JURNAL ETIKA
Volume 7, November 2015: 65 - 78
65
IDEOLOGI JAWA: REFLEKSI KRITIS ATAS ETIKA POLITIK PADA REPRODUKSI SIMBOLIK KRATON YOGYAKARTA PASKA PERUBAHAN GELAR HB X* Sindung Tjahyadi, Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
[email protected]
Abstrak Kebudayaan Jawa merupakan saling silang dari nilai-nilai budaya lokal dengan berbagai nilai global yang telah menghampiri Nusantara berabad-abad silam. Kebudayaan Jawa kemudian pada satu sisi menunjukkan nilai-nilai lokal dalam mewarnai identitas budaya Jawa, pada sisi lain menggambarkan fakta bahwa tekanan arus ideologi global begitu dahsyat menentukan sendi-sendi penopang nilai budaya Jawa. Kraton Ngayogjakarta Hadiningrat hingga saat ini tinggal merupakan satu-satunya kraton di Indonesia yang masih memiliki kuasa di ranah simbolik dan politik. Namun dengan tindakan Sultan HB X mengubah gelar dirinya melalui “Sabda Raja”. Perubahan simbolik tersebut ternyata menimbulkan gempa kultural yang dikhawatirkan merobohkan pilar-pilar nilai budaya lokal Yogyakarta dan budaya Jawa, mengingat Kraton Yogyakarta masih diyakini sebagai salah satu benteng penting penjaga identitas simbolik budaya Jawa. Kemudian muncul Pertanyaan: argumentasi filosofis apakah yang menjadi pendorong perubahan simbolik perubahan gelar tersebut? Apakah konsekuensinya pada aras perubahan prinsip etika politik Jawa? Dan beberapa pilihan orientasi nilai etika politik yang ada, adakah konsekuensinya terhadap reproduksi simbolik Kraton Yogyakarta dan kebudayaan Jawa pada umumnya? Bagaimanakah hubungan dialektis antara perubahan nilai dengan reproduksi simbolik budaya Jawa harus dipahami? Makalah ini hendak meninjau proses dan dialektika nilai dan simbol etika politik Jawa yang muncul pada perubahan gelar HB X dari sudut pandang kritik ideologi. Kata kunci: Ideologi Jawa, Etika Politik, Reproduksi Simbolik, Kraton Yogyakarta, HB X
*
Tulisan ini pernah disampaikan pada Konferensi HIDESI ke-XXV, pada 6-8 Agustus 2015, dan dikembangkan untuk keperluan Jurnal Etika.
Ideologi Jawa: Refleksi Kritis Atas Etika Politik pada Reproduksi Simbolik Kraton Yogyakarta Pasca Perubahan Gelar HB X
66
JURNAL ETIKA
Volume 7, November 2015: 65 - 78
1. Pendahuluan Sudah lebih dari tiga bulan dinamika yang sedang terjadi di Kraton Ngayogjakarta Hadiningrat masih bergulir. Perubahan gelar raja yang disampaikan pada 2 Mei 2015 dan penetapan GKR Pembayun sebagai GKR Mangkubumi pada 5 Mei 2015, sebagaimana penjelasan HB X pada tanggal 8 Mei 2015, didasarkan atas “dhawuh” (Perintah) Allah melalui “leluhur” Raja. Terlepas dari polemik yang muncul baik di dalam maupun di luar Kraton, menarik untuk menelaah posisi legitimasi mistis yang didasarkan atas “dhawuh Allah” dalam masyarakat era digital dewasa ini. Masyarakat yang relatif telah “well informed”, terbuka, dan rasional. Adakah legitimasi mistis hanya menambah pernak-pernik kehidupan dunia supranatural yang juga mendapat ruang tak terbatas di dunia maya, ataukah sesunguhnya legitimasi mistis memerlukan penjelasan lebih jauh agar rasionalitasnya dapat diterima? Bagaimana pula legitimasi mistis ini harus dimaknai dan ditempatkan di era masyarakat digital yang terbuka dewasa ini? Argumentasi filosofis apakah yang menjadi pendorong perubahan simbolik perubahan gelar tersebut? Apakah konsekuensinya pada aras perubahan prinsip etika politik Jawa? Dari beberapa pilihan orientasi nilai etika politik yang ada, adakah konsekuensinya terhadap reproduksi simbolik Kraton Yogyakarta dan kebudayaan Jawa pada umumnya? Bagaimanakah hubungan dialektis antara perubahan nilai dengan reproduksi simbolik budaya Jawa harus dipahami? Tulisan ini sesungguhnya merupakan kajian awal dari sebuah proses yang sedang terjadi dan belum menemukan tanda-tanda waktu akan berakhirnya. Sementara ini semua pihak, baik yang “mendukung Sabda Raja” atau pun yang “menolak Sabda Raja” memilih untuk mendinginkan suasana dengan tidak memberikan pernyataan kepada publik soal suksesi Raja Kraton Yogyakarta. Dalam posisi yang demikian, tulisan ini lebih mengambil posisi sebagai upaya rasional memahami perubahan yang sedang terjadi di salah satu pusat penting kebudayaan Jawa, dan juga berupaya untuk membuat gambaran atas akibat yang mungkin muncul dari perubahan simbolik pada ideologi dan konsekuensi etis yang muncul atas keputusan-keputusan politis tertentu. Oleh karenanya, telaah diawali dengan kajian sekilas tentang “ideologi” secara umum, dan “ideologi Jawa” yang telah berjalan sejak dahulu kala, utamanya terkait dengan pergantian kekuasaan dan “dimensi etis” yang muncul dari pergantian kekuasaan tersebut. Kemudian dengan latar jaman yang serba digital, ditelaah adekuasi legitimasi mistis, dan sejauh mana konsekuensinya pada reproduksi simbolik ideologi Jawa. Selanjutnya, ditelisik pula dimensi etika politik dalam proses reproduksi makna dalam perubahan gelar raja, dan kemudian
