IDEOLOGI ANTIKEKERASAN GANDHI
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam (S. Fil. I.)
Oleh Iman Fauzan NIM.102033124723
PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H./2010 M.
IDEOLOGI ANTIKEKERASAN GANDHI Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam (S. Fil. I.)
Oleh Iman Fauzan NIM.102033124723
Pembimbing
Dr. Syamsuri, M.A. NIP.195904051989031003
PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H./2010 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul IDEOLOGI ANTIKEKERASAN GANDHI telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 18 Maret 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I) pada Program Studi Aqidah Filsafat.
Jakarta, 18 Maret 2010
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota
Sekretaris Merangkap Anggota
Drs. Agus Darmaji, M.Fils. NIP.196108271993031002
Dra. Tien Rahmatin, M.A. NIP. 196808031994032002
Anggota,
Dr. Syamsuri, M.A. NIP.195904051989031003
Dr. M. Amin Nurdin, M.A. NIP.195503031987031003
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S-1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 18 Maret 2010 Iman Fauzan
iii
ABSTRAK
Tidak mudah rasanya untuk mengingkari bahwa tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan sebab tak ada seorang pun yang ingin sengsara meski pemaknaan kita atas itu mungkin saja sungguh-sungguh berbeda. Terciptanya ketenteraman, kesejahteraan, dan kedamaian atau absennya kekerasan dalam hidup juga bisa disebut sebagai bentuk lain dari kebahagiaan. Baik jiwa dan akal sebagai potensi personal maupun negara dan agama sebagai institusi sosial manusia adalah media yang terbuka bagi manusia untuk merealisasikan tujuannya, kebahagiaan, baik di dunia ataupun di akhirat. Namun, media tersebut tidak digunakan semestinya atau terjadi penyimpangan sehingga cita-cita dan tujuan hidup manusia yang sesungguhnya malah tidak tercapai. Ideologi yang secara disadari ataupun tidak memberikan legitimasi terhadap aksi kekerasan dan semakin menghegemoni sedemikian rupa dalam setiap
relung
kehidupan
perlu
mendapatkan
antitesisnya
atau
kontrahegemoni agar dominasi kekerasan tidak perlu terjadi atau minimal tidak berkelanjutan. Penelitian ini ingin menyajikan antitesis tersebut yang memang pernah digagas dan diperjuangkan oleh Mahatma Gandhi pada masa Perang Dunia abad ke-20. Antitesis tersebut tidak lain adalah ideologi antikekerasan Gandhi.
iv
KATA PENGANTAR
ﺑﺴﻢ ﺍﷲ ﺍﻟﺮ ﲪﻦ ﺍﻟﺮ ﺣﻴﻢ Dengan segenap keyakinan dan upaya, penulis bersyukur kepada Allah S.W.T. yang telah melimpahkan hidayah-Nya, sehingga karya ilmiah ini dapat direalisasikan. Salawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad S.A.W. sebagai pembawa risalah dan suri tauladan terbaik. Dengan ini pula disampaikan terima kasih kepada dosen, keluarga, dan teman yang telah memberikan pencerahan. Secara khusus penulis sampaikan rasa terima kasih kepada pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yakni: 1.
Prof. Dr. Zainun Kamaluddin F, MA. (Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah)
2.
Drs. Agus Darmaji, M.Fils. (Ketua Program Studi Aqidah Filsafat)
3.
Dra. Tien Rahmatin, MA. (Sekretaris Program Studi Aqidah Filsafat)
4.
Dr. Syamsuri, MA. (Dosen Pembimbing Skripsi)
5.
H. Djuhaeni dan Hj. Muslimah (orang tua penulis)
6.
Ka Ridho dan Teh Imas (keluarga besar penulis)
7.
A Abay, Teh Imas, Farhan, Neng Imas, Abu, dan Zaki (adikkakak penulis)
8.
Neng Yuli Fitriyani (pendamping setia sejagat)
9.
Keluarga Besar Neng Yuli Fitriyani
v
10.
Keluarga Besar Komite Mahasiswa dan Pemuda Antikekerasan (Kompak)
11.
Keluarga Besar Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
12.
Keluarga Besar Aqidah Filsafat Angkatan 2002
13.
Keluarga Besar Harian Seputar Indonesia
14.
Hafid-Sidik-Felik yang telah meminjamkan buku-bukunya, IsaAan yang telah memperbaiki komputer-monitor, Suheli yang telah meminjamkan laptopnya, Aconk yang telah mengantar ke pembimping, Tata-Bahtiar-Robi yang membantu mengetik, Efri yang meminjamkan alat untuk mengabadikan sidang skripsi, dan Neng Yuli yang mendampingi setiap hari.
15.
Dan semua sahabat karib yang tidak disebutkan satu per satu.
Jakarta, 18 Maret 2010 Iman Fauzan
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK..............................................................................................
iv
KATA PENGANTAR............................................................................
v
DAFTARA ISI ......................................................................................
vii
BAB I
BAB II
BAB III
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .............................................
1
B. Tinjauan Pustaka ........................................................
8
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..........................
9
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................
10
E. Metode Penelitian ......................................................
10
F. Sistematika Penulisan .................................................
12
IDEOLOGI A. Akar Ideologi .............................................................
14
B. Definisi Ideologi ........................................................
17
C. Kerja Ideologi ............................................................
23
BIOGRAFI GANDHI A. Riwayat Pribadi ..........................................................
31
B. Dunia Intelektual ........................................................
34
C. Karier Politik .............................................................
40
vii
BAB IV
ANTIKEKERASAN GANDHI A. Dimensi Filosofis .......................................................
48
1. Ahimsa .................................................................
48
2. Satyagraha ............................................................
56
3. Swadesi ................................................................
62
B. Dimensi Teologis .......................................................
70
1. Kebenaran Sejati ..................................................
70
2. Agama Kemanusiaan ............................................
77
3. Surga Dunia .........................................................
84
C. Dimensi Politis ...........................................................
89
1. Jalan Hidup ..........................................................
89
2. Mahatma Diri .......................................................
94
3. Harmoni Kuasa .................................................... 101
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................ 108 B. Saran .......................................................................... 110 C. Harapan ..................................................................... 110
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 111
viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sebagaimana secara ontologis butuh mengada dan secara epistemologis butuh mengetahui, secara aksiologis juga ternyata manusia butuh berbahagia. Tidak mudah rasanya untuk mengingkari bahwa tujuan hidup kita adalah kebahagiaan (eudaimonia) sebab tak ada seorang pun di antara kita yang ingin sengsara meski pemaknaan kita atas itu mungkin saja sungguh-sungguh berbeda. Terciptanya ketenteraman, kesejahteraan, dan kedamaian atau absennya kekerasan dalam hidup kita juga bisa disebut sebagai bentuk lain dari kebahagiaan. Masalah kebahagiaan dan kesengsaraan ini, kata Nurcholish Madjid, masalah kemanusiaan yang paling hakiki karena tujuan hidup manusia tak lain ialah memeroleh kebahagiaan dan menghindari kesengsaraan. Semua ajaran dan ideologi, baik yang bersifat keagamaan (sakral) maupun keduniaan (profan) semata, tentunya menjanjikan kebahagiaan bagi para pengikutnya.1 Karena itulah, menurut Aristoteles, kekayaan dan kekuasaan bukanlah tujuan terakhir hidup manusia sebab keduanya terkadang pada kenyataannya dapat menyengsarakan hidup.2 Sokrates dan Plato juga berpendapat serupa mengenai tujuan hidup manusia. Namun, kebahagiaan yang dimaksud mereka tidak sama dengan
1
Nurcholish Madjid, “Konsep-Konsep Kebahagiaan dan Kesengsaraan,” dalam Budhy Munawar-Rachman, ed., Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, cet. II (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 103. 2 K. Bertens, Etika, cet. VI (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 243.
1
2
kebahagiaan
yang
dimaksud
orang-orang
modern,
yang
memaknai
kebahagiaan sama dengan happiness atau “kesenangan” yang menunjukkan suatu keadaan subjektif, tapi bukan berarti pula bahwa kebahagiaan tidak memiliki unsur kesenangan. Bagi bangsa Yunani, eudaimonia juga berarti kesempurnaan, atau lebih tepat lagi, eudaimonia berarti mempunyai daimon (jiwa) yang baik.3 Sementara menurut Aristoteles, manusia bahagia adalah manusia yang menjalankan seluruh gerak kehidupannya
sesuai keutamaan (arete).
Keutamaan tertinggi atau yang paling baik dalam diri kita yaitu bakat rasional.4 Keutamaan ini juga bisa dikatakan sebagai jalan tengah dari dua oposisi biner pilihan manusia yang paling ekstrem. Manusia religius (homo religiosus) yang percaya bahwa jiwa atau daimon berperan cukup signifikan dalam kehidupan, sebab segala materi yang ada di semesta ini diyakininya memiliki jiwa termasuk manusia, mungkin akan lebih mengasah dan menyempurnakan jiwanya untuk mencapai kebahagiaan hidup yang lebih abadi.5 Sementara manusia nonreligius akan lebih mempertajam daya inteleknya secara berkelanjutan guna memenuhi semua kebutuhannya dari berbagai dimensi agar dapat hidup bahagia terutama di dunia saat ini. Menurut Harun Nasution, orang yang berakal adalah orang yang memiliki kecakapan dalam menyelesaikan masalah. 6
3 4
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, cet. IXX (Yogyakarta: Kanisius, 2003), h.108. K. Bertens, Filsuf-Filsuf Besar tentang Manusia, cet. VI (Yogyakarta: Kanisius, 2006),
h. 47. 5
Mangunhardjono, “Homo Religiosus Menurut Mircea Eliade,” dalam Sastrapratedja, ed., Manusia Multidimensional (Jakarta: Gramedia, 1982), h. 37-49. 6 Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, cet. II (Jakarta: UI-Press, 1986), h. 7.
3
Sejarah mengungkap bahwa agamalah yang dipilih manusia religius sebagai jalan hidup yang mapan untuk merealisasikan kebahagiaan dunia sekaligus akhirat. Agama tumbuh dari usaha mencari kehidupan yang mengekspresikan dirinya dalam tingkat yang rendah, mencari makan dan bertempat tinggal, atau dalam tingkat yang lebih tinggi, mencari nilai sosial, intelektual, dan spiritual.7 Agama juga yang menjawab penderitaan eksistensial lahir dan batin dari ketidakpastian, ketidakmampuan, dan kelangkaan yang dialami manusia sepanjang sejarahnya.8 Meski begitu, manusia nonreligius justru lebih mempercayakan pada negara sebagai institusi pemerintahan rasional yang dapat membawa manusia ke kondisi yang lebih baik secara individual ataupun sosial saat ini dan di sini, meski beberapa di antara manusia religius juga berpendapat serupa. Negara terbentuk untuk memudahkan rakyat mencapai tujuan bersama salah satunya kesejahteraan. Keinginan bersama ini dirumuskan dalam suatu dokumen yang disebut konstitusi. Konstitusi ini merupakan dokumen hukum tertinggi karena ia juga mengatur bagaimana negara dikelola. Negara seperti inilah yang oleh Ibnu Khaldun disebut sebagai institusi pemerintahan yang berdasarkan pada politik rasional.9 Dengan penjelasan di atas tersebut dapat ditarik benang merah bahwa baik jiwa dan akal sebagai potensi personal maupun negara dan agama sebagai institusi sosial manusia adalah media yang terbuka bagi manusia untuk merealisasikan tujuannya, yakni kebahagiaan, baik di dunia ataupun di akhirat. 7
Harold H. Titus dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat. Penerjemah M. Rasjidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 415. 8 D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, cet. XVI (Yogyakarta: Kanisius, 2000), h. 31-32. 9 A.Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara; Pemikiran Politik Ibnu Khaldun (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), h. 94-95.
4
“Sekali lagi, itu semua bukanlah suatu teori saja, melainkan kesimpulan empiris, yang tidak ditarik dari dalil spekulatif, tetapi dari pengalaman eksistensial manusia dari zaman ke zaman hingga sekarang ini. Dengan kata lain, berdasarkan fakta-fakta konkret yang digumuli oleh setiap manusia yang hidup dan yang pernah hidup di dunia kita ini. Upaya apa yang telah dilakukan manusia untuk merebut dua jenis kebahagiaan itu. Berdasarkan pengalaman sekarang dan catatan sejarah, manusia melakukan dua jenis usaha raksasa, yaitu usaha religius dan usaha nonreligius.”10 Meski demikian, media tersebut tidak digunakan semestinya atau terjadi penyimpangan
sehingga
cita-cita
dan
tujuan
hidup
manusia
yang
sesungguhnya malah tidak tercapai. Banyak jiwa yang tersesat dan menyesatkan yang lain dengan mengobarkan kebencian dan permusuhan kepada sesama manusia karena keberadaannya sebagai penyejuk kehidupan sudah tidak lagi disadari. Selain itu, akal yang nakal dengan mengklaim dirinya sebagai tuhan dan melegitimasi aksi kekerasan dengan sewenangwenang juga tak sedikit. Tidak heran jika orang yang mengidap sakit jiwa dan hilang akal semakin mengakar dan menular. Di Indonesia, kekerasan bahkan dilakukan lebih dari semestinya. Aksi kriminal atau kejahatan yang tidak pernah absen dari pemberitaan media cetak maupun elektronik sering berujung pada penghilangan nyawa manusia yang paling berharga. Perampok yang beralasan bahwa aksinya demi sesuap nasi sebetulnya tidak perlu memerkosa dan membunuh. Anehnya lagi, fenomena sakit jiwa ini juga dilakoni orang yang berpendidikan.11 Tidak sedikit juga dari orang yang dianggap mapan status sosialnya malah kehilangan akal dan rasionalitasnya lantaran hanya ingin menambah pundi-pundi kekayaan pribadi. Mereka biasanya melakukan cara-cara instan untuk meraih apa yang 10
D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, h. 32. “Tawuran Antarpelajar SMK, Satu Siswa Tewas,” Seputar Indonesia, 18 November 2008, h. 27. 11
5
diinginkan, yakni korupsi. Kita dapat membayangkan berapa ribu jiwa manusia yang akan menjadi korban pembodohan, pelaparan, dan pemiskinan akibat prilaku gila ini. Suguhan berita aksi teror dan pengeboman yang mengakibatkan banyak nyawa hilang dan lingkungan kita luluh lantak di dalam dan luar negeri juga tidak luput dari pengetahuan kita. Kualitas dan kuantitasnya bahkan selalu meningkat dari tahun ke tahun. Banyak motif memang di balik aksi peledakan bom ini, tapi yang kita saksikan lebih parah dari yang kita duga. Tidak sedikit dari pelaku terkadang mengatasnamakan agama, yang kita pikir sebagai pembawa bahagia, bukan luka atau duka. Menurut data International Terrorism and Political Violence, di berbagai negara pada tahun 1998 terjadi 51 kali peledakan bom (menewaskan 516), tahun 1999 sebanyak 21 kali (menewaskan 334 orang), dan tahun 2000 sebanyak 49 kali (menewaskan 273 orang).12 Catatan sejarah mengenai kekejaman negara juga tidak luput dari ingatan kita. Banyak contoh soal ini di antaranya pembantaian terhadap orang-orang Yahudi yang dilakukan Jerman di bawah kepemimpinan Hitler, invasi Amerika yang dikepalai George Walker Bush ke Irak hingga terkoyak, dan penyerangan brutal Zionis Israel terhadap warga sipil Palestina akhir-akhir ini. Di Indonesia sendiri, saat Orde Baru berkuasa, praktik genosida merebak hampir di seluruh wilayah Indonesia. Pelenyapan dengan kekerasan terhadap satu entitas politik yang berhaluan kiri dijadikan alat politik ampuh oleh pemerintahan Orde Baru. Sungai Brantas-Jawa Timur mungkin menjadi saksi 12
Idam Wasiadi, “Teror Bom, Aksi Kekerasan, dan Pencegahannya,” KOMPAS, 14 September 2001.
6
bisu penjejalan ribuan jenazah dan jutaan orang yang menjadi korban kekerasan karena keyakinan politiknya. Peristiwa Marsinah, Kedung Ombo, Haur Koneng, Aceh, Irian, Tanjung Priok, Tragedi Semanggi dan Trisakti, serta sederet kasus-kasus yang lain juga menjadi monumen kekerasan dan kejahatan politik alat-alat negara yang dipimpin Soeharto. Di sebuah dunia yang sudah tertata dan terjejaringkan secara global seperti sekarang ini, ada seribu alasan memang ketika kekerasan-kekerasan tersebut terjadi salah satunya ideologi. Walaupun sedikit abstrak, ideologi telah terbukti memberikan sumbangan signifikan bagi merebaknya problem sosialpolitik hingga pada tingkat malapetaka dan bencana kemanusiaan seperti genosida dan holocaust seperti yang dipaparkan Dr. Helen Fein––direktur eksekutif sebuah lembaga studi genosida di Kennedy School of Government Harvard
University––dalam
sebuah
artikelnya
di Microsoft
Encarta
Encyclopedia (2003). Dia menunjukkan dengan bernas kaitan erat antara ideologi dan genosida.13 Kekerasan-kekerasan tersebut terjadi di antaranya karena agama dipahami sebagai ideologi politik kelompok tertentu dan negara dihegemoni oleh satu ideologi tertentu.14 Misalnya, Islam bagi beberapa kelompok tertentu tidak lagi dipahami dan dihayati sebagai ajaran moral yang mengajarkan cinta kasih dan perdamaian, tapi lebih sebagai manifesto untuk capaian-capaian politik tertentu yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok dibanding jalan hidup bersama sehingga kekerasan menjadi konsekuensi logis 13
Ian Adam, Ideologi Politik Mutakhir; Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depannya (Yogyakarta: Qalam, 2004), h. XV-XVII. 14 Francis Fukuyama dan Nadav Samin, “Fasisme, Marxisme, dan Fundamentalisme Islam,” dalam Ahmad Norma Permata, ed., Agama dan Terorisme (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2005), h. 1-4.
7
yang wajib dilakukan agar tujuan tercapai. Selain itu, negara juga akan berpotensi besar melakukan kekerasan jika didominasi oleh satu ideologi tertentu seperti yang terjadi pada negara Jerman saat dikuasai oleh ideologi fasis yang berbaju Nationalsozialismus (Nazi) pimpinan Adolf Hitler atau Indonesia ketika dipimpin oleh Soeharto dengan ideologi pembangunannya. Dengan demikian,
ideologi yang secara disadari ataupun tidak
memberikan legitimasi terhadap aksi kekerasan dan semakin menghegemoni sedemikian rupa dalam setiap relung kehidupan, meminjam istilah Antonio Gramsci mengenai teori hegemoninya, perlu mendapatkan negasinya atau kontrahegemoni agar dominasi ideologi kekerasan tidak perlu terjadi atau minimal tidak berkelanjutan. Ada banyak model ideologi memang yang bisa dijadikan sebagai kontrahegemoni itu salah satunya ideologi antikekerasan atau
ideologi
yang
dapat
melelehkan
kekerasan––bukan
melawan,
meluluhkan, dan menaklukkan kekerasan.15 Sebuah ideologi yang dapat mentransformasikan nilai-nilai perdamaian pada realitas keseharian dengan cara-cara yang adil dan antikekerasan. Seperti halnya banyak ideologi yang menyimpang dan melahirkan kekerasan, ternyata tidak sedikit juga ajaran dan tokoh yang teguh mengajarkan perdamaian dan antikekerasan. Agama-agama dunia, baik yang kecil maupun yang besar, sejatinya lahir membawa kebenaran untuk menciptakan perdamaian dunia. Setiap tokoh besar maupun kecil dunia yang membawa perubahan bagi kemaslahatan semua manusia dan muncul di setiap
15
Anand Krishna, “Ahimsa: Senjata Para Pemberani,” artikel diakses pada 22 November 2008 dari http://www.akcbali.org
8
zaman juga sebenarnya mengabarkan cara bagaimana kita memanusiakan diri kita. Di abad modern yang diwarnai dua perang dunia besar, kita mengenal Mahatma Gandhi sebagai sosok yang paling representatif dalam mengabarkan dan mempraktikkan antikekerasan (ahimsa) dan perdamaian dunia.16 Ada banyak kearifan dan kebijaksanaan yang bisa diambil dari eksperimeneksperimen yang dilakoni Gandhi dengan kebenaran. Keberhasilannya sebagai seorang pemimpin besar tak terlepas dari keteguhan dan ketangguhannya memegang prinsip-prinsip kebenaran (satyagraha) serta keterpaduan antara kata dan perbuatannya. Memberi teladan nyata adalah bagian dari perjuangan Gandhi. Nilai-nilai gerakan humanis benar-benar dipraktikkannya di tengahtengah kemodernan zaman yang perlahan-lahan membelenggu eksistensi manusia. Gandhi juga sangat fanatik melaksanakan pola hidup sederhana seperti mencintai produksi dalam negeri (swadesi), bahkan ia yang menenun kain yang digunakannya.
B. Tinjauan Pustaka Meski demikian, paparan yang akan dilakukan penulis mengenai pemikiran Ganhdi ini tidak bisa dipisahkan dari jasa para penulis sebelumnya yang terlebih dahulu mengulas pemikirannya melalui berbagai tulisan di antaranya Stanley Wolpert, Thomas Merton, dan I Ketut Wisarja. Stanley Wolpert adalah seorang sejarawan yang terkenal dengan kekuatan analisis dan narasinya. Dalam bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa 16
Hagen Berndt, Agama yang Bertindak; Kesaksian Hidup dari Berbagai Tradisi (Yogyakarta: Kanisius, 2006), h. 78.
9
Indoneisa berjudul Mahatma Gandhi: Sang Penakluk Kekerasan, Hidupnya, dan Ajarannya, Stanley menampilkan Gandhi sebagai manusia biasa, bukan setengah dewa seperti yang digambarkan oleh murid-muridnya. Stanley juga memberikan representasi semangat kepribadian Gandhi sejak masa kecil hingga kematiannya serta kerumitan personalitas yang mengiringi tindakannya yang melahirkan kemerdekaan India. Sementara Thomas Merton, dengan bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul Gandhi tentang Pantang Kekerasan, mengumpulkan petikan-petikan tulisan Gandhi dalam Non-Violence In Peace and War khusus mengenai falsafah perjuangan pantang kekerasan. Sedangkan I Ketut Wisarja, dengan bukunya berjudul Gandhi dan Masyarakat Tanpa Kekerasan, melakukan penelitian tentang konsepsi masyarakat menurut Gandhi. Bangunan dasar masyarakat ini adalah masyarakat tanpa kekerasan yang mengamalkan prinsip-prinsip etik yang diterapkan dalam komunitas yang dinamai Gandhi sebagai ashram. Namun, ulasan yang akan dilakukan penulis di sini tentunya berbeda dengan para penulis tersebut karena objek kajian di sini merupakan konsepsi ideologi antikekerasan menurut Ganhdi.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah Kajian mengenai kekerasan dan antitesisnya dipandang perlu agar tergambar secara menyeluruh meskipun penulisan di sini hanya akan membatasi dan memfokuskan pada kajian tentang antikekerasan Gandhi dari sudut pandang ideologi. Lantaran konsep ideologi antikekerasan Gandhi akan tergambar dengan jelas jika kita sebelumnya dapat mengetahui definisi
10
ideologi, mengenal sosok Gandhi, dan memahami ajaran antikekerasan, kajian ini akan fokus pada paparan atas jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dasar yang penulis rumuskan. Pertanyaan itu: Apakah ideologi? Siapakah Gandhi? Serta bagaimanakah antikekerasan yang diajarkan Gandhi?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini sebagai berikut: 1. Menampilkan sisi lain wajah ideologi yang selama ini dipandang negatif 2. Memperkenalkan wacana kekerasan dan antikekerasan 3. Mencoba merekonstruksi tujuan hidup manusia melalui kearifan Gandhi 4. Mengabarkan nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian 5. Memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana (S-1) Manfaat penelitian ini sebagai berikut: 1. Menjadi ideologi alternatif di tengah ideologi-ideologi besar yang kadang melegitimasi aksi kekerasan 2. Memberikan landasan logis bagi para pejuang perdamaian dan antikekerasan 3. Melahirkan gerakan sosial yang dapat melelehkan kekerasan
E. Metode Penelitian Model analisis kualitatif sengaja dipilih dalam penulisan ini sebab model ini lebih bertumpu pada kajian kepustakaan (library research) dan terfokus pada tipe penelitian yang bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif yang dimaksud adalah bentuk penelitian yang memberi gambaran secermat
11
mungkin mengenai suatu masalah, individu, keadaan, gejala, dan kelompok tertentu.17 Penelitian ini akan menekankan pada pemberian gambaran secara objektif tentang keadaan sebenarnya dari objek yang diselidiki. Penulisan ini menggunakan metode pengumpulan dan analisis data yang dapat dipercaya keakuratannya baik berupa buku, majalah, maupun artikel ilmiah. Data-data primer maupun sekunder tersebut tentunya hasil seleksi dan berhubungan dengan objek penelitian. Data primer di antaranya Mohandas Karamchand Gandhi, Mahatma Gandhi; Sebuah Autobiografi, Kisah tentang Eksperimen-Eksperimen Saya terhadap Kebenaran, cet. I. Penerjemah Andi Tenri W (Yogyakarta: Nasari, 2009); Mohandas Karamchand Gandhi, NonViolence in Peace and War, Volume I (Ahmedabad: Navajivan Publishing House, 1942); Mohandas Karamchand Gandhi, Non-Violence in Peace and War, Volume II (Ahmedabad: Navajivan Publishing House, 1949); dan Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara: Kehidupan dan Gagasan Mahatma Gandhi Sebagaimana Diceritakannya Sendiri, cet. II. Penerjemah Kustiniyati Mochtar (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991). Sedangkan data sekunder di antaranya Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi: Sang Penakluk Kekerasan, Hidupnya, dan Ajarannya. Penerjemah Sugeng Hariyanto, dkk (Jakarta: Murai Kencana, 2001); Thomas Merton, ed., Gandhi on Non-Violence: A Selection from the Writings of Mahatma Gandhi (Gandhi tentang Pantang Kekerasan). Penerjemah A. M. Fatwan Hasan Basari (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992); I Ketut Wisarja, Gandhi dan Masyarakat Tanpa Kekerasan (Jogjakarta: Logung Pustaka, 2005); Bagus
17
Koentjoroningrat, Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1989), h. 30.
