BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian
1. Masalah Penelitian Marxisme sebagai sebuah pandangan filsafat, cukup populer di Indonesia. Akan tetapi sangat sedikit orang yang memahami filsafat Marxisme secara menyeluruh. Hal ini karena terbatasnya sarana dan ruang untuk mempelajari Marxisme, terutama pandangan filsafat/ideologi Marxisme-Leninisme. Keterbatasan ini terutama dikarenakan oleh pelarangan dari penguasa pasca Soekarno, atau Orde Baru melalui TAP MPRS No. XXV/1966. Munculnya TAP MPR ini disebabkan oleh sebuah gerakan yang berlangsung pada tanggal 30 September – 1 Oktober 1965. Gerakan ini dikenal juga sebagai gerakan 30 September 1965. Gerakan 30 September 1965, adalah gerakan yang sangat berpengaruh dalam sejarah masyarakat Indonesia. Pasca gerakan ini pluralitas ideologi di Indonesia mulai dibatasi. Tidak hanya pembatasan terhadap pluralitas ideologiterutama ideologi Marxisme-Leninisme yang dilarang untuk dipelajari dan disebarkan-pembantaian jutaan manusia yang dituduh sebagai kader/simpatisan PKI (Partai Komunis Indonesia) juga terjadi pascaperistiwa tersebut. Di dunia akademik bahkan diskursus tentang Marxisme juga dibatasi sesuai dengan isi dari TAP MPRS No.XXV/1966. Dalam TAP MPRS No. XXV tahun 1966 terdapat beberapa pasal yang membatasi pluralitas ideologi,
1
2
khususnya di dunia akademik, pertama, “Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/MarxismeLeninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan faham atau ajaran tersebut, dilarang” (Pasal 2 TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966, 5 Juli 1966). “Khususnya mengenai kegiatan mempelajari secara ilmiah, seperti pada Universitas-universitas, faham Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam rangka mengamankan Pancasila, dapat dilakukan secara terpimpin, dengan ketentuan, bahwa Pemerintah dan DPR-GR diharuskan mengadakan perundang-undangan untuk pengamanan” (Pasal 3 TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966, 5 Juli 1966). Pasca jatuhnya pemerinntahan Soeharto (Orde Baru), ketetapan ini tetap dinyatakan berlaku lewat Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 yang berbunyi: “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan seluruh ketentuan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 ini, kedepan diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia” (id.wikipedia.org, diakses tanggal 7/12/2011, jam 8.41 WIB). Keterbatasan ini menyebabkan kurangnya pemikiran alternatif untuk memperkaya studi ilmiah, terutama studi tentang ilmu sejarah, dan filsafat sejarah. Konsep materialisme dialektika historis yang menjadi inti Marxisme, pasca diberlakukannya
pelarangan terhadap ideologi Marxisme-Leninisme menjadi
3
tidak
bisa
dipahami
secara
utuh,
karena
adanya
keterbatasan
untuk
mempelajarinya. Selain
itu,
keluarga
dari
orang-orang
yang
dituduh
sebagai
kader/simpatisan PKI mengalami hidup yang sangat sulit. Bahkan dalam mencari pekerjaan, mereka juga menemui keterbatasan, dengan adanya “syarat bebas Gerakan 30 September” sebagai salah satu persyaratan dalam mencari pekerjaan sebagai PNS/TNI/POLRI. Itulah beberapa akibat nyata dari gerakan 30 September, oleh karena itu maka studi filsafat sejarah terhadap gerakan 30 September adalah sangat penting. Dengan mempelajari gerakan ini dengan menggunakan sudut pandang filsafat sejarah Marxisme maka diharapkan sebuah kebenaran tersembunyi bisa terungkap.
2. Perumusan Masalah.
a. Apa hakikat sejarah menurut Marxisme? b. Apa itu gerakan 30 September 1965? c. Apa relevansi filsafat sejarah Marxisme terhadap gerakan 30 September 1965?