Ideologi Jawa: Refleksi Kritis Atas Etika Politik pada Reproduksi Simbolik Kraton Yogyakarta Pasca Perubahan Gelar HB X
JURNAL ETIKA
Volume 7, November 2015: 65 - 78
67
ditarik pula konsekuensi-konsekuensi yang mungkin muncul dari perubahan gelar tersebut dengan pendekatan Kritik Ideologi. 2. Ideologi Jawa dalam Rentang Sejarahnya Istilah “ideologi” pertama kali muncul pada saat Revolusi Perancis oleh Antoine Destutt de Tracy dan semula mengacu pada makna “ilmu tentang gagasan” yang dikembangkan saat itu dalam upaya menjadikan Institut de France sebagai penopang semangat filsafat Pencerahan, dan konsep “modern” ideologi sebagai sistem gagasan yang bersifat politis dikemukakan oleh Napoleon sebagai senjata untuk menyerang sekelompok filsuf yang tak sepakat dengan politik imperialnya dengan menyebut mereka sebagai “ideologis”. Sejak Napoleon, ideologi tak lagi dapat kembali kepada pengertian awalnya, sekalipun semangat awal tersebut sempat “dikembalikan” Karl Mannheim dengan menyebut semua analisis tentang sudut pandang dunia disebut sebagai “analisis ideologis” (Basu, 2012: 69). Namun sejak Marx, ideologi dipahami sebagai sistem kesadaran palsu dan diperparah dengan pandangan postmodernisme yang menempatkan kebenaran dan ideologi manipulasi kosong, dan kebenaran dan kesalahan hanya efek yang dihasilkan oleh tanda yang tak memiliki referensi (Hawkes, 2003: 7). Kebudayaan Jawa merupakan saling-silang dari nilai-nilai budaya lokal dengan berbagai nilai global yang telah menghampiri Nusantara berabad-abad silam. Kebudayaan Jawa kemudian pada satu sisi menunjukan keliatan nilai-nilai lokal dalam mewarnai identitas budaya Jawa, pada sisi lain menggambarkan fakta bahwa tekanan arus ideologi global begitu dahsyat menentukan sendi-sendi penopang nilai budaya Jawa. Prinsip yang diutamakan oleh masyarakat Jawa adalah prinsip kerukunan dan prinsip hormat (Magnis-Suseno, 2003: 38). Pengutamaan prinsip harmoni ini menjadikan sikap masyarakat Jawa cenderung menghindari konflik. Kalau timbulnya konflik karena dorongan kepentingan yang berbeda secara empiris tetap tidak dapat dihindarkan, masyarakat Jawa cenderung tidak menginginkan konflik tersebut membawa kekacauan (Magnis-Suseno, 2003: 54). Harmoni sosial yang berkelindan dengan tertibnya tatanan dan hubungan sosial, juga terkait erat dengan prinsip kedua: penghormatan. Stratifikasi sosial yang mewujud pada pola komunikasi bahasa (krama, ngoko), isin, sungkan, dan juga norma etis bahwa tidak baik mengembangkan ambisi pribadi, dan tuntutan untuk bersikap hormat, kemudian menjadi pilar penting terbangunnya sikap hipokrit, bahwa lebih penting ungkapan rasa hormat daripada kejujuran dalam bersikap (Magnis-Suseno, 2003: 6068). Dengan demikian, pengelolaan konflik masyarakat Jawa lebih rumit, pada satu sisi karena ada norma-norma etis yang menyangkut “kaidah kesantunan” yang harus dipelihara, namun pada sisi lain penghindaran konflik secara terbuka dalam batas tertentu justru menutup komunikasi dan
Ideologi Jawa: Refleksi Kritis Atas Etika Politik pada Reproduksi Simbolik Kraton Yogyakarta Pasca Perubahan Gelar HB X
68
JURNAL ETIKA
Volume 7, November 2015: 65 - 78
mengeraskan perseteruan yang ada berujung pada jothakan (Magnis-Suseno, 2003: 56) atau mekanisme ethok-ethok (Magnis-Suseno, 2003: 43). Cara lain yang juga dapat dipilih adalah mlipir, menghindar untuk berpapasan, sebagaimana pendekatan tulisan ini untuk menghindari beberapa pertanyaan yang seharusnya dijawab secara terbuka. Orang Jawa percaya bahwa kekuasaan itu mewujud, dan tak bergantung pada siapa pun pemegangnya. Kekuasaan bersifat intangible, misterius, dan terkait dengan kekuatan ilahiah yang mengatur semesta. Sultan sebagai raja Jawa bertindak sebagai perantara antara kekuasaan kosmis dan kekuasaan duniawi (Budiman; 1978: 615). Pandangan dunia Jawa lekat dengan suatu komponen irasional yang dipercaya mengatur integrasi sosial, yakni kepercayaan kepada leluhur, jimat, percaya kepada roh, dan penyembahan (van de Koef, 1955: 27). Oleh karenanya lazim ditemukan dalam berbagai peristiwa, terjadi penjelasan mistis atas suatu kejadian yang irasional, atau legitimasi mitis untuk meneguhkan pokok soal yang tidak dapat diterima secara rasional. Kraton Ngayogjakarta Hadiningrat hingga saat ini tinggal merupakan satu-satunya kraton di Indonesia yang masih memiliki kuasa di ranah simbolik dan politik. Kraton-kraton lain di Nusantara tinggal hanya istana dan kuasa budaya, yang juga makin digerus oleh kemajuan jaman. Desentralisasi politik paska reformasi memang sempat menjadi wahana mengangkat dan menghidupkan lagi kraton-kraton