12
Takwin, Akar-Akar Ideologi; Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari Plato hingga Bourdieu (Yogyakarta: Jalasutra, 2003); Jorge Larrain, Konsep Ideologi. Penerjemah Ryadi Gunawan (Yogyakarta: LKPSM, 1996); John B. Thomson, Analisis Ideologi; Kritik Wacana Ideologi-Ideologi Dunia. Penerjemah Haqqul Yaqin (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003); dan Louis Althusser, Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies. Penerjemah Olsy Vinoli Arnof (Yogyakarta: Jalasutra, 2008). Di samping mengungkapkan fakta seobjektif mungkin, penulisan ini juga berupaya memberikan interpretasi guna mendapatkan manfaat yang lebih luas. Interpretasi terhadap sumber-sumber data yang diperoleh terkait fokus analisis akan dilakukan. Dengan demikian, model analisis ini juga mencoba untuk mengangkat hubungan dialektis antara teks sebagai sumber informasi dan wacana konteks yang terbangun di balik teks tersebut sehingga tercipta pemahaman yang holistik. Penulisan ini juga mengacu pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, cet I, 2007 serta buku karya Dr. Anton Bakker dan Drs. Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1990).
F. Sistematika Penulisan Penulisan ini akan membagi pembahasan ke dalam lima bab yakni pendahuluan, ideologi, biografi Gandhi, antikekerasan Gandhi, serta punutup. Bab pendahuluan akan mengungkap secara argumentatif latar belakang
13
masalah, tinjauan pustaka, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, serta sistematika penulisan. Bab ideologi akan menginvestigasi secara kronologis dan filosofis kajian tentang ideologi baik akar, definisi, maupun kerjanya. Bab biografi Gandhi akan mendeskripsikan secara naratif kehidupan Gandhi sebagai pribadi, akademisi, dan politisi. Sementara
bab
antikekerasan
Gandhi
akan
memaparkan
dan
mengelaborasi konsepsi dan pemahaman antikekerasan menurut Gandhi dari tiga dimensi yaitu filosofis, teologis, dan politis. Antikekerasan secara filosofis akan dimaknai sebagai ahimsa,
satyagraha,
dan swadesi.
Antikekerasan secara teologis akan diyakini sebagai manifestasi kebenaran sejati, ajaran cinta manusia, dan realisasi kehidupan surgawi di dunia. Antikekerasan secara politis akan dipahami sebagai tujuan sekaligus jalan hidup manusia, mahatma diri atau proses penyempurnaan jiwa dan akal, dan harmoni kuasa atau penyeimbang segala relasi yang ada baik personal maupun struktural. Sedangkan bab penutup akan menyajikan kesimpulan, saran, dan harapan.
BAB II IDEOLOGI
A. Akar Ideologi Ideologi adalah satu dari sekian banyak konsep yang paling ekuivokal (meragukan) dan elusif (sukar ditangkap), tidak hanya karena beragamnya pendekatan teoritis yang menunjuk arti dan fungsi yang berbeda-beda, tetapi juga karena ideologi adalah konsep yang sarat dengan konotasi politik dan digunakan secara luas dalam kehidupan sehari-hari dengan makna yang beragam. Istilah ideologi pertama kali digunakan oleh Antoine Desttut de Tracy (1754-1836) pada abad ke-18. Akar-akar pengertiannya dapat ditarik jauh ke belakang pada Francis Bacon (1561-1626), Niccolo Machiavelli (1469-1520), bahkan Plato (429-347). Meskipun pembahasan tentang ideologi diduga sudah dilakukan oleh Machiavelli dan Bacon, namun de Tracy secara tegas menyebut ideologi dalam pembahasannya dan mencoba menggarapnya secara sistematis. Tracy-lah yang dianggap memiliki jasa yang amat besar dalam kajian ideologi sistematis. Ia hampir selalu disinggung dalam literatur-literatur ideologi.1 Pengertian tentang ide dapat dirunut asalnya ke konsep idea dan “dunia idea” Plato, filsuf besar Yunani yang hidup di abad ke-3 SM. Idea di “dunia idea” dalam pandangan Plato merupakan kebenaran sejati, rujukan bagi benda-benda yang ada di dunia fisik yang ditempati manusia sekarang. Bagi dia, idea merupakan sesuatu yang objektif, terlepas dari subjek yang berpikir. 1
Jorge Larrain, Konsep Ideologi (Yogyakarta: LKPSM, 1996), h. 7.
14
15
Idea tidak diciptakan oleh pemikiran. Idea juga tidak bergantung pada pemikiran. Sebaliknya, pemikiranlah yang bergantung pada idea. Karena ada idea yang berdiri sendiri, pemikiran kita dimungkinkan. Pemikiran itu tidak lain daripada menaruh perhatian kepada idea. 2 Sementara logos dalam bahasa Yunani juga mempunyai arti yang lebih luas daripada kata “rasio”. Logos berarti baik kata (tuturan, bahasa) maupun juga rasio. Namun, kita dapat menerjemahkan logos dengan “rasio” jika dipertentangkan dengan kata mythos. Pada abad ke-6 logos merupakan suatu pendekatan yang sama sekali baru. Sejak saat itu orang mulai mencari jawaban-jawaban rasional tentang problem-problem yang diajukan alam semesta. Logos (akal budi, rasio) menggantikan mythos. Dengan demikian filsafat dilahirkan.3 Pengertian ideologi sebagai kebenaran sejati menjadi dasar ideologi dalam arti positif yang secara kasar dapat disimpulkan sebagai seperangkat nilai dan aturan atau hukum yang dipercaya dapat membantu manusia menjalani hidupnya. Pendekatan ini menekankan bahwa manusia tinggal menganut nilai dan mengikuti aturan-aturan itu agar dapat menjalani hidupnya dengan baik.4 Istilah idea dari Plato yang merujuk pada pengertian kebenaran sejati dari “dunia idea” digunakan oleh Aristoteles dengan pengertian lain. Idea menurut Aristoteles berarti “representasi mental (dalam benak) dari sesuatu yang ada pada kenyataannya”. Di sini idea berarti konsep atau gagasan. Untuk membedakan dari istilah idea dalam pengertian Plato, digunakan istilah “ide” saja untuk merujuk pada pengertian menurut Aristoteles.5
2
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, h. 129. Ibid., h. 22. 4 Bagus Takwin, Akar-Akar Ideologi (Yogyakarta: Jalasutra Yogyakarta, 2003), h. 12. 5 Ibid., h. 14.
3
16
Meskipun menganggap badan sebagai hal yang penting pada manusia, Aristoteles juga memandang pikiran (benak) yang menjadi tempat terbaik bagi pengetahuan yang benar. Ide-ide yang benar ada dalam pikiran diperoleh dari proses inderawi yang diabstraksi mengikuti metode berpikir yang sekarang kita kenal dengan nama logika. Kesalahan proses informasi yang tidak mengikuti logika akan menghasilkan pengetahuan yang salah karena ide yang terbentuk salah pula. Ide dan pengetahuan yang salah ini kemudian membentuk kesadaran yang salah atau dalam istilah Marx adalah “kesadaran palsu” (false consciousness).6 Sementara Karl Mannheim lebih melihat asal-usul istilah dan kajian ideologi bermula dari konsep idola Francis Bacon.7 Bacon dalam usahanya menerapkan metode induksi dalam ilmu pengetahuan menggunakan konsep idola yang merujuk pada hal-hal irasional yang mengaburkan pikiran manusia. Idola dapat diartikan sebagai “bayang-bayang” atau “prasangka-prasangka”. Kesamaan pengertian antara konsep idola dari Bacon dengan konsep ideologi modern dalam pengertian Marxian adalah keduanya sama-sama merupakan sumber kesesatan.8 Bacon mengelompokkan hal-hal irasional itu menjadi empat golongan : 1) idola terhadap bangsa (idola tribus), yaitu kecenderungan untuk
menerima
begitu
saja
berbagai
proposisi
dengan
alasan
mempertahankan nilai adat dan kepercayaan mistis; 2) idola terhadap gua/penjara (idola specus), yaitu kecenderungan untuk menerima realitas begitu saja dan tidak bisa bersikap kritis; 3) idola terhadap pasar (idola fori),
6
Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Mark: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), h. 121-125. 7 Bagus Takwin, Akar-Akar Ideologi, h. 41. 8 Jorge Larrain, Konsep Ideologi, h. 121-122.
17
yaitu kecenderungan untuk terpengaruh oleh opini publik (gosip) yang pada masa Bacon biasa diajukan di pasar; dan 4) idola terhadap teater (idola theatri), yaitu kecenderungan untuk menerima begitu saja teori-teori dan dogma-dogma tradisional.9
B. Definisi Ideologi Dari asal katanya, ideologi dapat dipecah menjadi kata idea (ide/gagasan) dan logos (studi/ilmu) dalam bahasa Yunani. Secara harfiah dan sebagaimana digunakan dalam metafisika klasik, ideologi merupakan ilmu pengetahuan tentang ide-ide atau studi tentang asal-usul ide-ide. Dalam penggunaan modern, ideologi mempunyai arti pejoratif (negatif/jelek) sebagai teorisasi atau spekulasi dogmatik dan khayalan kosong yang tidak betul atau tidak realistis, bahkan palsu dan menutup-nutupi realitas yang sesungguhnya. Sementara dalam arti melioratif, ideologi adalah setiap sistem gagasan yang memelajari keyakinan-keyakinan dan hal-hal ideal filosofis, ekonomis, politis, dan sosial.10 Dalam konteks kelompok atau masyarakat, ideologi seringkali digunakan sebagai dasar bagi usaha pembebasan manusia. Dalam hal ini, ideologi memiliki pengertian sebagai sekumpulan gagasan yang menjadi panduan bagi sekelompok manusia dalam bertingkah laku mencapai tujuan tertentu. Dengan cara menurunkan gagasan-gagasan dalam ideologi menjadi sejumlah kerangka aksi dan aturan-aturan tindakan, sekelompok manusia bertindak membebaskan diri dari sesuatu yang dipersepsi sebagai kekangan atau penindasan. Ideologi 9
Simon Petrus L. Tjahjadi, Sejarah Filsafat Barat Modern (Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, 1999), h. 18. 10 Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 306.
18
memberi arah bagi gerakan pembebasan. Ideologi menjadi keyakinan (belief) bagi kelompok itu. Dalam makna ideologi sebagai acuan manusia, terjadi pula pertarungan
antarideologi.
Pertarungan
antarkelas
merupakan
contoh
pertarungan antarideologi. Begitu juga pertarungan antarpartai politik serta pertarungan antardua negara.11 Selain itu, ada pula kelompok manusia yang memandang pembebasan manusia sebagai upaya pembebasan dari ideologi. Di sini ideologi dipandang sebagai sesuatu yang negatif. Contohnya pandangan Karl Marx yang menilai ideologi sebagai kesadaran palsu yang memutarbalikkan realitas.12 Konotasi negatif dari istilah ideologi pertama kali digunakan oleh Napoleon yang kecewa atas perlakuan teman-temannya yang tidak setuju dengan tindakantindakan lalimnya selama ia menjadi penguasa Prancis. Napoleon memusuhi teman-temannya itu dan menamakan mereka kaum “idologues” dengan arti merendahkan bahwa mereka adalah intelektual-intelektual yang doktriner dan tidak realistis. Di sini terkandung pengertian bahwa istilah ideologis diterapkan pada mereka yang menempatkan tujuan-tujuan ideal tanpa mempertimbangkan kepentingan-kepentingan material yang dibutuhkan masyarakat.13 Pertentangan antara Napoleon dan teman-temannya yang disebut “ideologues” ini memberi konotasi politis pada makna ideologi, serta ditambah lagi dengan keterlibatan de Tracy dalam politik. Keterlibatan de Tracy ini, serta ambisinya untuk menyebarkan ideologi sebagai ilmu,
11
Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), h. 142-
12
Jorge Larrain, Konsep Ideologi, h. 49. Bagus Takwin, Akar-Akar Ideologi, h. 45.
143. 13
19
memengaruhi persepsi banyak pihak pada masa itu terhadap makna ideologi. Ideologi mengalami perubahan makna dari sekadar ilmu tentang ide-ide yang netral menjadi suatu aliran atau paham tersendiri. Di sini makna ideologi tidak lagi netral. Bagi pendukung de Tracy dan orang-orang yang bertentangan dengan Napoleon, ideologi memiliki makna positif. Akan tetapi, bagi para pendukung Napoleon dan lawan politik de Tracy, ideologi memiliki arti negatif seperti yang dimaksudkan oleh Napoleon.14 Mannheim juga menggambarkan tiga golongan distorsi ideologi. Pertama, dia menganggap perilaku etik yang cacat “jika diorientasikan dengan norma, dalam lingkungan sejarah tertentu, bahkan dengan maksud terbaik yang tidak dapat terpenuhi”.15 Sifat ideologis dari teori itu dibuktikan bilamana kategori yang ada mencegah manusia menyesuaikan diri dengan periode sejarah. Contoh yang dikemukakan Mannheim adalah norma yang melarang meminjam dengan suku bunga. Norma ini hanya dapat bekerja dalam masyarakat tradisional karena dalam periode kapitalisme praktik tersebut tidak dapat diterima. Jenis distorsi kedua mempunyai tempat berlindung kepada halhal yang absolut dan ideal untuk menutupi hubungan-hubungan yang sesungguhnya. Sebagaimana ketika kita menciptakan “mitos-mitos”, memujamuja “kebesaran sendiri”, mengaku setia kepada “cita-cita”, selagi kelakuan kita yang sebenarnya mengikuti kepentingan lain yang kita coba sembunyikan dengan berpura-pura adil secara tak sadar. Jenis distorsi ideologis yang ketiga timbul bilamana bentuk pengetahuan tidak lagi cukup untuk memahami dunia yang sebenarnya, seperti ketika pemilik tanah yang mengurus estate 14
Ibid., h. 45-46. Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik (Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 84. 15
20
(perkebunan)-nya dengan cara kapitalistis mendesak untuk menyatakan secara tegas kategori patriarkal dalam menggambarkan hubungan dengan para pekerja.16 Sementara itu, Bagus Takwin sampai pada kesimpulan bahwa mereka yang menganggap ideologi sebagai seperangkat nilai dan aturan tentang kebenaran yang dianggap terberi, alamiah, universal, dan menjadi rujukan bagi tingkah laku manusia juga dapat dimasukkan dalam kelompok aliran rasionalisme-idealis. Di sini ideologi memiliki arti yang positif. Sedangkan ideologi sebagai studi yang mengkaji bagaimana ide-ide tentang berbagai hal diperoleh manusia dari pengalaman serta tertata dalam benak untuk kemudian membentuk kesadaran yang memengaruhi tingkah laku. Berdasarkan kategori aliran, para penganut aliran ini dapat digolongkan dalam kelompok aliran empirisme-realis. Dalam pengertian ini, ideologi dapat bernilai negatif maupun positif bergantung pada ide-ide apa yang berpengaruh dan bagaimana akibatnya terhadap kehidupan manusia.17 Dalam perkembangannya ideologi juga memiliki banyak arti sesuai disiplin ilmunya. Pertama, ideologi sebagai suatu ilmu tentang ide-ide yang berambisi memisahkan pengetahuan dari metafisika dan agama serta kepercayaan-kepercayaan lainnya (pengertian dari Condilac dan de Tracy masuk di sini).18 Kedua, ideologi sebagai kesadaran palsu yang menyebabkan manusia mengalami distorsi dalam menangkap dan memahami realitas (Marx dan beberapa penerusnya termasuk dalam kelompok pengertian ini).19 Ketiga,
16
Ibid., h. 86. Bagus Takwin, Akar-Akar Ideologi, h. 9-10. 18 Ibid., h. 43-44. 19 Ibid., h. 66-86.
17
21
ideologi sebagai suatu ketidaksadaran yang tertanam sangat dalam pada diri setiap manusia sebagai akibat dari adanya berbagai struktur. Pengertian ketiga dibedakan menjadi dua, yaitu pemikiran yang menyatakan ideologi sepenuhnya menentukan manusia (Althusser)20 di satu sisi dan ideologi sebagai pembatas, bukan penentu, di sisi lainnya (Bourdieu).21 Pengertian keempat dari ideologi menunjukkan ideologi sebagai konstruksi linguistik. Pengertian keempat pun dibagi dua : 1) ideologi yang tertanam melalui proses semiotik yang mempengaruhi bahasa dan kesadaran manusia, seperti yang dikemukakan Voloshinov; dan 2) ideologi yang dibentuk oleh proses pemaknaan tanda yang dibekukan, seperti yang dikemukakan Barthes.22 Franz Magnis-Suseno membagi ideologi menjadi tiga macam yakni ideologi dalam arti penuh, ideologi terbuka, dan ideologi implisit.23 Sebagai contoh ideologi dalam arti penuh atau lengkap dapat diambil MarxismeLeninisme.24 Teori seperti Marxisme-Leninisme merupakan ideologi dalam arti sepenuh-penuhnya yaitu ajaran atau pandangan dunia atau filsafat sejarah yang menentukan tujuan-tujuan dan norma-norma politik-sosial, yang diklaim sebagai kebenaran yang tidak boleh dipersoalkan lagi, tapi yang sudah dan harus dituruti. Ideologi dalam arti sepenuhnya juga disebut ideologi tertutup. 20
Louis Althusser, Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultur Studies (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), h. 35-63. 21 Bagus Takwin, Akar-Akar Ideologi, h. 133-137. 22 Ibid., h. 119-125. 23 Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Mark, h. 232. 24 Marxisme-Leninisme adalah sebuah teori [1] tentang hakikat relitas seluruhnya [sebuah teori metafisika berisi materialisme dialektis dan ateisme], [2] tentang makna sejarah [bahwa sejarah menuju ke masyarakat tanpa kelas], [3] yang memuat norma-norma ketat tentang bagaimana masyarakat harus ditata [secara “sosialis”, tanpa hak milik pribadi, seluruh kehidupan masyasrakat ditetapkan langsung oleh negara, jadi totaliter], bahkan tentang bagaimana individu harus hidup [tentang gaya rekreasinya, tantang karya seni yang boleh dan tidak boleh, tentang bentuk pendidikan, tentang tidak diperbolehkannya pelajaran agama, tentang apa yang boleh dan tidak boleh dibaca dsb], yang pada hakikatnya melegitimasikan monopoli kekuasaan sekelompok orang [partai komunis] di atas masyarakat.
22
Salah satu ciri khas ideologi tertutup adalah bahwa dia tidak diambil dari masyarakat, tapi merupakan pikiran sebuah elit yang harus dipropagandakan dan disebarkan kepada masyarakat.25 Sementara Belanda, Italia, Republik Federasi Jerman, dan cukup banyak negara “demokrasi Barat” lainnya mendasarkan penyelenggaraan kehidupan masyarakat pada nilai-nilai dan cita-cita tertentu tentang martabat manusia serta pada sedaftar hak-hak asasi manusia [yang termuat dalam undangundang dasar negara-negara itu]. Cita-cita etika politik semacam itu bersifat terbuka dalam arti bahwa mereka mengizinkan pelbagai pengejewantahan. Cita-cita
itu
menjamin
kebebasan
masyarakat
untuk
menentukan
kehidupannya sendiri, kebebasan beragama dan berpandangan berpolitik. Dalam bahasa logika, cita-cita itu bersifat limitatif dan bekerja melalui falsifikasi.26 Cita-cita itu tidak dibebankan dari luar kepada masyarakat, melainkan diangkat daripadanya, jadi berupa cita-cita masyarakat sendiri yang disepakati harus dibela. Maka motivasi untuk mengikuti cita-cita itu tidak perlu dipacu, apalagi dipaksakan, karena dengan sendirinya diminati oleh masyarakat. Rumusan cita-cita semacam itu dalam sebuah “falsafah negara” dapat saja disebut “ideologi terbuka”. Ia terbuka karena hanya mengenai orientasi dasar, sedangkan penerjemahannya ke dalam tujuan-tujuan dan norma-norma politik-sosial selalu dapat dipertanyakan dan disesuaikan dengan prinsip-prinsip moral dan cita-cita masyarakat lainnya.
25
Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Mark, h. 233. Artinya: menetapkan batas-batas kebebasan; asal tetap batas-batas itu, misalnya selama tidak melanggar hak-hak asasi orang lain dan taat pada hukum, orang bebas menentukan kehidupannya. 26
23
Semua ideologi di atas memiliki satu ciri bersama yakni merupakan citacita dan nilai-nilai yang secara eksplisit dan verbal dirumuskan, dipercayai, dan diperjuangkan. Secara historis ideologi-ideologi eksplisit itu baru muncul bersamaan dengan zaman modern yang ditandai oleh rasionalisme dan sekulerisasi [rupa-rupanya masyarakat memahami seluruh kehidupannya melalui kacamata agama, belum ada ruang di mana ideologi-ideologi dapat muncul].27 Namun, di zaman tradisional pun masyarakat memiliki keyakinankeyakinan tentang hakikat realitas serta bagaimana manusia harus hidup di dalamnya. Meskipun keyakinan-keyakinan itu sering hanya implisit, jadi tidak dirumuskan dan diajarkan, tapi keyakinan-keyakinan itu meresap dalam seluruh gaya hidup, merasa, dan berpikir, bahkan beragama masyarakat [dan dapat digali melalui analisa sastra, tulisan, dll masyarakat itu]. Cita-cita dan keyakinan-keyakinan tidak eksplisit itu sering ada segi ideologisnya karena mendukung tatanan sosial yang ada, jadi memberikan legitimasi kepada kekuasaan sebuah kelas atau lapisan sosial atas kelas-kelas sosial lainnya.
C. Kerja Ideologi Ada beberapa pendapat tentang bagaimana sebuah ideologi menyebar dan bekerja dalam memengaruhi tingkah laku manusia. Pendapat-pendapat itu saling melengkapi. Di sini dikemukakan strategi-strategi yang diajukan oleh Terry Eagleton (1991) dan John B. Thompson (1990). Menurut Terry Eagleton (1991), strategi penyebaran ideologi terdiri atas rasionalisasi,
27
Ibid., h. 236.
24
universalisasi, dan naturalisasi. Rasionalisasi adalah usaha untuk memberikan argumentasi-argumentasi yang seakan-akan rasional dan diusahakan tersusun selogis mungkin bagi gagasan-gagasan yang terkandung dalam ideologi. Universalisasi adalah usaha menampilkan gagasan-gagasan yang diklaim berlaku universal dan diberlakukan di mana-mana. Naturalisasi merupakan usaha untuk menampilkan sebuah ideologi atau kepercayaan sebagai sesuatu yang tampak alamiah.28 Pada umumnya strategi ideologi berfungsi untuk mempertahankan kekuasaan. Pihak yang berkuasa cenderung mempertahankan dominasinya terhadap pihak yang dikuasai. Berbagai kajian ideologi menunjukkan ada persinggungan antara makna dan dominasi dalam persoalan ideologi. Berbagai makna yang terkandung dalam ideologi disebar sedemikian rupa dan diinternalisasi kepada pihak-pihak yang terkait dengan upaya dominasi terhadap pihak-pihak tertentu. Bagaimana
makna
dapat
berfungsi
untuk
membentuk
dan
mempertahankan hubungan dominasi? Thompson (1990) menyebutkan lima modus dari cara ideologi beroperasi untuk mempertahankan suatu dominasi melalui penyebaran dan penularan makna. Lima modus umum itu terdiri atas (1) legitimasi (legitimation), (2) disimulasi (dissimulation), (3) unifikasi (unification), (4) fragmentasi (fragmentation), dan (5) reifikasi (reification). Tiap modus umum ini memiliki strategi-strategi khusus untuk mengonstruksi makna-makna. Konstruksi simbolik ini kemudian bertahan dan menetap sebagai pelanggeng dominasi.29 28 29
Bagus Takwin, Akar-Akar Ideologi, h. 147. Ibid., h. 148.
25
Penjelasan Thompson (1990) tentang modus operandi serta strategi penyebaran dan pengukuhan ideologi lebih rinci dibanding penjelasan Eagleton (1991). Yang dikemukakan Eagleton hanyalah sebagian dari yang dikemukakan oleh Thompson. Tabel berikut ini menunjukkan strategi-strategi yang digunakan pada masing-masing modus umum dapat pengoperasian ideologi merujuk pada Thompson (1990). Masing-masing modus umum itu akan dijelaskan lebih rinci pada bagian berikut ini.30 Modus Operandi dan Strategi Penyebaran Ideologi Modus Umum
Strategi Konstruksi Simbolik
Legitimasi
Rasionalisasi (Rationalization)
(Legitimation)
Universalisasi (Universalization)
Narativisasi (Narrativization)
Disimulasi
Pemindahan (Displacedment)
(Dissimulation)
Euphemisasi (Euphemization)
Trope, seperti: sinekdot (synecdoche), metonimi
(metonymy),
metafora
(metaphor) Unifikasi
Standardisasi (Standardization)
(Unification)
Simbolisasi kesatuan (Symbolization of unity)
Fragmentasi
Diferensiasi (Differentiation)
(Fragmentatio)
Penolakan “yang lain” (Expurgation of the other)
30
Ibid., h. 149.
26
Reifikasi
Narturalisasi (Naturalization)
(Reification)
Eternalisasi (Eternalization)
Nominalisasi (Nominalization)
Pasifisasi (Passivization)
Legitimasi Konsep legitimasi dalam kaitannya dengan hubungan dominasi secara jelas dikemukakan oleh Max Weber. Max Weber (dalam Thompson, 1990) menyatakan bahwa hubungan dominasi yang dibentuk dan dipertahankan harus memiliki legitimasi, dalam arti memiliki kesan bahwa hubungan dominasi itu secara sosial dipandang sebagai sesuatu yang baik dan layak didukung. Penilaian terhadap hubungan dominasi itu bisa didasari oleh aspek hukum, politik, moral, religius, budaya, atau keseluruhan aspek tersebut. Klaim atas legitimasi dapat diekspresikan dalam strategi-strategi konstruksi simbolik tertentu yang mencakup:
Rasionaliasi,
strategi
konstruksi
simbolik
yang
membentuk
serangkaian penalaran yang cenderung mempertahankan atau membenarkan sebuah hubungan sosial atau lembaga sehingga dapat mempengaruhi orang lain untuk mendukungnya.
Universalisai, strategi konstruksi yang berusaha menjadikan susunan
kelembagaan yang melayani interest sekelompok orang sebagai sesuatu yang seolah-olah melayani interest semua orang. Susunan kelembagaan ini ditampilkan terbuka bagi semua orang yang memiliki kemampuan dan keinginan berhasil di dalamnya.