3. Keaslian Penelitian Sejauh ini memang banyak tulisan ilmiah yang membahas tentang gerakan 30 September 1965. Akan tetapi, tulisan yang membahas Marxisme dalam level
4
tesis ternyata tidak begitu banyak. Di Fakultas Filsafat UGM, tercatat hanya 2 judul tesis yang membahas Marxisme, yaitu: a. Konsep Revolusi Menurut Marxisme Ortodox dan Komunisme (Komparasi dalam Tinjauan Filsafat Politik), ditulis oleh Aryaning Arya Kresna tahun 2004. b. Gagasan Post-Marxisme dalam Pemikiran Sosial Jurgen Habermas dan Antonio Gramsci, ditulis oleh Mutiullah tahun 2005. Sementara itu, tidak ada sama sekali tulisan yang membahas tentang Marxisme, di Fakultas Filsafat UGM, dalam level disertasi. Mungkin hanya satu buku terkenal yang membahas Marxisme secara ilmiah di Indonesia pasca 1965, yaitu buku yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno, yang berjudul “Pemikiran Karl Marx dari Sosialisme Utopis Sampai Perselisihan Revisionisme”. Tulisan yang membahas tentang Gerakan 30 September 1965 antara lain adalah: a. Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, ditulis oleh John Roosa. b. Mengapa G30S/PKI Gagal?, ditulis oleh Mayjen (Purn) Samsudin. c. Prolog G-30-S/1965, Asal-Usul Dokumen Gilchrist, Permainan Intelijen Cekoslowakia, Berdasarkan Pengakuan Ladislav Bittman, disusun oleh Bambang Murtianto dan Tim Pemburu Fakta Sejarah. Tidak ada sama sekali tulisan yang membahas G30S 1965 dari sudut pandang filsafat sejarah Marxisme
5
4. Manfaat Penelitian
a. Bagi peneliti, akan mendapatkan pemahaman yang menyeluruh tentang filsafat sejarah Marxisme dan gerakan 30 September 1965, latar belakang dan akibatnya. b. Bagi ilmu pengetahuan, terutama ilmu sejarah, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu dasar untuk memahami gerakan 30 September 1965 . c. Bagi filsafat, hasil penelitian ini adalah salah satu bentuk aplikasi filsafat dalam kehidupan. Selain itu, bisa digunakan sebagai wacana untuk didiskusikan secara ilmiah. d. Bagi Bangsa dan Negara Indonesia, penelitian tentang filsafat sejarah Marxisme dan gerakan 30 September 1965, sangat berguna untuk mengubah pola pikir bangsa Indonesia terutama dalam kaitannya dengan ideologi Marxisme-Leninisme.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Memahami hakikat sejarah menurut Filsafat Marxisme. 2. Memahami hakikat dari Gerakan 30 September 1965. 3. Memahami relevansi filsafat sejarah Marxisme terhadap Gerakan 30 September 1965.
