IDENTIFIKASI TELUR CACING NEMATODA USUS PADA LALAPAN DAUN SELADA (Lactuca sativa L.) YANG DIJUAL DI KELURAHAN MADYOPURO KOTA MALANG TAHUN 2015 Oleh Agustiana Dwi I.V Akademi Analis Kesehatan Malang ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proporsi lalapan daun selada yang terkontaminasi telur cacing nematoda usus dan mengidentifikasi adanya telur cacing nematoda usus pada lalapan daun selada (Lactuca sativa L.). Populasai penelitian ini adalah Seluruh lalapan daun selada yang dijual di kelurahan madyopuro kota malang tahun 2015.Sample penelitian adalah sebagian lalapan daun selada sebanyak 20 sampel yang dijual di kelurahan madyopuro kota malang tahun 2015. Variabel penelitian terdiri dari Variabel bebas (Independent) adalah lalapan daun selada, sedangkan Variabel terikat (dependent) adalah adanya telur cacing nematoda usus. Teknik pengumpulan data yang diperoleh dari penelitian ini berupa: Uji laboratorium yang dilakukan di Laboratorium Akademi Analis Kesehatan Malang untuk mengetahui adanya kontaminasi telur cacing nematoda usus pada sampel. Analisa data bersifat Deskriptif dengan menghitung proporsi sampel yang terkontaminasi telur cacing nematoda usus dan hasil ditampilkan dalam bentuk tabel atau diagram, pembahasan serta diambil kesimpulan. Hasil penelitian dapat disimpul;kan bahwa Terdapat telur cacing nematoda usus pada lalapan daun selada (Lactuca sativa L.) yang dijual di kelurahan madyopuro kota malang tahun 2015 ABSTRACT The purpose is to review research singer determine the proportion of leaf lettuce vegetables contaminated by worm eggs Its intestinal nematodes and identify the presence of intestinal nematode eggs IN vegetables leaf lettuce (Lactuca sativa L.). Research Populasai singer is whole leaf lettuce The vegetables sold in the village Madyopuro Malang Year 2015.Sample Research is mostly vegetables lettuce leaves as many as 20 samples What is sold in the village of Malang city Madyopuro 2015. Research variables consisted From variable Free (Independent) is the lettuce leaf vegetables, while the bound variable (dependent) is their intestinal nematode worm eggs. The data collection techniques TIN Form Of Research Singer: The laboratory tests performed in the Laboratory of the Academy of Health Analyst Malang to review determine contamination intestinal nematode eggs ON sample. Data analysis is descriptive WITH Counting The sample proportion contaminated eggs intestinal nematode worms commercial articles displayed hearts Forms OR table diagram, discussion CONCLUSION As well taken. Results can be knotted; the worm eggs that are intestinal nematodes ON vegetables leaf lettuce (Lactuca sativa L.) that is sold in the village of Malang city Madyopuro 2015 PENDAHULUAN Penyakit cacingan biasa disebut dengan penyakit cacing perut, penyakit ini banyak sekali terjadi pada masyarakat terutama di daerah kumuh atau pedesaan. Penyakit
1
ini dapat menyebabkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, berat badan, daya konsentrasi dan kecerdasan anak, sehingga dapat menurunkan sumber daya manusia (Onggowaluyo, 2002). Tingginya prevalensi telur cacing parasit yang ditemukan pada siswa SD yang terletak di sekitar IPAL Kota Malang adalah A. Lumbricoides yaitu sebesar 65,22%, diikuti dengan telur E. Vermicularis sebesar 21,47%, kemudian T. trichiura sebesar 11,59%, dan prevalensi terkecil pada telur cacing A. duodenale sebesar 1,45% (Rahayu, 2006). Jumlah infeksi cacingan yang sangat banyak di Asia Tenggara termasuk Indonesia, di pengaruhi oleh kondisi iklim yang sesuai untuk pertumbuhannya, kondisi sanitasi lingkungan dan higiene perorangan yang buruk serta keadaan sosial ekonomi dan pendidikan yang rendah (Kundain, 2012). Masalah kesehatan yang ditimbulkan akibat kecacingan adalah anemia, obstruksi saluran empedu, radang pankreas, usus buntu, alergi, dan diare, penurunan fungsi kognitif (kecerdasan), kurang gizi, gangguan pertumbuhan, dan radang paru-paru (Widjaja 2014). Sebagian besar penularan cacing melalui perantara tanah (Soil Transmited Helminths). Sumber penularannya bisa melalui air dan lumpur yang digunakan dalam budidaya sayuran. Tanah, sayur-sayuran, dan air merupakan media transmisi yang penting. Kebiasaan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun (di berbagai daerah tertentu) penting dalam penyebaran infeksi (Suryani, 2012). Kontaminasi (contamination) atau adanya agent menular pada permukaan tubuh, pada atau dalam pakaian, termasuk semua yang berkaitan dengan tempat tidur (beeding), mainan, alat-alat bedah atau baju operasi, maupun benda/zat mati termasuk air dan makanan. Semakin banyak telur ditemukan di sumber kontaminasi (tanah, debu, sayuran dan lain-lain), semakin tinggi derajat endemi di suatu daerah (Suryani, 2012). Secara umum terdapat dua cara masuknya nematoda usus dalam menginfeksi tubuh manusia, yaitu melalui mulut dan kulit. Adanya telur-telur atau larva, dalam beberapa kasus ditemukan dari hasil pemeriksaan kasus infeksi. Telur-telur tersebut dapat masuk ke dalam tubuh manusia, diantaranya melalui tidak bersih dalam mencuci sayuran yang tidak dimasak sedangkan dari larva nematoda usus dapat dimungkinkan melalui air yang terkontaminasi. Pada beberapa parasit, dijumpai salah satu cara yang penting dari penularan (transmissi) nematoda usus, yaitu penularan melalui fecal-oral melalui jari tangan yang tidak dicuci bersih. Penularan kepada hospes baru tergantung kepada tertelannya telur matang yang infektif atau larva, atau menembusnnya larva ke dalam kulit atau selaput lendir. Seringkali larva di dalam telur ikut tertelan dengan makanan (Nugroho, 2010). Masyarakat Indonesia mempunyai kebiasaan memakan sayuran dalam bentuk lalapan untuk campuran makanan lain. Kebiasaan memakan sayuran mentah (lalapan) perlu hati-hati terutama jika dalam pencucian kurang baik sehingga memungkinkan masih adanya telur cacing pada tanaman kubis. Parasit pada sayuran yang ditemukan adalah Ascaris lumbricuides, Trichuris trichiura, cacing tambang, larva Strongyloides stercoralis, larva Rhabditidae, dan cercaria yang umumnya ditularkan melalui makanan/minuman atau melalui kulit (Khomsan, 2005). Ternyata meskipun kubis sudah dicuci sebanyak 2 kali masih terdapat telur cacing usus yaitu Ascaris lumbricuides, Trichuris trichiura, dan cacing benang (Muyassaroh, 2006). Berdasarkan penelitian yang dilakukan di warung makan lesehan Wonosari gunungkidul yogyakarta tahun 2010, ditemukan angka kontaminasi soil transmitted helminths (STH) pada sayuran kubis yang cukup tinggi. Angka kontaminasi telur soil transmitted helminths (STH) yaitu sebesar 38,89% dengan proporsi telur Ascaris
2
lumbricoides 50%, Trichuris trichiura 37,5% dan Cacing tambang 12,5% (Nugroho, 2010). Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “ Identifikasi Telur Cacing Nematoda Usus Pada Lalapan Daun Selada (Lactuca Sativa L.) Yang Dijual Di Kelurahan Madyopuro Kota Malang Tahun 2015 “ LANDASAN TEORI Definisi Penyakit Cacingan Penyakit cacingan adalah penyakit cacing usus yang ditularkan melalui tanah atau sering disebut “Soil Transmitted Helminthes” (STH). Infeksi parasit usus ini bisa disebabkan oleh cacing dan protozoa yang merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Cacing usus yang banyak ditemukan yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan cacing tambang (Depkes RI, 2006). Cacingan adalah segala macam cacing yang ternyata hidup parasit dalam lambung manusia. Mereka turut hidup parasit di dalam pencernaan manusia (Saydam, 2011). Diperkirakan lebih dari dua miliyar orang mengalami infeksi di seluruh dunia di antaranya sekitar 300 juta menderita infeksi helminth yang berat dan sekitar 150.000 kematian terjadi setiap tahun akibat infeksi STH (Suriptiastuti, 2006). Nematoda usus Nematode usus siklus hidupnya melalui media tanah (Soil Transmitted Helminths). Dalam hal ini berarti bahwa proses pematangan parasit dari bentuk non infektif menjadi bentuk yang infektif terjadi di tanah. Yang termasuk dalam kelompok Soil Transmitted Helminth adalah nematoda usus Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis dan Cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) (Suriptiastuti, 2006). Ascaris lumbricoides (Cacing gelang) 1 Morfologi telur cacing Ascaris lumbricoides Ukuran ± 70 μm, berbentuk oval kadang bulat, kulit ganda berbatas jelas, kulit luar kasar, tertutup tonjolan–tonjolan kecil. Kulit dalam halus, tebal tidak berwarna, berisi masa bulat bergranula yang terletak di bagian tengah (Wahyuningsih, 2011).