27
Narativisasi, strategi konstruksi untuk menghasilkan klaim-klaim akan
legitimasi di dalam kerangka cerita/narasi yang di dalamnya masa lalu dan masa kini ditampilkan seolah-olah bagian dari tradisi yang abadi dan agung. Tradisi-tradisi seringkali diciptakan untuk membentuk sense of belonging dalam satu komunitas dan sejarah bersama sehingga mengatasi dan melampaui pengalaman konflik, perbedaan, dan perpecahan. Disimulasi Secara umum disimulasi merupakan usaha mendistorsi atau mengubah realitas dengan cara mengaburkan, menyembunyikan, menutup-nutupi realitas atau memberi pemaknaan lain bagi realitas. Dengan disimulasi, hubungan dominasi dapat dibentuk dan dipertahankan. Realitas disembunyikan, disangkal, dikaburkan, dan direpresentasikan sedemikian rupa sehingga mengalihkan perhatian dari kondisi yang sesungguhnya. Disimulasi dapat dicapai dengan strategi:
Pemindahan, strategi untuk mengalihkan perhatian dari satu objek ke
lain objek sehingga konotasi positif atau negatif yang ada pada objek pertama beralih kepada objek kedua. Objek di sini merujuk pada semua hal yang dapat dipersepsi oleh manusia dalam kenyataan.
Euphemisasi/penghalusan, strategi yang digunakan untuk memaparkan
atau memaparkan ulang tindakan, lembaga, atau hubungan sosial sehingga menimbulkan kesan positif. Dengan strategi ini, sesuatu yang buruk dapat diperhalus sedemikian rupa sehingga kesan negatifnya hilang berganti dengan kesan positif.
28
Trope, strategi yang menggunakan bahasa figuratif, seperti: sinekdot
(pergeseran semantik antara bagian dan keseluruhan), metonimi (penggunaan bentuk simbolik yang mewakili karakteristik dari suatu hal untuk memaknai hal itu sendiri), dan metafora (penerapan suatu bentuk simbolik pada suatu objek atau tindakan). Bentuk-bentuk simbolik itu sesungguhnya tidak sesuai secara literal dengan kenyataan. Bentuk-bentuk simbolik itu ditampilkan sedemikian rupa sehingga kesan positifnya tertampil jelas, sedangkan maknamakna dan efek-efek negatifnya tertutupi. Univikasi Univikasi secara umum merupakan usaha untuk menyatukan proses dan hasil pemaknaan terhadap realitas. Hubungan dominasi dapat dibentuk serta dipertahankan dengan cara membentuk suatu kesatuan pada tingkat simbolik (kesatuan pemahaman makna) dalam suatu identitas kolektif tanpa menghiraukan perbedaan dan perpecahan yang ada. Unifikasi dapat dicapai dengan beberapa strategi:
Standardisasi, strategi yang kegiatannya terdiri atas usaha-usaha
penyesuaian bentuk-bentuk simbolik pada kerangka standar/baku yang dianggap milik bersama dan dipandang sebagai dasar pertukaran simbolik.
Simbolisasi kesatuan, strategi yang berupa konstruksi simbol-simbol
kesatuan, identitas kolektif, dan identitas kolektif yang mengatasi kelompok atau pluralitas kelompok-kelompok.
29
Fragmentasi Secara umum fragmentasi merujuk pada semua aktivitas memecah-mecah suatu hal menjadi beberapa bagian. Hubungan dominasi dapat dibentuk dan dipertahankan dengan cara memecah-mecah individu-individu atau kelompokkelompok yang menentang kelompok dominan. Bentuk lain dari fragmentasi adalah mengarahkan kekuatan dari kelompok oposisi ke sasaran yang diproyeksikan sebagai sesuatu yang jahat, berbahaya, dan mengancam. Fragmentasi dapat dicapai dengan strategi:
Diferensiasi, strategi konstruksi simbolik yang menekankan perbedaan
antarindividu atau antarkelompok serta memusatkan pada karakteristik yang memecah-mecah mereka agar tidak menentang sistem sosial yang ada.
Penolakan terhadap “yang lain”, strategi konstruksi dengan
menggambarkan sebuah kelompok sebagai kelompok yang jahat, berbahaya, dan mengancam sehingga individu-individu secara kolektif melawan atau menolaknya. Secara awam, strategi ini dapat disamakan dengan aktivitas menciptakan musuh bersama. Reifikasi Secara umum reifikasi dapat diartikan sebagai kegiatan merepresentasi suatu kondisi yang bersifat sementara sebagai kondisi yang permanen dan alamiah. Istilah reifikasi ini merujuk pada konsep ideologi dari Lukacs. Hubungan dominasi dapat dibentuk dan dipertahankan dengan cara merepresentasikan suatu kondisi yang bersifat sementara atau historis dengan gambaran seolah-olah bersifat permanen dan alamiah. Reifikasi dapat tercapai dengan strategi:
30
Naturalisasi, strategi konstruksi simbolik yang menggambarkan suatu
kondisi historis dan sosial sebagai kondisi alamiah atau hasil dari proses alamiah.
Eternalisasi, strategi konstruksi simbolik yang menghilangkan aspek
historis dari suatu gejala sosio-historis sehingga gejala itu dapat digambarkan sebagai suatu yang permanen, tidak dapat berubah, dan selalu berulang.
Nominaslisasi, strategi konstruksi simbolik dengan mengubah kalimat-
kalimat atau bagian dari kalimat yang merujuk pada tindakan atau individuindividu yang terlibat dalam tindakan menjadi kata benda yang terkesan netral.
Pasifisasi, strategi konstruksi simbolik yang mengubah kalimat aktif
menjadi kalimat pasif. Nominalisasi dan pasifisasi merupakan konstruksi simbolik yang menghilangkan tanggung jawab sang pelaku tindakan (agent) dan merepresentasikan suatu proses dengan benda (thing).31
31
Ibid., h. 149-155.
BAB III BIOGRAFI GANDHI
A. Riwayat Pribadi Salah satu founding father bangsa India ini memiliki nama lengkap Mohandas Karamchand Gandhi. Lelaki yang identik dengan kacamata bulat dan kain putih melilit di tubuhnya yang kurus kering, kepala botak, serta kaki yang tak beralas, ini lahir pada 2 Oktober 1869 di Porbandar, Kathiawad, Gujarat, dari kasta modh vania dalam agama Hindu, yang terkenal dengan kekayaan, kedermawanan, keahlian berdagang, dan kejujurannya. Ayahnya bernama Karamchand Gandhi, atau yang lebih dikenal dengan Kaba Gandhi, adalah seorang perdana menteri (diwan) negara bagian Porbandar India di Gujarat yang cukup tegas dan dihormati. Gandhi menceritakan tentang ayahnya sebagai seorang laki-laki “yang dianugerahi kesenangan duniawi”.1 Ibunya bernama Putlibai, istri keempat ayahnya, ialah seorang wanita yang mengesankan bagi Gandhi karena ketaatan dan kesalehannya. Ia dalam pandangan Gandhi merupakan istri dan ibu yang setia bagi suami dan anakanaknya.2 Pemimpin kharismatik bangsa India yang terlahir ketika situasi sosial, ekonomi, dan politik India dalam cengkeraman imperialisme dagang Inggris ini putra termuda di keluarganya. Dia memiliki tiga kakak perempuan (dua di antaranya kakak tiri) dan seorang pengasuh anak-anak (inang) bernama
1
Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi: Sang Penakluk Kekerasan, Hidupnya, dan Ajarannya (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), h. 15-16. 2 Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988), h. 3.
31
32
Rambha. Dia juga memiliki dua kakak laki-laki. Salah satunya Lakshmidas, enam tahun lebih tua darinya, kuliah hukum di India dan bekerja sebagai pegawai keuangan Porbandar. Sementara Karasandas, tiga tahun lebih tua darinya, setelah dewasa mendaftarkan diri di kepolisian negara bagian tetangga, Rajkot.3 Ketika sedang menjalani pendidikan menengahnya pada Kathiawar High School atau saat berusia sekitar 13 tahun, Gandhi dinikahkan oleh orangtuanya dengan gadis sebayanya yang bernama Kasturba. Pasangan hidup Gandhi ini adalah putri Gokuldas Makanji, seorang pedagang kaya di Porbandar. Kasturba dibesarkan sebagai putri dari kasta vaishnava.4 Meski kurang pendidikan formal, dia lebih berani daripada suaminya, yang tak pernah bisa tidur di kamar yang gelap dan selalu takut diserang hantu dan ular.5 Kasturba juga sekeras kepala dan selembut hati Gandhi. Sebagai pasangan muda, kehidupan pernikahan Gandhi dengan Kasturba mulanya tidaklah begitu stabil, terutama menyangkut seks. Suatu peristiwa yang selanjutnya mengubah pola hidup Gandhi adalah peristiwa menjelang ayahnya meninggal dunia. Dia menyesali kecerobohannya saat meninggalkan sang ayah yang sakit kemudian meninggal hanya untuk memenuhi keinginan Kasturba yang tengah hamil. Peristiwa ini yang membuat Gandhi melaksanakan penghentian berhubungan seks (brahmacary) di akhir-akhir kehidupannya.6 Sementara putra-putra Gandhi hasil pernikahannya dengan Kasturba yakni Harilal, Manilal, Ramdas, dan Devadas.
3
Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi, h. 15. Ibid., h. 17. 5 Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 6. 6 Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi, h. 20. 4
33
Suami Kasturba yang memiliki panggilan masa kecil Mohan ini punya sobat karib saat sedang menempuh sekolah menengahnya. Gandhi terpesona dengannya karena mampu melompat cukup jauh dan berlari kencang. Kawan yang punya keberanian dan kekuatan fisik yang tak dimiliki Gandhi kecil ini bernama Mehtab. Dialah yang mengajarkan kenakalan-kenakalan remaja kepada Gandhi saat sudah memiliki istri. Mehtab mengajarkan Gandhi untuk memakan daging dengan sembunyi-sembunyi, bahkan membawa Gandhi ke lokasi
pelacuran
meski
akhirnya
Gandhi
diselamatkan
oleh
“ketidakjantanannya”.7 Meskipun Gandhi kemudian menyadari dan mulai muak dengan kebodohan dan kekejaman atas identitas negatif Mehtab, keakraban mereka berlangsung sampai beberapa puluh tahun. Gandhi bahkan membawa Mehtab ke Afrika Selatan dan tinggal bersama selama beberapa waktu, sebelum mengusirnya setelah tepergok bersama seorang pelacur. Masalah Gandhi dengan putra tertuanya, Harilal, bahkan dinilai para pakar psiko-sejarah karena anak laki-laki pertamanya itu mengidentifikasikan diri dengan Mehtab, mengidentifikasi diri dengan sisi kepribadian yang “dibunuh dalam diri ayahnya”. Harilal memang sedikit berbeda dengan saudara-saudara kandungnya yang lain. Problematika Harilal yang masuk Islam setengahsetengah, mengubah nama dan memalsukan identitas, ingin menikah keduanya dengan murid ashram Gandhi, menyetok kain impor dan menjualnya saat harganya mulai melambung, serta menjadi pemabuk dan pemboros ini menunjukkan kegagalan seorang Mahatma mendidik anaknya. 8
7 8
Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 6-7. Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi, h. 19.
34
Meski begitu, barister atau pengacara jebolan salah satu universitas di Inggris ini sangat berjasa meminimalisasi rasisme terinstitusi dan diskriminasi warga kelas dua di Afrika Selatan dengan metode satyagraha-nya, mengangkat martabat kasta terendah dalam hierarki Hindu yakni Paria atas nama persamaan derajat, membangkitkan kemandirian bangsa India dari cengkeraman Inggris dengan swadesi-nya, dan membangun kembali toleransi antaragama yang ternoda oleh politik kekuasaan India-Pakistan dengan metode antikekerasan (ahimsa) dan persaudaraan umat manusia. Putra terbaik India yang mendapat gelar Mahatma dari penyair besar semasanya Rabindranath Tagore ini bahkan menjadi bukti yang tragis atas persoalan terakhir itu. Sang Mahatma mengingatkan Pemerintah India yang baru terbentuk
memenuhi
janjinya
kepada
Pemerintah
Pakistan,
yakni
menyerahkan aset yang telah disepakati, dengan puasa tanpa batas supaya kekerasan dihentikan. Pada pagi 30 Januari 1948, Gandhi malah ditembak mati oleh seorang nasionalis Hindu fanatik Nathuram Godse setelah pertemuan doa perdamaian di New Delhi. 9
B. Dunia Intelektual Gandhi di masa kanak-kanaknya memang termasuk anak yang mengalami kesulitan belajar, terutama dalam berhitung dan perkalian, tapi ia merupakan pribadi yang tekun.10 Sejak kecil Gandhi membaca Kitab Weda dan Upanishad melalui terjemahan karena dia tidak mempelajari bahasa Sanskerta secara mendalam. Ia bahkan tidak mempelajari kitab yang sudah melekat dalam
9
Ibid., h. 402. Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 3.
10
35
kehidupan orang India ini secara ilmiah sebagaimana kaum cendekiawan. Meski begitu, ia mengaku dapat menghayatinya seperti semestinya seorang pemeluk Hindu dan dapat menangkap spiritnya.11 Gandhi bahkan sering mendengarkan diskusi-diskusi ayahnya dengan para pemuka agama lain seperti Jainisme, Islam, dan Kristen, yang datang ke rumahnya untuk berdialog tentang agama-agama. Sementara ibunyalah yang telah memberi ia banyak pelajaran berharga mengenai makna sebuah kepatuhan, keteguhan, ketulusan, dan kelembutan. Pendidikan dasar Gandhi dijalani di Rajkot, sebuah kota yang berjarak 12 mil dari Porbandar. Setelah lulus, ia pun meneruskan jenjang pendidikan menengahnya pada Kathiawar High School. Semasa pendidikan menengah, Gandhi remaja masih malu-malu sampai ia mengakui bahwa ia tidak punya banyak teman kecuali buku-buku pelajaran yang dia baca. 12 Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya, ia berhasil diterima belajar di Samaldas College di Bhavnagar. Karena merasa kurang cocok, Gandhi pun berniat belajar di Inggris dan meninggalkan kampus lamanya.13 Akan tetapi, muncul larangan keras terutama dari ibunya yang khawatir dengan pergaulan dan budaya masyarakat Inggris, sehingga Gandhi pun bersumpah untuk tidak akan menyentuh wanita, minum anggur, dan makan daging jika diterima belajar di Inggris.14 Setibanya di Inggris dia memilih Fakultas Hukum, Inns of Court, Inner Temple, London, sebagai fokus studinya. Gandhi yang cara belajarnya sedikit metodis ini juga mahasiswa
11
Ibid., h. 8. Ibid., h. 3. 13 Ibid., h. 9. 14 Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi, h. 23. 12
36
yang produktif. Di sana ia belajar cara hidup Eropa, bahasa Prancis dan Latin, ilmu alam, hukum adat, dan hukum Romawi.15 Pada usia 22 dia menyelesaikan semua pelajarannya dengan lumayan sempurna. Pada satu kesempatan ia sempat dibacakan isi buku Theory of Utility karangan Bentham oleh seorang kawan yang berharap Gandhi makan daging seperti orang kebanyakan karena makanan tanpa daging sulit dicari di Inggris. Namun, Gandhi akhirnya menemukan rumah makan yang menyediakan lauk sayur-mayur dan menjual buku-buku vegetarian, tepatnya di Farringdon Street. Salah satu buku yang berhasil ia beli di sana yakni Plea for Vegetarianism karya Salt. Di lingkungan tempat tinggalnya di Bayswater, Gandhi pun membentuk sebuah forum para vegetarian dan menerbitkan majalah The Vegetarian. 16 Dua di antara anggota vegetariannya yang masih muda mengajak Gandhi bersama-sama menerjemahkan The Song Colestial karya Edwin Arnold ke versi Sanskerta aslinya, Bhagavadgita (lagu orang-orang yang diberkahi). Edwin Arnold inilah yang kemudian menjadi Wakil Presiden Food Society Reform Baywaster yang didirikan Gandhi. Gandhi juga mendapati bahwa Light of Asia, karya Arnold yang lain tentang kehidupan Budha, sama menariknya dengan Bhagavadgita. Mereka berdua yang namanya tak didapatkan penulis tersebut penganut teosofi dan pernah membawa Gandhi ke Pondok Blavatsky di London, di mana dia bertemu penggagas teosofi Madame Helena Blavatsky. Key of Theosophy-nya, kenang Gandhi, “Merangsang hasrat saya untuk membaca 15
I Ketut Wisarja, Gandhi dan Masyarakat Tanpa Kekerasan (Jogjakarta: Logung Pustaka, 2005), h. 26. 16 Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 10-11
37
buku-buku tentang Hindu dan membebaskan saya dari nilai-nilai yang ditanamkan oleh para misionaris bahwa Hindu penuh takhayul,”.17 Di Theosophical Society London itu Gandhi pertama kali bertemu calon murid ashram-nya dan wanita Inggris pertama yang mengetuai Indian National Congress , Annie Besant. Seorang kritikus reformis masyarakat Victoria yang jeli terhadap masalahmasalah besar seperti polusi industri perkotaan dan degenerasi manusia akibat modernisasi, John Ruskin, juga sangat berjasa bagi Gandhi. Buku Unto the Last, salah satu karya Ruskin, adalah buku karangan lepas pertama yang Gandhi baca. Buku yang kemudian diterjemahkan Gandhi ke bahasa Gujarat dengan judul Sarvodayo, yang berarti Kesejahteraan bagi Semua, inilah yang memberikan perubahan praktis signifikan kepada Gandhi.18 Dia pun segera melaksanakan cita-cita Ruskin ini dengan membeli perkebunan Phoenix seluas 46,6 hektare sebulan setelah tiba di Durban, Afrika Selatan dan mendirikan ashram pertamanya bernama Phoenix Colony. Ashram ini akhirnya menjadi komunitas yang sehat dan vital serta menjadi model dari transformasi sosial yang akan disebarkan Gandhi sepanjang hidupnya.19 Dalam diri Henry David Thoreau yang berkebangsaan Amerika, Gandhi pun menemukan seorang guru. Esai Thoreau yang berjudul The Duty of Civil Disobedience telah memberikan legitimasi ilmiah tentang apa yang telah dilakukan Gandhi di Afrika Selatan. 20 Selain pemogokan massal (hartal), di sana Gandhi juga melakukan perlawanan opini dengan mendirikan Indian
17
Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi, h. 28. Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 29. 19 Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi, h. 75-76. 20 Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 55. 18
38
Opinion pada 4 Juni 1903.21 Ia menyadari tujuan jurnalistik adalah pelayanan terhadap masyarakat. Surat kabar baginya kekuatan besar yang bisa digunakan untuk sebuah perubahan masyarakat. Selain itu, dia juga menerbitkan surat kabar tak terdaftar, Satyagrahi, enam belas tahun kemudian untuk memublikasikan instruksi-instruksi bagaimana membuka diri terhadap penangkapan.22 Pada Februari 1933, Gandhi bahkan meluncurkan penerbitan mingguan, Harijan, untuk mengampanyekan penghapusan akar dan cabang ketaktersentuhan kaum harijan dari kasta paria.23 Saat perjalanan pulang sementara dari Afrika Selatan ke India untuk menjemput keluarganya, ia sempat meluangkan waktu untuk menulis dan menerbitkan The Green Pamphlet, sebuah buku yang isinya mengulas rinci tentang keluhan orang-orang India di Afrika Selatan.24 Buku yang memicu kemarahan sebagian warga Afrika Selatan kepada Gandhi ini membuat ia diserang segerombolan orang yang akan membunuhnya. Ketika dalam perjalanan menuju London bersama Haji Ally
(1906),
Gandhi juga menulis artikel tentang keberanian moral Wat Tyler, John Hampden, dan John Bunyan, untuk membantu mempersiapkan masyarakat menentang ordonasi ketika diberlakukan mulai 1 Januari 1907. John Bunyan adalah penentang penindasan keagamaan uskup-uskup pada zamannya. Selama 12 tahun terkurung di Penjara Bedford, John Bunyan menulis The
21
Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi, h. 71. Ibid., h. 145. 23 Ibid., h. 267-268. 24 I Ketut Wisarja, Gandhi dan Masyarakat Tanpa Kekerasan, h. 28. 22
39
Pilgrim’s Progress, yang dipuji Gandhi sebagai “buku terindah dalam bahasa Inggris”.25 Rusia bahkan telah menganugerahi Gandhi seorang Leo Tolstoy, yang telah meletakkan dasar yang sehat mengenai gerakan antikekerasan lewat karya-karyanya di antaranya A Confession, What I Believe, The Kingdom of God Is Within You, A Calendar of Wisdom. Tolstoy juga telah merestui gerakan satyagraha Gandhi di Afrika Selatan ketika masih tumbuh dan kemungkinan-kemungkinannya akan berkembang. Tolstoylah yang dalam suratnya kepada Gandhi meramalkan bahwa Gandhi sedang memimpin satu gerakan yang ditakdirkan akan membawa pesan berisi harapan bagi rakyat tertindas di muka bumi.26 Ashram kedua yang didirikannya lima tahun setelah ashram pertamanya di Afrika pun dinamakan Tolstoy Farm.27 Tolstoy telah mengajarkannya sebuah arti kejujuran, moralitas, kesederhanaan, dan independensi. Di India, tepatnya di Kochrab, Gandhi membuka ashram yang diberi nama Ashram Satyagraha.28 Di Gujarat, Gandhi pun mendirikan ashram yang diberi nama Ashram Sabarmati. Ashram ini yang menampung para pekerja yang memang tidak memiliki uang, tapi memiliki kekayaan yang melebihi uang. Mereka memiliki tangan, keberanian, dan ketakutan kepada Tuhan.29 Selain itu, di Wardha pun Gandhi mendirikan ashram yang kebanyakan pengikutnya kaum harijan dan diberi nama Sevagram (Desa Pelayanan).30
25
Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi, h. 84-85. Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 55. 27 Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi, h. 77. 28 Ibid., h. 121. 29 Ibid., h. 134. 30 Ibid., h. 270. 26
40
Gandhi bahkan pernah memperoleh tidak kurang dari tiga eksemplar buku Life of Sister Theresa dengan harapan agar mengikuti teladan Theresa dan mengakui Yesus sebagai satu-satunya Juru Selamat ketika dipenjara. Dia pun membaca buku-buku tersebut dengan tekun. Meski begitu, hal itu tidak membuatnya mengakui kesaksian suster Theresa sebab Gandhi tetap berpegang teguh kepada ajaran agama Hindu.31 Selain sebagai seorang aktivis produktif, Gandhi juga meninggalkan tulisan yang cukup banyak dan kebanyakan dapat kita lihat corak humanismenya. Karya-karya tersebut antara lain Autobiography: The Story of My Experiments with The Truth (1940), Non-Violence in Peace and War (Vol. 1/1945 dan 2/1949), Towards Non-Violence Socialism (1951), Sarvodaya (1951), For Pacifists (1949), Harijan (1948), The History of Satyagraha (1951), Rebuilding Our Villages (1952), Swadeshi, True, and False (1939), To the Students (1949), Woman and Social Unjustice (1942), dan Young India (1932). Selain karya-karya tersebut, masih banyak lagi kumpulan-kumpulan tulisan Gandhi yang tersebar di berbagai surat kabar pada zamannya.32
C. Karier Politik Setelah menyelesaikan pendidikan di London (1891), Gandhi membuka klinik hukum di Bombay meski kemudian tidak begitu berhasil. Gandhi lantas berangkat ke Durban, Afrika Selatan untuk menyelesaikan sebuah kasus yang melilit Dada Abdulla. Keberhasilannya yang memberikan rasa keadilan bagi 31
Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 52. Suratno, “Mahatma Gandhi (1869-1948) dan Konsepnya tentang Manusia Ideal,” Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 5, No. 2 (Juli 2007), h. 114. 32
41
kliennya itu membuat ia dipercaya kembali untuk memperjuangkan hak-hak warga India di Afrika Selatan yang mayoritas muslim selama hampir dua puluh tahun. Langkah pertama yang ia tempuh adalah mendeklarasikan Indian Natal Congress (1894). Tidak seperti Ali Jinnah yang langsung melejit ke jajaran barister atau pengacara top dan kalangan elit Bombay dengan penampilannya yang tenang dan kemahirannya beretorika di ruang sidang, Gandhi ternyata ditakdirkan untuk meniti karier politiknya dari bawah. Gandhi di Afrika Selatan mengajak warga India untuk belajar sejarah dan sastra India, memetakan kondisi mereka di Afrika Selatan, menginformasikan apa yang terjadi di sana kepada Indian National Congress, dan memajukan kerukunan antara warga India dan Inggris yang tinggal di koloni Inggris wilayah Afrika Selatan.33 Satu tahun yang direncanakan Gandhi di Afrika Selatan ternyata memakan waktu bertahun-tahun. Kemahirannya yang berhasil menurunkan pajak sebesar £25 yang dibebankan kepada mantan budak kontrak yang memilih tinggal di Afrika Selatan hingga £3 membuat Gandhi diminta berpidato di depan rapat Indian National Congress (1896). Di sinilah dia mulai diperhitungkan oleh jajaran petinggi Indian National Congress seperti Tilak dan Gokhale. Kejujuran, kecerdasan, dan integritas Gokhale yang menyeluruh di hari kemudian menginspirasi perjuangan sosial dan tindakan politik Gandhi. Dari pemimpin sayap radikal pergerakan nasional India seperti Tilak, Gandhi juga banyak belajar tentang kekuatan besar dari penggunaan simbol-simbol keagamaan Hindu, tempat-tempat suci, perayaan-perayaan, dan metode
33
Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi, h. 54.