6
C. Tinjauan Pustaka Ada berbagai versi tentang gerakan 30 September 1965, pertama adalah versi Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Menurut versi ini, PKI adalah dalang sekaligus pelakunya. Oleh karena itu maka Orde Baru menamai peristiwa ini dengan G30S/PKI. Versi Orde Baru ini bahkan difilmkan lewat film yang berjudul “Pengkhianatan G30S/PKI”. Secara keseluruhan isi film ini adalah kisah kekejian PKI, yang menyiksa dan membantai para Jenderal Angkatan Darat. Semua organisasi/kelompok yang terlibat, baik itu Cakrabirawa, Pemuda Rakyat, Gerwani, dan lain-lain, menurut versi ini, berada di bawah pengaruh PKI. Versi Orde Baru atau versi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menggambarkan bahwa PKI adalah pelaku utama gerakan 30 September. Menurut buku “Bahaya Laten Komunisme Di Indonesia”, yang diterbitkan oleh Markas Besar Angkatan Darat tahun 1995, Aidit adalah pemimpin tertinggi gerakan 30 September 1965. Aidit dalam buku versi Angkatan Darat ini digambarkan sebagai aktor utama yang mengorganisasikan rapat-rapat persiapan gerakan 30 September 1965 (Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, 1995: 180-181). Atas dasar inilah versi Orde Baru menamai gerakan 30 September 1965 sebagai G30S/PKI. Senada dengan buku tersebut, mantan Presiden, Soeharto juga dalam buku otobiografinya, “Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya”, menyebutkan bahwa pimpinan gerakan 30 September 1965, adalah orang yang sangat dekat dengan PKI, bahkan pernah dididik oleh tokoh PKI, Alimin. Walaupun demikian, ada sedikit perbedaan antara versi Soeharto dengan versi ABRI. Perbedaannya
7
adalah, kalau dalam versi ABRI, Aidit adalah pemimpin tertinggi gerakan 30 September. Sementara versi Soeharto, Letkol Untung adalah pemimpin gerakan 30 September (Hadimadja & Dwipayana, 1989: 119). Akan tetapi, di samping perbedaan kecil tersebut, versi Soeharto dan versi ABRI menyebutkan bahwa PKI adalah dalang gerakan 30 September 1965. Kedua versi ini adalah versi yang digunakan oleh Orde Baru dalam mendeskripsikan gerakan 30 September1965. John Roosa dalam bukunya yang berjudul, “Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September”, mengatakan bahwa, Pusat Penerangan Angkatan Darat telah memublikasikan tiga jilid buku, dari bulan Oktober sampai Desember 1965, dengan tujuan untuk membuktikan bahwa PKI secara organisasional adalah dalang gerakan 30 September 1965. Bukti utama yang diulas dalam buku tersebut adalah pengakuan Untung, yang ditangkap di Jawa Tengah tanggal 13 Oktober, dan Latief, yang ditangkap tanggal 11 Oktober di Jakarta. Kedua pengakuan ini merupakan dokumentasi laporan interogasi terhadap kedua orang ini. Akan tetapi pada tahun 1978, Latief mengemukakan bahwa pengakuannya terkait perannya dalam gerakan 30 September 1965, yang merupakan kesukarelaan, dan untuk kepentingan PKI, adalah disampaikan dalam kondisi setengah sadar, dan sedang mengalami infeksi luka akibat tusukan bayonet di kaki kirinya. Dalam sidangsidang Mahmilub, keduanya, baik Untung maupun Latief, menyangkal laporanlaporan interogasi mereka, dan menyatakan bahwa gerakan 30 September 1965, berada di bawah kepemimpinan mereka, sementara PKI diajak ikut serta hanya sebagai tenaga bantuan saja (Roosa, 2008 : 94-95).
8
Versi kedua mengenai gerakan 30 September 1965, adalah berasal dari “analisa awal” Bennedict Anderson, dan Ruth T Mc Vey. Dalam analisa ini dijelaskan bahwa karena tidak ada bukti-bukti yang kuat mengenai keterlibatan PKI seperti yang dituduhkan dalam berita-berita pers, dan pernyatan-pernyataan Angkatan Darat, maka yang lebih masuk akal adalah menjelaskan gerakan 30 September sebagai suatu konflik internal Angkatan Darat (Roosa, 2008 : 95-96). Menurut versi Ben Anderson dan Ruth T Mc Vey, grup inti dari gerakan 30 September 1965 adalah berisikan perwira-perwira muda yang berasal dari Jawa Tengah. Para perwira muda ini memberontak karena ketidaksukaan mereka terhadap para elit militer di Jakarta yang mereka anggap korup dan probarat (menjalin kontak dengan CIA). Para elit militer ini tergabung dalam SUAD (Staf Umum Angkatan