sebagai pusat budaya dan politik, namun dinamika nasional dan global tidak lagi memberi ruang untuk kembalinya kekuasaan politik kepada kraton kembali. Secara kosmologis, Kraton Yogyakarta memiliki kedudukan penting dalam menjaga harmoni kosmis dengan Sumbu Filosofis Panggung Krapyak - Kraton - Tugu Pal Putih, dan Sumbu Imajiner Laut Selatan - Kraton - Gunung Merapi. Dengan demikian, melanjutkan tradisi yang berakar kepada kebudayaan pra Hindu-Budha, Kanjeng Ratu Kidul memiliki kedudukan penting dalam Kerajaan Mataram, karena dia tidak hanya yang mendukung berdirinya Kerajaan Mataram, tetapi juga yang menyumbang atas keruntuhan dinasti Mataram (Jordaan, 1997: 304). Semuanya menyatu dalam konsep Mandala, dengan Kraton sebagai pusat Semesta dan tugas Raja adalah menjaga harmoni semesta tersebut. Dengan demikian, gejolak apa pun yang terjadi di Kraton, dalam kontek kosmologis akan menggangu tertib kosmis maupun tertib sosial. Oleh karenanya “wahyu” memiliki fungsi penting dalam artikulasi politik Jawa. “Wahyu”-lah yang menjaga kewibawaan seorang raja (Stange, 1984: 114). Peneguhan ilahian inilah yang menjadi penerimaan atau dasar legitimasi seorang raja. Dalam bahasa awam, bila seorang raja sudah dikatakan telah “kehilangan wahyu” (koncatan wahyu), maka legitimasi apa pun yang melekat padanya menjadi runtuh. Termasuk legitimasi mistis, dan pernyataannya tidak dipercaya oleh rakyat lagi.
Ideologi Jawa: Refleksi Kritis Atas Etika Politik pada Reproduksi Simbolik Kraton Yogyakarta Pasca Perubahan Gelar HB X
JURNAL ETIKA
Volume 7, November 2015: 65 - 78
69
Dengan konstruksi yang demikian, maka ideologi Jawa sejalan dengan pengertian ideologi menurut Lewis Feuer yang merupakan suatu sistem dunia yang didasarkan pada rasa penerimaan politis dan sosial seseorang, yang mengikat secara emosi, aksi, dan gagasan dan memberikan kesadaran kosmis bagi yang bersangkutan (Huaco, 1971: 245). Namun tidak semua sepakat untuk menempatkan sistem nilai atau sistem pengetahuan yang disebut sebagai ideologi memiliki peran penting dalam perilaku politik, dan menunjuk faktor ekonomi sebagai penentu perilaku politik. Stigler, Peltzman, dan Posner merupakan pemikir yang menempatkan kepentingan ekonomi sebagai penggerak perubahan politik (Kau & Rubin, 1993: 152). Pandangan yang demikian sejalan dengan pandangan Marxian yang berpendapat bahwa realitas lain merupakan ephipenomenon dari realitas ekonomi, dan dengan demikian dinamika sosial apa pun, termasuk aspek politik, dapat dengan terang dibaca dalam kerangka analisis ekonomi. Terlepas dari dua pemahaman yang berbeda tentang ideologi di atas, persoalan apakah dinamika kehidupan simbolik dan politik dipengaruhi oleh perubahan ideologi ataukah sesungguhnya dikendalikan faktor-faktor ekonomi, terdapat persoalan lain yang perlu dicermati, utamanya ketika dua rasionalitas yang sangat berbeda hidup berdampingan, bergesekan, atau bahkan berbenturan bagai gambaran pertemuan dua makluk dari jaman yang berbeda dalam Jurasic World. Paradoks yang terjadi terkait dengan dasar legitimasi mistis di era yang penuh dengan perkembangan TIK, tentu layak dikunjungi untuk melihat sisi lain ideologi Jawa dewasa ini. 2. Rasionalitas Legitimasi Mistis di Era Digital Legitimasi mistis adalah dasar pembenaran suatu pernyataan, sikap, dan tindakan yang didasarkan atas “pengalaman mistis”. Pengalaman yang referensi maknanya sangat personal, walau ketika disampaikan ke orang lain tentu menggunakan ungkapan bahasa yang inter-personal. Merujuk pada pemilahan realitas ala Habermas, legitimasi mistis ini bersentuhan dengan realitas subyektif. Tindakan yang berjangkar pada realitas subjektif ini, dalam kerangkan tindakan wicara, termasuk dalam Tindakan Dramaturgis yang bertitik berat pada ekspresi dan pengungkapan diri, bertujuan pada pencapaian pemahaman, dan dasar legitimasinya adalah ketulusan (Habermas, 2003: 165). Hanya saja harus dicatat bahwa negasi terhadap tindakan wicara ekspresif seperti ini berarti bahwa lawan bicara meragukan klaim kejujuran atas pengungkapan diri yang dibuat oleh pembicara (Habermas, 2003: 161-162). Berbeda dengan realitas objektif yang akan dipersepsi relatif sama oleh semua subyek, atau pun realitas intersubyektif yang berjangkar pada nilai-nilai sosial, ukuran kebenaran realitas subyektif hanya dapat bersandar pada otensitas atau kejujuran
Ideologi Jawa: Refleksi Kritis Atas Etika Politik pada Reproduksi Simbolik Kraton Yogyakarta Pasca Perubahan Gelar HB X
70
JURNAL ETIKA
Volume 7, November 2015: 65 - 78