42
memikat dukungan massa dengan bahasa setempat yang dipahami orang awam yang tidak pernah belajar bahasa Inggris.34 Pertemuan itu tidak membutakan Gandhi. Dia lantas kembali ke Afrika Selatan dan melanjutkan tugas barunya yakni menentang ekspansi Inggris ke Boer (1897) meski akhirnya dia tidak bisa mengelak bahwa statusnya sebagai hamba Inggris harus patuh dan memberikan bantuan korps ambulans India bagi tentara Inggris dalam perang dengan harapan warga India mendapatkan hak-hak layaknya. Keputusan ini membuat Gandhi berjuang mendefinisikan dirinya dan berusaha menghubungkan realitas kehidupan keseharian yang ambivalen dengan jangkar keyakinan yang koheren. Namun, balasan Inggris justru sebaliknya. Warga India yang tinggal di sana diwajibkan mendapatkan izin khusus untuk memasuki Transvaal, kecuali mereka menyuap pegawai Departemen Asiatik.35 Gandhi yang kecewa akhirnya membangun aliansi untuk menentang Undang-Undang Asiatik dengan satyagraha dan hartal. Di Masyarakat Islam Hamidiya Johannesburg (1906), Gandhi lantang bicara mengecam peraturan daerah (ordonasi) yang diskriminatif dan tiranis itu, serta menyeru boikot pendataan warga meski berujung pada penderitaan.36 Akibatnya, Gandhi ditahan dan diajukan ke pengadilan untuk pertama kalinya di Persidangan Kriminal Johannesburg (1907), karena dituduh dan terbukti tidak mendatakan diri sebagai warga koloni.37 Bolak-balik penjara untuk menghapus peraturan itu tidak membuatnya patah semangat. Perjuangan satyagraha-nya pun tidak sia-sia
34
Ibid., h. 59. Ibid., h. 69. 36 Ibid., h. 82. 37 Ibid., h. 92. 35
43
setelah Gandhi mencapai persetujuan dengan Jenderal Smuts. Pajak £3 akhirnya dihapus. Warga India yang lahir di Afrika Selatan diizinkan masuk Cape dan Orange Free State dengan bebas dan beberapa hak yang lain dikembalikan dan diberikan. Pertemuan massal di Durban menerima dengan suara bulat persetujuan itu ketika Gandhi menyampaikannya kepada mereka (1914).38 Merasa tugasnya di Afrika Selatan sudah berakhir, Gandhi pun kembali ke India dengan segudang pengalaman dan mendapat sambutan hangat dari warga India.39 Dia kemudian mengabdi di Servant of India Society (Pelayan Masyarakat India) milik Gokhale dan menjadi asistennya.40 Pada 1915 ini Gandhi mulai disibukkan dengan pertemuan-pertemuan yang menginginkan ia bercerita dan berbagi pengalamannya saat di Afrika Selatan. Dia menghadiri pertemuan Liga Muslimin di Bombay, berpidato pada pembukaan Universitas Hindu Banaras, dan menghadiri pertemuan tahunan ketiga puluh Indian National Congress. Gandhi pun melakukan perjalanan keliling India dari Madras ke Karachi untuk mengampanyekan pentingnya rasa nasionalisme India.41 Menjelang akhir 1916, Gandhi bahkan dipercaya memimpin All-India Common Script and Common Language Conference (Konferensi Tulisan Umum dan Bahas Umum Seluruh India) yang berpusat di Ahmedabad. Gandhi menekankan supaya Hindi menjadi bahasa umum India. Saat menghadiri Kongres Lucknow dia pun menyatakan bahwa pemerintahan 38
I Ketut Wisarja, Gandhi dan Masyarakat Tanpa Kekerasan, h. 30. Dr. T.S.G. Mulia, India: Sejarah Politik dan Gerakan Kebangsaan (Jakarta: Balai Pustaka, 1959), h. 199. 40 Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi, h. 119. 41 Ibid., h. 124. 39
44
mandiri (swaraj) akan menjadi hal yang mustahil kecuali jika urusan Indian National Congress dilakukan dalam bahasa Hindi, bukan Inggris.42 Setelah berhasil membebaskan buruh kebun nila yang dieksploitasi para pemilik perkebunan di Champaran (1917), Gandhi juga mengetuai Konferensi Politik Gujarat pertama di Godhra. Di Konferensi Sosial Gujarat, yang juga diadakan di Godhra, Gandhi justru mengecam dosa kepariaan yang sudah mengakar dalam tradisi India. Pemikirannya tentang antikekerasan dan dosa kepariaan berkembang di masa ini sehingga dia berpendapat bahwa diskriminasi Hindu ortodoks harus dihentikan. 43 Perjuangan antikekerasan Gandhi selanjutnya di Kheda (1918) berakhir dengan kesepakatan. Pemerintah Inggris setuju menangguhkan penarikan pajak dari para petani miskin dan hanya mengambil pajak dari para pemilik tanah kaya yang jumlahnya sedikit sebab sebagian panen tahunan gagal dan banyak orang kelaparan. 44 Namun, itu bukalah sebuah kemenangan bagi Gandhi sebab UndangUndang Defense of India Act (1915) akan diberlakukan kembali oleh Pemerintahan Inggris dengan membentuk Komite Rowlett.45 Undang-undang pertahanan yang represif dan sangat membatasi ruang gerak organisasi yang berkembang ini banyak mendapat kecaman rakyat India, tapi protes mereka dibalas dengan peluru. Penembakan terhadap para demonstran di New Delhi dan pembantaian ratusan sipil di Amritsar, Punjab, yang dipimpin Jenderal
42
Ibid., h. 125. Ibid., h. 130. 44 Ibid., h. 139. 45 Ibid., h. 141. 43
45
Dyer, menjadi bukti itu.46 Gandhi pun tak henti-hentinya menyerukan antikekerasan baik kepada warga India ataupun kepada Pemerintah Inggris. Dia lantas mendukung Indian National Congress membentuk Komite India Independen untuk menyelidiki kekejaman Punjab.47 Keberhasilannya yang dipublikasikan luas dalam perjuangan antikekerasan di Champaran, Ahmedabad, dan Kheda membuatnya tersiapkan secara unik untuk memimpin Swaraj Sabha (1920). Gandhi akhirnya meluncurkan program pembangkangan sipil melalui satyagraha dan ahimsa di antaranya menolak dan mengembalikan tanda-tanda kehormatan yang diterima dari Inggris, melarang pelajar dan mahasiswa masuk sekolah dan kampus yang didanai Inggris, memboikot produk Inggris, dan menutup pengadilanpengadilan Inggris.48
Namun,
gerakan
yang
mendapatkan dukungan
Mohammad dan Saukat Ali selaku wakil komite dukung khalifah Islam ini melenceng dari harapan. Tidak sedikit warga India yang melakukan penjarahan yang disertai kekerasan dan kekejaman dalam aplikasinya.49 Satyagraha Gandhi tersebut akhirnya bisa dibilang gagal. Banyak generasi muda India menyalahkannya karena Gandhi meminta perjuangan itu dihentikan, sedangkan generasi yang lebih tua menganggapnya tidak bertanggung jawab. Namun, popularitasnya di tengah-tengah petani Hindu dan pedagang muslim tetap tidak berkurang. Atas kejadian itu, Gandhi menarik diri dari lingkaran politik nasional India. Dia lebih memfokuskan pada kegiatan pengembangan sejumlah ashram yang didirikannya. Gandhi pun
46
Dr. T.S.G. Mulia, India: Sejarah Politik dan Gerakan Kebangsaan, h. 202. Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi, h. 148. 48 Dr. T.S.G. Mulia, India: Sejarah Politik dan Gerakan Kebangsaan, h. 211. 49 Hagen Berndt, Agama yang Bertindak, h. 78-79. 47
46
menganjurkan anggota-anggota ashram-nya untuk menanam kapas, memintal benang, dan menenun kain secara mandiri.50 Gerakan yang bernuansa kemandirian bangsa India itu akhirnya mendapat apresiasi dari kalangan pejuang kemerdekaan yang meminta Gandhi kembali ke panggung politik nasional India. Gandhi pun memenuhi keinginan itu dan terpilih sebagai Ketua India National Congress (1924). Di Kongres Belgaum, Gandhi menyeru persatuan Hindu dan muslim, meneruskan boikot produk impor, menasionalisasikan program pemintalan, dan menghentikan segala bentuk kekerasan.51 Dia bahkan menekankan konversi (perubahan) tanpa kekerasan, bukan koersi (pemaksaan) dalam mengaktualisasikan buah pikirannya. Selain itu, Gandhi pun memimpin parade garam yang berakhir di Pantai Dandi (1930) sebagai bentuk penolakan terhadap pajak garam yang sudah diberlakukan lebih dari seabad oleh Pemerintah Inggris.52 Rangkaian aktivitas politik Gandhi sepanjang hayatnya tidak terlepas dari perjuangannya untuk memerdekakan rakyat India dari penjajahan Inggris atau “Quit India” (tinggalkan India) dan mencoba melelehkan kekerasan akibat perebutan kekuasaan baik sebelum maupun setelah kemerdekaan penuh (purnaswaraj) India tercapai. Orang yang mempersilakan dan mendorong Jawaharlal Nehru menjabat Perdana Menteri India pertama dan tidak mampu menolak keinginan Ali Jinnah mendirikan Pakistan ini tak henti-hentinya menyerukan persatuan dan perdamaian Hindu dan muslim di India yang mulai retak setelah perbedaan ideologi politik dua petinggi Indian National Congress
50
Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi, h. 176-177. Ibid., h. 171-172. 52 I Ketut Wisarja, Gandhi dan Masyarakat Tanpa Kekerasan, h. 37-38. 51
47
tersebut mulai mengemuka dan kentara.53 Kematian Gandhi bahkan menjadi bukti pengorbanannya terhadap perjuangan perdamaian dan kemanusiaan tersebut.
53
Ibid., h. 41-44.
BAB IV ANTIKEKERASAN GANDHI
Antikekerasan Gandhi yang akan dipaparkan dan dielaborasi pada bab ini memiliki tiga dimensi yaitu filosofis, teologis, dan politis. Antikekerasan secara filosofis akan dimaknai sebagai ahimsa, satyagraha, dan swadesi. Antikekerasan secara teologis akan diyakini sebagai manifestasi kebenaran sejati, ajaran cinta kepada manusia, dan realisasi kehidupan surgawi di dunia. Antikekerasan secara politis akan dipahami sebagai tujuan sekaligus jalan hidup manusia, mahatma diri atau proses penyempurnaan jiwa sehingga terhindar dari tindak kekerasan, dan harmoni kuasa atau penyeimbang segala relasi yang ada baik personal maupun struktural.
A. Dimensi Filosofis 1. Ahimsa Ahimsa sebagai sebuah ajaran sebenarnya bisa kita temukan dalam darma Hindu dan Jain yang mengajarkan prinsip-prinsip etis dalam kehidupan. Ajaran ini menyerukan kepada seluruh umat manusia untuk menjunjung tinggi semangat antikekerasan dalam setiap laku kehidupannya. Ajaran ini kemudian dimaknai secara lebih mendalam dan dikembangkan lebih lanjut oleh Gandhi. Menurut ajaran Hindu, etika ahimsa adalah doktrin tidak melukai (noninjury) makhluk hidup. Doktrin ini sudah sangat lawas dan tersebar secara eksplisit maupun implisit di dalam teks-teks suci Hindu. Etika ahimsa adalah
48
49
salah satu dari lima unsur pengendalian diri (panca yama brata)1. Etika ahimsa seyogyanya dimulai dari pikiran (manacika), kemudian tutur kata (wacika), dan akhirnya tingkah laku (kayika) atau tri kaya parisuda.2 Dalam sistem Yoga, ahimsa adalah prinsip pertama dalam darma. Ideal ini dapat dicapai dalam delapan tahap. Dua tahap pertama menunjukkan persiapan etis dan enam tahap selanjutnya asketis-kontemplatif. Tahap pertama menekankan keutamaan negatif seperti pantang mencederai, pantang mencuri, pantang berhubungan seksual, dan pantang memilik. Tahap kedua adalah keutamaan-keutamaan positif yang lebih diperkembangkan yaitu kemurnian, kegembiraan, mati raga (tapas), pemahaman kitab suci dan devosi kepada Tuhan (isvara-pranindana).3 Sementara menurut kepercayaan Jain, ada lima tingkat kesadaran. Manusia dianggap memiliki kesadaran tertinggi, sementara tumbuh-tumbuhan berada pada tingkat terendah. Pengikut Jain percaya bahwa semakin tinggi tingkat kesadaran, semakin besar kemampuan mereka untuk merasakan sakit. Dengan asumsi tersebut, mereka hanya mengonsumsi organisme dengan tingkat kesadaran terendah. Pola makan seperti ini bagian dari sikap untuk menjalankan ajaran ahimsa. Kebiasaan makanan pengikut Jain bahkan tidak 1
Lima unsur pengendalian diri (panca yama brata) yaitu ahimsa, yang berarti melarang orang tidak menyiksa, berbuat tidak adil, membenci dengan cara bagaimanapun, ahimsa bahkan melarang orang untuk membunuh, baik untuk membela diri maupun untuk meniadakan orang lain (musuh); mengucapkan yang benar (satya), yang berarti bahwa orang tidak boleh berbuat curang; tidak mencuri (asteya), yang melarang orang mencuri atau menyalahgunakan milik orang lain; menjauhkan diri dari perbuatan seksual (brahmacarya), yang melarang orang berbuat mesum; menolak kepemilikan (aparigraha), yang mengandung arti juga bahwa orang tidak boleh kikir. Inilah peratiuran besar (mahawrata), yang berlaku bagi semua orang tanpa mengingat akan kasta, tempat, waktu, dan keadaan. 2 Gusti Ngurah Gorda, “Membudayakan Kerja Berdasarkan Dharma,” dalam Budaya dan Perilaku Organisasi Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Satya Dharma (Singaraja: Pusat Kajian Hindu, 2004), h. 8. 3 Robert C. Zaehner, Kebijaksanaan dari Timur, Beberapa Aspek Pemikiran Hinduisme (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 75.
50
terbatas apa yang dia makan, tapi juga bagaimana dia makan, berapa banyak dia makan, dan kapan dia makan.4 Secara harfiah, ahimsa memiliki makna tidak menyerang, tidak melukai, atau tidak membunuh. Pemaknaan ini memperlihatkan bahwa makna ahimsa lebih menekankan pada makna penolakan atau penghindaran secara total terhadap segenap keinginan, kehendak, dan tindakan yang mengarah pada bentuk penyerangan atau melukai. Namun, Gandhi menekankan bahwa makna ahimsa tidak semata-mata berkonotasi negatif (nir/a = tidak) seperti menolak keinginan untuk membunuh, tidak membahayakan jiwa, tidak menyakiti hati, tidak membenci, tidak membuat marah, tidak membuat keuntungan sendiri dengan memperalat serta mengorbankan orang lain, tapi juga berkonotasi positif sebagai sebuah semangat dan pedoman hidup.5 Dalam kerangka pemikiran positif, ahimsa adalah cinta karena hanya cinta yang bisa muncul secara spontan dan memungkinkan seseorang bertindak selaras dengan hati dan pikirannya. Konsep ahimsa Gandhi juga tampaknya menuntut suasana kepribadian utuh yang tidak hanya dilakukan pada satu bagian sehingga pikiran, ucapan, dan tindakan harus sejalan dan seirama. Ahimsa yang diajarkannya juga tidak terbatas pada keyakinan dan sikap. Praktik ahimsa bukan hanya ditujukan kepada manusia, melainkan juga kepada binatang, tumbuhan, dan alam. Sekalipun di dalam alam terdapat daya tolak, tapi alam itu hidup berkat daya tarik. Alam menjadi lestari berkat ada rasa kasih sayang yang timbal balik.6
4
Heinrich Zimmer, Sejarah Filsafat India (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 263-
5
Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 108. I Ketat Wisarja, Gandhi dan Masyarakat Tanpa Kekerasan, h. 49.
264. 6
51
Ahimsa juga merupakan kebajikan tertinggi sebab tanpa itu kebenaran tidak akan dapat direalisasikan. Dua hal penting dari ahimsa yakni kewajiban untuk memperlakukan realitas sebagaimana diri sendiri dan ahimsa sebagai induk kebajikan yang lain. Gandhi memandang ahimsa dan kebenaran ibarat saudara kembar yang sangat erat. Namun, dia membedakannya dengan sangat jelas bahwa ahimsa merupakan sarana mencapai kebenaran, sedangkan kebenaran sebagai tujuannya. Dia meyakini bahwa ahimsa adalah hukum tertinggi atau darma. Tidak ada hukum atau darma lainnya kecuali kebenaran. Dengan demikian, ahimsa adalah dasar dan pedoman bertindak untuk mencapai kebenaran.7 Sementara lima aksioma ahimsa sebagai suatu keyakinan menurut Gandhi adalah (i) Ahimsa menyatakan secara tidak langsung suatu pemurnian diri yang sempurna sebagai salah satu kemungkinan bagi manusia; (ii) Bagi manusia, kekuatan ahimsa adalah bagian dari kemampuan seorang ahimsais untuk melakukan kekerasan; (iii) Ahimsa tanpa kecuali mengatasi kekerasan, misalnya kekuatan menyelesaikan masalah oleh seorang ahimsais selalu lebih besar dari pada kalau menggunakan kekerasan; (iv) Dalam ahimsa, tidak ada hal yang dianggap kalah, akhir dari ahimsa adalah kekalahan yang pasti; (v) Tujuan utama ahimsa adalah kemenangan yang pasti. Dalam kenyataan di mana tidak ada kata “kalah”, di sana juga tidak ada kata “menang”.8 Kebalikan dari ahimsa adalah himsa yaitu membunuh kehidupan. Ahimsa dan himsa merupakan dua simpul yang di satu sisi diwujudkan dalam belas
7
Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 95. Mohandas Karamchand Gandhi, Non-Violence in Peace and War, Volume I (Ahmedabad: Navajivan Publishing House, 1942), h. 119. 8
52
kasih, menyelamatkan hidup, dan tidak membunuh. Sementara di sisi lain, kehidupan tak bisa lepas sama sekali dari himsa. Di dunia ini manusia memang tidak berdaya di tengah lautan himsa karena ia tak bisa hidup tanpa melakukan himsa baik secara sadar maupun tidak sadar. Suatu kenyataan bahwa manusia harus makan, minum, dan bergerak mau tak mau sedikit banyak menyangkut himsa, yaitu membunuh kehidupan. Karena itu, seorang penganut ahimsa yang setia akan mendasari segala perbuatannya dengan rasa belas kasih dan sedapat mungkin menjauhkan diri dari pembunuhan makhluk yang sekecil apa pun sehingga dia berusaha membebaskan diri dari lingkaran maut himsa. Bagi Gandhi, ahimsa pertama dialami sebagai suatu kekuatan. Kekuatan yang mencakup semuanya, tiada batasnya dan apa pun yang disentuhnya akan berubah. Pengalaman akan ahimsa membawanya pada usaha permenungan tentang prinsip kehidupan dan akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa ahimsa adalah suatu prinsip yang mendasari kesatuan seluruh kehidupan. Dia yakin ahimsa adalah satu-satunya kekuatan yang sejati dalam hidup.9 Ajaran yang dianut Gandhi ini merupakan bentuk representasi dari pengalaman yang diterimanya selama hidupnya karena sebagaimana yang telah diketahui bahwa Gandhi juga berasal dari keluarga religius yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan rasa cinta kasih terhadap sesama. Namun, antikekerasan bukan seperti baju yang dapat dikenakan dan
9
Ibid., h. 68.
53
ditanggalkan dengan sesuka hati. Kedudukannya adalah di dalam hati dan harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari diri kita. 10 Gandhi mengatakan, ahimsa adalah kekuatan jiwa dan jiwa sesungguhnya bersifat baka, tidak kunjung berubah dan kekal-abadi. Bom atom merupakan puncak kekuatan fisik dan karena sifatnya itu ia tunduk kepada hukum penghamburan benda, kerusakan, dan kematian yang berlaku bagi seluruh alam fisik. Dalam kitab-kitab suci terdapat bukti bahwa bila kekuatan jiwa telah bangkit dengan sempurna di dalam tubuh kita, ia menjadi tenaga yang tidak bisa dilawan. Namun, ujian dan syarat untuk itu adalah kekuatan jiwa itu harus meresapi seluruh kehadiran kita dan akan keluar bersama setiap aliran pernafasan kita.11 Ahimsa bagi Gandhi merupakan hukum yang cukup fundamental bagi kehidupan. Itulah sebabnya mengapa ahimsa dapat digunakan sebagai prinsip paling efektif untuk tindakan sosial, karena secara mendalam sesuai dengan kebenaran sifat alami manusia dan sesuai benar dengan keinginan bawaannya akan perdamaian, keadilan, ketertiban, kebebasan, dan martabat pribadi. Oleh karena himsa merendahkan dan merusak manusia, maka menghadapi kekerasan dengan kekerasan dan kebencian dengan kebencian hanya akan menambah
parahnya
kemerosotan
secara
progresif
dan
manusia.
Antikekerasan, kebalikannya, menyembuhkan dan memulihkan sifat alami manusia sembari memberikan kepadanya sarana bagi penyembuhan serta pemugaran ketertiban dan keadilan sosial.12
10
Thomas Merton, Gandhi tentang Pantang Kekerasan (Jakarta: Yayasan Obor, 1992), h.
11
Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, ha. 116 Thomas Merton, Gandhi tentang Pantang Kekerasan, h. 35.
36. 12
54
Ahimsa bukanlah suatu kebijakan untuk merebut kekuasaan. Ahimsa merupakan jalan untuk mengubah hubungan-hubungan agar terlaksana peralihan kekuasaan secara damai, dilakukan dengan sukarela tanpa desakan semua yang bersangkutan oleh karena semuanya mengakuinya sebagai hak. Antikekerasan juga mencakup pemurnian diri yang sesempurna mungkin bagi manusia. Bagi orang perorangan, kekuatan antikekerasan adalah dalam proporsi yang tepat
sesuai kemampuan, bukan kemauan, penganut
antikekerasan untuk menimbulkan kekerasan. Kekuatan yang tersedia bagi penganut antikekerasan selalu lebih besar daripada jika ia bersifat keras. Tidak ada kekalahan dalam antikekerasan.13 Gandhi percaya dengan teguh bahwa sebenarnya antikekerasan adalah lebih alami bagi manusia daripada kekerasan. Doktrinnya dibangun di atas kepercayaan pada kecondongan alami manusia ke arah cinta-kasih ini. Manusia sebagai binatang adalah keras, tetapi sebagai jiwa tidaklah keras. Saat bangun kesadarannya akan jiwanya di dalam dirinya, ia tidak dapat bantahan keras. Ia akan maju ke arah ahimsa atau cepat-cepat akan menemui ajalnya. “Bila menoleh ke zaman lampau yang direkam dalam sejarah sampai zaman sekarang ini, akan kita saksikan bahwa manusia senantiasa mengarah ke ahimsa. Nenek moyang kita di zaman purbakala adalah kaum kanibal, yang memakan daging sesama manusia. Lalu pada suatu waktu mereka pun jenuh dengan gaya kanibal itu dan mereka beralih memburu hewan. Kemudian tiba suatu masa, mereka malu hidup sebagai kaum pemburu yang mengembara. Maka mereka pun beralih ke pola bercocok tanam dan terutama mengandalkan bumi pertiwi untuk memperoleh pangan. Demikianlah dari kaum pengembara manusia beralih kepada kehidupan dalam mukim tetap, mendirikan dusun-dusun dan kota-kota, dan dari anggota mereka beralih menjadi warga masyarakat dan warga negara. Semua ini merupakan tingkat kemajuan ke arah ahimsa dan 13
Ibid., h. 37.
55
menjauhi himsa. Jika perkembangannya tidak demikian, niscaya bangsa manusia telah punah seperti halnya berbagai jenis satwa yang lebih rendah yang telah punah.”14 Sementara syarat-syarat antikekerasan yang dianjurkan Gandhi adalah (i) Antikekerasan merupakan hukum umat manusia, (ii) Antikekerasan mencakup tidak mengharapkan yang buruk, (iii) Antikekerasan mencakup penolakan total untuk bekerja sama dengan atau turut serta dalam kegiatan-kegiatan golongan yang tidak adil sampai-sampai tidak makan makanan yang asalnya dari mereka, (iv) Antikekerasan tidak ada gunanya bagi mereka yang tanpa kepercayaan hidup kepada cinta-kasih Tuhan dan akan cinta-kasih bagi seluruh umat manusia, (v) Barangsiapa mempraktikkannya harus bersedia mengorbankan segalanya kecuali kehormatannya, (vi) Antikekerasan harus mencakup segala-galanya dan bukan hanya diterapkan pada perbuatanperbuatan terkecil.15 Tindakan ahimsa menurut Gandhi tidak bersifat statis, tapi justru dinamis. Dia mencontohkan, seorang dokter bedah tidak dapat dikatakan sebagai orang yang melakukan himsa, tapi ia justru telah mempraktikkan ahimsa semurnimurninya saat ia menggunakan pisau operasinya. Atas dasar itulah mungkin ada orang yang dalam keadaan mendesak merasa perlu melangkah lebih jauh dan mencabut nyawa demi kepentingan si penderita. Mungkin gagasan ini juga dibantah karena seorang dokter bedah melakukan operasi dengan tujuan menyelamatkan nyawa pasiennya dan dalam kasus yang lain sebaliknya yang terjadi. Meski demikian, jika dianalisis lebih mendalam, akan ditemukan bahwa tujuan akhir dari dua tindakan itu sama, yaitu membebaskan jiwa si
14 15
Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, ha. 101. Mohandas Karamchand Gandhi, Non-Violence in Peace and War, Volume I, h. 127-128.
56
penderita dari rasa sakit. Dalam kasus yang pertama, tindakan dilakukan untuk mengangkat bagian yang sakit dari tubuh, sedangkan dalam kasus yang kedua tindakan dilakukan untuk memisahkan jiwa dari tubuh yang telah menjadi sumber penderitaan baginya.16 Ahimsa yang didambakan Gandhi sebenarnya berupa senjata yang sangat ampuh. Senjata yang dapat melelehkan kekerasan dan mengubahnya menjadi kelembutan. Ahimsa bukanlah sebuah senjata untuk melawan, meluluhkan, atau menaklukkan kekerasan. Ahimsa yang diidealkan Gandhi ibarat senjata kimia yang dapat mengubah zat kekerasan menjadi kelembutan. Kemudian zat kelembutan itulah yang melahirkan kasih sayang dan kedamaian dalam hati manusia. Kepercayaan ini didasarkan pada asumsi bahwa sifat alami manusia pada intinya adalah satu dan oleh karenanya pasti memberi tanggapan terhadap imbauan cinta-kasih. 2. Satyagraha Istilah satyagraha berasal dari kata Sanskerta yang merupakan gabungan dari kata “satya” dan “agraha”. “Satya” sendiri berasal dari kata “sat-ya” yang berarti “ke-benar-an”. Sementara “agraha” berasal dari kata “grah” yang berarti menangkap, mencengkeram, memegang, bergulat dengan, berpegang teguh pada. Satyagraha, “berpegang teguh pada kebenaran” juga bisa diterjemahkan menjadi “kekuatan kebenaran” (truth force).17 “Sat”dalam kamus Sanskerta adalah kata kerja kekinian yang berasal dari kata as,”menjadi, ada, hidup”; as berarti “dimiliki oleh, menjadi milik dari, menjadi bagian dari”; juga “terjadi pada atau menimpa seseorang, bangkit, 16 17
Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 47 Wahana Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi (Yogyakarta: Kanisius, 1986), h. 49.