Gambar 1. Telur Ascaris lumbricoides (Poetra, 2011) Siklus hidup Bila telur infektif yang berukuran 75 x 40-50 mikron tertelan oleh manusia, maka di bagian atas dari usus halus, dinding telur akan pecah dan larva akan keluar dari telur. Kemudian larva akan menembus dinding usus halus, mamasuki vena porta dan bersama aliran darah menuju jantung kanan untuk selanjutnya menuju sirkulasi paru. Di dalam paru-paru larva tumbuh dan berganti kulit sebanyak 2 kali, kemudian menembus dinding kapiler menuju alveoli. Dari alveoli larva menuju bronchi, trachea, laring, faring kemudian dibatukkan dan tertelan masuk ke esophagus, selanjutnya turun ke lambung dan akhirnya menjadi dewasa di usus halus. Cacing dewasa betina berukuran 22–35 cm dan lebih besar dibandingkan cacing jantan yang berukuran 10-31 cm (Palgunadi, 2010). 3
Gambar 2. Daur hidup Ascaris lumbricoides.( Depkes RI, 2006) Patofisiologi Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan. Dapat berupa gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare dan konstipasi. Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak dapat terjadi gangguan penyerapan makanan (malabsorbtion). Keadaan yang serius, bila cacing menggumpal dalam usus sehingga terjadi penyumbatan pada usus (Ileus obstructive). Selain itu menurut Effendy yang dikutip Surat Keputusan Menteri Kesehatan (2006) gangguan juga dapat disebabkan oleh larva yang masuk ke paru-paru sehingga dapat menyebabkan perdarahan pada dinding alveolus yang disebut Sindroma Loeffler. Gejala Klinis dan Diagnosis Terdapatnya cacing Ascaris dewasa dalam jumlah yang besar di usus halus dapat menyebabkan abdominal distension dan rasa sakit. Keadaan ini juga dapat menyebabkan lactose intolerance, malabsorpsi dari vitamin A dan nutrisi lainnya. Hepatobiliary dan pancreatic ascariasis terjadi sebagai akibat masuknya cacing dewasa dari dudenum ke orificium ampullary dari saluran empedu, timbul kolik empedu, kolesistitis, kolangitis, pankreatitis dan abses hepar (Suriptiastuti, 2006). Pemeriksaan tinja sangat diperlukan untuk ketepatan diagnosis yaitu dengan menemukan telur-telur cacing di dalam tinja tersebut. Jumlah telur juga dapat dipakai sebagai pedoman untuk menentukan beratnya infeksi (Departemen Kesehatan RI, 2006). Epidemiologi Telur A. lumbricoides keluar bersama tinja, pada tanah yang lembab dan tidak terkena sinar matahari langsung telur tersebut berkembang menjadi bentuk infektif. Infeksi A. lumbricoides terjadi bila telur yang infektif masuk melalui mulut bersama makanan atau minuman dan dapat pula melalui tangan yang kotor (Departemen Kesehatan RI, 2006). Pengobatan Pengobatan dapat dilakukan secara individu atau masal pada masyarakat. Pengobatan individu dapat digunakan bermacam-macam obat misalnya preparat piperasin, pyrantel pamoate, albendazole atau mebendazole. Pemilihan obat anti cacing untuk pengobatan massal harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu mudah diterima di masyarakat, mempunyai efek samping yang minimum, bersifat polivalen sehingga dapat berkhasiat terhadap beberapa jenis cacing, harganya murah (terjangkau) (Departemen Kesehatan RI, 2006). Trichuris trichiura (Cacing cambuk) 1 Morfologi Bentuk seperti cambuk, bagian anterior merupakan 3/5 bagian tubuhnya berbentuk lonjong seperti rambut, 2/5 bagian tubuh yang posterior lebih tebal. Cacing 4
jantan panjang 3 – 4 cm bagian kaudal melengkung ke arah ventral dan mempunyai spekulum ysng dilengkap selubung retraktil. Satu ekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur sehari sekitar 3.000-5.000 butir. Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan masing – masing kutub dilengkapi plug yang transparan (Wahyuningsih, 2011).
Gambar 3. Telur Trichuris trichiura (Al-Rasyid, 2012) Siklus hidup Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja, telur menjadi matang dalam waktu 3–6 minggu di dalam tanah yang lembab dan teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif. Cara infeksi langsung terjadi bila telur yang matang tertelan oleh manusia (hospes), kemudian larva akan keluar dari dinding telur dan masuk ke dalam usus halus sesudah menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke kolon asendens dan sekum. Masa pertumbuhan mulai tertelan sampai menjadi cacing dewasa betina dan siap bertelur sekitar 30-90 hari (Departemen Kesehatan RI, 2006).
Gambar 4. Daur Hidup Trichuris trichiura (Depkes RI, 2006) Patofisiologi Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum dapat juga ditemukan di dalam kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak cacing ini tersebar diseluruh kolon dan rektum, kadang-kadang terlihat pada mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita sewaktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat pelekatannya dapat menimbulkan perdarahan. Di samping itu cacing ini juga mengisap darah hospesnya sehingga dapat menyebabkan anemia (Menteri Kesehatan, 2006).