Darat). Ketegangan antara para Jenderal SUAD dengan Presiden Soekarno pada masa ini, membuat para perwira muda ini menganggap bahwa akan ada kudeta dari para Jenderal SUAD terhadap Presiden Soekarno. Para Jenderal SUAD ini mereka anggap tergabung dalam Dewan Jenderal (Anderson & McVey, 2009: 24-26). Jaringan perwira Jawa Tengah ini menurut Anderson dan McVey, bertujuan untuk membersihkan Angkatan Darat dari para Jenderal yang korup dan konservatif, juga untuk memberi keleluasaan pada Soekarno untuk menjalankan berbagai kebijakannya (Roosa, 2008 : 102-103). Versi ketiga adalah versi Harold Crouch, menurut Crouch gerakan 30 September 1965, adalah persekutuan antara perwira-perwira muda dengan PKI. Inisiatif awal gerakan 30 September, adalah berasal dari perwira-perwira muda ini. PKI terlibat, akan tetapi bukan sebagai kelompok inti yang merencanakan dan
9
mengeksekusi. Versi ini sama dengan versi Sudisman (anggota Dewan Harian Politbiro CC PKI yang selamat, sisanya yaitu Aidit, Lukman, dan Nyoto dieksekusi secara rahasia oleh TNI), Sudisman berpendapat bahwa gerakan 30 September 1965, adalah konflik internal Angkatan Darat. Ia mengakui bahwa beberapa pimpinan PKI terlibat, akan tetapi PKI sebagai institusi tidak terlibat (Roosa, 2008 : 106). Lebih lengkapnya Harold Crouch mengatakan, Although there is no strong evidence to show the officers involved in the Thirtieth September Movement were committed supporters of the PKI, it is clear that they were willing to cooperate with representatives of the party in order to achieve their ends. It seems probable that all the main participants in the movement had been sounded out by the special bureau much earlier and were regarded favorably by Sjam and his colleagues, but there is little to indicate that they were prepare blindly to follow instructions from the party...While the special bureau representatives were important members of the plotting group, there is a little evidence to show that their role was dominant (Crouch, 2007 :116117). Versi keempat adalah pendapat W.F Wertheim, menurutnya gerakan September 1965 adalah konspirasi antara Soeharto dengan teman-temannya yaitu Latief, Sjam, dan Untung (tim inti gerakan 30 September 1965) (Roosa, 2008 : 112). Beberapa pimpinan PKI terlibat gerakan 30 September 1965, karena mereka ditipu oleh Sjam, dan komplotan perwira anti-PKI yang ingin menghancurkan PKI dan menggulingkan Soekarno (Roosa, 2008 : 116). Kesimpulan Wertheim ini diperkuat dengan penggambarannya bahwa Soeharto memiliki hubungan dengan perwira-perwira yang memiliki peran sentral dalam gerakan 30 September 1965. Untung dan Latief adalah mantan pasukan divisi Diponegoro di Jawa Tengah ketika Soeharto menjabat sebagai Komandan Divisi Diponegoro, sedangkan
10
Supardjo adalah bawahan Soeharto dalam Kesatuan Tempur Kolaga (Komando Mandala Siaga) (Crouch, 2007:123). Versi kelima adalah pendapat John Roosa, menurut Roosa, Sjam adalah tokoh yang memiliki peran utama dalam gerakan 30 September 1965. Ia yang memimpin gerakan 30 September 1965, ia juga yang bersikeras melanjutkan gerakan 30 September 1965, ketika beberapa perwira memilih mundur karena mengetahui kelemahan gerakan 30 September. Alasan sikap ngotot Sjam untuk melanjutkan
gerakan
30
September
1965
adalah
karena
tidak
ingin
mengecewakan Aidit, yang merupakan tokoh panutan bagi Sjam (Roosa, 2008: 308-309). Walaupun demikian, menurut Rosa, Sjam bukanlah dalang G30S 1965, melainkan hanya penghubung antara Aidit dan para perwira militer pimpinan G30S 1965 (Roosa, 2008: 294). Versi keenam adalah pendapat Rex Mortimer, dalam bukunya “Indonesian Communism Under Sukarno, Ideology and Politics 1959-1965”, ia menyimpulkan bahwa para pemimpin PKI yang di dalamnya termasuk Aidit, adalah pihak yang dimanipulasi oleh para konspirator gerakan 30 September 1965. Hal ini terlihat dari dukungan pimpinan PKI terhadap gerakan 30 September 1965, yang membuat PKI harus menyerah pada tentara, yang memiliki senjata. Langkah PKI mendukung gerakan 30 September 1965, berlainan sekali dengan langkah-langkah PKI sebelumnya yang penuh perhitungan (Mortimer, 2006: 440).