57
muncul, terjadi”; “tinggal, menempati, berada; menjalin hubungan khusus, dipengaruhi”. Karena itu, sat, kata kerja kekinian, secara literal berarti “ada, berada, hidup”; juga “benar, suci, mulia, berharga; yang patut dimuliakan, yang patut dihormati; berpengetahuan, bijak”. Sat juga berarti “benar, tepat, terbaik, dan sempurna”, serta “tampan, cantik”. Kalau dipakai sebagai kata benda laki-laki, sat bermakna “seorang laki-laki yang baik atau benar, seorang guru”; sebagai kata benda netral, “apa yang benar-benar ada, entitas, keberadaan, esensi, realitas, kebenaran yang benar-benar eksisten; Kebaikan”; dan “Brahman, Kekuasaan Suci, Diri Puncak”.18 Gandhi pertama kali menggunakan istilah satyagraha setelah meminta masukan-masukan melalui Indian Opinion untuk menamakan metode baru melawan ketidakadilan dan ketidakbenaran yang diperjuangkannya. Akhirnya dia menerima satu kata yang sangat disukainya dari sepupunya, Maganlal Gandhi, kata majemuk Sanskerta, “satya” yang berarti “kebenaran” dan “agraha” yang berarti “berpegang teguh pada.”19 Secara harfiah satyagraha berarti juga suatu perjuangan dari, oleh, dan untuk kebenaran; pencarian kebenaran dengan tidak kenal lelah dan suatu ketepatan hati untuk mencapai kebenaran. Satyagraha berarti melawan ketidakbenaran dengan cara-cara yang penuh kebenaran. Orang harus memegang teguh kepada kebenaran sekalipun pada saat-saat
yang
membahayakan. Kejahatan harus dilawan bukan dengan kejahatan, melainkan dengan kebaikan.
18 19
Heinrich Zimmer, Sejarah Filsafat India, h. 163-164. Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi, h. 93.
58
Sebagai suatu prinsip, satyagraha telah dianut ratusan tahun sebelum istilah
itu digunakan Gandhi sebagai
metode perjuangan
melawan
ketidakadilan dan ketidakbenaran. Satyagraha seringkali juga diungkapkan ke dalam bahasa Inggris sebagai passive resistance (perlawanan pasif) sehingga bagi orang Eropa, satyagraha serupa dengan senjata kaum lemah yang dicirikan rasa benci dan berakhir dengan tindakan anarkistis. Gandhi menolak definisi ini sebab satyagraha menurutnya adalah ungkapan perjuangan rakyat India.20 Menurut Gandhi, satyagraha merupakan gagasan tentang kekuatan yang bertumpu pada kekuatan jiwa (soul force). Dengan bertumpu pada kekuatan jiwa, satyagraha pada hakikatnya adalah senjata bagi orang jujur dan berpegang pada kebenaran. Untuk itu, seorang satyagrahi harus memahami ahimsa terlebih dahulu. Satyagraha tidak dapat ditawarkan secara massal kecuali rakyat telah mampu menangkap dan menaati ahimsa dalam batin, ucapan, dan tingkah laku.21 Akar satyagraha adalah di dalam doa. Seorang satyagrahi atau orang berpegang teguh kepada kerbenaran selalu mengandalkan Tuhan untuk perlindungannya terhadap kezaliman kekuatan kebinatangan. Akhir dari kampanye satyagraha bisa dianggap berhasil hanya ketika hal itu membuat para satyagrahi menjadi lebih kuat dan lebih bersemangat dari sebelumnya. Melepaskan jiwanya untuk apa yang dianggap benar adalah intisari dari satyagraha. Seni kematian bagi seorang satyagrahi berupa menghadapi maut
20
Mohandas Karamchand Gandhi, Mahatma Gandhi Sebuah Autobiograpi, Kisah tentang Eksperimen-Eksperimen Saya terhadap Kebenaran (Yogyakarta: Nasari, 2009), h. 461-462. 21 Agnes Sri Poerbasari, “Nasionalisme Humanistik Mahatma Gandhi”, dalam Ideologi dan Pemikiran Kebangsaan, h. 186.
59
dengan ceria dalam menunaikan tugas-kewajibannya. Satyagraha merupakan proses penyucian diri. Perjuangan ini adalah perjuangan suci. Perjuangan ini tampaknya merupakan hal yang paling tepat jika dimulai dengan sebuah tindakan penyucian diri. 22 Gandhi meluncurkan satyagraha berlandaskan pada prinsip-prinsip antikekerasan yang telah kita dibahas sebelumnya. Ahimsa dan satyagraha adalah dua istilah yang memang kerap melekat dalam pemikiran Gandhi dan sering dipertukarkan satu sama lainnya meski sebenarnya ada perbedaan. Ahimsa adalah falsafah pantang kekerasan yang Gandhi kembangkan, sedangkan satyagraha adalah gerakan moral dan sosial tanpa kekerasan yang diluncurkan Gandhi. Di sini menjadi jelas bahwa sebagai atribut dari ahimsa, satyagraha memiliki segi-segi batiniah seperti damai, kesederhanaan, kesantunan, dan hasrat berbuat baik terhadap lawan yang timbul dari hati sehingga gerakan satyagraha tidak jatuh menjadi tindak kekerasan. “Di dalam melaksanakan satyagraha saya dapat mengetahui pada taraf yang dini bahwa dalam mengejar kebenaran kita tidak boleh melakukan kekerasan terhadap lawan, melainkan kita harus berusaha menjauhkannya dari jalan yang sesat dengan cara sabar dan rasa simpati. Karena sesuatu yang dipandang benar oleh seseorang mungkin dipandang sebagai kekeliruan oleh orang lain. Dan kesabaran adalah kerelaan menderita sendiri. Karena itu, ajaran satyagraha akhirnya berarti mengunggulkan kebenaran, bukan membuat lawan kita menderita, melainkan membuat diri kita sendiri menderita.”23
Senjata para pelaku satyagraha adalah cinta-kasih dan keteguhan yang tak tergoyahkan yang bersumber darinya. Syarat-syarat yang diperlukan bagi
22
Mohandas Karamchand Gandhi, Mahatma Gandhi Sebuah Autobiograpi, Kisah tentang Eksperimen-Eksperimen Saya terhadap Kebenaran, h. 666. 23 Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 102.
60
keberhasilan satyagraha adalah (i) Sang satyagrahi harus tidak mempunyai rasa benci pada lawan, (ii) Urusannya harus yang benar dan penting, (iii) Sang satyagrahi harus bersedia menderita sampai akhir.24 Menurut Gandhi, satyagraha adalah proses pendidikan pendapat umum demikian rupa hingga mencakup semua unsur masyarakat, dan akhirnya akan menjadi sangat menarik. Latihan satyagraha dimaksudkan bagi semuanya, tidak tergantung pada umur atau jenis kelamin. Di sini bagian yang lebih penting daripada latihan adalah latihan mental, bukan jasmaniah sehingga tidak mungkin ada paksaan dalam latihan mental.25 Satyagraha sebagai strategi perjuangan yang ditawarkan Gandhi memiliki beberapa bentuk. Pertama, civil disobedience (ketidakpatuhan sipil); berarti melanggar hukum yang tidak adil. Ketidakpatuhan sipil ini membutuhkan keberanian. Hal ini umpamanya diterapkan Gandhi untuk menentang UndangUndang Garam pada 1930.26 Kedua, hartal (pemogokan massal), dengan syarat-syarat sebagai berikut (i) jangan pernah menggunakan kekerasan, (ii) jangan pernah menganiaya pekerja yang tetap bekerja sewaktu pekerja yang lain mogok, (iii) jangan bergantung pada sedekah, (iv) tetap teguh dan tangguh, tidak peduli berapa lama pemogokan berlangsung, dan untuk mendapatkan penghasilan selama masa pemogokan dari pekerjaan halal lainnya.27
24
Mohandas Karamchand Gandhi, Non-Violence in Peace and War, Volume II (Ahmedabad: Navajivan Publishing House, 1949), h. 60. 25 Ibid., h. 61. 26 Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi, h. 211-212. 27 Mohandas Karamchand Gandhi, Mahatma Gandhi Sebuah Autobiograpi, Kisah tentang Eksperimen-Eksperimen Saya terhadap Kebenaran, h. 620.
61
Ketiga, non-cooperation (menolak bekerja sama); berarti menolak mengambil bagian dalam sistem yang tidak adil. Gerakan ini lebih bersifat terbuka bagi umum yang dapat dilaksanakan oleh semua lapisan masyarakat. Non-cooperatian tidak ditujukan kepada perseorangan, tetapi pada sistem yang tidak adil. Tujuan perlawanan ini untuk meminta perubahan struktur yang menindas. Isi program pergerakan non-cooperation itu ialah (i) Menolak dan mengembalikan tanda-tanda kehormatan yang diterima dari pemerintah; (ii) Tidak menghadiri perayaan, upacara, dan pertemuan-pertemuan resmi pemerintah; (iii) Melarang anak-anak mengunjungi sekolah-sekolah yang mendapat sokongan dari pemerintah, sementara itu akan didirikan sekolahsekolah yang bersifat kebangsaan; (iv) Memboikot pengadilan oleh ahli-ahli hukum India dan orang yang terdakwa. Sebagai gantinya membentuk pengadilan-pengadilan damai yang memberikan putusan yang tidak dapat dibanding lagi; (v) Serdadu-serdadu, pekerja-pekerja, dan guru-guru agama harus menolak perjanjian untuk dipekerjakan di Mesopotamia (Irak); (vi) Calon-calon yang dikandidatkan untuk dewan-dewan dan orang-orang yang berhak memilih harus menarik diri dari pemilihan; (vii) Memboikot barangbarang dari luar negeri.28 Keempat, direct action (unjuk rasa) sebab satyagraha selalu lebih unggul dari perlawanan bersenjata. Hal ini hanya dapat efektif dibuktikan dengan demonstrasi, bukan dengan perdebatan.29 Kelima, jalan terakhir, adalah puasa sebagai pengendalian diri agar menghasilkan kewaspadaan dan sikap hormat kepada orang lain. Puasa tidak hanya membuat seseorang mengenali 28 29
T. S. G. Mulia, India: Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan, h. 211-212. Thomas Merton, Gandhi tentang Pantang Kekerasan, h. 43.
62
kecenderungan-kecenderungan batinnya sampai yang paling lembut sekalipun, tetapi juga dapat semakin memurnikan intensi-intensinya. Puasa dimaksudkan untuk menyadarkan orang-orang yang melakukan kesalahan.30 “Seorang satyagrahi hanya berpuasa jika hal itu merupakan jalan terakhir, bila semua cara mencari keadilan telah dijelajahinya dan telah gagal. Tidak ada peluang untuk meniru-niru puasa. Barangsiapa tidak memiliki kekuatan batin janganlah memimpikannya apalagi dengan embel-embel kemenangannya. Akan tetapi, sekali seorang satyagrahi telah melaksanakan puasa dengan keyakinan, maka dia harus berpegang teguh pada keputusannya terlepas dan apakah tindakannya itu ada harapan berbuah atau tidak. Barangsiapa berpuasa dengan mengharapkan berbuah umumnya gagal. Bahkan jika kelihatannya tidak gagal, ia kehilangan semua kebahagiaan batin yang dikandung puasa yang benar. Adalah keliru untuk berpuasa demi tujuan kepentingan sendiri, umpamanya kenaikan gaji sendiri. Dalam keadaan tertentu dapat diperbolehkan berpuasa untuk kenaikan upah atas nama golongan sendiri.”31 Dalam satyagraha, Gandhi telah menunjukkan kepada dunia satu bentuk baru dari penyelesaian konflik yang dapat diterapkan dalam konflik antarbangsa, antara minoritas yang tertindas dan pemerintah mereka, antarkelompok sosial, dan bahkan antarindividu. Ini adalah jalan yang sulit untuk diikuti, tapi merupakan satu-satunya jalan yang dapat menghasilkan pemecahan abadi. 3. Swadesi Secara kebahasaan swadeshi merupakan turunan dari kata berbahasa Sanskerta (Sanskrit) “sandhi”. Bisa juga dimaknai sebagai penggabungan dari dua kata Sansekerta. “Swa” yang berarti "diri" atau "mandiri" atau "sendiri" dan “desh” yang berarti "negara" atau “desa”. Bila digabungkan artinya
30
Mohandas Karamchand Gandhi, Mahatma Gandhi Sebuah Autobiograpi, Kisah tentang Eksperimen-Eksperimen Saya terhadap Kebenaran, h. 625-629. 31 Thomas Merton, Gandhi tentang Pantang Kekerasan, h. 91.
63
menjadi "desa mandiri". Sebagai kata sifat, swadeshi dapat berarti "dari negara sendiri".32 Pengertian swadesi adalah cinta Tanah Air sendiri, cara mengabdi kepada masyarakat yang sebaik-baiknya adalah mengabdi kepada lingkungannya sendiri lebih dulu. Gandhi secara jelas memberikan urutan swadesi ini yaitu pengabdian diri untuk keluarga, pengorbanan keluarga untuk desa, desa untuk negara, dan negara untuk kemanusiaan. Maksud Gandhi agar swadesi ditaati adalah untuk menciptakan ketenteraman dunia, sedangkan pengingkaran terhadapnya mengakibatkan kekacauan. Pelaksanaan swadesi ini antara lain sebisa-bisanya agar membeli segala keperluan dari dalam negeri dan tidak membeli barang-barang impor bila barang-barang tersebut dapat dibuat dalam negeri sendiri.33 Swadesi memiliki pengertian yang sangat dalam. Setiap manusia hidup di alam sekitarnya yang sudah ditentukan oleh alam. Ia tunduk kepada karmanya. Wujud itu tidak dapat diubah sehingga suatu bangsa tidak berhak untuk mencampuri atau menguasai sumber daya alam dan manusia bangsa lain. Setiap bangsa harus dengan seluas-luasnya mempergunakan kemungkinankemungkinan yang terkandung di alamnya sendiri untuk mencapai kesempurnaan.34 Gerakan dalam bentuk industri kecil yang melibatkan desa-desa ini menjamin kesejahteraan seutuhnya bagi manusia. Prinsip swadesi membuka wacana untuk melakukan sebuah gerakan cinta produk dalam negeri, tidak tergantung kepada barang-barang impor yang tidak terbendung masuk lewat 32
Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Swadesi I Ketat Wisarja, Gandhi dan Masyarakat Tanpa Kekerasan, h. 66-67. 34 T. S. G. Mulia, India: Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan, h. 200. 33
64
pelabuhan-pelabuhan. Mandiri dalam artian yakin akan kemampuan sendiri dan berani menolak invasi produk luar. Jika semua mengacu dan selalu bermuara kepada kepentingan bangsa, swadesi-swadesi lokal niscaya akan banyak bermunculan. Asumsi dasar Gandhi ketika bergerak melawan imperialisme ini adalah untuk menghidupkan dan menanamkan betapa pentingnya produk lokal untuk membangun ekonomi bangsanya, lewat sumber daya yang ada Gandhi berpikir tidak perlu masyarakat India harus mengimpor segala sesuatunya dari luar, mereka percaya dengan produknya sendiri. Dalam praktiknya gerakan swadesi langsung menyentuh sektor riil yaitu rakyat memulai dengan menanam kapas sendiri, memintal benang, dan menenun sendiri. Implikasinya adalah mereka sangat menghargai hasil karya sendiri, tidak mau membeli produk-produk bangsa asing. Rakyat terutama sekali anggota-anggota dari Indian National Conggress tidak diperbolehkan membeli barang-barang buatan bangsa asing.35 Gandhi menjadikan roda pintal menjadi simbol dalam gerakan ini. Kegiatan memintal benang merupakan aktivitas harian wajib di ashram. Aktivitas memintal benang merupakan sesuatu yang esensial dalam program konstruktif dalam ajaran Gandhi. Memintal, menurut Gandhi, dapat mengurangi tingkat kemiskinan India dan membuat kaum miskin mandiri secara ekonomi. Selain dari keuntungan ekonomi, Gandhi melihat aktivitas memintal benang sebagai cara yang efisien untuk mendisiplinkan massa yang merupakan esensi vital gerakan perlawanan sipil tanpa kekerasan. Melalui
35
Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi, h. 171.
65
aktivitas memintal, seseorang dapat berjam-jam berdiam diri, berdisiplin, menghadapi proses penciptaan selembar kain bagi pakaiannya. Kesabaran dan penghargaan pada proses akan mengantarkan seseorang pada kesadaran prinsip hidup tanpa kekerasan.36 Gandhi sendiri membawa perkakas ini ke mana pun pergi dan memakainya di mana ada kesempatan. Sebagai penghormatan besar terhadap gerakan ekonomi swadesi Gandhi gambar roda pemintal tertera pada bendera kebangsaan India yang mulai berkibar dengan resmi pada 15 Agustus 1947. Di masa Gandhi gerakan swadeshi makin mendapatkan ruhnya ketika ia mendefinisikannya sebagai "panggilan bagi konsumen untuk waspada terhadap bahaya yang ditimbulkan dari mendukung industri mereka (asing atau penjajah) yang menghasilkan kemiskinan dan berbahaya bagi para pekerja dan manusia serta makhluk-makhluk lain."37 Menurut Gandhi, konsep swadesi erat kaitannya dengan semangat swaraj sebagai cita-cita bersama seluruh warga India, bahkan seluruh manusia. Dalam bahasa sederhana, Gandhi mengartikannya sebagai “menggunakan apa yang dihasilkan oleh negeri sendiri”. Konsep swadesi mengarah pada swaraj dalam arti pemerintah oleh negeri sendiri (self-rule) yang senyatanya bertumpu pada kekuatan sendiri (self-reliance). Gandhi menuliskan “Satu negara yang rakyatnya tidak mampu memenuhi sendiri kebutuhan-kebutuhan sandang dan pangannya tidak akan bisa menikmati swaraj yang sesungguhnya.”38 “Tidak mungkin seseorang menganut paham internasionalisme, tanpa menganut paham nasionalisme. Internasionalisme baru akan 36
Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 48-50. Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Swadesi 38 Francis Alappatt, Mahatma Gandhi: Prinsip Hidup, Pemikiran Politik, dan Konsep Ekonomi (Bandung: Nusamedia-Nuansa, 2005), h. 112. 37
66
terlaksana bila nasionalisme telah menjadi nyata. Tegasnya bila bangsabangsa di berbagai negara telah menata diri masing-masing sehingga mereka mampu bertindak sebagai kesatuan. Yang jahat bukalah nasionalisme, melainkan kepicikan, egoisme, dan sikap eksklusivistis yang merupakan sikap negatif dari bangsa-bangsa dewasa ini, masing-masing ingin mencari keuntungan dengan merugikan bangsa lain, mengejar kejayaan dengan meruntuhkan bangsa lain.”39 Gandhi khawatir, kecenderungan atas kemajuan material yang tidak terbatas dapat menjadi rintangan bagi pencapaian kemajuan kemanusiaan, khususnya kemajuan moralitas. Dia berkeyakinan bahwa dalam kehidupan manusia, pertumbuhan dan perkembangan aspek material dan nonmaterial harus berjalan seimbang dan harmonis. Menurut Gandhi, hanya pertumbuhan yang mencakup aspek spiritual dan material inilah yang benar-benar bernilai bagi manusia. Gandhi mempunyai komitmen tinggi terhadap model perencanaan ekonomi yang mencakup proses pencapaian pertumbuhan material dan kemakmuran, sekaligus peningkatan aspek spiritual, sedemikian rupa sehingga pada akhirnya bisa mewujudkan kesejahteraan seutuhnya (integral) bagi manusia, baik secara individual maupun masyarakat secara keseluruhan. “Dengan gembira saya akan menyambut setiap penyempurnaan terhadap alat-alat kerajinan tangan. Namun saya sadar bahwa adalah suatu perbuatan jahat jika kita menggantikan pekerjaan tangan dengan memperkenalkan alat pemintal yang digerakkan oleh mesin; kecuali bila pada saat yang sama kita sanggup menyediakan kesempatan kerja bagi berjuta-juta kaum petani untuk dilakukan di rumahnya masing-masing.”40 Pemikiran Gandhi tentang ekonomi memberikan posisi sentral bukan pada kekayaan, melainkan pada manusia. Manusia sebagai makhluk yang memiliki martabat dan kebebasan harus mendapatkan tempat yang selayaknya, apa pun harga yang mesti dilakukan. Memberikan pertimbangan tertinggi untuk 39 40
Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 139. Ibid., h. 147.
67
manusia dan berjuang demi kebaikan terbesar untuk semuanya, termasuk dalam bidang ekonomi, adalah prinsip yang dimaksudkan Gandhi sebagai konstruksi ekonomi yang didasarkan pada prinsip antikekerasan. Dalam ranah ekonomi, eksploitasi adalah esensi dari kekerasan, dan di dalam eksploitasi tidak akan pernah ada ruang bagi pemerataan produksi dan pemerataan pemakmuran. Gandhi merumuskan prinsip-prinsip dan hukum ekonomi yang tepat dengan mengacu pada ajaran-ajaran yang disarikan dari kitab-kitab suci berbagai agama besar di dunia, bukan berpegang pada risalah atau teori-teori ekonomi dari para ahli. Penolakan terhadap motif ekonomi murni, yaitu motif mementingkan kepentingan sendiri, dan penegasan pertimbangan faktor kemanusiaan, dalam ranah ekonomi, menurut Gandhi akan melahirkan dua prinsip dasar. Pertama; semangat pelayanan dan pengorbanan harus menjadi bagian hidup seseorang dalam berinteraksi dengan sesama manusia dan seluruh masyarakat. Kedua; penyelenggaraan ekonomi harus didasarkan pada etika. Hal ini harus menjadi prinsip dasar apabila ilmu ekonomi benar-benar hak diterapkan untuk menyejahterakan manusia. Manusia tak bisa hidup dari motif ekonomi semata. Karena itu, tatanan ekonomi yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan yang layak dan manusiawi harus berpegang pada prinsip-prinsip kemanusiaan dan ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan manusia. Secara khusus Gandhi telah mengingatkan adanya sejumlah efek merusak yang ditimbulkan oleh ketidakmanusiaan sistem produksi modern dalam memperlakukan manusia. Cinta dan kasih sayang akan mendapatkan perwujudannya terutama melalui
68
hubungan inter-personal, sebuah hubungan di mana pribadi manusia merupakan tujuan utama dan sebuah relasi yang memberikan perhatian tulus terhadap manusia. Relasi semacam itu akan memberikan kekuatan yang sangat besar untuk memotivasi produktivitas. Gandhi juga menyadari akan keberadaan hukum ilahi bahwa manusia harus mendapatkan makanannya melalui bekerja dengan menggunakan tangannya sendiri. Prinsip tentang kerja mencari nafkah harus dikaitkan dengan sifat martabat dan kesetaraan manusia. Kehormatan manusia bisa dikaitkan dengan kehormatan kerjanya. Gandhi memandang bahwa ekonomi yang dilekati oleh karakter kerakusan dan
kecenderungan
untuk
melipatgandakan
keinginan-keinginan
dan
kebutuhan manusia dalam tingkatan yang tidak terbatas serta cenderung mengabaikan penegakan kekuatan dan prinsip-prinsip moral pasti tidak akan membawa manusia lebih dekat dengan kebahagiaan, kepuasan, dan kedamaian. Pertimbangannya adalah pelipatgandaan kebutuhan dan keinginan dalam tingkat yang tak terbatas sesungguhnya bukan merupakan ungkapan dari keinginan manusia untuk menjadi lebih baik dan lebih puas dalam pemenuhan kebutuhannya dan penciptaan keinginan yang tidak ada batasnya dan selalu berusaha memenuhi semua keinginan tersebut bukanlah satu proses yang mengarah kepada kemajuan manusia, tetapi justru membawa manusia ke jurang kehancuran. Kebanyakan kejahatan ekonomi di dunia ini muncul dari monopolisasi atas alat-alat produksi, melalui sistem yang sangat efisien dan sentralistis. Keberatan tersebut didasarkan pada keuntungan atau laba yang sifatnya
69
terbatas, konsentrasi produksi di beberapa wilayah menciptakan problem serius mengenai distribusi. Sentralisasi sebagai sebuah sistem tidak sesuai dengan struktur masyarakat yang didirikan di atas prinsip antikekerasan, sentralisasi tidak sesuai penegakan paham yaitu penerapan nilai pada pengendalian diri yang sesungguhnya dan ketidakpercayaan pada peradaban industri modern yang menciptakan efisiensi.41 Penolakan terhadap industrialisasi dalam skala besar merupakan salah satu metode yang sangat prinsipiil bagi kemajuan ekonomi suatu bangsa. Gandhi mengatakan bahwa desentralisasi ekonomi yang merupakan sistem yang mengedepankan aktivitas ekonomi utama harus dilakukan di seluruh wilayah pedesaan India. Dalam pandangannya, sistem desentralisasi ekonomi ini sejalan dengan semangat ahimsa dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.42 Ide-ide ekonomi Gandhi tidak ortodoks dan disalahpahami secara luas. Gandhi sama sekali tidak anti-industrialisasi, tapi ia menentang ekspansi ekonomi yang tidak terkendali. “Saya tidak pernah memikirkan, jangan lagi menganjurkan dihapuskannya kegiatan perindustrian yang wajar dan yang menyediakan nafkah, demi penggunaan alat pemintal. Satu-satunya dasar untuk penggunaan alat pemintal itu adalah kenyataan bahwa puluhan ribu penduduk mengalami pengangguran terselubung di India. Saya bersedia mendukung penggunaan alat mesin yang amat canggih bila bermanfaat menghilangkan kemiskinan serta pengangguran yang ditimbulkan olehnya di India.”43 Gandhi melihat dengan sangat jelas bahwa pemikiran ekonomi modern dalam pengejaran secara terburu-buru standar kehidupan material yang semakin tinggi telah melupakan nilai-nilai kemanusiaan yang mengandung
41
Ibid., h. 151. Ibid., h. 153. 43 Ibid., h. 148. 42
70
makna lebih banyak dari pada kemakmuran material. Kemakmuran material bisa menjadi halangan bagi pengejawantahan diri. Gandhi yakin, dan untuk alasan yang baik, bahwa manusia modern sedang menuju kepada kehancuran. Ia berusaha keras untuk meyakinkan kita untuk mempertimbangkan kembali kebijakan-kebijakan ekonomi kita. Ia percaya bahwa kecil itu indah dan bahwa para ahli ekonomi harus mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan. Kebijakan ekonomi harus menjamin bahwa tidak seorang pun di dunia ini kelaparan atau menjadi tunawisma.