pembuat pernyataan. Dapat terjadi demikian, karena realitas subyektif hanya dapat dimasuki secara eksklusif oleh subyek yang mengalami realitas tersebut. Dengan demikian, rasionalitas legitimasi mistis pada satu sisi dapat sangat kuat bila otentik, namun pada sisi lain juga sangat lemah karena tidak ada pintu bagi subyek lain untuk mengukur kebenaran legitimasi mistis tersebut. Jika demikian, tidak adakah pintu yang terbuka untuk membicarakan legitimasi mistis yang kebenaran dari pernyataan kemudian bergantung pada kejujuran pembuat pernyataan, dan kejujuran pembuat pernyataan hanya dapat diketahui oleh yang bersangkutan, karena masuk pada wilayah yang sangat personal? Sesungguhnya pemilahan Habermas atas tiga dimensi dunia-kehidupan, yakni: dunia objektif yang merepresentasikan faktafakta yang independen dari pemikiran manusia dan berfungsi sebagai titik referensi umum untuk menentukan kebenaran; dunia sosial yang terdiri dari hubungan-hubungan intersubjektif; dan dunia subjektif dari pengalaman pribadi, dapat menjadi kunci untuk membuka kemungkinan komunikasi terkait dengan soal legitimasi mistis ini. Kunci komunikasi tersebut terletak pada pribadi yang dapat memilah tiga aspek dari pengalaman (obyektif, sosial, dan subyektif) yang melibatkan mereka. Pribadi yang memiliki kemampuan memilah ketiga dunia tersebut akan mencapai suatu pemahaman “tak terpusat” (decentered) terhadap dunia-kehidupan, dan ketidak-berpusatan membawa orang untuk membedakan persoalan kebenaran, keadilan, dan rasa secara baik sesuai dengan pandanganpandangan objektif, sosial, dan subjektif (Habermas, 1990: 133-141). Sikap tak-berpusat ini sesungguhnya pararel dengan norma disinterest dalam budaya politik Jawa, walau jelas keduanya berangkat dari asumsi epistemis dan kerangka etika yang berbeda. Yang satu berangkat dari asumsi epistemis bahwa setiap pengetahuan mengandung kepentingan yang berbeda di sebaliknya dan karenanya harus diatasi, sedangkan yang kedua berangkat dari semangat tanpa pamrih yang cenderung deontologis. Pertanyaannya, apakah pendekatan yang demikian sesuai dengan masyarakat dewasa ini? Masyarakat terbuka merupakan salah satu ciri yang menonjol di era digital dewasa ini. Keterbukaan informasi, dengan berbagai pilihan nilai dan orientasi kehidupan, hadir dan membentuk rasionalitas masyarakat. Orangorang dewasa ini dengan mudah dapat mengetahui, mengukur, dan menilai kebenaran dengan memperbandingkan berbagai pengalaman orang lain dan sumber lain. Walau keterbukaan informasi memiliki aspek “mempercepat dan memperdalam kecenderungan” yang telah ada pada individu, artinya bahwa seseorang cenderung mengakses informasi sesuai dengan watak dirinya, namun lambat laun secara alamiah pengguna informasi dapat memilah rasionalitas yang dapat diterima dan rasionalitas yang tidak dapat diterima. Orang kemudian dengan sendirinya belajar membedakan berita
Ideologi Jawa: Refleksi Kritis Atas Etika Politik pada Reproduksi Simbolik Kraton Yogyakarta Pasca Perubahan Gelar HB X
JURNAL ETIKA
Volume 7, November 2015: 65 - 78
71
hoax dengan informasi yang bermutu dan mencerdaskan. Secara sosial, rasionalitas masyarakat akan semakin cerdas dalam menanggapi pernyataan, sikap, dan perilaku yang diterima di media massa. Bahkan, melebihi era sebelumnya, melalui berbagai jejaring sosial, setiap orang memiliki kuasa untuk menyampaikan pikiran, penilaian, atau pun kegundahan di dunia maya. Pertukaran pikiran, penilaian, dan kegundahan antar pengguna jejaring sosial walau memiliki efek “hubungan dekat menjadi jauh, dan hubungan jauh menjadi dekat”, namun lambat laun secara alamiah juga akan membangun ruang dialog antar berbagai sikap dan pilihan nilai yang berbeda. Legitimasi mistis bersanding secara terbuka dengan legitimasi ilmiah, legitimasi politis, legitimasi hukum, legitimasi sosial, legitimasi budaya, dan legitimasi agama. Terkait dengan “Sabda Raja” yang didasarkan atas legitimasi mistis, bagaimana jika disandingkan dengan bentuk legitimasi yang lain? Jika dikelompokkan sesuai dengan realitas yang bersentuhan dengannya, legitimasi ilmiah bersentuhan dengan realitas obyektif dan memiliki kaidah-kaidah kebenaran yang berkembang sesuai dengan tradisi keilmuan masing-masing. Sedangkan legitimasi politis, hukum, sosial, budaya, dan agama bersentuhan dengan realitas intersubyektif, yang ukuran dan metode pengujian kebenarannya berjangkar pada sistem pengetahuan dan tata nilai yang ada pada kelompok penyangga nilai tersebut. Sedangkan legitimasi mistis berada pada wilayah realitas subyektif. Sabda Raja berada pada dua wilayah: realitas subyektif dan realitas intersubyektif. Terkait dengan dimensi realitas subyektif, kebenaran pernyataan hanya bergantung pada integritas pembuat pernyataan. Namun karena Sabda Raja berisi perubahan tata nilai Kraton Yogyakarta, maka Sabda Raja akan mewarnai sistem pengetahuan dan tata nilai yang menyangga Kraton Yogyakarta. Yang terjadi dapat saja kemudian mendapat dukungan internal