5
Gejala Klinik dan Diagnosis Infeksi cacing cambuk dewasa dalam jumlah besar dapat menyebabkan terjadinya kolitis yang gejala-gejala kliniknya menyerupai inflammatory bowel syndrome seperti rasa nyeri di abdomen yang kronik, diare, dan anemia (Suriptiastuti, 2006). Epidemiologi Penyebaran penyakit ini adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Telur tumbuh di tanah liat, tempat lembab, dan teduh dengan suhu optimum kira 30 derajat celcius. Infeksi cacing cambuk terjadi bila telur yang infektif masuk melaluimulut bersama makanan atau minuman yang yang tercemar atau melalui tangan kotor (Menteri Kesehatan , 2006). Pengobatan Pengobatan yang dilakukan untuk infeksi yang disebabkan oleh Trichuris trichiura adalah Albendazole, Mebendazole dan Oksantel pamoate (Menteri Kesehatan, 2006). Necator americanus dan Ancylostoma duodenale (Cacing tambang) Morfologi Necator americanus dan Ancylostoma duodenale adalah dua spesies cacing tambang yang dewasa di manusia. Habitatnya ada di rongga usus halus. Cacing betina menghasilkan 9.000-10.000 butir telur sehari. Ukuran telur Ancylostoma duodenale 5060μ, bentuk oval salah satu kutub lebih mendatar, kulit sangat tipis nampak sebagian garis hitam, bagian dalam berwarna abu-abu, pada tinja segar berisi 4, 8 atau 16 blastomer. Telur necator americanus ukuran lebih panjang 70μ, kutub lebih mendatar, selalu berisi paling sedikit 8 blastomer (Wahyuningsih, 2011).
Gambar 5. Telur Cacing Tambang (Gandahusada. 2004) Siklus hidup Daur hidup cacing tambang adalah sebagai berikut, telur cacing akan keluar bersama tinja, setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva rabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Telur cacing tambang yang besarnya kira-kira 60x40 mikron, berbentuk bujur dan mempunyai dinding tipis. Di dalamnya terdapat beberapa sel, larva rabditiform panjangnya kurang lebih 250 mikron, sedangkan larva filriform panjangnya kurang lebih 600 mikron. Setelah menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru. Di paru larvanya menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan laring. Dari laring, larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama makanan (Menteri Kesehatan , 2006).
6
Gambar 6. Daur hidup Necator americanus dan Ancylostoma duodenale (Depkes RI, 2006). Patofisiologi Cacing tambang hidup dalam rongga usus halus. Selain mengisap darah, cacing tambang juga menyebabkan perdarahan pada luka tempat bekas tempat isapan. Infeksi oleh cacing tambang menyebabkan kehilangan darah secara perlahan-lahan sehingga penderita mengalami kekurangan darah (anemia) akibatnya dapat menurunkan gairah kerja serta menurunkan produktifitas. Kekurangan darah akibat cacingan sering terlupakan karena adanya penyebab lain yang lebih terfokus (Menteri Kesehatan, 2006) Gejala Klinik dan Diagnosis Kelainan patologi akibat infeksi cacing tambang dewasa adalah kehilangan darah dari intestinal yang disebabkan invasi parasit ke mukosa dan submukosa usus halus. Kehilangan darah yang kronik ini menyebabkan terjadinya anemia defisiensi zat besi. Kehilangan protein secara kronik akibat infeksi cacing tambang dapat menyebabkan hipoproteinemia dan anasarka. Dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk menemukan cacing dewasa dan telur (Suriptiastuti, 2006 ) Epidemiologi Kejadian Spenyakit ankilostomiasis di Indonesia sering ditemukan pada penduduk yang bertempat tinggal di perkebunan atau pertambangan. Cacing ini menghisap darah hanya sedikit namun luka-luka gigitan yang berdarah akan berlangsung lama, setelah gigitan dilepaskan dapat menyebabkan anemia yang lebih berat. Kebiasaan buang air besar di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun sangat penting dalam penyebaran infeksi penyakit ini (Gandahusada, 2000). Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva adalah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum 32ºC38ºC. Untuk menghindari infeksi dapat dicegah dengan memakai sandal atau sepatu bila keluar rumah. (Menteri Kesehatan, 2006) Pengobatan Obat untuk infeksi cacing tambang adalah Pyrantel pamoate (Combantrin, Pyrantin), Mebendazole (Vermox, vermona, vircid), Albendazole (Menteri Kesehatan, 2006). Manfaat Selada Tumbuhan selada (Lactuca sativa L.) merupakan sayuran yang sudah lama dikenal baik oleh masyarakat Indonesia, salah satu alasan masyarakat mengkonsumsi sayuran selada yang akhir–akhir ini menunjukkan peningkatan karena selada mempunyai penampilan yang sangat menarik minat konsumen dengan warna hijau segar, dapat digunakan sebagai lalapan, mempunyai nilai tambah terhadap manfaat kesehatan yang mengandung gizi cukup tinggi terutama kandungan mineralnya dan sayuran tersebut mudah ditemukan dipasaran dengan harga yang terjangkau. Selada banyak dipilih oleh masyarakat karena warna, tekstur dan aromanya yang menyegarkan penampilan makanan sehingga mampu menambah selera makan (Sa’adah, 2012) 7