B. Dimensi Teologis 1. Kebenaran Sejati Gandhi menyadari ada sesuatu kekuatan misterius yang tidak terlukiskan mengenai segala sesuatu. Dia mengaku merasakannya walaupun tidak dapat melihatnya. Kekuatan yang tidak tampak ini membuat dirinya dirasakan, tetapi tidak dapat dibuktikan karena begitu berbeda dengan apa yang diterimanya. Kekuatan ini melalui perasaan, tapi ia melebihi perasaan. Dengan begitu, Gandhi menyarankan barangkali sampai pada tingkat tertentu manusia memang perlu merenungkan eksistensi Tuhan secara mendalam.44 Merenungkan eksistensi Tuhan dalam terminologi Gandhi sama halnya dengan merenungkan eksistensi Kebenaran. Baginya, Kebenaran adalah unsur pertama yang harus dicari. Keindahan dan Kebaikan merupakan dua kebijaksanaan kemudian yang akan didapatkan. Itulah menurutnya yang diajarkan oleh Kristus dan Muhammad.45 44 45
Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 65. Ibid., h. 85.
71
Tetapi, pencarian akan kebenaran sesungguhnya sama dengan pencarian akan Tuhan. Menurutnya, Kebenaran adalah Tuhan. Tuhan ada karena Kebenaran ada. Gandhi mulai melakukan pencarian, karena dia percaya adanya Kebenaran. Hal ini dapat ditemukan dengan jalan melakukan pencarian yang tekun dan ketaatan yang teguh terhadap cara-cara ketentuan pencarian yang telah dikenal dan dicoba sebelumnya yakni ahimsa.46 Mendefinisikan Kebenaran yang telah dicoba Gandhi memang gampanggampang susah. Gandhi mengatakan bahwa Kebenaran adalah sesuatu yang dikatakan oleh suara yang ada di dalam diri manusia. Kalau begitu, kita mungkin bertanya, bagaimana orang yang berbeda-beda memikirkan tentang Kebenaran yang berbeda-beda serta saling bertentangan? Mengingat pikiran rnanusia itu berkembang dan perkembangan pikiran manusia tidak sama, apa yang dianggap benar oleh seseorang mungkin tidak benar bagi orang lain. Sementara itu, setiap orang juga mempunyai hak untuk menyuarakan hati nuraninya tanpa terikat pada peraturan apa pun. Tetapi, tidak seorang pun mempunyai hak untuk memaksa orang lain untuk berbuat pandangannya tentang
Kebenaran.
Satu-satunya
yang dapat
sesuai Gandhi
persembahkan kepada manusia dengan segala kerendahan hati adalah bahwa Kebenaran tidak akan ditemukan oleh seseorang yang tidak memiliki rasa rendah diri yang tebal sekali. Bila memang ingin berenang di gelanggang samudera kebenaran, menurutnya, manusia memang harus mengosongkan diri sampai pada titik nol. Gandhi menganjurkan, mereka yang telah mengadakan
46
Ibid., h. 83.
72
percobaan telah sampai pada kesimpulan bahwa kondisi-kondisi tertentu harus diamati selama mengadakan percobaan itu.47 Sebelum pada kesimpulan bahwa Kebenaran adalah Tuhan, Gandhi mencoba mendefinisikan bahwa Tuhan adalah Kebenaran. Menurutnya, Tuhan adalah Kebenaran dan kasih. Tuhan adalah etika dan moralitas. Tuhan adalah tidak menakutkan. Tuhan adalah sumber cahaya dan kehidupan, namun dia adalah melebihi semua ini. Tuhan adalah hati nurani, bahkan dia adalah ateismenya orang ateis. Dia melebihi kata-kata dan akal. Dia adalah Tuhan yang personal buat mereka yang merasa kehadirannya. Dia merupakan perwujudan bagi mereka yang memerlukan sentuhannya. Dia adalah intisari yang paling murni. Dialah Tuhan bagi mereka yang menaruh keyakinan. Dia adalah segalanya bagi semua makhluk. Dia ada di dalam diri kita, tetapi tetap dia ada di atas dan di luar kita. Dia sangat menderita. Dia penyabar, tapi juga menakutkan. Buat dia kebodohan bukanlah merupakan alasan. Tetapi, secara keseluruhan dia Maha Pengampun karena dia senantiasa memberi kesempatan kepada manusia untuk menunjukkan penyesalan. Dia adalah Demokrat Terbesar yang dikenal di seluruh dunia, karena dia membiarkan kita tak terkekang dan bebas menentukan pilihan antara yang jahat dan yang baik. Dia pun Tiran Terbesar yang pernah ada, karena dia seringkali menyingkirkan cangkir dari bibir kita dan seakan-akan atas kemauan sendiri. Kita tinggal menggunakan kesempatan yang terlalu kecil itu untuk menunjukkan bukti kepadanya. Karena itu, menurutnya, dalam agama Hindu ini semua disebut sebagai Tuhan yang aneh.48 47 48
Ibid., h. 83-84. Ibid., h. 67.
73
Secara samar-samar Gandhi mengaku merasakan bahwa segala sesuatu selalu berubah-ubah dan selalu mengalami kematian. Yang mendasari semua perubahan itu adalah sesuatu kekuatan hidup yang tidak berubah-ubah yang menyatukan semua itu yang menciptakan, memusnahkan, dan menciptakan kembali segala sesuatu. Kekuatan atau jiwa itu adalah Tuhan dan karena tidak ada barang lain yang saya lihat. Keyakinan yang kuat tidak tergoyahkan yang hidup adalah satu-satunya yang diperlukan untuk mencapai tingkat spiritual penuh yang dapat dijangkau oleh manusia. Tuhan sebenarnya tidaklah di luar urusan duniawi kita. Karena itu, bukti lahiriah tidak banyak gunanya, kalau memang ada gunanya, kita pasti gagal merasakannya melalui indera kita karena dia lebih dari itu. Kita dapat merasakannya jika kita menarik diri kita dari indera kita. Musik ilahi tampak hentinya akan mengalun dalam diri kita, tetapi perasaan kita yang gaduh akan menelan bunyi musik yang halus itu yang bunyinya tidak sama dan jauh lebih tinggi daripada apa pun yang dapat kita rasakan atau dengar dengan indera kita. Gandhi berusaha sungguh-sungguh untuk dapat menatap Tuhan dengan jalan memberikan pelayanan kepada umat manusia karena dia tahu bahwa Tuhan itu tidak ada di surga juga tidak ada di bawah, melainkan ada di dalam diri setiap orang.49 Tuhan itu bukan seorang pribadi. Tuhan adalah kekuatan. Dia adalah sari kehidupan. Dia suci dan kesadaran tanpa cela. Dia abadi, tetapi anehnya semua orang tidak akan dapat memetik manfaat dari atau berlindung di bawah kehadirannya yang meliputi segalanya. Kekuatan hidup yang kita
49
Ibid., h. 68.
74
sebut Tuhan, dengan cara yang sama dapat ditemukan jika kita tahu dan menuruti hukumnya untuk menemukan Dia dalam diri kita. Ada demikian banyak memang definisi mengenai Tuhan karena manifestasinya juga begitu banyak. Manifestasi ini telah membuat Gandhi heran, kagum, dan sesaat telah memesonanya. Tetapi, Gandhi mengatakan hanya mengagungkan Tuhan sebagai Kebenaran. Gandhi sepertinya menerima teori agama Jain tentang banyak sisi dari Kebenaran (anekantvada). Dari sini muncul keperluan bagi keterbukaan pikiran dan pencarian jiwa. Dalam keadaan kritis, Gandhi mempercayakan pada "suara-dalam" (inner-voice), yang ia percaya telah dihubungkan pada panggilan Kebenaran melalui praktik yang lama secara terus-menerus. Menurutnya, pengetahuan ilahi tidak dapat dipinjam dari buku-buku, tapi harus direalisasikan dalam diri kita. Buku memang merupakan suatu bantuan, tetapi seringkali dapat merupakan hambatan.50 Menurut pengertian yang benar-benar ilmiah, kata Gandhi, Tuhan memang merupakan dasar dari segala yang baik dan juga yang jahat. Dialah yang menggerakkan belati seorang pembunuh dan Dialah yang menggerakkan pisau seorang ahli bedah. Meski demikian, Gandhi mengakui tidak pernah menemukan makna ganda Tuhan dalam hubungannya dengan Kebenaran sebab kaum ateis pun tidak berkeberatan mengenai perlu adanya kekuatan dari Kebenaran. Untuk menemukan Kebenaran, para ateis tidak merasa ragu untuk membantah adanya Tuhan, sesuatu yang hanya wajar dilihat dari segi pandangan mereka. Gandhi menyadari bahwa banyak orang meragukan keberadaan Tuhan,
50
Ibid., h. 70.
75
sementara Gandhi menilai tidak seorang pun dapat menyangkal nilai-nilai dasar dari tindakan etis Kebenaran. Karena secara epistemologi (cabang filsafat ilmu) Kebenaran tampaknya lebih pasti daripada Tuhan, Gandhi mengubah posisi dasarnya dari Tuhan adalah Kebenaran menjadi Kebenaran adalah Tuhan. Namun, Gandhi mengakui ada kesulitan besar, yaitu bahwa jutaan orang menyebutkan nama Tuhan dan atas namanya melakukan berbagai kekejaman demi Kebenaran. Ini tidak berarti bahwa para ilmuwan juga tidak melakukan kekejaman dengan mengatasnamakan Kebenaran. Dengan demikian, menurut Gandhi, sarana satu-satunya yang harus digunakan ialah antikekerasan (ahimsa) jika manusia ingin menemukan Kebenaran dan Tuhan. Kebenaran secara sangat baik dilayani oleh cinta. Bila tindakan seseorang didorong oleh cinta kepada semua makhluk di alam semesta, tindakan-tindakan itu akan sangat menunjang bagi kebaikan tertinggi. Dengan demikian, cinta adalah kebajikan utama. Kebenaran adalah kebaikan tertinggi. Karena manusia adalah makhluk yang dapat salah, mereka tidak yakin untuk mengetahui Kebenaran Sejati. Definisi Kebenaran tersimpan di relung hati setiap manusia. Kebenaran adalah sesuatu yang kita percaya adalah benar pada saat ini dan itulah Tuhan kita. Bila seseorang mengagumi kebenaran relatif ini, pasti akan memperoleh Kebenaran Sejati atau Tuhan pada waktunya nanti. Gandhi juga mengaku merasa belum menemukannya, tetapi tetap berusaha mencarinya. Dia bersedia mengorbankan hal-hal yang paling dicintainya untuk melakukan pencarian ini bahkan bila pengorbanan itu menuntut jiwanya sekalipun Gandhi berharap bahwa dia dapat memberikannya. Tetapi, selama
76
belum dapat menyadari Kebenaran Sejati ini, selama itu pula Gandhi mengakui berpegang pada kebenaran relatif sebagaimana dia pahami ini. Konseptor negara India ini menyatakan sungguh bukanlah seorang negarawan yang mengenakan pakaian orang suci. Tetapi karena Kebenaran adalah kearifan yang paling tinggi, kadang-kadang tindakannya tampak seakan-akan konsisten dengan kenegarawanan yang paling tinggi. Namun, Gandhi berharap tidak memiliki kebijakan dalam diri kecuali kebijakan dari Kebenaran dan ahimsa. Dia bahkan tidak akan mengorbankan Kebenaran dan ahimsa untuk pembebasan negara atau agamanya sekalipun. Itu semua dengan mengatakan bahwa kedua hal itu memang tidak dapat dikorbankan. Menurut Gandhi, Kebenaran adalah penggambaran tepat tentang Tuhan. Maka tidaklah keliru apabila setiap orang mengikuti Kebenaran menurut petunjuk dan cahaya yang mereka miliki. Kewajiban setiap orang adalah bahkan mencari petunjuk tentang Kebenaran. Kemudian apabila dalam perjalanan mencari dan mengikuti Kebenaran itu seseorang melakukan kekeliruan tetapi ia tetap bersungguh-sungguh dengan Kebenaran, secara otomatis dia akan mengoreksi dirinya. Gandhi akhirnya mengatakan dia hanyalah seorang pencari kebenaran. Gandhi telah mulai menemukan jalan untuk mendekatinya. Dia juga telah berusaha tanpa henti untuk menemukannya. Menurutnya, menemukan Kebenaran sepenuhnya sama dengan menemukan diri sendiri dan tujuan hidupnya adalah untuk mencapai kesempurnaan. Dengan sedih Gandhi juga
77
menyadari ketidaksempurnaannya, tapi justru di sana terletak kekuatan yang dia miliki, karena jarang orang memahami keterbatasannya sendiri.51 2. Agama Kemanusiaan Agama yang dimaksud Gandhi bukanlah agama Hindu, melainkan agama yang melebihi Hindu, yang dapat mengubah watak seseorang dan yang mengikat seseorang secara mutlak pada Kebenaran dalam dirinya dan yang sifatnya menyucikan. Agama yang merupakan unsur permanen dalam watak manusia yang tidak memperhitungkan berapa pun harganya untuk dapat mengungkapkannya sepenuh-penuhnya serta membuat jiwa sangat gelisah sampai dapat menemukan dirinya, mengenal Penciptanya, dan menghargai hubungan yang sebenarnya antara Sang Pencipta dan dirinya sendiri.52 Agama ini meliputi setiap perbuatan kita. Di sini agama bukan berarti sekterianisme atau yang terkungkung pada satu aliran saja. Namun, suatu peraturan moral yang tertib untuk seluruh dunia. Agama adalah sesuatu yang tidak kurang nyata karena memang tidak dapat dilihat. Agama seperti ini melebihi agama-agama Hindu, Islam, Kristen, dan sebagainya, tetapi tidak menggantikan agama-agama itu, malah berjalan serasi serta membuat agamaagama itu lebih realistis.53 Agama yang dipahami Gandhi bukan agama yang terpenjara. Paling tidak ia memberi tempat bagi makhluk Tuhan. Sifatnya tahan terhadap keangkaraan dan keangkuhan suku, agama, dan warna kulit. Gandhi tidak sependapat dengan mereka yang percaya bahwa kelak hanya akan ada satu agama di muka
51
Ibid., h. 85. Ibid., h. 65. 53 Ibid., h. 69. 52
78
bumi ini. Oleh sebab itu, dia tetap berusaha untuk menemukan sebuah faktor bersama dan untuk membangkitkan toleransi secara timbal balik. Gandhi memaknai agama bukan secara formal atau secara adat, melainkan sesuatu yang mendasari semua agama, yang akan membawa kita bertemu muka dengan Sang Pencipta. “Saya belum pernah melihat-Nya, begitu juga saya tidak mengenalNya. Saya telah ikut menerima keyakinan dunia akan Tuhan, dan karena keyakinan saya itu tidak tergoyahkan, saya memandang keyakinan itu menjadi pengalaman. Namun, karena dapat dikatakan bahwa melukiskan keyakinan sebagai suatu pengalaman sama dengan merusakkan Kebenaran, maka barangkali lebih tepat dikatakan bahwa saya tidak dapat memberi ciri kepada keyakinan saya kepada Tuhan.”54 Setiap agama mungkin masih memerlukan simbol khusus. Namun, jika simbol lalu dibuat menjadi semacam jimat yang dipuja-puja atau menjadi alat untuk menunjukkan kehebatan agama yang satu terhadap yang lain, atau pemujaan kepada agama melebihi pemujaan kepada Tuhannya, Gandhi menyarankan simbol itu hanya cocok untuk dibuang saja. Menurutnya, pangkal tolak semua agama adalah beriman kepada Tuhan.55 Agama itu ibarat jalan yang berbeda-beda, namun menuju ke titik yang sama. Dengan begitu, tentu tidaklah menjadi masalah apabila setiap orang menempuh jalan yang berbeda-beda selama masih memiliki tujuan yang sama. Menurut Gandhi, Tuhan telah menciptakan berbagai keyakinan yang berbedabeda sebagaimana Ia telah menyediakan penganutnya masing-masing. Dengan demikian, Gandhi menyatakan tidak mungkin secara diam-diam dia mempunyai pikiran bahwa keyakinan sesamanya kurang baik dibanding dengan keyakinan Gandhi sehingga berharap bahwa ia akan meninggalkan 54 55
Ibid., h. 65. Ibid., h. 70.
79
keyakinan atau agamanya itu untuk memeluk agama Gandhi. Dia justru hanya bisa berharap dan berdoa semoga setiap sahabat sejati yang setia hidup bahagia dan tumbuh matang dalam lindungan agamanya sendiri sebab di rumah Tuhan terdapat bagian rumah dan semua sama kudusnya. Sebagaimana halnya setiap manusia itu seharusnya saling menghargai seperti antara sanak saudara sendiri. Penghormatan Gandhi sendiri terhadap agama orang lain sama dengan terhadap agamanya sendiri. Oleh karena itu, tidak mungkin ada gagasan untuk berpindah agama. Setelah mempelajari lama dan seksama serta melalui pengalaman, Gandhi akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa (1) semua agama itu benar, (2) semua agama itu memiliki beberapa kesalahan di dalamnya, (3) semua agama itu bagi Gandhi sama berharganya sebagaimana agamanya sendiri yaitu Hindu.56 Gandhi percaya bahwa semua agama besar di dunia ini “sedikit banyak” benar. Dia mengatakan “sedikit banyak” karena percaya bahwa segala sesuatu yang telah disentuh oleh tangan manusia––karena fakta bahwa manusia adalah makhluk yang tidak sempurna—lalu menjadi tidak sempurna. Sempurna sesungguhnya memang satu sifat khusus yang dimiliki oleh Tuhan, dan keadaan itu tidak dapat dilukiskan dan tidak dapat diterjemahkan. Dia percaya betul bahwa setiap manusia dapat berusaha menjadi sempurna. Kita semua perlu mengejar kesempurnaan, tetapi apabila keadaan itu tercapai, lalu tidak dapat dilukiskan atau diceritakan oleh sebab itu, dengan segala kerendahan hati, Gandhi harus mengakui bahwa kitab-kitab Weda, Alquran, atau Injil pun semua merupakan sabda Tuhan yang tidak sempurna dan karena
56
Ibid., h. 69.
80
kita adalah makhluk yang tidak sempurna yang selalu diombang-ambingkan oleh hawa nafsu yang demikian banyak, maka tidak mungkin kita dapat memahami sabda Tuhan ini dengan sepenuhnya.57 Meski
begitu, Gandhi percaya kepada kebenaran fundamental yang
terdapat dalam semua agama besar di dunia. Dia percaya bahwa semuanya adalah perberian Tuhan dan Gandhi percaya bahwa agama-agama itu perlu untuk orang-orang memperoleh perwahyuan tersebut. Semua keyakinan merupakan ungkapan-ungkapan kebenaran, tetapi semuanya tidak sempurna, dan
sangat
besar
kemungkinan
mengandung
kesalahan.
Namun,
penghormatan kita terhadap keyakinan-keyakinan lain tidak usah membuat kita menutup mata terhadap kekeliruan mereka. Gandhi yakin bahwa semua agama besar di dunia benar dan merupakan perintah Tuhan. Agama itu ibarat satu pohon dengan banyak cabang. Melihat banyaknya cabang, kita dapat mengatakan, ada banyak agama, tetapi ibarat batangnya, agama itu hanya satu. Sekalipun sebuah pohon hanya mempunyai satu batang, tetapi ia mempunyai banyak cabang dan daun sehingga dapat diumpamakan sehingga dapat diumpamakan hanya ada satu agama yang benar dan sempurna, tetapi kemudian tumbuh menjadi banyak pada waktu melalui perantara manusia. Agama yang satu ini sebenarnya di luar kemampuan kita untuk
membicarakannya.
menerjemahkannya
ke
Orang-orang
dalam
bahasa
yang
tidak
sebagaimana
sempurna mereka
ini
mampu
menyusunnya. Selanjutnya kata-kata mereka itu diberi penafsiran oleh orangorang lain yang sama tidak sempurnanya. Lalu penafsiran siapa yang dianggap
57
Ibid., h. 71.
81
benar? Setiap orang benar bila dilihat dari sudut pandangnya, tetapi tidak mungkin bahwa setiap orang keliru. Gandhi menolak setiap ajaran agama yang tidak sesuai dengan akal sehat dan bertentangan dengan asas moralitas.58 Namun, dia mengatakan dapat menoleransi perasaan keagamaan yang tidak masuk akal selama tidak bersifat asusila sebab begitu kita kehilangan dasar moralitas kita tidak lagi bersifat religius. Tidak mungkin agama mengesampingkan moralitas manusia misalnya tidak dapat bertindak jujur, kejam, suka marah, dan menyatakan diri paling diridai Tuhan. Kitab-kitab keagamaan menurutnya tidak lebih penting daripada akal sehat dan Kebenaran. Kitab-kitab itu dimaksudkan untuk menjernihkan akal dan menjelaskan
Kebenaran.
Kekeliruan
tidak
merupakan
pengecualian,
sungguhpun dapat ditunjang oleh kitab-kitab suci di dunia. Suatu kekeliruan tidak akan berubah menjadi Kebenaran karena alasan perambatan iman yang berlipat ganda, seperti juga Kebenaran tidak akan menjadi kekeliruan karena tidak ada yang menyaksikannya Kaidah moral yang tinggi adalah bahwa kita harus bekerja demi kebaikan umat manusia secara terus-menerus. Keinginan-keinginan dan alasan bertindak kita dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok egois atau mementingkan diri sendiri dan kelompok tidak mementingkan diri sendiri. Semua keinginan yang mementingkan diri sendiri adalah tidak bermoral, sementara keinginan untuk memperbaiki diri sendiri dengan maksud berbuat baik bagi sesama manusia adalah benar-benar bermoral.
58
Ibid., h. 89.
82
Agama yang benar dan moralitas yang benar terjalin erat satu sama lain secara tidak terpisahkan. Bagi moralitas, agama ibarat air bagi benih yang disemaikan dalam tanah.59 Sesungguhnya tiada agama yang lebih tinggi daripada Kebenaran dan Keadilan. Keyakinan yang hidup ini telah memecahkan banyak persoalan kehidupan. Keyakinan ini telah ikut meringankan penderitaan kita. Keyakinan ini telah membuat kita bertahan dalam kehidupan dan satu-satunya pelipur kita dalam menghadapi kematian. Pencarian terhadap Kebenaran yang sebenarnya menjadi menarik dan bermanfaat karena keyakinan ini. Tetapi sesungguhnya, mencari Kebenaran sama dengan mencari Tuhan. Kebenaran adalah tuhan. Tuhan ada karena Kebenaran ada. Untuk dapat melihat semangat Kebenaran yang universal dan mencakup segalanya itu, seseorang harus mampu menyayangi ciptaan paling buruk sebagaimana dirinya sendiri.60 Dan orang yang beraspirasi demikian tidak akan mampu menghindari setiap bidang kehidupan. Inilah sebabnya mengapa kecintaan Gandhi terhadap Kebenaran telah membawanya masuk ke bidang politik. Dia bahkan dapat mengatakan tanpa ragu sedikit pun, tetapi tetap dengan segala kerendahan hati, mereka yang menyatakan bahwa agama tidak ada hubungannya dengan politik tentunya tidak tahu apakah sebenarnya agama itu. Gandhi mengaku tidak akan dapat menjalani suatu kehidupan beragama kecuali jika dapat mengidentifikasi diri dengan seluruh umat manusia, dan ini tidak dapat dilakukan jika ia tidak ikut ambil bagian dalam kegiatan politik. 59 60
Ibid., h. 88. Ibid., h. 67.
83
Seluruh aktivitas orang dewasa ini merupakan satu keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi. “Andaikata saya seorang diktator, agama dan negara tentunya terpisah. Saya bersumpah atas nama agama saya. Saya ingin mati untuk agama. Tetapi, itu adalah urusan pribadi saya. Tidak ada kaitannya dengan negara. Negara akan mengurus kesejahteraan sekuler, kesehatan, perhubungan, hubungan luar negeri, mata uang, dan sebagainya, tetapi tidak mengurus agama saya atau agama anda. Agama adalah urusan setiap orang secara pribadi.”61 Tanpa agama Gandhi mengaku tidak akan dapat hidup walaupun untuk sedetik pun sebab kegiatan politik dan kegiatan lain Gandhi memang selalu berasal dari agamanya. Lebih lagi dia menyatakan bahwa setiap aktivitas orang yang beragama harus berasal dari agamanya, karena memeluk agama berarti terikat kepada Tuhan, atau boleh dikatakan Tuhan memang mengatur setiap tarikan nafas kita. Gandhi tidak membayangkan agama sebagai salah satu di antara aktivitas umat manusia. Aktivitas yang sama mungkin saja dilakukan dengan semangat keagamaan atau semangat nonkeagamaan. Maka baginya, tidak akan mungkin misalnya meninggalkan dunia politik karena agama sebab setiap tindakan, sampai yang kecil sekalipun, ditentukan oleh apa yang dia anggap sebagai agamanya. Tujuan akhir manusia adalah mencapai Tuhan dan aktivitasnya baik di bidang politik maupun sosial harus dibimbing oleh tujuan akhir ini. Pelayanan langsung terhadap semua umat manusia menjadi bagian penting dari upaya ini, hanya karena satu-satunya jalan untuk menemukan Tuhan adalah melihatNya melalui ciptaan-Nya dan menjadi satu dengannya. Ini hanya dapat
61
Ibid., h. 92.
84
dilakukan melalui pelayanan kepada semua orang.62 Gandhi berusaha sungguh-sungguh untuk dapat menatap Tuhan dengan jalan memberikan pelayanan kepada umat manusia karena tahu bahwa Tuhan itu tidak ada di surga juga tidak ada di bawah, tetapi ada di dalam diri setiap orang. 3. Surga Dunia Surga tentunya masih menjadi impian bagi semua orang, terutama bagi orang-orang yang beragama, karena tempatnya bukan di bumi yang kita hidupi saat ini. Namun, mereka tentunya tidak menginginkan apa yang telah dilakukannya di dunia sia-sia begitu saja tanpa ada balasan yang setimpal (pahala). Keyakinan ini jualah yang telah memotivasi mereka untuk berlombalomba berbuat kebajikan. Orang-orang yang berbuat kebajikanlah yang akan mendapatkan balasannya di surga, sedangkan neraka diperuntukkan bagi mereka yang berbuat dosa. Surga yang diyakini orang yang beragama ini umumnya merupakan suatu puncak kebahagiaan dan kenikmatan yang tidak mudah untuk dilukiskan dan digambarkan. Dari keseluruhan pemikiran Gandhi memang kita tidak akan menemukan konsep dunia dan akhirat ataupun surga dan neraka secara khusus dan eksplisit. Namun, tidak ada salahnya jika penulis mencoba menggali gagasan ini dari data-data yang sudah dikumpulkan sebelumnya. Langkah pertama adalah menegaskan dan mengingatkan kembali bahwa Gandhi juga seorang agamawan yang taat dan tekun meski konsep dan prilaku keagamaannya tidaklah kaku. Sebagai seorang yang beragama Hindu yang taat, Gandhi tentu percaya bahwa surga itu ada.