yang kuat dari elemen-elemen Kraton (Sentana dan Abdi Dalem), dapat pula yang kemudian muncul adalah perpecahan keluarga. Apa pun yang terjadi dalam dinamika internal Kraton, tidak dapat dipungkiri akan berimbas pada kehidupan sosial, politik, budaya, hukum, dan agama masyarakat Yogyakarta. Terlepas dari kepentingan yang mendasari adanya Sabda Raja, fakta yang terjadi adalah tersedotnya energi berbagai kalangan dan lapisan masyarakat Yogyakarta untuk memahami rasionalitas Sabda Raja, dan sekaligus mengkhawatirkan masa depan salah satu penyangga penting kebudayaan Jawa. Di berbagai kesempatan dan di jejaring sosial, banyak orang yang menebak-nebak yang akan terjadi dengan Yogyakarta. Dengan berbagai perbincangan yang muncul di berbagai kalangan tentang suksesi kasultanan Yogyakarta, sesungguhnya tanpa disadari telah terjadi proses reproduksi simbolik yang berkait pula dengan bentuk baru cara berpolitik ala Jawa. Cara demokratis dan non kekerasan
Ideologi Jawa: Refleksi Kritis Atas Etika Politik pada Reproduksi Simbolik Kraton Yogyakarta Pasca Perubahan Gelar HB X
72
JURNAL ETIKA
Volume 7, November 2015: 65 - 78
agaknya mulai menjadi virtue baru masyarakat Jawa dan meninggalkan penyelesaian berdarah-darah sebagaimana terekam dalam sejarah panjang dinasti Mataram. 3. Perubahan Simbolik, Reproduksi Simbolik, dan Etika Politik Jawa Kajian atas legitimasi kekuasaan di Indonesia relatif terbelah antara pendekatan sosiologi makro yang memaknai kekuasaan dalam kerangka “modern”, dan pendekatan fenomenologis yang menjadikan pandangan dunia dan lembaga lokal sebagai dasar membaca realitas politik modern Indonesia (Van Ufford, 1987: 141). Pendekatan pertama menjadikan legitimasi negara modern, kekuasaan legal-rasional, atau birokrasi modern sebagai asumsi dasar dalam menelaah kekuasaan. Sedangkan pendekatan kedua berangkat dari pandangan dunia partisipan atas budayanya sendiri (Van Ufford, 1987: 151). Terlepas dari adakah hubungan kausal antara paradigma kajian atas kekuasaan di Indonesia dengan persaingan paradigmatis yang muncul terkait dengan dasar legitimasi kekuasaan di Daerah Istimewa Yogyakarta, pararelitas yang terjadi ternyata “sangat mengagumkan”. Argumentasi dan kontra argumentasi yang muncul soal “Keistimewaan” Yogyakarta, ternyata memuat persaingan dan benturan antara konsep pemerintahan modern dengan konsep tradisional tentang Kasultanan Yogyakarta. Pada satu sisi, kuat muncul gagasan tentang “monarkhi konstitusional” yang menempatkan Sultan Yogyakarta sebagai “simbol kultural” dan menyerahkan laju pemerintahan kepada pejabat administrasi publik Gubernur yang merupakan sosok yang berbeda dengan Sultan. Model yang diambil adalah model pemerintahan yang telah berjalan di negara maju seperti Inggris, Jepang, maupun Belanda. Konsep monarkhi konstitusional melindungi Raja dari campur tangan praktis politik pemerintahan, yang di era paska reformasi sangat mungkin untuk menarik Raja pada kepentingan ekonomis yang dikhawatirkan dapat menimbulkan skandal politik yang justru meruntuhkan wibawa raja Jawa sebagai simbol dan penjaga harmoni kosmis dan tata nilai masyarakat. Namun pada sisi lain ternyata arus bawah memiliki arah politis yang berbeda dengan tawaran konseptual monarkhi institusional, dengan mendesak agar Sultan HB X adalah sekaligus Gubernur DIY. Inilah yang kemudian tertuang dalam UU No 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewaan Yogyakarta, yang pada pasal 1 ayat 4 menyatakan bahwa DIY dipimpin oleh Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah, selanjutnya disebut Sultan Hamengku Buwono. Ketentuan ini kemudian diperteguh dalam Peraturan Daerah Istimewa Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Kewenangan Dalam Urusan Keistimewaan
Ideologi Jawa: Refleksi Kritis Atas Etika Politik pada Reproduksi Simbolik Kraton Yogyakarta Pasca Perubahan Gelar HB X
JURNAL ETIKA
Volume 7, November 2015: 65 - 78
73
Daerah Istimewa Yogyakarta, yang pada Pasal 5 (1) memuat ketentuan bahwa Calon Gubernur adalah Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta. Ketentuan pasal 5 ini membawa tuntutan normatif bahwa yang dapat diajukan menjadi Gubernur DIY adalah Sultan Hamengku Buwono yang bertahta. Hasil “kompromi” sebagaimana tertuang dalam UU Keistimewaan maupun Perdais disesalkan oleh Purwo Santosa karena mereduksi soal “keistimewaan” hanya pada soal Gubernur ditetapkan atau dipilih (Kedaulatan Rakyat Online, Jum’at 18 Januari 2013: 10:22 WIB). Kompromi yang membuka peluang salah tafsir atas ruh UU Keistimewaan, yang dipahami oleh sebagian besar pemangku kepentingan hanya berkenaan dengan Danais. Sebuah pertimbangan yang sangat pragmatis. Belum tuntas pengembangan sistem yang menopang keistimewaan, yang sebagaimana diamanatkan