Morfologi Selada Selada merupakan jenis tanaman berumpun banyak, mengandung getah, mula– mula dengan roset akar, daun tersebar, duduk, memanjang atau lanset, sangat berubah– ubah bentuk dan ukurannya, bertepi rata atau bergigi tidak teratur, dengan pangkal menyempit dan ujung runcing, 5-35 kali 1–1 cm. Daun batang teratas bentuk garis dan makin keatas makin kecil. Bongkol bunga cukup kecil, berkumpul dalam karangan bunga bentuk mulai rata yang besar, bercabang banyak, yang membentuk krop akibat pertumbuhan daun yang bertumpang tindih yang akhirnya daun yang baru terbentuk (Ashari, 1995). Daun selada memiliki bentuk, ukuran dan warna yang beragam, bergantung varietasnya. Daun selada krop berbentuk bulat dengan ukuran daun yang lebar, berwarna hijau terang dan hijau agak gelap. Daun selada memiliki tangkai daun lebar dengan tulang daun menyirip. Tangkai daun bersifat kuat dan halus. Daun bersifat lunak dan renyah apabila dimakan, serta memiliki rasa agak manis. Daun selada umumnya memiliki ukuran panjang 20-25 cm dan lebar 15 cm (Wicaksono, 2008). Fungsi selada Selada mempunyai kandungan mineral yang cukup tinggi bagi tubuh yaitu seperti mineral kalium, natrium, magnesium, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, vitamin B, dan vitamin C. Kalium, Natrium dan Magnesium merupakan mineral yang sangat banyak dibutuhkan oleh tubuh karena termasuk dalam sumber unsur mineral makro. Jumlah dari ke-3 kandungan mineral tersebut dalam 100 g selada adalah kalium 203 mg, natrium 15 mg, magnesium 6 mg (Almatsier, 2005). Mineral sebagai nutrisi berperan penting dalam fungsi tubuh manusia. Unsur mineral dibagi menjadi dua golongan, yaitu unsur mineral makro dan unsur mineral mikro. Mineral berperan dalam berbagai tahap metabolisme. Keseimbangan ion-ion mineral dalam cairan tubuh diperlukan untuk pengaturan kerja enzim-enzim, pemeliharaan keseimbangan asam-basa, membantu mentransfer ikatanikatan penting melalui membran sel dan pemeliharan kepekaan otot dan syaraf terhadap rangsangan (Barasi, 2009). Di dalam cairan ekstraselular kalium dan natrium merupakan kation penting yang berperan dalam keseimbangan pH dan osmolaritas (Kartasapoetra, 2008), serta magnesium yang memegang peranan penting pada kontraksi otot, dapat mempertahankan tonus otot polos(Tjay, 2008). Kandungan Gizi Selada Menurut data yang tertera dalam daftar komposisi gizi, zat – zat makanan yang terkandung dalam setiap 100 g selada adalah sebagai berikut : Tabel 1. Kandungan Gizi Selada Kandungan Gizi Air Energi Protein Lemak Karbohidrat Serat Abu Ca (Kalsium) Fe (Besi) Mg (Magnesium) P (Phospor) K (Kalium) Na (mg) Vitamin A Vitamin B Vitamin C
Jumlah 94,91 g 15 kal 1,2 g 18,10 g 2,37 g 1,7 g 0,9 g 22 mg 0,5 mg 6 mg 25 mg 203 mg 15 mg 590 mg 10,04 mg 24 mg
Sumber: Almatsier, 2005. 8
Selada dikenal sebagai sumber mineral, pro-vitamin A, vitamin C dan serat (Sa’adah, 2012). Selada yang memiliki banyak kandungan vitamin dan zat gizi yang peting bagi kesehatan inilah yang membuat orang, banyak mengkonsumsi makanan ini, apalagi dimakan sebagai lalapan rasanya lebih enak dan segar. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian bersifat deskriptif dengan menggunakan metode survey cross sectional yaitu untuk mengetahui gambaran hasil identifikasi jumlah dan jenis telur cacing pada lalapan daun selada (lactuca sativa l.) yang dijual dikelurahan madyopuro kota malang tahun 2015. Populasai penelitian ini adalah Seluruh lalapan daun selada yang dijual di kelurahan madyopuro kota malang tahun 2015.Sample penelitian adalah sebagian lalapan daun selada sebanyak 20 sampel yang dijual di kelurahan madyopuro kota malang tahun 2015 Variabel penelitian terdiri dari Variabel bebas (Independent) adalah lalapan daun selada, sedangkan Variabel terikat (dependent) adalah adanya telur cacing nematoda usus. Teknik pengumpulan data yang diperoleh dari penelitian ini berupa: Uji laboratorium yang dilakukan di Laboratorium Akademi Analis Kesehatan Malang untuk mengetahui adanya kontaminasi telur cacing nematoda usus pada sampel. Analisa data bersifat Deskriptif dengan menghitung proporsi sampel yang terkontaminasi telur cacing nematoda usus dan hasil ditampilkan dalam bentuk tabel atau diagram, pembahasan serta diambil kesimpulan. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Sampel daun selada diambil dari pedagang lalapan daun selada yang dijual di kelurahan madyopuro kota malang tahun 2015 sebanyak 20 sampel. Dalam mencari persentase dari lalapan selada yang positif dan negatif terkontaminasi telur cacing nematoda usus dapat digunakan rumus proporsi sebagai berikut : Proporsi :