11
D. Landasan Teori Filsafat sejarah adalah sebuah cabang filsafat khusus yang memiliki obyek material sejarah dan obyek formal filsafat. Filsafat sejarah sebagai bagian dari ilmu filsafat, bertujuan untuk meneliti sebab-sebab terakhir suatu peristiwa. Selain itu, filsafat sejarah ingin memberikan jawaban tentang sebab dan alasan semua peristiwa sejarah (Tamburaka, 1999: 130). Ada dua bidang kajian filsafat sejarah, yaitu, pertama, mengkaji faktorfaktor yang menjadi penyebab dan menentukan semua kejadian dan peristiwa dalam perjalanan sejarah. Kedua, mengkaji dan menguji metode dan mengajukan penilaian terhadap hasil analisis dan kesimpulan suatu karya sejarah (Tamburaka, 1999: 144). Konsep sejarah Marx (Materialisme Dialektis atau Materialisme Historis), sebenarnya berasal dari kritikannya terhadap dialektika Hegel, yang bersifat Idealis. Sementara menurut Marx, sejarah bersifat material, artinya sejarah mengacu pada kondisi-kondisi fundamental eksistensi manusia. Metode materialis Marx inilah yang membedakan pandangannya dari pandangan Hegel. Objek studinya adalah terhadap kehidupan sosial ekonomi manusia yang nyata dan terhadap pengaruh pandangan hidup manusia yang sebenarnya pada cara berpikir dan merasanya. Berkebalikan dengan filsafat Jerman, yang menurut Marx, turun dari langit ke bumi, filsafat Marx menurutnya, justru naik dari bumi ke langit. Dengan kata lain, Marx tidak bertolak dari apa yang sedang dibayangkan, dipahami manusia sekarang ini, juga bukan dari apa yang telah diceritakan, dipikirkan atau dibayangkan, dipahami manusia pada zaman dahulu, melainkan
12
menuju manusia dalam bentuk fisik. Marx berangkat dari manusia yang nyata dan aktif dan berdasarkan proses kehidupannya yang nyata (Fromm, 2001:14). Konsep sejarah Marx tergambar jelas pada salah satu paragraf dalam buku Manifesto Komunis, The history of all hitherto existing society is the history of class struggles. Freeman and slave, patrician and plebeian, lord and serf, guild-master and journeyman, in a word, oppressor and oppressed, stood in constant opposition to one another, carried on an uninterrupted, now hidden, now open fight, a fight that each time ended, either in a revolutionary reconstitution of society at large, or in the common ruin of the contending classes (Marx & Engels, 1970:31).