oleh UU Keistimewaan menuntut adanya Perdais yang mengatur soal kelembagaan Pemerintah Daerah DIY, kebudayaan, pertanahan, dan tata ruang, sebagaimana diatur dalam UU Keistimewaan pasal 7 ayat 4, telah muncul persoalan baru yang dipicu oleh perubahan gelar HB X, yang oleh kelompok masyarakat yang dahulu disinyalir mendukung “keistimewaan dalam arti penetapan”, justru dipersoalkan karena berbeda dengan amanat yang tertuang dalam UU Keistimewaan yang secara jelas “mengunci” gelar raja Yogyakarta dengan “Sultan Hamengku Buwono”. Karena amanat UU Keistimewaan Gubernur DIY adalah “Sultan Hamengku Buwono yang bertahta”, maka predikat “yang bertahta” menjadi sumber sensitifitas politis, terlebih ketika tanggal 2 Mei 2015 GKR Pembayun dilantik sebagai GKR Mangkubumi. Kedudukan yang dalam tradisi panjang Kraton Yogyakarta merupakan “pernyataan” bahwa GKR Mangkubumi dirancang akan menjadi pengganti Sultan yang bertahta kelak. “Gempa kultural” yang terjadi setelah perubahan gelar HB X sangat terasa di Yogyakarta. Terlebih oleh berbagai media massa soal ini diangkat sebagai berita utama. Masyarakat terbelah. Walau formasi keterbelahan belum ditelisi proporsionalitasnya, namun jelas terlihat dari fragmentasi antara HB X dengan adik-adiknya. Abdi dalem hanya dapat menunggu dalam kegamangan dan dalam posisi yang serba salah, walau ada satu dua Abdi Dalem yang mengembalikan kekancingan, dan dengan demikian mengundurkan diri sebagai Abdi Dalem sebagai protes atas perubahan yang terjadi di Kraton. Logika allegoris khas Jawa, yakni "Othak-athik mathuk”, kemudian mengemuka dan digunakan warga Yogyakarta untuk “membaca pesan ilahi”. Keruntuhan Bangsal Trajumas pada saat gempa Yogyakarta 26 Mei 2006, terbakarnya ringin di Alun-alun selatan 2014, hingga bule stres yang mengotori Tugu Pal Putih dengan cat merah, kemudian ditafsir sebagai tanda-tanda akan terjadinya “sesuatu” dengan Kraton Yogyakarta. Perbedaan sikap antara HB X dengan adik-adiknya juga dimanfaatkan oleh
Ideologi Jawa: Refleksi Kritis Atas Etika Politik pada Reproduksi Simbolik Kraton Yogyakarta Pasca Perubahan Gelar HB X
74
JURNAL ETIKA
Volume 7, November 2015: 65 - 78
“pihak luar” dengan mengangkat GBPH Prabukusumo sebagai Hamengku Buwono ke XI oleh sekelompok orang yang mengaku trah Paguyuban Ki Ageng Giring-Ki Ageng Pemanahan, yang kemudian disanggah oleh GBPH Prabukusumo sendiri sebagai tidak sah (Kedaultan Rakyat, 12 Juli 2015). Provokasi serupa muncul melalui baliho yang dipasang oleh kelompok yang tidak jelas yang mengangkat issue “Saatnya Raja Yogja Perempuan”. Semua dinamika tersebut ternyata mengindikasikan pengerasan sikap antara HB X dengan adik-adiknya. Utamanya dipicu oleh pengaktaan nama baru HB X ke Pengadilan Negeri (http://www.radarjogja.co.id/blog/2015/07/03 /hb-x-akui-aktakan-nama-barunva-ke-pengadilan-negeri/). Namun, khas etika Jawa, kedua pihak cenderung tidak mau konflik secara terbuka, hanya saja momentum Pisowanan sudah tidak lagi dihadiri oleh adik-adik raja. Posisi sekarang masih status quo, namun sebagaimana yang terekam dalam acara Open House Gubernur DIY seperti dilaporkan Kedaulatan Rakyat, Kamis Pon 23 Juli 2015, terdapat harapan dari rakyat banyak bahwa “masalah Kraton segera selesai”. Pertanyaan yang kemudian muncul, dalam perspektif etika politik, harus dibaca bagaimanakah perbedaan sikap terhadap “paugeran” antara yang “menolak Sabda raja” dengan yang “menerima Sabda raja”? Atas dasar paradigma apakah dapat diukur legitimasi etis kedua pihak yang berseberangan tersebut? Tentu semua pihak mengatasnamakan “kepentingan rakyat”, dengan argumen “paugeran” di satu pihak, dan argumen “era baru” di pihak lain. Secara substantif, telaah atas pokok soal ini menuntut kajian yang lebih dalam, pada kesempatan lain. Namun dapatkah pada telaah sekarang ini digunakan kerangka etika yang telah ada dalam khasanah bidang etika? Pertarungan paradigmatis ini bisa jadi merupakan salah satu bentuk persaingan antara etika politik yang masih memberi tempat pada nilai keutamaan, dalam hal ini nilai budaya lokal sebagaimana ada pada etika kebajikan (virtue ethics), dengan etika politik yang berorientasi pada etika egoisme yang berorientasi pada kepentingan pribadi (Rachels, 1998: 670). Etika Kebajikan secara konseptual pararel dengan pedoman etis yang muncul pada berbagai peradaban dengan tradisi masing-masing. Terdapat serangkaian daftar panjang kebajikan yang dapat dibuat, di antaranya: kedermawanan, adab, perhatian, keberanian, jujur, gampang berkawan, adil, setia, percaya diri, disiplin diri, pengendalian diri, toleran, dan lain sebagainya (Rachels, 1998: 671). Namun demikian, dalam konteks perubahan gelar HB X, pihak manakah yang mendasarkan diri pada etika kebajikan dan pihak manakah yang mendasarkan diri pada etika egoisme? Jawaban atas pertanyaan ini sangat tergantung dari motivasi apakah yang sesungguhnya mendorong perubahan gelar oleh HB X, pada satu pihak, dan pada pihak lain motivasi apakah yang sesungguhnya mendasari penolakan Sabda Raja. Sebuah