Keterangan :
= Jumlah sampel yang dicari proporsinya = Jumlah sampel keseluruhan = Konstanta (100%) Dari rumus di atas dapat diketahui proporsi persentase untuk keseluruhan sampel yang positif dan negatif pada lalapan daun selada. Sampel yang positif
=
Sampel yang negatif
= = = = =
20 %
80 %
9
Proporsi kontaminasi telur cacing nematoda usus pada lalapan daun selada yang dijual di kelurahan madyopuro kota malang tahun 2015 dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 7. Tabel 2. Persentase jumlah Telur Cacing Nematoda usus pada lalapan daun selada yang dijual Dikelurahan Madyopuro, Kota Malang Tahun 2015 (n = 20) Kontaminasi telur Positif Negatif Total
N (%) 4 (20%) 16 (80%) 20 (100%)
80%
80 60
Positi f
40
20 %
20 0
Positif
Negatif
Gambar 7. Proporsi kontaminasi telur cacing nematoda usus pada lalapan daun selada yang dijual di kelurahan madyopuro kota malang tahun 2015
Pada Tabel 2 dan gambar 7 dapat dilihat hasil pemeriksaan laboratorium terhadap lalapan daun selada diperoleh bahwa dari 20 sampel, 4 sampel (20%) diantaranya dinyatakan positif terkontaminasi telur cacing, sedangkan 16 sampel (80%) lainnya dinyatakan negatif tidak terkontaminasi telur cacing nematoda usus. Tabel 3. Distribusi jenis Telur cacing Nematoda usus pada lalapan daun selada yang dijual dikelurahan madyopuro, kota malang tahun 2015 (n = 20) Species N (%) Ascaris lumbricoides 3 (50%) Trichuris trichiura 1 (16,67%) Ancylostoma duodenale 2 (33,33%) Sumber: data diolah
60%
Proporsi kontaminasi telur cacing Nematoda usus berdasarkan jenisnya 50%
40%
33 %
20% 0%
17 % Ascaris Trichuris lumbricoides trichiura
Cacing tambang
Gambar 8. Proporsi kontaminasi telur cacing nematoda usus berdasarkan jenisnya pada lalapan daun selada yang dijual Dikelurahan Madyopuro Kota Malang Tahun 2015 10
Pada tabel 3 dan gambar 8 dapat dilihat hasil pemeriksaan pada sampel yang positif terkontaminasi telur cacing yaitu terdapat kontaminasi Ascaris lumbricoides (50%), Trichuris trichura (16,67%) dan Cacing tambang (33,33%). Dari 4 sampel yang positif terdapat dua kontaminasi tunggal dan dua kontaminasi ganda yaitu Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura, Ascaris lumbricoides dan Cacing tambang. Pembahasan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing nematoda usus pada lalapan daun selada yang dijual dikelurahan madyopuro kota malang tahun 2015. Dengan mengidentifikasi sampel, yang akan diperoleh hasilnya mengenai berapa banyak proporsi lalapan daun selada yang terkontaminasi dengan telur cacing nematoda usus yang dinyatakan dengan positif dan negatif terkontaminasi telur cacing. Hasil pemeriksaan pada 20 sampel yang diperoleh dari penjual lalapan daun selada yang dijual dikelurahan madyopuro kota malang tahun 2015 menunjukkan bahwa proporsi lalapan daun selada yang positif terkontaminasi telur cacing sebesar 20%, sedangkan yang negatif sebesar 80%. Angka tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Almi, 2011) berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan di pasar tradisional dan pasar modern Kota Bandar Lampung, ditemukan angka kontaminasi Soil Transmitted Helminths (STH) pada sayuran kubis dan selada yang cukup tinggi. Angka kontaminasi telur Soil Transmitted Helminths (STH) di pasar tradisional yaitu sebesar 76,1% dengan proporsi telur Ascaris lumbricoides 43,2%, Trichuris trichiura 10,2% dan keduanya 22,7%. Pada pasar modern angka kontaminasi telur cacing sebesar 58,3% dengan proporsi telur Ascaris lumbricoides 16,6%, Trichuris trichiura 19,7% dan keduanya 21,8% Kontaminasi telur cacing pada lalapan daun selada dapat dipengaruhi oleh tempat asal sampel dibeli, proses pencucian sampel yang kurang bersih dan penyajian sampel. Dari hasil yang positif bisa dilihat dari proses pencucian sampel yang dilakukan, apakah pencucianya sudah benar atau tidak, kebanyakan pedagang yang kurang mengerti tentang kesehatan hanya mencuci sayurannya dengan semaunya, yang penting terkena air, padahal cara seperti itu kurang benar karena dapat dipastikan telur cacing yang terdapat pada sayuran mentah yang akan dikonsumsi masih melekat pada sayuran tersebut dan akan ikut tertelan