Dalam pandangan Marx, sejarah adalah sebuah konflik terus-menerus. Konflik tersebut adalah sebuah perjuangan kelas dari kelas yang tertindas melawan kelas penindas. Penindasan dan ketertindasan menurut Marx atau Marxisme adalah bersifat material. Filsafat Marxisme mendasarkan diri pada materi, yang dalam hal ini adalah kondisi sosial dan ekonomi atau untuk lebih spesifiknya disebut corak produksi yang terdiri dari hubungan produktif dan kekuatan produktif. Setiap proses perkembangan sejarah selalu tidak bisa lepas dari “kontradiksi” antara kedua komponen corak produksi ini (Suseno, 2001:143). Hal ini sesuai dengan yang ditulis oleh Friedric Engels dalam buku “Socialism: Utopian & Scientific”, The materialist conception of history starts from the proposition that the production of the means to support human life and, next to production, the exchange of things produced, is the basis of all social structure; that in every society that has appeared in history, the manner in which wealth is distributed and society divided into classes or orders is dependent upon what is produced, how it is produced, and how the products are exchanged. From this point of view, the final causes of all social changes and political revolutions are to be sought, not in men's brains, not in men's better insights into eternal truth and justice, but in changes in the modes of
13
production and exchange. They are to be sought, not in the philosophy, but in the economics of each particular epoch (Engels, 1908: 24 ). Dasar dari semua perubahan sosial dalam masyarakat, menurut perspektif Marxisme, adalah corak produksi. Ini berbeda dengan Hegel yang memandang bahwa sejarah masyarakat digerakkan oleh ide absolut atau hal yang sifatnya bukan materi. Marxisme memandang bahwa sistem ekonomi adalah penentu gerak sejarah masyarakat, bukan otak manusia seperti halnya pandangan filsafat Hegel. Untuk gerak materi, Marxisme sepakat dengan Hegel, yaitu bersifat dialektis. Inti dari dialektika sendiri adalah kontradiksi. Untuk berkembangnya sesuatu maka kontradiksi adalah mutlak diperlukan, selain itu kontradiksi sesuatu juga bersifat khusus, itulah yang membedakannya dengan yang lainnya (Mao, 1966:35). Sejarah juga bukan hanya sejarah para tokoh tetapi adalah sejarah masyarakat, lebih khususnya adalah sejarah kelas-kelas yang saling berkontradiksi (bertentangan) dan antara hubungan produksi dan kekuatan produktif. Masyarakat manusia adalah sebuah kolaborasi yang berawal secara historis dalam perjuangan untuk keberadaan dirinya dan keberlangsungan generasinya. Karakter sebuah masyarakat ditentukan oleh sistem ekonominya. sistem ekonomi tersebut ditentukan oleh penggunaan buruh produktif oleh masyarakat itu. Tulisan ini ingin menncoba menguraikan asumsi dasar filsafat sejarah Marxisme
untuk memahami gerakan 30 September 1965. Filsafat sejarah
Marxisme secara umum berpandangan bahwa masyarakat komunis adalah akhir dari gerak sejarah masyarakat, akan tetapi mengapa pada kenyataannya PKI
14
sebagai salah satu partai yang memiliki ideologi komunis, dalam sejarah malah dibubarkan? Berikutnya adalah berdirinya rezim kapitalis militeristik Orde Baru sebagai antitesa dari masyarakat komunis yang dikemukakan oleh Marx. Hal-hal inilah yang akan dikaji lebih dalam tulisan ini.
E. Metode Penelitian
1. Bahan Penelitian
a. Data primer. i.
Engels, F., 1946, Dialectics Of Nature, Diterjemahkan Oleh Clemens Dutt, Lawrence And Wishart, LTD, London.
ii.
_____,
F.,
1908,
Socialism:
Utopian
&
Scientific,
Diterjemahkan oleh Edward Aveling, Charles H. Kerr & Company, Chicago. iii.
Mao,T.T., 1966 , Four Essays on Philosophy, Diterjemahkan Oleh Komite untuk Publikasi Karya-Karya Terpilih Mao Tse Tung, Foreign Language Press, Peking.
iv.
Ricklefs, M.C., 2001, A History Of Modern Indonesia Since C. 1200, Palgrave, Great Britain.
v.
Hegel, G.W.F., 2001,
The
Philosophy
of
History,
Diterjemahkan Oleh J. Sibree M.A, Batoche Books, Kitchener Ontario Canada.
15
vi.
Roosa, John, 2008, Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, Hasta Mitra, Jakarta.
vii.
Marx, K & Engels, F,
1970, Manifesto
of
Communist
Party, Foreign Language Press, Peking. viii.
Sudisman, 2005,
Pledoi Sudisman Politbiro CC PKI, Edi
Cahyono’s Experience, Tanpa Tempat. ix.
Hadimadja & Dwipayana, 1989, Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Citra Lamtoro Gung Persada, Jakarta.
x.
Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, 1995, Bahaya Laten Komunisme Di Indonesia, Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, Jakarta.
xi.
Mortimer, R, 2006, Indonesian Communism Under Sukarno, Ideology and Politics, 1959-1965, Equinox Publishing (Asia), Singapore.
xii.
Anderson, B & Mc Vey, R,T, 2009, A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia, Equinox Publishing (Asia), Singapore.
xiii.
Crouch, H, 2007, The Army and Politics in Indonesia, Equinox Publishing (Asia), Singapore.
16
b. Data sekunder, yakni berbagai literatur yang berhubungan dengan tulisan terkait dengan filsafat sejarah Marxisme gerakan 30 September. i.
Fromm, E., 2001, Konsep
Manusia
Diterjemahkan Oleh Agung Prihatoro,
Menurut
Marx,
Pustaka Pelajar,
Yogyakarta. ii.
Hadiwijono, H., 1980
Sari Sejarah Filsafat Barat 2,
Kanisius, Yogyakarta. iii.
Hardiman, B.F., 2004, Filsafat Modern Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
iv.
Haryadi, E., 2000,
Lenin Pikiran Tindakan dan Ucapan,
Komunitas Studi Untuk Perubahan, Jakarta. v.
Pour, Julius, 2011,
Gerakan 30 September, Pelaku,
Pahlawan & Petualang, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta. vi.
Russell, B., 1955, History of Western Philosophy and its Connection with Political and Social Circumstances from the Earliest Time to the Present Day, George Allen & Unwin Ltd, London.
vii.
Suseno, F.M., 2001, Pemikiran Karl Marx dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
17
2. Jalan Penelitian
Adapun penelitian ini berjalan dalam tahap-tahap yang akan ditempuh sebagai berikut : a) Pengumpulan data, yaitu mengumpulkan sebanyak mungkin Informasi yang berkaitan dengan teori filsafat sejarah Marxisme dan data tentang peristiwa G30S/1965. b) Pengklasifikasian
data,
yaitu
pengelompokkan
data
dalam
bidangnya serta menggolongkan mana yang merupakan data primer, sekunder atau data penunjang lainnya, sehingga akan mempermudah penelitian pada tahap selanjutnya. c) Analisis, yaitu menganalisis data primer dengan disertai data sekunder dan penunjang lainnya sebagai pendukung. d) Deskriptif, yaitu memaparkan secara sistematis hasil analisis sehingga mudah dipahami.
3. Analisis Hasil Penelitian ini menggunakan model penelitian historis-faktual mengenai naskah atau buku, yaitu model 1.A, mengacu pada buku Metode Penelitian Filsafat yang ditulis oleh, Dr Anton Bakker dan A. Charris Zubair (Bakker dkk, 1990:67).
18
Tahapan-tahapannya adalah sebagai berikut: a. Interpretasi, yaitu memahami secara mendalam naskah atau buku yang berisikan konsep filsafat sejarah Marxisme, tujuannya adalah untuk menangkap makna yang ingin disampaikan oleh Karl Marx secara khas. Selain itu, berbagai buku atau naskah yang terkait gerakan 30 September 1965 juga diselami secara mendalam, untuk memahami peristiwa tersebut secara objektif. b. Induksi dan deduksi Mempelajari secara kritis naskah atau buku yang berisikan konsepsi Marxisme tentang sejarah dan menjadikan konsepsi Marxisme tentang sejarah tersebut sebagai pisau analisis untuk menganalisis naskah atau buku yang tentang Gerakan 30 September (G30S) 1965. c. Holistika, memahami secara menyeluruh, konsepsi Marx tentang gerak sejarah, corak produksi, dan manusia sebagai penggerak sejarah.