Ideologi Jawa: Refleksi Kritis Atas Etika Politik pada Reproduksi Simbolik Kraton Yogyakarta Pasca Perubahan Gelar HB X
JURNAL ETIKA
Volume 7, November 2015: 65 - 78
75
wilayah kajian empiris yang sungguh menuntut metodologi yang lebih komprehensif, di samping peristiwanya sendiri masih berproses. Namun terdapat satu virtue yang dapat dipegang. Yakni bahwa budaya politik Jawa secara kuat menekankan tiadanya kepentingan pribadi dalam aktivitas politik (Budiman, 1978: 616). Sebuah tolok ukur yang membantu untuk menilai motivasi pihak-pihak yang berbeda sikap. 4. Simpulan Kritik Ideologi adalah sebuah aktivitas yang berorientasi nilai (Potter, 2006: 136). Kritik ideologi berdiri di dua kaki. Pada satu sisi tidak mungkin dilakukan tanpa berpijak pada realitas yang non ideologis atau pra ideologis, namun pada sisi lain bersandar pada dasar-dasar moral atau etis tertentu. Hanya dengan berpijak pada keduanya, baru mungkin untuk membedakan “yang nyata” (the real) dari “yang ideologis” (the ideological) (Potter, 2006: 131-132). Dua kaki kritik ideologi tersebut dapat dijejaki baik pada pemahaman diri dan proyeksi aktor politik, atau pun ditemukan pada ekspresi budaya dan bentuk media lain dalam ruang sosial yang lebih luas (Potter, 2006: 136-137). Pada kasus perubahan simbolik terkait dengan perubahan gelar Sultan Yogyakarta, kritik ideologi mungkin mesti ditempatkan dalam posisi unik, yakni menempatkan kedua ideologi atau paradigma atau sistem simbolik yang sedang bersaing sebagai dua “yang real” yang bertarung untuk merebut pemahaman tentang kesejatian dari “keistimewaan” Yogyakarta, dengan membenturkan keduanya dengan dinamika realitas sosial politik yang telah, sedang, dan masih akan terjadi. Di era digital yang serba terbuka dan masyarakat yang well informed, klaim kebenaran pernyataan yang didasarkan atas legitimasi mistis tentu akan mengguncang rasionalitas masyarakat. Ada tiga hal yang mungkin terjadi: pertama, pernyataan tersebut langsung tidak dipercaya karena dianggap tidak rasional atau rasionalitasnya hanya dipahami oleh pembuat pernyataan, kedua, pernyataan tersebut dipercaya dalam konteks yang sangat terbatas sesuai dengan kepentingan yang melekat pada pernyataan tersebut dan diperlukan upaya yang besar agar rasionalitas pernyataan mistis tersebut dapat diterima oleh masyarakat yang lebih luas, dan ketiga, dalam konteks dialog yang sangat terbuka antar bentuk legitimasi dengan rasionalitas masing-masing, pernyataan yang didasarkan atas legitimasi mistis tersebut harus rela diuji melalui rasionalitas ilmiah, politik, sosial, hukum, budaya, dan agama, dengan hasil yang semakin memperkuat fragmentasi sosial. Sementara ini yang masih dominan adalah kemungkinan pertama dan kedua, namun hanya masalah waktu saja legitimasi mistis akan diuji dengan berbagai legitimasi yang lain. Ia harus memiliki referensi yang cukup dalam nalar ilmiah, ia harus pula mendapat dukungan dari nalar politik masyarakat, ia harus pula mampu membangun
Ideologi Jawa: Refleksi Kritis Atas Etika Politik pada Reproduksi Simbolik Kraton Yogyakarta Pasca Perubahan Gelar HB X
76
JURNAL ETIKA
Volume 7, November 2015: 65 - 78
integrasi sosial yang baru, ia harus pula dapat diuji oleh kategori- kategori dan proses budaya, ia harus pula dijabarkan dalam hukum yang sungguh mengutamakan kepentingan publik, dan ia harus pula sejajar dengan rasionalitas agama. Bila legitimasi mistis dapat lolos dari segala ujian tersebut, akan lahir harmoni baru tata nilai yang menopang Kraton dan budaya Jawa. Namun apabila gagal dalam ujian multi-dimensi tersebut, maka yang terjadi tidak hanya fragmentasi sosial, namun juga runtuhnya sistem nilai penyangga Kraton Yogyakarta dan budaya Jawa, mengingat hingga saat ini Kraton Yogyakarta tinggal satu-satunya yang masih memiliki kuasa administratif atas wilayah di Indonesia. Sabda Raja telah dinyatakan. Segala kemungkinan masih dapat terjadi. Kunci dari semuanya ada pada satu sosok: HB X, yang pada satu sisi memang memiliki kuasa atas perubahan tata nilai Kraton Yogyakarta, namun pada sisi lain sebagai Gubernur DIY, beliau memiliki kewajiban untuk menerjemahkan perubahan tata nilai Kraton Yogyakarta ke dalam kebijakan publik sesuai dengan koridor yang diijinkan oleh Undang-Undang Nomor 13 tahun 2012, dan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2013, mengingat dinamika internal Kraton akan berdampak kepada kehidupan seluruh rakyat Yogyakarta dan Indonesia. Dari sisi akademik, wilayah