saat dikonsumsi . Dari penelitian yang dilakukan (Wardhana, 2010) hasil wawancara dengan pemilik warung, diketahui bahwa setengah dari jumlah warung yang diperiksa (7 warung) belum melakukan pencucian sayuran dengan baik. Beberapa pedagang hanya mencuci sayuran kubis pada bagian luarnya saja. Selain itu pencuciannya juga tidak dibawah air yang mengalir. Ada juga pedagang yang mencuci sayuran kubis dengan cara merendam kubis yang masih dalam bentuk utuh kedalam wadah yang berisi air. Proses pencucian sayuran yang kurang baik ini memungkinkan masih tertinggalnya telur Soil Transmitted Helminths (STH) pada sayuran sebelum disajikan sebagai lalapan. Kualitas air yang digunakan untuk membersihkan sayuran mutlak diperlukan, karena air juga sangat mempengaruhi keberadaan telur cacing pada saat pencucian sayuran. Hal ini sesuai dengan pendapat (Widjaja, 2014) bahwa pencucian yang benar adalah dengan air yang mengalir sehingga dapat membersihkan sisa kotoran dengan maksimal. Karena itu, melakukan pencucian sayuran dengan air yang mengalir lebih baik. Ditemukannya telur cacing nematoda usus pada lalapan daun selada yang dijual di kelurahan madyopuro kota malang dapat juga disebabkan oleh petani sayur yang menggunakan air tercemar telur cacing nematoda usus untuk menyiram tanaman , seperti menggunakan air yang berasal dari sungai, dan sungai tersebut digunakan oleh warga
11
untuk membuang air besar. Bisa juga disebabkan penjual lalapan tidak mencuci sayur dengan air bersih yang mengalir, atau pencuciannya kurang bersih. Dilihat dari hasil penelitian yang diperoleh, sampel positif didapat dari pedagang yang terlihat kurang menjaga kebersihan dari sayur yang digunakan sebagai lalapan. Karena masih terlihat sayuran agak kotor dibagian lipatan atau lekukan daunya. Hal ini dapat dipengaruhi pengetahuan yang kurang dari si penjual untuk menjaga kebersihan sayur yang akan digunakan sebagai lalapan. Untuk mengurangi dampak penyebaran yang ditimbulkan oleh parasit dapat dilakukan dengan menjaga sanitasi lingkungan seperti tidak membuang air besar di sungai yang nantinya air sungai tersebut akan dimanfaatkan oleh para petani untuk menyiram tanaman, dan mencuci sayuran dengan air yang tidak tercemar parasit hingga bersih. Tabel 3 Menunjukkan bahwa prevalensi yang paling tinggi adalah Ascaris lumbricoides (50%), kemudian Cacing tambang (33,33%) sedangkan Trichuris trichiura (16,67%). Dari 4 sampel sayuran selada yang diketahui spesies telur nematoda ususnya, terdapat dua kontaminasi tunggal dan dua kontaminasi ganda dalam satu sampel yaitu Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura, Ascaris lumbricoides dan Ancylostoma duodenale. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat tentang kebersihan dan sanitasi masih kurang. Tinggi rendahnya frekuensi kecacingan pada masing-masing hasil penelitian berhubungan erat dengan sanitasi lingkungan dan kebersihan pribadi yang menjadi sumber infeksi (Mardiana, 2008). Penyakit yang disebabkan oleh cacing banyak tersebar di seluruh dunia, terutama di daerah tropis. Hal ini dikarenakan berkaitan dengan faktor cuaca dan tingkat sosial ekonomi masyarakat. Penyebaran telur cacing bisa ditularkan bersamaan melalui feces penderita, tidak hanya berkaitan dengan cuaca, suhu, dan kelembaban udara, tetapi juga berkaitan dengan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang sanitasi (Entjang, 2003). Kebiasaan menggunakan feces sebagai pupuk tanaman akan dapat mencemari tanah dan juga akan berdampak pada tanaman yang diberi pupuk, misalnya seperti sayuran, akan tercemari dengan telur helminthiasis. Pengetahuan masyarakat juga berperan penting dalam pencegahannya, kebiasaan masyarakat yang memakan sayuran mentah dan setengah mentah juga akan mendukung tertularnya penyakit cacingan, karena di dalam makanan tersebut bisa jadi terdapat kista atau larva cacing. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa Terdapat telur cacing nematoda usus pada lalapan daun selada (Lactuca sativa L.) yang dijual di kelurahan madyopuro kota malang tahun 2015. Jumlah sampel lalapan daun selada sebanyak 20 yang positif di Kelurahan madyopuro kota malang sebanyak 20 %, dan sampel negatif sebanyak 80%. Proporsi sampel yang mengandung telur cacing Ascaris lumbriciodes adalah 50%, mengandung telur cacing Trichuris trichiura adalah 16,67% dan yang mengandung telur cacing Ancylostoma duodenale 33,33%, pada sampel juga ditemukan infeksi ganda antara Ascaris lumbricoides dengan Trichuris trichiura, dan Ascaris lumbricoides dengan Ancylostoma duodenale.