Selain itu,
naskah atau buku terkait G30S 1965, juga dipahami secara menyeluruh. d. Kesinambungan Historis, melihat benang merah konsepsi filsafat Marx tentang sejarah, dan kondisi yang melatarbelakangi kemunculan konsepsi Marx tentang sejarah. Selain itu, memahami berbagai kondisi yang melatarbelakangi G30S 1965, melalui berbagai naskah atau buku yang memuat deskripsi tentang kondisi-kondisi tesebut dan keterangan-keterangan tokoh yang menjadi pelaku G30S 1965. e. Idealisasi, memahami filsafat sejarah Marxisme sebagai sesuatu yang bersifat universal atau ideal. Universalitas dan idealitas filsafat sejarah Marxisme
19
ini kemudian digunakan untuk memahami hal partikular, yaitu G30S, sebagai bagian dari universalitas sejarah. f. Komparasi, membandingkan konsepsi Marx tentang sejarah dengan berbagai tokoh dan filsuf yang menganut ideologi Marxisme. Selain itu, dibandingkan berbagai naskah dan buku yang mendeskripsikan G30S 1965, dari berbagai versi, untuk memahami secara objektif Gerakan 30 September 1965. g. Deskripsi, menguraikan secara sistematis, konsepsi Marx tentang sejarah dan deskripsi sejarah tentang Gerakan 30 September 1965, dari berbagai versi. h. Heuristika, berdasarkan seluruh uraian tentang filsafat sejarah Marxisme dan analisis kasus G30S 1965, dicoba untuk menemukan pemahaman baru tentang konsepsi Marxisme tentang sejarah dan relevansinya G30S 1965. i. Refleksi peneliti pribadi, penulis mencoba melakukan evaluasi reflektif secara kritis terhadap G30S 1965 dari perspektif filsafat sejarah Marx.
F. Hasil Yang Akan Dicapai
a. Deskripsi dan uraian secara sistematis-metodis tentang filsafat sejarah Marxisme dan G30S 1965. b. Sebuah analisis kritis terhadap filsafat sejarah Marxisme dan G30S 1965. c. Pemahaman baru terhadap filsafat sejarah Marxisme dan G30S 1965.
20
G. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini dibagi dalam lima bab, yang mana antara bab satu dengan lainnya dirangkai secara proporsional, sehingga menghasilkan suatu sistematika sebagai berikut : BAB I
PENDAHULUAN
Yang terdiri dari masalah penelitian tentang Gerakan 30 September 1965 dan kaitannya dengan pelarangan dan pembatasan pengkajian dan penyebaran Marxisme sebagai ideologi atau pandangan filsafat. Secara keseluruhan bab ini juga terdiri dari, perumusan masalah, keaslian penelitian, manfaat penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, jalan penelitian dan sistematika penulisan. BAB II FILSAFAT SEJARAH MARXISME Menjelaskan tentang riwayat hidup Karl Marx sebagai pelopor pandangan filsafat atau ideologi Marxisme. Selanjutnya, menjelaskan tentang konsep filsafat sejarah Marxisme yang dikemukakan oleh Karl Marx dan para filsuf Marxis lainnya. BAB III SEJARAH G30S 1965 Menjelaskan tentang berbagai hal yang melatarbelakangi Gerakan 30 September 1965. Selain itu, menjelaskan tentang G30S 1965 dari berbagai sudut pandang. Bab ini juga membahas tentang berbagai peristiwa penting pasca G30S 1965.
21
BAB IV
Gerakan 30 September 1965 DITINJAU DARI FILSAFAT
SEJARAH MARXISME Membahas tentang G30S 1965 dari perspektif filsafat sejarah Marxisme. Bab ini adalah berisikan sebuah analisis terhadap G30S 1965 dengan menggunakan pisau analisa filsafat sejarah Marxisme. BAB V
PENUTUP
Berisi kesimpulan dari seluruh pembahasan yang telah diuraikan dalam naskah ilmiah. Selain itu, bab ini berisikan saran terhadap masyarakat Indonesia umumnya dan masyarakat ilmiah khususnya tentang bagaimana bersikap dan memandang G30S 1965 sebagai sebuah hal penting dalam sejarah.