yang masih terbuka luas untuk dikaji adalah ideologi gender di wilayah politik, mengingat kajian telah ada selama ini masih cenderung berbicara tentang fertilitas dan perubahan hubungan lelaki-perempuan, pengasuhan anak, pembagian kerja di rumah, konflik dalam rumah tangga, kualitas perkawinan, penindasan terhadap istri, kerja, pendapatan, dan pendidikan (Davis & Greenstein, 2009: 95-99). Pengangkatan Kanjeng Gusti Pembayun sebagai Mangkubumi yang dalam tradisi Kasultanan Yogja merupakan simbol yang melekat pada calon pengganti raja, membuka luas kesempatan untuk mengkaji pergeseran ideologi Jawa dengan berangkat dari perubahan yang teradi di pusat kebudayaannya: Kraton. Tentu akan menantang secara paradigmatis dan metodologis, mengkaji perubahan pandangan dunia dari sebuah tradisi yang secara historis berakar kuat pada sistem nilai dan sistem pengetahuan pra-Hindu. Apakah Kanjeng Ratu Kidul (Dewi Sri, Tara, dan Kuasa Kesuburan, simbol jagad pertanian) akan semakin terdesak jauh ke Laut Selatan ataukah tidak, akan sangat bergantung pada seberapa kuat kepentingan ekonomi yang dilandasi etika egoisme menghegemoni perubahan simbolik di Kraton Ngayogjakarta Hadiningrat. Bila pada masa tertentu Kanjeng Ratu Kidul terdesak oleh hegemoni ideologi Islam dan terpaksa menyingkir ke Laut Selatan, agaknya masa depan keberadaan Kanjeng Ratu Kidul di jagad kosmis Jawa agaknya justru bergantung pada konsep Raja sebagai Khalifatullah yang ternyata masih memberi ruang kuasa padanya di Laut Selatan. Pemutusan kontrak antara Panembahan Senapati dengan Kanjeng Ratu Kidul sebagaimana tersirat dalam Sabda
Ideologi Jawa: Refleksi Kritis Atas Etika Politik pada Reproduksi Simbolik Kraton Yogyakarta Pasca Perubahan Gelar HB X
JURNAL ETIKA
Volume 7, November 2015: 65 - 78
77
Raja, secara simbolis dan politis mungkin merupakan penanda penting proses perubahan Ideologi Jawa masuk pada Era Baru. Jawaban atas pertanyaan apakah perubahan simbolik dan dimensi etis yang terkandung di dalamnya dikendalikan oleh faktor ekonomi atau oleh daya tahan ideologi lokal terhadap tindasan tekanan global, masih akan harus dilihat dari perkembangan Yogyakarta dan Indonesia menyelesaikan masalahnya. Semoga nanti yang terjadi adalah yang terbaik bagi Yogyakarta dan Indonesia. Amin.
Daftar Pustaka Basu, Sudeep. “Rethinking Knowledge as Ideology”, dalam Social Scientist, Vol. 40, No 1/2, January-February (2012): 69-80
. Budiman, Arif. “The Student Movement in Indonesia: A study of relationship between Culture and Structure”, dalam Asian Survey, Vol 18, No. 6 June (1978): 609-625 . Davis, Shanon N. & Greenstein, Theodore N. “Gender Ideology: Components, Predictors, and Consequences”, dalam Annual Review of Sociology, Vol. 35 (2009): 87-105 . Jordaan, Roy E. “Tara’s and Nyai Lara Kidul: Images of the Divine Femine in Java”, dalam Asian Folklore Studies, Vol. 56, No 2 (1997): 285312 < http://www.jstor.org/stable/1178728>. Kau, James B., & Rubin, Paul H. “Ideology, Voting, and Shirking”, dalam: Public Choice, Vol. 76, No 1/2, Empirical Studies of Ideology and Representation in American Politics, June (1993): 151-172 . Magnis-Suseno SJ, Franz. Etika Jawa, Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijakan Hidup Jawa. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Utama. 2003. Habermas, Jurgen. Moral Consciousness and Communicative Action (asli: 1983, “Moralbewusstsein und kommunikativen Handeln”, transl by Christian lenhart & Shierry Weber Nicholson, introduction by Thomas McCharty). Cambridge: Polity Press. 1990. ______________. On the Pragmatics of Communication. Cambridge: Polity Press. 2003.
Ideologi Jawa: Refleksi Kritis Atas Etika Politik pada Reproduksi Simbolik Kraton Yogyakarta Pasca Perubahan Gelar HB X
78
JURNAL ETIKA
Volume 7, November 2015: 65 - 78
Hawkes, David. Ideology, The New Critical Idiom. London & New York: Routledge. 2003. Huaco, George A. “On ideology”, dalam Acta Sociologica, Vol. 14, No 4 (1971): 245-255 . Potter, Robert. Ideology, Contemporary Social, Political and Cultural Theory. Cardiff: University of Wales. 2006. Rachels, James. “The Ethics of Virtue”, dalam Cahn, Steven M., & Markie Peter, (ed.), ETHICS, History, Theory, and Contemporary Issues. New York: Oxford University Press. 1998. Van de Kroef, Justus M. “Folklore and tradition in Javanese Society”, dalam The Journal of American Folklore, Vol. 68, No. 267 January-March (1955): 25-33 . Van Ufford, Philip Quarles. “Contradictions in The Study of Legitimate Authority in Indonesia”, dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 143, lste Afl., ANTHROPOLOGICA XXIX (1987): 141-158 .
Ideologi Jawa: Refleksi Kritis Atas Etika Politik pada Reproduksi Simbolik Kraton Yogyakarta Pasca Perubahan Gelar HB X