62
Ibid., h. 72.
85
Menurut agama Hindu, yang dijelaskan oleh Raimon Panikkar, di atas dunia dan di atas antariksa yang terbuka, ada “dunia ketiga”. Dunia yang penuh dengan cahaya dan sinar. Matahari tak pernah tenggelam. Kata “svarga” sendiri berasal dari suku kata “svar” dan “ga”. “Svar” artinya cahaya, dan “ga” artinya perjalanan. Dengan demikian, surga pada mulanya berarti perjalanan ke dunia cahaya atau menjadi satu dengan cahaya. Dan cahaya di dunia yang namanya surga tak pernah sedikit pun mengalami padam atau kegelapan. Di dalam surga ada “swargaloka”, yaitu tempat para makhluk yang bercahaya seperti dewa, maharesi, dan orang-orang suci yang telah mencapai keabadian. Meskipun di dalamnya penuh dengan kenikmatan dan kebahagiaan, tetapi surga tetap sebuah dunia. Jelas sudah di surga terdapat “loka”, tempat tinggal. Ada tempat bagi para dewa. Ada tempat bagi para maharesi yang moksa. Pun ada tempat bagi para jiwa orang-orang suci atau penuh kebajikan prilakunya.63 “Surga adalah bagian dari tiga dunia (triloka) dalam agama Hindu. Surga adalah dunia atas. Tetapi, tetap sebagai dunia. Bukan tempat tujuan akhir. Bukan pemberhentian yang terakhir. Ia hanyalah stasiun menuju alam spiritual sejati. Memang, di surga digambarkan tidak ada kematian lagi. Tempat istirahat yang nyaman serta abadi. Tak ada duka dan derita di surga. Tetapi, sekali lagi, ia hanyalah tempat sementara untuk melanjutkan perjalanan kepada-Nya.”64 Dalam kepercayaan agama Hindu, surga hanyalah sasaran antara untuk dapat melanjutkan perjalanan spiritual manusia. Perjalanan akhir spiritual manusia adalah bersatunya “atman” dan “Brahman”. Menyatunya jiwa individu ke Jiwa Universal. Sebuah perjalanan spiritual yang bisa ditempuh
63
Ahmad Chodjim, Membangun Surga; Bagaimana Hidup Damai di Bumi agar Damai Pula di Akhirat, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004), h. 12. 64 Ibid., h. 13.
86
ketika manusia masih hidup di dunia. Bila perjalanan spiritualnya sempurna, maka ia akan mengalami moksa setelah kematian menjemputnya. Atau, bila ia tidak dilahirkan kembali, maka perjalanan spiritualnya dilanjutkan setelah kematiannya.65 Istilah “svarga” juga diserap ke dalam bahasa Jawa menjadi “swagra”. Menurut kamus Bahasa Jawa yang disusun oleh Balai Pustaka Yogyakarta, surga merupakan alam kenikmatan tempanya para sukma orang-orang yang hidupnya penuh dengan kebajikan. Surga juga tempat para dewa. Karena itu, juga disebut khayangan. Dalam pengertian semula, surga itu adanya ya sekarang ini. Tidak menunggu hancur leburnya alam semesta. Sekarang ini para dewa bertempat tinggal di surga. Para sukma orang-orang yang berprilaku penuh dengan kebajikan ada di surga.66 Terlepas dari apakah Gandhi menyetujui konsep surga yang disebutkan di atas ataupun malah tidak, ia sepertinya lebih menyetujui bahwa jalan ataupun cara menentukan segalanya karena apa pun yang akan dituju, dicapai, dan dihasilkan oleh manusia akan sesuai dengan apa yang dia diperbuat, diusahakan, dan diperjuangkannya. Inilah yang dalam agama Hindu disebut dengan karma. Suatu perbuatan dan buah atau balasan dari perbuatan akan setimpal. Karena hanya percaya pada satu jalan atau cara yakni ahimsa, Gandhi akan menerapkannya pada semua tujuannya baik moksa, Tuhan, kemerdekaan India, Kebenaran, realisasi jiwa, Keadilan, ataupun surga. Dan seperti sudah kita ketahui sebelumnya bahwa jalan dan tujuan inilah yang kadang-kadang 65 66
Ibid., h. 14. Ibid., h. 13.
87
oleh Gandhi dipertukarkan satu sama lainnya. Jalan adalah tujuan dan tujuan adalah jalan. Maka itu, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa surga yang dipahami Gandhi juga adalah suatu waktu, tempat, dan keadaan yang terbebas dari kekerasan (ahimsa) dan surga ini bersifat profan (duniawi). Gandhi bahkan mengatakan, apabila praktik ahimsa menjadi universal, Tuhan akan memerintah di dunia seperti yang dilakukannya di surga. 67 Dengan demikian, Gandhi di sini sesungguhnya ingin menyatakan bahwa surga tidaklah melulu bersifat adiduniawi dan tidak berlaku bagi para penduduk bumi yang masih hidup. Baginya, surga yang diimpi-impikan oleh sebagian umat manusia itu bisa dirasakan dan direalisasikan kalau mereka berpegang teguh pada Kebenaran dengan jalan ahimsa secara universal. Artinya, ahimsa harus menjadi suatu prinsip dan hukum yang mendasari kesatuan seluruh kehidupan. Manusia juga harus memegang teguh kepada kebenaran (satyagraha) baik di dunia sosial maupun politik sekalipun pada saat-saat yang membahayakan. Setiap orang harus dengan seluas-luasnya mempergunakan kemungkinan-kemungkinan yang terkandung di alam sekitarnya sendiri untuk mencapai kesempurnaan tanpa mencampuri atau menguasai sumber daya alam dan manusia orang lain demi kepentingan ekonomi semata (swadesi). Menjadikan ahimsa sebagai jalan hidup untuk merealisasikan kebenaran. Menjadi pribadi yang berjiwa agung dengan menghidupi ajaran ahimsa bukan untuk merebut kekuasaan, melainkan untuk mengubah hubungan-hubungan yang tidak adil agar tercipta keseimbangan hidup bermasyarakat. Pencarian akan kebenaran sesungguhnya sama dengan
67
Thomas Merton, Gandhi tentang Pantang Kekerasan, h. 37
88
pencarian akan Tuhan. Kebenaran adalah Tuhan. Tuhan ada karena Kebenaran ada. Tujuan akhir manusia adalah mencapai Tuhan dan seluruh aktivitasnya harus dibimbing oleh tujuan ini. Ini hanya dapat dilakukan melalui pelayanan kepada semua orang. Semangat antikekerasan lahir dari suatu kesadaran batin tentang kesatuan spiritual di dalam dirinya. Keseluruhan konsep Gandhi tentang antikekerasan tidak akan dapat dipahami apabila hanya dipikirkan sebagai suatu cara untuk mencapai persatuan serta bukan sebagai buah persatuan jiwa yang telah tercapai sebelumnya. Kehidupan spiritual seseorang adalah tidak lain daripada kehidupan semua orang yang dimanifestasikan ke dalam dirinya. Ketika setiap orang sudah dapat mengatur dan memerintah secara personal dirinya sendiri dengan bimbingan Kebenaran, maka aturan dan pemerintahan sosial mungkin tidak diperlukan lagi. Keadaan-keadaan itulah yang diharapkan Gandhi sehingga surga dunia memang nyata. Gandhi adalah orang pertama dalam sejarah manusia yang memperluas prinsip antikekerasan dari tingkat perorangan (personal) ke tingkat sosial dan politik (struktural) sehingga lebih bersifat universal. “Beberapa teman mengatakan kepada saya bahwa kebenaran dan antikekerasan tidak mempunyai tempat dalam politik dan urusan duniawi. Saya tidak menyetujuinya. Saya tidak memerlukannya hanya sebagai alat untuk kebahagiaan perorangan. Memperkenalkan dan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari sudah lama merupakan upaya saya.”68
Dalam konteks pemikiran Gandhi ini, surga di sini bisa dipahami sebagai wujud kebahagiaan personal juga sosial ataupun parsial juga universal. Kebahagiaan personal bisa berupa tercapainya Kebenaran di dalam diri setiap
68
Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 103
89
manusia, sementara kebahagiaan sosial bisa berupa tercapainya Keadilan bagi seluruh umat manusia. Kebahagiaan sosial atau universal tidak akan tercapai jika kebahagiaan personal dan parsial belum dicapai atau didapatkan. Apabila itu terjadi, surga dunia hanyalah angan-angan belaka.
C. Dimensi Politis 1. Jalan Hidup Jalan dan tujuan adalah dua istilah yang dalam kerangka pemikiran Gandhi dapat dipertukarkan satu sama lainnya. Jalan kadang-kadang menjadi tujuan dan tujuan kadang-kadang menjadi jalan.69 Pemikiran yang cukup paradoks ini dalam kerangka filsafat Timur tidaklah mengherankan. Gandhi justru ingin menegaskan bahwa gagasannya mengani jalan dan tujuan ini bagian dari warisan ajaran filsafat Timur yang perlu tetap dipelihara. Dalam pandangan Gandhi, jika kebenaran menjadi tujuan hidup manusia, maka ahimsa adalah jalan untuk merealisasikannya. Sebaliknya, manusia akan menjadi sia-sia menerapkan ahimsa dalam kesehariannya jika tidak dilandasi dengan berpegang teguh pada kebenaran sejati. Gandhi tidak pernah mengamini bahwa jalan pada akhirnya hanya sekadar jalan. Dia justru meyakini bahwa jalan ataupun cara menentukan segalanya karena asumsinya bahwa apa pun yang akan dicapai dan dihasilkan oleh seorang manusia akan sesuai dengan apa yang dia usahakan dan perjuangkan. Dengan begitu, apa pun yang diperbuat dan diperjuangkan oleh manusia untuk capaian tertentu akan selalu memiliki konsekuensi logis meskipun dia menyadari Tuhan ada
69
Ibid., h. 95.
90
kalanya turut campur dalam menentukan hasil dari usaha manusia karena Tuhan jualah yang telah memberi kita kemampuan untuk menentukan jalan mana yang akan kita tempuh. Menurut Gandhi, tidak ada dinding pemisah antara jalan dan tujuan. Ahimsa dan kebenaran terjalin begitu erat satu sama lainnya sehingga praktis tidak mungkin melepaskan satu dari yang lainnya dan memisahkannya. Gandhi mengibaratkan ahimsa dan kebenaran seperti dua sisi dari satu mata uang logam atau piring hitam metalik yang mulus dan tidak bermerek. Tidak akan sampai pengetahuan kita untuk menentukan mana bagian depannya dan mana bagian belakangnya. Namun, Gandhi kembali menegaskan bahwa ahimsa merupakan jalan yang dia amalkan selama hidupnya dan kebenaran adalah tujuan hidupnya. Gandhi tegas menyatakan suatu kekeliruan yang besar jika ada orang yang mempercayai bahwa tidak ada hubungan antara jalan dan tujuan. Karena kekeliruan itu, Gandhi mengakui banyak orang yang dianggap religius pun sampai dapat melakukan tindak kejahatan yang sangat memprihatinkan. Cara berpikir bahwa tidak ada hubungan antara jalan dan tujuan dilukiskan Gandhi sama dengan mengatakan bahwa kita mengharapkan tumbuhnya kembang mawar dengan jalan menanam bibit tanaman beracun. Dengan begitu, tujuan yang baik dan mulia harus dilandasi dengan jalan yang baik dan tidak tercela pula. “Saya tidak mungkin berhasil menyembah Tuhan dengan baik melalui jalan yang membuat diri tidak berdaya terhadap godaan setan. Oleh karena itu, jika ada orang yang berkata, ”Aku ingin menyembah Tuhan. Tidak peduli apakah aku berbuat demikian dengan menggunakan setan.” Maka tentu itu adalah kebodohan yang tidak ada tandingannya.
91
Kita akan memungut hasil panen sesuai dengan apa yang kita tanam sebelumnya.”70 Konsep ketakterpisahan antara jalan dan tujuan Gandhi ini jika kita cermati mirip dengan konsep ketakterpisahan antara pengetahuan dan kepentingan dalam tradisi pemikiran Yunani purba. Pemisahan antara pengetahuan dan kepentingan manusiawi yang terwujud dalam pemisahan teori dan praxis, sebagaimana dianut ilmu pengetahuan modern, tidak dikenal di dalam tradisi pemikiran Yunani purba. Sebaliknya, di dalam pemikiran kuno itu terjalin pertautan yang erat antara teori dan praxis hidup manusia sehari-hari. Pertautan semacam itu senantiasa mengacu pada cita-cita etis seperti kebaikan, kebijaksanaan, atau kehidupan sejati baik secara individual maupun sosial di dalam polis (negara kota). Dengan teorilah manusia memperoleh suatu orientasi untuk bertindak secara tepat sehingga praxis hidupnya dapat merealisasikan kebaikan, kebahagiaan, dan kemerdekaan. Dengan kata lain, di dalam tradisi pemikiran Yunani purba, pengetahuan tidak dipindahkan dari kehidupan konkret. Pemahaman mengenai pengetahuan semacam itu tertuang secara padat dalam istilah bios theoretikos. 71 Kata theorea berasal dari tradisi keagamaan dalam kebudayaan Yunani kuno. “Theoros” adalah seorang wakil yang dikirim oleh polis untuk keperluan ritus-ritus keagamaan. Di dalam perayaanperayaan itu, orang ini melakukan “theorea” atau “memandang” ke arah peristiwa-peristiwa sakral yang dipentaskan kembali dan dengan jalan itu ida 70
Ibid., h. 96. Fransisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jugen Habermas (Yogyakarta: Buku Baik, 2004), h. 3-4. 71
92
berpartisipasi di dalamnya. Melalui teori sekaligus ia mengalami emansipasi dari nafsu-nafsu rendah. Di dalam istilah Yunani pengalaman itu disebut katharsis: pembebasan diri dari perasaan-perasaan dan dorongan-dorongan fana yang berubah-ubah. Dengan demikian, dalam pemahaman primitifnya, teori memiliki kekuatan emansipatoris. Istilah ini juga tidak mengacu pada teori dalam pengertian modern yang merumuskan suatu pengetahuan demi pengetahuan ke dalam kategori-kategori abstrak yang terlepas dari kehidupan konkret. Bios theoretikos justru merupakan suatu bentuk kehidupan, suatu jalan untuk mengolah dan mendidik jiwa dengan membebaskan manusia dari perbudakan oleh doxa (pendapat) dan dengan jalan itu manusia mencapai otonomi dan kebijaksanaan hidup. Pemahaman kata teori semacam itu memperoleh kepadatan isinya bukan dalam pemisahannya dari tindakan, melainkan justru dalam fungsinya bagi kehidupan praktis manusia. Dalam pandangan Gandhi, jalan sebenarnya dapat disamakan dengan bibit tumbuhan, sedangkan tujuan adalah sebatang pohon yang rindang. Lantaran keterhubunganan antara jalan dan tujuan seperti keterhubungan antara bibit dan pohon, keterhubungan di antara keduanya tidak dapat diganggu gugat karena merupakan sifat alami dan cukup logis. Kelogisan itu ditegaskan Gandhi dengan mengatakan, jika ingin mengarungi samudra, dirinya dapat berbuat demikian hanya dengan cara naik kapal. Jika menggunakan kereta untuk mencapai tujuan tadi, Gandhi tentunya akan segera sampai di dasar laut.72
72
Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 96.
93
Gandhi menegaskan bahwa jalan sebagai suatu metode dan cara harus selalu berada dalam jangkauan manusia sehingga harus sesuai dengan kemampuannya dan bukan sesuai dengan keinginannya. Dengan begitu, “seseorang yang bernafsu kuda, tapi berkemampuan keledai” tidak masuk dalam kategori manusia yang diidealkan Gandhi untuk mampu menerapkan ajaran ahimsa. Gandhi sangat optimistis manusia akan sampai pada kebenaran sejati secara cepat atau lambat jikalau menekuni cara-cara pelaksanaan ahimsa karena itulah tugas atau darma manusia. “Apabila sekali kita menyadari makna butir yang penting ini, kemenangan akhir tidak dapat diragukan lagi. Kesulitan apa pun akan kita hadapi, kemalangan apa pun akan kita alami, kita tidak akan mundur selangkah pun dalam upaya mencari kebenaran yang pada dasarnya adalah Tuhan.”73 Gandhi sangat tidak percaya pada jalan pintas berupa kekerasan untuk mencapai keberhasilan dan tujuan. Dia mengakui rasa simpati serta kekagumannya begitu besar terhadap alasan-alasan pantas yang mendukung bahwa kekerasan layak dilakukan demi tegaknya keadilan dan perdamaian. Namun, Gandhi memang tetaplah seorang penentang tanpa kompromi metode kekerasan walaupun tujuannya yang paling mulia sekalipun. Keran itu, titik temu antara paham kekerasan dan paham antikekerasan Gandhi benar-benar memang tidak pernah akan ada. Untuk menerapkan ahimsa dalam kehidupan sehari-hari memang tidaklah mudah. Gandhi mengandaikan bahwa ahimsa sebagai jalan tidak ubahnya seperti orang yang berjalan pada seutas tali, yakni dibutuhkan pemusatan pikiran secara penuh agar dapat melintasinya. Demikian juga untuk menyadari
73
Ibid., h. 95.
94
kebenaran melalui ahimsa pun dibutuhkan upaya yang tidak henti-hentinya. Pengertian ahimsa sebagai suatu jalan berarti tidak mengenal kekerasan untuk mencapai kebenaran, baik dalam wujud pikiran, ucapan, maupun tindakan. Sebaliknya, ahimsa harus dapat menciptakan suasana membangun, cinta, dan berbuat baik kepada orang lain meskipun orang lain itu pernah menyakitinya, bahkan terhadap musuh sekalipun. Dengan demikian, keyakinan Gandhi yang begitu mendalam dan teguh terhadap ajaran antikekerasan bukanlah hanya tidak menghalanginya, melainkan juga memaksanya untuk berinteraksi, berkomunikasi, atau bersosialisasi dengan mereka yang percaya pada kekerasan sebagai jalan yang ampuh untuk merealisasikan tujuan dengan segera. Namun, persatuan itu sebenarnya selalu didorong oleh maksud satu-satunya untuk membuat mereka berhenti melakukan hal-hal yang menurut pendapatnya itu keliru. Hal ini dilakukan Gandhi karena pengalamannya telah makin meyakinkan dia bahwa kebaikan yang permanen tidak mungkin merupakan hasil dari ketidakbenaran dan kekerasan. Walaupun kepercayaan ini merupakan angan-angan yang diidam-idamkan belaka, Gandhi dengan cukup terang harus mengakui bahwa ini merupakan angan-angan yang menarik.74 2. Mahatma Diri Manusia secara esensial terdiri atas jasmani dan rohani. Selain itu, manusia juga memiliki kesadaran, rasio, kehendak, emosi, dan rasa keindahan. Dari keberadaan itu, esensi aktivitas manusia di dunia adalah pembebasan. Pembebasan manusia merupakan satu langkah ke arah pembebasan seluruh
74
Ibid., h. 96.
95
umat manusia dari kezaliman dan kekerasan dari orang lain dan dari diri sendiri. Gandhi menyatakan bahwa manusia tidak akan bebas jika ia tidak mengetahui bahwa dirinya dikuasai oleh kebutuhan, sebab kebebasannya selalu dimenangkan melalui upaya yang tidak pernah berhasil seluruhnya untuk melepaskan diri manusia dari kebutuhan hidup dan sampai penyatuan dengan hidup. Manusia memiliki kebebasan untuk mengarahkan dirinya menuju kepada penyatuan dengan hidup atau malah terjerumus dalam kejahatan. Setiap perbuatan memiliki karmanya sendiri-sendiri. Dalam hal ini Gandhi menekankan pelaksanaan enam kebajikan tertinggi yang dijiwai oleh filsafat India yakni ahimsa, satyagraha, brachmacharya, asteya, aparigraha, dan abhaya. Ahimsa secara harfiah berarti tidak melakukan kekerasan sekecil apa pun, satyagraha bermakna berpegang teguh pada kebenaran, brachmacharya adalah suatu sikap yang sesuai dengan ajaran Brahma atau kebenaran dan biasanya
diwujudkan
dengan
pantang
berhubungan
seksual,
asteya
mengandung arti bahwa seseorang tidak boleh mencuri, aparigraha menghindari dari kepemilikan barang yang tidak diperlukan, sementara abhaya bermakna tidak pernah merasa takut atau selalu berani. Manusia yang berjiwa agung dalam pandangan Gandhi bersifat antropokosmoteosentris. Manusia seperti ini adalah manusia dengan pengendalian diri yang baik (antropos), kedewasaan sosial dan mencintai alam (kosmos), serta penghayatan terhadap keberadaan Tuhan (teos) melalui agama yang dianutnya dalam kehidupannya yang dijalani secara damai dan
96
antikekerasan. Dengan konsep seperti ini, Gandhi mencoba menciptakan sebuah lingkup kemanusiaan universal di mana tiap-tiap kelompok, baik kaum penguasa maupun kaum tertindas, saling mengakui sebagai manusia yang sama derajat dan harkatnya sebagai manusia, bahkan menghidupkan kembali potensi kebaikan orang lain dalam kehidupan manusia.75 Menurut Gandhi, manusia perlu mengendalikan diri karena peradaban dalam makna kata yang sebenarnya bukanlah sesuatu yang menghendaki dilipatgandakannya kebutuhan, melainkan menghendaki pembatasan segala kebutuhan dengan sengaja dan sukarela. Hanya dengan cara demikian akan dapat diperoleh kebahagiaan dan kepuasan sejati yang akan meningkatkan kemampuan manusia dalam mengabdi kepada Tuhan. 76 Hal ini bertentangan dengan apa yang dilakukan oleh manusia modern yang menggunakan tolak ukur tingkat kesejahteraan manusia dengan mengukurnya berdasarkan tingkat besarnya konsumsi. Manusia modern justru berasumsi bahwa semakin tinggi tingkat konsumsi kebutuhan hidup, manusia berarti lebih kaya dan sejahtera. Gandhi sendiri menegaskan bahwa manusia memerlukan keserasian dan kenyamanan fisik pada tingkat tertentu, namun jika melebihi tingkat itu, ia akan menjadi hambatan bagi manusia. Karena itu, cita-cita manusia menciptakan dan memenuhi kebutuhan hidup yang tidak terbatas, hanya merupakan khayalan dan jerat belaka. Pemuasan kebutuhan fisik dan intelektual manusia pada titik tertentu harus dihentikan sepenuhnya sebelum ia berubah menjadi nafsu keserakahan fisik dan intelektual. Manusia perlu
75
Suratno, “Mahatma Gandhi (1869-1948) dan Konsepnya tentang Manusia Ideal,”
76
Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 127.
h. 118
97
mengatur keadaan fisik dan budayanya agar tidak menjadi hambatan dan ini seharusnya menjadi tujuan bagi pemusatan seluruh tenaga manusia.77 Selain sebagai makhluk individu dan makhluk Tuhan, manusia juga adalah makhluk sosial karena ia hanya dapat hidup dengan komunikasi bersama sesamanya. Sesama dalam filsafat Gandhi bermakna religius, di mana keterpautan seseorang dengan yang lainnya bersifat religius dan merupakan tanggung jawab yang bersifat religius pula. Sesama juga berarti dari asal mula yang sama, nasib keterlemparan yang sama dan memiliki Tuhan yang sama. Semua manusia menurut Gandhi merupakan ciptaan Tuhan yang sama sehingga semua manusia bersaudara.78 Dengan asumsi seperti di atas, menurut Gandhi, manusia harus memiliki tingkat kedewasaan sosial yang tinggi. Tidak ada satu kebajikan tunggal pun yang akan mengarah atau akan merasa puas dengan kesejahteraan seseorang saja. Sebaliknya tidak ada kejahatan yang secara langsung maupun tidak, pasti akan mempengaruhi orang lain. Yang dimaksud kedewasaan sosial oleh Gandhi adalah kesadaran bahwa seluruh umat manusia merupakan kesatuan manunggal, sebagai ciptaan Tuhan yang satu. Tentu saja terdapat perbedaan suku, bangsa dan harkat serta martabat namun demikian saling menghormati merupakan kewajiban seluruh umat manusia. Manusia juga harus mencintai alam, tempat di mana ia hidup. Sekalipun dalam alam cukup terdapat daya tolak, tetapi alam itu hidup berkat daya tarik. Alam dapat menjadi lestari berkat adanya rasa sayang timbal balik. Manusia hidup bukan karena penghancuran. Rasa cita diri mendorongnya untuk 77 78
Ibid., h. 132. Ibid., h. 69.
98
mementingkan orang lain pula. Masyarakat dapat hidup rukun karena adanya rasa saling mengindahkan di kalangan warganya. Pada suatu saat, hukum masyarakat harus diperluas manusia agar mencakup seluruh alam semesta. Manusia antropokosmoteosentris dengan kedewasaan sosial dan mencintai alamnya menyadari bahwa kepentingan menyelamatkan umat manusia dari kerusakan fisik bumi dan atmosfer akan lebih mendorong manusia untuk melakukan transformasi sosial dan budaya ke arah kemanusiaan yang semakin tinggi. Semakin jauh ke depan, akan semakin terasa keperluan untuk mengurangi kadar pemakaian kekuasaan dan kekerasan, dalam segala rupa untuk menyelesaikan beragam problem manusia di zaman modern ini. Dengan demikian, akan semakin besar pula kesadaran dan pengendalian diri kemanusiawian umat manusia. Konsep manusia yang bersifat antropokosmoteosentris dimaksudkan Gandhi sebagai salah satu upaya mencari kebenaran. Asumsinya, kehidupan manusia adalah proses untuk mencoba dan belajar dari kesalahan dengan mawas diri dan disiplin yang kuat.79 Manusia bergerak maju selangkah demi selangkah menuju pada sifat antropokosmoteosentris. Manusia model ini diyakini akan mampu mengantisipasi peradaban manusia yang senantiasa menuntut perubahan nilai-nilai sosial dan budaya. Terlebih bila dikaitkan dengan melaju kencangnya transformasi iptek. Manusia pada permulaan kehadirannya di bumi, tingkah lakunya tidak jauh berbeda dengan hewan yakni saling memangsa dan hingga kini kita masih bisa melihat kebuasankebuasan manusia. Dengan kemajuan ipteknya, dunia modern telah
79
Ibid., h. 117.
