoba menjelaskan keterkaitan alam dan perempuan terutama yang menjadi titik fokusnya adalah kerusakan alam yang mempunyai keterkaitan langsung dengan penindasan perempuan. Ekofeminisme tidak hanya fokus pada subordinasi perempuan tetapi juga fokus pada subordinasi alam/lingkungan di bawah kepentingan manusia. Teori Ekofeminisme adalah salah satu cabang teori feminis yang mencoba menjelaskan keterkaitan alam dan perempuan. Fokus teori ini adalah kerusakan alam yang mempunyai
hubungan
langsung
dengan
penindasan
perempuan.
Teori
Ekofeminisme ini muncul akibat ketidakpuasan akan arah perkembangan ekologi dunia yang semakin buruk. Vandana Shiva merupakan salah satu tokoh Ekofeminisme yang berasal dari India. Dalam buku yang berjudul Staying Alive: Women, Ecology and
24
Survival in India (1988)”, Shiva mengkritisi hubungan manusia dan manusia, lelaki dan perempuan serta hubungan antara manusia dan alam serta menyuarakan ideologi alternatif yang berlandaskan kearifan spiritualitas perempuan selatan. Shiva (1998) menjelaskan bagaimana kaum perempuan merupakan bagian yang erat dengan alam baik dalam imajinasi maupun praktik. Alam disimbolkan sebagai pengejewantahan prinsip feminim dan perempuan dipelihara oleh sifatsifat feminim agar mampu menciptakan kehidupan dan menyediakan makanan. Shiva menggambarkan dalam kosmologi India bahwa alam adalah Prakirti yang memiliki sifat aktif, sangat kuat dan tenaga produktif yang terbentuk dari dialektika antara penciptaan, pembaruan dan pemberian makanan segala bentuk kehidupan. Sedangkan manusia disebut sebagai Purusha yang merupakan prinsip feminim dan maskulin. Hubungan antara manusia dengan alam tidak dapat dipisahkan. Manusia dan alam hidup saling memelihara dan bukan terpisah dimana manusia yang mendominasi alam. Secara ontologis, manusia dan alam tidak terpisah demikian pula antara laki-laki dan perempuan. Ini disebabkan karena kehidupan dalam segala bentuknya tercipta dari prinsip feminim (Shiva, 1998, p.51). Pandangan dunia barat kontemporer tentang alam dipenuhi dengan dualisme antara laki-laki dan perempuan dan antara manusia dan alam. Berlawanan dengan ini, kosmologi India menyatakan manusia dan alam adalah dualime dalam kesatuan. Keduanya merupakan komponen yang tidak terpisahkan di alam ini baik dalam diri laki-laki dan perempuan. Harmoni dialektis antara lakilaki dan perempuan dan antara alam dan manusia ini menjadi dasar pemikiran dan
25
tindakan ekologis di India. Karena dari segi ontologis, tidak ada dualisme antara manusia dengan alam (Shiva, 1998, p.52). Ekofeminisme menekankan perlunya mengakhiri permainan kekuatan, dan mulai berbagi serta membangun solidaritas antar penghuni dunia sehingga setiap penghuni dapat tinggal dengan aman dan damai bersama-sama. Sehingga terbentuk kebudayaan dengan gaya hidup yang eco-friendly dan women-friendly (Astuti, 2012, p.52) Wangari Maathai, aktivitis lingkungan Kenya sekaligus pendiri The Green Belt Movement saat berbicara di “World Women’s Congress for a Healthy Planet” di tahun 1991, secara singkat menyatakan posisi aktivis ekofeminisme bahwa sesuatu hal tidak akan terjadi begitu saja dan perempuan harus melakukan sesuatu (Taylor, 2005, pp. 534-538). Ekofeminisme akan digunakan untuk melihat gerakan The Green Belt Movement yang berfokus pada lingkungan dan menggerakan perempuan untuk upaya penyelamatan lingkungan hutan salah satunya dengan penanaman pohon. Selain itu karena The Green Belt Movement merupakan organisasi yang diinisiasi oleh kaum perempuan dengan Wangari Maathai sebagai penggerak pertamanya. Dimana perempuan memegang peranan utama dalam kebutuhan rumah tangga dan secara langsung permasalahan degradasi lingkungan mempengaruhi kehidupan perempuan. Melalui The Green Belt Movement akan dilihat bagaimana perempuan meningkatkan kapasitas diri melalui sebuah organisasi yang berdampak bagi kehidupan sosial, politik dan lingkungan di Kenya.