12
Saran 1. Untuk masyarakat / konsumen hendaknya memilih penjual lalapan yang terjaga kebersihan dan kesegaran sayurnya. 2. Untuk masyarakat seharusnya sayuran dimasak dulu dengan air panas dan dikonsumsi dalam keadaan matang tidak mentah. 3. Penjual lalapan seharusnya tidak mencuci sayuran dalam keadaan selada masih utuh dan pada saat akan disajikan bagian terluar dibuang terlebih dahulu. 4. Penjual lalapan hendaknya mencuci sayuran yang akan dijual menggunakan air bersih, dan air mengalir. DAFTAR PUSTAKA Almatsier, S. 2005. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hlm. 37. Almi DU, 2011. Identifikasi Soil Transmitted Helminths pada Sayuran Kubis dan Selada di Pasar Tradisional Kota Bandar Lampung. Universitas Lampung. Bandar Lampung. Hlm: 35-37. Al-Rasyid, M. Trichuris trichiura (Cacing Cambuk). (online: http://maksumprocedure.blogspot.com/2012/05/trichuris-trichiura-cacingcambuk.html?m=1) diakses tanggal 20 Juni 2015. Ashari, Semeru, 1995. Hortikultura Aspek Budidaya.UI.Press.Jakarta.485 pp. Astawan, Made. 2004. Modal Dasar Hidup Sehat. http://www.gizi.net. Diakses tanggal 14 Juli 2015. Barasi, M. (2009). At a Glance: Ilmu Gizi. Penerjemah: Hermin. Penerbit Erlangga. Jakarta. Gandahusada, Srisasi., Herry D., Wita Pribadi. 2004. Parasitologi kedokteran. Gaya baru. Jakarta. Entjang, indan. 2003. Mikrobiologi dan parasitologi untuk akademi keperawatan dan sekolah tenaga kesehatan yang sederajat. Citra aditya bakti. Bandung. Haryanto, E., T. Suhartini dan E. Rahayu. 1996. Sawi dan Selada. Penebar Swadaya. Jakarta. http://www.indonesian-publichealth.com/2014/08/infeksi-kecacingan-penyebab anemia.html diakses 21 april 2015 pukul 18:27 Indriani A, 2011. Identifikasi Soil Transmitted Helminths pada Sayuran Kubis dan Selada di Pasar Modern Kota Bandar Lampung. Universitas Lampung. Bandar Lampung. Hlm: 34-35 Kartasapoetra, G., Drs, dan Marsetyo, Drs, Med. 2008. Ilmu Gizi : Korelasi Gizi, Kesehatan & produktivitas kerja. Rineka cipta. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI. 2006. Keputusan Menteri Kesehatan Rupublik Indonesia Nomor 424/MENKES/SK/VI/2006 Tentang Pendoman Pengendalian Cacingan. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Hlm: 3. Khomsan, Ali. Pencucian Sayuran. http://www.google.com. Diakses tanggal 25 juni 2015. Kundain, F,. 2012. Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan dengan Infestasi Cacing pada Murid Sekolah Dasar di Desa Teling Kecamatan Tombariri Kabupaten Minahasa.http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/kesmas/article/download/0/76. Akses 10 juni 2015. Kurniawan, B. 2014. Identifikasi Telur Soil Transmitted Helminths Pada Lalapan Kubis (Brassica Oleracea) Di Warung-Warung Makan Universitas Lampung. http:// juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/download /223 /221. Akses 15 juni 2015. Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.
13
Onggowaluyo JS. 2002. Parasitologi Medik I (Helmintologi) : Pendekatan Aspek Indentifikasi, Diagnosis dan Klinik. EGC. Palgunadi, B.U. 2010. Pencemaran Tanah Oleh Telur Cacing Usus Dalam Hubungannya dengan Kejadian Infeksi Cacing Usus. Tesis. Unuversitas Airlangga. Poetra, O.P. 2011. Ascaris lumbricoides (Cacing gelang). https://www.google.co. id/search?q=gambar+telur+ascaris+lumbricoides diakses 15 juli 2015. Pracaya. Kol Alias Kubis. Cetakan 9. Penerbar Swadaya. Jakarta. 1994 Ali Khomsan. Pencucian Sayuran. http://www.google.com. Diakses tanggal 19 Desember 2014 Sa’adah,F.N. 2012. Pengaruh Lamanya Penyimpanan Pupuk Kandang Sapi Yang Diberi Biokompleks Terhadap Petumbuhan Dan Hasil Tanaman Selada (Lactuca Sativa L.) Varietas Brando. Jurnal Penelitian Bidang Ilmu Pertanian. 8 (3) : 97-104 Saydam. G. 2011. Memahami Berbagai Penyakit Pernafasan dan Gangguan Pencernaan. Alfa Beta. Bandung. Suriptiastuti. 2006. Infeksi soil-transmitted helminth : ascariasis, trichiuriasis dan cacing tambang. Universa Medicina. 25 (2) : 84-93 Suryani, Dyah. 2012. Hubungan Perilaku Mencuci Dengan Kontaminasi Telur Nematoda Usus Pada Sayuran Kubis (Brassica oleracea) Pedagang Pecel Lele di Kelurahan Warungboto Kota Yogyakarta. Jurnal Kesmas UAD. 6 (2) : 162-232. Tjay, Tan Hoan.(2008). Obat – Obat Penting. Alex Media Komputerind. Jakarta. Wahyuningsih, sri .2011. Petunjuk laporan praktikum parasitologi. Jember. Wicaksono, A. 2008. Penyimpanan Bahan Makanan Serta Kerusakan Selada. Skripsi . Fakultas Politeknik Kesehatan. Yogyakarta. World Health Organization. 2013. Soil-transmitted helminth infections. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs366/en/,diakses 20 Desember 2014.
14