99
melahirkan manusia-manusia seperti kelompok Nazi Jerman, militer-fasis Jepang, komunis China, Eropa Timur dan Soviet, dan berbagai kekuasaan totaliter di belahan benua lainnya yang telah menistai kemanusiaan mereka dengan kekejaman yang tidak berperi kemanusiaan. Dari anggapan dasar bahwa manusia pada hakikatnya baik, dapat ditarik kesimpulan, Gandhi ingin menunjukkan bahwa sesungguhnya manusia kehadirannya tidak merupakan ancaman terhadap eksistensi manusia yang lain. Oleh karena itu, manusia antropokosmoteosentris harus selalu menekankan aspek hubungan yang harmonis antara sesama manusia dan alamnya. Yang paling menarik dari konsep manusia seperti di atas adalah keluasan, keterpaduan, dan kesatuannya. Inilah ajaran dan warisan bahwa kejahatan dari manusia tidak dapat dibinasakan. Kejahatan dari manusia adalah kejahatan bersama dan harus dipecahkan bersama-sama pula. Tetapi manusia terkadang tidak siap untuk tugas bersama karena ia tidak menyadari dirinya dan tidak mampu mengendalikan dirinya sendiri. Kalau sudah begitu, tugas manusia adalah kembali kepada hati nuraninya sendiri agar kehidupan dunia menjadi damai.80 Sayangnya, dalam konsep manusia ini Gandhi tidak mengidentifikasi lingkungan pribadi manusia dengan lingkungan suci. Gandhi juga tidak menjauhkan diri dari kegiatan masyarakat sekuler. Ini menjadi kontradiktif karena pada kesempatan lain Gandhi terkadang memandang bahwa struktur sosial dan budaya manusia pada dasarnya adalah sekuler, dalam arti bahwa
80
Ibid., h. 85.
100
praanggapan-praanggapannya yang paling mendasar adalah tidak religius, akan tetapi ia seringkali menggunakan klise religius sebagai dukungan. Akhirnya seperti yang dibilang Gandhi, manusia berakhir menjadi seperti apa yang dipikirkannya, maka demikian juga dengan India, asalkan tetap memegang
teguh
kebenaran
dengan
menggunakan
enam
kebajikan
tertingginya. Akan tetapi di sisi lain Gandhi sendiri mengakui bahwa secara politis pertempurannya sesungguhnya sudah kalah. Tanpa berpuas diri, kasihan pada diri sendiri, ia hadapi kebenaran bahwa hanya tinggal satu. Gandhi harus menyerahkan jiwanya bagi India, nyatanya ia dibunuh oleh seorang saudaranya yang justru gagal diyakinkannya. Dari paparan di atas, apakah konsep mahatma diri yang bersifat antropokosmoteosentris ini akan dapat direalisasikan ataukah akan sia-sia saja, Gandhi sendiri tidak pernah putus keyakinannya, hingga meninggalkan kesan pada sesamanya maupun musuhnya serta membangkitkan padanya suatu tanggapan cinta-kasih serta kebenaran yang ingin dicapai manusia. Sikap ini tidak dapat dimengerti dalam konteks pragmatisme sebab yang menjadi pokok masalah adalah kesetiaan manusia pada kebenaran, bukan dampak nyata pada sesamanya. Konsep mahatma diri yang bersifat antropokosmoteosentris memang harus dilihat apa adanya dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Bukan sekedar idealisme yang sering dianggap utopis dan asketis, tetapi harus dipandang sebagai ajaran yang esensial, yang niscaya diperlukan jika manusia ingin memulihkan kembali hati nuraninya dalam menghadapi perubahan peradabannya yang sarat dengan problema.
101
3. Harmoni Kuasa Politik merupakan suatu persoalan yang melekat pada lingkungan hidup manusia. Sadar atau tidak, politik ikut mempengaruhi kehidupan kita sebagai individu maupun sebagai bagian dari kelompok masyarakat, tidak peduli apakah kita ikut mempengaruhi proses politik atau tidak. Politik selalu berhubungan dengan kepentingan dan tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goal), bukan tujuan pribadi (private goal). Politik juga menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk partai politik dan kegiatan orang seorang. Dari uraian di atas teranglah bahwa dalam politik terdapat unsur-unsur yang saling berkaitan. Unsur-unsur tersebut adalah; negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijaksanaan (policy) dan pembagian atau alokasi (distribution).81 Setiap manusia tidak dapat dipungkiri merupakan subjek sekaligus objek dari kekuasaan. Dalam setiap kekuasaan selalu ada hubungan (relationship). Kekuasaan sosial terdapat dalam semua hubungan sosial dan dalam semua organisasi sosial. Dengan asumsi tersebut, Gandhi mengakui bahwa manusia tidak mungkin bisa lepas dari hubungan kuasa semacam ini. Kekuasaan juga memiliki berbagai macam bentuk di antaranya kekuasaan sosial dan politik. Namun, perjuangan Gandhi dengan antikekerasannya terbukti merupakan suatu upaya untuk memberi pelajaran bahwa relasi kuasa haruslah seimbang agar tidak ada lagi relasi kuasa yang melahirkan kekerasan personal maupun struktural sehingga tercipta harmoni kuasa.
81
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 9.
102
Eksperimen-eksperimen Gandhi dengan kebenaran terutama dalam berpolitik bercorak agamais, nasionalis, dan humanis karena politik Gandhi tidak bisa dipisahkan dari agamanya. Dalam berpolitik Gandhi berpegang pada pertimbangan moral dan sebagai agamawan ia berpendapat bahwa tempatnya bukanlah di dalam gua atau biara, melainkan di tengah-tengah hiruk-pikuk perjuangan rakyat untuk hak-haknya dan untuk yang benar. Agama Gandhi membuat politis dan politiknya beragama.82 Menurut Gandhi, moral, etika, dan agama adalah istilah-istilah yang bisa dipertukarkan. Suatu kehidupan moral tanpa referensi agama seperti sebuah rumah yang dibangun di atas pasir. Agama dipisahkan dari moralitas seperti tong kosong nyaring bunyinya. Moralitas mengandung kebenaran, ahimsa, dan pengekangan diri. Gandhi juga berpendapat bahwa dalam suatu penghayatan kehidupan spiritual yang sejati, seseorang tidak boleh mengotakngotakkan kehidupan ke dalam bagian-bagian yang saling terpisah, yaitu ekonomi, sosial, politik, dan agama. Seorang manusia yang sungguh-sungguh beragama tidak akan pernah menerima ketidakadilan di mana pun terjadi pengingkaran terhadap persamaan atau persaudaraan antarmanusia. Sebagai politikus berjiwa agamawan atau agamawan yang berpolitik, beserta segala kemampuan yang diperolehnya dari sikap pembuangan, Gandhi tidak bakal dapat mencapai apa yang dicapainya di Afrika Selatan dan India andaikata ia tidak mempunyai senjata yang unik dan ampuh yaitu satyagraha. Sebagai senjata dalam gerakan politiknya, satyagraha tidak sama dengan perlawanan diam-diam. Perlawanan diam-diam adalah senjata orang-orang
82
Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 86.
103
yang lemah yang dipergunakan karena mereka merasa dirinya lemah dan selama mereka masih merasa dirinya lemah. Ahimsa merupakan tuntutan minimal yang diminta dari manusia, sebab secara spiritual manusia itu bersifat ahimsa. Karena sebagai tuntutan minimal, manusia harus menyadari dirinya bahwa ia secara hakiki membutuhkan sikap itu. Ahimsa harus dijadikan sebagai keyakinan; artinya manusia harus percaya bahwa jalan ahimsa adalah satu-satunya jalan yang dapat menyelamatkan jiwanya. Dengan kata lain, ahimsa memerlukan suatu tindakan yang istimewa yakni suatu tindakan “iman”. Sebagai suatu keyakinan yang mendasar, ahimsa adalah nafas hidupnya, darah dagingnya dan kehidupan. Ini berarti ahimsa menuntut sikap batin yang menyeluruh dan utuh.83 Paham antikekerasan harus digunakan untuk memengaruhi kekuatan politik tanpa mengalah pada pengaruhnya yang menyimpang. Tetapi pada saat ahimsa ini memikul kekuatan politik maka ahimsa menyangkal dirinya sendiri dan menjadi tercemar. Gandhi mengakui bahwa tidak mungkin suatu negara modern yang berdasarkan pada kekerasan untuk menahan kekuatan kekacauan baik dari dalam maupun dari luar, tanpa kekerasan apa pun. Menurut Gandhi, metode antikekerasan merupakan satu-satunya cara yang pantas untuk menghadapi orang lain yang ingin berkuasa dengan cara-cara yang tidak seimbang. Cara yang sama ini juga pantas dipakai kalau seseorang mempertahankan kebenaran berdasarkan hawa nafsunya sendiri. Tujuan antikekerasan adalah mengubah, bukan memaksa seseorang supaya takluk.
83
Ibid., h. 37.
104
Maka cara ahimsa merupakan jaminan satu-satunya untuk mencapai kehidupan demokrasi yang sesungguhnya.84 Gandhi percaya bahwa suatu negara dapat diatur bila didasarkan pada paham ahimsa. Gandhi membuktikannya dengan cara mengingatkan pada teori kehendak umum Rousseau yaitu bahwa negara tanpa kekerasan harus didasarkan pada kehendak orang-orang yang cerdas, mampu mengerti pikirannya sendiri dan bertindak untuk mewujudkan pikiran itu. Di dalam negara antikekerasan, kehendak umum diungkapkan dengan cara tidak adanya segala macam bentuk paksaan. Gandhi memandang bahwa di dalam suatu masyarakat yang tanpa kekerasan, tidak akan ada eksploitasi manusia atas manusia yang lain dan pengangguran secara otomatis terpecahkan. Pemerintahan yang demokratis hanya menjadi impian selama ahimsa tidak diakui sebagai daya hidup, kepercayaan yang tidak dapat dilanggar dan bukan hanya sekadar kebijakan. Tanpa diakuinya ahimsa dalam skala nasional tidak ada sesuatu seperti pemerintahan konstitusional atau demokratis. Seorang demokrat sejati ialah orang yang dengan bersikap murni pantang kekerasan membela kebebasannya, kebebasan negerinya, dan kebebasan dari seluruh umat manusia. Dalam pengujian, para pencinta damai harus membuktikan kepercayaan mereka dengan menolak berurusan apa pun dengan perang, pertahanan maupun penyerangan. Kewajiban melawan hanya berlaku bagi mereka yang menganggap ahimsa sebagai kepercayaan, tidak berlaku bagi
mereka
yang
menghitung-hitung
dan
menyelidiki keuntungan-
keuntungan setiap peristiwa, lalu memutuskan akan membenarkan atau
84
Ibid., h. 163.
105
menentang suatu perang tertentu. Kebebasan dan demokrasi menjadi jahat ketika tangan-tangan mereka tercelup dengan merah darah orang-orang yang tidak berdosa. Ahimsa bukan suatu kebijakan untuk merebut kekuasaan. Ahimsa merupakan jalan untuk mengubah hubungan-hubungan agar terlaksana peralihan kekuasaan secara damai untuk menciptakan keseimbangan hidup bermasyarakat.85 Gandhi percaya bahwa kebebasan dari penjajahan merupakan satu-satunya dasar yang semestinya didapat oleh seorang manusia. Ia acapkali mengulangi bahwa tidak ada program tindakan yang dapat dipaksakan kepada rakyat, rakyat harus diyakinkan untuk dengan bebas menyambut program itu. Kalau tidak demikian program itu tidak sesuai dengan martabat manusia dan tidak akan berhasil. Gandhi berpendapat bahwa kekuasaan politik bukan tujuan akhir, melainkan salah satu sarana yang memungkinkan rakyat memperbaiki nasibnya dalam segala bidang kehidupan. Kekuasaan politik berarti kemampuan untuk mengatur kehidupan nasional melalui wakil rakyat. Apabila kehidupan nasional telah menjadi sempurna, sehingga kita seakanakan dapat mengatur diri sendiri dan tidak lagi memerlukan wakil rakyat. Dalam keadaan demikian setiap individu bertindak selaku penguasanya sendiri, sehingga tidak perlu ada kekuasaan politik, karena sesungguhnya sudah tidak ada negara. Hal ini menurut Gandhi telah tercapai keadaan “anarki” (tanpa pengaturan negara) yang arif dan bijaksana.
85
Ibid., h. 35.
106
Pelaksanaan ahimsa menuntut keberanian untuk mengampuni. Ahimsa baru menghasilkan buah kalau sungguh-sungguh dilaksanakan. Ahimsa bukan hanya keutamaan pribadi, ahimsa pun merupakan keutamaan sosial dan politik yang harus dipelihara seperti keutamaan yang lain. Ahimsa merupakan suatu cara bertindak bersama. agar cara bertindak itu efektif, anggotanya harus mengenal, setiap anggota mempunyai kedudukan yang sama tetapi jika ada satu pekerjaan yang dikerjakan bersama-sama harus ada seorang pemimpin yang dipilih di antara mereka dan oleh mereka sendiri. Jika ada kelompok yang berlainan para pemimpin harus berbicara dan memutuskan tindakan mana yang harus diambil dan diutamakan. Gandhi membedakan empat bidang pemakaian ahimsa dalam bidang politik, (i) Ahimsa dalam praktiknya justru untuk melawan penguasa yang ada, (ii) Ahimsa justru untuk menangkal gangguan dalam negeri seperti huru-hara, (iii) Ahimsa untuk melawan serangan dari luar, (iv) Bidang yang paling baik untuk ahimsa adalah keluarga.86 Dengan beberapa pedoman di atas jelaslah bahwa ahimsa sebagai cara bertindak sekalipun tidak pernah ditujukan untuk suatu agresi revolusioner. Alasan yang dapat diterima terhadap mengapa ahimsa juga dapat digunakan sebagai cara bertindak adalah bahwa ahimsa merupakan cara yang paling manusiawi dan lebih halus untuk memperjuangkan hak-hak manusia yang paling asasi. Faktor penting yang tidak dapat dielakkan lagi adalah bahwa bagaimanapun pula ahimsa harus berhadapan dengan kekuasaan politik
86
Toni Santosa, “Ahimsa dalam Pandangan Mahatma Gandhi”, Driyarkara, No. 1/Th. XV, 1998, h. 51.
107
tertentu, yang notabene mempunyai monopoli untuk menggunakan kekerasan. Dalam hal ini ahimsa diuji kekuatannya. Gandhi mengabdikan dirinya sebagian besar untuk perkembangan spiritual, sosial, dan ekonomi bangsa India. Gandhi meyakini bahwa perkembangan dan kemajuan akan diperoleh bukan melalui konsensi-konsensi politik dan reformasi-reformasi konstitusional, debat-debat, dan resolusiresolusi politik, tetapi melalui perjuangan yang dilakukan oleh rakyat sendiri. Gandhi lebih menekankan pada apa yang benar-benar berasa dan disusun dari dirinya sendiri yaitu sosialisme spiritual. Gandhi menamakan program ini dengan nama program konstruktif. Banyak para penguasa dan anggota Kongres yang menolak program ini dan menyebutnya sebagai sebuah tindakan pengalihan dari perjuangan politik yang sesungguhnya. Tetapi Gandhi tetap teguh pada pendiriannya bahwa program konstruktif merupakan awal revolusi agraria tanpa kekerasan. Antikekerasan termasuk ke dalam sifat alami kehidupan politik itu sendiri, dan masyarakat yang politiknya biasa keras, tidak bersuara jelas, serta menuntut yang bukan-bukan, sebenarnya adalah subpolitik dan karena itu merupakan masyarakat yang mutunya di bawah manusia. Hal itu tentu saja merupakan kebenaran yang dipelajari Gandhi.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah mengelaborasi konsepsi ideologi dan antikekerasan Gandhi, penulis dapat menyimpulkan bahwa antikekerasan yang diajarkan Gandhi bukan suatu suatu ilmu tentang ide-ide yang berambisi memisahkan pengetahuan dari metafisika dan agama serta kepercayaan-kepercayaan lainnya, melainkan perjuangan hidup sehari-hari dalam berbagai dimensi untuk merealisasikan kehidupan ideal yang terbebas dari tindak kekerasan. Gagasan dan perjuangan Gandhi mengenai antikekerasan sesungguhnya tidak sebesar apa yang telah nyata diperjuangkan Gandhi. Namun, perjuangan ini sesungguhnya belum pernah selesai dan berhenti sebab substansi gagasan ini selalu lebih panjang dari usia pencetusnya. Ajarannya akan selalu hidup setelah kematiannya. Apa yang digagas dan diperjuangkannya hanyalah penggalan-penggalan dari cita-cita besarnya bagi kemanusiaan. Kesadaran
yang
dibangun
Gandhi
bukanlah
kesadaran
yang
menyebabkan manusia mengalami distorsi dalam menangkap dan memahami realitas, melainkan kesadaran sejati yang membangkitkan semangat hidup manusia untuk mengaktualisasikan jati diri yang sesungguhnya di kehidupan yang nyata ini. Antikekerasan Gandhi ini dapat dikatakan sebagai ideologi positif karena antikekerasan Gandhi dapat diartikan sebagai sekumpulan gagasan yang menjadi panduan bagi manusia dalam bertingkah laku mencapai kehidupan
108
109
ideal yang terbebas dari tindak kekerasan. Dengan cara menurunkan gagasangagasan dalam sejumlah kerangka aksi dan aturan-aturan tindakan, Gandhi selama hidupnya bertindak membebaskan diri dari sesuatu yang dipersepsi sebagai kekangan atau penindasan. Ideologi antikekerasan yang dihidupinya memberi arah bagi gerakan pembebasan diri, masyarakat, negara, dan dunia. Antikekerasan Gandhi akan menjadi suatu ideologi yang bersifat negatif apabila hanya dihidupi dan praktikkan secara parsial, misalnya hanya dipahami sebagai tindakan etis untuk tidak melukai tubuh manusia. Sementara di sisi lain mengabaikan atau bahkan melegitimasi tindak kekerasan struktural dan kultural yang lebih bersifat global. Antikekerasan yang diajarkan Gandhi sebenarnya bersifat menyeluruh dalam segala bidang kehidupan. Dengan begitu, ideologi antikekerasan Gandhi akan bekerja jika kita a) tidak melakukan kekerasan sekecil apa pun, b) selalu berpegang teguh kepada kebenaran, c) tidak bergantung kepada orang lain, d) selalu berupaya menuju kebenaran sejati, e) berdoa dan bekerja bagi orang lain jua, f) selalu menciptakan suasana damai, g) mengutamakan proses daripada tujuan, h) selalu mengasah jiwa agar melahirkan kelembutan, dan i) membangun kesetaraan, bukan ketimpangan. Sebagaimana juga tokoh revolusioner seperti Karl Marx dkk yang belakangan menuai kritik terlalu utopia untuk ukuran zaman sekarang, Gandhi juga dapat dimasukan ke dalam bayangan utopia yang mengandaikan bahwa perjuangan antikekerasan akan berhasil. Namun, pengandaian ini sangat mungkin bersifat utopia karena ada ruang-waktu yang berbeda dengan kondisi sekarang.
110
B. Saran Ketika suatu masyarakat berada dalam cengkeraman hegemoni yang melegitimasi
tindak
kekerasan,
konterhegemoni
(counterhegemony)
diperlukan yaitu penyadaran yang melingkupi aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, dan menyentuh aspek kognitif tentang ketertindasan yang disebabkan oleh hegemoni. Dengan demikian, tidak ada salahnya jika ideologi antikekerasan Gandhi ini disarankan sebagai kontrahegemoni dari hegemoni yang melegitimasi tindak kekerasan.
C. Harapan Gagasan mengenai ideologi antikekerasan Gandhi ini diharapkan juga dapat menciptakan suatu masyarakat antikekerasan atau masyarakat yang damai. Suatu masyarakat yang tidak bisa dilepaskan dari gagasan pokok tentang prinsip-prinsip pola relasi antarmanusia untuk hidup berdampingan secara damai, toleran, dan jauh dari prilaku kekerasan. Konsepsi masyarakat yang diharapkan oleh ideologi antikekerasan merupakan wujud manifestasi dari ajaran religius atau keyakinan keagamaan. Nilai kemanusiaan yang menjadi titik puncak bagi setiap bentuk pengabdian menjadi kata kunci untuk memberikan suatu penilaian bahwa setiap manusia adalah sama dan bersaudara, tidak boleh ada yang dilebihkan atau merasa lebih dibanding dengan yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Adam, Ian. Ideologi Politik Mutakhir; Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depannya. Penerjemah Ali Noerzaman. Yogyakarta: Qalam, 2004 Alappatt, Francis. Mahatma Gandhi: Prinsip Hidup, Pemikiran Politik, dan Konsep Ekonomi. Penerjemah S. Farida. Bandung: NusamediaNuansa, 2005 Althusser, Louis. Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies. Penerjemah Olsy Vinoli Arnof. Yogyakarta: Jalasutra, 2008 Arendt, Hannah. Teori Kekerasan. Penerjemah Ghafna Raiza W. Yogyakarta: Lembaga Pengembangan Ilmu Pengetahuan (LPIP), 2003 B. Thomson, John. Analisis Ideologi; Kritik Wacana Ideologi-Ideologi Dunia. Penerjemah Haqqul Yaqin. Yogyakarta: IRCiSoD, 2003 Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000 Berndt, Hagen. Non-Violence in The World Religions (Agama yang Bertindak; Kesaksian Hidup dari Berbagai Tradisi). Penerjemah A. Widyamartaya. Yogyakarta: Kanisius, 2006 Bertens, K. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001 –––––––– Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001 –––––––– Filsuf-Filsuf Besar tentang Manusia. Yogyakarta: Kanisius, 2006 –––––––– Sejarah Filsafat Yunani.Yogyakarta: Kanisius, 2003 Budi Hardiman, Fransisco. Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jugen Habermas. Yogyakarta: Buku Baik, 2004 Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996 Burke, Peter. Sejarah dan Teori Sosial. Penerjemah Mestika Zed dan Zulfami. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003 Chodjim, Ahmad. Membangun Surga; Bagaimana Hidup Damai di Bumi agar Damai Pula di Akhirat. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004
111
112
Gandhi, Mohandas Karamchand. Mahatma Gandhi; Sebuah Autobiografi, Kisah tentang Eksperimen-Eksperimen Saya terhadap Kebenaran, cet. I. Penerjemah Andi Tenri W. Yogyakarta: Nasari, 2009 –––––––– Non-Violence in Peace and War, Volume I. Ahmedabad: Navajivan Publishing House, 1942 –––––––– Non-Violence in Peace and War, Volume II. Ahmedabad: Navajivan Publishing House, 1949 –––––––– Semua Manusia Bersaudara: Kehidupan dan Gagasan Mahatma Gandhi Sebagaimana Diceritakannya Sendiri, cet. II. Penerjemah Kustiniyati Mochtar. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991 Gorda, Gusti Ngurah. Budaya dan Perilaku Organisasi Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Satya Dharma. Singaraja: Pusat Kajian Hindu, 2004 Hadi, RD. P. Hardono. Jati Diri Manusia; Berdasarkan Filsafat Organisme Whitehead. Yogyakarta: Kanisius, 2002 Hendropuspito, Sosiologi Agama.Yogyakarta: Kanisius, 2000 Koentjoroningrat, Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia, 1989 Krishna, Anand. “Ahimsa: Senjata Para Pemberani,” artikel diakses pada 22 November 2008 dari http://www.akcbali.org Larrain, Jorge. Konsep Ideologi. Penerjemah Ryadi Gunawan. Yogyakarta: LKPSM, 1996 Lubis, Mochtar. Menggapai Dunia Damai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988 Madjid, Nurcholish. “Konsep-Konsep Kebahagiaan dan Kesengsaraan.” Tulisan dalam Munawar-Rachman, Budhy, ed. Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, cet. II. Jakarta: Paramadina, 1995 Magnis-Suseno, Franz. Pemikiran Karl Mark: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999 Mangunhardjono. “Homo Religiosus Menurut Mircea Eliade.” Tulisan dalam Sastrapratedja, ed. Manusia Multidimensional. Jakarta: Gramedia, 1982 Mannheim, Karl. Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik. Penerjemah F. Budi Hardiman. Yogyakarta: Kanisius, 1993
113
Merton, Thomas, ed. Gandhi on Non-Violence: A Selection from the Writings of Mahatma Gandhi (Gandhi tentang Pantang Kekerasan). Penerjemah A. M. Fatwan Hasan Basari. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992 Mulia, Dr. T.S.G. India: Sejarah Politik dan Gerakan Kebangsaan. Jakarta: Balai Pustaka, 1959 Munawar-Rachman, Budhy. Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1995 Nasution, Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI-Press, 1986 Permata, Ahmad Norma. Agama dan Terorisme. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2005 Santosa, Toni. “Ahimsa dalam Pandangan Mahatma Gandhi”, Driyarkara, No. 1/Th. XV, 1998 Sastrapratedja. Manusia Multidimensional. Jakarta: Gramedia, 1982 Sri Poerbasari, Agnes. “Nasionalisme Humanistik Mahatma Gandhi”, dalam Ideologi dan Pemikiran Kebangsaan. Wacana: Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Budaya, Vol. 9, 2007 Suratno, “Mahatma Gandhi (1869-1948) dan Konsepnya tentang Manusia Ideal,” Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 5, No. 2 (Juli 2007) Takwin, Bagus. Akar-Akar Ideologi; Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari Plato hingga Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra, 2003 Titus, Harold H.. Persoalan-Persoalan Filsafat. Penerjemah M. Rasjidi. Jakarta: Bulan Bintang, 1984 Tjahjadi, Simon Petrus L. Sejarah Filsafat Barat Modern. Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, 1999 Wasiadi, Idam. “Teror Bom, Aksi Kekerasan, dan Pencegahannya,” KOMPAS, 14 September 2001 Wegig, Wahana. Dimensi Etis Ajaran Gandhi. Yogyakarta: Kanisius, 1986 Windhu, I. Marsana. “Dimensi Kekerasan, Tinjauan Teoritis atas Fenomena Kakerasan” ad. Melawan Kekeresan Tanpa kekerasan. Yogyakatra: Pustaka Pelajar, 2000 –––––––– Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung. cet. VI. Yogyakarta, Kanisius, 1992
114
Wisarja, I Ketut. Gandhi dan Masyarakat Tanpa Kekerasan. Jogjakarta: Logung Pustaka, 2005 Wolpert, Stanley. Mahatma Gandhi: Sang Penakluk Kekerasan, Hidupnya, dan Ajarannya. Penerjemah Sugeng Hariyanto, dkk. Jakarta: Murai Kencana, 2001 Zaehner, Robert C. Kebijaksanaan dari Timur; Beberapa Aspek Pemikiran Hinduisme cet. II. Penerjemah Dr. A. Sudiarja. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993 Zainuddin, A.Rahman. Kekuasaan dan Negara; Pemikiran Politik Ibnu Khaldun. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992 Zimmer, Heinrich. Sejarah Filsafat India. Penerjemah Agung Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003